Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
“Sastra”, istilah yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sesuatu yang dahulu k
ita anggap sebagai sesuatu yang hanya berhubungan dengan puisi dan prosa ternyat
a tidak sesederhana itu. Kita harus banyak menggali dan mempelajarai lebih banya
k lagi segala sesuatu yang berhubungan dengan sastra tersebut. Sastra tersebut d
apat diibaratkan dengan samudra yang sangat luas, yang memerlukan waktu yang san
gat lama untuk dapat mengukur kedalamannya dan memanfaatkan kekayaannya.
Sastra sebenarnya tidak dapat didefinisikan secara objektif (Gunatama, 2005:8).
Hal ini mengembalikan definisi sastra kepada cara bagaimana seseorang memilih un
tuk membaca, bukan kepada sifat-sifat karya tertulis tersebut. Apakah benar bahw
a sebagian besar karya-karya yang dikaji sebagai sastra di pusat-pusat kajian ak
ademik diciptakan untuk dibaca sebagai sastra? Banyak yang sebenarnya tidak dibu
at demikian. Sebuah karya mungkin bermula sebagai sejarah atau falsafah dan sete
lah itu digolongkan sebagai sastra. Atau, karya itu mungkin bermula sebagai sast
ra kemudian berfungsi lain karena disanjung nilai psikologisnya. Yang penting ad
alah bukan asal-usulnya, tetapi bagaimana karya itu diperlukan manusia. Jika mer
eka memutuskan itu sastra, jadilah karya itu sebagai sebuah karya sastra.
Dalam ilmu sastra terdapat berbagai cabang ilmu, salah satunya adalah Kritik Sas
tra. Seperti yang dikutip Seloka Sudiara (2005) dalam buku Kritik Sastra karya A
ndre Hardjana pengertian kritik sastra adalah sebagai hasil usaha pembaca dalam
mencari dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran
sistematik, yang dinyatakan dalam bentuk tertulis. Dijelaskannya lebih lanjut ba
hwa kata pembaca dalam definisi singkat itu digunakan dengan senagaja untuk menu
njukkan bahwa kritik sastra bukanlah hasil kerja yang luar biasa dan dengan send
irinya melekat dalam pengalaman sastra. Seorang pembaca sastra dapat membuat kri
tik sastra yang baik, apabila betul-betul berminat kepada sastra, terlatih kepek
aan citanya, dan mendalami serta menilai tinggi pengalaman manusiawi dalam menun
jukkan kerelaan jiwa untuk menyelami dunia karya sastra.
Di Indonesia, istilah maupun pengertian kritik sastra baru dikenal setelah para
sastrawan memperoleh pendidikan dari atau di negara Barat, yakni sekitar awal ab
ad kedua puluh. Kendatipun demikian, dalam sejarah kehidupan kesusastraan di Nus
antara ini, penilaian dan penghukuman terhadap sastrawan dan karyanya bukan tida
k pernah terjadi sebelumnya.
Menurut Vincil C. Coulter dalam buku Reading in Language and Literature (Seloka
Sudiara, 2005:22) mengemukakan beberapa prinsip kritik sastra. Salah satu prinsi
pnya yaitu sastra adalah suatu cara atau mode berpikir yang universal. Prinsip i
ni didasari atas pertimbangan bahwa dalam sastra terungkap ciri-ciri karakterist
ik manusia dalam segala zaman dan segala tingkat perkembangannya. Artinya, apabi
la kita mengkritik haruslah bertumpu atau menggunakan kacamata zamannya (pada sa
at kapan dan di mana karya sastra itu dibuat).
Membaca sebuah karya sastra, dalam hal ini cerita fiksi, pada hakikatnya merupak
an kegiatan apresiansi sastra secara langsung. Maksudnya adalah : kegiatan memah
ami karya sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan,
kepekaan kritis yang baik terhadap karya sastra tersebut ( Aminudin, 19953 : 35
). Sastra, atau kesusastraan, menurut Swingewood (dalam Faruk, 1994:39), merupa
kan suatu rekonstruksi dunia dilihat dari sudut pandang tertentu yang kemudian d
imunculkan dalam produksi fiksional. Sastra merupakan ekspresi pengarang yang be
rsifat estetis, imajinatif, dan integratif dengan menggunakan medium bahasa untu
k menyampaikan amanat tertentu. Al-nasr atau prosa adalah karya sastra yang meng
gambarkan pikiran dan perasaan namun tidak terikat pada aturan bait dan rima (Sy
ayib, 1964:328).
Roman sebagai salah satu hasil dari karya sastra memang sangat menarik untuk dit
eliti dan diketahui lebih dalam lagi mengenai karya tersebut. Roman berasal dari
kata “roman” yang artinya adalah cerita dalam bahasa Romawi. Roman dalam kaitannya
dengan sastra berarti cerita yang ditulis dalam bentuk prosa, menceritakan tenta
ng kehidupan manusia secara lahir maupun bathin. Roman memiliki keunikan tersend
iri dengan karya sastra yang lain. Namun, dewasa ini roman dan novel sering tida
k dihiraukan perbedaanya. Bahkan pembaca sering tidak menghiraukan perbedaan yan
g ada antara roman dan novel yang ada. Mereka lebih tertarik terhadap isi dari b
uku yang dibacanya. Hal ini dikarenakan semakin berkembangnya kemajuan dan kreat
ifitas sastrawan dalam menghasilkan karya-karyanya.
Berkaitan dengan hal tersebut, penulis bermaksud untuk mencari nilai-nilai pendi
dikan yang terkandung dalam Roman ATHEIS karya Achdiat K. Mihardja. Dalam mencar
i nilai-nilai tersebut penulis menggunakan pendekatan mimesis, objektif, sosiolo
gis, psikologis, ekspresis, dan pendekatan moral.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang dapat penulis rumuskan adalah sebagai berikut:
1. Apa saja nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Roman ATHEIS kary
a Achdiat K. Mihardja?
2. Bagaimanakah tema, setting (latar), penokohan, alur, dan gaya bahasa yang ter
dapat dalam Roman ATHEIS karya Achdiat K. Mihardja?
3. Bagaimanakah kelemahan dan keunggulan Roman ATHEIS karya Achdiat K. Mihardja?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, maka penulis dapat menyimpulkan beberapa tujuan yan
g hendak dicapai. Tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam Roman ATHEIS karya Achdiat
K. Mihardja.
2. Untuk mengetahui tema, setting (latar), penokohan, alur, dan gaya bahasa yang
terdapat dalam Roman ATHEIS karya Achdiat K. Mihardja.
3. Untuk mengetahui kelemahan dan keunggulan Roman ATHEIS karya Achdiat K. Mihar
dja.
1.4 MANFAAT PENULISAN
Dalam menganalisis sebuah karya sastra khususnya roman secara tidak langsung, ki
ta dapat memahami unsur-unsur yang mendukung sebuah karya sastra tersebut. Misal
nya unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Selain itu, dengan menerapkan teori Ro
bert Stanton kita mampu menelaah sebuah karya sastra khususnya roman. Dengan mam
pu menelaah roman, kita akan mampu dengan mudah memahami sebuah karya sastra. Ki
ta tidak hanya mengetahui jalan ceritanya saja, tetapi juga unsure-unsur yang me
ndukungnya.
Selain itu, kita sebagai calon pendidik akan mampu mengimplementasikan hasil dar
i telaah terhadap Roman ATHEIS sebagai bahan pembelajaran. Kita tidak hanya mamp
u memberikan teori tetap[I penerapan langsung terhadap anak didik. Tidak hanya i
tu, hasil dari analisis ini juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan untuk tugas pen
elitian.
1.5 METODE PENULISAN
Dalm penulisan makalah ini digunakan metode kajian pustaka. Kajian pustaka adala
h metode yang digunakan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan dal
am penulisan makalah ini. Bahan tersebut berupa buku-buku yang dijadikan sebagai
referensi dalam penulisa. Dengan buku-buku tersebut kita kemudian melakukan pem
bahasan.
BAB II
LANDASAN TEORI
Roman sebagai salah satu hasil karya sastra sangat menarik untuk kita ketahui da
n pelajari. Di dalam roman kita akan menemukan beberapa unsur yang membentuknya.
Kita mengetahui bersama bahwa setiap karya sastra selalu ada unsur yang membang
unnya. Unsur-unsur tersebut bersatu padu sehingga menghasilkan gabungan yang mem
bentuk karya sastra.
Untuk menganalisis roman ATHEIS karya Achdiat K. Miharjda, penulis menggunakan b
eberapa teori yang relevan.
2.1 Pengertian Pendidikan
Beberapa konsep tentang pendidikan telah dirangkum oleh Freeman Butt (dalam Mart
ha, 2005:51). Konsep tersebut dirangkum dalam sebuah buku yang berjudul “Sejarah P
endidikan Barat sesuai Kultur/Budaya” seperti disajikan berikut ini.
Pendidikan adalah kegiatan menerima dan memberikan pengetahuan sehingga kebudaya
an dapat diteruskan dari generasi ke generasi lainnya.
Pendidikan adalah suatu proses. Melalui proses ini manusia diajarkan kesetiaan d
an kesediaan untuk mengikuti aturan. Melalui cara ini pikiran manusia dilatih da
n dikembangkan ke arah itu.
Pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan. Dalam proses individu dibantu mengem
bangkan kemampuan, bakat, dan minatnya.
Pendidikan adalah rekonstruksi dan reorganisasi pengalaman yang akan menambah ar
ti dan kesanggupan untuk mengarahkan pengalaman selanjutnya.
Pendidikan adalah suatu proses. Melalui proses ini, seseorang menyesuaikan diri
terhadap kehidupan modern. Dengan demikian ia dapat mempersiapkan diri ke kehidu
pan yang lebih modern.
2.2 Pengertian Pedagogi dan Andragogi
Istilah pedagogi berasal dari bahasa Yunani, yakni paid yang berarti `anak` dan
agogos yang berarti `memimpin` atau `membimbing`. Secara khusus, selanjutnya ped
agogi diartikan sebagai suatu ilmu dan seni dalam mengajar anak-anak. Perkembang
an selanjutnya, istilah pedagogi tersebut berubah artinya menjadi ilmu seni dan
mengajar.
Andragogi berasal dari bahasa Yunani, yakni kata andr yang berarti `orang dewasa
` dan agogos yang berarti `memimpin` atau `membimbing`. Dari situ kemudian dirum
uskan bahwa, andragogi adalah ilmu seni dalam membantu orang dewasa belajar. And
ragogi memiliki asumsi yang berbeda dengan pedagogi dalam memandang dan melaksan
akan praktek pendidikan.
2.3 Pengertian Sastra
Ada beberapa pengertian tentang sastra berikut ini.
1) Pengertian sastra dalam Eagleton, Terry. 1983 (Literary Theory and Introducti
on) adalah sebagai berikut.
Sastra adalah tulisan yang bersifat imajinatif.
Perbedaan antara “fakta” dan “cerita” tidak terlalu bermanfaat sebab perbedaan itu sendi
ri meragukan.
Sastra, mungkin dapat didefinisikan bukan karena sifatnya sebagai cerita atau se
suatu yang imajinatif, tetapi karena penggunaan bahasanya secara khusus.
2) Para formalis melihat bahwa sastra merupakan kumpulan penyimpangan bahasa dar
i kebiasaan. Bahasa sastra adalah bahasa yang khas. Pada pandangan formalis sifa
t sastra adalah fungsi hubungan yang berbeda antara satu jenis wacana dengan jen
is yang lain.
3) Sastra sebenarnya tidak dapat didefinisikan secara objektif. Hal ini mengemba
likan definisi sastra kepada cara bagaimana seseorang memilih untuk membaca buka
n kepada sifat-sifat karya yang tertulis itu.
4) Secara ontologis, sastra adalah karya ciptaan atau fiksi yang bersifat imajin
atif, atau sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandaka
n hak-hak lain atau sastra adalah teks-teks yang bahasanya dimanipulasi atau dis
ulap oleh pengarangnya sehingga menghasilkan efek asing.
2.4 Ukuran
Di samping menggunakan beberapa teori, dalam mengkritisi penulis juga menggunaka
n beberapa ukuran. Ukuran tersebut adalah sebagai berikut.
1. Ukuran kebenaran
Ukuran kebenaran (truth) merupakan bentuk ukuran lain yang sering digunakan. Seo
rang penelaah, sewaktu membaca suatu karya sastra, mempertanyakan apakah yang di
ungkapkan pengarang itu mempunyai hubungan dengan kebenaran yang terdapat dalam
kehidupan sehari-hari. Karya sastra yang dikatakan memiliki ukuran kebenaran ada
lah karya sastra yang mampu membayangkan atau mencerminkan kehidupan atau perist
iwa kehidupan yang ada.
2. Ukuran didaktik
Ukuran lain yang lazim dipakai dalam melakukan kritik sastra adalah ukuran didak
tik. Dengan ukuran didaktik orang menentukan keberhasilan suatu karya sastra ber
dasarkan kebolehan karya itu memberikan pengaruh positif, yang menyampaikan pesa
n pembinaan moral dan kepribadian, serta meningkatkan kecerdasan pembacanya.
2.5 Pendekatan Dalam Kritik Sastra
Kritik sastra pernah dikotak-kotakan dengan berbagai cara menurut sifat, tujuan,
sejarah, atau lingkungan social geografis tertentu. Hal tersebut memperhatikan
bagaimana para kritikus dan para ilmuan sastra encoba mendekati sastra melalui b
erbagai jalan dan ikhtiar. Namun, tidaklah semua pendekatan itu bersifat mutlak
dan berdiri sendiri; yang salah satu dengan yang lainnya saling berhubungan.
1. Pendkatan mimesis
Pendekatan ini berangkat dri pemikiran bahwa sastra, sebagaimana hasil seni yang
lain, merupakan pencerinan atau representasi kehidupan nyata. Sastra merupakn t
iruan atau pemaduan antara kenyataan dan imajinasi pengarang. Bisa juga dikataka
n bahwa sastra merupakan hasil hasil imajinasi pengarang yang bertolak dari suat
u kenyataan. Menurut ri toteles, istilah mimesis mempunyai makna yang lebih ting
gi dari sekedar kenyataan. Istilah tersebut mengandung makna kebenaran yag lebih
umum, kebenaran yang universal, bukan sekadar kenyataan seperti apa adanya.
Pendekatan ini lama sekali memengaruhi kehidupan kritik sastra di Eropa. Bahkan
di Rusia (zaman komunis), pendekatan ini menjadi ajaran atau doktrin resmi. Mere
ka hanya dapat mengakui sastra yang mengemukakan realism sosialis. Pendekatan in
i juga diterima di republik rakyat china (RRC) dengan sekadar variasi. Mereka me
nyebutnya secara eksplisit sebagai gabungan realism revolusioner dengan romantis
me revolusioner. Di Indonesia pendekatan ini diawali oleh lembaga kebudayaan rak
yat (Lekra) sebuah organ partai komunis Indonesia (PKI), pada permulaan tahun li
ma puluhan sampai 1965.
2. Pendekatan objektif (struktural)
Pendekatan ini membatasi diri pada penelaahan karya sastra itu sendiri, terlepas
dari soal pengarang dan pembaca. Dalam hal ini, kritikus memandang karya sastra
sebagai suatu kebulatan makna, akibat perpaduan isi dngan pemanfaatan bahasa se
bagai alatnya. Dengan kata lain, pendekatan ini memandang dan menelaah sastra da
ri segi intrinsik yang membangun suatu karya sastra, yaitu tema, alur, latar, pe
nokohan, dan gaya bahasa. Perpaduan yang harmonis antara bentuk dan isi merupaka
n kemungkinan kuat untuk menghasilkan karya sastra yang bermutu.
Penelaahan sastra melalui pendekatan struktural ini menjadi anutan para kritikus
aliran struktualisme, yang di Indonesia tercermin pada kritikus kelompok atau a
liran rawamangun.
3. Pendekatan sosiologis (the sociological approch)
Pendekatan ini bertolak dari pandangan bahwa sastra merupakan pencerminan kehidu
pan masyarakat. Melalui karya sastra, pengarang mengungkapkan tentang suka duka
kehidupan masyarakat yang mereka ketahui dengan sejelas-jelasnya. Bertolak dari
pandangan itu, telaah atau kritik sastra yang dilakukan terfokus pada atau lebih
banyak memperhatikan aspek-aspek sosial kemasyarakatan yang terdapat dalam suat
u karya sastra serta mempersoalkan segi-segi yang menunjang pembinaan dan pengem
bangan tata kehidupan (Saini, 1989; Sumardjo, 1989; Haridas, 1986; Soekito, 1989
).
4. Pendekatan Psikologis
Pendekatan psikologis adalah pendekatan penelaahan sastra yang menekankan pada s
egi-segi psikologis yang terdapat dalam suatu karya sastra.
Adakalanya pembahas sastra yang menganut aliran psikologi selain mencoba mengana
lisis jiwa pengarang lewat karya sastranya, juga menggunakan pengetahuannya tent
ang persoalan-persoalan dan lingkungan psikologis untuk menafsirkan suatu karya
sastra tanpa menghubungkan dengan biografi pengarangnya. Orang dapat mengamati t
ingkah laku tokoh-tokohnya dalam sebuah roman atau drama dengan memanfaatkan per
tolongan pengetahuaan psikologi.
5. Pendekatan ekspresif
Pendekatan ini menitikberatkan perhatian kepada upaya pengarang atau (terutama)
penyair dalam mengekpresikan ide-idenya ke dalam karya sastra. Kemampuan pengara
ng menyampaikan pikiran yang agung dan emosi yang kuat menjadi ukuran keberhasil
an sebuah karya sastra. Yang menjadi ranah garapan para pengkritik adalah ranah
kejiwaan pengarang.
6. Pendekatan moral
Pendekatan ini berangkat dari dasar pemikiran bahwa suatu karya sastra dianggap
sebagai suatu medium yang paling efektif membina moral dan kepribadian suatu kel
ompok masyarakat. Moral dalam hal ini diartikan sebagai suatu norma, suatu konse
p tentang kehidupan yang disanjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat tersebu
t.
BAB III
SINOPSIS CERITA ROMAN ATHEIS
Judul : ATHEIS
Pengarang : Achadiat K. Mihardja
Penerbit : Balai Pustaka
Kota Terbit : Jakarta
Cetakan ke : kedua puluh lima
Tahun Terbit : 2002
Jumlah halaman : 232 halaman
Ringkasan Cerita :
Sebelum Hasan pindah ke Bandung, untuk meneruskan sekolahnya, di Mulo dia adalah
seorang pemuda yang sangat taat terhadap agama. Hal ini memang sesuai dengan ke
adaan di daerahnya yaitu daerah Penyeredan, dimana kehidupan agama Islam begitu
kental. Kedua orang tuanya merupakan pemeluk agama Islam ortodok dan ikut dalam
suatu kelompok tarekat agama tertentu.
Selama di Mulo, Hasan berpacaran dengan seorang gadis yang bernama Rukmini, yait
u teman sekolahnya di Mulo. Namun cinta mereka harus kandas ditengah jalan, seba
b Rukmini kemudian harus menerima lamaran seorang saudagar kaya dari Jakarta kar
ena hal tersebut merupakan permintaan dari kedua orang tuanya. Akibat kegagalan
cintanya dengan Rukmini itu Hasan menjadi sangat prustasi. Untuk melupakan Rukmi
ni, Hasan masuk kesuatu aliran terekat agama yang juga dianut oleh kedua orang t
uanya.
Kehidupan agama Hasan yang kuat, dan ketekunannya dalam beribadah mulai terusik
dan goyah ketika teman masa kecilnya Rusli yang pada waktu itu memperkenalkan se
orang janda yang bernama Kartini. Kartini adalah potret seorang perempuan yang h
idup dalam lingkungan modern. Pada akhirnya Hasan jatuh cinta dengan janda itu k
arena wajahnya yang mirip dengan mantan kekasihnya Rukmini.
Pada awalnya, karena Hasan adalah seorang yang taat beragama, dia tergugah dan h
endak menyelamatkan Rusli dan Kartini yang tidak beragama itu. Rusli dan Kartini
telah beberapa kali dinasehatinya dan diberi khotbah agama supaya sadar dan mau
kejalan yang benar. Namun karena Rusli itu termasuk orang yang pintar berbicara
dan memiliki pengetahuan yang luas, Hasan lama-kelamaan malah berbalik. Malah d
ia yang mulai terpengaruh pada pikiran-pikiran Rusli maupun Kartini. Keimanan Ha
san makin lama makin lemah akibat kedekatannya dengan kedua orang itu. Semakin l
ama semakin lemah sinar keimanan Hasan, yaitu ketika Rusli memperkenalkannya den
gan seorang pemuda yang berpikiran anarkis yang bernama Anwar. Karena imannya ya
ng sudah sangt lemah, serta pikiran-pikiran Anwar dan teman-temannya yang anarki
s sudah mempengaruhi dan merasuk dalam tubuh Hasan, Hasan pada tahap selanjutnya
sudah mulai dan berani melawan ayahnya.
Kedekatannya dengan janda Kartini yang bebas itu, kemudian membawanya pada perni
kahan yang dilakukan secara bebas pula. Namun kehidupan keluarga Hasan dan Karti
ni tidak berjalan dengan bahagaia dan tidak berlangsung lama, sebab Hasan maupun
Kartini sama-sama manusia modern dan selalu ingin berbuat atau berkehendak beba
s. Kartini yang bebas selalu bergaul dengan bebas pada siapa saja, termasuk pada
Anwar. Bahkan menurut pandangan Hasan, antara Kartini dengan Anwar sudah terjad
i sebuah perselingkuhan.
Akibat prahara dan keruwetan rumah tangganya itu, malah berdampak baik pada Hasa
n. Kesadarnnya akan dosa, baik terhadap Tuhan maupun kedua orang tuanya mulai ba
ngkit lagi. Akhirnya Hasan memutuskan untuk meninggalkan teman-temannya yang ses
at itu dan menceraikan Kartini untuk kembali kejalan Tuhan yaitu jalan kebenaran
. Setelah bercerai dengan Kartini, Hasan kembali ke kampungnya, dimana dia ingin
memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan yang telah diperbuatnya kepada ked
ua orang tuanya. Namun sayang ayahnya menolak permintaan maaf anaknya itu, sampa
i akhirnya dia meninggal dunia.
Hati Hasan begitu hancur mendapat kenyataan itu. Dia sedih karena disaat-saat ay
ahnya sudah hampir menghembuskan nafas terakhir, tetapi belum mendapat maaf dari
ayahnya. Di atas segala keputusasaannya itu, Hasan mencari sumber utama mengapa
dia sampai menjadi orang yang begitu jahat yang sangat bertolak belakang dengan
kehidupannya yang dahulu. Setelah dipikir-pikir, ternyata menurut pikiran Hasan
bahwa penyebab semua itu adalah Anwar. Dengan nafsu ingin membunuh dan dendam y
ang sangat membara, Hasan ingin mencari Anwar dan membalas dendam. Karena matany
a yang sudah dibutakan oleh dendam, Hasan tidak menghiraukan keadaan sekelilingn
ya. Padahal pada waktu itu keadaan sangat berbahaya. Bunyi sirine meraung-raung
dimana-mana, dia tidak peduli. Dia terus mencari Anwar. Namun naasnya, sebelum b
ertemu dengan Anwar, Hasan tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang menembus tubuhny
a. Hasan terkapar ditengah jalan, di atas aspal berlumuran darah. Sebelum mening
gal Hasan sempat mengucapkan Allahu Akbar, sebagai tobat dan penyesalan atas seg
ala dosa yang telah diperbuatnya.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 PENDEKATAN MIMESIS
Dalam roman “Atheis” karangan Achdiat K. Mihardja merupakan mimesis dari kehidupan n
yata. Walaupun telah kita ketahui bahwa karya fiksi merupakan penggabungan dari
kenyataan dan imajinasi pengarang. Kita dapat melihat dalam roman tersebut ada b
eberapa hal yang menyatakan hal tersebut.
Di lereng gunung telaga Bodas di tengah-tengah pegunungan Priangan yang indah, t
erletak sebuah kampung, bersembunyi dibalik hijau pohon-pohon jeruk Garut yang s
egar dan subur tumbuhnya berkat tanah dan hawa yang nyaman dan sejuk. Kampung pe
nyeradan namanya. Kampung itu terdiri dari kurang lebih dua ratus rumah kecil. Y
ang kecil yang jauh lebih besar jamlah-jumlahnya dari yang besar, adalah kepunya
an buruh-buruh tani yang miskin, dan yang besar ialah milik petani-petani kaya(a
rtinya yang mempunyai tanah kurang lebih sepuluh hektar) yang disamping bertani,
bekerja juga sebagai tengkulak-tengkulak jeruk, dan hasil bumi lainnya. Di anta
ra rumah-rumah kecil dan rumah-rumah besar dari batu itu, ada lagi beberapa ruma
h yang dibikin dari setengah batu. Artinya, lantainya dari tegel tapi dindingnya
hanya sampai kira-kira seperempat tinggi dari batu, sedangkan atasnya dari dind
ing batu biasa. Rumah-rumah demikian itu kepunyaan penduduk yang sentana, artiny
a yang mempunyai tanah barang sehektar duahektare. (Atheis, hal 16)
Kutipan di atas menyatakan bagaimana keadaan tempat tinggal Hasan di kampung. Pe
nulis mampu mendiskripsikan keadaan desa tersebut dengan baik, sehingga pembaca
bisa lengsung membayangkan bagaimana tempat tersebut. Latar yang disampaikan mem
ang mencerminkan keadaan penduduk pedesaan pada masa tersebut.
Perasaan demikian itu dulu pernah ada padaku, yaitu ketika aku baru meninggalkan
kampung halaman pindah sekolah ke kota besar, ke Mulo di bandung. (Atheis, hal
27)
Pada kutipan di atas menggambarkan bagaimana tingkatan sekolah pada masa tersebu
t. Mulo merupakan kependekan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, yaitu jenjang
pendidikan setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Saya rasa sejak sekolah HIS di tasimalaya dulu. Sejak itu kita tidak pernah berj
umpa lagi. (Atheis, hal 31)
Pada kutipan di atas menggambarkan bagaimana tingkatan sekolah pada masa tersebu
t. Mulo merupakan kependekan dari Hollands Inlandse school, yaitu jenjang pendid
ikan sekolah rakyat dengan bahasa Belanda sebagai pengantarnya.
4.2 PENDEKATAN OBJEKTIF
Pendekatan ini memandang dan menelaah sastra dari segi intrinsik yang membangun
suatu karya sastra, yaitu tema, alur, latar, penokohan, dan gaya bahasa. Perpadu
an yang haromnis antara bentuk dan isi merupakan kemungkinan kuat untuk menghasi
lkan karya sastra yang bermutu.
Berikut adalah analisis berdasarkan pendekatan objektif.
4.2.1 Tema
Dalam roman “Atheis” karangan Achdiat K. Mihardja yang dijadikan sebagai tema adalah
tentang kehidupan sosial masyarakat. Dalam roman “Atheis” ini, hal yang paling mend
asar yang dijadikan sebagai tema adalah cerita tentang bagaimana kehidupan agama
seseorang yang pengangkapan agamanya selalu setengah-setengah, baik karena pend
idikan agamanya yang lemah maupun pengaruh kehidupan modern yang menjadi lingkun
gan sebuah kota besar. Tema dalam roman ini sungguh sangat memikat dan pantas ka
lau roman ini menjadi salah satu bacaan wajib bagi pelajar dan mahasiswa.
a. Tema Minor
Dalam roman “Atheis” yang merupakan tema minor adalah masalah etika dan agama. Dalam
roman ini kita menemukan adanya pertentangan etika dan masalah agama antar toko
h-tokohnya. Disatu sisi Hasan yang memiliki etika yang baik harus bergaul dengan
Kartini dan Anwar yang memiliki etika yang kurang baik. Dalam roman ini kita me
ngetahui bagaimana keteguhan hati dan etika Anwar bisa berubah karena pengaruh d
ari tokoh Kartini dan Anwar. Walau pada akhrinya Hasan mulai sadar akan kekeliru
annya, tapi semua itu sudah terlambat. Hasan sudah terlanjur menyakiti hati kedu
a orangtuamya, dan samapi akhir hayatnya Hasan tidak memperoleh maaf dari ayahny
a. Agama juga merupakan hal yang sangat penting dan dijadikan tema minor dalam r
oman ini. Agama sebagai suatu kepercayaan dan tatanan kehidupan harus berubah da
ri norma-norma yang sudah digariskan. Kita menemukan bagaimana keragu-raguan Has
an menghadapi pengaruh globalisasi dan pengaruh dari lingkungan sekitarnya. Roma
n ini menggambarkan kekuatan iman Hasan harus goyah karena pengaruh dari teman-t
emanya, yaitu Anwar dan Kartini.
b. Tema Mayor
Tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan umum atau m
akna-makna tambahan yang mempertegasakan eksistensi makna karya itu. Penafsiran
harus dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada. Fakta-fakta itu secara keselur
uhan dapat membangun cerita.
Dalm roman ini yang merupakan tema mayor adalah tentang kehidupan agama seseoran
g yang pengangkapan agamanya selalu setengah-setengah, baik karena pendidikan ag
amanya yang lemah maupun pengaruh kehidupan modern yang menjadi lingkungan sebua
h kota besar
4.2.2 Tokoh dan Penokohan
a. Tokoh
Tokoh-tokoh dalam karya fiksi merupakan tokoh-tokoh rekaan. Tokoh-tokoh dalam se
buah cerita tidak saja berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan un
tuk menyampaikan ide, motif atau tema. Semakin berkembangnya ilmu jiwa, terutama
psiko-analisa merupakan satu alasan penting peranan tokoh cerita sebagai bagian
yang ditonjolkan oleh pengarang (Sumardjo,1986:63). Koflik-konflik yang terdapa
t dalam suatu cerita yang mendasari terjalinnya suatu plot, pada dasarnya tidak
dapat dilepaskan dari tokoh-tokohnya, baik yang bersifat protagonis maupun antag
onis. Pada dasarnya tokoh dalam sebuah cerita dibagi menjadi dua jenis, yakni (1
) tokoh utama, (2) tokoh bawahan. Tokoh utama senantiasa berhubungan dalam setia
p peristiwa dalam cerita (Stanton, 1984:17). Tokoh bawahan menurut Griemes (dala
m Gunatama, 2005:78) merupakan tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerit
a, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang tokoh utama
Dalam roman “Atheis” yang berperan sebagai tokoh utama adalah (1) Hasan dan (2) Kart
ini. Kedua tokoh ini dalam roaman atheis senantiasa hadir dalam setiap kejadian
atau peristiwa. Sedangkan yang berperan sebagai tokoh adalah (1) Rusli, (2) Rade
n Wiradikrama dan istrinya (orang tua Hasan), (3) Rukmini, (4) Anwar, (5) Haji D
ahlan, (6) bung Parta, (7) Nata, dan (8) Sitis.
b. Penokohan
Penokohan merupakan satu bagian penting dalm membangun sebuah cerita. Penggambar
an tokoh suatu cerita rekaan dapat ditampilkan dengan berbagai cara (Tasrif dala
m Gunatama, 2005 :78), diantaranya (1) phisycal description, (2) potrayal of tho
ughstream of councious thought, (3) reaction to event, (4) direct author analysi
s, (5) discussion of envirounment, (6) reaction of others of character, dan (7)
conversation of other about character. Penokohan berperan dalam menampilkan kese
luruhan ciri atau watak seseorang tokoh melalui suatu percakapan (dialog) dan ti
ngkah laku (action). Selain istilah perwatakan, digunakan dalam cerita, juga ser
ing digunakan istilah watak tokoh dalam suatu cerita.
Dalam roman “Atheis” terdapat beberapa tokoh serta karakteristiknya, seperti :
1. Hasan
Seorang pemuda berpendidikan yang awalnya begitu lekat dengan kehidupan agama ka
rena memang didikan agama yang baik dari kedua orangtuanya. Namun dalam perkemba
ngannya, setibanya dikota Bandung, kehidupan Hasan mulai berubah menjadi orang y
ang setengah-setengah terhadap agamanya.
Berikut adalah kutipan yang menggambarkan kepribadian Hasan,
Pada usia lima tahun aku sudah dididik dalam agama. Aku sudah mulai diajari meng
aji dan sembahyang. Sebelum tidur, ibuku sudah biasa menyuruh aku menghafal ayat
-ayat atau surat-surat dari alquran. Sahadat, salawat dan kyhlu, begitu juga fat
ehah aku sudah hafal dari masa itu. Juga nyanyi puji-puji kepada Tuhan dan Nabi.
Selain daripada itu banyak aku diberi dongeng tentang surga dan neraka. Dan bias
anya ibu mendongeng itu sambil berbaring di sampingku, setengah memeluk aku. Dan
aku menengadah dengan mataku lurus melihat ke para-para tempat tidur seperti me
lihat layar bioskop. Maka terpaparlah di atas layar itu bayang-bayang khayalku t
entang peristiwa-peristiwa dalam neraka.
Anak yang nakal, yang tidak mau bersembahyang akan masuk nerak, begitu kata ibu.
“di neraka anak yang nakal itu akan direbus dalam kancah timah yang bergolak-gola
k. Tidak ada yang bisa menolong, ibu bapaknya pun tidak bisa menolong.
Pada kutipan di atas, kita dapat mengetahui bahwa Hasan semasa kecilnya adalah s
eorang anak yang penurut. Dia termasuk anak yang baik,karena sejak kecil sudah d
iajarkan sembahyang dan ilmu agama yang baik. Hasan juga telah dididik dengan bu
di pekerti yang luhur.
2. Rusli
Seorang pemuda teman Hasan yang telah sangat terpengaruh oleh kehidupan kota bes
ar. Dan dia inilah yang mempengaruhi kehidupan Hasan. Rusli merupakan orang yang
modern kehidupannya. Dunia barat dan globalisasi telah mempengaruhi kehidupan d
an pola pikirnya.
Hanya dalam dua hal kami kami tidak pernah bersama-sama, yaitu kalau Rusli berbu
at nakal, dan apabila aku sembahyang. Orang tuaku melarang nakal, menyuruh semba
hyang. Orang tua Rusli tak peduli.
Dan kalau kami bersama-sama pergi ke masjid, maka aku untuk sembahyang, sedang R
usli untuk mengganggu khatib tua yang tuli atau untuk memukul-mukul bedug. Dan t
ak jarang pula aku sendiri diganggunya dalam sembahyang, dikili-kilinya telingak
u, aku dipeluknya dari belakang, kalau aku sedang berdiri hendak melakukan rekaa
t pertama.
Rusli bercerita, bahwa setelah tamat dari dari sekolah rendah di tasik malaya, i
a lantas mengunjungi sekolah dagang di jakarta. Tapi tidak tamat, hanya sampai k
elas tiga, oleh karena ia lantas tertarik oleh pergerakan politik. Sebagai seora
ng pemuda yang berkobar-kobar semangat kebangsaannya, ia masuk anggota salah sat
u anggota partai politik. Setelah partai politik tersebut dilarang dan banyak pe
mimpin-pemimpinnya ditangkap, maka Rusli menyingkir ke singapura.
Di kota besar itu ia banyak bergaul dengan kaum pergerakan dari segala bangsa. N
afkah dicarinya dengan jalan bekerja sebagai sopir taksi, tempo-tempo berdagang
kecil-kecilan. Soal nafkah memang tidak menjadi soal berat bagi rusli, oleh kare
na sebagai seorang pemuda bujangan ia tidak mempunyai banyak kebutuhan.
(Atheis, hal 35)
Dari kutipan tersebut, kita telah dapat mengetahui bagaimana karakter dan watak
Rusli. Rusli merupakan seorang pemuda yang cukup ulet dan semangatnya berkobar-k
obar untuk mengikuti pergerakan. Sifat ini memang sudah ada sejak Rusli masih ke
cil. Rusli tidak pernah menjalankan sembahyang dengan baik. Rusli termasuk anak
yang nakal karena kuang mendapat perhatian dari orang tuanya.
3. Orangtua Hasan
Adalah orang tua yang sangat taat beragama, yang dengan tekun mendidik Hasan ter
hadap pelajaran-pelajarann agama. Mereka sangat menyayangi Hasan. Bagi mereka Ha
san adalah segalanya dan harus mendapat yang terbaik. Sejak kecil mereka te;lah
mendidik Hasan untuk menjadi orang yang baik dan berguna pada suatu saat. Mereka
juga orang tua yang sangat taat dan patuh terhadap perintah agama. Hal ini dapa
t kita temukan pada kutipan berikut,
Ia seorang pensiunan manteri guru. Dengan pensiunannya yang besarnya hanya enam
puluh rupiah, ia bisa hidup sederhana di kampung itu. Sebelum pensiun, berpindah
-pindah saja tempat tinggalnya. Mula-mula sebagai guru bantu di kota tasik malay
a, lantas pindah ke ciamis, ke banjar dan beberapa tempat kecil lgi, sampai pada
akhirnya ia dipensiun sebagai menteri guru di ciamis.
Ayah dan ibuku tergolong orang yang sangat saleh dan alim. Sudah sedari kecil ja
lan hidup ditempuhnya dengan tsbeh dan mukena. Iman islamnya sangat tebal. Tidak
ada yang lebih nikmat dilihatnya daripada orang yang sedang bersembahyang, sepe
rti tidak ada pula yang lebih nikmat bagi penggemar film daripada menonton film
bagus.
Memang baik ayah maupun ibuku kedua-duanya keturunan keluarga yang alim pula. Uj
ung cita-cita mereka mau menjadi haji. Tapi oleh karena kurang mementingkan soal
mencari kebendaan, maka mereka tidaklah mampu untuk melaksanakan pelayaran keta
nah suci. (Atheis, hal 16-17)
Dari kutipan di atas, kita dapat mengetahui bagaimana kehidupan dan watak orang
tua Hasan. Mereka hidup dalam kesederhanaan, tetapi imannya terhadap agama sanga
t tinggi. Mereka merupakan orang-orang yang saleh dan beriman.
4. Rukmini
Rukmini adalah seorang perawan atau gadis yang sangat dicintai oleh Hasan , namu
n Rukmini kemudian menikah dan menjadi istri seorang saudagar di Jakarta.
Rukmini adalah seorang anak haji kosasih. Yaitu seorang pedagang besar di kota b
andung. Ia baru saja tamat sekolah kepandaian putri yang diselenggarakan oleh mi
ssie. Tapi biarpun bersekolah katolik, ia tetap rajin melakukan sembahyang, berp
uasa, dan lain-lain lagi perintah agama islam. Memang perasaan keagamaan pada ga
dis itu sangat tebal. Walaupun begitu, ia tidak kaku dalam pergaulan, selalu ria
ng dan ramah, suka sekali bercakap-cakap dan pandai pula bersolek. Cita-citanya
sama dengan aku, mau mengabdi dan memajukan agama kita. (Atheis, hal 48)
Dari kutipan tersebut, kita telah mengetahui bagaimana watak dari Rukini. Dia ad
alah seorang gadi yang pintar dan juga baik hati. Ilmu agamanya cukup tinggi dan
juga seorang perempuan yang saleh, Rukmini gadis yang pandai bergaul dan juga p
anda menjaga perasaan orang lain.
5. Kartini
Seorang perempuan modern, yang selanjutnya menjadi kekasih dari Hasan. Kartini m
erupakan seorang perempuan yang sangat modern. Hal ini karena pengaruh perkemban
gan zaman dan pergaulan Kartini yang sangat luas.
“matanya lincah berikilau-kilauan. Ia memakai kebaya crepe warna kuning mengkilap.
Pada dadanya sebelah kiri terklukis sekuntum bunga aster berwarna nila dengan t
iga helai daunnya yang hijau tua. Kainnya jelamprang yang dipakaikan secara “gejed
mulo” artinya demikian rupa hingga dalam dia melangkah, betisnya yang kuning lang
sep itu seolah-olah tilem timbul, sekali langkah kelihatan, sekali lagi tertutup
oleh kainnya. Sehelai kain leher yang panjang dari sutera hijau muda berbunga-b
unga merah membelit kendur pada lehernya. Bibirnya merah dengan lipstic dan pipi
nya memakai roug yang tidak terlalu merah. Segala-galanya serba modern, tetapi t
epat sederhana, tidak berlebih-lebihan”.(Atheis, hal 40)
Kutipan di atas bagaimana penampilan Kartini yang menunjukan bahwa ia merupakan
seorang perempuan yang modern dan dinamis. Tingkah lakunya memang banyak terpeng
aruh dengan kehidupan modern. Namun kemodernan Kartini masih tetap sederhana dan
menambah kecantikannya.
6. Anwar
Anwar seorang pemuda anarkis, yang begitu mempengaruhi kehidupan Hasan. Anwar se
orang pemuda yang begitu kental dengan kehidupan pergerakan. Ia merupakan tokoh
pemuda yang cukup berpengalaman dengan dunia pergerakan. Selain itu anwar juga m
erupakan seorang pemuda yang selalu ingin diperhatikan oleh orang lain. Dalam ku
tipan berikut akan digambarkan bagaimana sifat dan karakteristik Anwar.
“ bagi Anwar hal itu agaknya kurang menyenagkan hatinya. Sudah biasa ia menjadi pu
sat perhatian orang. Berusaha menjadi pusat. Kalau Bung Parta melucu, Anwarlah y
ang paling keras tertawanya.kalau Bung Parta mengemukakan pendapat atau suatu te
ori, anwarlah yang paling dahulu berseru: betul! Betul! Betul! Dan kalau Bung Pa
rta menyeropot kopi manisnya, maka anwar pulalah yang mempersilakan orang-orang
lain meminum kopinya atau mengambil kue-kuenya. Dia sendiri menjangkau lagi pisa
ng goreng.
Tapi rupanya cara demikian itu belum cukup juga bagi Anwar. Ia mau lebih mendapa
t perhatian umum. Barangkali juga memang ia mau mengemukakan pendapatnya secara
jujur. Pendeknya, Bung Parta yang selama ini tidak pernah didebati orang, tiba-t
iba mendapat perdebatan dari Anwar”.
Kutipan tersebut, memberikan kita gambaran tentang bagaimana karakteristik anwar
. Dia adalah seorang anarkis yang selalu ingin menjadi pusat perhatian. Dari kut
ipan tersebut, kita juga mengetahui bahwa anwar adalah seorang yang suka mencari
muka dihadapan orang lain. Dan satu hal yang lain, adalah bahwa Anwar orang yan
g cukup rakus dan suka makan.
7. Siti
Siti adalah seorang babu yang soleha. Dia juga seorang babu yang memiliki iman y
ang cukup kuat. Ia sangat pandai dalam mendongen. Siti merupakan seorang babu ya
ng bisa mengerti tentang keadaan Hasan. Semasa kecil, Hasan banyak meluangkan wa
ktu bersama dengan Siti.
Siti suka sekali mendongeng, dan sebagai biasanya pandai pula ia mendongeng. Dan
tentu saja yang biasa didongengkannya itu dongeng yang hidup subur diantara par
a santri itu. Aku seakan-akan bergantung kepada bibirnya, mendengarkan. Terutama
sekalai kalau siti menceritakan abunawas dan raja harul al-rasyid.
Tapi biarpun begitu tidak ada cerita yang lebih berkesan dalam jiwaku yang masih
hijau itu daripada cerita-cerita yang plastis tentang hukuman-hykyman neraka ya
ng harus didrita oleh orang-orang yang berdosa didalam hidupnya di dunia.
‘mereka’ kata siti harus melalui sebuah jembatan pisau yang sangat tajam, lebih taja
m daripada sebuah pisau cukur, sebab pisau itu tajamnya seperti shelai rambut di
belah tujuh. (Atheis, hal 23)
Dari kutipan di atas kita dapat mengetahui bahwa siti merupakan seorang babu yan
g memiliki pengetahuan cukup tinggi tentang agama Islam. Hal ini dapat kita simp
ulkan dari dongeng-dongeng yang disampaikan oleh Siti. Kesimpulan ini juga ditun
jang dari latar belakang Siti yang merupakan seorang santri yang taat.
8. Nata
Nata adalah seorang jongos atau pembantu laki-laki. Nata sendiri adalah suami da
ri Siti. Sama dengan Siti, Nata pun adalah seorang santri yang cukup taat. Dalam
hal ini nata merupakan seorang santri yang cukup memiliki pikiran yang kritis t
entang agama Islam. Kita dapat melihat karakter dari Nata, berdasarkan kutipan b
erikut ini.
Untuk harmoni di dalam rumah tangga, maka babu dan bujang punterdiri dari sejodo
h orang-orang yang alim juga. Nata, lakinya pernah belajar mengaji pada sebuah p
esantren. (Atheis, hal 23)
Kutipan tersebut memberikan kita gambaran betapa Nata, maupun istrinya merupakan
orang yang saleh. Nata merupaka sosok suami yang memiliki tanggung jawab terhad
ap istri dan pekerjaan.
9. Bung Parta
Bung Parta adalah seorang tokoh pergerakan. Ia sangat pandai menyampaikan atau m
engemukakan gagasan tentang dunia pergerakan. Dalam menyampaikan pandangan-panda
ngannya itu, ia sering menggunakan lelucon untuk lebih meresap apa yang disampai
kannya itu, sehingga lebih mudah diterima oleh pendengarnya. Berikut adalah kuti
pan yang menyatakan bagaimana karakteristik Bung Parta.
Ketika masih berumur kira-kira 17 tahun, ia sudah turut berjuang dikalangan sere
kat islam. Ia pandai sekali berpidato. Sebagai propagandais dan demagog rupanya
sukar mencari bandingannya, suatu tenaga yang luar biasa bagi SI. Akan tetapi ke
mudian ia bertukar haluan. Ia terpengaruh oleh aliran sosialis radikal yang keti
ka itu baru mulai merembes ke tanah air kita Indonesia. Maka serekat islam lanta
s ditentangnya dengan keras-kerasnya. Pernah ia berpidato di salah sebuah rapat
umum yang diadakan pada bulan puasa. Begitulah ceritanya dengan berkelakar. Di a
tas podium ia lantas minum dimuka hadirin yang kebanyakannya terdiri dari orang-
orang islam yang berpuasa. Tentu saja berteriak-teriak serta memaki-maki , malah
ada juga yang melempar-lempar dengan apa saja yang bisa dilemparkannya ke podiu
m. (Atheis, hal 112)
Kutipan diatas menggambarkan bagaimana sifat dan perwatakan dari Bung Parta. Ia
merupakan seorang tokoh yang cukup radikal dan memiliki pengaruh yang besar. Dal
am kehidupannya, ia sudah mengalami berbagai kejadian yang membuat pengalamnnya
bertambah.
10. Haji Dahlan
Haji Dahlan adalah seorang haji yang berasal dari banten. Nama aslinya sebelum j
adi haji adalah Wiranta. Haji Dahlan merupakan seorang haji yang memiliki ilmu a
tau pandangan yang cukup luas tentang ajaran agama Islam. Hal ini dapat kita ket
ahui dari kutipan berikut.
Banyak sekali serta dengan penuh semangat haji dahlan menguraikan pendapatnya te
ntang agama islam. “apa artinya bungkusan kalau tidak ada isinya. Betul tidak kak?
Yang kita perlukan terutama isinya, bukan? Tapi biarpun begitu, isipun tidak ak
an sempurna kalau tidak berbungkus. Ambil saja mentega atau minyak samin. Akan s
empurnakah makanan itu kalau tidak dibungkus? Kan tidak. Atau pisang ini? Oleh k
arena itu, maka sereat, tarakat, hakekat,dan makrifat semuanya itu sama=sama per
lu bagi kita. Sereat yaitu ibarat buungkus, tarekat yaitu….tapi ah, lebih baik say
a ambil kiasan yang lebih tepat. Kiasan mutiara saja. Mutiara itumakrefat hakeka
t, tujuan kita. Sareat yaitu kapal.tenaga dan pedoman kita untuk mendayung kapal
dan kemudian menyelam kedasar segara untuk mengambil mutiara itu, ialah tarekat
. Kita tidak mungkin dapat mutiara kalau tidak punya kapal dan tidak punya tenag
a serta pedoman untuk mendayung dan menyelam ke dalam segara. Alhasil se,muanya
perlu ada dan perlu kita jalankan bukan? Kapal tidak akan ada artinya kalau kita
tidak ada tenagauntuk mendayungnnya dan tidak ada pula pedoman melancarkan ke j
alan yang benar. Itulah maka sareat dan tareka perlu kedua-duanya, bukan?”
(Atheis, hal 17-18)
Dari kutipan tersebut, kita mengetahui bahwa bagaimana karakter dari Haji Dahlan
. Beliau adalah seorang haji yang memiliki kemampuan dalam berkotbah yang cukup
baik. Beliau mampu menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam melalui perbandingan-p
erbandingan atau contoh-conntoh. Dengan contoh-contoh tersebut, orang yang diaja
k berbicara lebih cepat mengerti tentang apa yang disampaikan. Haji Dahlan merup
akan seorang haji yang cukup baik, karena telah mau memberikan nasehat kepada or
ang lain tentang ajaran agama.
4.2.3 Latar (Setting)
Untuk mengetahui ketapatan latar dalam sebuah karya dapat dilihat dari beberapa
indikator. Abrams (Gunatama, 2005:84) menyebutkan tiga indikator yang meliputi,
yakni (1) general locale, (2) historycal time, (3) social cirxumstances. Barangk
ali dari indikator itulah akan dapat dilihat kesesuaian unsur-unsur pembentuk ce
rita. Jika indikator tersebutditerapkan dalam telaah latar sebuah karya sastra,
bukan berarti bahwa persoalan yang dilihat hanya sekedar tempat terjadinya peris
tiwa, saat terjadinya peristiwa, dan situasi sosialnya, melainkan juga dari kont
eks diagesisnya kaitannya dengan prilaku masyarakat dan dan watak para tokohnya
sesuai dengan situasi pada saat karya tersebut diciptakan. Karena itu, dari tela
ah yang dilakukan harus diketahui sejauh mana kewajaran, logika, peristiwa, perk
embangan karakter pelaku sesuai dengan pandangan masyarakat yang bberlaku saat i
tu. Menurut Toda (1984:41) bahwa latar itu adalah suatu kejadiaan terjadi yang d
ikenal sebagai ruang tokoh-tokoh melandaskan laku. Dan latar yang berupa alam da
pat berfungsi dari keinginan manusia (Gunatama, 2005:84)
a. Latar Tempat
Latar ini berhubungan dengan masalah tempat suatu cerita terjadi. Wujud latar in
i secara konkrit menampilkan (1) latar tempat di luar rumah, dan (2) latar tempa
t di dalam rumah. Kedua latar ini melingkupi pelaku atau tempat terjadinya peris
tiwa ataupun tempat terjadinya peristiwa ataupun seluruh cerita. ; lingkungan ke
hidupa, misalnya lingkungan sekolah, dan lingkungan pabrik ; sistem kehidupan, m
isalnya kehidupan perguruan tinggi ada rektor, dekan, dosen, dan mahasiswa ; ala
t-alat atau benda, misalnya di pabrik ada mesin dan lori ; dan watak terjadinya
peristiwa, misalnya pagi, siang, sore, bulan agustus, dan musim kemarau.
1. latar tempat di luar rumah
Roman ini sebagian besar mengambil latar atau setting daerah Pesundan, baik itu
kehidupan agama masyarakatnya, adapt istiadatnya, maupun kehidupan sosial masyar
akatnya..
Di lereng gunung telaga Bodas di tengah-tengah pegunungan Priangan yang indah, t
erletak sebuah kampung, bersembunyi dibalik hijau pohon-pohon jeruk Garut yang s
egar dan subur tumbuhnya berkat tanah dan hawa yang nyaman dan sejuk. Kampung pe
nyeradan namanya. Kampung itu terdiri dari kurang lebih dua ratus rumah kecil. Y
ang kecil yang jauh lebih besar jamlah-jumlahnya dari yang besar, adalah kepunya
an buruh-buruh tani yang miskin, dan yang besar ialah milik petani-petani kaya(a
rtinya yang mempunyai tanah kurang lebih sepuluh hektar) yang disamping bertani,
bekerja juga sebagai tengkulak-tengkulak jeruk, dan hasil bumi lainnya. Di anta
ra rumah-rumah kecil dan rumah-rumah besar dari batu itu, ada lagi beberapa ruma
h yang dibikin dari setengah batu. Artinya, lantainya dari tegel tapi dindingnya
hanya sampai kira-kira seperempat tinggi dari batu, sedangkan atasnya dari dind
ing batu biasa. Rumah-rumah demikian itu kepunyaan penduduk yang sentana, artiny
a yang mempunyai tanah barang sehektar duahektare. (Atheis, hal 16)
Dari kutipan tersebut telah menggambarkan latar tempat dan kehidupan masyarakat
pedesaan di desa panyeradan di daerah Pasundan. Kutipan tersebut menggambarkan s
ecara diteil mengenai tempat sebuah peristiwa, serta tatanan kehidupan yang berl
aku.
Loket bagian jawatan air dari kota praja tidak begitu ramai seperti biasa. Ruang
an di muka loket-loket yang berderet itu sudah tipis orang-orangnya. Memang hari
pun sudah jam satu lebih. Yang masih berderet di muka loketku hanya beberapa ora
ng saja. Aku asyik meladeni mereka. Seorang demi seorang meninggalkan loket sete
lah diladeni. Ekor yang terdiri dari orang-orang itu makin pendek, hingga pada a
khirnya hanya tinggal satu orang saja. (Atheia, hal 30)
Kutipan tersebut menggambarkan tentang suasana Kotapraja tempat Hasan bekerja. I
ni merupakan salah satu latar yang diambil di daerah kota Bandung.
Dalam roman Atheis yang juga dijadikan latar adalah kota Tasik Malaya. Kota ini
merupakan tempat sekolah Hasan bersama Rusli.
Saat itu pula dua badan yang terpisah oleh dinding, sudah tersambung oleh sepasa
ng tangan kanan yang erat berjabatan. Mengalir seakan-akan rasa persahabatan yan
g sudah lama itu membawa kenangan kembali dari hati ke hati melalui jabatan tang
an yang bergoyang-goyang naik turun seolah-olah menjadi goyah karena derasnya al
iran rasa ini. Kepalaku seakan-akan turut tergoncangkan, mengeleng-geleng sambil
berkata,”astaga, tidak mengira kita akan berjumpa lagi ya. Sudah lama ya kita tid
ak berjumpa? Sejak kapan?
Saya rasa sejak sekolah HIS, di tasik malaya dulu, sejak itu kita sudah tidak pe
rnah berjumpa lagi. (Atheis, hal 31)
Roman “Atheis” secara umum dapat menggambarkan pergerakan tokoh Hasan, atau perpinda
han yang dilakukan. Semasa kecilnya, Hasan tinggal bersama kedua orangtuanya di
Panyandaran. Ini berlangsung dari kecil sampai siap bersekolah. Setelah berseeko
lah, Hasan pendah ke Tasik Malaya, tepatnya ia bersekolah di HIS. Disinilah ia m
ulai bertemu dengan Rukmini, dan mulai menjalin perasaan cinta. Disini pula Hasa
n dan Rusli bersekolah bersama. Enam tahun mereka bersekolah disini. Seytelah ta
mat sekolah HIS, Hasan kembali ke panyadaran. Ia dan Kartini bersama dengan Rusl
i kembali ke kampung. Tapi setelah itu, Hasan mendapat pekerjaan di Bandung, kem
udian ia pun pergi ke Bandung untuk bekerja.
Berikut ini adalah diagram yang menyatakan latar dari roman “Atheis”.
Panyandaran,
Kampung tempat tinggal Hasan beserta kedua orang tuanya.

2
1
Tasik Malaya,
Tempat sekolah Hasan, yaitu sekolah HIS bersama dengan Rusli.
Bandung,
Tempat kerja Hasan setelah lulus sekolah
3
2. Latar tempat di dalam rumah
Latar tempat di dalam rumah dapat diamati melalui peristiwa-peristiwa yang terja
di di dalam rumah. Gambaran latar di dalam rumah dapat di temukan di rumah Hasan
(di penyendaraan), rumah Hasan (di Bandung), rumah Rusli kebon mangga 11.
Berikut adalah kutipan yang berlatar tempat di rumah Hasan di penyandaraan.
‘’ ibu didapur segera diberi tahu tentang niatku itu. Maka berlinaglah air mata ibuk
u.. syukurlah anakku.
Aku tertunduk haru, terasa tangan yang terletak di atas bahuku bergetar, dan beg
itu juga suaranya. ‘’ (Atheis, hal 26)
‘’ tiga malam haji dahlan menginap di rumah orang tuaku. Pada hari kedua, sepulang b
erjumat di masjid. Sambil duduk-duduk dan minum-minum di tengah rumah ‘. (Atheis,
hal 17)
‘ Selain dari pada itu banyak aku diberi dongeng tentang surga dan neraka. Dan bia
sanya ibu mendongeng itu sambil berbaring-baring dalam tempat tidur, sebelum aku
tidur. Ia berbaring di sampingku, setengah memeluk aku. Dan aku menengadah deng
an mataku lurus melihat ke para-para tempat tidur seperti melihat layar bioskop.
(Atheis, hal 21)
”Ah saudara, silakan masuk, saudara rusli menegurku dengan ramah ketika dilihatnya
aku masuk halaman menyandarkan sepeda pada tembok.
Sepedanya dikunci saja bung.
Pintu menggerit dibuka oleh rusli. Aku masuk.
Silakan duduk bung.
Nampaknya rusli belum mandi.kulit mukanya seperti orang jepang. “
(Atheis, hal 34)
“Di kamarku ada kaca besar,” kata rusli
“Boleh saya” tanya kartini bangkit
“Tentu saja, kenapa tidak boleh! Tak usah kuhantarkan toh?” sahut rusli berolok-olok
.
“aku suda besar. Tahu jalan. Jangan takut, takan tersesat” jawab kartini tertawa sam
bil menghilang ke dalam kamar. (Atheis, hal 41)
Biar bi, saya tunggu bibi saja, ‘sahutku melangkah ke sebuah kursi malas di sudut
serambi tengah.
Dengan lesu kehempaskan diri ke atas kursi malas itu. Berbaring mengadah ke para
-para dengan berbantal tangan. Cecak-cecak bekejar-kejaran. Bercerecak suaranya.
Ada yang berebut-rebutan nyamuk atau kupu-kupu kecil, ada juga yang bercumbu-cu
mbuan. Seakan-akan cecak-cecak itu sengaja mau memperingatkan aku kepada dua hal
atau soal hidup yang terdapat serentak di muka mataku. Mempertahankan hidup dir
i sendiri dan mempertahankan hidup sejenis. (atheis, hal 48)
Dari kamar makan aku terus saja masuk kekamar tidur. Lampu kunyalakan sebab tera
sa belum ngantuk. Kusiakkan kelambu, sebab ingin berbaring-baring sambil merokok
. Enak merokok sesudah makan. Padahal aku tidak boleh banyak merokok.
(Atheis, hal 50)
Pada kutipan pertama menggambarkan latar didalam rumah Hasan. Dalam kutipan ters
ebut kita bisa melihat bahwa latar belakang yang digunakan adalah dapur. Latar t
empat ini menggambarkan watak dari ibu Hasan yang sangat begitu mencintai anakny
a, dan sangat sayang kepada Hasan. Latar tersebut juga menggambarkan suasana keh
aruan yang sangat mendalam.
Kutipan kedua berlatar tempat di rumah tengah atau ruang tengah. Di ruang tengah
terjadi pembicaraan antara Haji Dahlan dengan ayah, ibu serta Hasan. Pada saat
ini haji dahlan sedang memberikan ceramah tentang ajaran agama. Di dalam latar t
ersebut juga terlihat adanya suasana keakraban antara keluarga Hasan dengan Haji
Dahlan.
Kutipan ketiga juga menggambarkan suasana rumah Hasan, tepatnya mengambil latar
belakang di kamar tidur Hasan, tepatnya di tempat tidur Hasan. Latar ini juga me
nggambarkan suasana ke ibuan yang sangat tinggi. Rasa kasih sayang seorang ibu k
epada anaknya yang sangat dicintainya. Latar ini juga memberikan kita gambaran b
ahwa seorang ibu selalu ingin memberikan yang terbaik kepada anaknya. Begitu jug
a yang dilakukan oleh ibu Hasan. Dengan memberikan dongeng-dongeng tentang moral
, ia mengharapkan anaknya menjadi orang yang baik dan bermoral.
Pada kutipan keempat, menggambarkan tentang rumah Rusli. Latar ini mengambil lat
ar belakang ruang tengah rumah Rusli. Latar ini terjadi pada saat hasan untuk pe
rtama kalinya berkunjung ke rumah Rusli. Dalam latar ini menggambarkan suasana k
eakraban dan keramahan Rusli.
Kutipan kelima juga menggambarkan rumah Rusli. Latar blakang tempat ini adalah k
amar tidur Rusli yang berisi cermin besar. Latar ini menggambarkan bagaimana kea
daan rumah Rusli, khusunya kamar tidur yang berisi cermin yang besar. Latar ini
menggambarkan keramahan Rusli terhadap Kartini. Pada saat kartini ingin merperba
iki make upnya, Rusli mempersilahkan ke kamarnya.
Berbeda dengan kutipan kelima, kutipan keenam mengambil latar di rumah kos-kosan
Hasan. Latar belakang peristiwa ini terjadi di ruang tengah ketika Hasan hendak
makan. Latar ini menggambarkan bagaimana suasana ruang tengah yang terdapat seb
uah kursi malas di sudut ruangan. Selain itu, latar ini juga menggambarkan suasa
na hati Hasan yang sangat kacau. Rasa malasnya menggerogoti Hasan.
Kutipan ketujuh menggambarkan latar di rumah Hasan, yang menjadi latar belakangn
ya adalah kamar tidur hasan. Kutipan ini menggambarkan bagaimana keadaan tempat
tidur Hasan, yabng memiliki kelambu. Latar ini juga menggambarkan keresahan hati
Hasan. Hasan memikirkan masalah yang cukup berat.
b. Latar Waktu
Latar waktu selalu berkaitan dengan saat berlangsung suatu cerita. Oleh karena i
tu, waktu sangat penting dalam suatu cerita karena tidak mungkin ada rentetan pe
ristiwa tanpa hadirnya sang waktu (Wellek dan Austin Varrren, 1956:223). Itulah
sebabnya karya sastra termasuk seni waktu (time art)
Latar waktu dalam roman “Atheis” ditandai oleh penunjuk waktu dari awal sampai akhir
roman tersebut, dapat dibagi berdasarkan rentangan waktu, yaitu (1) diakronis,
dan (2) sinkronis.
1 Secara Diakronis
Secara keseluruhan (diakronis), roman “Atheis” berlatar waktu kurang lebih tiga pulu
h tahun. Rentang waktu tiga puluh tahun tersebut dapat disimpulkan dari paparan
sebagai berikut.
Pada bagian awal cerita dari roman “Atheis”, dilukiskan kehidupan Hasan ketika masih
hidup di desa Panyendaran. Pada saat itu usia Hasan baru menginjak lima tahun.
Setelah usia enam tahun hasan masih tinggal bersama kedua orang tuanya.
Ketika sekolah di Tasik Malaya, Hasan kira-kira sudah berumur tujuh tahun. Lama
Hasan bersekolah enam tahun. Pada saat itu, berarti Hasan sudah berumur tiga bel
as tahun. Pada saat itulah Hasan mulai berpisah dengan Rusli, teman baiknya di k
ampung dan teman satu sekolahnya di Tasik Malaya. Setelah berpisah, Hasan dan Ru
sli mencari kehidupannya masing-masing. Hasan melanjutkan sekolah, begitu juga d
engan Rusli. Hanya saja Rusli tidak menyelesaikan sekoklahnya, sedangkan Hasan s
ampai selesai. Rusli setelah tidak bersekolah berpetualang sampai ke Singapura.
Dari Jakarta, ia pindah ke Singapura dan bekerja sebagai sopir taksi. Lain halny
a dengan Hasan, setelah selesai dengan sekolahnya, Hasan melanjutkan pendidikan
agama. Hasan mulai memperdalam ajaran agamanya dengan masuk kedalam sebuah alira
n, yang juga diikuti oleh orang tuanya.
Hasan dan Rusli baru bertemu kembali setelah berpisah selama lima belas tahun. M
ereka bertemu kembali ketika Rusli hendak memasang saluran air. Hasan dan Rusli
bertemu ditempat Hasan bekerja.
Berselang satu tahun, akhirnya Hasan dan Kartini menikah. Namun, perjalanan ruma
h tangga mereka tidak berjalan lama. Rumah tangga mereka hanya bertahan selama t
iga tahun. Mereka memutuskan untuk bercerai, karena sudah tidak ada kecocokan da
n keharmonisan. Api cemburu membakar hasan sehingga membutakan mata hatinya. Mel
ihat peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam rentang tahun tersebut, maka latar w
aktu diakronisnya adalah tiga puluh tahun.
Disamping latar waktu secara diakronis, terdapat juga latar waktu bagian dari ha
ri, bagian dari bulan, bagian dari tahun, dan bagian dari penunjuk waktu lainnya
. Semua penunjuk waktu tersebut dinamakan penunjuk waktu secara sinkronis.
2 Secara Sinkronis
2.1 Latar Waktu Bagian Hari
latar waktu bagian hari adalah latar waktu terjadinya peristiwa pada bagian dari
hari, baik pagi, siang, sore, maupun malam hari. Dalam roman ini ditampilkan la
tar waktu yang berupa bagian dari hari berikut ini.
Malam itu aku merasa kecewa, karena sudah masak ku idamkan akan berkunjung kerum
ah rusli sore itu, tapi rusli pergi. (Atheis, hal 58)
Sampai di rumah magrib menyambut aku dengan tabuh. Aku terbaring ke kamar madi m
engambil air wudhu. (Atheis, hal 44)
Tepat jam setengah lima seperti telah dijanjikan, aku tiba di rumah rusli. Tidak
susah mencari nomor sebelas. (Atheis, hal 34)
Loket bagian jawatan air dari kota praja sudah tidak begitu ramai seperti biasa.
Ruangan di muka loket-loket yang berderet itu sudah tipis orang-orangnya. Meman
g haripun sudah menunjukan jam satu lebih. (Atheis, hal 30)
Kutipan-kutipan di atas menunjukan latar waktu bagian dari hari. Hal ini tampak
dengan jelas karena adanya penanda waktu yang merupakan bagian dari hari seperti
,
- malam itu
- maghrib menyambut
- tepat jam setengah lima
- jam satu siang lebih
Penanda waktu tersebut menggambarkan waktu atau kejadian yang terjadi tidak lebi
h dari sehari. Kejadian ini terjadi sebagai bagian dari waktu.
2.2 Latar Waktu Bagian Dari Minggu, Bulan, Dan Tahun
Latar waktu bagian dari minggu, bulan, dan tahun tampak pada kutipan berikut.
Tiga malam haji dahlan menginap di ruah orang tuaku. Pada hari kedua, sepulang b
erjumat di mesjid sambil duduk-duduk dan minum-minum di tengah rumah ayah berkat
a kepada haji dahlan, “kakak, lihat adik selalu memetik tasbih” (Atheis, hal 16)
Sebulan kemudian ayahku memecahkan celengannya, dan dengan uang yang ada di dala
mnya itu berangkatlah ia ke banten bersama-asama dengan ibu.
(Atheis, hal 19)
Pada suatu hari ayah pulang dari pasar. Dibawanyasebagai oleh-oleh sehelai kain
dan sebuah peci kecil untukku. (Atheis, hal 22)
Hari rabo dan kamis aku tidak masuk kantor. Salahku sendiri juga. Kenapa dalam m
alm yang sedingin itu, aku jalan-jalan ke luar dengan hanya berpakaian piyama ya
ng tipis saja sehingga aku masuk angina. (Atheis, hal 87)
Hari sabtu kantor-kantor pemerintahan hanya bekerja sampai jam satu siang.
(Atheis, hal 99)
Sudah empat bulan lalu, sejak aku bertemu dengan rusli dan kartini. Makin hari,
makin rapatlah pergaulan kami bertiga. (Atheis, hal 107)
Mulutnya masih menggigit piasang goring. Ternyata sudah dua hari yang lalu anwar
pindah ke rumah rusli. (Atheis, hal 111)
Seminggu bung parta harus berobat di rumah skit. Sebab kepalanya benjol-benjol k
ena tinju halayak yang katanya nyata masih kuat memukul, walaupun sedang berpuas
a. (Atheis, hal 113)
1 oktober. Ku hitung dengan jari. Februari, maret, april, mei,………… tiga tahun setengah k
ira-kira sejak 12 februari 1941. sejak aku kawin dengan kartini.
(Atheis, hal 165)
Kutipan di atas menggambarkan latar bagian dari minggu, bulan, dan tahun. Hal in
i dikarenakan ada penanda atau identitas yang menyatakan bahwa kutipan tersebut
berlatar waktu yang merupakan bagian dari minggu, bulan, dan tahun sebagai berik
ut,
- tiga malam
- suatu hari
- hari Rabo dan Kamis
- hari Sabtu
- seminggu
- sebulan
- Oktober
- Februari
- Maret
- April
- Mei
Kata-kata tersebut merupakan identitas yang sangat menentukan kapan terjadinya s
ebuah peristiwa. Kata-kata tiga malam, suatu hari, hari Rabu dan Kamis, dan hari
Sabtu menunjukan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada latar waktu yang merupak
an bagian dari hari. Sedangkan kata seminggu, menunjukan bahwa peristiwa tersebu
t terjadi pada latar yang merupakan bagian dari bulan. Sementara kata-kata seper
ti sebulan, Oktober, Februari, Maret, April, dan Mei merupakan kata-kata yang me
nunjukan bahwa sebuah peristiwa terjadi pada latar waktu yang merupakan bagian d
ari tahun.
c. Latar Sosial
Latar sosial sudah tentu mengangkat status sosial seorang tokoh cerita dalam keh
idupan sosialnya. Latar dan lingkungan social yang melatarai roman “Atheis” berkaita
n dengan status dalam masyarakat dan lapangan pekerjaan atau penghasilan para to
koh. Oleh karena itu, latar sosial dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu l
atar sosial menengah, (latar sosial rendah). Ini berarti, kedua latar itu jelasl
ah bahwa tema dan perwatakan akan saling bekaitan dengan latar sosial tersebut.
Untuk mendapatkan gambaran status social tokoh-tokoh dalam cerita ini, berikut d
ipaparkan gambaran masing-masing tokoh.
1. Latar Social Menengah
Yang termasuk dalam latar social menengah ini adalah kelompok yang berlatar sosi
al menengah mencakup tokoh yang berpendidikan menengah pula. Termasuk di dalamny
a lingkungan guru, pegawai, pekerja social, pegawai, pedagang, pelajar, dan maha
siswa. dalam roman “Atheis”, menampilkan latar sosial menengah melalui tokoh-tokohny
a yaitu,
a. Hasan
b. Rusli
c. Kartini
d. Anwar
e. Raden Wiradikarta dan istri
f. Bung Parta
g. Rukmini
Hasan adalah tokoh yang berlatar social menengah karena ia meneruskan sekolah sa
mpai menengah. Kemudian setelah tamat Hasan bekerja sebagai pegawai di kota praj
a. Tokoh Hasan adalah tokoh yang mempunyai pemikiran yang baik, tetapi pada akhi
rnya ia terpengaruh pula pada hal-hal yang kurang baik tersebut. Keinginan awaln
ya untuk meluruskan pikiran Rusli dan Kartini, tetapi pada akhirnya ia sendiri y
ang terpengaruh oleh pola piker Rusli dan Kartini.
Rusli juga merupakan tokoh yang berlatae sosial rendah. Hal ini karena ia menyel
esaikan sekolah menengah, kemudian setelah tamat sekolah menengah, ia mengikuti
gerakan bawah tanah. Ia melakukan hal itu, karena terpanggil oleh semangat kepem
udaan. Semangat yang ingin membuat hal-hal yang lebih maju.
Tokoh Kartini juga merupakan tokoh yang berlatar sosial rendah. Latar ini diteri
ma oleh Kartini, karena ia merupakan seorang wanita yang bergelut dalam bidang p
olitik, walaupun tidak secara aktif. Kartini juga merupakan seorang wanita yang
berpikiran modern. Hal ini karena adanya pengaruh dari kehidupan metropolitan ya
ng dijalaninya selama ini.
Sama dengan tokoh Rusli, tokoh Anwar juga berlatar sosial rendah karena keikut s
ertaannya dalam organisasi politik. Anwar juga ikut dalam pergerakan yang mengin
ginkan perbaikan disegala lini kehidupan. Anwar merupakan pemuda yang anarkis, d
an selalu ingin mencari perhatian dari orang lain.
Raden Wiradikarta dan istrinya merupakan orang tua dari Hasan. Mereka masuk lata
r status sosial menengah karena bekerja sebagai seorang guru pada waktu itu. Set
elah pensiun mereka menetap di sebuah perkampungan.
Tokoh Bung Parta merupakan tokoh yang berlatar sosial menengah karena kedudukann
ya sebagai pembicara. Bung Parta memiliki peranan yang cukup penting untuk membe
rikan semangat kepada kader partai yang muda-muda. Hal ini karena kemampuannya u
ntuk menyampaikan pembicaraan yang cukup menarik. Pembicaraan yang diselingi den
gan lelucon.
Rukmini merupakan tokoh yang berlatar social menengah karena status pendidikanny
a. Rukmini bersama dengan Hasan berhasil menyelesaikan sekolah menengah. Mereka
besar bersama. Rukmini juga memiliki pemikiran dan cita-cita yang luhur untuk me
majukan agama Islam.
2. Latar Sosial Rendah
Latar berstatus sosial rendah yang ditampilkan dalam roman “Atheis” adalah tokoh Sit
i dan suaminya, serta bibi tempat Hasan indekost. Tokoh-tokoh ini berstatus sosi
al rendah karena berasal dari orang kebanyakan.
d. Latar Alat
keadaan seorang tokoh dapt menunjukan pekerjaan, keadaan, dan suasana tokoh. Asp
ek-aspek inilah yang juga ikut melatari karya sastra karena melalui pendeskripsi
an latar alat dapat mengetahui gambaran tindakan atau peristiwa tokoh secara kon
krit sebagai penanda ciri keteraturan suatu cerita. Dalam roman “Atheis”, gambaran l
atar alat dapat diketahui melalui identitas tokoh-tokohnya, seperti tokoh utama
(hasan) , dan tokoh-tokoh lainnya pada kutipan berikut.
Maka meloncatlah aku dengan tiba-tiba dari tempat tidurku, bergegar ke meja tuli
s. Kubuka salah satu lacinya, mengambil sebuah album dari dalamnya. Kemudian kem
bali ke tempat tidur, berbaring lagi setengah duduk, membuka-buka album. Agak la
ma kutatap potret rukmini. (Atheis, hal 52)
Kutipan pertama, menggambarkan kamar tudur Hasan yang berisitempat tidur dan mej
a tulis. Jarak antara tempat tidur dengan tempat tidur tidaklah begitu jauh, seh
ingga dengan mudah hasan dapat mengambil potret dari dalam laci. Latar ini juga
menggambarkan kegelisahan hati hasan. Kegelisahan ini disebabkan karena hasan me
mikirkan Rukmini dengan Kartini. Menurut pandangan Hasan, antara Rukmini dan Kar
tini memiliki kemiripan. Untuk membandingkan antara Rukmini dengan Kartini, Hasa
n mengambil potret Rukmini. Pikirannya melayang-layang, bingung menentukan pilih
an.
Esok harinya ehabis sembahyang ashar, aku sudah mendayung lagi ke kebon minggu.
Hatiku penuh harapan dan kesanggupan. Melancarlah sepedaku didorong optimisme.(A
theis, hal 56)
Pada kutipan kedua, menggambarkan latar alat yang digunakan oleh Hasan yaitu sep
eda. Pada saat ini Hasan sedang ingin berkunjung ke rumah Rusli sahabatnya. Sepe
da ini adalah kendaraan sehari-hari yang selalu menemani Hasan. Kendaraan sepeda
ini dibawa Hasan baik untuk bekerja ke kantor, maupun mengunjungi teman-temanny
a.
Panas rasanya dalam dadaku. Melangkah aku ke meja yang ada di tengah ruangan, di
bawah lampu. Seekor kecoak terbang dari bawah poci. Ku tuangkan air the ke dala
m cangkir, seakan-akan dengan harapan supaya segala perasaanyang mengganggu itua
kan hilang tertuangkan dari kalbuku seperti air the dari dalam poci itu. Minumla
h aku beberapa teguk. Segar rasanya. Tapi sebentar kemudian terganggu lagi oleh
perasaan-perasaan tadi itu, seolah-olah perasaan itu masuklah kembali ke dalam j
iwaku bersama air teh yang kuteguk.
Aku melangkah lagi ke kursi malas. Berbaring lagi. Ramailah lagi rapat besar.
(Atheis, hal 59)
Kutipan ketiga menggambarkan latar di rumah Hasan, yaitu ruang tengah. Latar ini
menggambarkan Hasan menggunakan beberapa latar alat seperti meja, poci, dan can
gkir, serta kursi malas. Latar ini memberikan gambaran bahwa latar ini terjadi d
i ruang tengah karena keterangan yang diberikan dalam latar alat. Selain itu, la
tar ini juga memberikan gambaran tentang suasana hati Hasan yang sedang risau da
n tak menentu. Hasan sedang mengalami kegelisahan yang sangat besar. Hasan sedan
g memikirkan perbedaan panangan antara Hasan dengan Rusli. Hasan masih berusaha
bersikukuh bahwa pendapatnya itu benar, tetapi pendapat yang dilontarkan oleh Ru
sli terus terngiang dalam ingatan Hasan. Hal inilah yang menimbulkan kegundahan
dalam hati Hasan.
Aku duduk seraya membebaskan mata melihat-lihat keadaan dalam serambi muka itu.
Sekarang segala-galanaya sudah beres teratur. Tidak banyak perkakas rumahnya di
serambi itu. Hanya satu stel kursi, tempat aku duduk, dan sebuah dipan rapat pad
a dinding sebelah kiri yang ditilami dengan sehelai kain batik. Selanjutnya di s
udut kanan sebuah meja kecil dengan sebuah kursi makan di belakangnya, yang bila
menilik buku-buku dan tempat tinta yang ada di atasnya menunjukan bahwa meja it
u dipakai untuk menulis. Kesan itu diperkuat pula oleh sebuah kalender yang kada
ng-kadang bergelebar-gelebar alon-alon tertiup angina kecil bergantung di sebela
h kanan yang penuh dengan buku-buku. Pada dinding tergantung pula beberapa pigur
a yang melukiskan potret orang-orang yang tidak aku kenal. (Atheis, hal 62)
Dalam kutipan keempat terjadi di rumah Rusli. Kutipan tersebut menggambarkan kea
daan rumah Rrusli yang cukup rapi. Kutipan ini memberikan kita pengetahuaan bahw
a beberapa alat yang sering digunakan oleh Rusli. Kutipan ini menggambarkan Rusl
i adalah seorang yang modern, berpikiran dinamis. Dari tata prabotan yang ditamp
ilkan dalam latar tersebut, kita mengetahui bahwa Rusli merupakan orang yang cuk
up rapi dan bersih.
Rusli berhenti sebentar, menyeringsing lagi ke dalam sapu tangannya. Rupanya mem
bikin waktu untuk berpikir dulu? (Atheis, hal 66)
Pada kutipan kelima disampaikan bahwa Rusli menggunakan latar alat yaitu sapu ta
ngan. Latar tersebut menunjukan bahwa Rusli selain sebagi seorang yang bersih ju
ga rapi. Latar ini juga menggambarkan kegelisahan Rusli. Kegelisahan ini terjadi
karena pertanyaan yang dilontarkan oleh Hasan. Untuk menghilangkan kegelisahan,
Rusli berusaha menggunakan saputangannya sebagai media.
Sebentar kemudian rusli kembali lagi dari belakang dengan dua gelas air the dala
m kedua belah tangannya, yang ditaruhnya di atas meja, satu untuk dia dan satuny
a lagi untukku. (Atheis, hal 68)
Kutipan keenam menggambarkan latar yang terjadi dirumah Rusli. Dari ruang tengah
Rusli pergi ke dapur kemudian kembali lagi keruang tengah membawa dua cangkir t
eh. Dari kutipan itu kita mengetahui bahwa latar alat yang digunakan adalah cang
kir the. Dari latar itu kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Rusli biasa memberi
kan minuman teh kepada tamu yang datang ke rumahnya.
Diputar-putarnya rokok diantara bibirnya. Ditariknya hisapan dua kali. Asap berk
epul-kepul. Meludah-ludah kecil, membuang-buang potongan tembalau yang melekat p
ada bibirnya. (Atheis, hal 69)
Pada kutipan ketujuh, latar alat yang digunakan adalah rokok. Pada kutipan ini m
enggambarkan kegelisahan yang dialami oleh Rusli. Kegelisahan itu diakibatkan ol
eh Hasan. Dalam sebuah percakapan Hasan mengajukan pertanyaan tentang keagamaan
kepada Rusli. Karena pertanyaan itulah Rusli menjadi gelisah. Untuk menyembunyik
an kegelisahan itu dan menghilangkan rasa jengkelnya, Rusli menggunakan rokok se
bagai sarana yang cukup efektif.
Ia lantas duduk depan piano dengan setengah membelakangi kami. Tutup piano dibuk
any. Lantas membuka-buka lembaran buku musik. (Atheis, hal 92)
Kutipan kedelapan, terjadi di rumah Kartini. Kutipan ini menggambarkan kemoderna
n Kartini sebagai seorang perempuan modern. Latar alat yang digunakan dalam kuti
pan ini adalah piano. Kutipan ini menggambarkan kemahiran Kartini dalam memainka
n piano.
Kartini lari kedapur. Hamper menabrak lagi si mimi yang memanjangkan lehernya in
gin mengetahui tapi takut-takut.kartini tak acuh. Terus menyerbu ke dapur mengam
bil air hangat sendiri untuk hasan. (Atheis, hal 96
Kutipan kesembilan menggambarakan situasi kepanikan yang terjadi di rimah kartin
i. Peristiwa ini terjadi pada saat acara makan siang. Kepanikan ini disebabkan o
leh Hasan yang tiba-tiba mual dan muntah-muntah. Hal ini karena ia mengira bahwa
makanan yang dimakan berasal dari restoran china. Kepanikan ini ditandai oleh K
artini yang berlari-lari dari kamar tidur menuju dapur kemudian kembali lagi ke
kamar tidur dengan membawa air hangat. Latar alat yang digunakan adalah alat yan
g digunakan untuk membawa air hangat.
Dengan adanya latar alat, kita dapat mengetahui peristiwa yang terjadi dan situa
si pada saat terjadinya peristiwa. Latar alat ini memiliki peran yang cukup pent
ing dalam sebuah karya sastra.
4.2.4 Alur (Plot)
Roman “Atheis” secara umum memiliki alur sorot balik (flashback). Hal ini terjadi ka
rena pada bagian pertama disampaikan akhir dari cerita, kemudian pada bagian ked
ua sampai terakhir dilakukan pengenangan dari tokoh. Alur seperti ini bisa digam
barkan sebagai berikut,
Dari grafik tersebut, kita dpat mengetahui bahwa roman “Atheis” beralur sorot balik
atau flashback. Cerita tersebut dimulai dengan penyelesaian kemudian dilanjutkan
dengan paparan, dari paparan kemudian dilanjutkan dengan rumitan. Kemudian dari
rumitan menuju klimaks dan dilanjutkan dengan leraian.
Secara singkat ditinjau dari segi akhir cerita, dapat diceritakan plot atau jala
n cerita roman “Atheis” sebagai berikut bahwa alur yang digunakan adalah alur terbuk
a. Hal ini kita ketahui setelah membaca roman tersebut, ceritanya diakhiri denga
n klimaks, tanpa penyelesaian. Dalam hal ini penyelesaian diserahkan pada pembac
a. Akhir dari roman ini kita sebagai pembaca dituntut untuk mereka-reka atau men
duga apa yang terjadi setelah tokoh dari cerita tersebut meninggal. Kita dituntu
t untuk menganalisa sendiri apakah yang akan terjadi dengan kehidupan dari tokoh
lain. Roman ini memberikan kepada kita kesempatan untuk mereka-reka atau mendug
a kelanjutannya, kita juga dapat memberikan gambaran tentang cerita tersebut sam
pai akhir. Jadi secara keseluruhan akhir dari cerita ini dapat ditentukan oleh p
embaca.
Dari segi kuantitasnya roman “Atheis” beralur tunggal. Hal ini dapat dibuktikan deng
an adanya sebuah plot utama. Plot yang dimaksud adalah tentang keragu-raguan yan
g dimiliki oleh Hasan kkarena pengaruh sahabat dan globalisasi. Dalam roman ini
tersirat tentang perjalanan manusia dalam mempertahankan keteguhannya terhadap a
gama.
Roman “Atheis” ditinjau dari segi kualitas cerita, memiliki alur rapat. Hal ini kita
temukan karena dalam cerita tersebut, alur yang telah ada tidak bisa disisipi o
leh alur lain.
4.2.5 Gaya (style)
Gaya adalah cara pengarang menggunakan bahasa dalam karyanya. Ide dan perasaan s
ering tampak nyata seperti fakta fisikal meskipun tidak tampak dan tidak dapat d
iraba. Dalam karya sastra salah satu cara untuk membuatnya seperti nyata ialah d
engan menggunakan simbol sehingga ide dan perasaan itu dapat mudah diterima dala
m angan-angan pembacanya.
Roman ini banyak menggunakan gaya bahasa perbandingan. Hal ini terlihat dari beb
erapa kalimat yang digunakan yaitu membandingkan sesuatu dengan orang. Misalnya
saja kita temui pada kalimat Banyak lagi kalimat yang menggunakan majas perbandi
ngan. Sehingga roman ini sangat menarik dan indah untuk dibaca.
1. Simile (perumpamaan)
Simile atau perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlain
an, tetapi sengaja dianggap sama. Pada roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihardja, gay
a bahasa ini terlihat pada dialog-dialog antartokoh. Petikan dialognya sebagai b
erikut.
“rupanya perkataan ayah itu laksana jari yang melepaskan cangkolan gramopon yang b
aru diputar .” (Atheis, hal 17)
“orang yang banyak dosanya di dunia ini akan merangkak-rangkak seperti siput di at
a seutas benang yang tajam.” (Atheis, hal17)
2. Hiperbola
Hiperbola adalah majas yang mengandung suatu pernyataan yang berlebih-lebihan. M
aksudnya adalah untuk memberikan penekanan pada suatu pernyataan atau untuk memp
erhebat, mengingatkan kesan, menarik perhatian, dan sebagainya.
“ semua kelihatannya sangat lesu, serupa dengan onggokan daging juga yang tak berd
aya apa-apa”.(Atheis, hal 7)
Aku agak malu, terasa darah membakar telinga itu. Hidung bergerak tak normal. (A
theis, hal 42)
4.2.6 Pusat Pengisahan
Dalam roman “Atheis”, sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang yang digunak
an adalah metode orang pertama sertaan. Hal ini kita temukan dalam roman “Atheis”, y
aitu penggambaran tokoh menggunakan kata aku. Cerita ini sungguh membingungkan b
ila kita tidak membacanya dengan sungguh-sungguh. Cerita ini megisahkan tentang
Hasan. Kisahnya ini dikarang oleh Hasan sendiri dan disampaikan kepada penulis.
Jadi dengan melihat kenyataan tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pe
ngarang menyampaikan cerita dari orang lain. Perhatikan petikan berikut,
Malam itu aku merasa kecewa, karena sudah masak kuidam-idamkan akan berkunjung k
e rumah Rusli sore itu, tapi Rusli pergi. Dan kenapa mereka itu selalu bersama-s
ama saja. Seolah-olah merekasudah menjadi laki bini. Kecewa hatiku berteman deng
an curiga. Pernah kudengar teman-teman sekantorku bercerita tentang apa yang din
amakan mereka “cinta merdeka’yang katanya banyak dilakukan oleh orang-orang barat, a
rtinya laki-laki dan perempuan bisa hidup bersama seperti suami istri, tetapi ti
dak kawin. Dan katanya antara orang-orang indonesia pun kebiasaan itu sudah mula
i menjangkit. Mungkin Rusli dan Kartini pun.
Menggigil aku. Hatiku makin sebal. Hidup demikian berarti bagiku berzinah. Lain
tidak.jam menunjukan pukul sebelas. Aku masih berbaring-baring di atas kursi mal
as di tengah rumah. Malam sudah sunyi benar sehingga kadang-kadang kudengar nafa
sku sendiri. Radio disebelah sudah bungkam dari jam delapan tadi. Rupanya tetang
ga yang empunya itu sakit, sebab biasanya ia pasang radionya itu sampai lagu pen
utup terdengar. Bibi sebagai biasa sudah masuk kamar dari jam sepuluh, sebab eso
knya ia harus sudah bangun pagi-pagi benar, membikin kue-kue yang akan dijajakan
pak Ingi pada siangnya.
(Atheis, hal 58)
Dari kutipan itulah, kita dapat mengambil kesimpulan tentang pusat pengsahan pad
a roman tersebut. Kita ketahui bahwa dalam kutipan tersebut, pengarang menyebut
dirinya sebagai aku.
4.3 PENDEKATAN SOSIOLOGIS
Pembahasan sastra secara sosiologis dapat mengembangkan kecenderungan lain secar
a lebih jauh lagi, yakni kevenderungan untuk menafsirkan tokoh-tokoh khayalan de
ngan lingkungannya secara identik dengan tidak lain dan tidak bukan adalah atau
mewakili tokoh-tokoh dalam suatu kelompok tertentu dan lingkungan kelompok hidup
tertentu.
Karya sastra roman memang pada umumnya terasa lebih peka terhadap masalah-masala
h social suatu masyarakat pada masa tertentu bila dibanding dengan jenis sastra
yang lain. Sebab, ada keleluasaan untuk menggunakan bahasa dan kata untuk meluki
skan, menguraikan, dan menafsirkan lewat adegan, situasi dan tokoh-tokoh yang be
rmacam ragam watak dan latar belakangnya.
Dalam roman “Atheis” ini masalah yang diangkat adalah mengenai pergolakan sosial bud
aya dengan pribadi. Hasan merupakan seorang yang sangat rajin bersembahyang dan
taat terhadap perintah agama dan juga orang tua, tiba-tiba berubah. Hasan tidak
lagi menghiraukan agama karena pengaruh teman-temannya. Namun, setelah berapa la
ma, Hasan mulai menyadari kekeliruannya. Hasan sadar kalau telah banyak melakuka
n dosa dan kekeliriuan. Hasan mulai insyaf setelah ayahnya meniggal dunia. Dalam
diri Hasan terjadi pergolakan yang sangat besar. Ada dua hal yang bertentangan
merasuk kedalam diri Hasan. Antara kinginan untuk kembali kejalan yang benar dan
keinginan untuk melanjutkan yang tidak benar. Ternyata pengaruh lingkungan kehi
dupan sosial budaya sangat berpengaruh terhadap kehidupan Hasan. Hasan yang semu
la begitu taat beragama berubah menjadi orang yang tak acuh.
Beberapa jurus ia memandang kepadaku. Dan melalui sinar matanya itu seolah-olah
mengalirlah perasaan kasi saying yang mersa yang belimpah-limpah tercurah dari h
atinya ke dalam hatiku. Dengan suara bergetar maka berkatalah Ia,”nah, anakku, syu
kurlah engkau sudah ada niat yang suci begitu. Sesungguhnya dengan niatmu yang s
uci itu , telah hilanglah segala kekuatiran yang selama ini kadang-kadang suka m
enekan dalam hatiku, ialah kalau-kalau dalam menempuh jalan hidup yang penuh god
aan dan bencana ini engkau akan tidak tahan, oleh karena engkau belum mempunyai
senjata yang kuat. Akan tetapi, kalau engkau sudah turut mmeluk tarekat yang aya
h dan ibu peluk juga, maka segala kekuatiran dan ketakutan ayah dan ibu itu hila
nglah sudah. Insyaallah anakku, siang malam tiada lain yang ayah dan ibu mohonka
n kepada Tuhan Rabulizati keselamatanmu lahir bathin, dunia kahirat.” (Atheis, hal
25)
Kutipan di atas menggambarkan kehidupan sosial masyarakat pada masa itu. Kutipan
tersebut menceritakan atau menggambarkan golongan masyarakat yang sangat fanati
k terhadap ajaran agama dan tarekat. Mereka menganggap hal tersebut adalah segal
a-galanya. Dalam pikiran mereka agama dan Tuhan adalah sumber kehidupan. Sumber
segala tingkah laku manusia. Tidak ada yang boleh bertenangan dengan ajaran agam
a.
Dengan tangkas sambil tertawa Bung Parta menjawab,”betul kata saudara itu : “Cuma al
at”. Memang Tuhan pun hanya alat bagi orang-orang yang percaya kepadanya. Alat yan
g katanya member keselamatan dan kesempurnaan kepada hidup manusia. Begitu pula
teknik bagi kami. Alat yang member kesempurnaan bagi hidup manusia. Dus apa beda
nya? Tak ada toh selain daripada yang lebih satu nyata, lebih konkret dari pada
yang lain. Teknik nyata, tegas, dan konkret. Tapi Tuhan samar-samr, kabur, melam
bung-lambung ke daerah yang tak tercapai oleh akal, ke daerah yang gaib-gaib, ya
ng tidak ada bagi kami. Tapi baik tenik maupun Tuhan adalah “alat” jua. Betul tidak?”
(Atheis, hal 117)
Berbeda dengan kutipan sebelumnya yang sangat mengagungkan agama dan Tuhan, pada
kutipan ini Tuhan hanya sebagai alat. Kutipan ini menggambarkan golongan atau k
aum pergerakan yang tidak percaya terhadap Tuhan. Kaum ini adalah wakil dari gol
ongan sosialis radikal. Mereka menyamakan Tuhan dengan teknologi yang dapat memp
ermudah manusia. Kaum ini merupakan kaum yang sangat terkenal dan berkembang pes
at saat itu.
Dari kedua kutipan tersebut, sangat jelas kita lihat bahwa dalam roman “Atheis” kara
ngan Achdiat K. Mihardja secara sosiologis menggambarkan kehidupan social masyar
akat pada masa tersebit. Baik tingkah laku maupun pemikiran-pemikiran yang terka
ndung. Pada saat tersebut ada dua pandangan besar yang bertentangan, yaitu antar
a kaum pro-agama dan anti agama.
4.4 PENDEKATAN PSIKOLOGIS
Untuk menganalisis roman “Atheis” karangan Achdiat k. Mihardja penulis juga mengguna
kan pendekatan psikologis untuk mengetahui bagaimana karakter kejiwaan masing-ma
sing pelaku.
Aku tunduk terharu. Terasa tangannya yang terletak di atas bahuku itu bergetar.
Dan bergetar pula suaranya. “ya, anakku,” (menyapu air mata dengan ujung kebayanya).
(Atheis, hal 26)
Pada kutipan roman “Atheis” karangan Achdiat K. Mihardja di atas mengandung nilai ps
ikologis. Pada dasarnya manusia memiliki perasaan untuk mampu menanggapi perasaa
n yang diberikan oleh orang lain. Perasaan yang disampaikan dalam kutipan terseb
ut adalah perasaan haru. Perasaan bahagia yang tidak bisa diluapkan dengan kebah
agiaan. Bahkan perasaan ini identik dengan tangisan.
Saat itu pula dua badan yang terpisah oleh dinding, sudah tersambung oleh sepasa
ng tangan kanan yang erat berjabatan. Mengalir seakan-akan rasa persahabatan yan
g sudah lama itu membawa kenangan kembali dari hati ke hati melalui jambatan tan
gan yang bergoyang-goyang naik-turun seolah-olah menjadi goyah karena derasnya a
liran rasa ini. Kepalaku seakan-akan turut tergoncangkan, menggeleng-geleng samb
il berkata, ‘astaga, tidak mengira kita akan berjumpa lagi?’ (Atheis, hal 31)
Rasa lain yang dimiliki oleh manusia adalah perasaan kerinduan. Kerinduan pada s
eseorang. Baik pada seorang ayah, ibu, teman maupun pacar. Pada kutipan di atas
menggambarkan rasa kerinduan pada sahabat. Rasa persahabatan yang cukup kental d
isampaikan pada kutipan di atas.
Aku tidak mengucap apa-apa. Bermacam-macm perasaan simpang siur dalam hatiku. Me
noleh aku kepada Rusli yang sedang tunduk menggulung-gulung rokok kawungnya.
Baru sekali aku berada dalam keadaan yang menimbulkan perasaan-perasaan yang tak
tentu bagiku : heran, kecewa, sayang, mencela, curiga tapi pun gembira. Ya, jug
a gembira. (Atheis, hal 41)
Dalam roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihardja, mengandung nilai psikologi. Manusia
sebagai mahluk beperasaan, memiliki perasaan yang bermacam-macam. Ada bahagia, s
enang, kecewa, heran, dan lainnya. Ini adalah kodrat manusia sebagai mahluk Tuha
n yang berbudi.
Malam itu aku merasa kecewa, karena sudah masak kuidam-idamkan akan berkunjung k
e rumah Rusli sore itu, tapi Rusli pergi. Dan kenapa mereka itu selalu bersama-s
ama saja. Seolah-olah mereka itu sudah menjadi laki-bini. Kecewa hatiku berteman
sekarang dengan curiga. (Atheis, hal 58)
Pada kutipan diatas, perasaan yang digambarkan kekecewan. Bagaimana perasaan Has
an yang menelan kekecewaan karena rencananya untuk berkunjung ke rumah Rusli gag
al. Ini disebabkan karena Rusli tidak berada di rumah.
Aku terus merunduk saja. Hilang riang. Memang, bagaimana mungkin hatiku bisa ria
ng, jika seluruh jiwaku masih terpukau oleh kejadian-kejadian yang timbul tadi m
alam antara aku dan ayah. Aku tahu, bahwa kedatangan kami di Panyeredan itu memb
awa bahagia seperti biasa. Tapi ini sebaliknya, bahagia yang selama ini meliputi
rumah setengah tembok itu, sekarang sudah pergi meninggalkan ayah dan ibuku. Pe
rgi, seolah tamu lama tidak berpamitan. (Atheis, hal 156)
Pada kutipan di atas menyatakan perasaan penyesalan yang amat mendalam. Bagaiman
a terpuruknya perasaan Hasan melihat keadaan keluarganya, dan semua itu adalah a
kibat dari semua perbuatannya. Ia telah mengecewakan orang tua yang telah mendid
iknya sejak kecil. Keluarganya sangat terpukul melihat perubahan pada diri Hasan
, terutama ayahnya.
Kucurahkan segala isi hatiku, ketika ditanya mengapa aku begitu sedih. Sungguh s
akit kata hati seorang kekasih sebagai pelipur lara. Alangkah bedanya kesakitan
kata-kata Anwar tadi di kereta api, dan kata-kata Kartini sekarang. (Atheis, hal
163)
Cuplikan cerita tersebut menyiratkan nilai yang sangat luas dan mendalam. Terkai
t dengan masalah psikologi atau kejiwaan. Pada dasarnya sifat manusia yang palin
g khas adalah membutuhkan orang lain untuk berbagi. Begitu juga pada cuplikan te
rsebut, betapa Hasan sangat membutuhkan perhatian orang lain dan rasa ingin berb
agi penderitaan.
Baru saja pintu itu setengah terbuka, aku sudah menubruk ke dalam seperti seekor
harimau yang sudah lapar mau menyergap mangsanya.
Tar !Tar ! kutempeleng Kartini. (Atheis, hal 173)
Kutipan dialog tersebut menggambarakan bagaimana sifat lain dari manusia. Selain
memiliki rasa kasih sayang, menusia juga dibekali dengan emosi, yang jika tidak
dikontrol akan menjadi amarah. Apabila telah menjadi amarah, maka seseorang tid
ak akan dapat berpikir secara wajar dan sehat.
Tiba-tiba Hasan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Kedua belah matanya dip
ejamkannya, seolah-olah tidak mau ia melihat sesuatu yang ada di depannya. Dan s
ejurus kemudian terdengar keluhan yang berat melepas dari dadanya mengisi seluru
h lobang,‘Astagfirullah…’ (Atheis, hal 216)
Pada kutipan di atas menyatakan perasaan penyesalan yang amat mendalam. Bagaiman
a terpuruknya perasaan Hasan melihat keadaan keluarganya, dan semua itu adalah a
kibat dari semua perbuatannya. Ia telah mengecewakan orang tua yang telah mendid
iknya sejak kecil. Keluarganya sangat terpukul melihat perubahan pada diri Hasan
, terutama ayahnya. Kini ayahnya telah terbaring sakit tidak berdaya. Semua itu
sebagai akibat dari perbuatan Hasan.
Maka dengan menagis terisak-isak Hasan pun meninggalkan kamar ayahnya. Tapi ia t
idak mau jauh dari kamar itu. Dengan menangis terseu-sedu duduklah ia di atas se
buah kursi dekat pintu yang sengaja tidak ditutupkan erat-erat olehnya. (Atheis,
hal 216)
Pada kutipan di atas menyatakan perasaan penyesalan yang amat mendalam. Bagaiman
a terpuruknya perasaan Hasan melihat keadaan keluarganya, dan semua itu adalah a
kibat dari semua perbuatannya. Ia telah mengecewakan orang tua yang telah mendid
iknya sejak kecil. Keluarganya sangat terpukul melihat perubahan pada diri Hasan
, terutama ayahnya. Kini ayahnya telah terbaring sakit tidak berdaya. Semua itu
sebagai akibat dari perbuatan Hasan. Penyesalan yang datang terlambat, tidak men
dapatkan maaf dari sang ayah. Hanya kesedihan dan penyesalan yang menggelayuti.
Tangan Hasan yang kurus kering itu berkepal-kepal dan meninju-ninju pahanya send
iri. Gemas ia ! maka terbayang-bayanglah lagi wajah Anwar dengan jilatan matnya
yang penuh dengan nafsu berahi terhadap istrinya. Terbayang-bayang lagi khayal t
entang perhubungan Anwar dengan istrinya di belakang punggungnya, kalau ia sedan
g di kantor. (Atheis, hal 220)
Kutipan dialog tersebut menggambarakan bagaimana sifat lain dari manusia. Selain
memiliki rasa kasih sayang, menusia juga dibekali dengan emosi, yang jika tidak
dikontrol akan menjadi amarah. Apabila telah menjadi amarah, maka seseorang tid
ak akan dapat berpikir secara wajar dan sehat. Marahnya kini telah berubah menja
di kebencian yang amat besar. Perasaannya kini berbaur antara benci, marah, dan
cemburu.
4.5 PENDEKATAN EKSPRESIF
Pembahasan sastra dengan menggunakan pendekatan ekspresif bertujuan untuk meliha
t kemampuan pengarang mencurahka ide-ide ataupun ekpresi pengarang. Pendekatan e
kspresif berkaitan erat dengan emosi pengarang.
Dalam menganalisis roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihardja, penulis juga menggunaka
n pendekatan ekspresif.
“matanya lincah berikilau-kilauan. Ia memakai kebaya crepe warna kuning mengkilap.
Pada dadanya sebelah kiri terklukis sekuntum bunga aster berwarna nila dengan t
iga helai daunnya yang hijau tua. Kainnya jelamprang yang dipakaikan secara “gejed
mulo” artinya demikian rupa hingga dalam dia melangkah, betisnya yang kuning lang
sep itu seolah-olah tilem timbul, sekali langkah kelihatan, sekali lagi tertutup
oleh kainnya. Sehelai kain leher yang panjang dari sutera hijau muda berbunga-b
unga merah membelit kendur pada lehernya. Bibirnya merah dengan lipstic dan pipi
nya memakai roug yang tidak terlalu merah. Segala-galanya serba modern, tetapi t
epat sederhana, tidak berlebih-lebihan”.(Atheis, hal 40)
Kitapan dialog di atas menggambarkan kemampuan seorang pengarang untuk menggamba
rkan bagaimana sosok seorang pelaku. Dengan kemampuan bahasanya, pengarang mampu
menjadikan seorang tokoh sangat menarik. Kemampuan ekspresif yang dimiliki oleh
seorang pengarang menentukan kualitas sebuah karya sastra. Pada kutipan di atas
dengan sangat indah seorang melukiskan keadaan tokohnya. Kita sebagai pembaca a
kan lebih mudah mendiskripsikan karakter sebuah tokoh.
Panas rasanya dalam dadaku. Melangkah aku ke meja yang ada di tengah ruangan, di
bawah lampu. Seekor kecoak terbang dari bawah poci. Ku tuangkan air the ke dala
m cangkir, seakan-akan dengan harapan supaya segala perasaanyang mengganggu itua
kan hilang tertuangkan dari kalbuku seperti air the dari dalam poci itu. Minumla
h aku beberapa teguk. Segar rasanya. Tapi sebentar kemudian terganggu lagi oleh
perasaan-perasaan tadi itu, seolah-olah perasaan itu masuklah kembali ke dalam j
iwaku bersama air teh yang kuteguk.
Aku melangkah lagi ke kursi malas. Berbaring lagi. Ramailah lagi rapat besar.
(Atheis, hal 59)
Pada kutipan di atas menggambarkan bagaimana emosi pengarang yang terlibat dalam
karya sastranya. Pengarang mampu menghidupkan suasana dan mendiskripsikan suatu
tempat, sehingga pembaca bisa mereka-reka bagaimana keadaan dan suasana yang ad
a pada tempat tersebut.
Aku terus merunduk saja. Hilang riang. Memang, bagaimana mungkin hatiku bisa ria
ng, jika seluruh jiwaku masih terpukau oleh kejadian-kejadian yang timbul tadi m
alam antara aku dan ayah. Aku tahu, bahwa kedatangan kami di Panyeredan itu memb
awa bahagia seperti biasa. Tapi ini sebaliknya, bahagia yang selama ini meliputi
rumah setengah tembok itu, sekarang sudah pergi meninggalkan ayah dan ibuku. Pe
rgi, seolah tamu lama tidak berpamitan. (Atheis, hal 156)
Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mampu melibatkan emosi pembaca d
an penulis. Pada kutipan di atas, sangat jelas terlihat bagaimana seorang pengar
ang menciptakan kondisi mosional yang sedemikian rupa. Pengarang mampu menghanyu
tkan perasaan pembaca dan melibatkan emosi pembaca.
Ketenangan hati kedua orang itu kini sudah goncang, digoncangkan oleh angin ribu
t kekecewaan, kecemasan, kesedihan.
Insyaflah aku, betapa tersayat-sayatnya rasa hati ibu dan ayahku oleh perkataan-
perkataan tadi malam. Kini terasa benar olehku, betapa tidak bijaksananya aku be
rcekcokan dengan kedua orang tuaku tadi malam. Sesungguhnya, serasa remuk jiwaku
kini. Remuk, karena rasa sesal menyayat-nyayat, rasa sedih mengiris-iris.
Tadi malam di perdebatan yang hangat, didalam nafsu bertengkar faham, seakan-aka
n aku tidak berhadapan dengan ayah, melainkan seorang lawan yang harus kutunduka
n dan kubikin insyaf akan kesalahan fahamnya. Aku mendesak-desak, seakan-akan ke
benaran adalah monofoliku sendiri. (Atheis, hal 156)
Kucurahkan segala isi hatiku, ketika ditanya mengapa aku begitu sedih. Sungguh s
akit kata hati seorang kekasih sebagai pelipur lara. Alangkah bedanya kesakitan
kata-kata Anwar tadi di kereta api, dan kata-kata Kartini sekarang. (Atheis, hal
163)
Kutipan di atas menggambarkankeadaan emosi tokohnya. Karya sastra yang baik adal
ah karya sastra yang mampu melibatkan emosi pembaca dan penulis. Pada kutipan di
atas, sangat jelas terlihat bagaimana seorang pengarang menciptakan kondisi mos
ional yang sedemikian rupa. Pengarang mampu menghanyutkan perasaan pembaca dan m
elibatkan emosi pembaca. Dalam petikan di atas ada kata-kata yang cukup ekspresi
f, seperti tersayat-sayat dan sebagainya.
Secara umum semua kutipan yang diberikan di atas menggambarkan bagaimana kemampu
an ekspresif seorang pengarang. Pengarang dengan kemampuan ini mencurahkan emosi
nya dalam karya sastra sehingga karya yang dihasilkan akan lebih hidup.
4.6 PENDEKATAN MORAL
Pendekatan ini berangkat dari dasar pemikiran bahwa suatu karya sastra dianggap
sebagai suatu medium yang paling efektif membina moral dan kepribadian suatu kel
ompok masyarakat. Moral dalam hal ini diartikan sebagai suatu norma, suatu konse
p tentang kehidupan yang disanjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat tersebu
t.
Dalam menganalisis roman “Atheis”, penulis juga menggunakan pendekatan moral. ada be
berapa nilai moral yang terkandung.
Bahwasanya manusia hidup di tengah-tengah sesama mahluknya. Berbuat jasa atau do
sa terhadap sesame hidupnya. Merasa bahagia bila ia telah berjasa. Menebus dosa
terhadap siapa ia berbuat dosa. Akan tetapi kepada siapakah ia harus meminta maa
f , menyatakan sesalnya apabila orang terhadap siapa dia berbuat dosa itu sudah
tidak ada lagi, sudah meninggal dunia?
Kepada Tuhan? Karena tuhan adalah sumber segala cinta, yang melarang manusia ber
buat terhadap sesame mahluknya? Tapi bagaimana caranya? (Atheis, 9)
Petikan dialog tersebut mengandung nilai moral bahwa kita sebagai manusia hanya
mempunyai satu tempat untuk mengadu. Satu tempat untuk mencurahkan rasa penyesal
an terhadap perbuatan yang telah kita lakukan. Kutipan ini mengajarkan kita seba
gai manusia untuk selalu mengingat Tuhan. Hanya Tuhan satu-satunya tujuan terakh
ir kita.
Jalan yang pendek memang tidak selamanya mudah. Kualami sendiri dengan mistik. (
Atheis, 61)
Petikan dialog tersebut mengandung nilai moral bahwa ada kecenderungan manusia u
ntuk mencari hal-hal yang dianggapnya mudah. Mereka akan melakukan hal-hal yang
paling mudah untuk memperoleh sesuatu. Walaupun jalan tersebut tidak semudah yan
g dibayangkan. Banyak jalan yang panjang menghasilkan sesuatu yang lebih baik da
ri jalan yang pendek. Dalam petikan dialog di atas mengangkat hal tersebut. Sang
at penting nilai moral yang disampaikan.
Tapi lama-lama insyaflah aku. Dengan marah-marah aku tidak akan bisa mencapai ma
ksudku. Dan memang tidak baik aku, sebagai seorang tamu, marah kepada tuan rumah
. Begitulah suara pikiranku, tetapi suara nafsu berteriak-teriak juga. (Atheis,
68)
Petikan dialog di atas mengandung nilai moral. Ini menyangkut masalah tata krama
. Masyarakat kita menganggap penting nilai-nilai kesusilaan dan sopan santun ser
ta tata krama yang berlaku di masyarakat. Penting adanya pemahaman terhadap etik
a sopan santun pergaulan. Karena ini akan menentuan kesuksekan kita bergaul dala
m masyarakat.
Dalam benua-benua yang tidak begitu hebat alamnya, seperti tanah-tanah yang luas
padang pasirnya. Dimana manusia hanya menghadapi ketenangan dan kesunyian lauta
n pasir dengan bulannya yang terang benderang dan bintang-bintangnya yang bertab
uran di langit yang tiada melakukan pkerjaan lain daripada hanya berkedip-berked
ip sepanjang malam , di sana, di daerah-daerah yang tenang tentram alamnya, manu
sia tidak membutuhkan dewa-dewa yang banyak jumlahnya. (Atheis, 76)
Petikan dialog di atas mengandung nilai pendidikan. Dalam petikan tersebut, kita
sebagai manusia diberitahu tentang kelebihan yang kita miliki. Pada dasarnya Tu
han berada dalam hati setiap mahluk yang memiliki ketenangan dalam hatinya. Kema
kmuran dn ketenangan dalam hati adalah dewa setiap manusia. Ini mengingatkan kit
a untuk selalu menjaga hati. Jangan biarkan ia ternoda atau kotor. Manusia adala
h mahluk yang dibekali dengan hati nurani. Kemampuan untuk menentukan yang terba
ik buat dirinya.
4.7 NILAI PENDIDIKAN YANG TERKADUNG
Dalam pembahasan ini penulis menyajikan kutipan-kutipan dialog maupun cerita yan
g menurut penulis mengandung unsur-unsur/ nilai-nilai pendidikan. Dengan demikia
n, nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam roman “Atheis” karangan Achdiat K. M
ihardja adalah sebagai berikut.
Bahwasanya manusia hidup di tengah-tengah sesama mahluknya. Berbuat jasa atau do
sa terhadap sesame hidupnya. Merasa bahagia bila ia telah berjasa. Menebus dosa
terhadap siapa ia berbuat dosa. Akan tetapi kepada siapakah ia harus meminta maa
f , menyatakan sesalnya apabila orang terhadap siapa dia berbuat dosa itu sudah
tidak ada lagi, sudah meninggal dunia?
Kepada Tuhan? Karena tuhan adalah sumber segala cinta, yang melarang manusia ber
buat terhadap sesame mahluknya? Tapi bagaimana caranya? (Atheis, 9)
Petikan dialog tersebut mengandung nilai pendidikan moral bahwa kita sebagai man
usia hanya mempunyai satu tempat untuk mengadu. Satu tempat untuk mencurahkan ra
sa penyesalan terhadap perbuatan yang telah kita lakukan.
Sesungguhnya kak, beribadat tanpa bimbingan guru adalah seperti seorang penduduk
desa dilepaskan di tengah-tengah keramaian kota Jakarta atau singapur. Ia akan
tersesat. Tak ubahnya dengan sopir yang tahu jalankan mobil, tetapi tidak tahu j
aln mana yang harus ditempuh. (Atheis, 17)
Petikan dialog di atas mengandung nilai pendidikan moral religius. Pendapat yang
disampaikan dalam kutipan tersebut memang ada benarnya. Wlau kita telah mempela
jari sesuatu dengan sebaik-baiknya dan kita merasa sudah sesuai, tetapi tetap ak
an terasa kurang. Kita membutuhkan seseorang penuntun yaitu guru. Dengan adanya
seorang guru, pengetahuan kita yang terbatas akan menjadi lebih baik dengan bimb
ingannya.
Apa artinya bungkus kalau tidak ada isinya. Betul tidak kak? Yang kita perlukan
terutama isinya, bukan? Tapi biarpun begitu isi pun tidak akan sempurna kalau ti
dak terbungkus. Ambil saja mentega atau minyak samin. Akan sempurnakah makanan i
tu kalau tidak dibungkus? (Atheis, 17)
Dialog di atas juga mengungkapkan nilai pendidikan moral yang sangat penting. Pa
da dasarnya kita tidak bisa menilai orang dari luarnya, tetapi yang lebih pentin
g adalah hatinya. Namun tidak jarang manusia menilai orang atau sesuatu dari kul
it luarnya. Padahal panampilan luar biasanya sring menipu. Walaupun yang penting
isinya, namun kita tidak boleh melupakan penampilan luarnya. Sesuatu akan lebih
baik, jika penampilan luar dan dalam sama baiknya.
Sungguh kosong ucapan orag, bahwa katanya manusia itu tidak bisa berbuat sesuatu
berbarengan dengan perbuatan-perbuatan lain. Padahal seluruh hidupnya tidak lai
n daripada melakukan perbuatan-perbutan yang berbarengan. (Atheis, 5)
Petikan dialog tersebut mengandung nilai pendidikan moral. Kita sebagai manusia
selalu melakukan hal-hal yang bersamaan. Manusia tidak pernah melakukan hal-hal
yang tunggal. Kehidupan manusia selalu dihiasi dengan dua hal yang bertentangan.
Baik dan buruk. Kebahagiaan dan kesedihan selalu menghias.
Pernah kudengar teman-teman kantorku bercerita tentang apa yang dinamakan mereka
‘cinta merdeka’ yang katanya banyk dilakukan oleh orang-orang barat, artinya adlah
laki-laki dan perempuan bisa hidup bersama seperti suami istri, tetapi tidak kaw
in. (Atheis, 58)
Pada petikan dialog di atas mengandung nilai moral. Bahwasanya ada perbedaan nil
ai sosial dalam masyarakat Indonesia dengan masyarakat barat. Masyarakat barat m
enganggap hal yang biasa kalau seorang lelaki hidup bersama dengan seorang perem
puan layaknya suami istri tanpa ikatan perkawinan. Namun masyarakat Indonesia me
nganggap hal tersebut sebagi perbuatan yang tercela. Melanggar tatanan sosial ma
syarakat.
Jalan yang pendek memang tidak selamanya mudah. Kualami sendiri dengan mistik. (
Atheis, 61)
Ada kecenderungan manusia untuk mencari hal-hal yang dianggapnya mudah. Mereka a
kan melakukan hal-hal yang paling mudah untuk memperoleh sesuatu. Walaupun jalan
tersebut tidak semudah yang dibayangkan. Banyak jalan yang panjang menghasilkan
sesuatu yang lebih baik dari jalan yang pendek. Dalam petikan dialog di atas me
ngangkat hal tersebut. Sangat penting nilai moral yang disampaikan.
Juga manusia adalah sesuatu benda yang terdiri dari unsur-unsur kimia, yang deng
an sendirinya mengalami juga proses kimia. Dengan menggunakan ilmu kimia atau il
mu pisah kita akan bisa mengethaui semua bagian-bagian atau unsur-unsur yang men
jadikan manusia itu. Pada saat sekarang manusia belum mengetahui pengetahuan unt
uk untuk mengetahui benarbenar apakah nyawa itu. Kita baru bisa mengatakan kalau
nyawa itu halus . dari unsur apa terjadinya nyawa itu ? (Atheis, 66)
Petikan diatas mengandung nilai pendidikan pengetahuan. Dialog ini mengangkat te
ntang bagaimaa tubuh manusia tersusun atas molekul atau unsur-unsur kimia. Ini s
angt penting diketahui untuk menmbaha pengetahuan tetang ilmu alam khususnya kim
ia.
Tapi lama-lama insyaflah aku. Dengan marah-marah aku tidak akan bisa mencapai ma
ksudku. Dan memang tidak baik aku, sebagai seorang tamu, marah kepada tuan rumah
. Begitulah suara pikiranku, tetapi suara nafsu berteriak-teriak juga. (Atheis,
68)
Petikan dialog di atas mengandung nilai pendidikan moral. Ini menyangkut masalah
tata krama. Masyarakat kita menganggap penting nilai-nilai kesusilaan dan sopan
santun serta tata krama yang berlaku di masyarakat.
Saudara lupa yang paling penting, yaitu bahwa manusia itu adalah mahluk yang men
gandung perasaan perikemanusiaan dan pertimbangan susila, atau gewetan.
(Atheis, 70)
Dalam petikan di atas mengandung nilai moral, bahwa manusia adalah mahluk yang m
emiliki perasaan. Manusia bukan semata-mata robot atau binatang yang bertindak b
erdasarkan perintah atau instink. Namun manusia memiliki perasaan dan kemampuan
untuk berpikir, menimbang serta menentukan baik-burunya suatu tindakan.
Dalam benua-benua yang tidak begitu hebat alamnya, seperti tanah-tanah yang luas
padang pasirnya. Dimana manusia hanya menghadapi ketenangan dan kesunyian lauta
n pasir dengan bulannya yang terang benderang dan bintang-bintangnya yang bertab
uran di langit yang tiada melakukan pkerjaan lain daripada hanya berkedip-berked
ip sepanjang malam , di sana, di daerah-daerah yang tenang tentram alamnya, manu
sia tidak membutuhkan dewa-dewa yang banyak jumlahnya. (Atheis, 76)
Petikan dialog di atas mengandung nilai pendidikan moral. Dalam petikan tersebut
, kita sebagai manusia diberitahu tentang kelebihan yang kita miliki. Pada dasar
nya Tuhan berada dalam hati setiap mahluk yang memiliki ketenangan dalam hatinya
. Kemakmuran dn ketenangan dalam hati adalah dewa setiap manusia. Ini mengingatk
an kita untuk selalu menjaga hati. Jangan biarkan ia ternoda atau kotor.
Aku tidak bisa lanjut, hatiku berdegup tak karuan. Malukah aku, menyesalkah aku,
atau malah cemas, karena aku sudah beradu kulit dengan seorang perempuan yang b
ukan muhrim ? (Atheis, 85)
Petikan di atas juga mengandung nilai pendidikan moral, bahwa di Indonesia, khus
usnya masyarakat yang menganut agama tertentu menganggap apabila bersetuhan deng
an seseorang yang berlainan jenis sebagai hal yang dianggap tabu. Agama mereka m
elarang dan mengharamkan hal tersebut.
4.7 Keunggulan Dan Kelemahan
a. Keunggulan
Dalam roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihardja yang dianalisis penulis terdapat bebe
rapa keunggulan. Keungulan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihardja banyak mengandung pesan-pesan moral dan
pendidikan yang setidaknya bisa dijadikan panutan oleh para pembaca novel terseb
ut.
2. Jalan ceritanya sulit ditebak sehingga pembaca menjadi tertarik untuk membaca
novel tersebut dari bab ke bab. Ini tentunya berkaitan kepada kemampuan pengara
ng untuk menciptakan alur yang demikian. Yang jelas, ketika membaca halaman pert
ama novel ini, pembaca akan tertarik untuk membuka halaman-halaman selanjutnya.
Dalam novel ini terkadang juga disuguhkan konflik-konflik yang tiba-tiba teruput
us tanpa pemecahan sehingga pembaca menjadi bertanya-tanya mengenai kelanjutan c
erita tersebut. Konflik-konflik yang disuguhkan beraneka ragam. Tidak hanya konf
lik ayah dengan anak, konflik pasangn kekasih, konflik dengan teman, dan lain se
bagainya.
3. Bahasa yang digunakan cukup komunikatif dalam artian tidak terlalu banyak men
ggunakan kata-kata maupun kalimat-kalimat kiasan sehingga novel ini dengan mudah
bisa dipahami.
b. Kelemahan
Sebuah novel ataupun karya sastra lainnya pastilah tidak bisa luput dari kesalah
an-kesalahan yang bisa menjadi sebuah kelemahan dalam karya sastra itu sendiri.
Dalam roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihardja yang dianalisis penulis terdapat bebe
rapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Adanya alur cerita yang tidak berhubungan dengan alur yang lain atau dapat di
katakan tidak menunjang alur yang lainnya. Alur ini adalah pada saat Hasan berte
mu dengan tokoh Aku. Ini cukup membingungkan pembaca. Pembaca kurang memahami al
ur yang sebenarnya. Pada bagian I, bagian II, dan bagian XIII pembaca akan menga
lami sedikit kebingungan. Ini terjadi karena adanya tokoh aku masuk dalam cerita
.
2. Terlalu banyaknya alur yang akan membingungkan bagi para pembaca yang masih d
alam tahap pemula sehingga bisa saja apa yang ingin disampaikan pengarang kepada
pembacanya tidak tersampaikan sesuai dengan keinginan pengarang.
3. Tidak tepatnya pemakaian kata dan tanda baca yang bisa membingungkan pembaca.
Beberapa istilah yang digunakan juga cukup menyulitkan pembaca, walaupun telah
diberikan penjelasannya pada halaman bawah.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan yang telah dipaparkan penulis, maka d
apat ditarik simpulan sebagai berikut.
1. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam roman “Atheis” karya Achdiat K. Miha
rdja mencakup nilai pendidikan relegius, moral, dan nilai pendidikan etika. Nila
i-nilai tersebut diungkapkan dalam petikan-petikan dialog maupun penggalan-pengg
alan cerita yang disampaikan secara tersurat maupun tersirat (implisit).
2. Tema roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihardja adalah “bagaimana kehidupan agama ses
eorang yang pengangkapan agamanya selalu setengah-setengah, baik karena pendidik
an agamanya yang lemah maupun pengaruh kehidupan modern yang menjadi lingkungan
sebuah kota besar”. Latarnya sebagian besar adalah lingkungan rumah tinggal Hasan
maupun rumah Kartini. Alurnya menggunakan alur sorot balik (flashback). Hal ini
terjadi karena pada bagian pertama disampaikan akhir dari cerita, kemudian pada
bagian kedua sampai terakhir dilakukan pengenangan dari tokoh. Tokoh utamanya ad
alah Hasan, seorang pemuda berpendidikan yang awalnya begitu lekat dengan kehidu
pan agama karena memang didikan agama yang baik dari kedua orangtuanya. Namun da
lam perkembangannya, setibanya dikota Bandung, kehidupan Hasan mulai berubah men
jadi orang yang setengah-setengah terhadap agamanya. Gaya bahasa yang digunakan
novel tersebut berkisar pada gaya bahasa simile (perumpamaan), metonimia, dan ga
ya bahasa hiperbola.
3. Keunggulan roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihardja banyak mengandung pesan-pesan
moral dan pendidikan yang setidaknya bisa dijadikan panutan oleh para pembaca n
ovel tersebut selain itu, juga terletak pada jalan cerita yang menarik dan sulit
ditebak sehingga pembaca akan merasa tertarik untuk membaca halaman demi halama
n. Selain itu, novel ini menggunakan bahasa yang cukup komunikatif sehingga muda
h dipahami maknanya. Kelemahan dalam roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihardja adalah
terlalu banyaknya alur sampingan yang disisipkan sehingga akan membingungkan pe
mbaca. Di samping itu juga banyak terdapat kesalahan pemakaian tanda baca dan pe
makaian kata yang kurang tepat.
5.2 Saran
Dalam menganalisis roman “Atheis” tentunya kita memerlukan pemahaman tehadap karya s
astra itu sendiri. Dengan menggunakan beberapa teori atau pendekatan tertentu ki
ta mampu untuk menganalisis suatu karya sastra dengan mencermati dan merasakan s
ecara mendalam unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra tersebut. Menganalis
is sebuah karya sastra khususnya Roman, kita tidak cukup hanya menggunakan satu
teori atau pendekatan saja. Ada baiknya kita menggunakan beberapa buah teori ata
u pendekatn yang masih relevan sebagai bahan perbandingan.
“Setinggi-tingginya langit, masih ada langit yang lebih tinggi lagi”. Pepatah terseb
ut setidaknya mengingatkan kepada kita bahwa pengetahuan itu tidak ada batasnya,
semakin digali maka semakin banyak yang tidak kita temukan. Bertolak dari hal t
ersebut maka penulis menyarankan kepada para pembaca agar tidak puas hanya denga
n materi yang disuguhkan dalam makalah ini. Gunakanlah buku-buku referensi yang
setidaknya bisa membantu dalam pemahaman anda terkait dengan materi analisis rom
an dengan menggunakan pendekatan pragmatis, moral dan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Gunatama, Gede. 2006. Buku Ajar Puisi (teori, apresiasi, dan pemahaman) . Singar
aja : UNDIKSHA Singaraja
Gunatama, Gede. 2004. Sastra dan Ilmu Sastra. Singaraja : IKIP Singaraja
Hardjana, Andre.1985 . Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta : PT Gramedia
Mihardja. K, Achdiat. 1994. ATHEIS. Jakarta : Balai Pustaka
Natia. 1985. Ikhtisar Teori Sastra Indonesia. Surabaya: Sinar Wijaya
Seloka Sudiara, Nyoman. 2005. Modul kritik sastra. Singaraja : IKIP negeri Singa
raja
Sutresna, Ida Bagus. 2006. Prosa Fiksi. Singaraja : Undiksha Singaraja
Diposkan oleh SULUH PENDIDIKAN di 18.35
0 komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langgan: Poskan Komentar (Atom)
SULUH PENDIDIKAN
di kolam ne...

ibu sayang
ibu dan adik
Arsip Blog
Agu 11 (2)
Jul 09 (1)
Jun 28 (1)
Jun 13 (2)
Mei 05 (1)
Apr 18 (2)
Apr 14 (1)
Mar 26 (2)
Mar 25 (3)
Mei 09 (2)
Jan 24 (1)
Des 05 (3)
Des 01 (1)
Mengenai Saya
SULUH PENDIDIKAN
Lihat profil lengkapku
Pengikut
Amazon MP3 Clips
Daily Calendar
€
Baris Video

didukung oleh

Anda mungkin juga menyukai