Delapan Tujuan Pembangunan Milenium Terkait Pengurangan Resiko
Delapan Tujuan Pembangunan Milenium Terkait Pengurangan Resiko
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bulan
September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB yang sebagian besar diwakili oleh kepala
pemerintahan sepakat untuk mengadopsi Deklarasi Milenium. Deklarasi tersebut didasari oleh
pendekatan inklusif dan perhatian bagi pemenuhan hak-hak dasar manusia.
Dalam konteks inilah, kemudian negara-negara anggota PBB mengadopsi Tujuan Pembangunan
Milenium atau Millennium Development Goals (MDG). Setiap tujuan (goal) memiliki satu atau
beberapa target. Target yang tercakup dalam MDG sangat beragam, mulai dari menanggulangi
kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan
kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya, memastikan
kelestarian lingkungan hidup, dan membentuk kemitraan global dalam pelaksanaan
pembangunan.
Kemiskinan merupakan faktor penyebab bencana yang paling utama. Faktor lain dapat
diperlemah seandainya penduduknya tidak miskin, dimana mereka lebih gesit menghindari
daerah yang rawan bencana. Kemiskinan pulalah yang menyebabkan penduduk menempati
daerah yang rawan bencana. Penduduk miskin di Indonesia pada tahun 1999 mencapai 48 juta
jiwa, menurun menjadi 37,3 juta pada tahun 2003, dan diakhir Februari 2004 berkurang menjadi
36,1 juta.
Berdasarkan pengamatan, terdapat hubungan yang nyata antara pertambahan kehilangan (nyawa
dan harta) akibat suatu bencana dengan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang
cepat (saat ini masih mencapai 1,49%) akan memaksa penduduk menempati tempat yang tidak
aman dari bencana. Pertumbuhan penduduk berarti menambah persaingan memperoleh
sumberdaya dan kesempatan kerja, sehingga sering mengundang konflik. Konflik biasanya
diikuti dengan migrasi dan pengungsian.
Pertumbuhan penduduk yang cepat dan migrasi terkait dengan fenomena urbanisasi yang cepat,
yang menjadi ciri di negara berkembang. Pada tahun 2000, laju urbanisasi daerah perkotaan di
Indonesia mencapai 5,75%. Penduduk pedesaan yang miskin dan kurang keterampilan serta
pengetahuan mengadu nasib ke metropolitan untuk tujuan ekonomi dan keamanan. Kehidupan di
metropolitan yang keras membuat para urbanit tersisih ke tempat yang tidak aman dan sering
menjadi penyebab bencana kemanusiaan.
Transisi kultural dimana banyak perubahan tak terhindarkan yang terjadi di semua lapisan
masyarakat ternyata menambah kerawanan terhadap bencana. Pada masa transisi, sering disertai
gangguan akibat ketidakmerataan dan kesenjangan sosial dalam menyikapi mekanisme dan
teknologi. Transisi juga terjadi pada masyarakat yang nomaden kemudian menetap, penduduk
pedesaan yang berpindah ke perkotaan, dan penduduk pedesaan dan perkotaan yang berubah
tingkat perekonomiannya. Kebanyakan transisi terjadi pada masyarakat non industri ke industri.
Penduduk rentan terhadap bencana karena kurang menyadari bahwa daerah yang ditempati
merupakan daerah berbahaya. Hal ini mungkin disebabkan kurangnya pengetahuan/nformasi.
Mereka kurang mematuhi syarat letak, bentuk, dan kekuatan bangunan di daerah rentan bencana.
Korban banyak jatuh karena tidak mengetahui prosedur dan jalur aman pengungsian.
Pada banyak kejadian gempabumi di seluruh dunia, bangunan sekolah yang tidak dibangun
berdasarkan standar tahan bencana ambruk/roboh, menyebabkan pendidikan dasar mundur ke
belakang.
* Skopje, Yugoslavia, 1963 – 44 sekolah hancur (57% jumlah gedung sekolah)
* El Asnam, Algeria, 1989 – 70-85 sekolah roboh dan rusak berat
* Pereira, Kolumbia, 1999 – 74% sekolah rusak
* Xinjiang, China, 2003 – lusinan sekolah roboh
* Boumerdes, Algeria, 2003 – 130 sekolah mengalami kerusakan yang luas dan benar-benar
parah