Anda di halaman 1dari 4

Umat islam dan umat beragama pada umumnya di dunia khusunya lagi di bangsa ini

belum beranjak dari masalah “aku pengikut sekte “a” sekaligus ormasnya” di lain pihak “aku
pengikut sekte b sekaligus ormasnya”.masing-masing ada yang merasa paling benar, ada juga
yang merasa paling baik karena tidak merasa paling benar tapi tetap membumikan semangat
saling menghujat walau dengan bahasa sarkastik.
 
Motto umat yang satu seolah telah hilang dari kamus “ke-tauhidan”. Ini adalah salah satu
sebab kemundurun umat beragama, agama semakin menjadi hal yang asing justru karena  sebuah
ironi yang justru selalu dihidupkan oleh para pengikut sekte. Bagaimanapun perbedaan adalah
satu keniscayaan, apa indahnya pelangi jika hanya ada satu warna, apa indahnya bumi jika hanya
terdiri dari tanah yang kering. Sikap berbesar hati untuk saling memahami dan menghargai
seolah terlalu berat untuk diwujudkan, entah karena kembali ke masalah fanatisme sekterianisme
yang buta, atau hanya sekedar imbas dari sikap Taklid yang terkesan tidak taklid.
 
Telah terjadi ledakan gerakan-gerakan yang membumikan semangat “paling benar” dan
“paling baik”—bagaimanapun keduanya berbeda—. Sejatinya semua itu tidak akan
menyelesaikan permasalahan yang ada namun justru menimbulkan masalah-masalah baru, dan
sejatinya ada sesuatu yang salah dari gejala seperti ini. contoh kecil saja, epistemologi ideologis
sekte atau ormas radikal, pemahaman mereka berangkat dari isu “al quds” sengketa di yerusalem
atas invasi israel yang didukung sekutu seperti Amerika dan kawan-kawannya, beranggapan
bahwa dibalik kejahatan tersebut didalangi oleh yahudi, lantas menghujat kaum yahudi seolah
bukan kesalahan, seolah tidak mengerti atau memahami bahwa Musa AS (moses) atau Isa AS
(Jesus Crist) juga tergolong Bani Israil atau bangsa yahudi. Perlu diketahui bahwa yahudi pun
sama seperti agama monoteis lainnya seperti nasrani dan islam, terdapat beberapa sekte yang
saling bertentangan. Dan memang kegiatan pendudukan israel pun ditentang oleh sebagian sekte
dari yahudi itu sendiri, kaum yahudi yang satu ini beranggapan bahwa elit yang bertanggung
jawab atas berdirinya negara israel dan pembantain-pembantaian yang terjadi di dalangi oleh
sekte yahudi yang sudah tercemar oleh kabalah pada Talmud. Ada pula yang mengkambing
hitamkan Amerika sebagai co-creator kekacauan didunia, padahal Amerika terdapat banyak etnis
dengan latar belakang ideologis yang berbeda-beda. Segala kekacauan didunia bukanlah antar
sekte dalam agama, bukanlah antar agama, bukanlah antar bangsa.Namun antara kebenaran dan
kebodohan.
 
Yang jelas kebenaran bukanlah terletak pada, sunni, syi’ah, murji’ah, khawarij, wahabi
atau NU, Muhammadiyah, HTI, FPI, NII, atau apapun sebutan lainnya, namun terletak
bagaimana upaya saling memahami dan menghargai satu sama lain. Sungguh Allah telah
menjamin bahwa kitab suci Al qur’an tidak akan tercemar oleh apapun, namun infiltrasi yang
merusak islam justru muncul dari umat islam itu sendiri, memberi label sekte-sekte, ormas-
ormas, saling menatap dengan curiga, antipati jika tidak sepaham, Ali bin Abi Thalib pernah
mengatakan “musuh yang pintar lebih baik dari pengikut yang bodoh”. Usaha untuk
membersihkan bias di dalam hati untuk kemudian memahami dan mempelajari secara sungguh-
sungguh setiap sekte-sekte adalah jauh lebih baik dari pada saling menjaga jarak dan
membumikan semangat apatisme dari setiap sekte, apalagi saling hina dan maki-memaki yang
cenderung kekanak-kanakan.
 
Islam dalam tata bahasa arab adalah “haal” (kondisi rohani), dalam tata bahasa inggris
“kata keterangan”, islam bukanlah kata benda, ini menerangkan cara hidup atau keadaan hati, ini
tentang apa yang kita lakukan, dan apa yang kita percaya dalam hati. Bukan apa yang dilabelkan
pada kita, dari luar.
 
Manusia adalah makhluk dengan kapabilitas yang terbatas, dan kapabilitas mental yang
terbatas, namun kita hidup dalam pengetahuan alam semesta yang tak terbatas, dari kebenaran
yang tidak terhingga. Manusia menggunakan kapabilitas tersebut untuk menemukan untuk
memahami.Namun karena kapabilitas kita yang terbatas, kita harus memahami, bahwa
kesimpulan kita tentang apapun semata-mata hanyalah persepsi dari sebuah “perjalanan”. Tidak
satupun dari kita memiliki kebenaran yang sempurna melainkan, masing-masing dari kita
memiliki persepsi dari kebenaran. Dan karena Sang Maha Pencipta adalah pengetahuan,
keberadaan dan kebijaksanaan yang tidak terhingga, kita tidak dapat memahaminya secara
penuh, bahkan jika saling berkelahi mengenai sudut pandang siapa yang paling benar.
Kita analogikan lautan sebagai contoh, jika lautan mewakili kebenaran mutlak, manusia hanya
memiliki satu cangkir untuk mengisi air dari lautan tersebut, itulah kapasitas kita. Artinya,
seberapapun banyaknya manusia mengisi cangkirnya, itu tetaplah contoh terbatas dari lautan.
Dan apa yang terjadi di tengah-tengah kita adalah orang-orang diseluruh dunia berkelahi
mengenai cangkir siapa yang terbaik. Setiap cangkir adlah sudut pandang yang benar dari
“lautan” dan kenyataannya, tak satupun dari kita yang memiliki lautan yang sempurna dalam
cangkir kita. Inilah kondisi kita dalam hubungan kepada kebenaran, Tuhan dan agama. Tidak
seorangpun memiliki hak untuk menghakimi orang lain, ini hanyalah masalah persepsi belaka.
Beberapa mungkin lebih akurat dari pada yang lainnya, dan ada juga beberapa yang
menambahkan racun kedalam cangkir mereka. Namun tetap tidak ada yang memegang
kebenaran mutlak.
 
Sangat penting bagi kita untuk membangun “perjalanan kita” sendiri, kita sendiri yang
mengisi cangkir kita dan bertanggung jawab atas itu. Dan tetap memahami dan menerima
kenyataan, bahwa orang lain memliki cangkir yang berbeda, yang semuanya berasal dari lautan
yang sama. Penghakiman adalah kuasa Tuhan.
 
Selain lautan, kita bisa belajar dai pelangi, sebagaimana kita tahu pelangi adalah
fenomena optical, dihasilkan oleh cahaya yang dipantulkan oleh tetesan air di udara, tapi pelangi
hanya terlihat dari sudut pandang yang spesifik, itu seperti fenomena ilusi air di gurun, dan itulah
kenapa pelangi akan menghilang jika kita mencoba menghampirinya. Artinya, tidak ada pelangi
yang berbentuk fisik yang berwujud diluar pengamatnya, pelangi seperti sebuah keindahan yang
hanya ada di dalam penglihatan para saksinya, jika ada 2 orang menyaksikannya dari 2 sudut
yang berbeda, mereka berdua dapat melihat pelangi, tapi bukanlah pelangi yang sama.
Bayangkan saja, jika ada seseorang yang merasa, bahwa dia melihat pelangi yang asli, dan
bahwa pelangi yang dilihat orang lain adalah palsu, dia berusaha meyakinkan orang lain bahwa
diua benar dan jika mereka tiak mempercayainya, dia akan membunuh mereka. Ini menentang
hukum alam.
 
Sebagai manusia kita telah diciptakan dengan mentalitas yang berbeda, memungkinkan kita
untuk membangun pendapat, tujuan dan pemahaman yang berbeda, ada hikmah untuk
intelektualitas yang berbeda-beda itu. Lalu kenapa kebanyakan dari kita bertekad untuk
mendirikan satu jenis atau satu cara berpikir?kenapa kita terus menerus anti, menjaga jarak,
membenci, bahkan memerangi mereka yang tidak sepaham dengan kita?
 
Dunia kita membutuhkan lebih banyak lagi cinta, pengertian keyakinan, belas kasihan,
antusiasme, harapan, romansa. Jika kita memperlakukan satu sama lain dengan kekuatan
penggerak itu, dan belajar untuk memperbaiki diri kita sendiri, maka kita dapat menjadi contoh
positif dari agama atau keyakinan-keyakinan kita.
 
Kita harus menerima merangkul semua perbedaan kita, karena perbedaan-perbedaan itu
yang menjadikan kita manusia.Namun apapun yang kita yakini atau dari mana asal kita berasal
dari titik nilai yang bersifat universal.Itulah titik temu yang harus kita bangun bersama.
 
“Janganlah engkau menuntuk balas, dan janganlah engkau menaruh dendam terhadap orang-
orang sebangsamu, kasihi tetanggamu seperti kamu mengasihi dirimu sendiri” (taurat 19:18)
 
“perlakukan orang lain seperti yang kalian harapkan mereka akan memperlalkukan kalian”
(Jesus)
 
“jangan menyakiti orang sebagaimana itu akan menyakiti dirimu” (Udana Varga 5;18)
 
“ini adalah kesimpulan dari dharma (kewajiban), jangan melakukan sesuatu kepada orang lain
yang akan membuatmu sakit jika dilakukan padamu” (Mahabrata 5;1517)
 
“jangan memperlakukan orang lain yang akan membuatmu marah jika itu dilakukan padamu”
(socrates)
 
“Tidak ada diantara kalian yang akan menjadi orang beriman, hingga ia mengharapkan bagi
saudaranya apa yang diharapkan bagi dirinya sendiri” (MUHAMMAD SAW).
 
Beberapa kebenaran berbeda namun satu titik temu.wallahu’alam.

Anda mungkin juga menyukai