Anda di halaman 1dari 4

Tugas Journal

Brain Repair After Stroke

Brain Repair after Stroke


Steven C. Cramer, M.D.

Stroke merupakan penyebab kematian terbanyak kedua di dunia. Kebanyakan


dari pasien yang selamat dari serangan stroke, mendapatkan gangguan yang
menyebabkan terjadinya kecacatan. Meskipun kebnayakan pasien mengalami
peningkatan secara spontan setelah stroke, penyembuhannya secara umum masih
belum sempurna. Beban kecacatan ini terjadi pada satu dari empat pasien yang
mengalami stroke pada usia di bawah 65 tahun.

Pendekatan yang dilakukan untuk mengurangi derajat kecacatan setelah stroke


berfokus pada perbaikan dari otak. Terapi perbaikan ini bertujuan untuk
mengembalikan fungsi otak, tujuan ini membedakannya dengan terapi neuroproteksi,
yang bertujuan untuk membatasi cedera stroke akut. Sejumlah terapi perbaikan ini
telah dijabarkan pada penelitian preklinik. Terapi ini dapat menghasilkan perubahan
perilaku saat diberikan berhari-hari sampai bulan setelah onset dari stroke. Beberapa
kelompok terapi untuk perbaikan otak masih dalam penelitian, mencakup penggunaan
dari stem cell, growth factor, molekul kecil, stimulasi elektromagnetik, dan fisioterapi
intensif. Kebanyakan dari terapi ini, mencakup fisioterapi robot-based, sudah dicoba
pada manusia.

Lo dkk, menggambarkan penelitian multicenter, acak, dan terkontrol untuk


mengevaluasi efek dari terapi robotic pada status motoris pasien dengan kecacatan
jangka panjang setelah stroke. Sebagaimana yang telah dilaporkan pada jurnal,
hipotesis utama dari penelitian ini adalah terapi robotic, ketika dibandingkan dengan
terapi pembanding intensif atau perawatan biasa, akan mengarah kepada peningkatan
dari fungsi anggota gerak atas dalam 12 minggu, sebagaimana yang telah diukur

Shalahuddin
Bagian/SMFIlmu Penyakit Syaraf, RSUZA Banda Aceh
Tugas Journal
Brain Repair After Stroke

dengan perubahan pada skor skala fuglmeyer. Pasien secara acak diberikan satu dari
tiga pilihan terapi: terapi robotic, yang terdiri dari intensitas tinggi, pegerakan
berulang dari lengan proksimal dan distal, terapi intensif, yang cocok dengan terapi
robotic dalam hal jadwal, bentuk, dan intensitas tetapi juga dengan penggunaan
teknik rehabilitative konvensional. Subjek dalam dua kelompok terapi intensif
menerima tiga sesi terapi (setiap terapi rata-rata selama 1 jam) per minggu selama 12
minggu, pasien yang terlibat dalam trial ini bervariasi dalam waktu onset strokenya (6
bulan sampai 24 tahun), memiliki penyakit penyerta yang banyak (meliputi kondisi
kesehatan mental dan stroke lama), dan mendapatkan terapi yang banyak.

Hasil dari peneliti tidak mendukung hipotesa nya. Saat terapi bantuan robot
dibandingkan dengan terapi pembanding intensif atau perawatan biasa, tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam perubahan skor fugl-meyer yang terlihat. Pada
analisis sekunder yang diperpanjang hingga 24 minggu setelah terapi, terapi robotic
lebih baik dibandingkan dengan perawatan biasa tetapi tidak lebih baik dari pada
terapi pembanding intensif. Namun, karena fungsi yang meningkat pada pasien
dengan dalam dua kelompok terapi, penemuan ini memastikan ide bahwa status
motoric dapat meningkat pada pasien dengan cacat jangka panjang setelah cacat.

Lo dkk. Telah berhasil menyelesaikan penelitian yang sulit ini dan mencapai
nilai yang tinggi, jumlah dropout yang rendah, dan periode follow up yang panjang,
dan mencocokkan terapi secara hati-hati melalui due kelompok terapi. Tetapi
beberapa fakta dasar dari fase kronis dari stroke dapat menyulitkan uji hipotesis
dalam trial klinis. Perilaku oada kelompok terapi atif lebih sedikit dibandingkan
dengan kalkulasi yang telah diantisipasi, kemungkinan karena nilai rerata dasar dari
deficit motoris pada pasien sudah sangat parah, dan deficit yang sudah parah sangat
sulit untuk disembuhkan. Menemukan perbedaan terapi antara kelompok dapat
dihambat dengan memilih pasien dengan motivasi tinggi pada seluruh kelompok

Shalahuddin
Bagian/SMFIlmu Penyakit Syaraf, RSUZA Banda Aceh
Tugas Journal
Brain Repair After Stroke

study, karena pasien yang mengidap stroke kadang-kadang setuju untuk mengunjungi
laboratorium penelitian.

Gambaran klinis lain dari pasien juga dapat mempengaruhi hasil penelitian.
Beberapa pasien memiliki penyakit penyerta yang beragam. Contohnya saja, depresi
dapat mempengaruhi hasil, mengingat ada 38% pasien yang menggunakan
antidepresan. Tambah lagi, 73% dari seluruh penelitian mendapatkan beberapa
formulir terapi rehabilitasi pada baseline – ratio yang tinggi untuk psien dengan
kecacatan jangka panjang setelah strok – dan proporsi ini berubah sedikit selama
penelitian. Ratio yang tinggi dari terapi rehabilitasi diluar protocol penelitian tetapi
sesuai dengan interensi penelitian, sebagai mana yang terlihat oleh Lo dkk,
pengalaman yang sama pada pasien berbulan atau bbertahun setelah strok dan
membingungkan uji hipotesis. Apa hal lain yang dilakukan oleh sunjek selam 165
jam per minggu? Menurut Lo dkk, mengingatkan kita bahwa banyak factor yang
menjadi efek substansi pada penelitian ini meliputi pasien setelah stroke dan kalkulasi
konservatif untuk penelitian lainnya.

Dalam pandangan yang lebih luas, potensi untuk Terapi robotik setelah stroke
masih sangat besar. Perangkat robotik dapat menyediakan terapi untuk berbagai mode
fungsional, hal yang tidak diteliti Lo dkk. Robot bekerja secara konsisten dan tepat
dan dalam jangka waktu lama tanpa lelah. Mereka dapat mengatur waktu, isi, dan
intensitas latihan dengan cara direproduksi, dengan mengurangi kebutuhan manusia.
Perangkat Robotic juga dapat mengukur kinerja pasien selama terapi. Selain itu,
terapi robot ini dapat disesuaikan dengan komputer pada terapi stimulasi otak atau
untuk memberikan latihan kognetif secara simultan.

Penemuan Lo dkk. Memiliki nilai yang luas untuk perencanaan percobaan


perbaikan. Latihan pergerakan, di pusat dari dari penelitian ini, berdiri sendiri dan
memiliki berbagai sarana dalam meningkatkan perilaku dalam cedera otak akibat

Shalahuddin
Bagian/SMFIlmu Penyakit Syaraf, RSUZA Banda Aceh
Tugas Journal
Brain Repair After Stroke

stroke, seperti yang ditunjukkan oleh Wolf dkk. Di fase 3 trial. Tapi latihan
pergerakan juga akan menjadi nilai penting sebagai terapi tambahan dengan target
tujuan perbaikan otak, seperti penggunaan faktor-faktor pertumbuhan atau stimulan.
Perbaikan terapi ini menjalankan plastisitas otak maksimum dan mencapai
keuntungan terbaik saat mereka dibentuk oleh pelatihan dan pengalamane. namun
demikian, temuan dalam kelompok perlakuan aktif dalam studi oleh Lo dkk. akan
instruktif pada percobaan yang dilakukan di masa depan.

Hasil ini menantang kita untuk lebih mengelompokkan pasien dengan cacat
jangka panjang setelah stroke. Pasien tersebut umumnya dipilih berdasarkan status
perilaku. Studi neuroimaging fungsional telah jelas menunjukkan bahwa fenotipe
perilaku tunggal dapat timbul atas dasar banyak lokasi otak yang berbeda. Anatomi
dan pengujian fisiologis mungkin membantu dalam identifikasi pasien yang otaknya
telah cukup untuk meningkatkan dalam respon terhadap terapi. Untuk itu, studi
terbaru menunjukkan bahwa ukuran cedera pada system saraf pusat atau fungsi dapat
membantu memprediksi kapasitas pasien dengan keuntungan pengobatan setelah
stroke. Banyak lokasi neurobiologic berbeda dapat menghasilkan penurunan nilai
tertentu, tetapi hanya beberapa negara cenderung untuk menghasilkan peningkatan
perilaku dalam menanggapi terapi.

Penelitian yang dilakukan oleh Lo dkk, mendukung teori yang menyatakan


bahwa otak orang dwasa memiliki kapasitsa pastisita yang secara klinis relevan
bahkan pada saat fase kronis setelah stroke. Harapan dimasa yang akan dating adalah
pengembangan dari protocol perbaikan otak untuk mengurangi kecacatan setelah
stroke.

Shalahuddin
Bagian/SMFIlmu Penyakit Syaraf, RSUZA Banda Aceh

Anda mungkin juga menyukai