Anda di halaman 1dari 3

APBD PROVINSI JAWA TIMUR:

SUDAHKAH PRO POOR?


Oleh : Soebagyo, SE

1. Pengantar,
APBD tahun 2006 pemerintah provinsi Jawa Timur telah selesai
disusun dan disetujui oleh DPRD Provinsi. Namun dikhabarkan
masih dalam proses untuk mendapatkan persetujuan dari
Departemen Dalam Negeri RI, sebelum dapat dilaksanakan.
Dilihat dari kerangka waktu, seharusnya APBD tersebut sudah
dapat di implementasikan sejak tanggal 2 Januari 2006, sesuai
dengan bunyi pasal 179 Undang-Undang 32/2004. Proses
(keputusan) birokrasi pemerintah pusat sangat menghambat
pelaksanaan implementasi APBD ini.

2. Filosofi APBD 2006,


Sebagaimana pernah dinyatakan oleh Bpk. Gubernur, bahwa
filosofi APBD tahun 2006, berbeda dengan APBD periode-
periode sebelumnya. Walaupun Undang-Undang 32/2004
mengamanatkan tugas pemerintah daerah sebagaimana dalam
pasal 13 (layanan publik dan fasilitasi, 16 jenis), namun tidak
terdapat aturan spesifik yang mengatur arah pembelanjaan
APBD. Pemerintah provinsi diberikan kelonggaran menentukan
arah pembelanjaan (local government spending) untuk sesuatu
tujuan tertentu yang dipandang sebagai suatu prioritas dan
mempunyai efek multiplier dengan tujuan akhir pemberdayaan
kehidupan rakyat.
Sejak kenaikan harga BBM tanggal 1 Oktober 2005, telah
terjadi tekanan ekonomi (economic shock) berat dan menjadi
beban seluruh elemen masyarakat, sebagai individu, rumah
tangga perseorangan (households) dan dunia usaha (business).
Walaupun keputusan menaikkan harga BBM dilakukan oleh
pemeritah pusat atas dasar keberlangsungan fiskal (fiscal
sustainability), tetapi tekanan ekonomi ini menjadikan beban
hidup dan berusaha semakin berat, sehingga diperlukan upaya
penanggulangan atau pertolongan yang nyata.
Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang harus
tunduk kepada keputusan pemerintah pusat tentang kenaikan
harga BBM, tidak cukup banyak mempunyai alat kebijakan
untuk melakukan upaya penanggulangan dampak kebijakan
tersebut. Satu-satunya alat kebijakan yang dapat
dimobilisasikan secara langsung sebagai alat penanggulangan
dapak negatif kebijakan harga BBM didaerah adalah APBD.
Dalam konteks ini pemerintah provinsi telah menetapkan arah
kebijakan APBD 2006 sebagai APBD yang dimaksudkan untuk
secara spesifik berdaya sebagai alat penanggulangan dampak
kenaikan harga BBM. Pilihan yang dilakukan oleh Bpk Gubernur
terhadap arah APBD 2006 sebagaimana dikemukakan dalam
berbagai kesempatan sudah cukup tepat, sebagai APBD yang
mempunyai kepedulian besar terhadap penanggulangan
kemiskinan (pro poor budget).

1
Statistik kemiskinan memperkirakan jumlah keluarga miskin
(KK Gakin) telah bertambah menjadi 2,9 juta KK atau sekitar 11
juta jiwa penduduk Jawa Timur.

3. RAPBD 2006
Dari RAPBD 2006 diperoleh angka perencanaan pembelanjaan
provinsi sebagai berikut :

Uraian Jumlah %
Jumlah Pendapatan Rp. 4.199.860.312.851,00
Belanja Aparatur Rp. 1.550.886.086.990,00 38,18
Belanja Publik Rp. 2.508.345.997.861,00 61,81
Jumlah Belanja Rp. 4.059.232.084.851,00
Surplus Rp. 140.628.228.000,00

Tabel diatas menunjukan bahwa 38,18% pembelanjaan provinsi


akan dipergunakan untuk membiayai belanja aparatur, dan
61,81% untuk belanja publik. Tetapi dalam elemen belanja
publik masih banyak terdapat pos-pos pembelanjaan untuk
aparatur berupa, honorarium dan biaya perjalanan dinas.
Sebagai contoh dalam RAPBD 2006 disebutkan bahwa belanja
disalah satu dinas yang strategis, sebagai berikut :

Uraian Jumlah (Rp) Keterangan


Total Belanja 202.038.467.250,00

Belanja Aparatur 84.315.031.750,00 41,15%


Belanja Publik 117.723.435.500,00
Belanja Pegawai dan Personalia 13.591.490.000,00 Pengeluaran
Biaya Pihak Ketiga 17.249.025.000,00 untuk aparatur
Biaya Perjalanan Dinas 6.506.950.000,00 Rp. 37,2 M
Belanja Modal Bantuan Barang
Daerah 62.955.510.000,00

Tabel diatas menunjukkan betapa pos belanja publik untuk


suatu dinas yang strategis dan berhubungan langsung dengan
upaya pemberdayaan rakyat, masih mengalokasikan belanja
untuk kepentingan aparatur sampai sebanyak Rp. 37,2 Milyard
sementara pembelanjaan yang secara fisik langsung
berhubungan tugas pokoknya dialokasikan hanya sebesar Rp.
62,9 Milyard, atau 31,13% dari total belanja. 68,87% dari total
belanja dinas tersebut dialokasikan untuk belanja aparatur
(41,15%) dan 27,37% untuk belanja lainnya termasuk
honorarium, belanja barang dan jasa termasuk pembayaran
jasa pihak ketiga (Rp. 17,2 Milyard), pembelian makanan dan
minuman (Rp. 3,87 Milyard), bahan habis pakai (Rp. 2,69
Milyard), biaya sewa (Rp.2,88 Milyard), pembelian pakaian olah
raga (Rp. 358,9 Juta) dan manajemen kegiatan (Rp. 1,87
Milyard). Dinas tersebut mengurangi belanja publiknya dari Rp.
158,22 milyard tahun 2005 menjadi Rp. 117,72 Milyard tahun
2006, tetapi menaikkan belanja aparaturnya dari Rp. 58,29
Milyard menjadi Rp. 84,31 Milyard tahun 2006, atau naik
44,8%. Sebagai perbandingan laju inflasi sepanjang tahun 2005
adalah 17,11%. Dengan demikian terdapat kenaikan dalam nilai
riil 27,7%, hanya untuk belanja aparatur. Jika jumlah dan
2
kegiatan aparatur dinas tersebut relatif tetap, maka dinas
tersebut menikmati kenaikan ‘kesejahteraan’ lebih dari 25%.
Sementara itu belanja publik dinas tersebut menurun secara riil
sebanyak 43,05%, terdiri dari penurunan nominal sebanyak
25,9% ditambah penurunan nilai riil rupiah yang dibelanjakan
sebesar laju inflasi, 17,11%. Contoh seperti ini masih banyak
terdapat pada pos-pos belanja dinas atau badan lainnya.
Kesan yang dapat diperoleh dari skema RAPBD seperti ini
adalah adanya inkonsistensi antara filosofi APBD 2006 yang
oleh Bpk. Gubernur telah ditetapkan sebagai APBD yang spesifik
pro kemiskinan, tetapi pada implementasinya masih berpola
lama.

4. Kesimpulan,
 APBD 2006 sudah disetujui oleh DPRD dan diajukan ke
Departemen Dalam Negeri RI untuk disetujui. Hal ini
berarti peluang untuk merealokasi pos-pos pembelanjaan
strategis untuk penanggulangan kemiskinan sudah akan
segera di implementasikan sesuai dengan peruntukan
sebagaimana tertuang dalam rincian APBD 2006.
 Peluang untuk memperbaiki diharapkan bisa dilakukan
pada masa perubahan APBD (PAK) yang biasanya
dilakukan pada pertengahan tahun.
 Pada kesempatan itu sebaiknya dirumuskan lagi strategi
pembelanjaan (posting) dengan memfokuskan pada
program yang secara langsung memberikan dampak
penanggulangan kemiskinan melalui program perbaikan
atau pengadaan infrastruktur pedesaan.
 Program penanggulangan kemiskinan melalui program
padat karya yang dikaitkan dengan program perbaikan
atau pengadaan infrastruktur pedesaan diharapkan akan
sangat membantu pemberdayaan masyarakat petani,
nelayan di pedesaan yang merupakan golongan
masyarakat termiskin (paling menderita akibat kenaikan
harga BBM) dalam strata distribusi pendapatan penduduk
Jawa Timur.
 Demi menjamin tercapainya tujuan APBD 2006 sebagai
APBD bernuansa penanggulangan kemiskinan, perlu
dilakukan pengawasan preventif (pencegahan) terhadap
kemungkinan kebocoran atau penyalahgunaan anggaran,
pemeriksaan investigatif dan tindakan represif jika
terbukti terjadi pelanggaran.

Surabaya, 16 Maret 2006


Dewan Pakar Provinsi Jawa Timur
Bidang Ekonomi dan Keuangan

Anda mungkin juga menyukai