Anda di halaman 1dari 7

PERKARA CHARLES DARWIN

Pelayaran Beagle terjadi antara tahun 1830-1836, tetapi bukunya The Origin of Species baru
diterbitkan duapuluh tahun kemudian. Karena penemuan-penemuan nya, maka Darwin kemudian
memusatkan pikirannya untuk mencari pemecahan persoalan yang timbul dari pengamatannya.
Pada talmn 1838 ia membaca An Essay on the Principle of Population karyaTh. Malthus yang
ditulis pada tahun 1798.
Pada tahun 1842, Darwin pindah ke suatu rumah di Downe di kabupaten Kent. la tidak
meninggalkan rumahnya, berpikir-pikir terus, menulis esei-esei persiapan untuk bukunya The Origin
of Species. Pada tahun 1858, ia telah mengarang sebelas bab suatu buku atas dorongan
sahabatnya Charles Lyell dan Joseph Dalton Hooker, yang pada waktu itu menjabat direktur Kebun
Raya di kota Kew. Pada bulan Juni tahun itu, melalui pos, ia menerima suatu salinan karangan seorang
penyelidik alam yang muda dan bernama Alfred Russel Wallace yang telah bekerja di Malaya dan
Indonesia. la telah mengumpulkan unsur-unsur pokok suatu teori pilihan alam dan bermaksud
meminta pertimbangan dari sesama penyelidik mengenai pantas tidaknya karangan itu
disebarluaskan.
Darwin sangat terkejut dan mempertimbangkan apakah sebaiknya ia menyebarluaskan
pandanganya sendiri juga, setelah "bom" itu dijatuhkan, Syukurlah, baik Lyell maupun Hooker
cepat bertindak dan mengatur penyajian karangan Darwin itu kepada Linnean Society
bersamaan dengan karya Wallace. Hasilnya sangat rnenakjubkan: kedua karangan tersebut
diterima tanpa reaksi apa pun.
Kini Darwin terdorong untuk mempersiapkan suatu buku dari bahan-bahan yang telah ditulisnya.
Penerbitnya memperpendek judul buku itu menjadi The Origin of Species dan diterbitkan pada
tahun 1859. Terbitan pertama habis terjual dalam dua belas jam. Sejak saat itu percaturan
umum menyakitkan telinga Darwin, sebagaimana terjadi mengenai teori Lyell beberapa tahun
sebelumnya. Majalah The Quarterly Review menuduh Darwin menolak hubungan antara ciptaan
dengan Penciptanya sebagaimana diwahyukan! Orang-orang lain mencaci maki, menghina dan
menjatuhkan nama Darwin. Majalah Athenaeum menuduh, bahwa ia menganjurkan anggapan
bahwa manusia berasal dari kera, sebagai suatu kepercayaan, sekalipun sampai saat itu
Darwin sedikit sekali menyangkutpautkan manusia dalam uraiannya mengenai pilihan alam.
Pertengkaran ini berlangsung terus sepanjang tahun berikutnya dan mencapai puncaknya, ketika
"British Association for the Advancement of Science" bersidang di kota Oxford pada bulan Juni 1860.
Darwin sendiri tidak hadir dalam pertemuan itu dan sama sekali menolak perdebatan yang timbul
karena karyanya. Dalam bukunya, ia berusaha 'menghindarkan perselisihan teologis dan ia baru
menggunakan perkataan "Allah" dan "Pencipta" dalam bab terakhir, untuk mencoba mempertemukan
teorinya dengan agama: "Pandangan mengenai hidup ini sangat mulia: kekuatan hidup yang
beraneka itu telah dimasukkan sejak permulaan ke dalam beberapa bentuk atau bahkan ke dalam
salah satu bentuk saja oleh Sang Pencipta.
Para pengikut Uskup Wilberforce mulai menyerang teori evolusi sebagai sesuatu yang
bertentangan dengan Kitab Suci, Wahyu ilahi dan kewibawaan Gereja. Tetapi pendeta-pendeta
yang berpandangan lebih luas membedakan antara teori ilmiah dan pernyatan teologis..Mereka
menerima kesimpulan-kesimpulan ilmiah dari Darwin.
Pandangan Darwin mengenai evolusi manusia, termaktub dalam karyanya yang kedua, yakni The
Descent of Man, and Selection in Relation to Sex (1871). Buku ini langsung menentang ajaran
Kristen mengenai manusia sebagai makhluk yang unik seperti dimengerti pada masa itu. Gagasan
bahwa homo sapiens berasal dari bentuk kehidupan yang lebih rendah, bagi lawan-lawan Darwin
merupakan sangkalan akan kepercayaan bahwa manusia adalah anak Allah yang telah jatuh dari
keadaan yang sempurna dan bahwa manusia pada dasarnya berbeda dari binatang. Kali ini
ajaran agama dan kewibawaan Kitab Sucilah yang dirasa terancam. Makan waktu bertahun-tahun
bagi para teolog untuk mennyadari, bahwa mythe kuno mengandung macam kebenaran yang
berbeda daripada kebenaran yang dinyatakan oleh suatu teori ilmiah; bahwa manusia adalah
makhluk yang unik sekali pun ia telah mengalami proses pilihan alam yang lama; dan bahwa
kewibawaan Kitab Suci tidak boleh diperluas untuk menolak kenyataan dan tafsiran yang masuk
akal dari suatu penyelidikan ilmiah. Makan waktu yang lebih lama lagi untuk menyadarkan
beberapa ahli ilmu pengetahuan, bahwa di samping laboratorium masih ada bentuk-bentuk
kewibawaan lain dalam kehidupan manusiawi.
Teori Darwin menolak kisala "hari-hari" penciptaan (seperti tertulis dalam dua uraian tersendiri
dalam Kitab Kejadian). Sejak saat itu teori tersebut menyakitkan hati orang-orang yang mau
menerima Kitab Suci sebagai kewibawaan yang menyeluruh bagi setiap macam kebenaran.
Teori Darwin juga menentang pembuktian tentang adanya Allah yang diambil dari keteraturan
tata susunan alam. Sejak terbitnya buku Wisdom of God in the Works of Creation, karya John
Ray (1691), argumen tersebut didasarkan pada penilitian mendetail mengenai organ-organ serta
makhluk hidup dan cocoknya mereka dengan lingkungan dalam mana makhluk-makhluk
tersebut hidup Sebab, dengan menamakan kecocokan ini sebagai salah satu akibat pilihan
alam, Darwin telah menunjukan hubungan pengaruh timbal-balik antara organisme dan
lingkungan. Maka tidak mungkin lagi menggunakan kecocokan antara organisme dan lingkungan alam
sebagai bukti adanya Pencipta Yang mengatur semuanya ini dengan bijaksana.
Charles Darwin, seorang yang ramah, sabar dan terpencil dari percaturan dalam pengasingan diri
di Kent, telah mengajukan tiga pertanyaan besar dalam perdebatan yang terjadi antara ilmu
pengetahuan dan agama dan sejak itu berlangsung terus. Bagaimana hakikat kebenaran ilmu
pengetahuan maupun kebenaran agama? Apakah hubungan wajar antara keduanya? Bukti macam
apakah yang dapat dikemukakan mengenai adanya Penyelenggaraan Ilahi Yang Baik?
PERSOALAN KEHIDUPAN
Filsafat alam Rene Descartes menempatkan hewan tumbuh-tumbuhan, bahkan juga tubuh manusia
dalam alam mekanistis. Hanya daya pikir yang tidak tunduk pada hukum-hukum mekanika. Tidak
terdapat perbedaan hakiki antara makhluk-makhluk bernyawa dan benda-benda tak bernyawa, kecuali
akal budi manusia.
Beberapa orang bersedia menerima penyamarataan yang meluas ini. Tetapi orang-orang lain kaum
vitalis menganggap, bahwa makhluk-makhluk hidup mempunyai sesuatu yang tidak dimiliki benda-
benda mati.
John Hunter (1728-1804) dan Joseph Priestly (1733-1804) adalah ahli-ahli eksperimen zamanitu
dan juga penganut aliran vitalisme . Sampai masa kita ini sejumlah ahli ilmu hayat menganut
pandangan vitalisme yang telah disempurnakan. Mereka berpegang teguh bahwa ada kenyataan
yang tidak dapat diuraikan lagi yang dimiliki oleh seluruh organisme atau tumbuh-tumbuhan, tetapi
tidak terdapat dalam bentuk tak bernyawa
Sekarang ini, perbedaan antara seorang penganut aliran vitalisme dan seorang yang tidak
menganutnya berpusat pada pemakaian bahasa yang mengandung arti tujuan, yaitu istilah-istilah
yang menunjukkan kegiatan terarah dari organisme. Misalnya, seorang vitalis mungkin berbicara
mengenai belut-belut yang mencoba berenang ke daerah sarang-sarang telur mereka di lautan
ganggang. Seorang yang tidak menganut vitalisme lebih suka menggambarkan tingkah-laku belut
sebagai jawaban atas dorongan-dorongan tertentu yang dihubungkan dengan air hangat dari Arus
Teluk di Lautan Atlantik
Jadi, apa sebenamya kehidupan itu? Perkataan ini dipergunakan dalam arti yang luas dan dengan
arti emosional yang kuat. Tetapi apakah dapat dikatakan penggunaan kata "hidup" di dalam
lingkungan ilmu hayat bercorak tetap dan jelas? Apa akibat-akibatnya kalau rumusan semacam ini
dipergunakan dalam bidang lain, khususnya dalam bahasa keagamaan?
Masalah yang timbul dari keterangan-keterangan lama dari aliran mekanis, vitalis atau dari para
penganut pandangan Goethe, yang lebih menyukai istilah-istilah organis, merupakan masalah-
masalah juga bagi mereka yang menaruh minat akan penggunaan keagamaan perkataan itu.
Mengatakan bahwa kehidupan adalah pemberian Allah kepada ciptaannya nampak bertentangan
dengan pernyataan, bahwa kehidupan adalah suatu sistem mekanis, atau kekuatan alamiah dalam
benda-benda tertentu atau milik organisme-organisme yang utuh. Pada masa yang lampau terlalu
mudah terjadi perdamaian antara pengertian kehidupan dalam arti keagamaan dan pengertian
vitalisme. Bilamana satu keterangan yang katanya bersifat ilmiah dapat diperdamaikan dengan arti
keagamaan, maka semua keterangan ilmiah yang lain pun dapat juga, termasuk keterangan
mekanistis atau physiko-kimia. Pra-syarat bagi perdamaian semacam itu adalah pengakuan, bahwa
penggunaan perkataan "kehidupan" dalam arti keagamaan bersifat analog. Perdamaian dapat
terjadi bilamana pihak ilmu pengetahuan mengakui, bahwa penggunaan analog ini adalah sah dan
bahwa tafsiran-tafsiran lain adalah mungkin juga. Tidak banyak orang bersikeras secara ekstrim
untuk langsung menyangkal kemungkinan penggunaan analog. Ternyata semua ilmu menggunakan
banyak model dan analogi. Persoalan yang sesungguhnya pada masa ini ialah, apakah kita dapat
menerima keterangan ilmiah sebagai keterangan terakhir, pasti dan tak berubah yang dapat
dijadikan norma, sehingga segala keterangan lain termasuk nomor dua, tidak mendalam dan tidak
masuk akal. Dalam hal inilah tuntutan-tuntutan semua agama bertentangan dengan pendapat-
pendapat banyak ahil pengetahuan.
Menurut pengertian Kristiani "kehidupan" merupakan pemberian dan wahyu Allah. Hal ini
didasarkan pada pandangan Kitab Suci dan dikuatkan oleh pengalaman umat beriman yang
terus-menerus mengenai hal itu. Menurut pandangan Kristen, makhluk-makhluk hidup tidak
terpisah secara mutlak dari benda-benda mati, dilihat dari segi penciptaan. Hal ini tidak hanya
dijelaskan dalam Kitab kejadian dan oleh penjelmaan Allah putra, ini pun merupakan salah satu
pokok ajaran S. paulus dalarn bab kedelapan suratnya kepada orang romawi. Dalam Surat itu,
pengharapan akan perubahan bentuk seluruh dunia ciptaan dihubungkan dengan pengharapan
manusia sebagai hasil Kebangkitan Kristus dan pencurahan RohNya. Bila perkataan "kehidupan"
diterapkan pada manusia, maka hal itu berarti, bahwa manusia menerima diri Sebagai sesuatu
yang harus dipertanggungjawabkan terhadap Allah. Dalam batas tertentu manusia mengambil
bagian dalam kebebasan, cinta kasih dan daya cinta ilahi. “Persamaan" dengan Allah atau diciptakan
se”citra" dengan-Nya, merupakan dasar pengharapan bahwa manusia boleh sepenuhnya mengambi
bagian dalam "kehldupan" Allah, Hal mana kadang-kadang dikaitkan dengan istilah surga atau
kehidupan kekal. Pengharapan itu dikukuhkan oleh para Nabi dan oleh Kristus sendiri. Dalam
Kitab Suci terdapat bermacam-macam penggunaan kata ini yang kadang-kadang bersifat puitis.
Maka tidak mengherankan, bila beberapa orang menganggap sukar menyesuaikan arti perkataan
"kehidupan" ini pada penggunaan yang lebih sistematis dalam ilmu pengetahuan.
Baru-baru ini, penyelidikan bio-kimia dan penyelidikan behavioris perihal makhluk-makhluk yang
hidup, telah menimbulkan kekhawatiran dan kesalah pahaman. Sekalipun demikian, satu-satunya
kesukaran dasar timbul, bila ahli ilmu pengetahuan atau orang beriman menuntut monopoli
kebenaran yang eksklusif bagi pandangannya sendiri, atau bagi pengguna itu menurut
pengertiannya sendiri. Dapatkah sikap eksklusif itu dibenarkan?

KODRAT MANUSIA

Diskusi yang diuraikan di atas ini secara logis menuju ke arah pertimbangan mengenai pemikiran ilmiah
tentang kodrat manusia. Pengaruh pemikiran ini memasgulkan dalam dua bidang: 1° dalam
penggambaran fungsi-fungsi otak serta pertalian fungsi ini dengan pengertian, akal-budi dan kehendak
bebas; 2° dalam ilmu jiwa dengan keterangan-keterangannya yang katanya lengkap dan
deterministis mengenai kehidupan batin manusia.
Dalam puluhan tahun terakhir, struktur anatomis manusia diselidiki dengan sangat mendalam,
dan fungsi psikologis sel-sel otak dan bagian-bagian otak yang tertentu telah dipelajari. Proses-proses
elektro-kimia dengan mana sel-sel urat saraf meneruskan "pesan" kepada dan dari otak, telah lama
diselidiki dari sudut kimiawi dan phisika. Sarana-sarana yang digunakan oleh otak untuk
menyimpan kesan-kesan dan untuk mempelajari jawaban-jawaban semacam itu, dengan giat diselidiki.
Hubungan antara akal budi dan otak senantiasa merupakan bahasan diskusi dalam filsafat. Telah kita ketahui
pengaruh pandangan Descartes mengenai dualisme antara akalbudi dan badan (termasuk otak).
Dualisme itu menyebabkan banyak orang sesudah itu percaya, bahwa kegiatan-kegiatan pikiran dan
jasmani sama sekali berlainan. Hal ini menimbulkan persoalan: bagaimana ketergantungan timbal-balik
anatara badan dan pikiran? Mengapa proses pemikirari menjadi lambat, apabila kadar gula dalam darah
saya rendah? Apa hubungan antara rasa sakit yang dirasakan di dalam otak saya dengan jarum yang
menusuk kulit saya? Bagairnana buah pikiran dapat menampakkan diri dalam tindakan jasmani?
Prof. Gilbert Ryle baru-baru ini mengemukakan bahwa sebenarnya buah-buah pikiran adalah
pernyataan tentang kecenderungan untuk bertingkah-laku secara tertentu. Bila kita mengamati pola
tingkah-laku seseorang ketika dia mengatakan bahwa ia sedang berpikir demikian, membina
pandangan kita bahwa orang selalu berbuat demikian kalau mereka berbicara demikian (generalization). Maka
buah-buah pikiran merupakan kebiasaan-kebiasaan praktis, semacam stenografl yang dipergunakan orang untuk
menyatakan apa yang hendak diperbuatnya.
Bidang lain yang menimbulkan kekhawatiran dan percaturan adalah ilmu jiwa. Bagi banyak orang
beribadat, pengetahuan psykologis dianggap sebagai hal yang berbahaya, bagaikan perong-rong
iman dan agama. Di masa lampau kekhawatiran ini memang beralasan. Sigmund Freud (1856-
1939) menulis: "Agama merupakan usaha mengontrol alam indera, tempat kita hidup, dengan
menciptakan suatu alam keinginan, yang telah kita perkembangkan di dalam batin kita sebagai
akibat dari kebutuhan-kebutuhan biologis dan psikologis." (Future of an Illusion). Di lain tempat ia
berkata: "Agama adalah penyakit saraf (neurosis) umum yang selalu mengganggu pikiran umat
manusia." (Gesammelte Werke, XXI).
Ilmu jiwa sesudah Freud banyak menolak sikap anti-agama dari Freud sendiri. Dalam analisanya,
khususnya Carl Jung telah menekankan pentingnya gagasan keagamaan dan penerimaan Allah sebagai
suatu "fakta psikologis". Aliran lain dari studi ilmu jiwa, yaitu aliran behaviorisme, telah mengambil
sikap. netral mengenai adanya Allah. Aliran ini berusaha menyelidiki fakta-fakta yang dapat
diamati mengenai tingkah-laku ( behaviour, Inggr.) manusia, menghubungkan tingkah-laku itu dengan
gagasan khas dan menerangkannya dengan bermacam-macam teori. Dalam usaha seperti ini tak
ada suatu pun yang dapat diperbuat selain mengakui adanya pola tingkah-laku keagamaan di
antara tingkahlaku-tingakahlaku lain dan menunjukkan beberapa faktor yang membentuknya. Ada
orang-orang di antara kaum behavioris yang beranggapan bahwa pada prinsipnya keterangan-ketera-
ngan semacam itu boleh dianggap sebagai keterangan yang pasti dan lengkap tentang gejala itu.
Sama halnya dengan beberapa ahli analis phisika-kirnia yang dengan tegas menyatakan, bahwa
akalbudi manusia akhirnya hanya dapat dimengerti dengan istilah-istilah ilmu alam.
Sekali lagi, persoalannya jelas: Apakah penafsiran-penafsiran lain dapat mempunyai kewibawaan yang
sama? Dan pada akhirnya, pengertian manakah yang terpenting? Sementara itu kemajuan ilmu
jiwa modern menimbulkan persoalan-persoalan lebih lanjut: Dapatkah ilmu jiwa menerangkan kepada
kita, bagaimana ide mengenai Allah berkembang? Bagaimana agama membentuk kehidupan kita?
Apakah pengaruh pengalaman atas pengertian keagamaan? Pengalaman macam apakah yang
harus dipandang sebagai pengalaman keagamaan? Bagaimana pengalaman bisa dilihat dari sudut
keagamaan?

Anda mungkin juga menyukai