Anda di halaman 1dari 8

PERJANJIAN INA – SNG TENTANG BATAS LAUT

Sejak berlakunya Undang-Undang No. 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, maka
lebar laut Wilayah Indonesia dijadikan 12 mil laut diukur dari garis-garis dasar yang merupakan
garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau atau bagian pulau-
pulau yang terluar dalam wilayah Indonesia.
Dengan demikian, maka seluruh kepulauan Indonesia telah merupakan suatu kesatuan wilayah, dan seluruh perairan yang

terletak disebelah pantai dari garis laut wilayah tersebut adalah wilayah Republik Indonesia. Salah satu konsekwensi dari

berlakunya Undang-Undang No. 4 Prp. Tahun 1960 tersebut adalah bahwa beberapa bagian dari perairan yang dahulunya

laut bebas kini telah menjadi perairan wilayah Indonesia atau perairan pedalaman Indonesia. Demikian juga halnya dengan

di Selat Singapura.

Dalam pada itu, Pemerintah Republik Singapura menganut lebar laut wilayah 3 mil laut Dengan demikian, maka tumbullah

persoalan “Dimanakah letak garis batas laut wilayah masing-masing Negara di Selat Singapura yang sempit” yaitu dibagian

Selat Singapura yang jarak antara garis-garis dasar Indonesia dan garis-garis dasar Singapura adalah kurang dari 15 mil laut.

Ketegasan garis-garis batas ini sangat diperlukan sekali oleh pemerintah kedua Negara, terutama untuk dapat memberikan

jaminan-jaminan hukum (rechtszekerheid) dilaut wilayah masing-masing Negara. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan

diatas, maka diadakanlah perundingan antara kedua pemerintah di Singapura dari tanggal 7 Mei sampai dengan tanggal 8

Mei 1973, perundingan telah menghasilkan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Singapura tentang Penetapan Garis

Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Selat Singapura.

Isi pokok dari Perjanjian tersebut adalah bahwa garis batas laut wilayah Indonesia dan laut wilayah Singapura di Selat

Singapura yang sempit, yaitu di selat yang lebar antara garis dasar kedua belah pihak kurang dari 15 mil laut, adalah suatu

garis yang terdiri dari garis-garis lurus yang ditarik antara titik-titik yang koordinat-koordinatnya tercantum pada Perjanjian

dimaksud. Pengesahan perjanjian ini oleh presiden dilakukan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,

sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam amanat Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat tanggal

22 Agustus 1960 No. 2816/HK/60.

PERJANJIAN DI PERBATASAN INDONESIA DAN MALAYSIA


PERJANJIAN DI PERBATASAN INDONESIA DAN MALAYSIA
Pemerintah Indonesia dan Malaysia telah menandatangani perjanjian the first Joint Investment and
Trade Committee (JICT) untuk meningkatkan perdaganan dan investasi antara kedua negara.
Penandatangan kesepakatan tersebut dilakukan oleh wakil dari masing-masing negara yakni Menteri
Perdagangan. Salah satu isu yang dibahas dalam pertemuan adalah pemeriksaan kembali perjanjian
perdagangan perbatasan yang telah dibuat pda tahun 1970. Kedua negara telah bersetuju untuk
mengadakan perbaikan perjanjian sesegera mungkin.
Kedua menteri juga membahas masalah-masalah tentang kerjasama perdagangan dan investasi,
termasuk suatu peraturan untuk memeriksa ekspor keramik Malaysia ke Indonesia. Indonesia dan
Malaysia juga setuju untuk membahas isu-isu tentang sertifikat negara asal sepanjang itu didasarkan
pada the common effective preferential tariffs (CEPT) untuk AFTA (ASEAN Free Trade Area).
Persoalan klaim diketahui setelah pada tahun 1967 dilakukan pertemuan teknis pertama kali mengenai
hukum laut antara Indonesia dan Malaysia. Kedua belah pihak bersepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan
diberlakukan sebagai keadaan status quo lihat: Sengketa Sipadan dan Ligitan). Pada tanggal 27
Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia, yang disebut
sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia kedua negara masing2 melakukan
ratifikasi pada 7 November 1969, tak lama berselang masih pada tahun 1969 Malaysia membuat peta
baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca) tentunya hal ini
membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun Singapura tidak
mengakui peta baru Malaysia tersebut. Kemudian pada tanggal 17 Maret 1970 kembali ditanda tangani
Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia. Akan tetapi pada tahun 1979 pihak Malaysia
membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan yang secara sepihak membuat
perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya yaitu
dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati Pulau Sebatik. Indonesia memprotes dan
menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk pada Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia -
Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970. Indonesia
melihatnya sebagai usaha secara terus-menerus dari pihak Malaysia untuk melakukan ekspansi
terhadap wilayah Indonesia. Kasus ini meningkat profilnya setelah Pulau Sipadan dan Ligitan, juga
berada di blok Ambalat, dinyatakan sebagai bagian dari Malaysia oleh Mahkamah Internasional.
Ada sejarah panjang yang terangkai mengenai batas wilayah Negara antara Indonesia dan Malaysia,
baik batas darat maupun batas maritim. Yang menarik untuk dibahas pada topik ini adalah mengenai
batas maritim antara Indonesia dan Malaysia. Pada tahun 1969 sudah ada perjanjian antara Indonesia
dan Malaysia mengenai batas landas kontinen (dasar laut) antara kedua Negara. Perjanjian tersebut juga
mencakup perbatasan di pulau Natuna dan semenanjung Malaysia di sebelah barat Laut Cina Selatan.
Dan pada tahun 1970 ada tambahan perjanjian batas antara Malaysia dan Indonesia mengenai
perbatasan Laut Wilayah (territorial sea).
Laut wilayah adalah kawasan perairan suatu Negara yang diukur sejauh 12 mil laut dari garis pangkal
suatu Negara (biasanya berupa garis pantai). Jika ada dua Negara yang berdekatan sama-sama
mengklaim 12 mil laut untuk laut wilayah dan bertampalan (overlap) maka perlu ditegaskan batas antar
perairan laut wilayah tersebut. Batas antar laut wilayah tersebut mencakup tubuh air (water column).
Batas inilah yang kemudian digunakan sebagai penanda adanya pelanggaran di wilayah perairan seperti
apa yang dituduhkan kepada nelayan Indonesia. Tanpa adaya batas laut yang memisahkan tubuh air,
sesungguhnya tidak ada dasar untuk mengatakan sebuah kapal telah memasuki wilayah perairan negara
lain mengingat aktivitas kapal nelayan ini adalah di air, bukan di dasar laut, bukan di udara. Mari kita
lihat kondisi batas laut antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka.
Batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia ditarik dari dekat Singapura dan berakhir di dekat Pula
Batu Mandi di Selat Malaka. Artinya tidak ada batas perairan yang berupa batas laut wilayah antara
Malaysia dan Indonesia setelah Pulau Batu Mandi ke arah Barat Laut di Selat Malaka. Yang ada
hanyalah batas landas kontinen yang ditetapkan pada tahun 1969. Batas landas kontinen, sesuai dengan
hukum laut internasional, merupakan batas yang memisahkan dasar laut dua atau lebih negara. Batas
landas kontinen tersebut tidak mengatur batas tubuh air. Sehingga secara umum, batas landas kontinen
ini berlaku dalam hal pengelolaan lapisan di bawah laut (dasar laut) yang biasanya digunakan untuk
pertambangan lepas pantai (off shore).
Menilik kembali insiden yang terjadi, lokasi insiden penembakan tersebut terjadi di sekitar Pulau
Berhala. Sayangnya, tidak diketahui secara pasti lokasinya (yang dinyatakan dengan koordinat lokasi
insiden). Secara geografis, letak pulau Berhala berada di sebelah utara Pulau Batu Mandi. Artinya
lokasi insiden berada di sebelah utara titik paling utara batas laut wilayah Indonesia dan Malaysia. Jika
hal tersebut benar (mengenai lokasi insiden) maka di wilayah tersebut tidak ada batas tubuh air. Yang
ada hanyalah batas landas kontinen yang membatasi dasar lautnya saja dan tidak membatasi tubuh air.
Isi Perjanjian Antara Indonesia dan Amerika Saat Obama Berkunjung
ke Jakarta
Comprehensive Partnerships Agreement ( CPA) adalah suatu bentuk perjanjian antara dua belah
pihak, apakah itu badan usaha atau Negara, mengikat suatu perjanjian untuk kemajuan dan
kemakmuran bersama. Inilah sekilas pengertian umum dari bentuk perjanjian yang ditanda-tangani
kedua President antara Obama dan SBY pada beberapa hari yang lalu.
Bila kita melihat apa dan kearah mana isi perjanjian kedua Negara tersebut sepertinya dibuat hanya
untuk kalangan tertentu saja, public sulit untuk mendapatkan akses akan isi dan tujuan CPA tersebut,
walau pihak Istana memberikan klarifikasi bahwa tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, pendidikan maupun militer antara kedua Negara.
Namun bagi penulis yang sudah dua kali menghadiri kunjungan Presiden SBY ke AS, secara kasat
mata melihat bahwa para pengusaha AS merupakan perancang utama dalam kunjungan ini, Obama
dengan pola diplomasi ulung berhasil memikat perhatian seluruh Rakyat Indonesia, mulai dari rakyat
jelata hingga kaum berpunya begitu bersemangat memberikan ucapan selamat Datang bagi Tuan dan
Nyonya Obama, semua terbuai dan terkesima seakan lupa bahwa dalam hidup nyata begitu banyak
kesulitan yang dihadapi.
Kembali kepada perjanjian CPA tersebut, dari analisa kasat mata sebagai pemerhati masalah Ekonomi
global, saya yakin perjanjian tersebut sepenuhnya dikendalikan oleh Pengusaha Amerika yang tetap
menginginkan dominan mereka dibidang Eksploitasi Alam dan gas bumi dari Timika hingga blok
Natuna. Walau dijanjikan akan ada pengembangan beasiswa bagi anak-anak bangsa untuk menimba
ilmu di Amerika Serikat, dan begitu juga sebaliknya, ditambah hibah pesawat tua F 16 bagi Angkatan
Udara Indonesia , sekilas bantuan ini memang menarik bagi Indonesia, akan tetapi semudah itukah
untuk merealisasikannya?
Saat ini Posisi Obama di dalam negeri AS sungguh tidak menguntungkan banyak warga AS yang
kemudian mulai tidak suka dengan gaya kepemimpinan yang ditampilkan oleh Obama. Bahkan para
pendukung Obama pada saat pilpres dua tahun lalu di Amerika Serikat, kini sudah mulai berubah
haluan. Partai Demokrat pun yang mengusung Obama menuju kursi Presiden AS merasakan akibatnya.
Dalam pemilu sela awal bulan ini, Partai Republik memenangi mayoritas kursi di DPR ( House Rep)
membuat Ketua DPR AS Nancy Pelosi asal demokrat terpental dari posisi ketua, dan harus rela
memberikan kursi tersebut kepada John Boener dari partai Republik, hal ini menandakan bila Obama
akan mengajukan suatu rancangan undang-undang baik dalam bidang Ekonomi, pertahanan maupun
pendidikan dipastikan akan menemui banyak kesulitan bahkan buntu, saat RUU tersebut diajukan
House of representative, sebab partainya Demokrat sudah menjadi minority di DPR AS.

Indonesia di Tengah Perjanjian Pertahanan Commonwealth (2-


habis)
Posted on Agustus 12, 2007 by Rovicky
40 Tahun Rujuk Malaysia – Indonesia http://www.sinarharapan.co.id/berita/0708/10/sh04.html
Oleh Aju
Pengantar redaksi: Sabtu, 11 Agustus 2007, genap 40 tahun usia rujuk Federasi Malaysia–Republik Indonesia
(Malindo). Namun ternyata, persoalan di daerah perbatasan Malaysia-Indonesia belum juga selesai. Untuk
mengulas masalah tersebut, SH menyajikan dua tulisan.

PONTIANAK – Dalam salah satu buku dokumen yang diterbitkan Departemen Luar Negeri disebutkan, salah
satu latar belakang pembentukan Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) adalah meningkatkan kerja
sama ekonomi dan membendung pengaruh ajaran komunis di Asia Tenggara.
Dalam percaturan politik regional, kehadiran ASEAN kenyataannya untuk meredam agresivitas militer Indonesia
yang di awal tahun 1960-an sempat condong ke Uni Soviet (Rusia) dan Republik Rakyat Tiongkok (China).
Agresivitas Tentara Nasional Indonesia (TNI) sudah dibuktikan dengan berhasil merebut Irian Jaya dari
pendudukan Belanda tahun 1963.
Saat hampir bersamaan, TNI sempat menyerbu Negara Bagian Sarawak karena ketidaksetujuan Presiden
Soekarno terhadap Sabah dan Sarawak yang bergabung dengan Federasi Malaysia.
Hampir bersamaan dengan pembentukan ASEAN, melalui jaringan commonwealth (persemakmuran) bersama
Inggris, Australia, dan Selandia Baru, Malaysia menandatangani perjanjian militer mengikat dalam Five Power
Defence Arrangement (FPDA). Perjanjian pertahanan serupa juga dilakukan Inggris, Australia, dan Selandia
Baru dengan Singapura dan Brunei Darussalam.
Implikasinya, jika terjadi ketegangan militer dengan Indonesia, kekuatan intelijen dan logistik Inggris, Australia,
dan Selandia Baru akan mendukung Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Jadi dari strategi
pertahanan, Indonesia berada di tengah bayang-bayang kekuatan militer FPDA. Indonesia sendirian dalam
mengamankan kawasan.
Atas kenyataan ini pula, Malaysia cenderung menunjukkan sikap egoisnya terhadap Indonesia. Klaim sepihak
atas Perairan Blok Ambalat, Karang Unarang, Kalimantan Timur, 16 Februari 2005, melalui pemberian konsesi
pengelolaan pengeboran minyak lepas pantai kepada perusahaan internasional, Shell, membuktikan Malaysia
dalam percaturan politik kawasan tidak mengenal teman abadi. Malaysia memanfaatkan kelemahan pada
border system security kita.
Semestinya, Mahkamah Internasional di Denhaag, Belanda, yang telah memenangkan Malaysia terhadap
kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, dijadikan peringatan terakhir.
Alutsista
Atas dasar kenyataan tersebut, anggota Komisi I DPR Suripto sangat mendukung kerja sama militer Indonesia
dengan Rusia, China, Korea Selatan, dan India yang sedang berjalan, untuk membendung kekuatan militer
sepihak FPDA di kawasan Asia Tenggara.
Setelah sebelumnya sepakat menjalin kerja sama lebih konkret di bidang militer dengan India, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono di Moskow pada 29 November 2006 menandatangani perjanjian kerjasama militer dengan
Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Kerja sama itu di antaranya pengadaan kelengkapan satu skuadron pesawat tempur Sukhoi yang dikenal
canggih bermanuver, kapal selam killo class, helikopter serbu M-35, dan pendirian peluncur satelit dan roket di
Biak, Papua.
Selain itu, kerja sama melalui sistem kredit lebih Rp 9 triliun tahun 2006–2011. Melalui anggaran militer
diproyeksikan Rp 33,878 triliun tahun 2008, sedangkan tahun 2007 Rp 33,64 triliun, tahun 2006 Rp 21 triliun,
Indonesia memperbarui alutista darat, laut dan udara, di antaranya membeli beberapa pesawat intai tanpa awak
dari Israel.
Sementara pada 13 November 2006 di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda
dan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer menandatangani perjanjian kerja sama militer.
Langkah Indonesia memperbarui alat utama sistem pertahanan (alutista), membuat Malaysia gerah. Ini bisa
dilihat pada 30 Nopember 2006, PM Australia John Howard menemui PM Malaysia Datuk Abdullah Badawi, di
Kuala Lumpur. Howard menilai Badawi peduli terhadap kualitas hubungan bilateral. Sedangkan pada era PM
Mahathir Mohammad, Malaysia sempat menuding Australia arogan, berupaya menempatkan diri jadi sheriff di
Asia yang berpola pikir rasis sehingga setiap ada upaya negara kanguru itu mendekati negara di Asia Tenggara,
selalu dihalangi Malaysia sebagai salah satu pendiri ASEAN.
Sikap melunak Kuala Lumpur memiliki sejumlah dimensi, yakni ingin mempertajam kembali komitmen di bidang
pertahanan sebagaimana tertuang dalam FPDA beranggotakan Malaysia, Inggris, Australia, Singapura dan
Selandia Baru. Malaysia sadar Australia paling berjasa dalam sejarah ketatanegaraan negara jiran itu. Inggris
yang didukung Selandia Baru dan Australia sukses membentuk Federasi Malaysia tanggal 16 September 1963,
setelah seminggu sebelumnya digelar referendum yang dihadiri pejabat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kekhawatiran Barat
Pembentukan Federasi Malaysia (belakangan Brunei Darussalam dan Singapura memisahkan diri) sebagai
bentuk kekhawatiran negara barat, karena Indonesia sejak 1960 di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno
cenderung dirasuki paham Blok Timur.
Jika Sabah, Sarawak, Brunei Darussalam, dan Singapura tidak segera digabung di dalam federasi melalui
referendum, pengaruh Republik Rakyat Tiongkok di Asia Tenggara sebagai salah satu pintu masuk paham
komunis di seluruh daratan Asia, akan semakin kuat.
Hasil referendum diprotes Indonesia dan Filipina. Indonesia menilai pembentukan Federasi Malaysia sebagai
upaya Inggris mempertajam pengaruh kolonialisme dan imprealisme di Asia Tenggara. Sedangkan Filipina
memprotes karena Sabah bagian dari wilayah Kesultanan Sulu, Mindanau yang kemudian disewa Inggris.
Tapi protes Indonesia dan Filipina tidak membuahkan hasil. Malah Federasi Malaysia (sebelumnya dikenal
dengan sebutan Persekutuan Tanah Melayu) tanggal 17 September 1963, hanya satu hari setelah pengumuman
pembentukan federasi, memutuskan hubungan diplomatik dengan Indonesia dan Filipina.
Hubungan diplomatik normal, setelah konfrontasi bersenjata Indonesia–Malaysia berakhir melalui perjanjian
Jakarta Accord, 11 Agustus 1966 yang ditandatangani Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik dan Menteri
Luar Negeri Malaysia Datuk Tun Abdurazak.
Dimensi lain Malaysia merangkul Australia, karena Indonesia dinilai tidak gampang diperdaya. Indonesia sudah
berani menunjukkan sikap tegas dan keras, hingga mengerahkan kekuatan militer laut, memprotes klaim
Malaysia atas kepemilikan perairan Blok Ambalat, Karang Unarang, Kaltim, 16 Februari 2005, setelah
sebelumnya sukses di Mahkamah Internasional di Denhaag, Belanda, “merebut” Pulau Sipadan dan Ligitan.
Aspek lain, Malaysia menganggap Indonesia tidak bisa lagi dipandang remeh di bidang alutista. Indonesia–
Malaysia memiliki banyak kesamaan dan kepentingan bersama, namun juga mempunyai perbedaan
kepentingan yang sangat mendasar sehingga sewaktu-waktu mampu menggugah rasa nasionalisme.
Sayangnya, selama ini persamaan kepentingan sangat ditonjolkan, sedangkan perbedaan kepentingan yang
menyangkut klaim batas wilayah terus dipendam para pemimpin kita.
Dihadapkan dengan kondisi dimaksud, sangat perlu dilakukan pendekatan pembangunan di perbatasan dengan
pendekatan kesejahteraan, tanpa mengabaikan pendekatan keamanan dan pendekatan lingkungan.
Kebijakan pembangunan yang selama ini melihat wilayah perbatasan sebagai halaman belakang, harus diubah
menjadi halaman depan negara.
Sikap Malaysia yang kembali berhubungan mesra dengan Australia, diharapkan mampu mengubah sense of
security setiap warga negara. Indonesia tidak boleh terlalu polos dalam pergaulan diplomatik dengan Malaysia.

Indonesia diuntungkan dari perjanjian


perdagangan dengan India
JAKARTA - Menteri Perdagangan Negara ASEAN menandatangani kerangka kerjasama perdagangan
bebas dengan India dalam ASEAN-India Free Trade Agreement, Jumat (14/8/09). FTA ASEAN-India
ditandatangani bersamaan pertemuan ke-41 Tingkat Menteri Ekonomi ASEAN (AEM).

Penandatanganan persetujuan ini memiliki arti penting bagi ASEAN, selain karena melalui proses
negosiasi yang cukup memakan waktu dan tenaga sejak tahun 2005.

Perundingan ini juga memperhatikan posisi India yang selama ini dikenal sebagai salah satu pasar
dengan struktur tarif yang tinggi, rata-rata tingkat tarif bea masuk impornya diatas 30%-40%, bahkan
banyak komoditi yang memiliki tarif 80-90%.

Berdasarkan perjanjian, bea perdagangan barang, elektronik, mesin dan tekstil akan dikurangi hingga
akhirnya dihapuskan sama sekali. Sejumlah kecil bea perdagangan komoditas seperti kopi dan minyak
sawit diturunkan sekitar 10% pada tahun mendatang. Namun, penurunan itu tidak akan berjumlah
besar.

"Perjanjian ini akan menghapuskan bea-masuk atas bahan-bahan elektronik, kimia, mesin-mesin dan
tekstil yang merupakan lebih dari 80% jumlah perdagangan barang antara India dan Asia Tenggara,"
jelas Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dalam siaran persnya yang dikeluarkan di Jakarta,
Jumat (14/8/09).

Namun, lanjutnya, penurunan ini tidak secara langsung karena masih ada waktu hingga 2019. "Jadi
tahapannya itu sebetulnya penurunan baru dalam beberapa waktu kedepan," ungkap Mari Elka.

Dikatakan, jika melihat perjanjian antara ASEAN dan India, perjanjian ini seharusnya menguntungkan
Indonesia karena selama ini tarif India rata-rata sangat tinggi. Sehingga dengan India mulai
menurunkan tarif maka akan menguntungkan Indonesia.

Dari kepentingan defensif yang selama ini dikhawatirkan oleh banyak kalangan di dalam negeri,
Indonesia hanya memberikan komitmen pembukaan akses pasar komoditi impor asal India sebesar
42,5% hingga tahun 2013 dari total pos tarif nasional.

Sebagian besar lainnya akan berada dalam kelompok sensitive track yang umumnya hanya diturunkan
tarifnya menjadi 5% dengan batas waktu terakhir tahun 2019.

Mari Elka menambahkan, posisi defensif Indonesia tersebut ditujukan untuk kelompok produk yang
cukup sensitif antara lain tekstil produk tekstil (TPT), besi dan baja, mesin, otomotif, produk aneka,
kimia dan produk kimia serta beberapa komoditi pertanian seperti daging, produk perikanan dan buah-
buahan.

Bagi Indonesia sebagai negara anggota ASEAN, persetujuan ini akan melengkapi berbagai kerjasama
FTA yang selama ini telah berjalan sejak beberapa tahun lalu.

Target yang diharapkan dengan terbentuknya ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA) adalah
meningkatnya hubungan perdagangan ASEAN dan India secara signifikan dengan saling
menguntungkan.

"Khusus bagi Indonesia dan India, keduanya sepakat mentargetkan nilai perdagangan bilateral kedua
negara agar dapat menembus angka 2 digit atau US$ 10 miliar pada tahun 2010," jelasnya.

AIFTA diharapkan memberikan peluang lebih besar bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor ke
India, karena bila melihat realisasi dagang pada tahun 2008 yang telah mencapai US$9,57 miliar
dengan posisi surplus di pihak Indonesia sebesar US$4,6 miliar. Artinya target US$10 miliar pada
tahun 2010 sudah tercapai pada tahun 2008.

Dari kepentingan ofensif perdagangan Indonesia, kesepakatan yang dicapai dalam AIFTA memberikan
arti yang strategis bagi peningkatan ekspor berbagai komoditi unggulan di tanah air.

Hal ini tercermin dari komitmen India yang akan menurunkan dan menghapuskan sebagian besar
tarifnya (sekitar 85% dari total pos tarifnya) dalam kurun waktu 2010-2019.

Akses pasar ekspor ke India akan meningkat secara tajam dengan adanya program penghapusan tarif
atas 70,18% dari total pos tarifnya pada tahun 2013 dan akan terus meningkat menjadi 79,35% pada
tahun 2016.

AIFTA akan membuka peluang bagi peningkatan ekspor Indonesia khususnya untuk komoditi-komoditi
seperti sayuran, buah-buahan, lemak dan minyak nabati, coklat, pupuk, bahan samak dan celup, plastik,
produk karet, produk kulit, kertas, tekstil dan produk tekstil, batubara, biji tembaga, kaca, perkakas,
mesin, otomotif dan lainlain.

Indonesia-Rusia Sudah Perbaharui Perjanjian


Angkutan Udara
Selasa, 29 Maret 2011 06:18 WIB | 1523 Views
Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan
pemerintah Rusia yang diwakili oleh Kementerian Transportasi Rusia telah memperbaharui perjanjian
kerjasama angkutan udara (air service agreement) antara kedua negara.

"Perjanjian (baru) ini dilakukan untuk menggantikan dokumen pada 1990 dan merupakan langkah
penting bagi perkembangan kerjasama bilateral," kata Direktur Jenderal Perhubungan Udara
Kemenhub Herry Bakti S Gumay kepada pers di sela Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi V
DPR di Jakarta, Senin.

Herry menjelaskan, isi dari pembaharuan perjanjian kerjasama angkutan udara tersebut yaitu maskapai
penerbangan dari Indonesia dan Rusia bisa melakukan penerbangan komersil langsung secara reguler.

"Selama ini kan belum ada maskapai Indonesia yang terbang langsung ke Rusia, dengan adanya
pembaharuan air service agreement ini (maskapai) kita bisa langsung terbang ke Rusia," katanya.

Dikatakannya, kedua pihak juga sepakat menunjuk masing-masing empat bandara di Indonesia dan
Rusia sebagai tujuan penerbangan komersil secara reguler antar kedua negara.

Adapun rute penerbangan ke Rusia dari Indonesia akan dilakukan dari Bandara Soekarno Hatta
(Jakarta), Bandara Sam Ratulangi (Manado), Bandara Adisumarmo (Solo) dan Bandara Ngurah Rai
(Denpasar). Sedangkan dari Rusia, akan berangkat dari Bandara Kota Moskow, St.Petersburg,
Vladivostok, dan Novosibrisk.

Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemnhub Bambang S Ervan menambahkan, selama ini penerbangan
RI-Indonesia dilayani oleh maskapai carter asal Rusia, Transaero yang melayani rute penerbangan
Denpasar-Moskow lima kali seminggu.

"Dengan adanya air service agreement yang baru ini maskapai penerbangan RI maupun Rusia bisa
terbang secara reguler,? katanya.

Data Kemenhub menyebutkan, angkutan penumpang udara antara Indonesia-Rusia saat ini dilayani
dengan lebih dari delapan pesawat carter oleh Transaro. Sementara untuk angkutan barang setidaknya
dalam satu minggu terdapat dua kali penerbangan kargo antara Indonesia dan Rusia.

Herry menambahkan, maskapai asal Rusia, Aeroflot juga telah melayangkan surat kepada Pemerintah
Indonesia untuk mengajukan penerbangan reguler langsung dari Rusia ke Indonesia.

Sebelum Aeroflot bisa terbang ke Tanah Air, pihaknya meminta kepada maskapai asal Rusia tersebut
untuk mengurus surat perizinan berupa air operator certificate (AOC) foreign carrier.
"Prinsipnya sudah oke, mereka tinggal mengajukan kapan akan mulai terbang dan rute penerbangan
mana saja yang akan mereka pilih, itu kesepakatan dari segi `business to business`. Sedangkan dari
pemerintah, hanya mengatur regulasi perizinan penerbangan,? kata Herry.

Namun, Herry mengakui hingga saat ini belum ada maskapai penerbangan nasional yang menyatakan
minatnya untuk terbang langsung ke Rusia. "Belum ada (maskapai nasional) yang menyatakan
minatnya, tapi kami yakin Garuda Indonesia sudah memenuhi semua persyaratan untuk langsung
terbang ke Rusia," tambahnya.

Perjanjian bilateral ini diyakini dapat meningkatkan arus wisatawan dari dan menuju antara kedua
negara, serta mampu mendorong peningkatan kerja sama ekonomi, perdagangan dan investasi.

Anda mungkin juga menyukai