Anda di halaman 1dari 17

Fungsionalisme struktural, neofungsionalisme, dan teori konflik

Talcot parsons

Alternatif utama bagi fungsionalisme struktural adalah teori konflik.


Teori konsensus melihat kesamaan norma dan nilai sebagai sesuatu yang fundamental bagi
masyarakat,memfokuskan perhatiannya pada tatanan yang didasarkan atas persetujuan tersirat, dn
melihat perubahan sosial terjadi secara pelan dan teratur. Sebaliknya, teori konflik menegaskan
dominasi beberapa kelompok sosial tertentu oleh kelompok sosial yang lain, melihat tatanan didasarkan
atas manipulasi dan kontrol oleh kelompok dominan, dan melihat perubahan sosial terjadi secara cepat
da tidak teratur ketika kelompok subordinat menggeser kelompok dominan.
Fungsionalisme struktural
Fungsionalisme struktural, istilah struktural dan fungsionlisme tidak boleh digunakan secara bersamaan,
meskipun pada dasarnya keduanya adalah satu kesatuan. Kita dapat mempelajari strktur-struktur
masyarakat tanpa membahas fungsinya (atau konsekuensinya) bagi struktur lain. Kita dapat menelaah
fungsi dari berbagai proses sosial yang mungkin saja tidak berbentuk struktural.meskipun
fungsionalisme struktural memiliki bebagai bentuk (abrahamson,1978), fungsionalisme masyarakat
adalah pendekatan dominan di antara para fungsionalis sosiologi (sztompka,1974). Perhatian utama
fungsionalisme masyarakat adalah struktur sosial skala besar dan institusi masyarakat,
kesalingterkaiatan mereka, dan efek menghambat mereka terhadap aktor.

Teori fungsional tantang stratifikasi dan pengkritiknya


Teori fungsional tentang stratifikasi seperti yang dikemukakan kingsley davis dan wilbert moore (1945).
Mereka memandang stratifikasi sosial sebagai sesuatau yang universal dan niscaya. Bagi mereka, tak ada
masyarakat yang tidak terstratifikasi. Karena masyarakat memerlukan sistem semacam itu dan terwujud
dalam sistem stratifikasi. Stratifikasi sebagai strukur, dengan menegaskan bahwa stratifikasi tidak berarti
individu dalam sistem stratifikasi namun sebagai sistem posisi. Mereka memusatkan perhatian pada
bagaimana posisi-poisi tertentu membawa serta perbedaa derajat,prestise, bukan pada bagaimana
individu menguasai posisi-posisi tertentu.
Penempatan sosial secara tepat dalam masyarakat menjadi masalah karena tiga alasan. Pertama,
bebrapa posisi lebih menyenangkan untuk ditempati ketimbang posisi-posisi lain. Kedua, beberapa
posisi lebih penting daripada posisi-posisi lain.ketiga,perbedaan posisi sosial mensyaratkan adanya
kemampuan dan bakat berlainan. Jadi posisi-posisi rendah dalam sistem stratifikasi diyakini lebih
menyenangkan dan kurang penting serta memrlukan lebih sedikit kemampuan dan bakat.
Davis dan moore tidak berpendapat bahwa masyarakat secara sadar mengembangkan sistem stratifikasi
dimana posisi-posisi level tinggi dapat terisi dengan tepat. Justru, stratifikasi adalah satu”perangkat yang
berevolusi secara tidak sadar”. Yang menjadi implikasi adalah bahwa orang-orang yang berada dipuncak
baru mau melakuakn tugasnya kalau mereka memang akan mendapat imabalan, jiak tidak, posisi itu
akan kosong / tidak terisi dan masyarakat akan mengalami guncangan.
Satu kritik mendasar terhadap teori fungsional tentang startifikasi adalah bahwa teori ini hanya
melanggengkan posisi istimewa orang-orang yang memiliki kekuasaan,prestise,dan uang.
Teori fungsional juga dapat dikritik karena beramsumsi bahwa karena struktur sosial yang terstratifikasi
ada di masa lalu, ia harus terus ada di masa depan.

Fungsional struktural talcot parsons


Ada empat imperatifnya yang disebut “a-g-i-l”. A-g-i-l.fungsi adalah suatu gugusan aktifitas yang
diarahkan untuk memenuhi satu atau beberapa kebutuhan sistem (rocher,1975:40).
1. sistem harus mengadaptasi situasional yang datang dari luar. Menyesuaikan dengan kebutuhan-
kebutuhannya.Adaptasi
2. pencapaian tujuan harus mengidentifikasi tujuan utamanyaGoal attaintment
3. harus mengatur hubungan bagian-nbagian komponennya. Mengatur a-g-lIntegrasi
4. pemeliharaan pola. Sistem harus melengkapi,memelihara,danLatency memperbarui motivasi
individu dan pola yang memelihara sistem.
L
Sistem kultural
I
Sistem sosial
A
Organisme bahvioral
G
Sistem kepribadian

sistem tindakan yang menangani fungsi adaptasi dengan menyesuaikan dan mengubah dunia
luar.Organisme behavioral
menjalankan fungsi pencapaian tujuan denganSistem kepribadian mendefinisikan tujuan sistem dan
memobilisasi sumberdaya untuk mencapainya.
menangani fungsi integrasi dengan mengontrol bagian-bagian yang menjadi komponenSistem sistem
sosial
menjalankan latency dengan membekali akto-aktor dengan nilai dan normaSistem kultural
Sistem tidakan
Penataan hierarkis telah jelas. Pertama, level lebih rendah menyediakan syarat,energi yang dibutuhkan
bagi level yang lebih tinggi. Kedua, level yang lebih tinggi mengontrol level-level dibawahnya.
Pandangan parsons dalam rangkaian asumsi sebagai berikut :
1. Sistem memiliki tatanan dan bagian-bagian yang tergantung satu sama lain
2. Sistem cendrung menjadi tatanan yang memelihara dirinya / ekuilibrium
3. Sistem bisa statis / mengalami perubahan tertata
4. Sifat satu bagian sistem berdampak pada kemungkinan bentuk bagian lain
5. Sistem memelihara batas-batas dengan lingkungan merek
6. Alokasi dan integrasi adalah dua proses fundamental yang diperlukan bagi kondisi ekuilibrium sistem
7. Sistem cendrung memelihara dirinya meliputi pemeliharaan batas dan hubungan bagian-bagian
dengan kesluruhan, kontrol variasi lingkungan, dan kontrol kecendrungan untuk mengubah sistem dari
dalam.
Parsons banyak dikritik karena orientasinya yang statis. Karyanya tentang perubahan sosial dinilai sangat
statis dan terstruktur.
Sistem sosial
Sistem sosial terdiri dari beragam aktor individual yang berinteraksi satu sama lain dalam sistuasi yang
setidaknya memiliki aspek fisik / lingkungan, aktor yang cenderung termotivasi kearah “optimisasi
kepuasan” dan yang hubungannya dengan situasi mereka,termasuk hubungan satu sama
lain,didefinisikan dan diperantarai dalam bentuk sistem sismbol yang terstruktur secara kultural dan
dimiliki bersamaan.
Prasyarat fungsional bagi sistem sosial
1. Sistem terstruktur sehingga dapat beroprasi denagn sistem lainnya.
2. Agar dapa bertahan hidup, sistem sosial harus didukung sebelumnya oleh sistem lain.
3. Harus signifikan memenuhi proporsi kebutuhan aktor-aktornya
4. Harus menimbulkan partisipasi anggotanya
5. Setidaknya punya kontrol minimum terhadap perilaku yang berpotensi merusak
6. Jika konflik menimbulkan kerusakan signifikan, ia harus dikontrol
7. Sistem memerlukan bahasa agar bertahan hidup
Aktor dan sistem sosial
Kombinasi pola nilai orientasi yang diperoleh (dlm sosialisasi) pada derajad yang sangat penting harus
menjadi fungsi struktur peran fundamental dan nilai-nilai dominan sistem sosial (1951:227).
Sistem kultural
L
Sistem pengasuhan
I
Komunitas masyarakat
A
Ekonomi
G
Politik

sistem sismbol yang terpola dan tertata yang merupakanKebudayaan sasaran orientasi aktor,aspek
sistem yang diinternalisasikan dan pola-pola yang terinstitusionalisasikan dalam sistem sosial.
Pola-pola alternative dari orientasi nilai
Parsons mereduksi dikotomi toennies, yakni gemeinscaft dan gesselscaft dan bentuk-bentuknya
kedalam seperangkat orientasi nilai alternatif yang dihadapi setiap aktor. Alternatif-altenatif, dilema-
dilema dan keputusan-keputusannya secara logis dihubungkan dengan harapan-harapan peran tertentu
dan tipologi sistem sosial, dimana keputusan diharapkan pradominan / situasi yang berlawanan antara
gemeinscaft dan gesselscaft. Disini ada 5 dilema pokok :
1. aktor mengorganisasikan dirinyaAfektifitas vs neutralitas afektif sendiriterhadap kepuasan
kebutuhan afektif / secara afektif adalah netral. Contohnya: yang pertama ini cocok untuk hubungan
suami istri, yang kedua tidak.
2. seorang aktor mencari baiknya diri / kolektifOrientasi diri vs orientasi kolektif
3. aktor mengkaitkan individu lainUniversalisme vs partikularisme baik menurut kriteria yang secara
sama diterapkan pada semuanya / memilih beberapa standart.contohnya : pada bentuk rekruitmen
pekerjaan, kantor,sekolah.
4. hal ini mirip ascription-motivation ralphKualitas vs penampilan linton. Apakah aktor
mengorientasikan dirinya sendiri tehadap orang lainbekenaan siapa dirinya atau apa yang dilakukannya.
Disini aktor mempertimbangkan kualitas orang lain dan penampilan dirinya
5. aktor mengkaitkan pada individu lainKekhususan vs peleburan sehubungan status khusus / dia
mengkaitkan dirinya sebagai bagian dari kesluruhan. Situasi pertama adalah tempat bisnis dan yang
kedua merupakan kateristik keluarga.
Perubahan dan dinamika teori parsonians
Teori evolusi
1966 parsons menyebut ini “paradigma perubahan evolusioner”. Komponen pertama paradigma ini
adalah proses defernsiasi. Parsosns berasumsi bahwa masyarakat manapun terdiri dari serangkaian sub-
sistem yang struktur dan signifikasi fungsionalnya tidak sama bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika
masyarakat berevolusi, subsistem baru mengalami deferensiasi. Jadi aspek esensial dari paradigma
evolusi adalah upgrading adaptif. Selanjutnya, proses defernsiasi ini mengarah pada masalah integrasi
dalam masyarakat. Ketika subsistem berkembang, maka masyarakat dihadapkan pada persoalan baru
dalam mengatur cara kerja unit-unit. Dikaitkan dengan sistem nilai, masyarakat yang terdeferensiasikan
memerlukan satu sistem nilai yang “bestandar pada level generalitas lebih tinggi agar bisa melegitimasi
keragaman tujuan dan fungsi sub-unit yan lebih banyak.
Bebrapa masyarakat bisa mendukung evolusi, sementara lainnya “mungkin terjerat oleh konflik
internal / kekurangan-kekurangan lainnya” (parsons, 1966:23). Dan masyarakat adalah “terobosan”, dan
proses evolusi akan mengikuti model evolusioner pada umumnya.
Kendati parsons memahami evolusi berlangsung beberapa tahap, dia berhati-hati ketika menghindari
teori evolusi unlinear : “kita tidak memahami evolusi sosial sebagai proses yang terus berlanjut / linear,
namun kita dapat memilah-milah level kemajuan tanpa mengabaikan banyaknya keragaman pada
masing-masing level (1966:26). Peralihan dari tahap pertengahan ke modern adalah “kode intitusional
tatanan normatif / hukum” (parsons,1966:26).
Media pertukaran yang digeneralisasi
Parsons berfokus pada media pertukaran simbolis. Parsons mendiskusikan uang sebagai media
pertukaran dalam sistem sosial, ia lebih memusatkan kandungan simbolis ketimbang kandungan
materialnya. Yaitu : kekuasaan politik, pengaruh, dan komitmen nilai. Alasan ia memusatkan pada media
pertukaran simbolis, karena “diperkenalkannya teori media kedalam perspektif struktural dalam
pemikiran saya ,tampaknya telah melangkah begitu jauh dengan mengabaikan pernyataan yang
seringkali dikemukakan bahwa tipe analisis struktural ini sarat dengan bias statis, yang membuatnya
tidak mungkin menelaah masalh-masalah dinamis”(1975:98-99). Jadi dalam sistem politik mampu
menciptakan kekuasaan politik. Lebih penting lagi,mereka dapat menggunakan kekuasaan
tersebut,sedemikian rupa sehingga dapat beredar bebas didalam, dan memberikan pengaruh terhadap
sistem sosial.

menerima masukan apapun, apalagi duit.

Tuesday, October 15, 2002

Berikut ini adalah sumbangan dari rekan kita S. Yunanto. Berupa catatan kuliah dan hasil bacaan atas
beberapa sumber. Terutama tentang Marx. Terima kasih rekan Yunanto!!! (Radhar)

TEORI SOSIAL KLASIK

MATERIALISME SEJARAH.
(Kuliah ke 2 )
Referensi utama : Gidden 22- 24

DARI KULIAH Prof Maswadi .

Ciri pemikiran Marx :Radikal artinya perubahan sosial bersifat menyeluruh,cepat dan bersifat kekerasan
(revolusioner ). Masyarakat Borjuis dan negara penuh kelemahan. Liberalisme,kapitalisme dan demokrasi
sebagai sumber kebobrokan masyarakat.
Menurut Marx faham liberalisme melindungi kerakusan yang mengakibatkan terhadap penindasan. Cara
menghilangkan penindasan dengan menghilangkan “hak milik pribadi”. Karena hak milik inidigunakan
sebagai alat penindasan.

Liberalisme dalam bidang politik menghasilkan demokrasi dalam bidang ekonomi menghasilakan
kapitalisme. Inti dari demokrasi adalah yang baik buat masyarkat ditentukan oleh masyarakat sendiri.
Dalam Kapitalisme terjadi swastanisasi . Masyarakat diganti dengan pasar bebas . Penguasa ekonomi
adalah pemilik uang . Dalam hal ini dicirikan bahwa masyarakat itu terdiri dari kelas menengah yang –
rakus dan penuh ambisi.
Flow of capitalism : Modal ---- Investasi ---- komoditas ---- profit .
Tujuan kapitalisme : Mengangkat mesyarakat banyak kepada kemakmuran dengan menyediakan barang
dan jasa. Jadi dalam pandangan kapitalisme ciri kemakmuran adalah tersedianya barang dan jasa dan
kemampuan mendapatkannya. Dengan tersedianya barang – barang dalam jumlah yang banya akan lebih
murah.Kemakmuran akan tepenuhi oleh peran kaum swasta,sementara negara hanya berfungsi sebagai
pelindung. Kaum kapitalis melakukan investasi bukan karena sosial value melainkan karena ingin
mengambil keuntungan dari investasi yang ditanamkan

Beda Marx dengan Filosof lain adalah kalau Filosof lain meramalkan apa yang terjadi,bagi Marx yang
penting mrobahnya .

DARI BUKU MAGNIZ .

Materialisme sejarah adalah kerangka pemikiran Marx dalam memahami sejarah dan masyarakat.

PRINSIP DASAR : Tesis utama materialisme sejarah adalah keadaan sosial ( fakta sosial ) menentukan
kesadaran manusia ,bukan sebaliknya . Keadaan sosial atau fakta sosial adalah pekerjaannya atau
produksi materialnya . Keadaan manusia adalah cara manusia menghasilkan sesuatu untuk hidup. Untuk
memahami manusia tidak perlu memahami bagaimana ia berfikir, meliankan memahami cara ia,hidup
,bekerja dan berproduksi. Orang berfikir ditentukan oleh kepentingannya, kedudukannya dan cita –
citanya. Yang semuanya ditentukan oleh kelas sosialnya.

MATERIALISME SEJARAH
GIDDEN (23 - 42 )

Marx mengkritik Hegel dalam memahami hubungan negara dan hukum.Menurutnya pola – pola
hubungan hukum termasuk bentuk negara harus difahami bukan dari pola – pola hubungan tersebut, serta
bukan dari perkembangan akal budi. Melainkan harus difahami dari hal – hal yang berakr dalam kondisi –
kondisi yang bersifat materiil dalam kehidupan.(hal 22). Menurut Engel karya dalam materialisme sejarah
membuktikan bahwa betapa tidak lengkapnya pengetahuan kita tentang sejarah ekonomi pada saat itu.

Pemikiran –pemikiran materialisme Marx juga merupakan kritikan terhadap pemikiran Feurbach yang
dikatakannya a historis. Feurbach membuat manusia abstrak yang mendahului masyarakat. Materialisme
Feurbach hanya berhenti pada doktrin Filsafat yang bersifat renungan. Feurbach gagal melihat bahwa
kesalehan seseorang itu merupakan produk dari masyarakat. Doktrin Feurbach tidak bisa menangani fakta
. Padahal kegiatan revolusioner merupakan tindakan manusia. Sang pendidik………….harus dididik.

Tesis –tesis Marx :

1) Keseluruhan yang disebut sejarah dunia adalah hasil ciptaan manusia, usaha manusia.
2) Marx tidak setuju dengan konsepsi “keterasingan “ dari para filosof Jerman yang disebutnya terlalu
abstrak. Keterasingan dalam pengertian Marx harus difahamai sebagai fenomena sejarah,sehingga hanya
bisa difahami dalam kerangka –kerangka sosial. Keterasingan ini dimulai dari dari kepemilikan pribadi
(prakondisi kapitalisme).
3) Dalam melihat masyarakat Marx telah meninggalkan filsafat dan beralih kepada pendekatan sosial
historis . Kapitalisme telah meninggalkan kelas :Pemilik modal dan pekerja.
4) Marx mengemukakan teori praxis dalam revolusi. Menurutnya perubahan sosial bisa menjadi
kenyataan jika teori dan praktek bersatu.
Marx juga mengkritik fisafat Hegel yang disebutkannya sebagai agama yang dibawa kepada manusia dan
harus dikutuk karena konsepnya tentang keterasingan. Hegel mengemukakn materialisme pasif (tafakur)

TEORI MATERIALIS .
Marx adalah seorang realis dalam mendefinisikan materialisme dan menentang konsep –konsep abstrak
yang dikemukakan Hegel dan Feurbach. Gagasan adalah produk manusia dalam interaksinya antara
indera dengan pengalaman. Kesadaran manusia timbul dalam dialektika antara subjek dan objek. Objek
dari dari kepastian indera diberikan lewat perkembangan sosial. Sejarah merupakan perumusan
,penciptaan, ulang kebutuhan manusia yang terus menerus . Sejarah adalah suatu proses dimana sebuah
generasi memanfaatkan bahan – bahan dan data –data yang diwariskan oleh generasi sebelumnya baik
secara tetap maupun dimodifikasi.

Sistem Pra Kelas.


Pada masyarakat suku pembagian kerja berdasarkan berdasarkan jenis kelamin. Laki – laki pada awalnya
bersifat komunal. Timbulnya individualisme karena terjadinya perkembangan sejarah yang berasosiasi
dengan pembegian kerja yang semakin rumit dan terspesialisasi dan dibarengi dengan kemempuan
memproduksi barang dan jasa dalam bentuk masal. Manusia itu asalnya sebagai makhluk rumpun,
makhluk suku. Individualisme merupakan perkembangan sejarah. Termasuk pemilikan itu pada awalnya
bersifat komunal. Perkembangan dan spesialisasi muncul karena adanya sistem pertukaran . Karena
bentuk perttukaran ini semakin rumit muncullah bentuk uang..

Pandangan Marx tentang masyarakat timur/ masyarakt Asia. Masyarakat Timur / Asia sangat tahan
terhadap perobahan . tidak terlalu tergantung pada lembaga pemerintah melainkan swasembada.
Masyarakat timur berkembang dengan pola masyarakat lama yang dicirikan dengan tidak adanya
pemilikan tanah. Berbeda dengan masyarakat Roma yang mempunyai koonsep pemilikan tanah yang
mendorong terhadap nafsu ekspansionis. Dalam masyarakat timur seseorang hanya sebagai pengelola
tanah yang sebagian hasilnya diserahkan sebagai upeti.

Sifat ketiadaan kepemilikan ini membatasi pertumbuhan kota di masyarakat Timur (India dan Cina )yang
ini berbeda dengan masyarakat Roma dan Yunani dimana pertumbuhan kota menjadi inti. Pembagian
kota dan desa ini memulai suatu tahapan historis tentang kapitalisme. Di kota ini mula dikenal konsep
kepemilikan ,tenaga kerja dan pertukaran.

Dunia kuno .
Munculnya kelas penguasa akibat dari kepemilikan tanah di pedesaan. Pada tahap akhir, republik Roma
berdiri diatas penghisapan – penghisapan dari propinsi - propinsinya . Sengketa juga terjadi antara rakyat
jelata denga para ningratnya . Pada saat ini juga muncul sistem ekonomi riba. Perkembangan perbudakan
dimulai dengan suatu tahap patriarkhal, dimana budak membantu produsen kecil. Tumbuhnya pertanian –
pertanian skala besar telah menghapuskan sistem perbudakan .

Feodalisme dan perkembangan kapitalisme


Keruntuhan masyarakat Roma merupakan awal dari adanya perbudakan . Hal ini diikuti dengan
perobahan sistem pemerintahan dari militer ke kerajaan . Peperangan dan kekacauan di Eropa telah
menyebabkan kemiskinan petani kecil merdeka dan penghambaan kepada tuan tanah. Dasar dari ekonomi
feodal adalah tanah . Dasar perekonomian feodal adalah pertanian dalam skala kecil yang dilaksanakan
oleh petani yang melibatkan hamba yang mengikat , petanian ini ditambah dengan industri lokal dan
kerajinan tangan di kota . Sejarah kapitalisme adalah sejarah keterasingan bagi produsen kecil dari
produknya . Sejarah mengambil alih alat produksi milik si petani dan kergantungan si petni kecil dengan
penjualan besar. Hancurnya feodalisme dan munculnya kapitalisme sangat terkait dengan pertumbuhan
kota – kota. Dikota mulai muncul modal dagang dan modal para lintah darat. Perkembangan niaga
merangsang pemakaian uang yang semakin meluas dan pertukran komoditi yang dulunya swasembada.
Pertumbuhan kapitalisme diikuti dengan pengambilalihan milik para petani dengan kekerasan. Hal ini
terjadi di Inggris, transformasi petani menjadi buruh upaha mulai dari abad kelima belas. Kaum
bangsawan yang mempunyai tanah mulai tertarik dengan ekonomi pertukaran . Sepert kasus produksi wol
di inggris meningkatkan harga – harga wol di Inggris. Fenomena ini diikuti oleh tindakan gereja yang
membagika tanah kepada bangsawan atau dijual murah kepada spekulan dan mengusir pengelola tanah
yang secara turun temurun . para pengelola tanah ini kemudia n menjadi pengemis, gelandangan dan lain
–lain. Pada periode awla abad enam belas di inggris juga mulai tumbuhnya kaum proletar. Suatu
kelompok petani yang kehilangan garapannya dan kemudian menjadi buruh upahan.

Tahap perkembangan kapitalisme yang penting adalah dengan dimulainya penjelajahan ke wilayah -
wilayah diluar Eropa yang menandai bangkitnya imperialisme dan kolonialisme. Percepatan kapitalisme
dengan ditmukannya emas dan berpusatnya pabrik – pabrik di daerah daerah maritim. Masuknya emas
dan perak selanjutnya mengakibatkan kenaikan harga yang sangat tinggi. Kondisi ini bagi kapitalis
memberikan keuntungan yang besar dalam perniagaan dan pepabrikan ,tetapisebagai sumber kehancuran
tuan – tuan tanah besar dan minculnya jumlah buruh upahan dalam jumlah yang besar. Di Inggir keadaan
ini menjadi suatu prkondisi munculnya revolusi Inggris.

Ada dua cara kemajuan kapitalis yang berlawanan : pertama ,kelas pedagang murni bergerak menjadi
produsen. Kedua para produsen kemudian mengumpulkan kapital untuk memperluas perniagaan dan
bidang kegiatan. Marx melihat dua tingkatan organisasi produksi pada era kapitalisme : Tingkat pertama
adalah dikuasai pabrikan, ciri ini ditandai dengan digantinya ketrampilan pertukangan dengan tugas
khusus yang dilakukan oleh pekerja yang secara kolektif melakukan sesauatu secara sendiri. Proses ini
lebih efisien. Kedua,dorongan untuk menciptakan efisiensi telah melahirkan mekanisasi. Perkembangan
mekanisasi yang semakin rumit merupakan satu faktor dari sentralisasi ekonomi dalam kapitalisme.

KONFLIK SOSIAL
(Kuliah Prof Maswadi ke 3) Referensi utama : Smelser 86 - 98

Menurut Marx dalam sejarah manusia dipenuhi oleh konflik sosial. Teori Marx menyatakan hanya ada
dua kelas dalam masyarakat (kelas borjuis dan kelas proletar). Revolusi proletar memusnahkan
/menghilangkan satu kelas (kelas borjuis). Materialisme sejarah berhenti setelah terjadinya revolusi.
Paska revolusi tidak ada lagi perjuangan kelas.

Dalam Materilisme sejarah, ekonomi dianggap sebagai faktor determinan “penentu “ sementara faktor
lain diabaikan . pendekatan deterministik ini banyak digunanakan oleh ilmuawan sosial dan dianggap
menyederhanakan persoalan (simplifikasi).. padahal faktor – faktor lain saling berinteraksi. Pemakaian
teori deterministik untuk mempermudah persoalan yang rumit,karena ia mengabaikan beberapa faktor.
Pendekatan ini sarat dengan kritik.

Garis besar teori Marx tentang konflik mencakup beberapa pokok bahasan : Penyebab konflik, siapa yang
konflik intensitas konflik dan penyelesaian konflik.

I. Apa penyebab terjadinya konflik.


Konflik terjadi karena faktor ekonomi ( determinasi ekonomi ). Yang dimaksud dengan
Faktor ekonomi disini adalah penguasaan terhadap alat produksi.
II. Siapa yang konflik ?
Konflik terjadi antara dua kelas (Borjuis dan Proletar ). Konflik ini bersifat mendalam dan sulit
diselesaikan. Perbedaannya bukan dalam cara hidup melainkan perbedaan dalam kesadaran kelas. Dalam
teori Marx eksistensi sosial menentukan kesadaran dan perbedaan kelas (kaya miskin) .Perbedaan ini
mencakup dalam materi dan psikologi. Perbedaan antara kelas borjuis dan kelas proletar tidak hany
terdapat pada cara hidup melainkan juga cara berfikir. Orang komunis menganggap penting kesadaran,
makanya mereka mementingkan sosialisasi dan indoktrinasi dan Brainwashing

Pola Konflik : Kelas sosial ----- Konflik ------ Revolusi.


Dalam konflik sosial kaum proletar tidak mau dan tidak bisa melepaskan diri . Mereka terpaksa dan
ditindas. Dalam paksaan dan penindasn ini hukum tidak dapat dijatuhkan kepada majikan

SUMBER KONFLIK SOSIAL

( Kuliah ke 4 ), referensi utama GIDDEN 43 –56

Sesuai dengan faham determinisme ekonomi yang dianut oleh Marx bahwa konflik hanya terjadi dalam
dunia Industri, sedangkan konflik yang lain merupakan perpanjangan tangan dari konflik yang terjadi
dalam dunia Industri. Dalam pandangan determinisme ekonomi bangunan infrastruktur ekonomi atau alat
produksi menentukan bangunan suprastruktur yang berupa politik dan pemerintahan. Dalam pandangan
Marx , konflik dimulai dari infrastruktur ekonomi kemudian menjalar ke supra-struktur. Teori
Infrastruktur yang mempengaruhi suprastruktur ini merupakan teori Ekonomi- politik Marx yang masih
relevan samapai sekarang.(MR)

Sumber Konflik

Sumber konflik itu sendiri dapat dikaji dari teori perjuangan kelas yang dikemukakan oleh Marx .
Menurutnya sejarah manusia itu dipenuhi oleh perjuangan kelas.antara kebebasan dan perbudakan
,bangsawan dan kampungan ,tuan dan pelayan,Kepala serikat pekerja dan tukang. Dengan kata lain posisi
penekan dan yang ditekan selalu bertentangan (konflik) dan tidak terputus.(The Manifesto dikutip dari
PPB A Suhelmi 269). Perjuangan kelas bersifat inheren dan terus menerus . Penekanan itu dapat berupa
penindasan . Marx juga melihat bahwa perkembangan selalu terjadi dalam konflik kelas yang terpolarisasi
antara kelas yang bersifat salaing menindas. Hubungan antara kelas ini menurut Marx akan menciptakan
Antagonisme kelas yang melahirkan krisis revolusioner. Revolusi yang dimaksud oleh Marx tentunya
bukan revolusi damai, melainkan revolusi yang bersifat kekerasan. (PBB A Suhelmi 270).Konflik terjadi
karena adanya penindasan yang dilakukan oleh kaum borjuis yang memiliki alat –alat produksi kepada
kaum proletar atau buruh yang bekerja untuk para borjuis dapat dijelaskan melalui “The Theory of
Surplus Value” . Teori ini secara singkat dapat diartikan sebagai sebuah perbandingan yang lebih rendah
antara gaji yang diterima buruh dibandingkan dengan tenaga yang disumbangkan untuk menghasilkan
suatu komoditi. Lalu mengapa buruh mau dengan gaji yang rendah itu ?. karena posisi tawar buruh
dibanding terhadap majikan sangan rendah. Untuk menghitung niali tenaga kerja dapat digunakan teory
Locke “Labor theory of value,untuk menentukan nilai suatu benda dapat dihitung dari nilai tenaga kerja
yang diserap oleh benda itu. Dengan kata lain semakin komoditi itu memerlukan tenaga kerja ,maka
semakin mahal komodity tersebut .Komodity = Bahan mentah + alat produksi + Buruh . Harga bahan
mentah dan alat produksi bersifat tetap. Sisa nilai tenaga kerja dengan niali buruh diambil oleh kaum
majikan sebagai keuntungan. Disinailah terjadinya penindasan dimana majikan memeras buruh karena
gaji yang dibayarkan oleh majikan kepada buruh itu hanya pas –pasan tidak wajar . dan ini bertentangan
dengan hak Azazi manusia . Dampak dari penindasan ini adalah terjadinya proses pemiskinan dalam
buruh, karena seberapapun keuntungan yang diterima majikan, gaji buruh akan tetap tidak naik. Dampak
penindasan adalaha menumpuknya modal ditangan para majikan .(MR). Akar konflik konflik juga
disebabkan oleh hubungan pemilikan dan penggunaan produksi aktif yang mengakibatkan ketimpabngan
dalam distribusi kekayaan dan produksi industrial .

Prinsip dasar teori Marx adala memberikan kepercayaan kepada orang miskin untuk dapa memperbaiki
diri sendiri.

Penindasan ini kahirnya akan menyebabkan frustasi dan keteransingan. Keterasingan ini selanjutnya akan
melahirkan revolusi proletariat. . Ada tiga macam keterasingan menurut F Magniz. S :
1. Keterasingan terhadap diri sendiri karena tidak bisa mengontrol labor.
2. Keterasingan dari komoditas yang dihasilkan karena, komoditas dikontrol oleh majikan.
3. Keterasingan dari masyarakat karena terpaksa bekerja

Kritik.

1. Teori bahwa sumber konflik hanya dari ekonomi, infrastruktur belum tentu berlaku universal.
2. Pendapat yang mengatakan bahwa gaji buruh tidak naik, tidak benar. Karena faktanya gaji naik. Jadi
revolusi seperti yang digambarkan marx tidak pernah terjadi. Bahkan pada abad ke 20 negara – negara
industri mengeluarkan peraturan perburuhan yang melindungi hak – hak buruh.
3. Marx juga “kacamata kuda “ dalam melihat sumber konflik dari determinasi ekonomi. Faktanya
Agama dan politik juga merupakan faktor determinatif dalam perubahan sosial. Nasionalaisme juga
menjadi akar dari perubahan sosial .
4. Marx juga tidak mampu menjelaskan “Strtifikasi sosial” atau terlalu menyederhanakan kelas.

Pengaruh teori Marx .

Pada th 70 , kelompo Neo Marx melahirkan teori “Dependensia”. Teori ini menyebutkan bahwa Dunia
ketiga selalu tergantung dengan negara maju. Jadi sebenarnya di dunia ketiga tidak pernah terjadi
pembangunan, yang ada adalah penindasan dari negara maju.

Sumberkonflik :
1) Eksploitatif antara pemilik modal dan dan pekerja :
2) Nilai lebih tidak dibagikan kepada buruh .Eksploitatasi dan menyebabkan frustasi .

Pada zaman Mark terjadi rvolusi Industri , terjadi urbanisasi, perobahan faktor produksi dari tanah
menjadi labour.

Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan
pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua
atau lebih kelompok. [5]. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas
kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. [5]

Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang
mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum
tradisional (yang memepertahankan praktek- praktek ajaran katolik pra- Konsili Vatican II) dan
gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan
wanita). [5]Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat
identitas kelompok Negara Arab dan Israel. [5]

Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan,
yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin
menajam. [5]Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat
dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. [5] Katup penyelamat
merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur. [5]

Contoh: Badan Perwakilan Mahasiswa atau panitia kesejahteraan Dosen. Lembaga


tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa
menghancurkan sistem tersebut.

Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang
terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan
yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan
yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan. [5]
2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang
antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu
pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya
melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat
maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan
kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka. [5]

Menurut Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap
permusuhan atau agresi. [5]

Contoh: Dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian
setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah yang menuntut
mereka untuk saling berhadapan di meja hijau. Masing- masing secara agresif dan teliti
melindungi kepentingan kliennya, tetapi setelah meniggalkan persidangan mereka
melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan masa lalu.

Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka
pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Coser
mennyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih saying yang sudah
tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang
mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya
dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. [6]. Hal ini tidak selalu
bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan
membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. [6]
Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang
membahayakan hubungan tersebut.
Contoh: Seperti konflik antara suami dan istri, serta konflik sepasang kekasih.

Coser [7]. Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam
suatu kelompok. [4] Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap
masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan
peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. [7]Bila konflik dalam kelompok
tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat.
Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan
yang sehat. [7] Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya
dalam pandangan negatif saja. [7] Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat
memperkuat struktur sosial. [7] Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan
konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan. [7]

TINJAUAN KONFLIK SOSIAL AMBON


BERDASARKAN TEORI KONFLIK KARL MARX *)
Posted by Zuryawan Isvandiar Zoebir pada 23 Mei, 2008

A.PENDAHULUAN

Sejak pemerintahan Soeharto mulai goyah pada pertengahan tahun 1997-an, masyarakat Indonesia
terus-menerus didera oleh berbagai konflik dan kerusuhan. Masyarakat Indonesia yang pernah berharap
bahwa pemerintahan demokratis yang dipilih oleh Sidang Umum MPR tahun 1999, akan segera
menciptakan stabilitas sosial, ekonomi, dan politik, harus menerima kenyataan terjadinya kondisi yang
lebih parah dengan melemahnya rupiah terhadap dolar. Ditambah lagi dengan maraknya kerusuhan yang
terjadi (misalnya di Ambon, Sambas, Poso, Matraman dan Glodok) serta kenyataan kekurangmampuan
alat negara untuk mencegah, mengeliminasi atau mengatasinya.

Apa yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik ini dan bagaimana menanggulanginya? Sebelum
menjawab pertanyaan ini, maka akan dibedakan ke dalam dua tipe konflik dengan sasaran golongan lain
dalam masyarakat, yang dianggap mengancam atau merongrong kepentingan, cara hidup atau identitas
golongan lain dan bersifat horinsontal. Pengidentifikasian kedalam dua tipe konflik ini yang didasarkan
kepada cerminan realitas sosial masyarakat Indonesia dewasa ini, diharapkan mempunyai implikasi yang
besar untuk memecahkan konflik-konflik ini.

Pertama, konflik yang didasarkan atas identitas agama, khususnya Islam dan Kristen, contohnya bisa kita
lihat di banyak daerah dari serentetan kerusuhan sosial yang dimulai di Jawa pada akhir zaman Soeharto
dan berlanjut hingga saat ini, salah satu contohnya adalah Ambon.

Kedua, konflik yang didasarkan kesenjangan ekonomi, pihak yang berkonflik adalah kelas atau kelompok
sosial ekonomi, termasuk kaum penganggur, buruh, petani, pedagang, pengusaha dan pejabat.

Dalam penyusunan makalah ini, permasalahan akan saya batasi hanya pada konflik yang terjadi di
Ambon, dan akan dicoba untuk melakukan suatu analisis terhadap apa yang melatarbelakangi terjadinya
konflik tersebut dan upaya atau solusi pemecahannya berdasarkan teori-teori konflik yang dikemukakan
oleh Karl Marx.
B.PERMASALAHAN

Konflik sosial ekonomi yang terjadi di Ambon antara warga Muslim—baik pribumi maupun pendatang,
yang perkonomiannya dianggap relatif baik karena rata-rata berprofesi sebagai pedagang serta tiga
puluh tahun terakhir lebih banyak berperan dalam pemerintahan—dan kelompok Kristen yang merasa
termarjinalisasi oleh keadaan-keadan tersebut, sebenarnya mempunyai sejarah yang panjang yang bisa
kita runut dimulai dari awal perkembangan kaum kapitalis modern pada jaman penjajahan Belanda.

Pengalaman masa demokrasi parlementer, menunjukkan betapa sulitnya menciptakan koalisi antarkelas
yang mampu berkuasa dan sekaligus mengelola ekonomi secara baik. Pada awal dasawarsa tahun 1950-
an, ekonomi Indonesia tumbuh sesaat sebagai akibat sampingan perang Korea, yang mendorong
pesatnya pertumbuhan permintaan suplai barang pada hampir semua perkonomian negara-negara Asia
Tenggara saat itu. Tetapi setelah itu, maraknya persaingan politik yang tak kunjung selesai dan kebijakan
pemerintah yang seringkali tidak tepat, berakhir dengan keruntuhan ekonomi Indonesia pada tahun
1965-1967.

Kebijakan ekonomi orde baru yang “terlihat” lebih baik—yang terindikasikan hanya melalui pertumbuhan
rata-rata diatas enam persen selama kurang lebih dalam kurun setengah abad—namun mengabaikan
hak-hak sipil dan politik rakyat serta maraknya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang
sangat kental dan tidak terkontrol, telah menyebabkan social cost yang sangat mahal berupa
keterpurukan perekonomian Indonesia untuk yang kesekian kalinya dan menyebabkan pula terjadinya
kerusuhan-kerusuhan di banyak tempat Indonesia, sebagai dampak dari tindak represi yang sangat ketat
yang dilakukan penguasa terhadap hak-hak rakyat. Tindakan represi yang berlebihan dari pemerintah
terhadap rakyat—dengan dalih untuk menciptakan stabilitas untuk mengamankan proses dan hasil-hasil
pembangunan—telah menyebabkan keharmonisan, kedamaian dan persatuan diantara anak bangsa
hanya terlihat di permukaan serta terlihat maya dan semu.

Politik penjajahan Belanda dengan membuat suatu segregasi terhadap penduduk Hindia Belanda kedalam
empat golongan : kelas bangsa Eropa, kelas bangsa pribumi beragama Kristen, kelas kelas bangsa Timur
Asing dan Pribumi non-Kristen, telah menyebabkan luka yang sangat mendalam dalam benak warga
Muslim Indonesia khususnya di Ambon, sementara saat tersebut warga Kristen hidup dengan relatif lebih
baik karena perlakukan yang “agak” istimewa oleh penjajah Belanda.

Hukum alam berlaku, melalui suatu penderitaan berkepanjangan yang diderita sebagaian warga Muslim
ternyata secara tidak langsung menyebabkan warga muslim lebih mampu untuk bertahan hidup sebagai
pedagang, ditambah dengan dorongan dari pedagang pendatang Muslim dari sekitar Maluku telah
menyebabkan mereka semakin survive dari waktu ke waktu.

Dunia berputar, ketika penjajahan hengkang dari bumi pertiwi dimulailah suatu babak baru hubungan
warga Muslim dan Kristen, kebijakan yang dijalankan rejim Soeharto dianggap oleh warga Kristen telah
memarjinalkan posisi mereka—suatu anggapan yang menurut saya keliru, oleh karena warga Muslim
telah memetik buah dari perjuangan mereka yang sangat sulit dimasa lalu dengan melahirkan pedagang
dan para intelektual yang relatif lebih banyak—baik dalam ekonomi maupun posisi mereka dalam
pemerintahan. Perbedaan-perbedaan ini telah menyulut kebencian diantara warga Kristen terhadap
warga Islam yang teredam selama rejim orde baru berkuasa.

Perbedaan-perbedaan tersebut oleh pemerintah orde baru dieliminasi melalui pendekatan keamanan
(security approach) yang sangat berlebihan, setiap kali terjadi ketegangan langsung diredam dan orang-
orang yang dianggap penggerak terjadinya konflik dikenakan sanksi yang berat, demikianlah seterusnya
keadaan ini terjadi selama kurang lebih tiga puluh tahun. Benih-benih permusuhan terpendam, yang
tampak di permukaan adalah kehidupan antar penduduk yang harmonis, yang saling harga menghargai—
setidak-tidaknya menurut penguasa pada waktu itu.
Penguasa pada waktu itu tidak menyadari, benih-benih dendam tersebut tidak akan terpupus begitu saja
—terlebih-lebih dengan dilakukannya pendekatan keamanan yang sangat intens—yang terjadi justru
adalah penumpukan dendam-dendam laten yang suatu ketika dipastikan meledak dengan sangat
dahsyat.

Pada bagian selanjutnya akan dibahas apakah sesungguhnya penyebab-penyebab konflik yang terjadi di
Ambon, apakah memang murni perbedaan-perbedaan pandangan agama antara Islam dan Kristen
ataukah kesan itu sebetulnya hanya merupakan akibat dari penyebab lain yaitu masalah ekonomi atau
material semata.

C.PEMBAHASAN

Teori-teori konflik pada umumnya memusatkan perhatiannya terhadap pengenalan dan penganalisisan
kehadiran konflik dalam kehidupan sosial, penyebabnya dan bentuknya, serta akibatnya dalam
menimbulkan perubahan sosial. Dapat dikatakan bahwa, teori konflik merupakan teori terpenting pada
saat kini, oleh karena penekanannya pada kenyataan sosial di tingkat struktur sosial dibandingkan di
tingkat individual, antarpribadi atau budaya. Sehingga konflik yang terjadi antara seorang warga Muslim
dan warga Kristen di Maluku, ditengarai bukanlah merupakan cerminan kebencian pribadi antara mereka,
melainkan lebih sebagai cerminan ketidaksesuaian atau oposisi antara kepentingan-kepentingan mereka
seperti yang ditentukan oleh posisi mereka dalam masing-masing kelompok agama mereka.

Diantara para perintis teori konflik, Karl Marx dipandang sebagai tokoh utama—dan yang paling
kontroversial—yang menjelaskan sumber-sumber konflik serta pengaruhnya terhadap peningkatan
perubahan sosial secara revolusioner. Marx mengatakan bahwa potensi-potensi konflik terutama terjadi
dalam bidang pekonomian, dan ia pun memperlihatkan bahwa perjuangan atau konflik juga terjadi dalam
bidang distribusi prestise/status dan kekuasaan politik.

Segi-segi pemikiran filosofis Marx berpusat pada usaha untuk membuka kedok sistem nilai masyarakat,
pola kepercayaan dan bentuk kesadaran sebagai ideologi yang mencerminkan dan memperkuat
kepentingan kelas yang berkuasa. Meskipun dalam pandangannya, orientasi budaya tidak seluruhnya
ditentukan oleh struktur kelas ekonomi, orientasi tersebut sangat dipengaruhi dan dipaksa oleh struktur
tersebut. Tekanan Marx pada pentingnya kondisi materiil seperti terlihat dalam struktur masyarakat,
membatasi pengaruh budaya terhadap kesadaran individu para pelakunya.

Terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang Marx tekankan, yang tidak dapat diabaikan oleh teori apa
pun yaitu antara lain adalah, pengakuan terhadap adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan
ekonomi yang saling bertentangan diantara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari
posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari
konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial, merupakan sesuatu hal yang sangat penting.

Marx lebih cenderung melihat nilai dan norma budaya sebagai ideologi yang mencerminkan usaha
kelompok-kelompok dominan untuk membenarkan berlangsungnya dominasi mereka. Selanjutnya,
mereka pun berusaha mengungkapkan berbagai kepentingan yang berbeda dan bertentangan yang
mungkin dikelabui oleh munculnya konsensus nilai dan norma. Apabila konsensus terhadap nilai dan
norma ada, para ahli teori konflik menduga bahwa konsensus itu mencerminkan kontrol dari kelompok
dominan dalam masyarakat terhadap berbagai media komunikasi (seperti lembaga pendidikan dan
lembaga media massa), dimana kesadaran individu dan komitmen ideologi bagi kepentingan kelompok
dominan dibentuk. Dalam konflik Ambon, Marx akan melihat bentuk-bentuk konsensus pela gandong
tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan upaya-upaya pihak yang dominan—dalam hal ini Islam—
untuk memaksakan pembenaran atas dominasi mereka dan pela gandong dipergunakan sebagai alat
untuk mengontrol keberadaan dominasi pihak-pihak yang “lebih” berkuasa. Selanjutnya, menurut teori
Marx munculnya pela gandong merupakan upaya-upaya mengelabui terjadinya kepentingan-kepentingan
yang saling bertentangan dengan mengangkat konsensus nilai dan norma pela gandong tersebut.

Marx mengakui pentingnya ideologi dan hubungan antara komitmen ideologi dan posisi dalam struktur
kelas ekonomi, ia juga menjelaskan secara mendalam mengenai bentuk-bentuk kesadaran dengan dan
dalam hubungannya dengan struktur ekonomi dan posisi kelas. Bagi non-Marxis hubungan antara
kepercayaan individu dan nilai disatu pihak adalah masalah empiris, dan bukan suatu hal yang ditentukan
atas suatu dasar filosofis. Sedangkan bagi Marx, validitas kepercayaan seseorang serta nilainya
ditentukan atas suatu dasar filosofis. Hal ini tercermin dalam pembedaan Marx antara “kesadaran palsu”
dan “kesadaran sesungguhnya”. Selanjutnya Marx berpendapat, bahwa orang-orang yang berada pada
posisi marjinal seperti buruh, tidak akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya melalui pekerjaannya
atau mereka tidak mampu untuk mengutarakan suatu bentuk jenis pekerjaan apapun yang bersifat
manusiawi. Oleh sebab itu, jika seorang pekerja terlihat sangat tekun dalam melaksanakan pekerjaannya,
dan tidak mempunyai keinginan untuk memprotes, serta tidak ingin terlibat dalam suatu perjuangan
revolusioner dalam memperbaiki nasibnya, menurut Marx hal ini jelas merupakan bukti kesadaran palsu.
Ini berarti bahwa pekerja seperti itu terasing atau diasingkan dari dirinya dan kebutuhan-kebutuhan
manusiawinya. Dalam konteks konflik Ambon, jika didasarkan pada teori konflik Marx , sangat jelas
terjadinya kondisi kesadaran palsu pada satu kelompok, dan secara nyata terlihat bahwa potensi-potensi
tindakan-tindakan pengklaiman golongan yang satu terhadap golongan yang lain, sangat diharamkan
terjadi dan dihambat serta ditindas oleh pemerintah orde baru sedini mungkin, sehingga terjadi suatu
kesadaran palsu yang timbul pada diri pihak-pihak yang termarjinalisasi (dalam hal ini pihak Kristen)
untuk tidak menentang terjadinya proses-proses pengkerdilan atas diri mereka tersebut, keadaan ini
menumpuk hingga selama 32 tahun, sehingga akhirnya berakhir melalui suatu “perjuangan revolusioner”
berupa kerusuhan untuk menghancurkan pihak-pihak lain yang dianggap dominan yaitu pihak Islam.
Sesungguhnya, kurangnya perjuangan revolusioner terbuka tidak perlu harus menunjukkan adanya
kesadaran palsu, oleh karena bisa jadi bahwa kondisi materiil tidak cocok untuk kegiatan seperti itu.
Demikian juga, orang-orang dari kelas subordinat pasti tidak bisa diharapkan untuk puas dengan posisi
kelasnya jika mereka mengetahui apa kebutuhan dan kepentingan mereka yang sesungguhnya sebagai
manusia.

Terlepas dari persoalan setuju atau tidak setuju terhadap teori Karl Marx, terdapat beberapa segi
kenyataan sosial yang ia tekankan yang tidak dapat diabaikan oleh teori apapun, antara lain adalah
pengakuan akan adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling
bertentangan di antara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi
terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam
menimbulkan perubahan struktur sosial. Dalam konflik Ambon keadaan ini jelas ada, yaitu pertentangan
ekonomi antara kelas-kelas yang relatif secara ekonomi mampu (kelompok Islam) dan kelompok Kristen
yang secara ekonomi dianggap marjinal—sekurang-kurangnya anggapan mereka sendiri. Dalam
keseharian, akan jelas terlihat nyata bahwa perbedaan gaya hidup mereka yang mampu dan yang
termarjinalisasi, akan menambah runcingnya perbedaan yang ada.

Saling ketergantungan antara tindakan individu dan kelompok yang bersifat harmonis, merupakan hasil
dari orientasi-orientasi nilai yang dianut bersama oleh pihak-pihak yang berinteraksi, dan dari kenyataan
bahwa penyesuaian diri dengan harapan-harapan pihak lain akan memenuhi kebutuhan masing-masing
pihak. Teori konflik Marx juga menerima kenyataan terdapatnya saling ketergantungan itu dalam
kehidupan sosial, namun secara umum Marx melihat bahwa adanya saling ketergantungan tersebut,
sesungguhnya merupakan rekayasa dari mereka yang menguasai sumber-sumber daya agar kemauannya
terhadap orang lain diikuti. Karena kendali mereka terhadap berbagai sumber daya itu, mereka yang
berada pada suatu posisi dominan mampu memberikan jaminan bahwa tindakan orang lain dipastikan
memberikan kontribusinya dalam mempertahankan struktur dimana mereka berkuasa. Singkatnya, yang
ada hanyalah faktor-faktor kepentingan dari mereka yang berada pada posisi dominan dan bukan nilai-
nilai yang dianut bersama oleh semua anggota sistem tersebut, menjelaskan pola-pola saling
ketergantungan yang ada. Lagi-lagi pela gandong yang merupakan konsep atau mekanisme penyadaran
bagi kelompok-kelompok yang berbeda agama dalam masyarakat Maluku agar dapat bersatu, hidup
berdampingan dengan damai. Maka bagi Marx, pela gandong merupakan konsep atau mekanisme
penciptaan ketergantungan dari orang-orang yang berada pada sudut subordinat kepada kelas yang
berkuasa. Pada segi ini, sangat jelas Marx-pun menuduh bahwa pihak penguasa (pemerintah pusat atau
daerah) dengan sengaja menciptakan atau paling kurang memfasilitasi terbentuknya mekanisme pela
gandong ini. Selanjutnya Marx menganggap bahwa pela gandong sesungguhnya merupakan suatu
mekanisme rekayasa dari mereka yang menguasai sumber-sumber daya (dalam hal ini Pemerintah dan
kelompok Islam), agar kemauannya terhadap kelompok lain diikuti dan tidak dibantah. Karena kelompok
Islam dianggap memegang kendali terhadap berbagai sumber daya itu, maka berdasarkan pandangan
Marx—yang serba pesimistik—ini, kelompok Kristen dipastikan memberikan kontribusinya dalam
mempertahankan struktur dimana mereka berkuasa.

Analisis Marx mengenai alienasi juga mengungkapkan posisi filosofisnya. Pada dasarnya, konsep ini
menunjuk pada perasaan dan keterasingan, khususnya yang timbul dari tidak adanya kontrol dari
seseorang atas kondisi kehidupannya sendiri. Marx menyatakan ada empat tipe alienasi : alienasi dari
proses produksi, dari produk yang dihasilkan oleh kegiatan individu, dari manusia lainnya, dan dari
dirinya sendiri. Menurut Marvin Seeman, alienasi dapat diukur secara empiris, jika hanya menunjuk pada
perasaan keterasingan individu (subyektif) dari diri sendiri atau orang lain tersebut, dengan kata lain
terjadi suatu keadaan kurangnya kontrol seseorang atas kondisi kehidupannya sendiri. Sedangkan Marx
bergerak lebih jauh dari ini, ia menunjuk kondisi-kondisi obyektif dari kelas pekerja dan dari majikan
kapitalis sebagai sesuatu yang sifatnya memang mengalienasi, tanpa menghubungkannya dengan reaksi
subyektif mereka atas kondisinya. Meskipun argumentasinya ini meyakinkan, khususnya dalam konteks
kehidupan pabrik pada abad ke sembilanbelas di Inggris, argumen-argumen itu melampaui tingkatan
empiris yang mengungkapkan nilai-nilai Marx sendiri serta premis-premis filosofisnya yang berhubungan
dengan kodrat manusia dan kebutuhan manusia yang mendasar. Juga sama seperti itu, pembedaan
sekarang ini antara Marxis dan non-Marxis mencerminkan pembedaan dalam posisi filosofis yang
mendasari serta asumsi-asumsi dasar yang tidak dapat dibuktikan atau tidak dapat dibuktikan secara
empiris. Asumsi serupa itu mendasari interpretasi tentang data empiris yang saling bertentangan.

D.PENUTUP

Sangat jelas bahwa dengan teori-teori yang sangat kontroversial dan pesimistik, Marx mencoba untuk
memberikan sumbangan bagi penanganan konflik-konflik yang terjadi di seluruh dunia. Konflik-konflik
yang ada menurut Marx bermuara pada ketimpangan terutama yang berlatarbelakang ekonomi,
terdapatnya kelas-kelas yang dominan dan kelas yang tertindas.

Bedasarkan teori Marx, maka konflik sosial yang terjadi di Ambon sesungguhnya merupakan konflik yang
berlatar kesenjangan ekonomi, antara kelas yang dianggap dominan dan kelas yang termarjinalkan.
Namun melalui provokasi-provokasi tertentu konflik ini menyamar sebagai konflik agama antara
kelompok Islam dan Kristen, padahal inti masalah sebenarnya adalah persaingan material, seperti yang
telah saya utarakan fakta sejarahnya dalam tulisan di muka.

Jika memang benar suatu konflik didasarkan perbedaan agama, maka menurut pendapat R. William
Liddle, kondisinya tidak terlalu serius dan obat yang paling mujarab untuk penyakit ini adalah kesabaran,
bukan suatu kebijakan baru. Hal yang terpenting adalah untuk tidak terlalu membesar-besarkan masalah
pertentangan agama di Indonesia. Dalam kenyataannya, penganut salah satu agama tidak akan
mengancam kepentingan, cara hidup atau identitas penganut agama lain. Lebih lanjut Liddle
mengemukakan, sebagai pengamat Indonesia, selama lebih dari 40 tahun, ia jarang menemui seorang
Islam atau Kristen yang ingin memaksakan kehehendaknya pada penganut agama lain. Dalam konteks
teori konflik Marx—seperti yang juga telah saya kemukakan di atas, perjuangan atau konflik juga terjadi
dalam bidang distribusi status dan kekuasaan politik —yang seringkali ditemukan adalah ketakutan dalam
dua versi, versi pertama adalah ketakutan orang Islam pada tujuan terselubung umat Kristen (misalnya
pada saat L.B. Murdani memimpin ABRI). Versi kedua adalah hal yang sebaliknya yaitu ketakutan orang
Kristen pada tujuan terselubung umat Islam (misalnya pada masa jayanya Masyumi atau ketika ICMI
mulai bangkit). Sehingga kesimpulannya adalah jika kedua belah pihak diberi kesempatan untuk berpoltik
secara sehat, dalam alam demokratis dengan pemilu bebas, ketakutan mereka yang berlebihan akan layu
dengan sendirinya.

Gejolak antar golongan yang berdasarkan kesenjangan ekonomi, tampaknya lebih memprihatinkan
dibandingkan konflik agama oleh karena kebijakan ekonomi pemerintah, akan berdampak langsung pada
tingkat kemakmuran 210 juta rakyat Indonesia. Kemajuan atau kemunduran ekonomi akan berdampak
besar pada kestabilan rejim demokrasi yang baru mulai dibangun di masa reformasi ini.

Jalan kekerasan seperti yang dilakukan pada rejim Soekarno dan Soeharto, seharusnya tidak
dipergunakan lagi di masa kini. Jikapun terpaksa dilakukan, biasanya dilakukan lebih merupakan
kebijakan terakhir (policy of the last resort) atau senjata pamungkas (ultimum remedium) yang hanya
dipakai jika lawan politik rejim yang berkuasa dianggap sudah tidak dapat diisolasi kembali atau terlalu
merongrong kewibawaan pemerintah.

Tantangan yang dihadapi Gus Dur, atau siapa saja yang menjadi presiden pada masa reformasi jelas
lebih rumit. Sebab Presiden sekarang tidak mempunyai alat-alat kekerasan yang kebal hukum, yang bisa
bertindak semena-mena seperti pernah dilakukan oleh ABRI sebagai alat dari pemerintahan otoriter.
Presiden kini hanya memiliki tiga alat utama untuk berpolitik : pengabsahannya sebagai presiden
demokratis, kebijakan ekonomi yang bisa menciptakan kemakmuran umum sebagai basis bagi dukungan
politik selanjutnya dan keterampilan taktis untuk menggalang dukungan tersebut.

Kegagalan para pemimpin partai pada masa demokrasi parlementer—yang tidak berhasil bertahan lama,
apalagi melestarikan demokrasi di Indonesia—sebabnya antara lain adalah mereka tidak tahu bagaimana
memanfaatkan alat-alat politik yang mereka miliki.

Para politisi yang berkuasa pada masa kini sekiranya memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang apa
yang harus mereka lakukan, terutama pemerataan di bidang ekonomi—berupa kesejahteraan rakyat—
dan partisipasi politik rakyat, yang menurut Marx terbukti merupakan faktor yang sangat penting dalam
mengeliminasi kemungkinan terjadinya konflik.

Namun terlepas dari teori Marx, dari uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu benang merah
yang perlu diperhatikan, yaitu : adanya aturan-aturan kapitalisme domestik dan global, merupakan suatu
kenyataan ekonomi universal yang tak terelakkan dan suatu kesempatan emas bagi Pemerintah
Indonesia untuk memakmurkan masyarakatnya sambil menciptakan stabilitas politik yang demokratis.
Diseluruh dunia, penantang kapitalisme dan pengabaian hak-hak politik rakyat, sudah kalah telak dan
tidak lagi menawarkan alternatif yang bisa dipercaya, bahkan Republik Rakyat Cina telah memberlakukan
sistem perekonomiannya menjadi kapitalis. Rupa-rupanya RRC belajar banyak dari peristiwa runtuhnya
Rusia, oleh karena telah melakukan kesalahan fatal dengan melakukan suatu “Big Jump” melalui Revolusi
Rusia pada paruh pertama abad ke-20 (±1917-an), dimana masyarakat Rusia yang pada saat tersebut
sebagian besar masih dalam tahapan Feudal Society ingin segera melompat (big jump) menuju scientific
communism society. Padahal Marx mengajarkan bahwa, perkembangan masyarakat harus melalui
tahapan-tahapan linier yang dimulai dari ancient communism society hingga menuju scientific
communism society, dimana sebelum menuju scientific communism, harus terlebih dulu melewati
tahapan Capitalist Society, suatu hal yang tampaknya dilakukan oleh RRC saat ini, dan selamat hingga
saat ini.

Sebagian besar aktivis dan pemikir “kiri” Indonesia, tampaknya bersikap acuh tak acuh terhadap
demokrasi serta berupaya sekuat mungkin melawan kapitalisme, baik dengan cara-cara halus maupun
cara-cara kasar. Kapitalisme dicela sebagai sebuah struktur ekonomi yang memungkinkan orang kuat
(konglomerat) mengalahkan orang lemah (buruh serta petani, pedagang dan pengusaha kecil) di dalam
negeri. Langkah terpenting sesungguhnya adalah menganggap lembaga-lembaga kapitalisme dan
demokrasi sebagai semacam floor (landasan) bukan ceiling (plafon). Ia merupakan—kalau bukan sebagai
syarat mutlak—kerangka yang paling berguna untuk membangun sebuah rumah nasional yang modern
pada jaman reformasi ini. Pemerataan kemakmuran dimungkinkan oleh pertumbuhan ekonomi,
khususnya penciptaan lapangan kerja, yang pada gilirannya kemungkinan besar akan dijalankan oleh
kapitalisme domestik dan internasional.

Hal itu tidak berarti bahwa pemerataan akan datang dengan sendirinya, seperti hujan dan langit
mendung. Ia harus diperjuangkan, antara lain melalui perumusan dan penyebaran ide-ide baru,
penggalangan kekuatan politik untuk untuk memenangkan ide-ide tersebut di tingkat legislatif dan
eksekutif pemerintahan, dan pelaksanaan yang efisien dan efektif oleh administrasi negara.

Akhirnya, agar para intelektual dan aktivis politik indonesia yang mendambakan pemerataan
kemakmuran dan demokrasi substantif, harus siap berdiri di garis depan dalam perjuangan ini. Masa
reformasi telah membuka banyak kesempatan untuk mencari ide-ide baru dan cara-cara baru untuk
mewujudkannya.

*)Makalah penulis saat menuntut ilmu pada Magister Manajemen Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

[1]Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Antar Golongan, Sumur Bandung, Cetakan ke-8, 1985

[2]Seeman, Marvin, On the Meaning of Alienation, dalam Johnson P.Doyle –terjemahan Robert M.Z.
Lawang,Gramedia, Jakarta, 1986

[3]Liddle, R., William, Menjawab Tantangan Masa Reformasi, Artikel Kompas, 8-9 Juni 2000

[4]Ibid

[5]Pendapat Thamrin Amal Tomagola, pada saat perkuliahan

[6]Ibid

*)Makalah penulis saat menuntut ilmu pada Magister Pembangunan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai