Anda di halaman 1dari 14

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................i

BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang..............................................................................................1

BAB II. PEMBAHASAN........................................................................................5

2.1 Politik Konfrontasi dengan Malaysia dan India.............................................5

2.2 Pembebasan Irian Barat..................................................................................8

BAB III. PENUTUP..............................................................................................11

3.1 Kesimpulan...................................................................................................11

3.2 Saran.............................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................13
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak kemerdekaan awal bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945 silam,


Indonesia sebagai salah satu negara yang merdeka dan berdaulat serta
anggota aktif masyarakat internasional telah ikut berkiprah dalam sistem
politik global. Sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia dengan
masyarakat yang pluralis, keberadaan Indonesia dalam sistem politik
global sangatlah diperlukan. Apalagi letak geografisnya yang strategis,
berada di antara dua benua yakni Benua Asia dan Benua Australia serta
diapit dua samudera yakni Samudera Hindia atau Samudera Indonesia dan
Samudera Pasifik. Letaknya yang strategis ini pula yang menjadi
keharusan bagi Indonesia dalam melakukan kebijakan politik luar negeri
yang transparan yang mampu memberi ruang dan posisi tawar Indonesia
dalam dunia internasional guna mencapai kepentingan nasional.
Dalam memandang hubungan internasional dan kebijakan dalam
politik luar negeri di Indonesia, semuanya lebih tergantung pada sikap
pemimpinnya pada tiap jenjang masa atau era kepemimpinan. Menurut
George Kahin dalam kata pengantarnya terhadap buku Indonesian
Foreign Policy and the Dilemma of Dependence (1976), berargumen
bahwa politik luar negeri Indonesia senantiasa amat dipengaruhi oleh
politik domestik yang berkembang dalam negeri.
Selain itu pula sikap Soekarno yang konfrontatif terhadap Federasi
Malaysia karena dianggap telah melanggar perjanjian Manila Record dan
ingin menguasai Brunei, Sabah dan Serawak. Soekarno juga memandang
Malaysia sebagai bonekanya kolonialisme Inggris di kawasan Asia
Tenggara. Karena anti neo-kolonialisme dan imperialisme (Neokolim) ini
pula yang menjadikan sosok Soekarno sebagai pemimpin yang anti
hubungan internasional dengan negara-negara Barat yang tak sejalan
dengan pemikirannya. Tak hanya bersikap konfrontatif terhadap Malaysia,
Soekarno juga bersisikukuh mengintegrasikan Irian Barat  ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping sikapnya yang
konfrontatif tersebut, Soekarno juga  menekankan pada rakyat semangat
untuk membela harga diri dan martabat bangsa Indonesia. Bagi Soekarno,
harga diri bangsa adalah harga mati dan tidak dapat ditawar dengan
apapun.
Berdasarkan uraian masalah mengenai kebijakan politik luar negeri
Indonesia pada era Soekarno yang identik dengan Demokrasi Terpimpin
itu, sikapnya yang konfrontatif terhadap Malaysia dan Irian Barat,
kecenderungan lebih dekat dengan Timur yang berhaluan komunis, kami
tertarik untuk membahasnya lebih mendalam lewat makalah sederhana ini
dengan judul "Soekarno dan Politik Luar Negeri Indonesia era Demokrasi
Terpimpin". Adapun bahasan mengenai masalah ini akan diuraikan dalam
bagian pembahasan.

1.2 Rumusan Masalah

Soekarno menjalankan politik luar negeri Indonesia yang


nasionalis dan revolusioner. Hal ini tecermin dari politik konfrontasi
dengan Malaysia, penolakan keras Soekarno terhadap bantuan keuangan
Barat dengan jargon “go to hell with your aid”, dan pengunduran diri
Indonesia dari keanggotaannya dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Soekarno menjadikan Indonesia sebagai kekuatan regional yang dihormati
serta mengajak negara-negara terjajah menggalang kekuatan perlawanan.
Hal ini dilakukan karena landasan pemikiran Soekarno adalah Indonesia
harus menolak perluasan imperialisme dan kembalinya kolonialisme. Dan
pembentukan Malaysia, bantuan keuangan Barat serta PBB, dalam
pemikiran Soekarno ketika itu, adalah representasi imperialisme dan
kolonialisme.

Pada masa Soekarno, kebijakan politik luar negeri Indonesia pada


waktu itu adalah kebijakan yang anti barat, karena Soekarno menganggap
negara-negara barat sebagai penjajah. Soekarno lebih mendekatkan diri
dengan Uni Soviet. Presiden Uni Soviet, Nikita Khrushchev pun hadir di
Jakarta untuk melakukan kerja sama dengan menjanjikan bantuan senjata,
pelatihan militer, hingga kapal selam serta ada juga bantuan yang
berbentuk uang. Khrushchev secara cerdik memanfaatkan isu kebencian
Soekarno terhadap Amerika gara-gara Irian Barat, namun bagi Amerika
sikap Khrushchev ini merupakan tamparan. Amerika takut bila kasus Irian
Barat dapat membuta Indonesia semakin berhaluan kekiri.

Kemudian ada dua poin utama permasalahan yang akan dibahas di


makalah ini, yaitu:

1. Kebijakan luar negeri yang dilakukan Soekarno sebagai pemimpin


negara (Indonesia) yang menganut sistem politik bebas aktif namun
kenyataannya anti barat dan lebih condong ke timur?
2. Tindakan apa yang diambil Soekarno untuk merebut kembali Irian
Jaya Barat dari gengaman kolonialisme?

1.3 Kerangka Teori


George Kahin berargumen bahwa politik luar negeri Indonesia
senantiasa amat dipengaruhi oleh politik domestik. Pada saat yang sama
dipengaruhi oleh usaha untuk memperluas akses terhadap sumber-sumber
daya eksternal tanpa mengorbankan kemerdekaannya. Dari waktu ke
waktu, argumen ini belum hilang relevansinya. Persoalan mencari titik
kesetimbangan antara dinamika politik domestik dan usaha Indonesia
mendapatkan sumber daya eksternal tanpa mengorbankan prinsip
kemandirian dan kemerdekaan selalu menjadi persoalan pelik bagi setiap
rezim pemerintahan kita, baik dari masa Soekarno hingga pemerintahan
SBY saat ini.1
Persoalan inilah yang sejatinya berusaha dikonfrontasi oleh Bung
Hatta dalam pidatonya Mendayung di Antara Dua Karang, yang
disampaikan oleh Bung Hatta di muka Badan Pekerja Komite Nasional
Pusat di Yogyakarta pada 1948. Hatta dengan jeli menangkap potensi
konflik internal antarkelompok elite setelah persetujuan Linggarjati dan
Renville. Ia menyimpulkan bahwa pro-kontra terhadap kedua persetujuan
antara pemerintah Indonesia yang baru merdeka dan pemerintah kerajaan

1 George Kahin, Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence (1976)
Belanda itu sebenarnya merupakan gambaran konkret dari dinamika
politik internasional yang diwarnai pertentangan politik antara dua
adikuasa ketika itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ketika itulah Hatta
mulai memformulasikan adagium politik luar negeri kita yang bebas dan
aktif.
Berkaitan dengan konsep tentang kepentingan nasional dan politik
luar negeri Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin, arah kebijakan
politik luar negeri Indonesia yang didominasi oleh Soekarno  menjadi
sangat aktif dan asertif bahkan konfrontatif 2. Gaya inilah yang kemudian
mengarah pada politik luar negeri Indonesia yang high profile. Ini dapat
terlihat dari politik “mercusuar” yang dicanangkan Soekarno. Di sisi lain,
Bantarto Bandoro  memandang politik luar negeri Indonesia pada zaman
Demokrasi Terpimpin lebih dipengaruhi oleh spektrum pergeseran
keseimbangan antara internal change (dinamika domestik) dan external
change (dinamika konstelasi internasional) yang ikut mempengaruhi corak
politik luar negeri3. Bantarto Bandoro menambahkan bahwa spektrum
pergeseran keseimbangan keseimbangan antara internal change dengan
external change bergerak pada dua ekstremitas, yakni deliberative dan
spirited. Apabila rezim dominan oleh keinginannya untuk mengadopsi
kecenderungan-kecenderungan yang terjadi pada dinamika konstelasi,
maka corak politik luar negeri yang dikembangkan akan menjadi
deliberative.Sebaliknya, bila dinamika domestik yang dijadikan yang
dijadikan titik pijakan utama, maka coraknya sprited (semangat). Namun
ada pula rezim yang menampilkan corak confused (yang berada di antara
dua ekstrimitas spektrum di atas) dalam politik luar negerinya. Ini
disebabkan karena ambisi dalam menyeimbangkan antara tuntutan
domestik dengan realitas internasional. Berdasarkan landasan teoritis tadi,
politik luar negeri Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin lebih
mengarah pada spirited di mana dinamika politik domestik menjadi

2 Ganewati Wuryandari (ed), Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Domestik, Pustaka
Pelajar, 2008,hlm. 249

3 Ibid., hlm. 250


pijakan utama yang tampak jelas dalam kadar nasionalisme yang tinggi
dalam politik luar negeri Indonesia4
A.W Wijaya merumuskan bahwa bebas berarti tidak terikat oleh
suatu ideologi atau oleh suatu politik negara asing atau oleh blok negara-
negara tertentu, atau negara-negara adikuasa (super power). Aktif artinya
dengan sumbangan realistis giat mengembangkan kebebasan persahabatan
dan kerjasama internasional dengan menghormati kedaulatan negara lain.
Kami berspekulasi bahwa pada penerapannya pada masa Soekarno
tidak betul-betul menerapkan politik luar negeri bebas aktif di Indonesia,
karena pada masa Soekarno, kebijakan politik luar negeri Indonesia pada
waktu itu adalah kebijakan yang anti barat, karena Soekarno menganggap
negara-negara barat sebagai penjajah namun terlalu condong ke timur.

BAB II. PEMBAHASAN

2.1 Politik Konfrontasi dengan Malaysia dan India

Dalam era Demokrasi Terpimpin, peran Soekarno sangat dominan


dalam politik luar negeri Indonesia karena peran tunggalnya sebagai
pengambil keputusan. Sejarah mencatat bahwa salah satu kebijakan politik
luar negeri yang dijalankan oleh presiden Republik Indonesia yang
pertama ini yakni politik konfrontasi. Politik konfrontasi ala Soekarno ini
telah melanggar landasan operasional dari politik luar negeri Indonesia
yang bebas aktif yang pernah ditekankan Muhammad Hatta dalam
pidatonya “Mendayung antara dua karang” walaupun kemudian politik
konfrontasi ini pulalah yang berhasil mengintegrasikan Irian Barat yang
dipandang menjadi boneka Belanda itu ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Perilaku agresif dan konfrontatif itu
tercermin dari sikap Soekarno yang ingin menganyang  Malaysia karena 
ingin menyatukan wilayah Brunei, Serawak, dan Sabah ke dalam Federasi

4 Ibid., hlm. 251


Malaysia. Malaysia juga dipandang telah menjadi boneka dari Inggris dan
bentuk neokolonialisme di kawasan regional Asia Tenggara. Malaysia
juga dianggap sebagai ancaman terhadap eksistensi Indonesia yang
berambisi menjadi mersucuar dunia di kawasan Asia Tenggara. Dalam
rangka konfrontasi tersebut Presiden mengumumkan Dwi Komando
Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964, yang isinya sebagai berikut:

1. Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia.


2. Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari
Nekolim Inggris.

Pelaksanaan Dwikora tersebut dengan mengirimkan sukarelawan


ke Malaysia Timur dan Barat. Sikap Soekarno ini menunjukkan adanya
campur tangan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia. Meskipun
keadaan perekonomian di Indonesia jatuh bangun namun Presiden
Soekarno tetap bersikukuh untuk melakukan konfrontasi terhadap
Persekutuan Tanah Melayu. Walaupun dihadapkan pada dilema antara
kepentingan politik dan ekonomi, Soekarno terkesan lebih memilih
kepentingan politik ketimbang ekonomi. Menurut Michael Leifer,
memberikan prioritas pada stabilitas dan pembangunan ekonomi bukanlah
hal-hal yang memerlukan bakat Soekarno. Hal ini akan memaksa Soekarno
hidup berdampingan dengan Oldefos yang ditentang keras oleh Soekarno.
Soekarno secara jelas di depan publik menyatakan pembangunan ekonomi
bukan sebagai bagian penting dari tahapan awal national building. Yang
diutamakan yakni penghapusan pengaruh Barat-politik, ekonomi dan
budaya Barat harus dilakukan terlebih dahulu sebelum pembangunan
ekonomi dalam negeri.
Selain konfrontatif terhadap Malaysia, hal yang sama juga
mencederai hubungan Indonesia dan India. Perselisihan dengan India pada
kasus Sondhi dan diikuti penyerangan terhadap Kedutaan India di Jakarta
saat berlangsungnya Asian Games telah memperpanjang daftar buruk
politik luar negeri Indonesia dan semakin dinginnya hubungan India dan
Indonesia. Tentu ini mengakibatkan perbedaan wawasan antara Soekarno
dan Nehru. Indonesia malah tampak semakin akrab dengan Cina ditengah
konflik Cina-India dan pertikaian Cina-Uni Soviet. Hal tersebut
ditunjukkan dengan dukungan keuangan dari Cina saat Indonesia
melangsungkan GANEFO (Games of the New Emerging Forces ) sebagai
tandingan Olimpiade akibat skorsing yang diterima Indonesia pada
pertandingan Olimpiade Tokyo tahun 1964.
Politik konfrontasi ini pula kemudian berlanjut lagi dalam
penyelesaian masalah Irian Barat. Presiden Soekarno memandang bahwa
Irian Barat hanya menjadi negara boneka Belanda. Kegagalan melalui
jalur negosiasi dan diplomasi damai, membuat Indonesia mengambil jalan
lain untuk penyelesaian kasus Irian Barat. Indonesia semakin
meningkatkan ancaman penggunaan kekuatan ekonomi, politik dan militer
untuk memaksa Belanda menyerahkan wilayah Irian Barat ke Indonesia
melalui operasi Trikora (Tri Komando Rakyat). Masalah Irian Barat ini
akhirnya bisa terselesaikan melalui melalui Perjanjian New York yang
salah satu isinya mengharuskan pelaksanaan penentuan pendapat atau Act
of Free Choice pada tahun 1969. Melalui Perpera inilah Irian Barat dapat
terintegrasi ke dalam wilayah kesatuan republik Indonesia karena
mayoritas penduduk memilih berintegrasi dengan Indonesia ketimbang
merdeka.
Sikap Presiden Soekarno dan politik konfrontasinya ini nyatanya
telah melanggar Maklumat Politik Pemerintah pada 1 November 1945.
Adapun isi maklumat tersebut sebagai berikut:
1. Politik damai dan hidup berdampingan secara damai;
2. Politik tidak campur tangan dengan urusan dalam negeri negara
lain;
3. Politik bertetangga baik dan bekerja sama dengan semua negara
di bidang ekonomi, politik dan lain-lain;
4. Politik berdasarkan Piagam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)

Maklumat tersebut jelas memberi jalan bagi tumbuhnya politik luar


negeri Indonesia yang sehat dan bermartabat dalam percaturan politik
internasional. Namun Soekarno mengabaikan nilai-nilai dasar maklumat
tersebut dan menerapkan politik konfrontasi dalam dunia internasional.

2.2 Pembebasan Irian Barat

UU Nomor 21 Tahun 2001, Mengenai Otonomi Papua


a. Bahwa masyarakat papua sebagai insan tuhan dan bagian dari umat
manusia yang beradab, menjunjung tinggi HAM, nilai-nilai agama,
demokrasi, hukum, dan nilai budaya yang hidup dalam masyarakat
hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil
pembangunan secara wajar.
b. Bahwa intergrasi bangsa dalam wadah NKRI harus tetap
dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman
kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan
daerah otonomi khusus.
Tim kajian Papua LIPI tahun 2004, secara garis besar, terdapat 3
faktor yang terlibat dalam konflik papua. yaitu:
- Negara
- Masyarakat
- Pebisnis
Pola masyarakat papua pada saat itu cenderung lemah (powerless)
dibandingkan dengan kekuasaan pemerintah pusat dan daerah. Dukungan
internsional kepada kelompok pro-merdeka di Papua menimbulkan
kompleksitas yang cukup serius bagi pemerintah indonesia dalam
berdiplomasi dengan pihak luar negeri. Dalam prosesnya, Pemerintah
mencoba bernegosiasi dengan pihak papua untuk menerapkan kebijakan
HAM terhadap komunitas internasional, hal tersebut hanyalah akan
menimbulkan tolak ukur belaka terhadap wilayah Irian. Dalam hal tersebut
dimanfaatkan oleh kelompok pro merdeka (khusunya OPM) dijadikan
sebagai motivasi mereka dalam perjuangan kemerdekaan di forum
internasional.
Hal tersebut dugunakan sebagai kepentigan politik jangka panjang
terhadap indonesia. Oleh karena itulah Pemerintah Indonesia mengaggap
sikap OPM dapat disebut sebagai Separatisme Papua. Tetapi keputusan
kedaulatan Indonesia di Papua sudah final untuk menghadapi sikap dan
tindakan papua.5
Upaya pemerintah indonesia, ketika belanda enggan melepaskan
Irian Barat dengan cara diplomasi melalui PBB dan upaya militeristik
melalui Komando Mandala. Pada saat itu masih dikuasai oleh belanda
adalah dengan mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII), dan
Badan Perjuangan irian yang pada akhirnya irian bersatu dengan Indonesia
(Silas Parae, merupakan tokoh dibalik perjuangan perebutan irian barat).
Silas Parae adalah seorang pejuang Papua yang lahir di Serui, Irian
Jaya, 18 Desember 1918 memiliki Nasionalisme yang tinggi. Sempat
menjadi pegawai pemerintah Belanda. Pada bulan Desember 1945,
bersama teman-temannya yang tergabung dalam Batalyon Papua
merencanakan pemberontakan, tetapi gagal. Silas ternyata memang berniat
membantu indonesia untuk membebaskan Irian Barat dari belanda dan
menyatuakan Irian dengan Indonesia. Ia terlibat dalam delegasi RI sebagai
anggota dalam ratifikiasi New York (15 Agustus 1962)6
Langkah-langkah kebijakan Indonesia dalam usaha merebut Irian
barat:
1. Dengan jalan diplomasi, dari KMB di belanda dengan
penyerahan kedaulatan Irian Barat kepada Indonesia dengan
tidak bersyarat dan tidak dapat dicabut (tidak dapat dicabut??).
Dalam prosesnya, isu Irian tidak mendapatkan respon yang
positif dari forum KMB (Majelis Umum). Akhirnya, indonesia
membatalkan Uni-Belanda diikuti dengan pembatalan sepihak
persetujuan KMB olah mereka tahun 1956 (dengan sikap yang
lebih keras). Tahun 1967, Kemenlu RI berpidato di depan
sidang Majelis Umum PBB, menjelaskan mengenai rencana ke
depan jika kebijakan diplomasi tidak dapat menyelesaikan
masalah. Beliau menjelaskan dengan Nada Keras dilontarkan

5 Andriana Elisabeth, Dimensi Internasional Kasus Papua, hal.3


6 http://crayonpedia.org. Usaha Mempertahankan Republik Indonesia, Bab 6. Hal 213
oleh Kemenlu RI tersebut. Tetapi tetap, sikap Kemenlu tersebut
tidak direspon oleh pendukung belanda.

2. Dengan Konfrontasi politik dan ekonomi, karena tak dapat


diselesaikan dengan cara diplomasi, pemerinta meningkatkan
perjuangannya dengan mengambil alih perusahaan millik
belanda (pada Desember 1957) seperti Nederlandsche Handel
Maatchappij N.V. (Bank Dagang Negara), Bank Escompto
(Jakarta), serta Philips dan KLM. Pada tanggal 17 Agustus
1960, Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan
Belanda disebabkan berbeda prinsip dalam sidang forum PBB.
Sekretaris Jenderal PBB U Thant meminta kepada diplomat AS
Ellsworth Bunker atas konfirmasinya terkait dengan irian
mengusulkan kepada belanda agar menyerahkan kedaulatan
Irian kepada Indonesia melalui PBB dalam waktu dua tahun,
indonesia menyertujui hal tersebut terlebih jika diperpendek
lagi masanya. Tetapi belanda enggan menyerahkan irian
tersebut disebabkan prinsipnya membentuk “negara boneka”
papua, Indonesia dalam menanggapi hal ini, justru kecewa dan
terus meningkatkan konfrontasi di segala bidang, politik,
ekonomi, dan yang lainnya.

3. Trikora
a. Gagalkan pembentukan “Negara Papua” dari Belanda
kolonial.
b. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air
Indonesia.
c. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna
mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air
Bangsa.
4. Persetujuan New York
Konfrontasi Indonesia terhdap belanda ternyata
membuka peluang, pasukan komando mandala menguasai
Teminabuan ke tangan indonesia, dan belanda tetap kukuh
mempertahankan Irian. Kemudian Indonesia melanjutkan
“operasi Jayawijaya” tanggal 14 Agustus 1962. Singkatnya
Tanggal 15 Agustus 1962 Pihak INA dan Belanda
menandatangani kesepakatan yang dikenal dengan “New York
Agreement” yang berisi:

1. Pemerintah Belanda menyerahkan Irian Barat kepada


penguasa sementara PBB (UNTEA – United Nation
Temporary Executive Authority) pada tanggal 1 Oktober
1962.
2. Pada tanggal tersebut, bendera PBB akan berkibar di
irian barat berdampingan dengan bendera belanda, akan
diturunkan tanggal 31 Desember untuk digantikan
dengan bendera Indonesia dengan bendera PBB.
3. Pemerintah UNTEA berakhir pada 1 Mei 1963,
pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada pihak
Indonesia.
4. Pemulangan orang-orang sipil dan militer Belanda
harus sudah selesai pada tanggal 1 Mei 1963.
5. Pada tahun 1969 rakyat Irian Barat diberi kesempatan
untuk menyatakan pendapatnya tetap dalam wilayah RI
atau memisahkan diri dari melalui penentuan Pendapat
Rakyat (Pepera).

BAB III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sejatinya kebijakan politik luar negeri adalah untuk mencapai
kepentingan nasional. Indonesia menyadari perlunya membina kerja sama
internasional dengan negara-negara lain. Semenjak masa kepemimpinan
Soekarno, pada era Demokrasi Terpimpin politik luar negeri Indonesia
berkembang dalam politik konfrontatif terhadap bentuk neo-kolonialisme
dan  imperialisme dari Barat yang berhaluan liberal. Perilaku konfrontatif
ala Soekarno ini tercermin dari keinginan untuk menganyang Malaysia
yang dipandang menjadi antek neo-liberalisme dari imperialism Inggris di
kawasan Asia Tenggara. Sikap konfrontatif yang sama juga digalakkan
pada penyelesaian kasus Irian Barat yang dipandang telah menjadi boneka
Belanda hingga berhasil mengintegrasikan Irian Barat ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain politik konfrontatif,
Soekarno juga membina hubungan yang dekat dengan Timur khususnya
Cina yang berhaluan komunis. Kian berkembangnya PKI (Partai Komunis
Indonesia) tidak lepas dari peranan Soekarno yang membuat kebijakan
Nasakom (Nasionalis, agama dan komunis). Ini pula yang menjadi
legitimasi pesatnya perkembangan PKI di Indonesia. Karena anti neo-
kolonialisme dan imperialisme, maka Soekarno juga menjadi pemimpin
yang anti hubungan internasional terhadap negara-negara Barat yang
berbuntut pada keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB. Selain itu bagi
Soekarno harga diri adalah harga mati. Ini dilandasi dan dipengaruhi oleh
pemikirannya yang neo-Marxist-Lennist.
Kegigihan pemerintah dalam upaya menguasai Irian Barat, terlihat
dari tahap awal diplomasi, kemenlu yang berpidato di depan pendukung
Negara Belanda dengan nada keras, artinya, ketegasan pemerintah dalam
hal ini jelas bahwa Indonesia ingin menguasai Irian Barat. Serangan yang
dilancarkan Indonesia yang dikenal dengan “Serangan Jayawijaya”
menguasai bunker Belanda merupakan peringatan bahwa Indonesia benar-
benar ingin menjaga kedaulatan Negaranya. Timbul sebuah
pertanyaan,”Bisakah nilai-nilai ini dapat dipertahankan dan diperjuangkan
dalam hal mempertahankan kedaulatan Indonesia yang sekarang ini
mengancam segala aspek?”. Pemuda-pemuda seperti kita lah, yang
mempunya ambisi dan visi dalam mempertahankan negara ini.
3.2 Saran
Makalah sederhana ini membahas tentang Soekarno dan Politik
Luar Negri Indonesia era Demokrasi Terpimpin, dengan maksud dan
tujuan pada represi ingatan kepada kita di era kepemimpinan Soekarno.
Kami tidak bermaksud untuk menambah kerancuan analisa, tetapi sebagai 
manusia lemah, kami menyadari bahwa karya tulis sederhana ini masih
memiliki begitu banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, saran pembaca sangat kami harapkan. Maka dengan lapang
dada  kami mengharapkan beragam kritik dan saran yang membangun
guna penyempurnaan karya tulis  ini ke depannya.

DAFTAR PUSTAKA
 Abdulgani, Roeslan. 1956. Mendajung dalam Tanjung. Jakarta : Penerbit
Endang Elizabeth, Andriana. Dimensi Internasiona Kasus Papua.
 Gaffar,Afan. 2006. Politik Indonesia Transisi Menuju
Demokrasi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
 Kahin, George. 1976. Indonesian Foreign and The Dilema of
Independence.
 Morgenthau, Hans J. 2010. Politik Antarbangsa. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor
 Wulandari, Ganewati, ed.2008. Politk Luar Negeri Indonesia di Tengah
Pusaran Domestik.
 Wuryandari, Ganewati 2008. Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah
Pusaran Domestik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

http://freya-ariga.over.com dengan tema “Indonesian Foreign Policy”.


Tanggal 6 Mei 2011. Jam 22.55 WIB

http://crayonpedia.org dengan tema “Usaha Mempertahankan Republlik


Indonesia”. Bab 6. Hal 213

Anda mungkin juga menyukai