Disusun oleh:
Handrianto 0510714007
Pembimbing:
Malang
2010
BAB 1
LATAR BELAKANG
Glaukoma berasal dari kata Yunani yang bearti hijau kebiruan yang memberikan kesan
warna tersebut pada pupil penderita glaukoma (Ilyas S. 2006). Penyakit glaukoma sendiri
bermaksud penyakit mata dengan kerusakan papil nervus optikus yang ditandai dengan
penggaungan papil nervus optikus (ekskavasi) dan lapang pandang yang menyempit,
disebabkan tekanan intraocular yang meningkat (Vaughan, 2000). Meskipun glaukoma sering
dikaitkan dengan peningkatan tekanan intraokular namun penyakit ini dapat pula terjadi dengan
tekanan intraokular tetap normal. Walaupun kenaikan tekanan intra okuli adalah salah satu dari
faktor resiko primer, ada atau tidaknya faktor ini tidak mengubah definisi penyakit (Ilyas, 2006;
Herman, 2010). Meskipun begitu, tekanan intraokular merupakan satu- satunya faktor resiko
dari glaukoma yang dapat dimodifikasi sehingga menurunkan progresifitas dari penyakit ini.
Pada sebagian besar penderita, glaukoma terjadi akibat peningkatan intraokular oleh
karena adanya sumbatan pada sirkulasi atau drainase aqueus. Pada beberapa pasien,
kerusakan bisa disebabkan oleh suplai darah yang tidak adekuat ke serabut saraf optik vital,
kelemahan struktur saraf dan atau adanya masalah pada serabut saraf itu sendiri. Glaukoma
merupakan penyakit yang gambaran utamanya adalah kerusakan nervus optikus yang semakin
lama semakin berat. Penyakit ini sering disebut sebagai "silent thief of sight" karena onsetnya
yang tidak jelas dan perkembangannya yang progresif menyebabkan pasien mengalami
kebutaan permanen (Herman, 2009).
Primary Open Angle Glaucoma (POAG) merupakan glaukoma yang paling sering
ditemui dan biasanya pada orang dewasa. Suatu glaukoma primer yang ditandai dengan sudut
bilik mata terbuka. POAG juga dikenali sebagai glaukoma kronik simpleks (Ilyas S, 2006).
Glaukoma ini diagnosisnya dibuat bila ditemukan glaukoma pada kedua mata pada
pemeriksaan pertama, tanpa ditemukan kelainan yang dapat merupakan penyebab (Ilyas S,
2006). Glaukoma jenis ini mempunyai respon yang baik terhadap obat-obatan dan harus
digunakan seumur hidup, jika kerusakan saraf penglihatan masih dalam tahap awal (Jelita R.
2010).
1.2 Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan survei WHO pada tahun 2000, dari sekitar 45 juta penderita kebutaan, 16%
diantaranya disebabkan karena glaukoma, dan sekitar 0,2 % kebutaan di Indonesia disebabkan
oleh penyakit ini. Sedangkan survei Departemen Kesehatan RI 1982-1996 melaporkan bahwa
glaukoma menyumbang 0,45 atau sekitar 840.000 orang dari 210 juta penduduk penyebab
kebutaan. Kondisi ini semakin diperparah dengan pengetahuan dan kesadaran masyarakat
yang rendah akan bahaya penyakit ini (Cahyono, 2008; Mohammad, 2008). Prevalensi
kebutaan di Indonesia masih sangat tinggi dengan penyebab utamanya yaitu katarak (0,78%),
glaukoma (0,2%), kelainan refraksi (0,14%) dan beberapa penyakit yang berhubungan dengan
lanjut usia (0,38%). (Siswono, 2008; Eman, 2008)
Berdasarkan perkiraan WHO, tahun 2000 ada sebanyak 45 juta orang di dunia yang
mengalami kebutaan. Sepertiga dari jumlah itu berada di Asia Tenggara. Untuk kawasan Asia
Tenggara, berdasarkan Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1993-
1996 menunjukkan angka kebutaan di Indonesia sekitar 1,5 % dari jumlah penduduk atau
setara dengan 3 juta orang. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibanding Bangladesh (1%), India
(0,7%), dan Thailand (0,3%). Jumlah penderita kebutaan di Indonesia meningkat, disebabkan
oleh meningkatnya jumlah penduduk, meningkatnya usia harapan hidup, kurangnya pelayanan
kesehatan mata dan kondisi geografis yang tidak menguntungkan (siswono, 2008; Eman,
2008).
Prevalensi kebutaan untuk semua jenis glaukoma diperkirakan mencapai 5,2 juta orang,
dengan 3 juta orang disebabkan oleh glaukoma primer sudut terbuka. Glaukoma
bertanggungjawab atas 15 % penyebab kebutaan, dan menempatkan glaukoma sebagai
penyebab kedua kebutaan di dunia setelah katarak (AAO, 2003). Prevalensi glaukoma primer
sudut terbuka menunjukkan keterkaitan ras. Pada orang kulit putih dengan usia di atas 40 tahun
prevalensi glaukoma sekitar 1,15 dan 2,1% dan prevalensi pada orang kulit hitam enam kali
lebih besar. Prevalensi glaukoma primer sudut terbuka meningkat seiring meningkatnya usia,
data menunjukkan populasi dengan usia dekade ke-7 lebih beresiko tujuh sampai delapan kali
dibanding usia dekade ke-4 (AAO, 2003). Kebutaan yang ditimbulkan glaukoma bersifat
irreversible, maka diperlukan deteksi, diagnosa, dan penanganan sedini mungkin untuk
mencegah terjadinya kehilangan penglihatan total (Herman, 2009).
Meskipun setiap orang beresiko menderita glaukoma, glaukoma lebih sering terjadi
pada usia di atas 40 tahun. Beberapa faktor resiko lain untuk terjadi glaukoma selain
peningkatan usia adalah, individu dengan faktor genetik positif dalam keluarga, misalnya orang
tua atau saudara kandung mempunyai riwayat glaukoma atau riwayat kebutaan, resiko
terjadinya glaukoma meningkat 3 kali lipat. Adanya penyakit metabolik seperti hipertensi, resiko
glaukoma meningkat menjadi 80% dan penyakit kencing manis, resiko meningkat 2 kali lipat
berbanding individu normal lain. Selain itu, kelainan refraksi yang ekstrim pada mata seperti
myopia yang berat dapat mendasari terjadinya glaukoma. Resiko terjadinya glaukoma juga
dapat meningkat dengan adanya riwayat trauma pada mata sebelumnya, baik trauma direct
blow maupun trauma pasca bedah. Pada penggunaan steroid jangka panjang juga, dapat
meningkatkan resiko terjadinya glaukoma 3 kali lipat. Tekanan bola mata yang tinggi, > 21
mmHg dan asimetri tekanan intraokular antara kedua mata dapat meningkatkan resiko 5 kali
lipat, selain itu asimetri cup disc ratio antara kedua mata juga dapat berpengaruh terjadinya
glaukoma.(Nurfifi, 2008)
Cairan aqueus adalah cairan jernih yang diproduksi korpus siliaris mengisi bilik mata
depan dan belakang, volumenya sekitar 250µL dan kecepatan pembentukannya yang
bervariasi diurnal antara 1,5-2 μL/ menit, kemudian mengalir antara lensa dan iris, dan melalui
pupil. Cairan ini membawa oksigen, glukosa dan nutrisi lainnya ke kamera okuli anterior (COA).
Cairan aqueus keluar dari COA melalui jalinan trabekula Meshwork menuju kanal Schlemm’s
dan disalurkan ke dalam sistem vena. Sekitar 90% aliran cairan aqueus dikeluarkan melalui
jaringan trabekulum dan sebagian kecil lainnya akan melalui struktur lain, yaitu jalur uveosklera
pada segmen anterior hingga mencapai ruangan suprakoroid. Untuk selanjutnya akan keluar
melalui sklera yang intak atau saraf maupun pembuluh darah yang memasukinya (James dkk,
2006).
Glaukoma sudut terbuka ditandai dengan sudut bilik mata depan yang terbuka, tetapi
kemampuan jalinan trabekula untuk mengalirkan cairan aqueus menurun (Herman, 2010).
Gambaran patologik utama pada glaukoma sudut terbuka primer adalah proses degeneratif di
jaringan trabekular, termasuk pengendapan bahan ekstrasel di dalam jalinan dan di bawah
lapisan endotel kanalis Schlemm. Hal ini berbeda dari proses penuaan normal. Akibatnya
adalah penurunan drainase humor akueus yang menyebabkan peningkatan tekanan intraokular
(Vaughan, 2000).
Efek dari peningkatan tekanan intraokular dipengaruhi oleh waktu dan besarnya
peningkatan tekanan tersebut (kanski, 2003; Vaughan 2000). Pada glaukoma primer sudut
terbuka, TIO biasanya tidak mencapai di atas 30 mmHg dan kerusakan sel ganglion retina
berlangsung perlahan, biasanya dalam beberapa tahun (Vaughan, 2000).
Mekanisme kerusakan neuron pada glaukoma sudut terbuka primer dan hubungannya
dengan tingginya tekanan intraokular sendiri masih diperdebatkan. Teori-teori utama
memperkirakan adanya perubahan-perubahan elemen penunjang structural akibat tekanan
intraokular di saraf optikus setinggi lamina kribrosa atau di pembuluh yang memperdarahi ujung
saraf optikus (Vaughan, 2000).
Glaukoma pada umumnya akan menimbulkan gejala dan tanda berupa kelainan lapang
pandang. Kelainan ini pada tahap awal dapat berupa skotoma relatif atau absolut. yang
berbentuk bercak atau arkuata yang terletak pada daerah 30 derajat sentral, yang dapat meluas
ke perifer, bersatu dengan bintik buta dan membentuk skotoma glaukoma yang khas (Vegan,
2010).
Manifestasi kedua berupa penggaungan dan degenerasi dari papil saraf optik. Hal ini
dapat disebabkan faktor-faktor seperti gangguan pendarahan pada papil yang menyebabkan
degenerasi serabut saraf pada papil nervus optikus (gangguan terjadi pada cabang-cabang
sirkulus Zinn-Haller). Diduga gangguan ini disebabkan oleh peninggian tekanan intraokular.
Tekanan intraokular yang tinggi secara mekanik menekan papil nervus optikus yang merupakan
lokus minoris pada bola mata. Bagian tepi papil nervus optikus relatif lebih kuat daripada bagian
tengah, sehingga terjadilah penggaungan pada papil nervus optikus. Ekskavasi glaukomatosa
harus dicurigai pada luas penggaungan yang lebih dari 0,3 diameter papil. Hal ini perlu lebih
diberi perhatian apabila diameter vertikal lebih besar daripada diameter horizontal. Hal lain yang
mendukung kecurigaan adalah penggaungan papil yang asimetris antara mata kanan dan kiri.
Pada beberapa orang, tanda pertama dari peningkatan tekanan intraokular dapat
berupa hilangnya fungsi penglihatan secara mendadak karena terjadi blok pada bagian sentral
dari vena sentralis yang disebut Oklusi Vena Retina Sentral (CRVO). Peningkatan tekanan
intraokular merupakan faktor resiko kedua yang umum dari CRVO setelah tekanan darah tinggi.
CRVO ini dapat menyebabkan hilangnya fungsi penglihatan secara terpisah dari POAG (Bell,
2010).
Faktor resiko POAG meliputi:
• Myopia
Dari faktor resiko berikut, peningkatan tekanan intraokular merupakan faktor resiko
utama pada glaukoma yang harus segera dirawat secara berkelanjutan. Karena alasan ini,
pemeriksaan mata secara rutin pada optalmologis sangat penting untuk mencegah kerusakan
saraf optikus karena tekanan intraokular tinggi (Bell, 2010).
1. Tonometri
Pemeriksaan untuk mengukur tekanan intraokular. Selain dengan jari (tonometer digital),
dikenal juga beberapa jenis tonometer lain untuk memeriksa TIO, yaitu tonometer shiotz,
tonometer aplanasi Goldman, tonometer Mackay-Marg, dan Pneumatotonometer. Tonometer
aplanasi yang lain selain Goldman dapat berupa tonometer perkin dan TonoPen.
2. Gonioskopi
Dengan lensa gonioskopi, dapat dilihat keadaan sudut bilik mata yang dapat
menimbulkan glaukoma, juga dapat dilihat apakah ada perlekatan iris bagian perifer.
Dengan gonioskopi kita bisa menentukan seberapa jauh penyempitan sudut yang terjadi
pada suatu glaukoma.
• Grade 0 : Sudut antara iris dan kornea tertutup, Bisa dilihat dari tidak tampaknya
Schwalbe's line
• Grade I : Sudut antara iris dan kornea sebesar 10°, bisa dilihat dari masih
tampaknya Schwalbe's line
• Grade II : Sudut antara iris dan kornea sebesar 20°, bisa dilihat dari tampaknya
gambaran Trabecular Meshwork Anterior
• Grade III : Sudut antara iris dan kornea sebesar 30°, bisa dilihat dari tampaknya
gambaran scleral spur
• Grade IV : Sudut antara iris dan kornea sebesar 40°, bisa dilihat dari tampaknya
korpus siliaris
Dari grading tersebut, grade 0-I menunjukkan resiko tinggi, grade II menunjukkan
resiko sedang, dan grade III-IV menunjukkan resiko ringan (Bell, 2010)
3. Oftalmoskopi
Alat untuk melihat bagian dalam mata atau fundus okuli. Dibedakan kepada
ophtalmoskop langsung dan tidak langsung. Yang harus diperhatikan adalah papil, yang
mengalami perubahan penggaungan dan degenerasi nervus optikus. Harus diwaspadai adanya
glaukoma apabila terdapat penggaungan >0,3 diameter papil (Cup and Disc Ratio), terutama
bila diameter vertikal lebih besar dari diameter horizontal dan peninggian TIO yang signifikan.
Pemeriksaan visus perifer secara kasarnya adalah dengan tes konfrontasi dimana pada
jarak 0,5 m, pasien dan pemeriksa saling berhadapan dan pemeriksa menggerakkan tangannya
dari luar kedalam sedang mata pasien dan pemeriksa yang saling berhadapan ditutup sebelah.
Pasien memperhatikan kapan gerak tangan mata itu mulai terlihat, dan diulangi sampai tercapai
360 derajat.pemeriksaan ini dapat dikerjakan dengan catatan lapang pandang pemeriksa harus
normal.
5. Tes provokasi
Untuk glaukoma sudut terbuka, yang umum dilakukan adalah tes minum air (water
drinking test) di mana pasien puasa 4 jam sebelum tes dan diukur TIO (Tekanan Intraokular)
awal, kemudian pasien disuruh minum 1 liter air dalam waktu 5 menit. TIO diukur setiap 15
menit selama 1 jam, kemudian setiap 30 menit selama 1 jam. Bila TIO ↑ ³8 mmHg, provokasi
(+) glaukoma.
Untuk glaukoma sudut tertutup, yang umum dilakukan adalah tes kamar gelap (karena
pupil akan midriasis dan pada sudut bilik mata yang sempit, ini akan menyebabkan tertutupnya
sudut bilik mata). Caranya adalah ukur TIO awal, kemudian pasien masuk kamar gelap selama
60-90 menit. Ukur segera TIO nya. Kenaikan ³8 mmHg, tes provokasi (+) glaukoma.
6. Biomikroskopi
Untuk menentukan kondisi segmen anterior mata, dengan pemeriksaan ini dapat
ditentukan apakah glaukomanya merupakan glaukoma primer atau sekunder.
Alat ini berguna untuk mengukur ketebalan serabut saraf sekitar papil saraf.
8. Fluorescein angiography
Medikamentosa
a. Supresi pembentukan cairan aqueus : Penghambat adrenergik beta (timolol maleat 0,25%
dan 0,5%. Betaxolol 0,25% dan 0,5%, dan lain – lain), dan carbonic anhydrase inhibitor
(asetazolamid). Obat- obat ini bekerja dengan cara menurunkan produksi cairan aqueus.
b. Fasilitasi aliran keluar cairan aqueus : Prostaglandin analog, obat parasimpatomimetik, dan
epinephrin.
c. Pengurangan volume vitreus: Obat-obat hiperosmotik. Obat ini mengubah darah menjadi
hipertonik sehingga air tertarik keluar dari vitreus dan menyebabkan penciutan vitreus. Selain
itu juga terjadi penurunan produksi aqueous humour. Contoh obat ini adalah glycerin
(glycerol), isosorbit oral, urea intravena dan manitol intravena (Harpreet, 2010).
Terapi Laser
Sumbatan pupil paling baik diatasi dengan membentuk komunikasi langsung antara
kamera anterior dan posterior sehingga beda tekanan antara keduanya menghilang. Hal ini
dapat dicapai dengan laser neodinium: YAG atau argon (iridektomi perifer atau dengan tindakan
bedah iridektomi perifer. Walaupun lebih mudah dilakukan, terapi laser memerlukan kornea
yang relatif jernih dan dapat meningkatkan tekanan intraokular yang cukup besar, terutama
apabila terdapat penutupan sudut akibat sinekia luas (Vaughan, 2000).
b. Trabekuloplasti laser
Penggunaan laser (biasanya argon) untuk menimbulkan luka bakar melalui suatu genio
lensa ke jalinan trabekular dapat mempermudah aliran keluar humous akueus karena efek luka
bakar tersebut pada jalinan trabekular dan kanalis schlemm serta terjadinya proses-proses
seluler yang meningkatkan fungsi jalinan trabekular (Harpreet,2010).
c. Cyclophotocoagulation
Jika obat-obatan dan terapi laser gagal untuk mengontrol tekanan intraokular secara
adekuat, maka pembedahan incisional konvensional akan dilakukan. Operasi filtering paling
umum adalah trabeculotomy
• Trabeculotomy
Operasi ini biasanya dilakukan setelah beberapa kali usaha trabeculotomy gagal.
Pada operasi ini, optalmologis menempatkan selang pada anterior chamber untuk
mengalirkan aqueus humour.
Metode ini merupakan cara terakhir dan dilakukan pada orang-orang yang
tekanannya tetap tinggi meskipun telah menerima pengobatan atau tindakan operasi.
Pada prosedur ini, optalmologis menggunakan laser untuk menghancurkan bagian
korpus siliaris, untuk membatasi produksi aqueus humour. Tekanan intraokular akan
berkurang karena cairan yang diproduksi pada mata lebih sedikit.
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas
Nama : Ny. A
Register : 1092xxxx
Usia : 42 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Riwayat pengobatan:
- Tidak didapatkan riwayat pemakaian jamu-jamuan, tapi pasien sering minum pil
untuk asam urat
Foto Pasien
Funduskopi:
- Fundus reflex: +/+
- Papil nervus II: bulat +/+, tegas +/+, C/D ratio: 0,9/ 0,9
Gonioskopi:
IV IV
IV IV IV IV
IV IV
I S N T I S N T
SL + + + + SL + + + +
TM + + + + TM + + + +
IR + + + + IR + + + +
SS + + + + SS + + + +
PI - PI
G G
Pemeriksaan Lab
3.5 Diagnosa
3.6 Terapi
- Glaukon 2x 250mg
- KSR 1x1
- KIE Biometri
- KIE Perimetri
- Keluhan subjektif
3.8 KIE
- Menjelaskan tentang pengaruh hipertensi dan gula darah yang tinggi pada perjalanan
penyakit glaukoma
- Menggalakkan pasien untuk berolah raga dan mengingatkan pasien untuk tidak minum
air dalam jumlah banyak untuk masa yang singkat
3.9 Prognosis
- Visam : dubia ad malam
- Sanam : dubia ad malam
- Vitam : dubia ad bonam
- Kosmetik : dubia ad malam
BAB 4
PEMBAHASAN
Glaukoma adalah penyebab kebutaan kedua setelah katarak. Glaukoma lebih sering
terjadi pada umur di atas 40 tahun. Primary Open Angle Glaucoma merupakan glaukoma yang
paling sering ditemui dan biasanya pada orang dewasa.
Dari anamnesa, pasien berumur 42 tahun, dengan didapatkan gejala-gejala glaukoma
primer sudut terbuka yaitu penurunan penglihatan bertahap, pandangan yang menyempit, dan
gambaran halo. Didapatkan riwayat silau (+).
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan visus ODS masing-masing 2/60, ditemukan jaringan
fibrovaskular di celah kelopak bagian nasal sampai dengan tepi limbus, edema kornea, lensa
yang keruh tipis, dan tidak didapatkan kelainan pada posisi bola mata, gerak bola mata,
palpebra, kamera okuli anterior, iris dan pupil.
Dari pemeriksaan penunjang yaitu tonometri shiotz, didapatkan tekanan bola mata yang
meningkat yaitu mata kanan 50 mmHg dan mata kiri 46, 9 mmHg. Dari funduskopi, ditemukan
media yang keruh, penggaungan CDR sebesar 0,9 pada masing-masing mata. Dari
pemeriksaan gonioskopi yang dilakukan pada pasien ini, didapatkan hasil yang positif pada
semua pemeriksaan (Schwabe line, trabekular meshwork, iris root, sclera spur) kecuali pada
pigmen dan PAS, (peripheral anterior synechiae), hasilnya negatif.
Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang terhadap pasien
dapat disimpulkan diagnosa kerja ODS POAG + Katarak Buratto Grade I + Pterigium Grade I.
Penggaungan yang terjadi pada papil nervus optikus adalah disebabkan fenomena yang
dinamakan optic-nerve cupping, yaitu suatu proses penipisan yang progresif dari neuroretinal
rim. Penipisan ini terjadi karena hilangnya sel axon ganglion retina, bersama sama dengan glia
pendukung dan vaskularisasinya (Kwon, 2009).. Pada glaukoma sudut terbuka processus iridis,
scleral spur, garis Schwalbe, dan trabecular meshwork seluruhnya terlihat dengan jelas.
Jika garis Schwalbe dan trabecular meshwork hanya terlihat sedikit berarti glaukoma termasuk
sudut sempit. Jika garis Schwalbe tidak dapat dilihat sama sekali, berarti glaukoma sudut
tertutup. Sedangkan untuk pemeriksaan penunjang lain, pada pasien ini diusulkan untuk
dilakukan pemeriksaan perimetri dan biometri. Perimetri adalah suatu pemeriksaan untuk
mengukur lapang pandang terutama daerah sentral dan parasentral. Pemeriksaan biometri pula
adalah untuk melihat ketebalan lensa. Pada pasien ini ditetapkan target TIO sebesar 18 mmHg
masing-masing mata. Dalam manajemen pasien glaukoma, dokter harus berusaha untuk
mencapai rentang stabil dari TIO yang terukur untuk menghindari kerusakan nervus optikus
lebih jauh. Batas atas dari limit dipertimbangkan sebagai “target pressure”. Tekanan target
bervariasi pada tiap pasien sehingga pada pasien yang sama memerlukan penyesuaian seiring
perjalanan penyakit. Ketika memulai terapi, ahli mata mengasumsikan bahwa rentang tekanan
yang terukur pada saat sebelum pengobatan telah memberi kontribusi pada kerusakan nervus
optikus dan mempunyai kemungkinan menyebabkan kerusakan lebih jauh di masa yang akan
datang. Target pressure permulaan yang dipilih harus setidaknya 20% dibawah TIO sebelum
pengobatan, tergantung pada penemuan klinis. Pada umumnya jika terdapat kerusakan yang
lebih lanjut maka target pressure saat mulai terapi harus lebih rendah lagi. Selama follow up
tujuh tahun pasien dari the Advanced Glaucoma Intervention Study dimana TIO selalu dibawah
18 mmHg mempunyai progresi hilangnya lapangan pandang yang minimal (Reza, 2010).
Pada katarak, kemungkinan terjadi gangguan proses akomodasi lensa yang mengalami
katarak dan perubahan daya biasnya akibat hilangnya transparasi lensa. Klasifikasi katarak
yang lebih sederhana untuk memperkirakan densitas kekerasan nukleus, yaitu seperti yang
dikemukakan Burrato dan kawan-kawan. Klasifikasi katarak menurut Burrato adalah seperti
berikut: Gred 1: FR (+), visus lebih dari 6/12, nukleus lunak, lensa tampak sedikit keruh dengan
warna agak keputihan dan usia kurang dari 50 tahun, gred II: FR (+), visus 6/12 hingga 6/30,
nukleus sedikit keras dan tampak sedikit kekuningan, tampak seperti katarak subkapsular
posterior, gred III: FR (-), visus 6/30 hingga 3/60, nukleus agak keras, warna kekuningan dan
korteks abu-abu, gred IV: FR (-), visus 3/60 hingga 1/300, nukleus keras warna kuning
kecoklatan dan usia lebih 65 tahun dan gred V: FR (-), visus kurang dari 1/300, nukleus sangat
keras, bewarna coklat kehitaman, dan usia lebih 65 tahun. Sehingga pada pasien ini, dapat
disimpulkan kataraknya masih gred I.
Dari segi terapi, katarak hanya dapat diatasi melalui prosedur operasi. Operasi
dilakukan apabila tajam penglihatan sudah menurun sedemikian rupa sehingga mengganggu
pekerjaan sehari-hari. Akan tetapi jika gejala katarak tidak mengganggu, tindakan operasi tidak
diperlukan. Kadang kala cukup dengan mengganti kacamata. Hingga saat ini belum ada obat-
obatan, makanan, atau kegiatan olah raga yang dapat menghindari atau menyembuhkan
seseorang dari gangguan katarak. Sehingga untuk pasien ini, tidak ada sebarang
penatalaksanaan untuk kataraknya.
Sedangkan untuk masalah pterigium pada pasien ini, juga tidak dilakukan sebarang
penatalaksanaan. Ini atas alasan pterigium nya masih gred I dan tidak mengganggu visual axis.
Klasifiksi gred pterigium adalah gred I: puncak pterigium pada limbus, gred II: puncak pterigium
terletak pada kurang dari ½ jari-jari, gred III: puncak pterigium lebih dari ½ jari-jari dang red IV:
puncak pterigium sudah di atas pupil. Biasanya disarankan untuk mengangkat pterigium pada
gred III, tapi kadang-kadang pada gred II pun sudah diangkat atas indikasi kosmetik.
Prognosis pada pasien ini tidak baik. Apabila terdeteksi dini, sebagian besar
pasien glaukoma dapat ditangani dengan baik secara medis. Tanpa pengobatan, glaukoma
sudut terbuka dapat berkembang secara perlahan sehingga akhirnya menimbulkan kebutaan
total. Apabila obat tetes antiglaukoma dapat mengontrol tekanan intraokular pada mata yang
belum mengalami kerusakan glaukomatosa luas, prognosis akan baik (walaupun penurunan
lapangan pandang dapat terus berlanjut walaupun tekanan intraokular normal). Pada pasien ini
glaukoma baru terdiagnosis saat sudah terjadi penyempitan lapang pandang berupa tunnel
vision, suatu keadaan yang mengindikasikan sudah terjadi kerusakan yang berat pada diskus
optikus.
BAB 5
PENUTUP
1. Glaukoma dapat mengenai semua usia tapi paling sering usia di atas 40 tahun. POAG
adalah tipe glaukoma yang paling sering ditemukan.
2. Terdapat beberapa faktor yang diduga terlibat dalam terjadinya glaukoma, antara lain:
a. Usia
b. Genetik
c. Hipertensi, Diabetis mellitus
d. Kelainan refraksi yang ekstrim
e. Trauma pada mata
f. Penggunaan jangka panjang obat yang mengandung steroid
g. TIO yang tinggi, > 21 mmHg
h. Asimetri TIO dan CDR kedua mata
3. Patofisiologi glaukoma adalah: 1) produksi cairan aqueus yang berlebihan dari korpus
siliaris, sedangkan pengeluaran pada jalinan trabekular dan kanalnya normal, 2) hambatan
aliran pada pupil sewaktu cairan aqueus melewati kamera okuli posterior ke kamera okuli
anterior, dan 3) pengeluaran di sudut bilik mata terganggu
4. Penegakan diagnosa POAG berdasarkan anamnesis (kadang tanpa gejala, penciutan
lapang pandang), pemeriksaan fisik (berkurangnya ketajaman visual) dan pemeriksaan
penunjang (perimetri, tonometri, oftalmoskop, biomikroskopi, gonioskopi, OCT, fluorescein
angiography dan stereophotogrammetry of the optic disc).
5. Penatalaksanaan glaukoma meliputi terapi medikamentosa, laser dan bedah dengan
indikasi, kontraindikasi dan efek samping masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
1. AAO, 2003. Johns JK, Feder SR, Hamill BM . BCSB : Lens and Cataract. Section 10.
San Fransisco USA : AAO
6. Ilyas S, 2006. Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006. Halaman
205-221
8. James B, dkk, 2006. Anatomi dalam Oftalmologi. Edisi IX.Erlangga.Jakarta 2006; 1-17
10.Kanski, Jack J. 2003. Clinical Ophtalmology. King Edward VII Hospital. Windsor, UK.
11.Mohammad, 2008. Glaukoma masih awam di mata masyarakat. (online) http://
www.surabaya-ehealth.org.htm Diakses tanggal 9 Oktober 2010
15.Vaughan, Daniel. 2000. Oftalmologi Umum. Alih bahasa, Jan Tambayong; Editor Joko
Suyono. Edisi 14. Jakarta : Widya Medika. Hal 220-236.
16.Vegan, 2010. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Glaukoma.(online)
http://drvegan.wordpress.com/2010/07/31/diagnosis-dan-pemeriksaan-penunjang-
glaukoma/ Diakses tanggal 9 Oktober 2010