Gagal ginjal kronik adalah kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) atau penurunan faal ginjal yang
menahun dimana ginjal tidak mampu lagi mempertahankan lingkungan internalnya yang
berlangsung dari perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat yang berlangsung dalam
jangka waktu lama dan menetap sehingga mengakibatkan penumpukan sisa metabolik (toksik
uremik) berakibat ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan dan pemulihan fungsi lagi yang
menimbulkan respon sakit.1
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada
tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%),
diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus, hipertensi, obesitas,
perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus,
hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).1
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal
reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara
perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih
belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia,
badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah
30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolism fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan lain
sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran
napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo
atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antaralain natrium dan kalium. Pada LFG
dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal.
Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.2
Pada gagal ginjal kronis, gejala-gejalanya berkembang secara perlahan. Pada awalnya tidak ada
gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dari pemeriksaan
laboratorium.Pada gagal ginjal kronis ringan sampai sedang, gejalanya ringan meskipun terdapat
peningkatan urea dalam darah. Pada stadium ini terdapat nokturia dan hipertensi.2,9
Sejalan dengan perkembangan penyakit, maka lama kelamaan akan terjadi peningkatan kadar
ureum darah semakin tinggi.Pada stadium ini, penderita menunjukkan gejala-gejala:
Menurut Suhardjono (2001), manifestasi klinik yang muncul pada pasien dengan gagal ginjal
kronik yaitu:
Gangguan pada sistem gastrointestinal: Anoreksia, nausea, vomitus, Cegukan (hiccup)
Kulit: Kulit berwarna pucat, Gatal dengan ekskoriasi, Urea frost
Sistem Hematologi: anemia, trombositopenia
Sistem Kardiovaskuler: hipertensi, edema, nyeri dada
Kelainan neuropsikiatri: emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi
Sistem Endokrin: gangguan libido,gangguan metabolisme glukosa, lemak, dan vitamin D
Ganguan sistem lain: osteodistrofi renal, asidosis metabolik.
Diagnosis gagal ginjal kronik dapat ditegakkan baerdasarkan gejala klinis, meliputi: a) sesuai
penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, hipertensi, batu
traktus urinarius, hiperurikemia, SLE dan lain sebagainya. b). Sindrom uremia, yang terdiri dari
lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, pruritus, uremic
frost, perikarditis. c). Gejala komplikasi lainnya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi
renal, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida). Dari
pemeriksaan fisik didapatkan adanya kunjungtiva anemis, kulit pucat akibat anemia, ascites,
shifting dullnes, edema ekstremitas, ekskoriasi kulit akibat gatal karena toksin uremik. Dari
gambaran laboratorium meliputi: a) penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum
dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus Kockcroft-Gault.
b). Kelainan biokomiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam
urat, hiperkalemia, hipokalsemia, asidosis metabolik. d) kelainan urinalisis meliputi proteinuria,
hematuri, leukosuria. Pemeriksaan radiologis gagal ginjal kronik meliputi a) foto polos abdomen,
bisa tampak batu radio-opak. b) pielografi antegrad atau retrograd. c) Ultrasonografi ginjal bisa
memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau
batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi d) renografi bila ada indikasi.
Berikut ini akan dilaporkan kasus dari seorang pasien penyakit Gagal Ginjal kronik e.c.
Hipertensi dalam kondisi akut.
KASUS
Seorang pasien perempuan, umur 43 tahun, suku jawa, ibu rumah tangga, alamat di Karaga,
Karawang. Masuk Rumah Sakit (MRS) pada tanggal 10 Januari 2011 dengan keluhan utama
sesak napas sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit.
Dari anamnesa di dapatkan keluhan sesak napas sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Sesak tidak dipengaruhi oleh hawa dingin, debu, maupun aktivitas. Selain itu pasien juga
merasakan lemas sejak 2 minggu smrs. Rasa lemas dirasakan setiap waktu pada seluruh tubuh,
terutama di kaki. Pasien juga mengaku sulit tidur. Pasien mengaku sering merasa mual, rasa
mual ini tidak disertai dengan muntah, nafsu makan menurun. Selain itu pasiem merasa perutnya
cepat kenyang dan kembung. Pasien menyatakan dalam satu tahun terakhir terjadi perubahan
pola buang air kecil, pasien mengaku air seni yang keluar hanya sedikit-sedikit, tidak terasa perih
dan panas, dan pasien tidak merasa anyang-anyangan. Selain itu pasien merasakan kedua
kakinya menjadi bengkak. Bengkak pada kedua kakinya terutama saat sore hari dan setelah
beraktivitas, berangsur kembali normal setelah pasien istirahat pada pagi hari. Selama ini pasien
sering mengeluh sakit kepala yang disertai rasa kaku pada tengkuk dan sakit kepala ini akan
mereda jika pasien minum obat pereda sakit kepala. Pasien mengaku belum pernah mengalami
sakit seperti ini sebelumnya. Pasien juga mengaku tidak pernah memeriksa tekanan darahnya.
Pasien tidak memiliki riwayat kencing manis, penyakit jantung ataupun penyakit ginjal. Pasien
memiliki kebiasaan minum obat warung paramex untuk mengurangi sakit kepala dan dalam satu
tahun terakhir pasien sering mengkonsumsi minuman soda agar air seni yang keluar lebih
banyak.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang, kompos mentis, tinggi
badan 165 cm, berat badan 65 kg, tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 96 kali/ menit kuat dan
teratur, respirasi 24 kali/menit, suhu badan 36,5º C, konjungtiva anemis, sclera tidak ikterik,
tidak sianosis, tonsil T1: T1 mukosa hiperemis, trakea lurus di tengah, tidak ada kaku kuduk,
tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening leher. Pada
pemeriksaan toraks (depan) : inspeksi simetris, tidak ada retraksi sela iga, tidak ada spider nevi,
tidak ada benjolan, toraks (belakang) : gerak nafas simetris, tidak ada deformitas, vertebra lurus
di tengah, paru : fremitus suara kiri sama dengan kanan, batas paru-hepar setinggi ICS IV linea
mid clavicularis kanan, batas paru-lambung setinggi ICS VI linea axilaris anterior kiri, sonor
kiri dan kanan, suara pernafasan vesikuler, tidak ada ronchi, tidak ada wheezing, jantung: Ictus
cordis tampak pada ICS V 2 cm lateral mid clavicula kiri Pada perkusi batas jantung kanan di
ICS IV linea sternalis kanan, batas jantung kiri di ICS V 2 cm lateral mid clavicula kiri, batas
jantung atas di ICS III linea para sternalis kiri. Pada auskultasi jantung didapatkan bunyi jantung
I dan II regular, tidak terdengar bunyi murmur dan tidak terdengar bunyi gallop. Abdomen
buncit, lemas, ascites (+), shifting dullness (+), hepar dan lien tidak teraba, tidak ditemukan
pekak berpindah, tidak ada nyeri tekan, bising usus normal. Pada ektremitas bawah didapatkan
adanya edema.
Pemeriksaan laboratorium Hb 10,2 g/dl, Hematokrit 30%, Eritrosit 2,29juta/mm 3, Lekosit
7.800/mm3 , Trombosit 98 ribu/mm3, GDS 131 mg/dl, protein total 5,93 g/dl, albumin 3.19 g/dl,
globulin 2.74 g/dl, SGOT 65 ui/l, SGPT 39 ui/l, kolesterol total 186 mg/dl, trigliserida 190
mg/dl, ureum 352 mg/dl, kreatinin 17,9 mg/dl, asam urat 8,2 mg/dl, CCT 2,18 ml/mnt natrium
146, kalium 7,2, khlorida 108. Asidosis metabolik. Urinalisis: protein positif, eritrosit positif.
Pemeriksaan serologi HBs AG negative.
Dari pemeriksaan X-ray foto toraks didapatkan kesan jantung dan paru dalam batas normal.
Pemeriksaan USG memperlihatkan kesan insufisiensi renal.
Penatalaksanaan: tirah baring, balance cairan, Diet rendah protein 0,6-0,8/kg/ hari dan garam <5
g/hari, pasang kateter urin, dipasang infus RL 10 tetes/menit, Ceftriaxone 2 x 1amp (IV),
Ranitidin 2x1 amp (IV), Primperan 3 x 1 amp (IV), Lasix 1x 2 amp (IV), Bicnat 3x1 tablet,
CaCo3 3x1 tablet, Folic Acid 3x1 tablet, Curcuma 3 x 1 tablet, Nifedipin 3x 10 mg, Alprazolam
1x 0.5 mg. Hari kedua sampai ketiga perawatan pasien masih mengeluh mual, sesak berkurang,
perut kembung, BAK sedikit (< 400 cc/ hari), tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 88 kali/menit
kuat dan teratur, respirasi 24 kali/menit, suhu badan 36,7 º C, ascites (+), shifting dullness (+),
kedua kaki bengkak. Pasien disarankan untuk melakukan Hemodialisa. Hari keempat perawatan
pasien setuju untuk hemodialisa dan pasien dikonsulkan ke bagian Anestesi untuk pemasangan
double lumen dan selanjutnya pasien menjalani hemodialisa yang dilakukan seminngu dua kali.
Hari perawatan kelima sampai kedelapan keluhan mual sudah tidak ada, kembung sudah
berkurang, bengkak pada kaki berkurang, tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 84 / menit kuat dan
teratur, respirasi 20 kali/menit, suhu badan 36,8 º C. Hasil pemeriksaan laboratorium : Hb 9,8
g/dl, Hematokrit 29%, Eritrosit 2.95 juta/mm3, Lekosit 7800/mm3, Trombosit 99.000/mm3,
ureum 258 mg/dl, kreatinin 12,8 mg/dl, urin 500 cc/ 24jam. Hari perawatan kedelapan pasien
menjalani hemodialisa yang kedua. Terapi lain masih dilanjutkan. Hari perawatan kesebelas dan
keempat belas pasien menjalani hemodialisa yang ketiga dan keempat dan keluhan kembung
sudah tidak ada, acsites berkurang, bengkak pada kedua kaki berkurang.
DISKUSI
Pasien didiagnosis sebagai acute on chronic renal akut berdasarkan gejala-gejala klinis gagal
ginjal kronik yang didapatkan pada pasien, antara lain; sesak, mual, lemas, perut kembung,
nafsu makan menurun, insomnia, BAK sedikit. Gejala ini merupakan sindroma uremik sesuai
dengan gejala klinis dari gagal ginjal kronik dimana gejala ini timbul akibat dari proses
penurunan fungsi nefron yang progresif sehingga terjadi peningkatan ureum darah.
Pada gagal ginjal, gangguan kemampuan ginjal mengekskresi ion H dan mereabsorbsi
bikarbonat, mengakibatkan peningkatan jumlah ion H dalam tubuh dan penurunan bikarbonat.
Keadaan ini menyebabkan asidosis metabolik. Agaknya gejala anoreksia, mual, dan lemas yang
ditemukan pada pasien uremia, sebagian disebabkan oleh asidosis. Salah satu gejala yang sudah
jelas akibat asidosis adalah takipneu atau pernapasan kussmaul. Pernapasan kussmaul adalah
pernapasan yang dalam dan berat dalam rangka kompensasi tubuh terhadap asidosis dengan
membuang CO2.
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang ditemukan yaitu adanya hipertensi (TD: 150/90 mmHg)
hal ini terjadi karena pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi structural dan
fungsionla nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibtakan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus. Pada pasien juga ditemukan adanya ascites (+), shifting dullness (+) dan udem pada
kedua tungkai. Hal ini sesuai dengan gejala gagal ginjal kronik dimana terdapat bendungan
cairan yang disebabkan adanya gangguan keseimbangan air dan elektrolit (Na, K) oleh karena
penurunan fungsi ginjal.
Pada pemeriksaan laboratorium darah lengkap, ditemukan nilai hemoglobin yang berada di
bawah normal, 10,2 gr/dL yang menunjukkan bahwa pasien menderita anemia. Selain itu
terdapat penurunan jumlah trombosit 77.000/mm3. Keadaan Anemia ini menunjukkan adanya
gangguan sistem hemopoesis yaitu terganggunya proses eritropoesis yang disebabkan oleh
defisiensi eritropoitin. Anemia ini yang menyebabkan pasien merasa lemas. Anemia normositik
dan normokromik yang khas selalu terjadi pada sindrom uremik. Pada pasien terjadi
peningkatan Kalium 7.2 mmol/l. Hipokalemia akan muncul pada gagal ginjal kronik dini yang
menyertai poliuria, sedangkan pada gagal ginjal kronik tahap akhir, oligouria menyebabkan
hiperkalemia.
Terdapat adanya peningkatan ureum darah (352 mg/dl) dan kreatinin (17,9 mg/dl) hal ini
merupakan pendukung diagnosis gagal ginjal kronik karena ureum dan kreatinin hanya
dihasilkan oleh ginjal dan akan meningkat pada keadaan gagal ginjal kronik. Selain itu terdapat
penurunan CCT yaitu 2,18 ml/ menit. Dimana jika terdapat penurunan CCT dibawah 25 ml/ mnt
hal ini menegakkan diagnose gagal ginjal.
Dari anamnesa pasien suka mengeluh sakit kepala yang disertai rasa kaku pada tengkuk keadaan
ini menunjukkan kemungkinan adanya hipertensi pada pasien yang merupakan faktor resiko dan
etiologi dari gagal ginjal kronik. Dimana diketahui 20% dari etiologi gagal ginjal kronik adalah
hipertensi. Hipertensi dan gagal ginjal membentuk suatu lingkaran setan. Hipertensi dapat
menyebabkan gagal ginjal, sebaliknya gagal ginjal kronik dapat menimbulkan hipertensi. Karena
alasan inilah, terkadang seorang ahli nefrologi kadang mengalami kesulitan dalam menentukan
mana yang primer. Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan struktur
pada arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi dinding pembuluh darah.
Organ sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal, dan mata. Pada ginjal, arteriosklerosis akibat
hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis. Gangguan ini merupakan akibat langsung iskemia
karena penyempitan lumen pembuluh darah intrarenal. Penyumbatan arteri dan arteriol akan
menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak.
Terjadilah gagal ginjal kronik.
Perubahan faal ginjal (LFG) bersifat individual untuk setiap pasien GGK, lama terapi
konservatif bervariasi dari bulan sampai tahun.
1.1.1. Jumlah protein hewani perhari untuk pasien gagal ginjal kronik
Terapi diet rendah proteun (DRP) berdasrkan rekomendasi dari Raimund
(1988) tergantung dari beberapa faktor antara lain :
c.GGK tingkat lanjut (LFG antara 5-25 ml per min per 1.73 m2 )
o Tujuan:
Tujuan utama untuk mencegah keseimbangan negatif nitrogen.
Nitrogen free amino acid analog (keto acid) mengalami transaminase
dalam berbagi organ tubuh seperti otot skelet, hati, usus dan ginjal,
menjadi asam amino esesnsial yang bebas dari nitrogen.
- karbohidrat dan lemak (sumber energi) tidak batasi seperti orang normal
(kelompok pasien GGK tingkat sedang dan stadium terminal/ gagal ginjal terminal)
mencegah dehidrasi osmotik yang akan memperburuk faal ginjal (LFG) terutama
pada kelompok pasien GGK dengan kecenderungan natriuresis misalnya penyakit
ginjal polikistik, scarring pyelonephritis , dan nefropati urat kronik.
memelihara status optimal
mengeliminasi toksin azotemia.
Pasien kelompok GGK dengan LFG ≤ 5 ml per hari dan sindrom nefrotik dapat
diberikan diuretika untuk memperlancar diuresis, misal furosemide. Takaran furosemide
40-80 mg per hari, dapat dinaikkan 40 mg per hari (interval 2 hari) sampai jumlah takaran
maksimal 3 gram per hari.
- Hipertensi berat
- Glomerulopati
- Gagal ginjal terminal tanpa ginjal (anephric)
- Penyakit jantung kongesti
GGK yang tidak membutuhkan pembatasan garam dapur:
- Tindakan profilaktik
- Tindakan terapeutik
Bikarbonat
- Tindakan profilaktif
Hiperfosfatemia
- Tindakan profilaktik
2. Terapi simptomatik
Terapi simptomatik yang sering diberikan pada gagal ginjal kronik(GGK):
a. Suplemen alkali.
Suplemen alkali efektif untuk mencegah dan terapi asidodis metabolik
-Larutan shöhl
-Kalsium karbonat
b. Terapi alkali
Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segara diberikan intravena, bila pH ≤
7.35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
2.2. Anemia
2.2.1. Anemia normokrom normositer
Anemia ini berhubungan dengan retensi toksin polyamine dan defisiensi
hormon eritropoeitin (ESF = eryhtropoietic stimulating factors)
Glomerulopati primer & sekunder selalu disertai retensi Na+ dan air.
Terapi pilihan:
a. Diuretika
b. Ultrafiltrasi.
2.4. Hipertensi
Hipertensi ringan, sedang dan berat tergantung dari penyakit ginjal dasar
(underlying renal disease). Hampir 80 % hipertensi pada GGK berhubungan
dengan retensi natrium ( Na+) dan tergolong volume dependent hypertensi.
b. Tipe Vasokonstriktor
Program terapi:
Inisiasi terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala azotemia dan
malnutrisi. Tetapi terapi dialisis terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap
akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Keputusan untuk inisiasi terapi
dialisis berdasarkan pertimbangan klinis dan parameter biokimia. Tidak jarang
persentase klinik retensi dan akumulasi toksin azotemia tidak sejalan dengan
gangguan biokimia.
Indikasi absolut :
- perikarditis
- ensephalopati atau neuropati azotemik
- bendungan paru dari kelebihan cairan yang tidak responsive dengan
diuretik
- hipertensi refrakter
- mutah persisten
- BUN > 120mg% dan kreatinin > 10mg%
Indikasi elektif :
- LFG (formula Kockcroft-Gault) antara 5 dan 8 mL/m/1,73m2
Mual, anoreksia, muntah dan astenia berat.
Nonmedikamentosa
- Bedrest ( Karena aktifitas yang berat menyebabkan perfusi darah ke ginjal
berkurang 20%)
- Balanca cairan
Pada GGK harus balance cairan dan bukan pembatasan cairan karena :
Medikamentosa
- infus RL dengan tujuan sebagai pelarut obat-obatan yang digunakan secara
intravena dan untuk membantu keseimbangan cairan dan elektrolit pasien.
- Hipertensi
Vasodilator: Tidak nefrotoksik, tidak mempengaruhi elektrolit, dalam kasus ini bisa
diberikan Nifedipin 3 x 10 mg.
Mengatasi oedem dan hipertensi dengan diuretik yaitu furosemid dosis besar (250 –
1000 mg/hari).
- Anemia
Karena penyebab utama adalah eritropoetin yang rusak ( eritropoesis terganggu,
eritrosit turun maka terapinya adalah transfusi PRC). Namun pada pasien hanya
diberikan asam folat dikarenakan HB pada pasien 10 g/dl (belum indikasi untuk
transfusi).
- Infeksi
Pemberian antibiotik yang aman (tidak nefrotoksik),
- injeksi primperan yang berguna sebagai anti nausea dan vomiting, ranitidine yang
bekerja sebagai antagonis reseptor H2 yang berguna untuk menghambat produksi
asam lambung yang dapat menimbulkan gejala mual
RINGKASAN
Telah dilaporkan kasus acute on chronic renal failure pada seorang pasien perempuan, 43 tahun,
yang dirawat di bagian Ilmu penyakit dalam RSAL Mintohardjo Jakarta selama 16 hari. Selama
perawatan, pasien mendapatkan terapi berupa terapi konservatif dan obat-obatan suportif dimana
pada monitoring, keadaan pasien menunjukkan adanya kemajuan/perbaikan secara klinis. Pada
hari ketujuh belas perawatan pasien diperbolehkan pulang namun pasien diminta untuk rutin
melakukan hemodialisa dua kali dalam seminggu, selain itu pasien juga diberikan obat untuk
diminum secara rutin yaitu: lasix tablet, CaCo3 tablet, bicnat, folic acid, nifedipin.