Dampak Pembangunan Kota Dan Modal Sosial
Dampak Pembangunan Kota Dan Modal Sosial
Cungki Kusdarjito1
Yogyakarta selama ini dikenal sebagai kota budaya sekaligus kota pendidikan
Sebagai kota budaya dan pendidikan, Yogyakarta banyak menghasilkan karya seni dan
terhadap pemikiran baru dan dapat mengakomodasi masyarakat luar dengan berbagai
latar belakang budaya, suku dan agama yang berbeda. Setidaknya sampai dengan tahun
80-an kita masih dapat melihat masyarakat Yogyakarta yang santun, ramah dan
multidimensi tahun 1997. Tindak kekerasan oleh beberapa kelompok pemuda sering
terjadi. Selain itu, kita bisa melihat perilaku masyarakat Yogyakarta dalam berlalu lintas
melalui perubahan modal sosial pada masyarakat akibat proses pembangunan yang
Secara umum, modal sosial adalah norma dan jejaring (networks) dalam
masyarakat berdasarkan pada saling kepercayaan (trust), kejujuran, dan saling tolong-
memahami hubungan modal sosial dengan tingkat kohesi dalam masyarakat dapat dilihat
dari kondisi modal sosial yang bersifat horisontal maupun vertikal. Modal sosial yang
bersifat horisontal berkaitan dengan hubungan yang bersifat bonding (mengikat) dan
1
Pengamat pengembangan wilayah dan integrated development, Universitas Janabadra Yogyakarta
1
bridging (menjembatani). Bonding menunjukkan relasi antara anggota keluarga, teman
dekat, tetangga satu kampung atau kelompok yang memiliki kesamaan sedangkan
bridging menunjukkan koneksitas antara beberapa orang yang bersifat lebih longgar dan
heterogen. Bonding bersifat eksklusif, melihat kedalam (inward looking), rawan konflik
dan cenderung korup. Sebaliknya, bridging bersifat inklusif, lebih melihat keluar
(outward looking) dan melibatkan orang-orang di luar kelompoknya. Modal sosial secara
vertikal berkaitan dengan kondisi sosiopolitik yang membentuk norma dan struktur
masyarakat seperti pemerintah, pasar (market), hukum, sistem peradilan dan kebebasan
politik dan hak-hak sipil. Kohesi modal sosial secara vertikal disebut sebagai linkage.
mengakibatkan modal sosial yang bersifat vertikal melemah. Adanya masyarakat madani
pada pemerintahan yang lemah akan menghasilkan sikap asal mencela (nihilisme) dan
kondisi kebingungan dalam masyarakat (anomy). Pemerintah yang lemah juga dengan
bersifat bridging berangsur digantikan oleh modal sosial yang bersifat bonding.
akumulasi modal ekonomi sehingga modal sosial yang bersifat bridging akan melemah
2
lahan baru (salah satunya adalah karena motif ekonomi para pengembang), atau membuat
interaksi antara penghuni lama dan baru sehingga dapat memunculkan insularisasi (Ilya F
diubah menjadi ruang-ruang publik yang sarat kepentingan ekonomi. Akibatnya interaksi
sosial dari berbagai golongan masyarakat dengan latar belakang sosial dan ekonomi yang
berbeda tidak dapat berlangsung efektif (Heru Nugroho, Kompas 22 September 2005).
Toko grosir besar (big box atau hypermarket) terjun dalam bisnis eceran sehingga
2005).
bersifat bridging. Hal ini terjadi karena pendukung mekanisme pasar cenderung
memandang sistem ekonomi maupun produk budaya tradisional sebagai sesuatu yang
kota. Akibat lebih lanjut, pengakumulasian modal ekonomi berdasar mekanisme pasar
cenderung akan menghancurkan modal sosial dan budaya yang telah dimiliki suatu
masyarakat mengakibatkan hilangnya ikatan yang bersifat bridging menjadi ikatan yang
bersifat bonding. Masyarakat merasa lebih nyaman berkumpul dengan kelompok yang
senasib dan sejenis kelas sosial maupun ekonominya dalam lingkup yang sempit. Hal ini
3
dilakukan oleh mereka baik yang diuntungkan maupun dirugikan oleh adanya mekanisme
pasar.
Pelemahan bahkan hilangnya modal sosial yang bersifat bridging diikuti dengan
pembentukan modal sosial yang bersifat bonding dalam jumlah masif dapat berakibat
terjadinya eksploitasi satu kelompok masyarakat terhadap masyarakat yang lainnya, yang
oleh Kusdarjito (2005) disebut sebagai bentuk chicken society (analogi dengan ayam jago
yang mengeksploitasi ayam sayur, salah satu bentuk model non zero-sum game).
Pembentukan chicken society akan semakin kuat jika tidak ada penegakan hukum yang
efektif karena hukumpun telah menjadi komoditas ekonomi. Masyarakat berbuat baik
hanya jika berada di kelompoknya (misalnya turut bergotong royong) karena takut
disisihkan oleh anggota masyarakat lainnya. Begitu keluar dari kelompoknya, seseorang
akan berbuat sewenang-wenang, seperti perilaku berlalu lintas maupun korupsi karena
tidak takut akan adanya pembalasan ataupun sangsi hukum. Jika hal ini terjadi terus-
menerus, chicken society yang korup, eksploitatif, eksklusif dan rentan konflik akan