Anda di halaman 1dari 3

Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya,

maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya4 dengan dalil sabda Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ُّ ‫فَال‬
ُ‫س ْلطَانُ َولِ ُّي َمنْ الَ َولِ َّي لَه‬
“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu

Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)

Syarat-syarat Wali

Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali:

1. Laki-laki

2. Berakal

3. Beragama Islam

4. Baligh

5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

sallam bersabda:

“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan

tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)

Sebagian fuqaha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah memiliki ‘adalah

yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan dosa-dosa besar seperti

mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya. Di

samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan

perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pensyaratan ‘adalah ini merupakan salah satu dari

dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab

Syafi’iyyah.
Adapun Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya sebagai

wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani terang-terangan berbuat

dosa.

Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang fasik tidak hilang haknya

sebagai wali. Adapun ‘adalah hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua

wali yang sama derajatnya, yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki ‘adalah, seperti

seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki, satunya

fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang dikedepankan adalah yang memiliki ‘adalah.

(Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj secara ringkas, hal. 68-70)

Siapakah Wali dalam Pernikahan?

Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya.

Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan

selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari

kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan

si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga

ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah3, saudara laki-

laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya.

Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara perempuan ibu (paman/khal), saudara laki-laki

seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan, karena mereka bukan ‘ashabah tapi dari

kalangan dzawil arham. (Fathul Bari, 9/235, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl La Wilayata

lighairil ‘Ashabat minal Aqarib)

Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita adalah ayahnya,

kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya
kakek, dst.) Setelah itu, anak laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus

ke bawah. Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja.

Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah.

Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus ke

bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah). Setelahnya adalah

maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang paling dekat ‘ashabah-

nya dengan si maula. Setelah itu barulah sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah

Wa Ahaqqun Nas bin Binikahil Hurrah Abuha, dan seterusnya). Wallahu ta’ala a’lam bish-

shawab.

Anda mungkin juga menyukai