Anda di halaman 1dari 4

Dampak Pembangunan Kota terhadap Modal Sosial: Chicken Society

Cungki Kusdarjito1

Yogyakarta selama ini dikenal sebagai kota budaya sekaligus kota pendidikan

Sebagai kota budaya dan pendidikan, Yogyakarta banyak menghasilkan karya seni dan

melahirkan tokoh budayawan dan ilmuwan. Masyarakat Yogyakarta cukup terbuka

terhadap pemikiran baru dan dapat mengakomodasi masyarakat luar dengan berbagai

latar belakang budaya, suku dan agama yang berbeda. Setidaknya sampai dengan tahun

80-an kita masih dapat melihat masyarakat Yogyakarta yang santun, ramah dan

berbudaya. Meskipun demikian, akhir-akhir ini masyarakat Yogyakarta justru

menunjukkan sikap yang tidak berbudaya, khususnya semenjak terjadinya krisis

multidimensi tahun 1997. Tindak kekerasan oleh beberapa kelompok pemuda sering

terjadi. Selain itu, kita bisa melihat perilaku masyarakat Yogyakarta dalam berlalu lintas

sangat memprihatinkan. Mengapa perubahan tersebut dapat terjadi di kota yang

menyebut dirinya sebagai pusat kebudayaan Indonesia tampaknya dapat dijelaskan

melalui perubahan modal sosial pada masyarakat akibat proses pembangunan yang

dilakukan di Yogyakarta akhir-akhir ini.

Secara umum, modal sosial adalah norma dan jejaring (networks) dalam

masyarakat (Woolcox, 2001) yang dapat mendorong terjadinya kerjasama dalam

masyarakat berdasarkan pada saling kepercayaan (trust), kejujuran, dan saling tolong-

menolong serta hubungan timbal-balik yang terus-menerus (Fukuyama, 1999). Untuk

memahami hubungan modal sosial dengan tingkat kohesi dalam masyarakat dapat dilihat

dari kondisi modal sosial yang bersifat horisontal maupun vertikal. Modal sosial yang

bersifat horisontal berkaitan dengan hubungan yang bersifat bonding (mengikat) dan
1
Pengamat pengembangan wilayah dan integrated development, Universitas Janabadra Yogyakarta

1
bridging (menjembatani). Bonding menunjukkan relasi antara anggota keluarga, teman

dekat, tetangga satu kampung atau kelompok yang memiliki kesamaan sedangkan

bridging menunjukkan koneksitas antara beberapa orang yang bersifat lebih longgar dan

heterogen. Bonding bersifat eksklusif, melihat kedalam (inward looking), rawan konflik

dan cenderung korup. Sebaliknya, bridging bersifat inklusif, lebih melihat keluar

(outward looking) dan melibatkan orang-orang di luar kelompoknya. Modal sosial secara

vertikal berkaitan dengan kondisi sosiopolitik yang membentuk norma dan struktur

masyarakat seperti pemerintah, pasar (market), hukum, sistem peradilan dan kebebasan

politik dan hak-hak sipil. Kohesi modal sosial secara vertikal disebut sebagai linkage.

Bagaimana kondisi modal sosial di Yogyakarta? Secara vertikal, modal sosial di

Yogyakarta dipengaruhi oleh kondisi di tingkat nasional. Pemerintahan dan penegakan

hukum yang lemah di tingkat nasional akibat pergantian kepemimpinan berkali-kali

mengakibatkan modal sosial yang bersifat vertikal melemah. Adanya masyarakat madani

pada pemerintahan yang lemah akan menghasilkan sikap asal mencela (nihilisme) dan

kondisi kebingungan dalam masyarakat (anomy). Pemerintah yang lemah juga dengan

mudah dikendalikan oleh pasar.

Secara horisontal, modal sosial masyarakat Yogyakarta yang semula banyak

bersifat bridging berangsur digantikan oleh modal sosial yang bersifat bonding.

Pergeseran tersebut salah satunya diakibatkan oleh kecenderungan perkembangan kota

Yogyakarta yang dikendalikan oleh mekanisme pasar. Berbagai kasus mengindikasikan

bahwa pembangunan di Yogyakarta dikendalikan oleh mekanisme pasar untuk tujuan

akumulasi modal ekonomi sehingga modal sosial yang bersifat bridging akan melemah

bahkan hilang. Sebagai contoh, pembangunan pemukiman dilakukan dengan membuka

2
lahan baru (salah satunya adalah karena motif ekonomi para pengembang), atau membuat

enclave (kantong-kantong) pemukiman baru di wilayah pemukiman lama tanpa adanya

interaksi antara penghuni lama dan baru sehingga dapat memunculkan insularisasi (Ilya F

Maharika, Kompas 17 September 2005). Ruang-ruang publik milik masyarakat banyak

diubah menjadi ruang-ruang publik yang sarat kepentingan ekonomi. Akibatnya interaksi

sosial dari berbagai golongan masyarakat dengan latar belakang sosial dan ekonomi yang

berbeda tidak dapat berlangsung efektif (Heru Nugroho, Kompas 22 September 2005).

Toko grosir besar (big box atau hypermarket) terjun dalam bisnis eceran sehingga

mematikan pedagang tradisional dan UKM (Budi Wahyuni, Kompas, 10 September

2005).

Pembangunan kota yang dikendalikan pasar dapat memperlemah hubungan yang

bersifat bridging. Hal ini terjadi karena pendukung mekanisme pasar cenderung

memandang sistem ekonomi maupun produk budaya tradisional sebagai sesuatu yang

dapat menghambat proses pembentukan modal ekonomi. Akibatnya, proses alienasi

(alienation) dan eliminasi sektor tradisional lebih mendominasi daripada proses

transformasi dan integrasi antara sektor modern-tradisonal dalam proses pembangunan

kota. Akibat lebih lanjut, pengakumulasian modal ekonomi berdasar mekanisme pasar

cenderung akan menghancurkan modal sosial dan budaya yang telah dimiliki suatu

masyarakat. Ketersingkiran ruang dan sektor yang sebelumnya merupakan milik

masyarakat mengakibatkan hilangnya ikatan yang bersifat bridging menjadi ikatan yang

bersifat bonding. Masyarakat merasa lebih nyaman berkumpul dengan kelompok yang

senasib dan sejenis kelas sosial maupun ekonominya dalam lingkup yang sempit. Hal ini

3
dilakukan oleh mereka baik yang diuntungkan maupun dirugikan oleh adanya mekanisme

pasar.

Pelemahan bahkan hilangnya modal sosial yang bersifat bridging diikuti dengan

pembentukan modal sosial yang bersifat bonding dalam jumlah masif dapat berakibat

terjadinya eksploitasi satu kelompok masyarakat terhadap masyarakat yang lainnya, yang

oleh Kusdarjito (2005) disebut sebagai bentuk chicken society (analogi dengan ayam jago

yang mengeksploitasi ayam sayur, salah satu bentuk model non zero-sum game).

Pembentukan chicken society akan semakin kuat jika tidak ada penegakan hukum yang

efektif karena hukumpun telah menjadi komoditas ekonomi. Masyarakat berbuat baik

hanya jika berada di kelompoknya (misalnya turut bergotong royong) karena takut

disisihkan oleh anggota masyarakat lainnya. Begitu keluar dari kelompoknya, seseorang

akan berbuat sewenang-wenang, seperti perilaku berlalu lintas maupun korupsi karena

tidak takut akan adanya pembalasan ataupun sangsi hukum. Jika hal ini terjadi terus-

menerus, chicken society yang korup, eksploitatif, eksklusif dan rentan konflik akan

terbentuk di kota Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai