Masa Pra-Kolonial
Pola pembagian wilayah yang menonjol pada masa awal kerajaan-kerajaan di Jawa adalah
berupa pembagian tanah ke dalam beragam penguasaan atau pengawasan,yang diberikan ke tangan
pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh raja atau yang berwenang di istana.Agaknya,pada masa itu konsep
“pemilikan”menurut konsep Barat(“property”,”eigendom”) memang tidak dikenal,bahkan juga bagi
penguasa.Karena itu tanah-tanah tersebut bukannya “dimiliki” oleh pejabat-pejabat atau
penguasa,melainkan bahwa para penguasa itu dalam artian politik mempunyai hak jurisdiksi atas tanah-
tanah dalam wilayahnya yang dengan kekuasaan dan pengaruhnya dapat mereka pertahankan, dan
secara teoritis juga mempunyai hak untuk menguasai ,menggunakan ataupun menjual hasil-hasil
buminya sesuai dengan adat yang berlaku.
Pada awal abad ke-19 VOC bangkrut dan penguasaannya digantikan oleh pemerintah
Kerajaan Belanda.Gubernur Jendral Daendels memprakarsai perubahan –perubahan administrasi untuk
meniptakan kekuasaan politik yang lebih sistematis .Tetai sejauh itu masalah penguasaan tanah secara
formal belum memperoleh perhatian sepenuhnya.Barulah ketika pemerintahan Inggris
menggantikannya (1811-1816) saat Raffles memperkenalkan teorinya yang terkenal itu ,yaitu teori
domein, masalah keagrariaan memperoleh perhatian yang sebenarnya.Zaman Raffles inilah yang dapat
dianggap sebagai “tonggak sejarah” yang pertama dalam soal keagrariaan ,di Indonesia.
Gubernur Jenderal Van den Bosch melaksanakan apa yang disebut cultuurstelsel atau tanam
paksa.Dasarnya adalah teori Raffles (domein),yaitu bahwa tanah adalah milik pemerintah.Para Kepala
Desa dianggap menyewa kepada Pemerintah,dan selanjutnya Kepala Desa meminjamkan kepada
petani.Maka isi pokok Cultuurstelsel bahwa 1/5 daari tanah si pemilik tanah harus ditanami dengan
tanaman tertentu yang dikehendaki oleh pemerintah,seperti nila,kopi,tembakau,dan
sebgainya,kemudian harus diserahkan kepada Pemerintah(untuk di ekspor ke Eropa).Hasil politik
“Tanam Paksa” ini ternyata melimpah bagi Pemerintah Belanda,sehingga menimbulkan iri hati bagi
kaum pemilik modal swasta.
Terjadi pertentangan antar kaum liberal yang menentang Cultuurstelsel dengan kaum
konservatif.Kemenangan pertama dipetik oleh golongan liberal ketika pada tahun 1848 akhirnya
Undang-Undang Dasar Belanda dirubah yaitu dengan adanya ketentuan di dalamnya yang
menyebutkan bahwa pemerintahan di tanah jajahan harus di atur dengan undang –undang.Undang-
Undang yang dimaksud ternyata baru selesai pada tahun 1954,yaitu dengan keluarnya Regerings
Regelment (RR) 1854.
Pada tahun 1865 Menteri Jajahan Frans Van de Putte,seorang liberal,mengajukan Rancangan
Undang-Undang ,yang isi nya antara lain adalah bahwa Gubernur Jenderal akan memberikan hak
erfpacht selam 99 tahun ; hak milik pribumi diakui sebagai hak milik mutlak(eigendom) ; dan tanah
komunal dijadikan hak milik perorangan eigendom.Ternyata RUU ini ditolak oleh
parlemen,demikianlah sampai saat itu tujuan golongan swasta Belanda untuk menanam modalnya di
bidang pertanian di Indonesia,belum tercapai.
Menteri Van de Putte jatuh karena dianggap terlalu tergesa-gesa memberikan hak eigendom
kepada pribumi.Pada tahun 1867/1868,pemerintah jajahan lalu mengadakan suatu penelitian tentang
hak-hak penduduk Jawa atas tnah,yang dilakukan di 808 desa di seluruh Jawa.Namun
ternyata,pemerintah Belanda tidak sabar menunggu hasil penelitian tersebut.Pada tahun 1870,enam
tahun sebelum laporan itu terbit,Menteri Jajahan de wall mengajukan RUU yang akhirnya diterima
oleh parlemen.Isinya terdiri dari 5 ayat.Kelima ayat ini kemudian ditambahkan kepada 3 ayat dari pasal
62 RR,yang kemudian dijadikan pasal 51 dari Indische Staatsreggeling (IS).Inilah yang disebut dengan
Agrarische Wet 1870, yang diundangkan dalam Lembaran Negara (Staatsblad) BO.55, 1870.
Dengan demikian tahun 1870 merupakan tonggak yang sangat penting dalam sejarah agraria
di Indonesia.Karena sejak itu maka berduyun-duyunlah modal swasta Eropa masuk ke
Indonesia.Muncullah perkebunan swasta besar di Sumatera dan juga Jawa.
Tujuan Undang-Undang Agraria 1870 untuk memberikan kesempatan luas bagi modal swasta
asing memang berhasil.Tapi tujuan lainnya,yaitu melindungi dan memperkuat hak tanah bagi bangsa
Indonesia asli ternyata jauh dari harapan.Hal ini terjadi karena banyak para sultan sultan yang
memberikan konsesi atas tanah nya kepada pihak asing,dengan kata lain mengabaikan kepentingan
rakyat nya,Hal ini menyebabkan kemiskinan masyarakat Indonesia asli.
Setelah 15 tahun Indonesia merdeka, maka pada tanggal 24 September 1960, lahirlah
“Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria” ,yang kemudian
terkenal dengan istilah UUPA.Lahirnya UUPA bukan proses yang pendek.Karena setelah Indonesia
merdeka, sejak awal sebenarnya pemerintah telah mulai memperhatikan masalah agraria.Mulai Panitya
Agraria Yogya (1948), Panitya Jakarta (1951), Panitya Suwahjo(1956), Rancangan Soenarjo(1958),
dan akhirnya Rancangan Sadjarwo(1960).
.,diperlukan penjabaran lebh lanjut.Namun,sebagian besar hal itu belum sempat tergarapkeburu terjadi
pergantian pemerintah dari yang lama ke pemerintahan Orde Baru yang mengambil dasar keebijakan
yang sama sekali berbeda.
Belum sampai terlaksana sepenuhnya apa yang diprogramkan dalam Reformasi Agraria pada
masa Orde Lama,terjadi tragedi nasional dalam tahun 1965,yang melahirkan Orde Baru.Penguasa Orde
Baru mewarisi situasi nasional dalam keadaan perekonomiaan Negara yang menyedihkan dan
konstelasi politik yang dinilai sebagai penyimpangan dasar dari sila-sila Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Ciri kebijakan pemerintah Orde Baru ditandai oleh dua hal pokok.Pertama : Secara umum,
strategi pembanguannya mengandalkan kepada bantuan, hutang, dan investasi dari luar negeri, dan
bertumpu kepada “yang besar”(betting on the strong), tidak berbasis pada potensi rakyat.Kedua :
Khusus dalam hal kebijakan masalah Agraria,dsadari oleh tidak oleh para perumus kebijakan pada
masa awal Orde Baru itu, Indonesia mengambil jalan apa yang sekarang dikenal sebagai “ By-pass
Approach”, atau pendekatan jalan pintas.Alur pemikiran pendekatan ini adalah sebagai berikut :
reforma agraria umumnya lahir sebagai respon terhadap suatu stuktur agraria yang terasa tidak
adil,yang pada gilirannya berpotensi bagi terjadinya konflik agraria.
Untuk menangani konflik agraria , orang harus memahami dulu apa maknanya.Penganut
pendekatan jalan pintas berpandangan bahwa(sebagai asumsi dasar) makna konflik agraria adalah
masalah pangan.Karena itu, buat apa susah suah melakukan reforma agraria?Kita tangani saja secara
langsung masalah pangan.Kebetulan lahirnya Orde Baru bersamaan waktunya dengan Revolusi Hijau
di Asia.Maka diambillah jalan pintas,mengusahakan tercapainya swasembada pangan melalui Revolusi
Hijau tanpa Reforma Agraria.Swasembada pangan memang pernah dicapai,namun ternyata konflik
agraria bukannya lenyap melainkan justru terjadi dimana-mana.
Salah satu produk hokum pertama Penguasa Orde Baru adalah Undang-Undang Nomor 5
Thun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan.Dalam praktek pelaksanaan nya Undang –
Undang tersebut juga menimbulkan kenyataan perlakuan yang tidak adil pada masyarakat hokum adat
dan warganya,yang tanah ulayatnya diberikan dengan Hak Pengusahaan Hutan kepada pengusaha.
(bertentangan dengan UUPA).
Ketentuan-ketentuan landreform,biarpun formal tidak dicabut selama Era Orde Baru tidak
tampak dilaksanakan,dengan segala akibatnya dalam penguasaan tanah-tanah pertanian, baik yang
mengenai batas luas maupun lokasinya.Biarpun kebijakan pembangunan dan pelaksanaannya berbeda
dengan semangat yang mealndasi UUPA ,tetapi undang-undang tersebut dan peraturan-peraturan
pelaksanaannya selama Orde Baru masih dapat memberikan dukungan legal yang diperlukan tanpa
mengalami perubahan formal substansinya.
Orde Reformasi tampak membawa perombakan yang asasi dalam kebijakan pembangunan
nasional di bidang ekonomi,sebagai yang ditetapkan dalam kebijakan pembangunan nasional di bidang
ekonomi, sebagai yang ditetapkan dalam TAAP MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi
Dalam Rngka Demokrasi Ekonomi, yang berbeda benar dengan kebijakan pembangunan ekonomi
Orde Baru.
Pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lainnya,harus dilaksanakan secara
adil dengan menghlangkan segala bentuk penguasaan dan kepemilikan dalam rangka pengembangan
kemampuan ekonomi usaha kecil,memengah, kopersi,serta masyarakat luas.Tanah sebagai basis usaha
pertanian harus diutamakan penggunaannya bagi pertumbuhan pertanian rakyat,yang mampu
melibatkan serta memberi sebesar besarnya kemakmuaran bagi usaha kecil, menengah, dam koperasi.
Demikian garis besar kebijakan pembangunan bidang ekonomi Orde Reformasi, yang berbeda
benar dengan kebijakan Penguasa Orde Baru, tetapi sejalan dengan semngat yang terkandung dalam
UUPA,sebagai yang dikemukakan di atas.Kebijakan Orde Reformasi tentang keberpihakan pada rakyat
banyak,khususnya usaha kecilmenengah dan koperasi.Tanpa mengabaikan peranan usaha besar dan
Badan Usaha Milik Negara.
Kebijakan di bidang ekonomi sebagaimana yang dikemukakan di atas kiranya sesuai dengan
semngat yang melandasi Hukum Tanah yang ada sekarang,yang konsepsi,asas-asas dan ketentuan-
ketentuan pokoknya dituangkan dalam UUPA.Maka reformasi di bidang Hukum Tanah yang perlu
diadakan ,bukan merupakan kegiatan perombakan, melainkan penyempurnaan lembaga dan ketentuan-
ketentuanya, hingga bias memberikan dukungan legal dan substansial yang lebih mantap bagi
terwujudnya tujuan yang hendak dicapai dengan kebijakan ekonomi baru ,yang kembali kepada
pengutamaan kepentingan rakyat banyak.
Kelas : C