Kebudayaan bali
Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa Sansekerta berarti "Kekuatan", dan "Bali"
berarti "Pengorbanan" yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita. Supaya kita selalu
siap untuk berkorban
1. Geografi
Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan
selebar 112 km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Secara astronomis, Bali terletak di
8°25′23″ Lintang Selatan dan 115°14′55″ Bujur Timur yang membuatnya beriklim tropis
seperti bagian Indonesia yang lain.
Gunung Agung adalah titik tertinggi di Bali setinggi 3.148 m. Gunung berapi ini
terakhir meletus pada Maret 1963. Gunung Batur juga salah satu gunung yang ada di
Bali. Sekitar 30.000 tahun yang lalu, Gunung Batur meletus dan menghasilkan bencana
yang dahsyat di bumi. Berbeda dengan di bagian utara, bagian selatan Bali adalah dataran
rendah yang dialiri sungai-sungai.
Luas wilayah Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2 atau 0,29% luas wilayah
Republik Indonesia. Secara administratif Provinsi Bali terbagi atas 9 kabupaten/kota, 55
kecamatan dan 701 desa/kelurahan.
2. Sejarah
Orang Eropa yang pertama kali menemukan Bali ialah Cornelis de Houtman dari
Belanda pada 1597, meskipun sebuah kapal Portugis sebelumnya pernah terdampar dekat
tanjung Bukit, Jimbaran, pada 1585. Belanda lewat VOC pun mulai melaksanakan
penjajahannya di tanah Bali, akan tetapi terus mendapat perlawanan sehingga sampai
akhir kekuasaannya posisi mereka di Bali tidaklah sekokoh posisi mereka di Jawa atau
Maluku. Bermula dari wilayah utara Bali, semenjak 1840-an kehadiran Belanda telah
menjadi permanen yang awalnya dilakukan dengan mengadu-domba berbagai penguasa
Bali yang saling tidak mempercayai satu sama lain. Belanda melakukan serangan besar
lewat laut dan darat terhadap daerah Sanur dan disusul dengan daerah Denpasar. Pihak
Bali yang kalah dalam jumlah maupun persenjataan tidak ingin mengalami malu karena
menyerah, sehingga menyebabkan terjadinya perang sampai mati atau puputan yang
melibatkan seluruh rakyat baik pria maupun wanita termasuk rajanya. Diperkirakan
sebanyak 4.000 orang tewas dalam peristiwa tersebut, meskipun Belanda telah
memerintahkan mereka untuk menyerah. Selanjutnya, para gubernur Belanda yang
memerintah hanya sedikit saja memberikan pengaruhnya di pulau ini, sehingga
pengendalian lokal terhadap agama dan budaya umumnya tidak berubah.
Jepang menduduki Bali selama Perang Dunia II dan saat itu seorang perwira
militer bernama I Gusti Ngurah Rai membentuk pasukan Bali 'pejuang kemerdekaan'.
Menyusul menyerahnya Jepang di Pasifik pada bulan Agustus 1945, Belanda segera
kembali ke Indonesia (termasuk Bali) untuk menegakkan kembali pemerintahan
kolonialnya layaknya keadaan sebelum perang. Hal ini ditentang oleh pasukan
perlawanan Bali yang saat itu menggunakan senjata Jepang.
Pada tahun 1946 Belanda menjadikan Bali sebagai salah satu dari 13 wilayah
bagian dari Negara Indonesia Timur yang baru diproklamasikan, yaitu sebagai salah satu
negara saingan bagi Republik Indonesia yang diproklamasikan dan dikepalai oleh
Sukarno dan Hatta. Bali kemudian juga dimasukkan ke dalam Republik Indonesia Serikat
ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 29 Desember 1949. Tahun 1950,
secara resmi Bali meninggalkan perserikatannya dengan Belanda dan secara hukum
menjadi sebuah propinsi dari Republik Indonesia.
Tahun 1965, seiring dengan gagalnya kudeta oleh G30S terhadap pemerintah
nasional di Jakarta, di Bali dan banyak daerah lainnya terjadilah penumpasan terhadap
anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Di Bali, diperkirakan lebih dari
100.000 orang terbunuh atau hilang. Meskipun demikian, kejadian-kejadian di masa awal
Orde Baru tersebut sampai dengan saat ini belum berhasil diungkapkan secara hukum.[5]
Serangan teroris telah terjadi pada 12 Oktober 2002, berupa serangan Bom Bali
2002 di kawasan pariwisata Pantai Kuta, menyebabkan sebanyak 202 orang tewas dan
209 orang lainnya cedera. Serangan Bom Bali 2005 juga terjadi tiga tahun kemudian di
Kuta dan pantai Jimbaran. Kejadian-kejadian tersebut mendapat liputan internasional
yang luas karena sebagian besar korbannya adalah wisatawan asing dan menyebabkan
industri pariwisata Bali menghadapi tantangan berat beberapa tahun terakhir ini.
3. Unsur-unsur budaya
1. Bahasa
Bali sebagian besar menggunakan bahasa Bali dan bahasa Indonesia, sebagian
besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Bahasa Inggris
adalah bahasa ketiga dan bahasa asing utama bagi masyarakat Bali yang
dipengaruhi oleh kebutuhan industri pariwisata. Bahasa Bali di bagi menjadi 2
yaitu, bahasa Aga yaitu bahasa Bali yang pengucapannya lebih kasar, dan bahasa
Bali Mojopahit.yaitu bahasa yang pengucapannya lebih halus.
2. Pengetahuan
Banjar atau bisa disebut sebagai desa adalah suatu bentuk kesatuan-kesatuan
social yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan social tersebut diperkuat
oleh kesatuan adat dan upacara keagamaan. Banjar dikepalahi oleh klian banjar
yang bertugas sebagai menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan
sosial dan keagamaan,tetapi sering kali juga harus memecahkan soal-soal yang
mencakup hukum adat tanah, dan hal-hal yang sifatnya administrasi
pemerintahan.
3. Teknologi
Masyarakat Bali telah mengenal dan berkembang system pengairan yaitu system
subak yang mengatur pengairan dan penanaman di sawah-sawah. Dan mereka
juga sudah mengenal arsitektur yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan
yang menyerupai bangunan Feng Shui. Arsitektur merupakan ungkapan
perlambang komunikatif dan edukatif. Bali juga memiliki senjata tradisional yaitu
salah satunya keris. Selain untuk membela diri, menurut kepercayaan bila keris
pusaka direndam dalam air putih dapat menyembuhkan orang yang terkena
gigitan binatang berbisa.
4. Organisasi sosial
a. Perkawinan
Penarikan garis keturunan dalam masyarakat Bali adalah mengarah pada
patrilineal. System kasta sangat mempengaruhi proses berlangsungnya
suatu perkawinan, karena seorang wanita yang kastanya lebih tinggi kawin
dengan pria yang kastanya lebih rendah tidak dibenarkan karena terjadi
suatu penyimpangan, yaitu akan membuat malu keluarga dan menjatuhkan
gengsi seluruh kasta dari anak wanita.
b. Kekerabatan
c. Kemasyarakatan
6. Religi
Agama yang di anut oleh sebagian orang Bali adalah agama Hindu sekitar 95%,
dari jumlah penduduk Bali, sedangkan sisanya 5% adalah penganut agama Islam,
Kristen, Katholik, Budha, dan Kong Hu Cu. Tujuan hidup ajaran Hindu adalah
untuk mencapai keseimbangan dan kedamaian hidup lahir dan batin.orang Hindu
percaya adanya 1 Tuhan dalam bentuk konsep Trimurti, yaitu wujud Brahmana
(sang pencipta), wujud Wisnu (sang pelindung dan pemelihara), serta wujud Siwa
(sang perusak). Tempat beribadah dibali disebut pura. Tempat-tempat pemujaan
leluhur disebut sangga. Kitab suci agama Hindu adalah weda yang berasal dari
India.
Orang yang meninggal dunia pada orang Hindu diadakan upacara Ngaben yang
dianggap sanggat penting untuk membebaskan arwah orang yang telah meninggal
dunia dari ikatan-ikatan duniawinya menuju surga. Ngaben itu sendiri adalah
upacara pembakaran mayat. Hari raya umat agama hindu adalah Nyepi yang
pelaksanaannya pada perayaan tahun baru saka pada tanggal 1 dari bulan 10
(kedasa), selain itu ada juga hari raya galungan, kuningan, saras wati, tumpek
landep, tumpek uduh, dan siwa ratri.
Pedoman dalam ajaran agama Hindu yakni : (1).tattwa (filsafat agama), (2). Etika
(susila), (3).Upacara (yadnya). Dibali ada 5 macam upacara (panca yadnya), yaitu
(1). Manusia Yadnya yaitu upacara masa kehamilan sampai masa dewasa. (2).
Pitra Yadnya yaitu upacara yang ditujukan kepada roh-roh leluhur. (3).Dewa
Yadnya yaitu upacara yang diadakan di pura / kuil keluarga.(4).Rsi yadnya
yaituupacara dalam rangka pelantikan seorang pendeta. (5). Bhuta yadnya yaitu
upacara untuk roh-roh halus disekitar manusia yang mengganggu manusia.
7. Kesenian
a. Musik
b. Tari
Seni tari Bali pada umumnya dapat dikatagorikan menjadi tiga kelompok,
yaitu wali atau seni tari pertunjukan sakral, bebali atau seni tari
pertunjukan untuk upacara dan juga untuk pengunjung dan balih-balihan
atau seni tari untuk hiburan pengunjung.[7]
Pakar seni tari Bali I Made Bandem[8] pada awal tahun 1980-an pernah
menggolongkan tari-tarian Bali tersebut; antara lain yang tergolong ke
dalam wali misalnya Berutuk, Sang Hyang Dedari, Rejang dan Baris
Gede, bebali antara lain ialah Gambuh, Topeng Pajegan dan Wayang
Wong, sedangkan balih-balihan antara lain ialah Legong, Parwa, Arja,
Prembon dan Joged serta berbagai koreografi tari modern lainnya.
Salah satu tarian yang sangat populer bagi para wisatawan ialah Tari
Kecak. Sekitar tahun 1930-an, Wayan Limbak bekerja sama dengan
pelukis Jerman Walter Spies menciptakan tari ini berdasarkan tradisi
Sanghyang dan bagian-bagian kisah Ramayana. Wayan Limbak
memopulerkan tari ini saat berkeliling dunia bersama rombongan penari
Bali-nya.
Tarian wali
Tarian bebali
a) Tari Topeng
b) Gambuh
Tarian balih-balihan
a) Tari Legong
b) Arja
c) Joged Bumbung
d) Drama Gong
e) Barong
f) Tari Pendet
g) Tari Kecak
h) Calon Arang
8. Pakaian daerah
a) Gelung (sanggul)
b) Sesenteng (kemben songket)
c) Kain wastra
d) Sabuk prada (stagen), membelit pinggul dan dada
e) Selendang songket bahu ke bawah
f) Kain tapih atau sinjang, di sebelah dalam
g) Beragam ornamen perhiasan
9. Makanan
10. Senjata
a) Keris c) Tiuk
b) Tombak d) Taji
e) Kandik m) Garot
f) Caluk n) Tulud
g) Arit o) Kis-Kis
h) Udud p) Anggapan
i) Gelewang q) Berang
j) Trisula r) Blakas
k) Panah s) Pengiris
l) Penampad
Rumah Bali yang sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali (bagian Weda yang
mengatur tata letak ruangan dan bangunan, layaknya Feng Shui dalam Budaya
China)
Menurut filosofi masyarakat Bali, kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila
terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan, palemahan dan
parahyangan. Untuk itu pembangunan sebuah rumah harus meliputi aspek-aspek
tersebut atau yang biasa disebut Tri Hita Karana. Pawongan merupakan para
penghuni rumah. Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik antara
penghuni rumah dan lingkungannya.
Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi
hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ragam hias tersebut
mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbol-simbol dan
penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis fauna juga
berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung.
II. Salah satu unsur kebudayaan bali yang berpengaruh terhadap kesehatan
Lawar adalah sejenis lauk pauk yang dibuat dari campuran daging atau ikan dengan sayur
mayur dan bambu (Panji, 1985). Lawar ini sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat Hindu di
Bali, karena disamping sebagai lauk pauk, lawar menjadi salah satu sarana dalam melaksanakan
upacara adat maupu keagamaan di Bali seperti upacara pernikahan, kematian dan upacara
ditempat-tempat suci (Pura).
Bagi masyarakat Hindu di Bali makan lawar tidak hanya berfungsi gastronomic yaitu
lawar sebagai makanan tidak hanya untuk menghilangkan rasa lapar atau untuk
memenuhi kebutuhan perut besar (gaster) yang kosong, tetapi juga berfungsi social 2
antara lain berfungsi sebagai alat komunikasi, berfungsi relegius dan menunjukkan
identitas budaya.
Fungsi sebagai alat komunikasi, lawar bersama dengan jenis makanan lainnya seperti
nasi diberikan kepada orang lain dan tidak terbatas pada hanya keluarga dekat, tetapi
kepada semua orang yang dianggap telah memberikan bantuan baik moril maupun
material pada saat dilaksanakan suatu upacara tertentu. Lawar yang diberikan kepada
orang lain tersebut dikenal dengan nama jotan sebagai ungkapan rasa terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantunya. Disamping itu jotan juga berfungsi
sebagai tanda atau permakluman kepada orang lain bahwa orang yang mengirim lawar
tersebut sedang atau akan melaksanakan upacara tertentu misal upacara pernikahan
ada dikenal nasi rongan (beberapa unsurnya adalah lawar, sate dan nasi). Nasi rongan
ini biasanya diberikan oleh pihak keluarga mempelai laki-laki kepada keluarga
mempelai perempuan, kemudian nasi rongan tersebut oleh keluarga pihak mempelai
perempuan dibagi-bagi tanpa memperhatikan jumlah besar pembagiannya. Tiap bagian
nasi rongan tersebut selanjutnya diberikan kepada seluruh keluarga mempelai
perempuan yang maknanya adalah sebagai pemberitahuan bahwa akan dilaksanakan
upacara mepamit di keluarga perempuan.
Fungsi religius dari lawar sangat menonjol di daerah Bali yaitu lawar digunakan
sebagai salah satu sarana dalam membuat sesaji. Sesaji itu sendiri adalah simbol untuk
menyatakan rasa syukur, bhakti serta terima kasih kehadapan Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan kehidupan di dunia ini. Dalam kaitan dengan fungsi inilah
lawar tidak pernah absen dalam suatu upacara baik adat maupun keagamaan
khususnya agama Hindu di Bali.
Dari jenis makanan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang, orang lain
dapat mengetahui dari budaya mana orang tersebut berasal. Masyarakat Hindu di Bali
sejak dulu sampai sekarang tetap membuat lawar dan menyukai lawar. Oleh karena itu
lawar dapat dipakai sebagai identitas budaya bagi masyarakat Hindu di Bali.
Bahan penyusun lawar seperti daging, sayur, kelapa dan darah mempunyai
potensi sebagai zat gizi. Daging merupakan sumber protein hewani yang
penting, sedangkan sayuran yang dipakai seperti kacan panjang (Vigna
sinensis, L.), merupakan sumber protein nabati, vitamin dan mineral, pepaya
(Carica pepaya, L ) dan buah nangka (Artocarpus integra, L) merupakan
sumber vitamin dan mineral. Menyimak hasil analisis terhadap lawar yang
dijual di Kodya Denpasar dari 18 pedagang lawar sapi yang dilaporkan oleh
Yusa (1996) diketahui bahwa lawar sapi (lawar putih dan lawar merah)
mengandung protein berkisar antara 8,48 – 11,14 %, lemak 17,98 – 18,54 %
dan karbohidrat 3,94 – 6,61 % dengan kandungan air lawar yang cukup tinggi
yaitu sekitar 65,21 – 65,63 %. Disamping mengandung zat gizi utama seperti
tersebut di atas lawar juga mengandung vitamin B1, vitamin B2, vitamin C dan
mineral kalsium (Ca), besi (Fe) dan fosfor (P)
Lebih lanjut berdasarkan hasil survai dan analisis yang dilaporkan oleh Suter,
et al., (1997 a) terhadap konsumen lawar dan pedagang lawar babi di tiga kota
di Bali yaitu Tabanan, Denpasar dan Gianyar ternyata sebanyak 80 % dari
konsumen lawar mengatakan jenis lawar yang paling banyak dibeli adalah
lawar babi dibanding dengan tiga jenis lawar lainnya yaitu lawar penyu, lawar
sapi dan lawar ayam. Kandungan zat gizi dari lawar babi yang dijual di kota
madya Denpasar, Gianyar dan Tabanan dapat dilihat pada Tabel 2.
Berdasarkan pada Tabel 2 tampak bahwa kandungan zat gizi lawar ternyata
sangat bervariasi antara pedagang di kota Denpasar, Gianyar dan Tabanan.
Kadar protein berkisar antara 1,14 – 5,74 %, lemak 3,69 – 13,87 % dan
karbohidrat 5,12 – 11,97 %. Perbedaan komposisi zat gizi dari lawar sangat
tergantung pada bahan bakunya, terutama jenis dan jumlah daging maupun
sayuran yang digunakan.
Tabel 2. Kandungan zat gizi lawar babi yang dijual di warung/rumah makan
(Suter, et al., 1997 a)
Mengenai pengaruh jenis sayuran (buah nangka, kacang panjang dan campuran
buah nangka dan kacang panjang) sebagai bahan baku lawar terhadap
kandungan zat gizi lawar babi dapat dilihat pada Tabel 3. Lawar yang
menggunakan sayur kacang panjang secara nyata kadar proteinnya lebih tinggi
bila dibandingkan dengan lawar yang menggunakan buah nangka saja. Hal ini
disebabkan karena kandungan protein dari kacang panjang 2,7 % lebih tinggi
daripada kandungan protein buah nangka sebesar 2,0 %. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut di atas maka penggunaan kacang panjang sebagai bahan
lawar lebih baik dibandingkan dengan nangka, bila dilihat dari kandungan
proteinnya.
Tabel 3. Komposisi zat gizi lawar babi yang dibuat dari berbagai jenis sayuran
(Suter, et al., 1997 b)
Lawar nangka mengandung energi dan zat gizi untuk setiap 100 g adalah
sebagai berikut : energi 105,45 kkal, karbohidrat, 7,01 g, protein 2,09 g dan
lemak 7,67 g. (Suter, et al., 1999)
• Khasiat lawar
3. Aspek keamanan
Keamanan lawar terutama bila dilihat dari aspek mikrobiologisnya, sangat tergantung
pada sanitasi (kebersihan) dari bahan baku air yang digunakan, peralatan, cara
pengolahan, tempat dan lingkungan serta higiene (kesehatan) daging yang digunakan
dan kesehatan pengolah lawar sendiri. Pengolahan lawar khususnya yang dilakukan
secara kolektif oleh masyarakat pada saat upacara adat kurang memperhatikan
kebersihan dari bahah–bahan dan peralatan yang digunakan. Berbeda dengan
pengolahan lawar yang dilakukan oleh perorangan di tingkat rumah tangga (keluarga).
Masalah kebersihan telah mendapat perhatian yang lebih baik sesuai dengan
pengetahuan yang dimilikinya yang berkaitan dengan kesehatan.
Sebagai gambaran tentang keamanan lawar yang dijual Di Kodya Denpasar seperti
dilaporkan oleh Yusa (1996) bahwa lawar putih (tanpa penambahan darah segar)
dengan menggunakan daging sapi dan menggunakan air sumur, sebanyak 78 % contoh
lawar (ada 9 contoh lawar) kandungan total mikrobanya sebanyak 9,03 x 106 koloni/g
yaitu lebih tinggi dari kandungan total mikroba pangan segar sebanyak 106 koloni/g,
sedangkan lawar merah mengandung rata-rata 8,89 x 106 koloni/g. Disamping itu baik
lawar merah ataupun lawar putih ternyata tercemar oleh bakteri Escherichia coli.
Kondisi tersebut terjadi satu jam setelah lawar dicampur atau diolah. Hal yang sama
juga dilaporkan oleh Suter, et al., (1997 a) bahwa dari enam contoh lawar babi yang
dibeli di kota Gianyar, Tabanan dan Denpasar, ternyata sebanyak 66,67 % dari contoh
lawar total mikrobanya melebihi 106 koloni/g dan 50 % dari contoh lawar
terkontaminasi E.coli dan tidak ada terkontaminasi oleh Salmonella. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilaporkan oleh Arihantana (1993), ternyata E.coli yang ada pada
lawar bersumber dari daging mentah. Bahan lawar lainnya seperti kulit dan sayuran
yang digunakan ternyata mengandung E.coli, yang berasal dari talenan bekas
mencincang daging mentah.
Dari kasus-kasus atau laporan tersebut di atas diketahuilah bahwa lawar merupakan
jenis lauk pauk yang peka terhadap kerusakan oleh mikroba yaitu dalam waktu satu
jam setelah diolah bisa menjadi rusak/busuk.. Disamping itu dengan adanya E.coli
pada lawar maka lawar menjadi tidak aman untuk dikonsumsi karena E.coli tersebut
dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti diare.
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas yaitu di satu sisi lawar telah menjadi budaya
dari masyarakat Bali yang sulit dihilangkan karena disamping mengandung zat gizi
yang cukup, lawar juga mempunyai fungsi sosial dan menjadi sarana dalam
upacaraupacara adat dan keagamaan. Disisi lainnya lawar sangat peka terhadap
kerusakan oleh mikroba dan kadang-kadang berbahaya bagi kesehatan manusia yang
mengkonsumsinya, sekalipun sampai saat ini laporan orang yang meninggal dunia
akibat mengkonsumsi lawar tidak ada. Oleh karena itu upaya peningkatan keamanan
lawar perlu terus dilakukan agar lawar menjadi makanan yang aman, bergizi dan
disukai tidak hanya oleh masyarakat Bali tetapi juga masyarakat Indonesia bahkan
masyarakat Internasional.
Upaya perbaikan mutu gizi dan keamanan lawar belum banyak dilakukan namun
perhatian untuk itu telah ada. Sebagai contoh seperti dilaporkan oleh Sukardika dan
Aryanta (1993) mutu lawar masih baik dilihat dari aspek mikrobiologisnya dan dapat
dipertahankan sampai 48 jam (2 hari) dengan cara menyimpan lawar pada suhu 5oC
dengan kandungan total mikroba 103,8 koloni/g, sedangkan lawar yang disimpan pada
suhu 30oC mengandung total mikroba sebanyak 109,7 koloni/g (tidak layak
dikonsumsi) setelah disimpan 48 jam. Keamanan lawar dapat ditingkatkan melalui
peningkatan kebersihan peralatan dan kebersihan bahan baku yang digunakan terutama
daging dan darah seperti yang dilaporkan oleh Suter, et al., (1997 b). Lawar yang
dibuat baik dengan menambahkan darah segar maupun tanpa penambahan darah segar
dengan menggunakan daging mentah atau daging direbus 15 menit atau daging yang
diseduh dengan air mendidih ternyata kandungan total mikrobanya lebih kecil dari 106
koloni/g yaitu sekitar 2,33 x 104 koloni/g sampai 13,6 x 104 koloni/g. Disamping itu
ternyata dengan menyeduh daging babi dengan air mendidih dan tanpa menggunakan
darah segar kandungan E.coli dari lawar yang dihasilkan lebih rendah (3,00 koloni/g)
daripada kandungan E.coli lawar yang dibuat dengan daging babi mentah dan
ditambahkan dengan darah segar yaitu sebesar 29,67 koloni/g. Selanjutnya menurut
Lestari, et al., (1988) pada lawar sapi yang diolah dengan cara darah diseduh dengan
air pada suhu 100oC selama 5 menit, total mikroba lawar dapat diturunkan dari 3,4 x
106 koloni/g menjadi 2,1 x 106 koloni/g, demikian pula bila dagingnya dipepes selama
10 menit (setengah matang) atau daging dikukus pada suhu 100oC selama 3 menit
secara nyata dapat menurunkan total mikroba lawar.
Penurunan total mikroba , total coliform serta total E.coli pada lawar ayam dapat juga
dilakukan dengan penambahan bawang putih baik yang dibakar maupun tidak dibakar
pada cincangan daging atau dengan penyeduhan cincangan daging dengan air suhu
80oC selama 10 menit, tanpa menurunkan kandungan zat gizi lawar ayam. Bawang
putih dibakar selama 5 menit pada suhu 70oC dan ditambahkan pada cincangan daging
ayam sebanyak 10 % (Putra, 1988).
Dari hasil-hasil penelitian tersebut di atas keamanan lawar dapat ditingkatkan melalui
penanganan lawar setelah diolah yaitu dengan cara disimpan pada suhu 5oC, dan
dengan perbaikan cara pengolahan antara lain dengan menyeduh daging dengan air
mendidih atau direbus dalam air mendidh, dikukus, dipepes dan dengan penambahan
bawang putih pada cincangan daging. Dihindari penggunaan daging dan darah mentah,
serta peralatan yang digunakan dijaga tetap bersih.
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/319716.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Bali
http://de-kill.blogspot.com/2009/04/sekilas-budaya-bali.html