Anda di halaman 1dari 3

TIDAK ADA KESALAHAN GRAMATIK DALAM AL-QURAN:

SEBUAH JAWABAN UNTUK ULIL ABSHAR ABDALA

Anwar Ma'rufi

Dalam sebuah esei yang ditulis oleh Ulil dengan judul Adakah Kesalahan
Gramatik dalam Al-Quran?:Beberapa Observasi Berdasarkan Laporan Al-Suyuti,
memaparkan seputar perdebatan tentang beberapa riwayat yang menggugat terhadap
Mushaf Usmani dan tanggapannya. Bantahan yang dilakukan oleh para ulama
terhadap penggugat al-Quran dinilainya secara keseluruhan sama sekali tidak
memuaskan. Sehingga Ulil berkomentar:
"laporan tentang kemungkinan adanya kesalahan dalam proses penyalinan
Quran dan kesalahan itu terus bertahan hingga sekarang, bisa jadi agak
memalukan dalam konteks diskursus popular mengenai Quran saat ini yang
cenderung menyucikan tanpa ada kemungkinan untuk mempersoalkan".
Sebuah riwayat penggugat yang inti dalam eseinya dan menjadi sorotan utama
UlIl adalah laporan yang dikutip oleh al-Suyuti dari karya lain yang ditulis oleh Abu
Ubayd, fada'il al-Quran. Dalam laporan itu, disebutkan bahwa 'Urwah ibn al-Zubair
pernah bertanya kepada Aisyah tentang penyimpangan lahn dalam al-Quran. Ada tiga
kasus penyimpangan yang disebutkan oleh Urwah, yakni dalam QS. 20:63 ( ‫ان ھذان‬
‫)لساحران‬, 4:162 (‫)والمقيمين الصالة والمؤتون الزكاة‬, dan 5:69 (‫)ان الذين امنوا والذين ھادوا والصابؤن‬.
Terhadap pertanyaan ini Aisyah memberikan respon yang kemudia menimbulkan
perdebatan dikalangan sarjana pengkaji Quran dari masa klasik hingga sekrang ini.
Aisyah menegaskan bahwa kekeliruan itu terjadi akibat kecerobohan penyalin naskah
Quran yang telah melakukan kekeliruan dalam penulisan (hadza 'amal al-kuttab
akhthou fi al-kitab). Laporan ini, dari sudut pandang mata rantai transmisi (isnad),
dianggap valid (shahih) karena memenuhi kriteria dua guru besar hadist (al-
syakhaani), yakni Bukhari dan Muslim. Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Ubayd dari
Abu Muawiyah dari Hisyam ibn Urwah, dari ayahnya yakni 'Urwah ibn Zubayr .
Sebenarnya, masalah ini sudah banyak ditanggapi oleh beberapa ulama dengan
apik dan logis. Adalah Abu 'Amar ad-Dani yang berusaha mengkritisi riwayat Aisyah.
Ad-Dani berkomentar bahwa informasi yang terdapat dalam riwayat ini, dimana
Aisyah -dengan kedudukannya yang mulia, ilmunya yang luas, dan pengetahuannya
terhadap bahasa Arab- menyalahkan lahn para sahabat dan menyalahkan tulisan para
penulis mushaf, sementara mereka adalah orang-orang yang terkenal fasih dan tidak
diragukan lagi tentang pengetahuan mereka terhadap bahasa Arab. Riwayat ini jelas
tidak boleh diinterpretasikan dengan interpretasi semacam ini. Dalam bukunya Abdul
Shabur Syahin, Saat al-Quran Butuh Pembelaan, ad-Dani mengemukakan pendapat
lain, dimana sebagian ulama memahami ungkapan Aisyah "itu adalah kesalahan
penulis yang keliru dalam menulisnya" dengan arti, mereka salah dalam memilih
huruf yang paling utama dari huruf yang tujuh, maksudnya adalah qiraat/bacaan.
Selain ad-Dani, as-Suyuti juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
keliru di sana bukanlah dalam pengertian yang sesungguhnya. Namun, yang dimaksud
adalah keliru dalam pengertian kurang tepat dalam memilih satu variasi bacaan di
antara tujuh variasi bacaan yang ada, bukan dalam pengertian bahwa para penulis
mushaf itu telah melakukan kekeliruan penulisan yang sama sekali tidak bisa ditolerir.
Jika kekeliruan itu benar-benar fatal dan dalam kategori yang tak bisa ditolerir,
dengan sendirinya hal itu akan dikoreksi oleh para sahabat yang lain. Sebab sesuai
dengan doktrin yang dikenal di kalangan sunni, tidak mungkin masyarakat Islam
malakukan konsensus dalam kesalahan.
Namun, itulah Ulil yang selalu ingin menabarkan benih keraguan seperti
kebanyakan orientalis, pendapat mereka dimentahkan dengan mengatakan bahwa
kesalahan itu adalah bukan lahn dalam artian variasi bacaan, tapi lahn dalam artian
i'rab/gramatikal. Menurutnya, ayat pertama seharusnya dibaca "inna hadzaini, bukan
inna hadzani." Huruf yang terletak setelah "dz" seharusnya "ya" bukan "alif". Secara
gramatikal, setiap kata yang terletak setelah "inna" selalu dalam kedudukan
"manshub". Karena itu, bentuk ganda (tastniyah) seharusnya berubah menjadi
"hadzaini" karena terletak setelah partikel "inna". Menurut Ulil, ayat itu di mata
Urwah dianggap ganjal karena menyalahi ketentuan gramatikal tersebut.
Ayat kedua seharusnya dibaca "wa al-muqimun", bukan "wa al-muqimin"
sebagaimana dalam Mushaf Usmani dengan alasan 'athaf harus mengikuti hukum
ma'thuf. Oleh karena itu, secara gramatikal bacaan "wa al-muqimin" adalah
penyimpangan gramatikal. Adapun ayat yang ketiga seharusnya dibaca "wa al-
shabiin", bukan "wa al-shabiun". Alasanya masih sekitar hukum 'athaf yang harus
mengikuti ma'thuf. Dengan analisa seperti ini, Ulil memahami kata lahn dengan arti
i'rab/gramatikal yang berbeda sama sekali dengan pemahaman sahabat. Sebutlah
Umar ibn Khattab, dalam ungkapannya "Ubai ibn Ka'ab adalah orang yang paling ahli
qiraat di antara kami. Kendati demikian, kami meninggalkan sebagian lahn-nya."
Dengan demikian, yang dimaksud lahn di sini adalah bacaan atau qiraat, bukan
i'rab/gramatikal..
Arti ini diperkuat oleh Johan Feck, seorang orientalis Jerman yang melakukan
pengkajian sejarah semantik dari kata " la ha na" dan berbagai bentuk kata jadiannya
dalam buku al-'Arabiyah-nya. Menurutnya kata "la ha na" dalam bahasa Arab
jahiliyah dan awal era Islam memiliki sejumlah arti, yaitu kecenderungan, pandai,
fasih, lagu, simbol dan isyarat, misteri, dan cara penuturan. Kata "lahn" ini tidak
mutlak diartikan sebagai kesalahan i'rab/gramatikal. Johan menyimpulkan bahwa kata
ini diartikan sebagai kesalahan i'rab pada waktu belakangan. Tepatnya, di akhir abad
pertama dan di awal abad kedua hijriyah. Jadi bantahan Ulil salah sasaran dan gugur
dengan sendirinya.
Sebagai penutup, sekali lagi penulis tegaskan bahwa al-Quran adalah kalam
Allah SWT yang diturunkan ke Nabi Muhammad SAW dengan perantara Malaikat
Jibril a.s. secara berangsur-angsur dalam bentuk ayat-ayat dan surat-surat selama fase
kerasulan (kurang lebih 23 tahun), dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri
dengan surat al-Nas, disampaikan kepada kita secara mutawatir mutlak, sebagai bukti
kemukjizatan kebenaran risalah Islam. Mushaf Utsmani adalah satu-satunya Mushaf
Al-Quran yang telah disepakati seluruh kaum Muslim, sejak awal, hingga kini, dan
sampai akhir zaman. Para sahabat, termasuk Ali r.a. pun semua menyepakati otoritas
Mushaf Utsmani. Sayyidina Ali sendiri menyatakan: ”Seandainya Utsman belum
melakukannya, maka aku yang melakukannya.”
Wallahu a'lam bisshawab

Anda mungkin juga menyukai