Anda di halaman 1dari 16

Candi Plaosan Lor di Timur Candi Sewu

Candi Plaosan merupakan suatu gugusan candi terdiri atas dua kompleks, yaitu kompleks
Candi Plaosan Lor di utara dan kompleks Candi Plaosan Kidul di selatan. Keduanya
dibatasi oleh jalan yang membujur arah barat dan timur.

Letak Candi Plaosan Lor berada di Dukuh Plaosan, Desa Bugisan, Kecamatan
Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Candi ini berada 1,5 kilometer di
timur Candi Sewu tidak jauh dari Candi Prambanan sekitar 3 kilometer di timur laut dan
1,5 kilometer ke arah utara jalan raya Yogyakarta – Solo.

Secara geografis Candi Plaosan Lor terletak pada 7 derajat “44.320.13” lintang selatan
dan 1.10 derajat “30.11.07” bujur timur pada ketinggian lebih kurang 165,915 meter di
atas permukaan laut. Candi Plaosan Lor berada di dataran rendah yang subur dan
dikelilingi oleh Dukuh Purwodadi di timur persawahan di barat Dukuh Dengok Wetan di
utara dan Dukuh Plaosan di selatan kurang lebih 25 kilometer di utaranya terdapat
Gunung Merapi yang masih aktif.

Latar belakang Sejarah


Di kompleks Candi Plaosan Lor tidak ditemukan prasasti yang menyebutkan angka tahun
sehingga sulit menentukan kapan berdirinya. Data yang dapat mengungkapkan tahun
berdiri dan latar belakang sejarahnya berasal dari prasasti pendek yang banyak
jumlahnya. Berdasarkan gaya tulisannya diduga berasal dari tulisan pertengahan abad IX
Masehi. Perkiraan ini diperkuat adanya penelitian yang mendasarkan pada bentuk
makara. Bentuk makara Candi Plaosan Lor termasuk dalam kurun waktu 838-898 M.
Pada candi ini ditemukan pula nama Sri Kahulunan yang dapat dihubungkan dengan
nama Pramodhawardhani dari sebuah prasasti yang berangka tahun 824 M, yaitu Prasasti
Karang Tengah. Dengan demikian Candi Plaosan Lor diperkirakan berdiri pada
pertengahan abad IX M dan didirikan oleh Sri Kahulunan, anak raja Samaratungga.

Selain nama Sri Kahulunan ditemukan juga nama-nama lain di dalam prasasti pendek
yaitu Rakai Pikatan, Rakai Wawa Dyah Galuh, Rakai Dyah Saladu, Rakai Gurun Wangi
dan Rakai Sirikan Pu Surya.

Deskripsi bangunan
Kompleks Candi Plaosan Lor memiliki tiga halaman, yaitu halaman I (utama), II (tengah)
dan III (luar). Pusatnya ada di tengah-tengah halaman.

Halaman I (utama)
Halaman ini terletak di pusat kompleks bangunan, berbentuk persegi panjang, dikelilingi
pagar pemisah yang memisahkan halaman I dan II. Di dalam halaman I berdiri dua
bangunan induk yang berdampingan arah utara – selatan. Antara candi induk utara dan
candi induk selatan dibatasi oleh pagar pembatas yang dihubungkan dengan sebuah
gapura. Candi induk selatan dalam keadaan utuh karena telah dipugar tahun 1960,
sedangkan candi induk utara dalam keadaan rusak/runtuh. Pada pagar halaman I sisi barat
terdapat dua gapura yang menuju ke masing-masing candi induk.

Candi induk selatan berbentuk segi panjang dan bertingkat dua. Pada masing-masing
tingkat memiliki tiga bilik. Bentuk semacam ini hanya ada di Indonesia. Seperti pada
candi-candi lainnya, candi ini juga mempunyai badian kaki, tubuh dan atap. Bagian kaki
candi dihiasi dengan lipit-lipit dan di sisi barat ditemukan pipi tangga dan tangga masuk
ke bilik. Maka candi ini menghadap ke barat.

Di atas kaki candi berdiri tubuh candi dan penampil di sisi barat. Bagian tubuh ini terdiri
atas dua tingkat masing-masing tingkat memiliki tiga bilik yaitu bilik utara, tengah dan
selatan. Bilik-bilik dibatasi dengan tembok dan dihubungkan dengan pintu serta memiliki
jendela. Pada sisi panjangnya (di barat) masing-masing tingkat mempunyai dua jendela
dan pada sisi lebarnya (selatan dan utara) dua jendela.

Bagian atap candi induk selatan terdiri atas tiga tingkatan. Tingkat bawah dihiasi dengan
stupa keci-kecil yang sebagian besar sudah hilang. Tingkat di tengah dihiasi stupa agak
besar dan kecil yang mengelilingi tingkat paling atas tempat berdiri stupa yang besar.
Pada stupa terbesar (puncak) terdapat relung kecil semacam ceruk.

Pada bilik kedua candi induk selatan berisi arca yang dipahat dengan sempurna yaitu
Bodhisatwa Padmapani, Bodhisatwa Wajrapani dan Bodhisatwa Manjucri. Arca-arca ini
menggambarkan bahwa Candi Plaosan Lor merupakan bangunan suci agama Budha.

Halaman II (tengah)
Halaman yang terletak di luar halaman I, di dalamnya berdiri tiga deret persegi yang
mengelilingi candi induk. Deret I terdiri atas 50 candi perwara, deret II terdiri atas empat
candi perwara dan 54 stupa perwara, deret III terdiri atas empat candi perwara dan 62
stupa perwara. Jumlah candi perwara 58 buah dan stupa perwara 116 buah yang sebagian
besar dalam keadaan rusak. Dua candi dan satu stupa perwara sudah dipugar tahun 1941,
1962 dan 1992.

Di pagar halaman II di sisi barat terdapat dua pintu masuk yang masing-masing dijaga
oleh dua arca dwarapala yang berbentuk raksasa.

Halaman III (luar)


Halaman luar setelah halaman II diketahui ketika diadakan penelitian tahun 1962.
Penemuan pondasi tembok bangunan yang panjangnya kurang lebih 150 meter di barat
dan membujur ke arah utara – selatan ternyata dapat ditentukan adanya halaman III.

Pelestarian
Bangunan Candi Plaosan Lor yang sangat indah ini merupakan warisan budaya bangsa
yang sangat tinggi nilainya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang
Benda Cagar Budaya pasal 1, maka Candi Plaosan Lor dapat dimasukkan dalam benda
Cagar Budaya. Dalam Konsideran Undang-Undang Benda Cagar Budaya ini
menyebutkan bahwa benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang
penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati
diri bangsa dan kepentingan nasional.

Dengan adanya Undang-Undang Benda Cagar Budaya maka kita wajib memelihara dan
melestarikan Candi Plaosan itu.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah
Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.

Diposting oleh halimah di 23:29

Label: candi

Candi Sukuh

Mengunjungi bangunan cagar budaya seperti istana, benteng atau candi-candi kuno
selalau menarik walaupun sudah berulang kali. Rasanya setiap kali kita amati selalu
muncul hal-hal baru yang melengkapi pengetahuan kita, apalagi yang kita kunjungi Candi
Sukuh yang unik dengan lingkungannya yang memikat.

Dari kota-budaya Surakarta ke Candi Sukuh kita dapat berkendaraan pribadi maupun
umum ke arah timur + 40 km. Setelah melewati kota Karanganyar dan Karangpandan
belok kiri masuk jalan pedesaan yang berliku-liku dengan tanjakan-tanjakan tajam,
sampailah di Dukuh Sukuh, Desa Brejo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten
Karanganyar, di lereng barat gunung Lawu pada ketinggian 910 m di atas permukaan
laut.

Pemandangan alamnya mempesona. Ke arah barat pemandangan bebas sampai batas


cakrawala, ke utara dan selatan tampak lereng-lereng dan lembah bukit dengan kehidupan
pedesaan ke arah timur pandangan membentur lereng Gunung Lawu yang selalu
diselimuti oleh kabut. Maka pengunjung disarankan menggunakan kendaraan yang
“sehat” dan sebelum tengah hari.

Dalam radius + 20 km dari Candi Sukuh terdapat peninggalan purbakala yang lain,
seperti Candi Menggung dan makam/masjid kuno Jabalkanil di Kecamatan
Tawangmangu, situs Watu Kandang/Watu ngadeg di Matesih dan lain-lain.

Bangunan
Candi Sukuh terletak di atas tanah seluas 11.000 meter persegi, terdiri atas tiga halaman
berundak yang satu sama lain dihubungkan dengan lorong berundak. Halaman yang
paling penting adalah yang paling atas atau paling belakang. Mengikuti aturan
percandian, kita masuk lewat pintu gerbang dari sebelah barat, (ada jalan terobosan dari
selatan). Gerbang dari andesit ini istimewa, megah, berbentuk paduraksa. Pada lantainya
yang sempit terdapat panil dengan relief yang mengejutkan berupa pertemuan alat kelain
pria dan wanita yang kira-kira berukuran alamiah dengan pahatan yang artistik. Pada
keempat sisi gapura dipahatkan beberapa relief berupa: raksasa, ular, beruang dan lain-
lain yang diantaranya dimaksudkan sebagai candra-sangkala (angka tahun yang
tersamar). Arca dwarapala yang semestinya menghiasi kanan kiri gapura sudah tiada. Di
bagian selatan halaman pertama kita dapatkan beberapa potong batu dengan relief iring-
iringan orang naik uda menunggang gajah, binatang lembu dan babi terdapat pula batu
yang lain.

Dari halaman pertama kita naik ke halaman tengah lewat gerbang tanpa atap dengan
tangga sempit yang dijaga ole arca dwarapala gaya megalit yang kaku. Di bagian
tenggara halaman ini terdapat sisa runtuhan bangunan batu. Pada dinding yang masih
tersisa terdapat relief perangkat pande besi yang sedang bekerja.
Pada halaman ketiga dan paling atas terdapat beberapa bangunan besar dan kecil, arca-
arca lepas, prasasti, relief pada bangunan induk menyerupai piramida atau limas
terpenggal bagian atas. Bagian atasnya sekarang berupa umpak. Di tempat yang paling
suci ini dahulu terdapat lingga/phallus batu berukuran raksasa. Dipahat dalam bentuk
natural dengan empat bulatan pada ujungnya yang kini bermukim di Museum Nasional
Jakarta.

Di depan candi induk yang menghadap ke barat terdapat arca tiga ekor kura-kura raksasa.
Di halaman sebelah utara terdapat satu barisan relief binatang bersambung adegan
ceritera Sudamala. Dewi Uma permaisuri Bhatara Guru yang berkhianat dikutuk menjadi
raksasi Bhatari Durga merajai segaa macam hantu di Kretra Gandamamayu. Yang
meruwat (melepaskan dari belenggu kutuk)-nya sehingga kembali sebagai bidadari cantik
Dewi Uma adalah Sadewa (saudara bungsu Pandawa). Di samping Dewi Uma juga
bidadari Citrasena dan Citranggada dikutuk jadi raksasa Kalantaka dan Kalanjaya oleh
Pandawa, terutama Bima. Disamping itu masih ada relief lain yakni Garudeya, Garuda
membebaskan ibunya dari hukuman perbudakan: kisah Prasthanikaparwa, Pandawa
menuju puncak Himalaya dalam perjalanan kembali ke akhirat. DI depan candi induk ada
pula sebuah bangunan yang diyakini oleh masyarakat sekitar tempat Kyai Sukuh.

Pada bangunan menyerupai tugu di atas batur di depan pintu candi induk sebelah utara
ada panel dalam bentuk tapalkuda (pelangi?) berisi relief tokoh Bima dan Dewa Ruci.
Sebuah tugu lagi berpahatkan relief Garudeya. Di sebelah selatan ada relief tokoh Dewa
memegang trisula dalam bingkai bulat bertangkai. Beberapa patung memegang trisula
dalam bingkai bulat bertangkai. Beberapa patung berupa Garuda dan tokoh laki-laki yang
memegang phallusnya.

Lintasan sejarah
Walaupun tempatnya di Jawa Tengah tetapi Candi Sukuh sangat berbeda dengan candi-
candi Prambanan, Sewu, Plaosan dan lain-lain dari sekitar abad 8--10. Susunan halaman,
arca-arca, gaya pahatan, bahkan seluruh konsepsinya sangat berbeda. Arca Dewa
Trimurti atau Bhuda tidak kita temukan di Candi Sukuh, tetapi yang kita temukan lingga
(phalllus), arca Bima (sekarang di Solo), Garuda, arca laki-laki telanjang gaya megalitik,
bahkan bentuk pertemuan alat kelamin pria dan wanita, ini menunjukkan gejala
munculnya kembali tradisi pemujaan phallisme. Bentuk percandian yang menyerupai
punden berundak dan salah satu candinya dipandang sebagai kediaman cikal-bakal Desa
Sukuh dan lain-lain gejala, jelaslah konsepsi candi ini mengacu pada tempat pemujaan
nenek moyang dari masa pra pengaruh Hindu. Munculnya ceritera-ceritera Sudamala,
Garudeya, Bima Suci Sthanikaparwa semua bertemakan ruwatan atau pelepasan dari
bermacam-macam belenggu keduniawian.

Beberapa angka tahun dan candra-sangkala yang terdapat di Candi Sukuh mengacu ke
pertengahan abad 15, bersamaan dengan periode akhir Majapahit seperti candi-candi lain
di lereng Gunung Lawu. Konsepsi dan bentuknya lebih dekat dengan Jawa Timur dan
Bali daripada candi-candi sederhana di Jawa Tengah.

Pelestarian dan wisata-wisata


Karena unik nenek moyang kita di lereng Lawu ini tidak luput dari berbagai ancaman
alamiah seperti gempa bumi, tanah longsor, grobotan lumut, ganggang, rumput dan juga
dari manusia yang suka mencuri, maka, upaya pelestarian terus dilakukan.
Pemugaran oleh Depdikbud dilakukan antara 1980--1983, bahkan di luar halaman candi
telah dibangun Balai pelepas lelah sambil menikmati panorama. Jalan, tempat parkir dan
perturasan telah dibangun pula sehingga secara keseluruhan Candi Sukuh makin menarik
untuk dikunjungi oleh siapapun.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah
Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Diposting oleh halimah di 23:14

Label: candi

jateng
Candi Asu adalah nama sebuah candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di Desa
Candi Pos, kelurahan Sengi, kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, provinsi Jawa
Tengah (kira-kira 10 km di sebelah timur laut dari candi Ngawen). Di dekatnya juga
terdapat 2 buah candi Hindu lainnya, yaitu candi Pendem dan candi Lumbung
(Magelang). Nama candi tersebut merupakan nama baru yang diberikan oleh masyarakat
sekitarnya. Disebut Candi Asu karena didekat candi itu terdapat arca Lembu Nandi,
wahana dewa Siwa yang diperkirakan penduduk sebagai arca asu ‘anjing'. Disebut Candi
Lumbung karena diduga oleh penduduk setempat dahulu tempat menyimpan padi (candi
Lumbung yang lain ada di kompleks Taman Wisata candi Prambanan). Ketiga candi
tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, dilereng barat Gunung Merapi, di daerah
bertemunya (tempuran) Sungai Pabelan dan Sungai Tlingsing. Ketiganya menghadap ke
barat. Candi Asu berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 7,94 meter. Tinggi kaki candi
2,5 meter, tinggi tubuh candi 3,35 meter. Tinggi bagian atap candi tidak diketahui karena
telah runtuh dan sebagian besar batu hilang. Melihat ketiga candi tersebut dapat
diperkirakan bahwa candi-candi itu termasuk bangunan kecil. Di dekat Candi Asu telah
diketemukan dua buah prasati batu berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I
( 874 M ) dan Sri Manggala II ( 874 M ).

ndi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang terletak di Kabupaten
Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai
candi Hindu karena ditemukannya obyek pujaan lingga dan yoni. Candi ini digolongkan
kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya obyek-obyek
lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas.

Daftar isi
1 Sejarah singkat penemuan
2 Lokasi candi
3 Struktur bangunan candi
4 Teras pertama candi
5 Teras kedua candi
6 Teras ketiga candi
6.1 Relief pertama
6.2 Relief kedua
6.3 Relief ketiga
6.4 Relief keempat
6.5 Relief kelima
6.6 Patung-patung sang Garuda
6.7 Beberapa bangunan dan patung lainnya
7 Referensi
8 Lihat pula

Sejarah singkat penemuan


Situs candi Sukuh ditemukan kembali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah
Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh
Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The
History of Java. Kemudian setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun
1842, Van der Vlis, yang berwarganegara Belanda melakukan penelitian. Lalu pada tahun
1928, pemugaran dimulai.

Lokasi candi
Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih
1.186 meter di atas permukaan laut pada koordinat 07o37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan
111o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di dukuh Berjo, desa Sukuh, kecamatan
Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi
ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari
Surakarta. Kurang lebih 4 kilometer mendaki gunung Lawu lagi, terdapat situs Candi
Cetho.

Struktur bangunan candi

Denah candi Sukuh.


Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang menyolok pada para
pengunjung. Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang
didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya yaitu Candi Borobudur dan
Candi Prambanan. Bahkan bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan
peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini
juga mengingatkan para pengunjung akan bentuk-bentuk piramida di Mesir. Di bawah
akan dibahas lebih lanjut mengenai bentuk ini.

Kesan kesederhanaan ini menarik perhatian arkeolog termashyur Belanda W.F.


Stutterheim pada tahun 1930. Beliau lalu mencoba menjelaskannya dengan memberikan
tiga argumen: pertama, kemungkinan pemahat candi Sukuh bukan seorang tukang batu
melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan keraton, kedua candi dibuat
dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi atau ketiga, keadaan politik kala itu
dengan menjelang keruntuhannya Majapahit karena didesak oleh pasukan Islam Demak
tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.

Para pengunjung yang memasuki pintu utama lalu memasuki gapura terbesar akan
melihat bentuk arsitektur khas bahwa ini tidak disusun tegak lurus namun agak miring,
berbentuk trapesium dengan atap di atasnya.

Batu-batuan di candi ini berwarna agak kemerahan, sebab batu-batu yang dipakai adalah
jenis andesit.

Teras pertama candi

Gapura utama candi Sukuh.


Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah sangkala dalam
bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta abara wong. Artinya dalam bahasa Indonesia
adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3,
dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi.

Teras kedua candi


Gapura pada teras kedua sudah rusak. Di kanan dan kiri gapura yang biasanya terdapat
patung penjaga pintu atau dwarapala, didapati pula, namun dalam keadaan rusak dan
sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak beratap dan pada teras ini tidak
dijumpai banyak patung-patung. Namun pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala
pula dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut. Artinya dalam bahasa
Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3,
dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi. Jadi jika
bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh tahun dengan gapura di teras
pertama!

Teras ketiga candi


Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di
sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi
candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu
berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur
ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini,
menurut beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis.
Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput
daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika
melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.

Tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang
kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini terdapat bekas-bekas
kemenyan, dupa dan hio yang dibakar, sehingga terlihat masing sering dipergunakan
untuk bersembahyang.

Kemudian pada bagian kiri candi induk terdapat serangkaian relief-relief yang merupakan
mitologi utama Candi Sukuh dan telah diidentifikasi sebagai relief cerita Kidung
Sudamala. Urutan reliefnya adalah sebagai berikut.

Relief pertama

Relief pertama.
Di bagian kiri dilukiskan sang Sahadewa atau Sadewa, saudara kembar Nakula dan
merupakan yang termuda dari para Pandawa Lima. Kedua-duanya adalah putra Prabu
Pandu dari Dewi Madrim, istrinya yang kedua. Madrim meninggal dunia ketika Nakula
dan Sadewa masih kecil dan keduanya diasuh oleh Dewi Kunti, istri utama Pandu. Dewi
Kunti lalu mengasuh mereka bersama ketiga anaknya dari Pandu: Yudhistira, Bima dan
Arjuna. Relief ini menggambarkan Sadewa yang sedang berjongkok dan diikuti oleh
seorang punakawan atau pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah seorang tokoh
wanita yaitu Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan.

Relief kedua

Relief kedua.
Pada relief kedua ini dipahat gambar Dewi Durga yang telah berubah menjadi seorang
raksasi (raksasa wanita) yang berwajah mengerikan. Dua orang raksasa mengerikan;
Kalantaka dan Kalañjaya menyertai Batari Durga yang sedang murka dan mengancam
akan membunuh Sadewa. Kalantaka dan Kalañjaya adalah jelmaan bidadara yang
dikutuk karena tidak menghormati Dewa sehingga harus terlahir sebagai raksasa
berwajah buruk. Sadewa terikat pada sebuah pohon dan diancam dibunuh dengan pedang
karena tidak mau membebaskan Durga. Di belakangnya terlihat antara lain ada Semar.
Terlihat wujud hantu yang melayang-layang dan di atas pohon sebelah kanan ada dua
ekor burung hantu. Lukisan mengerikan ini kelihatannya ini merupakan lukisan di hutan
Setra Gandamayu (Gandamayit) tempat pembuangan para dewa yang diusir dari sorga
karena pelanggaran.

Relief ketiga

Relief ketiga.
Pada bagian ini digambarkan bagaimana Sadewa bersama punakawannya, Semar
berhadapan dengan pertapa buta bernama Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa di
pertapaan Prangalas. Sadewa akan menyembuhkannya dari kebutaannya.

Relief keempat

Relief keempat.
Adegan di sebuah taman indah di mana sang Sadewa sedang bercengkerama dengan
Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa serta seorang punakawan di pertapaan Prangalas.
Tambrapetra berterima kasih dan memberikan putrinya kepada Sadewa untuk
dinikahinya.

Relief kelima
Lukisan ini merupakan adegan adu kekuatan antara Bima dan kedua raksasa Kalantaka
dan Kalañjaya. Bima dengan kekuatannya yang luar biasa sedang mengangkat kedua
raksasa tersebut untuk dibunuh dengan kuku pañcanakanya.

Patung-patung sang Garuda

Prasasti sukuh.
Lalu pada bagian kanan terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari
cerita pencarian tirta amerta (air kehidupan) yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab
pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti.

Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian amerta tersebut di bagian ini terdapat pula
tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bentuk
kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain sebagai tempat
menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung
Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari tirta amerta.
Lihat kisah Pemutaran Laut Mencari Amerta

Beberapa bangunan dan patung lainnya


Selain candi utama dan patung-patung kura-kura, garuda serta relief-relief, masih
ditemukan pula beberapa patung hewan berbentuk celeng (babi hutan) dan gajah
berpelana. Pada zaman dahulu para ksatria dan kaum bangsawan berwahana gajah.

Lalu ada pula bangunan berelief tapal kuda dengan dua sosok manusia di dalamnya, di
sebelah kira dan kanan yang berhadapan satu sama lain. Ada yang berpendapat bahwa
relief ini melambangkan rahim seorang wanita dan sosok sebelah kiri melambangkan
kejahatan dan sosok sebelah kanan melambangkan kebajikan. Namun hal ini belum
begitu jelas.

Kemudian ada sebuah bangunan kecil di depan candi utama yang disebut candi pewara.
Di bagian tengahnya, bangunan ini berlubang dan terdapat patung kecil tanpa kepala.
Patung ini oleh beberapa kalangan masih dikeramatkan sebab seringkali diberi sesajian.

Candi Mendut
Candi Mendut adalah sebuah candi berlatar belakang agama Buddha. Candi ini terletak di
desa Mendut, kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa
kilometer dari candi Borobudur.

Daftar isi
1 Masa pembuatan
2 Arsitektur candi
3 Hiasan pada candi Mendut
3.1 Kronologi penemuan
4 Relief-relief
4.1 Relief 1 (Brahmana dan seekor kepiting)
4.2 Relief 2 (Angsa dan kura-kura)
4.3 Relief 3 (Dharmabuddhi dan Dustabuddhi)
4.4 Relief 4 (Dua burung betet yang berbeda)
5 Vihara Buddha Mendut
6 Referensi

Masa pembuatan

Patung Buddha di dalam candi Mendut


Candi Mendut didirikan oleh dinasti Syailendra. Bangunan ini berlatar belakang agama
Buddha. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa
raja Indra telah membangun bangunan suci bernama veluvana yang artinya adalah hutan
bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini
dihubungkan dengan Candi Mendut.
Arsitektur candi

Candi Mendut
Bahan bangunan candi sebenarnya adalah batu bata yang ditutupi dengan batu alam.
Bangunan ini terletak pada sebuah basement yang tinggi, sehingga tampak lebih anggun
dan kokoh. Tangga naik dan pintu masuk menghadap ke barat-daya. Di atas basement
terdapat lorong yang mengelilingi tubuh candi. Atapnya bertingkat tiga dan dihiasi
dengan stupa-stupa kecil. Jumlah stupa-stupa kecil yang terpasang sekarang adalah 48
buah.

Tinggi bangunan adalah 26,4 meter.

Hiasan pada candi Mendut


Hiasan yang terdapat pada candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi
dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa bidadara dan bidadari, dua ekor kera
dan seekor garuda.

Pada kedua tepi tangga terdapat relief-relief cerita Pancatantra dan jataka.

Hariti.
Dinding candi dihiasi relief Boddhisatwa di antaranya Awalokiteswara, Maitreya,
Wajrapa?i dan Manjusri. Pada dinding tubuh candi terdapat relief kalpataru, dua bidadari,
Hariti (seorang yaksi yang bertobat dan lalu mengikuti Buddha) dan Atawaka.

Buddha dalam posisi dharmacakramudra.


Di dalam induk candi terdapat arca Buddha besar berjumlah tiga: yaitu Buddha
Sakyamuni dengan sikap tangan (mudra) dharmacakramudra. Di depan arca Buddha
terdapat relief berbentuk roda dan diapit sepasang rusa, lambang Buddha. Di sebelah kiri
terdapat arca Padmapani dan sebelah kanan arca Wajrapani. Sekarang di depan arca
Buddha diletakkan hio-hio dan keranjang untuk menyumbang. Para pengunjung bisa
menyulut sebuah hio dan berdoa di sini.

Kronologi penemuan
1836 – Ditemukan dan dibersikan
1897 – 1904 kaki dan tubuh candi diperbaiki namun hasil kurang memuaskan.
1908 – Diperbaiki oleh Theodoor van Erp. Puncaknya dapat disusun kembali.
1925 – sejumlah stupa disusun kembali.

Relief-relief
Di bawah ini pembicaran mendetail beberapa relief akan disajikan.
Relief 1 (Brahmana dan seekor kepiting)

Brahmana dan seekor kepiting.


Pada relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari Pancatantra atau
jataka. Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini:

Maka adalah seorang brahmana yang datang dari dunia bawah dan bernama Dwijeswara.
Beliau sangat sayang terhadap segala macam hewan.
Maka berjalanlah beliau untuk bersembahyang di gunung dan berjumpa dengan seekor
kepiting di puncak gunung yang bernama Astapada, dibawa di pakaiannya. Maka kata
sang brahmana: “Kubawanya ke sungai, sebab aku merasa kasihan.” Maka iapun berjalan
dan berjumpa dengan sebuah balai peristirahatan di tepi sungai. Lalu dilepaslah si
kepiting oleh sang brahmana. Si Astapada merasa lega hatinya. Sedangkan sang
brahmana beristirahat di balai-balai ini. Beliau tidur dengan nikmat, hatinya nyaman.
Adalah seekor ular yang berteman dengan seekor gagak dan merupakan ancaman bagi
sang brahmana. Maka kata si ular kepada kawannya si gagak: “Jika ada orang datang ke
mari untuk tidur, ceritakan padaku, aku mangsanya.”
Si gagak melihat sang brahmana tidur di balai-balai. Segeralah keluar si ular katanya:
“Aku ingin memangsa matanya kawan.” Begitulah perjanjian mereka.
Si kepiting yang dibawa oleh sang brahmana mendengar. Lalu kata si kepiting di dalam
hati: “Aduh, sungguh buruk kejahatan si gagak dan ular. Sama-sama buruk kelakuannya.”
Terpikir olehnya bahwa si kepiting berhutang budi kepada sang brahmana. Ia ingin
melunasi hutangnya, maka pikirnya. “Ada siasatku, aku akan berkawan dengan
keduanya.” Maka ujar si kepiting, “Wahai kedua kawanku, akan kupanjangkan leher
kalian, supaya lebih nikmat kalau kalian ingin memangsa sang brahmana.” – “Aku setuju
dengan usulmu, <laksanakanlah> dengan segera.” Begitulah kata si gagak dan si ular
keduanya. Kedua-keduanya ikut menyerahkan leher mereka dan disupit di sisi sana dan
sini oleh si kepiting dan keduanya langsung putus seketika. Matilah si gagak dan si ular.

Relief 2 (Angsa dan kura-kura)

Angsa dan kura-kura


Pada relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari Pancatantra atau
jataka. Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini. Namun cerita yang disajikan di bawah
ini agak berbeda versinya dengan lukisan di relief ini:

Ada kura-kura bertempat tinggal di danau Kumudawati. Danau itu sangat permai, banyak
tunjungnya beranekawarna, ada putih, merah dan (tunjung) biru.
Ada angsa jantan betina, berkeliaran mencari makan di danau Kumudawati yang asal
airnya dari telaga Manasasara.Adapun nama angsa itu, si Cakrangga (nama) angsa jantan,
si Cakranggi (nama) angsa betina. Mereka itu bersama-sama tinggal di telaga
Kumudawati.
Maka sudah lamalah bersahabat dengan kura-kura. Si Durbudi (nama) si jantan,
sedangkan si Kacapa (nama) si betina.
Maka sudah hampir tibalah musim kemarau. Air di danau Kumudawati semakin
mengeringlah. [Kedua] angsa, si Cakrangga dan si Cakranggi lalu berpamitan kepada
kawan mereka si kura-kura; si Durbudi dan si Kacapa. Katanya:
“Wahai kawan kami meminta diri pergi dari sini. Kami ingin pergi dari sini, sebab
semakin mengeringlah air di danau. Apalagi menjelang musim kemarau.Tidak kuasalah
kami jauh dari air. Itulah alasannya kami ingin terbang dari sini, mengungsi ke sebuah
danau di pegunungan Himawan yang bernama Manasasana. Amat murni airnya bening
dan dalam. Tidak mengering walau musim kemarau sekalipun. Di sanalah tujuan kami
kawan.” Begitulah kata si angsa.Maka si kura-kurapun menjawab, katanya:
“Aduhai sahabat, sangat besar cinta kami kepada anda, sekarang anda akan meninggalkan
kami, berusaha untuk hidupmu sendiri.
Bukankah (keadaannya) sama kami dengan anda, tidak bisa jauh dari air? Ke mana pun
anda pergi kami akan ikut, dalam suka dan duka anda. Inilah hasil persahabatan kami
dengan kalian.
Angsa menjawab: “Baiklah kura-kura. Kami ada akal. Ini ada kayu, pagutlah olehmu
tengah-tengahnya, kami akan memagut ujungnya sana dan sini dengan isteriku. Kuatlah
kami nanti membawa terbang kamu, [hanya] janganlah kendor anda memagut, dan lagi
jangan berbicara. Segala yang kita atasi selama kami menerbangkan anda nanti,
janganlah hendaknya anda tegur juga. Jika ada yang bertanya jangan pula dijawab. Itulah
yang harus anda lakukan, jangan tidak mentaati kata-kata kami. Apabila anda tidak
mematuhi petunjuk kami tak akan berhasil anda sampai ke tempat tujuan, akan berakhir
mati.”Maka demikianlah kata angsa.
Lalu dipagutlah tengah-tengah kayu itu oleh si kura-kura, ujung dan pangkalnya dipatuk
oleh angsa, di sana dan di sini, laki bini, kanan kiri.Segera terbang dibawa oleh angsa,
akan mengembara ke telaga Manasasara, tempat tujuan yang diharapkannya. Telah jauh
terbang mereka, sampailah di atas ladang Wilanggala.Maka adalah anjing jantan dan
betina yang bernaung di bawah pohon mangga. Si Nohan nama si anjing jantan, si
Babyan nama si betina. Maka mendongaklah si anjing betina, melihat si angsa terbang,
keduanya sama menerbangkan kura-kura. Lalu katanya.“Wahai bapak anakku, lihatlah itu
ada hal yang amat mustahil. Kura-kura yang diterbangkan oleh angsa sepasang!”Lalu si
anjing jantan menjawab: “Sungguh mustahil kata-katamu. Sejak kapan ada kura-kura
yang dibawa terbang oleh angsa? Bukan kura-kura itu tetapi tahi kerbau kering, sarang
karu-karu! Oleh-oleh untuk anak angsa, begitulah adanya!” Begitulah kata si anjing
jantan.
Terdengarlah kata-kata anjing itu oleh kura-kura, marahlah batinnya. Bergetarlah
mulutnya karena dianggap tahi kerbau kering, sarang karu-karu.
Maka mengangalah mulut si kura-kura, lepas kayu yang dipagutnyam jatuhlah ke tanah
dan lalu dimakan oleh serigala jantan dan betina.Si angsa malu tidak dipatuhi nasehatnya.
Lalu mereka melanjutkan perjalanan melayang ke danau Manasasara.

Relief 3 (Dharmabuddhi dan Dustabuddhi)

Dharmabuddhi dan Dustabuddhi


Cerita ini mengenai dua orang sahabat anak para saudagar. Suatu hari Dharmabuddhi
menemukan uang dan bercerita kepada kawannya Dustabuddhi. Lalu mereka berdua
menyembunyikan uang ini di bawah sebuah pohon. Setiap kali mereka membutuhkan
uang, Dharmabuddhi mengambil sebagian dan membagi secara adil. Tapi Dustabuddhi
tidak puas dan suatu hari mengambil semua uang yang tersisa. Ia lalu menuduh
Dharmabuddhi dan menyeretnya ke pengadilan. Tetapi akhirnya Dustabuddhi ketahuan
dan dihukum.

Relief 4 (Dua burung betet yang berbeda)

Dua burung betet yang berbeda.


Relief ini melukiskan cerita dua burung betet bersaudara namun berbeda kelakuannya
karena yang satu dididik oleh seorang penyamun. Sedangkan yang satu oleh seorang
pendeta.

Vihara Buddha Mendut

Arca Buddha sumbangan Jepang.


Persis di sebelah candi Mendut terdapat vihara Buddha Mendut. Vihara ini dahulunya
adalah sebuah biara Katholik yang kemudian tanahnya dibagi-bagi kepada rakyat pada
tahun 1950-an. Lalu tanah-tanah rakyat ini dibeli oleh sebuah yayasan Buddha dan di
atasnya dibangun vihara. Dalam vihara ini terdapat asrama, tempat ibadah, taman, dan
beberapa patung Buddha. Beberapa di antaranya adalah sumbangan dari Jepang.

Candi Ngawen adalah candi Buddha yang berada kira-kira 5 km sebelum candi Mendut
dari arah Yogyakarta, yaitu di desa Ngawen, kecamatan Muntilan, Magelang. Menurut
perkiraan, candi ini dibangun oleh wangsa Syailendra pada abad ke-8 pada zaman
Kerajaan Mataram Kuno. Keberadaan candi Ngawen ini kemungkinan besar adalah yang
tersebut dalam prasasti Karang Tengah pada tahun 824 M.

Candi ini terdiri dari 5 buah candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk yang
berbeda dengan dihiasi oleh patung singa pada keempat sudutnya. Sebuah patung Buddha
dengan posisi duduk Ratnasambawa yang sudah tidak ada kepalanya nampak berada pada
salah satu candi lainnya. Beberapa relief pada sisi candi masih nampak cukup jelas, di
antaranya adalah ukiran Kinnara, Kinnari, dan kala-makara.

Candi Cetho merupakan sebuah candi peninggalan budaya Hindu dari abad ke-14 pada
masa akhir pemerintahan Majapahit. Fungsi candi ini tidaklah berbeda dengan candi
Hindu yang lain yakni sebagai tempat pemujaan. Sampai saat inipun Candi Cetho tetap
digunakan oleh penduduk sekitar yang memang merupakan penganut agama Hindu.

Susunan bangunan
Gapura Candi Cetho
Candi Cetho terdiri dari sembilan trap (tingkat) berbentuk memanjang kebelakang dengan
trap terakhir sebagai trap utama pemujaaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa (seperti
bentuk-bentuk tempat pemujaan pada masa purba yaitu punden berundak).

Trap pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Trap kedua masih berupa
halaman namun ditrap ini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi yang merupakan
leluhur masyarakat Cetho.

Pada trap ketiga terdapat sebuah soubment memanjang di atas tanah yang
menggambarkan nafsu badaniah manusia (nafsu hewani) berbentuk phallus (alat kelamin
laki-laki) sepanjang lebih dari 2 m, dengan diapit dua buah lambang kerajaan Majapahit
menunjukkan masa pembuatan candi. Pada trap selanjutnya dapat ditemui relief pendek
yang merupakan cuplikan kisah Sudhamala, (seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh)
yaitu kisah tentang usaha manusia untuk melepaskan diri dari malapetaka. Dua trap di
atasnya terdapat pendapa-pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini
pendapa-pendapa tersebut masih sering digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-
upacara besar keagamaan. Trap ketujuh dapat ditemui dua buah arca di samping kanan
kiri yang merupakan arca Sabdopalon dan Nayagenggong, dua orang abdhi kinasih dari
Sang Prabu Brawijaya yang juga merupakan penasehat spiritual dari beliau. Hal ini
melambangkan kedekatan jiwa beliau dengan rakyatnya yang diwakili kedua tokoh
tersebut. Pada trap kedelapan terdapat arca Phallus (kuntobimo) di samping kiri dan arca
Sang Prabu Brawijaya yang digambarkan sebagai “mahadewa”. Arca phallus
melambangkan ucapan syukur atas kesuburan yang melimpah atas bumi cetho dan
sebuah pengharapan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar kesuburan yang dilimpahkan itu
tak kan terputus selamanya. Arca Sang Prabu Brawijaya menunjukkan penauladanan
masyarakat terhadap kepemimpinan beliau, sebagai raja yang bèrbudi bawa leksana,
ambeg adil paramarta yang diyakini pula sebagai utusan Tuhan di muka bumi. Trap
terakhir (trap kesembilan) adalah trap utama yang merupakan tempat pemanjatan doa
kepada Penguasa Semesta. Trap terakhir ini berbentuk kubus berukuran 1,50 m2.

Candi Cetho menghadap ke arah timur hal ini berbeda dengan candi-candi yang ada di
Jawa Tengah karena Candi Cetho begitu pula Candi Sukuh dibangun pada masa
Majapahit sehingga dengan sendirinya pembangunan candi terpengaruh oleh apa yang
terbiasa ada di candi-candi Jawa Timur. Di sebelah atas bangunan Candi Cetho terdapat
sebuah bangunan yang pada masa lalu digunakan sebagai tempat membersihkan diri
sebelum melaksanakan upacara ritual peribadahan (patirtan). Sedangkan di sebelah barat
dari bangunan candi dengan menuruni lereng yang sangat terjal bisa ditemukan lagi
sebuah bangunan candi yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Candi Kethek.
Namun sayang sekali sampai saat ini penggalian candi belum dilakukan. Bangunan Candi
Cetho secara keseluruhan terbuat dari batu–batuan yang dipahat berbentuk persegi empat
dan ditata rapi untuk ubin, ataupun pagar serta relief candi. Kebanyakan arca dan relief
sudah banyak mengalami kerusakan. Candi Cetho yang terletak di lereng Gunung Lawu
sebelah barat masuk di kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, dikelilingi kelebatan rimba
dan sejuknya udara kebun teh Kemuning.
Candi Pawon yang berada di antara Candi Mendut dan Candi Borobudur
Candi Pawon adalah nama sebuah candi. Candi Pawon dipugar tahun 1903. Nama Candi
Pawon tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya. J.G. de Casparis menafsirkan
bahwa Pawon berasal dari bahasa Jawa Awu yang berarti abu, mendapat awalan pa dan
akhiran an yang menunjukkan suatu tempat. Dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon
berarti dapur, akan tetapi De Casparis mengartikan perabuan. Penduduk setempat juga
menyebutkan candi Pawon dengan nama Bajranalan. Kata ini mungkin berasal dari kata
Sansekerta vajra = "halilintar" dan anala = "api".

Ukiran pohon Kalpataru di bagian frame tengah


Di dalam bilik candi ini sudah tidak ditemukan lagi arca sehingga sulit untuk
mengidentifikasikannya lebih jauh. Suatu hal yang menarik dari Candi Pawon ini adalah
ragam hiasnya. Dinding-dinding luar candi dihias dengan relief pohon hayati (kalpataru)
yang diapit pundi-pundi dan kinara-kinari (mahluk setengah manusia setengah
burung/berkepala manusia berbadan burung). Letak Candi Pawon ini berada di antara
candi Mendut dan candi Borobudur, tepat berjarak 1750 meter dari candi Borobudur dan
1150 m dari Candi Mendut.

Anda mungkin juga menyukai