Hutang
Warung Senang. Hanya menyediakan minuman panas, gorengan murahan, dan indomie
tanpa telor. Pemiliknya adalah pasangan suami isteri dari Lamongan. Orang-orang
memanggil mereka 'Ebes' dan 'Memes'. Pasangan yang selalu tersenyum menghadapi setiap
pelanggan, tidak perduli mereka dapat membayar uang sekolah tujuh anak mereka atau
tidak.
Tapi bukan tentang mereka yang menjadi bahan obrolan hangat malam itu. Tapi tentang
kedua pemuda yang duduk di sudut bangku panjang, dekat tong sampah, posisi kegemaran
mereka. Orang yang baru saja mengunjungi Warung Senang dan melihat mereka sambil lalu,
pasti mengira kalau mereka berdua adalah sepasang saudara kembar. Tapi bagi para
pelanggan Warung Senang, Ray dan Jay sama sekali tidak ada mirip-miripnya, kecuali
rambut gondrong ikal yang selalu mereka bawa kemana-mana.
Dan malam itu, mereka punya topik hangat untuk diceritakan pada Ebes dan Memes.
"Tapi tahunya gratis," kilah Ray saat Ebes menyuruhnya bercerita.
"Saya kopi saja, plus Dji Sam Soe satu," Jay menimpali.
Ebes memandang Memes, lalu nyaris berbarengan mereka mengumpat.
"Anak-anak bandel! Makan sepuasnya deh, pokoknya cerita."
Ah? Sebegitu penasarankah mereka? Tentu saja. Ray dan Jay, dua makhluk gondrong itu,
paling pandai bercerita. Kalau mereka sudah bercerita, yang pasti pengunjung Warung
Senang akan bertambah, bisa-bisa sampai pagi tetap ramai.
Ray mengambil tiga potong tahu, mengambil sikap hendak bercerita. Dua orang abang
becak dan satu tukang ojek masuk dan mengambil tempat.
WHERE IT BEGUN
Pemuda yang baru dikenalnya dua jam lalu itu benar-benar membuat perutnya sakit.
Pandangan yang semula buruk (melihat potongan jalanan si pemuda) lenyap sudah. Yang
ada kini hanya perasaan suka yang entah dari mana datangnya.
Pemuda ini terkadang begitu kurang ajar. Namun entah mengapa kekurangajaran itu tidak
membuatnya risih atau sebal. Dewi akhirnya berusaha menenangkan jantungnya yang
berdegup kencang.
Dewi bingung seketika. Tidak tahu harus menjawab apa. Pemuda ini sejak tadi selalu sukses
membalikkan pertanyaannya dengan pertanyaan serupa yang lebih berkesan menuduh.
Sesuatu yang tidak dapat dijawabnya tanpa berpikir keras.
"Gimana, ya," akhirnya Dewi berkata, "Nanti ada yang marah loh sama kamu."
Ray nyengir seketika, kebiasaan yang muncul saat umpan yang dipasangnya disambar ikan-
ikan gemuk.
Pemuda itu menggelengkan kepala, "Masa kamu mau marah pada dirimu sendiri?"
Wajah Dewi memerah lagi. Untuk yang kesekian kalinya pertanyaan itu berbalik. Ray
tertawa saat melihat gadis itu kebingungan.
Katanya, "Kalau tidak menjawab berarti kamu mau dong jadi pacarku."
Dewi menatap pemuda itu dengan rasa heran campur takjub. Baru dua jam yang lalu,
mereka berkenalan, sekarang pemuda itu sudah menanyakan sesuatu yang nyaris tidak
sanggup ia menolaknya.
Belum ada dua jam mereka bertemu dan berkenalan. Sebetulnya ia sudah memperhatikan
pemuda itu sejak acara dimulai. Pemuda itu berkeliaran ke sana kemari dengan binder map
di tangannya. Suaranya keras dan tegas. Dalam sibuknya, senyum tidak pernah hilang saat
orang-orang menyapanya, seolah ia ingin menunjukkan bahwa kesibukan tidak
mempengaruhinya sama sekali.
"Fi, itu siapa sih?" tanya Shinta sebelum giliran mereka tiba.
Pemuda itu lalu menarik senyumnya. Shinta merasa sebuah getaran merasuki dirinya,
membuat wajahnya terasa panas. Mata pemuda itu, pikirnya, sesuatu keluar dari sana.
Lepas session terakhir Shinta di atas panggung, pemuda itu mendekatinya, menjabat
tangannya, lalu kembali dalam kesibukkannya. Rasa ingin tahu, ditambah dengan kelelahan,
membuat Shinta mengangguk saat pemuda itu mengajaknya ke Texas setelah acara usai.
Sekarang, ia sedikit gemas melihat pemuda itu hanya diam saja. Duduk manis,
memperhatikannya lekat-lekat, seolah ada nasi di wajahnya. Tanpa sadar, Shinta meraba
tepian bibirnya. Jelas saja, tidak ada apa-apa di situ.
"Kamu tahu," mendadak Jay berkata, membuat si gadis terkejut. "Apa yang paling
menyenangkan di sini?"
"Apa?" tanya Shinta.
"Ya tadi itu, memperhatikan kamu. Tapi sayang, kok kamu jadi risih."
Shinta merasa geli bercampur senang yang aneh. Jelas pemuda itu sedang merayunya. Tapi
caranya itu, berbeda dengan cara-cara lelaki kebanyakan.
Sekarang ia melihat pemuda itu lagi-lagi memperhatikannya. Ada sebuah senyum di wajah
pemuda itu.
"Kenapa memang denganku?" tanya Shinta gemas, "Aku aneh ya?"
"Iya," kata Jay nyengir, "Mukamu jelek."
"Masa?" Shinta otomatis merogoh tas kecilnya, mencari kaca rias.
Untuk perempuan, penampilan adalah segalanya. Kecuali yang sadar dirinya jelek. Jay
tertawa. Shinta mengangkat kepalanya dengan heran. Sejak dari tadi, baru kali itu ia
mendengar pemuda itu tertawa. Tawanya benar-benar lucu, mirip tawa anak kecil.
"Tapi kalau dilihat-lihat," ucap Jay sambil memiringkan kepala dan menarik ujung-ujung
bibirnya, suatu sikap yang menurutnya dapat membuat para gadis berhasrat mencubit
pipinya, "Kamu lebih bagus jelek begini."
"Eh, kok bisa begitu?" tanya Shinta keheranan.
"Iya," senyum Jay, menarik kepalanya lurus kembali.
"Aku suka orang jelek," lanjutnya.
Lagi-lagi Shinta tersipu.
Gadis itu menarik keluar tangannya dari dalam tas. Ada kelegaan yang tiba-tiba muncul.
"Kamu itu aneh," senyum Shinta seraya menopang dagunya dengan sebelah tangan di atas
***
Warung Senang
Dua puluh dua hari sebelum Deadline
Ebes masih terlihat asyik dengan racikan kopi Jawa Timurnya. Aduk sana-sini, tambahkan
gula, jahe, dan bumbu lainnya. Emes masih saja menggoreng pisang raja yang seukuran
lengan orang dewasa. Lummayan, sekali telan, kalian pasti tidak ingin melihat barang yang
bernama pisang goreng lagi. Kecuali gratis.
Masih sekitar pulul tujuh malam, belum banyak 'penduduk' warung yang hadir. Si Gondrong
itu terlihat kesepian. Ia sedang butuh ditemani, oleh siapa saja. Asal bukan Ebes.
"Kita kan sama lelaki..." batin si Gondrong sedih.
Matanya melirik kesana kemari, berharap seorang berparas manis berambut sebahu akan
lewat dan menyapanya ramah. Dunia memang penuh kejutan.
Jay menggeser pantat, menyilakan makhluk manis itu duduk. Ia menatap si Manis yang
tersenyum nakal, menggoda. Matanya yang butek, bibirnya yang kehitaman. Hitam? Lalu
dengan satu gerakan tangkas, sebatang Marlboro sudah terjepit di ujung mulutnya. Jay
terkesiap. Marlboro?! Ia mengusap kedua matanya yang tidak gatal. Seringai dari makhluk
itu muncul.
Ray tersenyum manja. "Inget siapa, Bro?" godanya pada sahabatnya yang kini menatap
hamparan pisang goreng dengan mimik serius.
"Inget sama pisang nih. Enak kayanya," tukas Jay mengalihkan topik sambil mencomot dua
buah pisang sekaligus.
Malu, Cing!
Terlambat Emes mengingatkan Ray, kalau tahu itu baru saja keluar dari penggorengan. Uap
langsung mengepul dari sela-sela gigi pemuda itu.
"Wadaaooow..!" Ray sigap meraih segelas es teh manis, dan mendorong tahu itu cepat-
cepat ke ususnya. Glekkk!
Emes dan Ebes saling memandang bahagia. Semula mereka berpikir, Ray akan
memuntahkannya ke jalanan depan warung. Di situ, ada aturan, bahwa semua yang ditelan
harus dibayar. Kalau dimuntahkan? Itu artinya gratis. Dan laba berkurang dua ratus perak.
Bisa-bisa, si Otong, anak bungsu mereka, gigit jari seharian besok di sekolahnya. Tidak dapat
uang jajan.
"Si Shinta, idola di Kampus Merah, naek Starlet biru, dan pinter ngerayu laki-laki..," Jay
bercerita penuh semangat sambil sesekali mengepulkan asap kreteknya.
Ray tekun mendengarkan, sementara kedua tangannya tetap sibuk menjejalkan tahu yang
agak dingin dan cabe rawit kegemarannya di antara gerahamnya yang bolong-bolong. Tidak
diperdulikannya Emes yang sejak tadi sigap menghitung dan menambahkan angka-angka di
rekeningnya.
"Dua puluh ribu lima ratus lima puluh..."
Emes menggeleng-gelengkan kepala, lalu melirik Ray yang masih sibuk 'menggiling', dengan
alis berkerut.
Didengarnya, Ebes berbisik lirih di samping kepalanya, "Sudahlah, nanti juga dibayar.."
"Yup. Si Dewi kan juga idola kampus Hijau. Hehehe..." Jay terkekeh senang.
"Hah? Elo juga tahu itu?" Ray tertegun lagi, "Elo bener-bener..!"
"Hehehe.., gue kan udah persiapan!" Jay mengedipkan sebelah mata.
Ray menegakkan tubuh, mencoba bersikap serius.
"Oke, Jay. Let's start the game!"
Jay mengangguk.
Dua orang pemancing lalu bersalaman dan menunduk dalam-dalam. Mereka lalu
bersenandung pelan, sambil mengangguk-anggukkan kepala khidmat. Ritual telah dimulai.
***
Ada dua macam metode 'primitif' untuk berburu ikan! Satu, dengan menggunakan tombak,
menusuk dengan tepat. Kedua, dengan menggunakan pancing dan umpan yang tepat.
***
HUNTING DAYS
Cerita Dewi
Enam belas hari sebelum Deadline..! Saatnya romantisme picisan!
Ini kali kelima pemuda gondrong itu menjemputnya di kampus. Dewi tidak pernah
Sore itu Ray tampak rapih dengan setelan kemeja biru tua kotak-kotak, dan celana teropong
hitam kesayangannya. Dalam hatinya berjuta rencana sedang tersusun. Pagi tadi, ia sudah
meminta Dewi untuk berdandan secantik mungkin. Kalau perlu, bawa sabun cuci muka, biar
nanti siangnya Dewi tetap segar. Hari itu Ray sudah bertekad, sesegera mungkin harus
selesai-sebelum Jay.
Dewi menurut saja saat Ray menawarkan untuk membawakan tasnya. Mereka lalu berjalan
sampai ke lapangan parkir. Tidak berapa kemudian, mereka sudah meluncur di tengah
sibuknya lalu lintas.
Kali ini Dewi benar-benar merasa geli. Ia tertawa terbahak-bahak. Pemuda yang satu ini
benar-benar ceplas-ceplos kalau sedang berkata-kata. Betul-betul tanpa tedeng aling-aling
(kata orang Jawa). Tapi sesuatu dari pemuda itu, mungkin senyum dan caranya melirik,
membuat Dewi tidak dapat marah sama sekali. Malah si gadis merasa debaran yang aneh di
Acara makan siang berlalu dengan romantis. Dewi sempat terheran-heran melihat Ray
begitu serius saat di rumah makan. Jarang pemuda itu melontarkan banyolan-banyolan
segarnya. Tapi dari situ Dewi melihat sesuatu. Ray adalah sosok seorang pemuda yang dapat
menempatkan dirinya di mana ia berada. Ia semakin terpesona. Sekejap lalu, sebelum
mereka melangkah memasuki rumah makan, Ray masih penuh canda. Tapi setelahnya, ia
tampak begitu dewasa.
Mereka berbincang tentang segala hal di sana. Segala sesuatu yang serius, bukan sekedar
obrolan omong kosong. Di sana, Ray menanyakan tentang segala kegiatan Dewi, tentang
keluarganya, dan tentang penggalan kisah hidup si gadis.
Sore sudah berlalu, saat mereka berdua melangkah keluar dari rumah makan. Ray
menggandeng jemari Dewi dengan erat, membuat si gadis merasa hangat mengalir ke
seluruh tubuhnya. Sampai di dalam mobil, Dewi berdebar-debar.
Tadi pemuda itu mengatakan hendak mengecupnya. Apakah ia akan melaksanakannya?
tanya gadis itu dalam hati.
Ray masuk ke dalam mobil, dan mendapati gadis itu sedang tersenyum memandangnya.
Pemuda itu melepaskan rambut yang diikatnya ke belakang beberapa jam lalu. Mengibas-
ngibas dengan jemarinya sejenak, sebelum akhirnya menarik senyumnya keluar. Dewi
tertawa melihatnya. Ia sadar, bahwa kekocakan itu sudah kembali ke posisinya. Ternyata
belum. Tengah ia tertawa, mendadak pemuda itu memajukan tubuhnya. Tidak menempel,
hanya mendekatkan wajah, hingga Dewi dapat mencium aroma tembakau dari napasnya.
Ray tersenyum, menatap mata gadis itu dalam-dalam. Pemuda itu tahu, bahwa gadis di
hadapannya sedang menunggu. Menunggu dalam kepasrahan.
"Kamu akan marah kalau aku menciummu?" pemuda itu bertanya.
Dewi sedikit sebal. Pemuda itu lagi-lagi menanyakan sesuatu yang tidak dapat dijawab. Bagi
seorang gadis, pengakuan atas suatu keinginan adalah suatu hal yang sangat-sangat berat.
Dan sekarang, pemuda di depannya menuntut itu. Akhirnya Dewi memilih untuk diam,
sebelum malu membakar wajahnya sendiri. Pemuda di depannya tertawa. Hening
kemudian.
Suasana mulai gelap saat pemuda itu menunduk dan mengecup bibirnya. Dewi
Masih dengan ujung bibir menempel, pemuda itu berbisik, "Aku sayang kamu."
Dewi membuka matanya, menatap dengan satu arti. "Aku juga sayang."
Gadis itu merasakan tubuh si pemuda bergerak, kembali ke posisinya di belakang kemudi
mobil. Dewi kecewa, ia ingin dikecup lebih lama. Ia ingin rasa itu, getaran itu,
menghanyutkannya kembali. Tapi pemuda itu malah memasukkan perseneling, menekan
pedal gas. Mobil meluncur dalam kesunyian.
Dewi menundukkan kepalanya. Sesuatu dalam dirinya berbisik, bahwa ia tidak akan pernah
membenci pemuda itu, seandainya hal itu memang akan terjadi.
"Mengapa?" bisikan itu keluar dari bibirnya.
"Siapa tahu nanti aku berniat memperkosamu," Ray berkata.
Dewi mengangkat kepalanya dengan raut heran, lalu melihat cengiran di wajah Ray. Gadis
itu tertawa geli. Ada-ada saja, pikirnya.
Sebelum Dewi membuka matanya kembali, ia mendengar Ray berkata, "Pertama, itu..."
Ketika ia membuka mata, pemuda itu terlihat sibuk melepas sepatu kulitnya.
"Lalu kedua, ini... sial benar..," Ray berkata, seraya menggaruk telapak kakinya dengan gaya
gemas. Dewi memandang terheran-heran.
"Sori, jempolku lagi birahi," gumam si pemuda tanpa menoleh.
Gadis itu tertawa terbahak-bahak. Jauh di dalam hatinya ia merasa hangat. Tergoda.
***
Pemuda gondrong berjaket kulit itu melangkah cepat. Bibir hitamnya berkemik-kemik,
menyedot sigaret kretek yang terselip di ujung bibirnya. Langkahnya terhenti di ujung
sebuah anak tangga. Menatap arloji di pergelangan tangannya seraya tersenyum-senyum.
Lima menit lagi, batinnya senang. Dengan satu gerakan cepat, ia membuka ritsleting jaket
Tepat lima menit kemudian, bel usai kuliah berbunyi nyaring, disusul derap riuh langkah kaki
di ujung lain tangga. Ia tetap berdiri tegak, seolah tidak perduli dengan berpasang mata
yang berlalu di sekitarnya dengan tatapan heran. Yang lain hanya ngontrak! Dan gadis yang
ditunggunya, telah berdiri di hadapannya dalam jarak sepuluh anak tangga, dengan mata
terbelalak kaget.
Ragu-ragu, si Gadis melangkah perlahan. Si Pemuda gondrong hanya bisa meringis, seraya
mengedipkan sebelah mata.
"Jay? Kamu, eh... ka-kamu ngapain?" sedikit terbata gadis itu.
Pemuda itu, Jay, melepaskan gigitannya, lalu menyodorkan mawar merah darahnya.
"Buat kamu, dari aku."
Gadis itu sedikit gemetar, mengulurkan tangan menerima. Dan bunga itu pun berpindah
tangan.
Sontak, bergemuruh tepuk tangan dan celotehan usil. Teman-teman si Gadis ternyata telah
bergerombol menonton 'adegan dramatis' itu sejak tadi. Si Gadis tidak kuasa menahan
gelombang perasaannya yang bergantian muncul. Malu, jengah, senang, dan juga
tersanjung. Seumur hidup, belum pernah ada laki-laki yang memperlakukannya sedemikian
rupa. Ia hanya tertunduk, dengan wajah memerah bagai kepiting rebus. Tinggal disantap!
Pemuda itu meringis riang, ia terlihat begitu tenang dan tidak perduli pada situasi di sekitar
mereka yang masih riuh-rendah oleh suara-suara nakal warga Kampus Merah. Dasar sirik!
"Heiii, Shinta..?"
Gadis itu mengangkat wajahnya yang masih kemerahan.
"Hmm?" Hanya itu yang bisa keluar dari bibir indahnya.
"Cabut yuk!"
Berkata begitu, Jay langsung menggenggam jemari si Gadis dan menariknya lembut.
Gadis yang dipanggil Shinta hanya menurut saja. Ia merasa seluruh tubuhnya seolah tidak
bertulang. Jemarinya yang digenggam si Pemuda dialiri keringat dingin. Mereka berlalu,
dengan iringan tepuk tangan para pemirsa tercinta. Kali ini lebih kencang dari yang pertama.
"Jahat! Kamu jahat, Jay..!" Shinta memukul-mukul punggung Jay dengan gemas, ketika
mereka berdua sudah duduk berboncengan di atas motor besar pemuda itu.
Jay tersenyum-senyum kecil. Ia masih menikmati desiran angin di sela-sela rambut
gondrongnya.
Tanpa menoleh, ia berteriak lantang, "Aku suka kamuu, Shintaaa!"
Sontak, Shinta membelalakkan matanya, lalu melirik ke kiri-kanan. Mereka masih berada di
lingkungan kampusnya, dan beberapa mahasiswa yang sedang berjalan di dekat mereka
terlihat tersenyum-senyum geli. Tanpa disadarinya, Shinta ikut tersenyum.
Wajahnya merunduk di samping telinga Jay, "Kamu bandel!" bisiknya lirih, sambil
menyelusupkan jari ke balik jaket pemuda itu, lalu menghadiahkan cubitan kecil.
"Wadaaaoow!" jerit Jay, dan tiba-tiba menarik handel rem.
"Apaan sih, Jay..?" jerit gadis itu seolah-olah sedang marah. Khas perempuan, selalu 'jaga
image'.
"Lhah, kamu, pake nyubit segala!" Jay mengusap-usap pinggangnya.
Lumayan merah juga. Anak ini bener-bener mirip kepiting, batin Jay.
"Abis, kamu bandel banget sih..!" Shinta memperhatikan lagi ke sekeliling.
Mereka sudah berada dekat lapangan basket di belakang kampus. Syukurlah, tidak ada
orang di sini, batin Shinta lega. Cukup dua kali saja ia jadi tontonan hari ini.
"Kalo pengen meluk, bilang aja deh, aku ikhlas kok," goda Jay lagi.
"Yeey, enak aja!" Shinta membuang muka.
"Emang enak!" timpal Jay cepat.
Shinta sudah tidak berani bicara.
"Shin..." Jay berbisik lembut.
Ia membalikkan punggung, menatap wajah gadis itu dari dekat. Shinta melengos,
membuang muka ke samping. Dadanya sudah berdebar tidak karuan. Napasnya memburu
cepat, seirama dengan dadanya yang naik-turun.
"Aku pengen dipeluk lagi." ucap Jay sambil berbalik ke depan, seraya menarik gas.
Shinta tidak bergeming.
"Masih malu-malu, dia," batin Jay geli.
Kuda besi dengan dua penunggang berbeda jenis itu kembali menderu.
"Memangnya, kenapa kamu ngelakuin itu semua tadi, Jay?" ucap Shinta, ketika mereka
sudah keluar dari areal kampus.
Belum lima menit, dan gadis itu sudah tidak tahan untuk berdiam diri.
Jay tersenyum simpul, "Aku udah bilang, kan?"
"Apa? Kamu suka aku?" tukas gadis itu cepat-cepat. Ada nada tidak percaya di sana. Juga
keceriaan. Dan Jay bukannya tidak tahu.
"Iya."
"Trus?" Shanti masih mengejar.
Seketika ia sadar sudah bertindak agresif. Sesuatu yang belum pernah dilakukannya selama
ini. Sesuatu yang justru selalu dilakukan oleh pemuda-pemuda lainnya. Ia mulai terheran-
heran pada dirinya sendiri.
Tangan Shinta terulur ke depan, mengusap pinggang Jay yang dicubitnya tadi.
"Eh, yang satunya juga sakit, tuh. Nular kayanya..!" seru Jay.
Shinta nyaris tergelak. Ia mengerti maksud pemuda itu. Membungkukkan punggung,
diraihnya pinggang si Pemuda dengan kedua lengannya.
"Begini?" Ia memegang pinggang Jay dengan lembut.
"Belum. Gini nih." Jay menarik handel rem dengan cepat, membuat tubuh Shinta terdorong
ke depan dan menempel dengan punggungnya. Lalu menarik gas kembali.
Gadis itu sudah memeluk tubuh Jay dengan erat. Hangat.
"Terima kasih..." bisik Jay sambil berpaling ke wajah gadis itu yang kini begitu dekat dengan
wajahnya.
Kelopak mata gadis itu sudah terpejam, dan Jay dapat merasakan hembusan napas si Gadis
di pipinya. Cut..!
Seketika Jay menyadari bahwa ia sedang melaju di jalanan. Terburu, ia membalikkan kepala
ke depan, persis ketika seekor kucing sedang melintas di depannya. Sigap, ia membanting
setir, bermanuver ala pembalap Grand Prix.
Jay menghentikan motornya di depan pagar Asrama Putri. Langit sudah terlihat gelap.
Mereka berdua memang sejak sore tadi, berkeliling kota tidak tentu arah. Shinta melangkah
turun. Ia sebenarnya belum ingin berpisah dengan pemuda ini.
Shinta masih berdiri memandangi punggung pemuda itu, sampai menghilang di ujung jalan.
Lalu melangkah gontai ke dalam asrama.
"Masih ada esok hari, Shin!" hibur hatinya.
***
Dengan tombak, mangsa menggelepar sekejap, lalu mati. Dengan pancing, mangsa
menggelepar lebih lama, lalu mati.
***
Terus terang saja, Dewi sedikit minder siang itu, ketika Ray membawanya jalan-jalan ke mall.
Bagaimana tidak, seharian tadi Dewi sudah sebegitu sibuknya, hingga lupa memperhatikan
kodisi diri. Sementara Ray, pemuda yang memeluknya dari belakang di eskalator itu, terlihat
cerah.
Beberapa langkah di lantai empat, Dewi mendekat dan berbisik, "Ray, kamu ngga apa-apa?
Aku kusut, loh."
Pemuda di sebelahnya menoleh tanpa menghentikan langkah.
"Kamu ini," kata si pemuda, "Sudah berapa kali nanya begitu? Aku kan sudah bilang, aku tak
perduli. Mau kamu baru bangun tidur, kek, pakai piyama, kek, pakai kebayanya Mpok Echa,
kek. Aku tak perduli. Sudahlah, cuek saja."
Siang sampai sore mereka habiskan di dalam bioskop. Ray sengaja mematikan handphone di
sakunya. Tidak ingin ada yang mengganggu, bahkan orang media sekalipun. Semua berjalan
begitu indah, begitu mulus, sebuah kesempurnaan.
Selama di bioskop, dalam kegelapan, dua kali Ray mengecup bibir si gadis. Dan sampai film
yang diputar hampir selesai, mereka berpegangan tangan. Mirip anak SMA. Orang-orang di
luar memandang mereka berdua saat keluar dari pintu bioskop. Rambut keduanya benar-
benar mirip sekarang. Mirip genderuwo, gombal di sana sini. Cengiran terlihat di wajah
mereka.
Tadi, sebelum film berakhir, beberapa penonton sempat menggerutu, mendengar mereka
tertawa-tawa sendiri. Waktu itu, Ray, yang sebal ketika Dewi menanyakan hal yang sama
untuk ketiga kalinya, mengacak-acak rambut gadis itu dengan gemas. Buntutnya, mereka
saling mengacak-acak rambut satu dengan lainnya.
"Tuh, kan, lihat nih. Aku jadi kucel abis," gerutu Dewi, seraya meraba-raba rambutnya.
"Kamu," desis Ray saat gadis itu masih di dekapannya, "Sudah cantik."
Dewi memekik. Suara tawa terdengar di mana-mana. Sekejap para pengunjung food court
merasa hangat. Sepasang suami isteri tanpa sadar menyatukan jemari mereka dalam
genggaman. Seorang gadis di depan counter Mc. D memeluk pacarnya yang tersenyum,
ingin ia diperlakukan demikian.
"Kamu gila, ayo sini..!" Dewi menggerutu kemudian, seraya menarik lengan Ray menjauh.
Pemuda itu hanya terkekeh-kekeh. Senyumnya ditujukan membalas cengiran semua orang
yang memandangnya. Di gang depan elevator, Dewi berhenti. Napasnya tersengal. Gadis itu
merasakan jemari Ray mengusap rambutnya. Dewi mengangkat kepala, melihat Ray
tersenyum di balik helai rambut yang menutupi wajahnya.
"Aku mau peluk kamu. Boleh?" tanya pemuda itu seperti berbisik.
Dewi tersenyum. Ray menarik gadis yang masih terengah itu dalam pelukannya.
"Lain kali jangan pernah minder ya, kalau sedang bersamaku."
Gadis dalam dekapan mengangguk lemah. Ia tidak berdaya di depan pemuda itu. Dalam
elevator yang sepi, mereka berciuman.
Basement yang sepi. Mesin mobil hidup. Ray melumat bibir gadis di pelukannya. Gadis itu
memejamkan matanya, jelas ia sangat menikmati perlakuan pemuda itu padanya. Setiap
sentuhan bibir yang lembut. Helai-helai rambut yang terkadang menggelitik lehernya.
Pelukan si pemuda membuat Dewi merasa nyaman. Mata gadis itu terbuka dengan sirat
kekecewaan saat Ray melepaskan tubuhnya. Kesunyian menyusup diam-diam, mencuri
waktu, sampai mereka keluar dari mall.
Ray termenung dalam pikirannya sendiri. Ia merasa ada sesuatu yang salah, yang ia sendiri
belum dapat mengerti apa adanya. Semua sudah berlangsung dengan seharusnya, sesuai
dengan apa yang diinginkannya untuk terjadi. Namun di elevator tadi, saat ia melumat bibir
gadis itu, ada sesuatu yang janggal. Sesuatu yang hanya dapat dirasakan, tidak dapat dilihat
Salah seorang sopir taksi turun dari mobil, menghampiri dengan jemari terkepal.
"Hey, kamu..," kata-katanya terhenti.
Di dalam mobil itu, dua makhluk berpagutan, berpelukan. Melekat. Si sopir serba salah.
Ingin mengetuk, tapi kok rasanya tidak toleransi.
Ia teringat, dulu juga ia pernah muda. Menghentikan becaknya di pinggir sawah. Mengecup
bibir perawan desa yang kemudian menjadi isterinya. Mirip di tipi-tipi. Si sopir akhirnya
surut kembali ke mobilnya. Kerinduannya akan sang isteri muncul.
Saat si sopir melewati mobil yang masih berhenti itu. Ia melihat lengan kanan orang di
belakang setir terangkat. Sebuah jempol teracung.
***
Aku melayang mengarungi masa. Hingga hilang semua asa. Semua pedih, semua sesal.
Jay berlari-lari menyeberangi lapangan sepak bola itu. Menuju motornya yang terparkir
Sudah sejak dua hari yang lalu, tidur malamnya selalu tidak nyenyak. Pasti karena di
lapangan itu banyak nyamuk. Dan yang paling mencintai darahnya, adalah nyamuk betina
yang dinamainya, Shinta.
Mendadak, berkelebat wajah yang paling ingin dilupakannya saat itu dalam pikirannya.
Wajah seorang berambut gondrong lain, yang tiba-tiba menyeringai dengan dua taring
berlumuran darah segar. Darah perawan. Sigap tidak mau kalah, ia balas menyeringai.
Memamerkan dua gerahamnya yang kering.
"Aku kalah..." bisik hatinya malu.
Tapi Jay masih memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Ia berharap pada keajaiban. Jay
memasukkan koin terakhirnya ke kotak telpon di hadapannya. Ia sudah berlarian kesana-
kemari sambil mendorong motornya yang kehabisan bensin, untuk mencoba menelpon
Shinta. Dan sialnya, semua kotak telepon yang dicobanya, menelan dengan kejam koin-koin
harapannya.
Ia menatap layar di kotak itu dengan serius. Tapi tidak ada yang berubah di sana. Tiba-tiba,
Jay merasa tanah yang dipijaknya berputar. Ia lalu terduduk di tepian jalan. Bersandar di sisi
motor kesayangannya. Lemas. Dan merasa begitu tidak berdaya. Perlahan, ia merogoh saku
jaket kulitnya, mengeluarkan sebatang kretek kegemarannya. Menimang-nimang beberapa
saat, lalu menusukkannya lembut di sela bibirnya, seraya menyalakan Zippo di tangan yang
lain. Mulai mengepulkan asap.
Jay menggeliatkan badan geli, ketika sesuatu yang hangat terasa menyelusup ke balik
jaketnya. Sekejap, ia sudah tersadar. Hujan telah benar-benar deras, dan matahari sudah
tidak ada di atas kepalanya. Sigap, dikuaknya kerah jaket kulitnya. Di dalam sana, seekor
anak kucing, basah dan kedinginan, sedang meringkuk mencari kehangatan. Jay tertegun
sesaat, saat mata mereka bertatapan. Detik berikutnya, ia sudah tertawa terbahak-bahak.
Langit seolah terang-benderang baginya.
Shinta melirik kembali dari balik gorden di ruang tamu asrama. Ia berharap-harap cemas.
Sudah empat hari, pemuda itu tidak menghubunginya. Tidak sepatah kata pun, sejak saat
terakhir mereka bersama.
"Aku mau ke Malang, Shin. Ada event di sana.""Jadi, kapan kamu balik?""Heheheh... nggak
ngerti. Ngerti juga, aku nggak mau kasih tahu. Biar surprise!" Jay meringis menggoda gadis
itu.
Ia benar-benar menikmati mimik gadis di depannya. Yang sedang tersiksa antara gengsi dan
rasa tidak ingin ditinggalkan. Gadis itu sebenarnya hanya tidak ingin dianggap 'gampang'.
Tapi Jay, juga sedang berjudi dengan umpannya kali ini.
"Apaan sih, kamu! Bilang gitu aja nggak mau!" Shinta memanyunkan bibirnya.
"Emang, ada yang nungguin?" goda Jay sekali lagi.
"..."
"Ya udah, aku pergi dulu."
"Jay, telpon ya?" akhirnya hanya itu yang bisa terucap dari bibir Shinta.
Jay hanya menggelengkan kepala cepat. Senyum simpulnya masih ada di sana.
"Sorry. Be Professional, right?" tukasnya sebelum melambaikan tangan dan berlalu dengan
motornya.
Dalam benaknya, Jay berkhayal, gadis itu akan berteriak memanggil namanya sambil terisak.
Lalu, ia akan berbalik. Menghentikan motornya, mengembangkan pelukannya, dan
menikmati tiap tetes air yang mengalir di dadanya. Membelai rambut panjang Shinta,
mengucapkan kata-kata penghibur hati, dan akhirnya, mendaratkan kecupan di bibir gadis
itu. Tapi itu semua memang hanya khayalannya saja. Karena gadis itu segera berlari masuk
ke asrama, dan membanting daun pintu keras-keras. Marah. Jay tersenyum sendiri.
Khayalan konyol, pikirnya.
Untuk ketiga kalinya, Shinta menyibakkan gorden itu. Ia mencoba melihat menembus
derasnya hujan yang mengguyur kota sejak sore tadi. Entah kenapa, rasa rindunya benar-
benar tidak tertahankan hari ini. Lalu, matanya menangkap bayangan itu. Seolah keluar dari
kegelapan malam. Yang makin lama makin mendekati Asrama Putri. Melangkah setengah
terseret, seperti tidak bertenaga. Sesosok pemuda yang memeluk gumpalan gelap sedang
mendorong motor besar.
Shinta menerima jaket itu dengan perasaan heran, dan sedikit terkejut, ketika disambut
dengan tatapan mata yang polos dan suara mengeong. Kucing?
"Aku nemuin tadi di jalan, kehujanan," sambung Jay lambat-lambat, "Mau kan?"
Shinta mengangguk. Air matanya sudah berderai tidak tertahan, meski tanpa suara.
"Jay..." Shinta tidak mampu menyelesaikan kalimatnya. Jemari Jay yang dingin sudah
menggenggam erat jarinya.
***
Sekarang, ia akan mengakhirinya. Kejam? Ataukah baik-baik? Semua itu tergantung pada
dirinya sekarang. Beberapa orang suka membahas tentang 'cara bermain layang-layang'.
Cara yang digunakan orang-orang untuk mempertahankan sesuatu yang menyenangkan,
yang dipastikan akan tetap ada saat diperlukan. Bukannya Ray tidak memikirkan tentang hal
itu. Tapi menurutnya, biarlah kali ini lepas semuanya, tersapu bersih. Ia tidak ingin diganggu
nanti. Tidak oleh Dewi.
Menabur benih cinta, sebuah perkara yang mudah. Menyemainya, jauh lebih mudah. Pria
terjahat di dunia itu sudah siap kini. Menghancurkan impian, itu misinya. Satu seduhan di
cangkir kopi Jawa Timur, Ray meraih kunci mobil. Pikirannya hanya satu, yaitu tentang
kebekuan yang sudah dipeliharanya lama lalu. Yang harus keluar sekarang. Sudah tiba
masanya.
Menelusuri jalanan, Ray memikirkan banyak hal. Sebetulnya Dewi bukanlah seorang gadis
yang tidak masuk dalam hitungannya. Gadis itu cantik, baik, dan punya segudang kelebihan
dibanding gadis-gadisnya yang lalu. Tapi seperti kata orang-orang, jika ingin mengerjakan
sesuatu, jangan campurkan dengan kesenangan.
Di sebuah tikungan, Ray berhenti. Menekan beberapa tombol di handphone. Sebuah sapaan
bernada girang terdengar dari seberang.
"Halo, Ray."
"Hai," sahut Ray.
"Ada apa? Katanya kamu banyak kerjaan hari ini?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin memelukmu. Itu saja."
"Lewat telepon?"
"Seandainya bisa."
Suara tawa terdengar dari seberang. Lama setelahnya, hening.
Dalam perjalanan menuju Asrama Puteri, Ray merasa sedikit bingung. Ia memang terkadang
terlalu impulsif dalam mengambil keputusan. Seperti yang baru saja ia lakukan. Untuk apa ia
malam-malam datang ke Asrama Puteri? Hanya untuk menemui Dewi? Omong kosong,
pikirnya. Lalu? Lalu aku hanya akan membuktikan bahwa ia bukan apa-apa, ucap Ray, masih
Sesuatu yang tidak pernah ia pungkiri, adalah ia suka saat-saat kepalanya berada dalam
pangkuan seorang wanita. Pangkuan itu lebih dapat membangkitkan nyamannya dibanding
kasur dan bantal yang empuk. Penyakit lama. Mother complex. Dibawa kemana-mana.
Menit-menit berlalu, tanpa terasa. Dewi tersenyum saat merasakan pemuda itu sudah
terlelap. Napasnya menghembus perlahan. Si gadis menyibakkan rambut yang menutupi
samping wajah Ray. Mengamati beberapa lama, Dewi terenyuh. Di sudut mata pemuda itu,
ia dapat melihat kerutan-kerutan. Wajah yang ada di pangkuannya itu, tidak seperti wajah
yang biasa dilihatnya selama ia mengenal pemuda itu. Wajah ini sungguh jauh dari apa yang
namanya bahagia. Dewi percaya, bahwa saat seseorang tertidur, itulah saat-saat di mana
orang lain dapat melihat apa di balik semua cerita tentangnya.
Dan mengingat hal itu, membuat Dewi berbisik lirih, "Siapakah kamu sebenarnya?"
Seolah mendengar, tubuh Ray bergerak. Kedua ujung bibirnya tertarik. Pemuda itu sedang
tersenyum. Dewi menghela napasnya dalam-dalam. Gadis itu meletakkan sebelah
tangannya yang bebas ke bahu Ray, lalu menyandarkan tubuhnya. Dewi memejamkan mata.
Menikmati kebersamaan itu.
Aku terlalu banyak menduga-duga, pikir gadis itu kemudian. Ray adalah Ray, yang sekarang
berbaring di pangkuanku. Lain tidak. Aku percaya padanya. Ray terbangun lama kemudian.
Menggeliat. Tidur yang nyaman, setelah beberapa hari kesibukan menyita waktunya untuk
tetap terjaga. Pemuda itu menoleh dan melihat wajah Dewi dan senyum gadis itu di
atasnya. Dalam tidurnya, Ray teringat sebuah perasaan aneh yang dirasakannya saat di
elevator tempo hari. Sesuatu yang gawat. Ia merasakan kehangatan dari gadis itu! Matanya
menatap mata gadis itu sekarang, mencari perasaan itu. Ia menemukannya.
Ray bangkit dari pangkuan si gadis. Beberapa saat lamanya ia memandangi mata Dewi,
membuat gadis itu merasa rikuh.
"Pandanganmu," bisik gadis itu, saat ia tak tahan lagi.
Ray tertawa. Pemuda itu mendekatkan bibirnya ke telinga si gadis. Satu kecupan di pipi, Ray
berbisik, "Kalau aku mengajakmu untuk bercinta. Kamu mau?"
Dewi menoleh tanpa sadar. Wajah mereka benar-benar dekat kali ini. Gadis itu terdiam,
tidak tahu harus mengatakan apa. Ray tidak pernah berkata demikian diluar guyonannya
yang memang terkadang menyiratkan keinginan untuk itu. Selama ini Dewi beranggapan
Ray hanya bercanda. Tapi saat itu, ia melihat satu keseriusan di mata si pemuda.
"Ray, aku..."
"Ssshh..," Ray berbisik.
Bibirnya meraih bibir si gadis. Lama. Waktu seolah berhenti. Dewi mengerenyitkan alisnya.
Kali ini berbeda. Ada sesuatu yang lain dalam kecupan itu. Sesuatu yang memaksanya untuk
menyerah. Gadis itu terengah saat Ray melepaskan bibirnya. Ray menggeser wajahnya,
menempelkan pipinya ke pipi si gadis, menghembuskan napasnya halus, memastikan gadis
itu merasakan getaran-getaran penggoda.
Tidak dapat dilihat Dewi, Ray membuka mata dan tersenyum. Gotcha..! Kehangatan yang
kauberikan untukku akan membuatmu jatuh.
"Sekarang," bisik Ray, lalu tiba-tiba menarik tubuhnya mundur.
"Sekarang?" Dewi bertanya, jantungnya berdegup kencang. Apa maksudnya?
Dalam debar jantungnya, gadis itu melihat pemuda di sampingnya membungkuk, lalu
meraih-raih sesuatu. Sesaat kemudian, kaki pemuda itu sudah berada di atas kursi. Dewi
tergelak tanpa dapat ditahan.
Jay mengetuk-ngetukkan pangkal kreteknya ke kaca arloji. Ia sedikit sebal dengan warung
rokok di ujung jalan sana. Bukan apa-apa. Masa rokok kretek idolanya seempuk tahu Ebes?
Benar-benar merusak selera, batin Jay lagi. Ia sedang duduk di bawah sebatang pohon di
parkiran Kampus Merah. Sesekali, hidungnya menarik cepat cairan yang nyaris menetes dari
lubang hidungnya.
Sejak empat hari yang lalu, ia terserang influenza berat. Dan belum membaik hingga saat ini.
Entah kenapa, ketahanan tubuhnya kini menurun drastis. Ia semula sempat khawatir,
jangan-jangan si OHIDA - Ray, telah menularkan virusnya hari-hari kemarin, waktu mereka
berbagi secangkir kopi di Warung Senang. Atau juga karena TBC yang diidapnya sudah
melewati tahap stadium menengah? Entahlah. Jay sedang mencoba tidak perduli dengan
tubuhnya. Ia sedang mengkhayalkan tubuh yang lain.
Kaget. Satu-satunya yang masih tulus dari Jay. Shinta berkacak pinggang dengan wajah
masam. Bibirnya yang semestinya indah, sudah bertekuk bagai lapis legit Surabaya. Tapi Jay
tidak pernah suka makanan yang manis-manis. Bikin diabetes, katanya satu kali.
"Euuhh, ada apa, Sayang?" Jay mencoba merayu dengan wajah dipolos-poloskan.
"Kamu abis ngapain, barusan..?" Shinta menatap penuh selidik.
Ia mencari tanda-tanda ketidak sadaran di wajah pemuda itu. Tapi yang ditemuinya malah
wajah malu-malu dan tatapan seorang maling jemuran yang tertangkap basah.
"Aku.. aku... abis fantasi.." Jay akhirnya berkata jujur.
Wajahnya menunduk ke rerumputan. Sesaat, ia berharap ada uang receh yang tercecer.
Lumayan, buat nelpon, pikirnya. Jay memang kurang peka pada situasi.
Shinta membelalakkan mata takjub. Petir di siang bolong, mungkin hanya membuatnya
"Berapa banyak sisimu lagi yang aku belum tahu, Jay?" tusuk benaknya.
Ada kengerian yang menerkam jantungnya. Ia bergidik. Kesunyian melanda mereka berdua
untuk beberapa detik.
"Eh, kita nyari makan, yuk?" Jay tiba-tiba saja berdiri lalu meraih lengan Shinta.
Sepertinya, akal sehat sudah kembali di dalam kepalanya. Gadis itu semula berniat
menepiskan tangan Jay yang terulur, tetapi sudut matanya menangkap kesungguhan di raut
wajah pemuda itu. Dan bola mata kecoklatan Jay, tampak begitu hangat. Kehangatan di
malam hujan deras. Dan wajah gadis itu lalu tertunduk.
Shinta menurut saja saat Jay menggandeng lengannya dan membawanya pergi. Namun,
jauh di dalam hati, Shinta mendengar hati kecilnya mengucapkan peringatan. Mengenai
pemuda yang telah mengambil hatinya dengan sukses ini. Bahwa ia, masih saja mendapati
hal-hal yang asing dalam diri Jay. Misterius, dan terkadang dapat begitu mengerikan.
Mereka duduk bersebelahan di depan meja panjang kantin Kampus Biru. Jay asyik sekali
menghadapi sepiring krengsengan yang dipesannya. Makan dengan lahap, memasukkan
sendok demi sendok nasi dengan kegembiraan khas anak-anak. Shinta meliriknya sesekali
dengan mimik menahan tawa. Pemuda itu seolah tidak bertemu makanan selama sebulan.
Dalam tujuh menit, piring itu telah licin. Jay melirik ke kiri-kanan. Shinta menyodorkan
sebotol teh di sampingnya.
"Nih, minumnya."
Jay tersenyum bahagia, lalu menyedotnya seperti bayi yang kehausan. Habis juga.
"Huuaahh, kenyang deh..."
Jay menyandarkan tubuh ke dinding kantin, lalu menepuk-nepuk perutnya yang terlihat
membuncit. Satu tangannya yang lain sudah menggenggam sebatang kretek yang siap
disulut. Benar-benar cekatan, batin Shinta geli.
"Kamu selalu ngabisin makanan sampai licin, Jay?" ucap Shinta sambil tersenyum
menggoda.
Mie baso di depan gadis itu masih tersisa separuh.
"Heheheh..." kekeh Jay seraya tersenyum-senyum senang, sambil mengepulkan asap
kreteknya lambat-lambat.
Dasar sableng, ia merasa ucapan Shinta sebagai sebuah pujian atas kemampuannya yang
'mempesona'. Mendadak, Jay menegakkan tubuh. Senyumnya sudah menghilang. Matanya
menatap sayu, lurus ke depan. Bersiap.
Shinta yang masih mengamatinya, jadi terheran. Ia mengikuti arah tatapan mata Jay.
Seorang gadis berambut cepak, berwajah manis, berkulit kuning, dengan tubuh tinggi
semampai menggiurkan, berjalan mendekat ke arah mereka. Kesinisan di raut wajahnya,
Api terpancar di bola mata si Cepak. Shinta mengerutkan keningnya. Ia tidak suka membuat
masalah. Tapi dadanya sudah bergolak. Mendadak, ia merasakan genggaman di jemarinya.
Terheran, ia menoleh ke samping. Jay masih tetap duduk, dengan pandangan sayu yang
sama, dan kepulan kretek dari bibirnya. Hanya kini menunduk, menatap ke atas meja.
"Aku cuman mau makan dengan tenang, Rin. Dan dia temanku." Jay berkata lirih.
Ia sengaja tidak menatap ke arah si Cepak yang dipanggil Rin. Ada yang disembunyikannya
dari dua orang gadis di dekatnya itu. Sesuatu dalam sinar matanya.
Si Cepak seketika membalikkan tubuh dan bergegas menjauh. Tak menoleh-noleh lagi.
Shinta lalu tersadar, genggaman Jay di jemarinya terasa sedingin es. Satu lagi hal baru yang
ditemuinya tentang Jay. Yang pernah didengarnya dulu. Jay yang dingin. Tetapi Shinta
bersyukur, setidaknya gadis yang menyebalkan itu sudah pergi. Ia mencatat satu hal baru,
yang perlu ditanyakannya pada Jay nanti. Apa masalahnya dengan gadis yang dipanggil Rin
itu. Mereka sepertinya pernah mengenal dekat, terka Shinta dalam hati.
Jay seolah dapat membaca pikiran Shinta. Matanya berubah lembut, "Dia mantanku,
namanya Rinka."
"Oh?" Shinta sedikit kaget.
"Dan nggak pernah suka tiap kali ngeliat aku jalan sama gadis-gadis," Jay mengisap
kreteknya dalam, "Yaa, dia tipe posesif, dan masih pengen balik sama aku..."
"Jay," potong Shinta cepat-cepat, "Gadis-gadis? Kamu beneran playboy?" Shinta tersenyum
simpul.
"Eh, maksudku, bukan pacar lho..!" tukas Jay sigap. Ia sadar sudah salah omong.
Gadis ini terlalu cerdas dibanding yang lain. Calon pengacara, sih.
"Iya-iya. Aku juga tahu. TTM (tahu-tahu mau) kan?" Shinta masih saja menggoda pemuda
itu.
Ia selalu suka melihat Jay salah tingkah. Kekanak-kanakan. Lucu.
"Hahaha..!" tawa Shinta meledak, demi melihat Jay hanya dapat meringis culun seraya
menggaruk-garuk kepalanya. Salah satu pose favorit Shinta dari Jay.
***
Si pemuda tidak mengatakan apapun. Sikapnya diam bagai batu. Sebuah sentuhan telapak
tangannya di punggung Ray, Dewi merasakan tubuh pemuda itu bergetar. Helaan demi
helaan napas terdengar kemudian.
"Kamu kenapa, Ray?"
Tiba-tiba, pemuda itu melepas tangannya, menepis sentuhan di tubuh belakangnya.
Kepalanya tertoleh. Dewi terhenyak saat melihat ada air mata di situ.
Dingin sekali di dalam ruang tamu itu. Di tengah gelap, kesunyian datang lagi. Ray
memiringkan tubuhnya dan meletakkan sisi tubuhnya di atas kedua paha telanjang si gadis.
Dewi mengulurkan jemarinya untuk membelai rambut ikal si pemuda. Benak gadis itu
melayang-layang. Betapa ia mencintai sosok satu ini. Sekarang tambah satu point yang
meyakinkannya. Pemuda itu tidak berniat sama sekali untuk memilikinya secara fisik. Pasti
itulah sebab mengapa ia menghentikan semua kenikmatan khayal tadi. Pemuda ini, batin si
gadis, tahu kapan harus berhenti.
"De..?" si pemuda memanggil namanya, Dewi membuka matanya yang sempat terpejam
saat kesunyian melintas tadi.
"Hmm..?" desahnya dengan nada bertanya.
"Aku mempermainkanmu. Kamu sadar itu?"
Jatung Dewi seolah berhenti berdegup. Sisiran jemarinya di rambut si pemuda terhenti. Ia
seolah terbetot dalam suatu tanda tanya besar yang mengerikan.
"Apa maksudmu?" bisik gadis itu. Nada suaranya bergetar ketakutan.
Masih di atas paha telanjang si gadis, Ray memiringkan kepala, mengecup kulit yang putih
bersih itu. Lalu ia menghela napasnya dalam-dalam.
"Aku memang berniat mempermainkanmu. Hanya saja, aku merasa kamu terlalu berharga
untuk kupermainkan."
Dewi memejamkan matanya. Entah perasaan apa yang berkecamuk di hatinya saat itu. Air
matanya mengalir ke pipi.
Dewi tidak berkata apapun, memejamkan mata, menggigit bagian bawah bibirnya,
membiarkan keheningan mengiringi air matanya yang mengalir. Ia dapat merasakan saat
pemuda itu bergerak, mengenakan pakaian, lalu bangkit berdiri. Ia tidak mendengar dan
merasakan apa-apa lagi. Khawatir, Dewi membuka matanya. Ray ada di samping wajahnya.
Pemuda itu berjongkok, menatapnya dengan senyum.
Di mata pemuda itu masih ada kehangatan. Tiada kata-kata dalam perjalanan. Tidak ada
canda, sentuhan, bahkan saling pandang. Mereka tenggelam dalam suatu situasi yang
menghanyutkan. Lampu-lampu kendaraan berkelebat lalu lalang. Lantunan musik lamat-
Masih dalam keheningan yang sama. Ray akhirnya menghentikan mobilnya di depan Asrama
Puteri. Teletik air hujan terdengar mengetuk atap mobil. Lima belas menit berlalu sia-sia.
Hujan mulai turun lebih deras.
"Kamu tidak mau turun, De?"
Dewi menoleh, melihat pemuda itu tengah menatapnya. Dewi menggeleng.
"Aku tidak mau turun," katanya setengah berbisik. Ray tersenyum.
"Karena hujan, atau karena masih ingin berduaan denganku?"
Dewi balas tersenyum, "Aku ingin berduaan denganmu."
Tangan si pemuda terulur. Dengan telunjuknya Ray menelusuri garis tengah wajah si gadis.
Dari kening, ke tulang hidung, bibir lalu dagu. Dewi memejamkan mata. Entah mengapa,
dalam hati gadis itu terbersit sebuah ketakutan, ketakutan saat memikirkan kemungkinan
bahwa pemuda itu akan meninggalkannya.
"Mau berhujan-hujan?" mendadak Ray berkata.
Dewi membuka matanya, menatap pemuda itu dengan rasa heran. Ia melihat cengiran di
wajah Ray. Sebuah cengiran yang nakal. Dewi tersenyum dan mengangguk. Sambil tertawa,
Ray bergerak ke samping, membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Pemuda itu
memutari mobil, untuk sesaat kemudian membuka pintu yang lain. Dewi memekik saat
hujan membasahi rambutnya. Ray menarik lengan gadis itu, berdua mereka memejamkan
mata dan tertawa, menikmati air hujan yang membasahi tubuh mereka. Dalam tawanya,
Dewi merasa pemuda itu menarik tubuhnya dalam dekapan. Mereka berpelukan di samping
mobil.
Suara guntur menggelegar di kejauhan, tapi Dewi tidak takut. Ia merasa nyaman dan hangat.
Satu lagi kilat cahaya, yang disusul gelegar. Ray melepaskan pelukannya, dengan senyum
tersungging menarik lengan si gadis melangkah menuju teras Asrama Puteri. Dewi menyeka
air di wajahnya dengan tangan. Air sudah tidak lagi mengguyur. Saat gadis itu membuka
mata, ia sudah tidak menyadari kehadiran si pemuda di sisinya. Ketakutan itu datang lagi.
Dengan pandangan mata gelisah, Dewi mencari-cari sosoknya di balik tirai hujan.
"Ray," serunya saat menemukan pemuda itu berdiri di samping lampu jalan, di luar pagar.
"Jangan kemari!" ia mendengar pemuda itu berseru, saat ia hendak melangkah keluar teras.
Dengan bingung, Dewi memandang ke arah sosok itu. Sosok yang tanpa berkata apapun,
membalikkan tubuh dan berlari.
"Ray..!" Dewi menjerit, menyadari ketakutannya berubah menjadi kenyataan.
"Ray, aku mencintaimu. Aku yakin kau juga demikian. Mengapa? Mengapa?"
Di belahan kota yang lain, sebatang Marlboro dinyalakan. Sang iblis sendiri, terkekeh, saat
menghembuskan asap dari ujung bibirnya. Sekarang tinggal menunggu, apa yang akan
terjadi selanjutnya. Tidak ada perasaan bersalah. Tidak ada sesal. Tidak perlu lagi
memikirkan kehangatan semu di elevator tempo hari. Kakinya menginjak pedal gas dalam-
dalam. Ada noda darah di ruangan gelap yang harus dibersihkan.
***
Real Jay?
Lima hari sebelum Deadline
Motor hitam itu melaju cepat di bawah siraman hujan rintik-rintik yang mengguyur
Surabaya pagi itu. Dua orang pengendaranya, sepasang muda-mudi. Sesekali tertawa-tawa
riang. Mereka tampak menikmati momen itu.
"Jaayy, ujan nih, basah!" jerit Shinta.
"Lhah, emang mau kekeringan?" canda Jay sekenanya.
Gemas, Shinta mencubiti pinggang si pemuda, yang hanya dapat mengaduh. Jalanan sudah
lumayan ramai. Bisa gawat kalau si pemuda kehilangan pandangan, walau hanya sesaat. Ia
hanya pasrah diserang demikian rupa.
"Nggak mau? Ya udah." Jay sekuat tenaga menekan nada kecewa dalam suaranya.
Duh, umpan terbaikku ditolak mentah-mentah, batinnya gundah. Resiko perjuangan.
Tetapi, "Boleh..." Shinta berteriak menyaingi deru hujan dan kendaraan di sekitar mereka.
"Eh? Oke..." balas Jay juga berteriak, "..horeee..!" sambungnya norak dalam hati.
Ia membelokkan setir dengan luwes. Lalu menarik gas penuh semangat.
"Masuk aja, Shin. Nggak usah sungkan-sungkan." Jay membuka pintu depan lebar-lebar.
Melangkah masuk.
Dengan santai, dilemparnya serangkai kunci yang digenggamnya ke atas meja ruang tamu.
Shinta melongok ke dalam ruangan itu dengan hati-hati.
"Emm, nggak ada orang, Jay?" bisiknya pelan.
"Nggak. Aku cuman tinggal berdua ama adekku. Dia sekarang lagi mudik nemuin ortu." Jay
menurunkan ransel hitamnya di atas lantai.
Lalu dibukanya jaket kulitnya yang lembab terguyur gerimis tadi. Juga T-shirt di tubuhnya.
Jay memasuki sebuah kamar dan kembali dengan handuk beserta satu set training berwarna
hitam di tangannya.
"Wah, cuman ada ini, Shin. Yang laen belom dicuci." Jay menyodorkannya ke arah Shinta.
Gadis itu menerimanya sambil mengernyit heran. "Buat apaan, Jay?"
"Huu, elo udah kuyup gitu, gimana sih?" Jay meringis sambil mengedipkan mata.
"Ah?!" Shinta seperti baru tersadar.
Ia melihat ke tubuhnya. Memang, kemeja sesiku yang dikenakannya lumayan basah, juga
celana hipster putih yang dikenakannya. Tubuh indahnya terbayang begitu jelas di situ.
Refleks, ia menutupkan training ke arah dadanya. Tapi Jay sudah berbalik, sambil menunjuk
ke kamar yang baru saja dimasukinya.
"Ya udah, ganti aja di kamarku. Aku mau mandi dulu nih."
Shinta sejenak termangu. Kamarku? Kamar Jay?
Tidak lama, terdengar suara shower dari kamar mandi. Juga suara Jay yang cempreng
bersenandung keras-keras. Tidak jelas, lagu apa yang diteriakkannya. Shinta mengendap
memasuki kamar pemuda itu. Sebuah ranjang, lemari, meja, cermin seukuran orang dewasa,
dan poster! Banyak sekali poster yang terpampang di dinding. Semuanya bergambar tokoh
Superman. Itu, temannya Batman dan Spiderman. Cukup rapih untuk ukuran pemuda
seperti Jay.
Diam-diam, Shinta menyukai kamar itu. Nyaman, dengan selarik sinar matahari yang
menerobos dari jendela nako menimbulkan hawa yang terasa hangat. Kamar itu ternyata
menghadap ke Timur. Dalam cuaca hujan seperti ini, kamar Jay benar-benar tempat idaman.
Bergegas, gadis itu menutup lalu mengunci pintu kamar. Pelan-pelan, Shinta melolosi
pakaian luarnya sambil menatap bayangan di cermin. Mengagumi bentuk tubuhnya sendiri
yang hanya tertutup underwear.
Setengah menggumam, "Kamu memang menarik, Shin!" ucapnya pada cermin yang
untungnya tidak punya perasaan.
Kalau punya, ia pasti sudah mengerayangi tubuh si gadis di depannya erat-erat. Sudah
beberapa menit, tapi Shinta masih saja memandangi dirinya. Di benaknya, terngiang
kembali rayuan pemuda-pemuda yang memuji-muji keindahan raganya. Ia bukannya tidak
sadar akan itu. Bagaimana pun, perempuan punya kecenderungan narcism. Memuja dirinya
sendiri. Itu fakta. Sayang, gadis itu tidak sempat 'menikmati' diri lebih lama lagi.
Shinta membuka pintu kamar dengan wajah masam. Jay, yang tetap hanya mengenakan
black jeansnya, spontan terbahak.
"Wuahahahahaa! Mau maen bola di mana, Neng?"
"Hmmph. Ini 'kan gara-gara baju elo!" Shinta merajuk, lalu duduk sambil menghempaskan
pantat keras-keras di sofa.
"Sori-sori. Abis nggak ada yang lain..." Jay membela diri. Senyum masih di bibirnya.
Dengan cuek, ia lalu duduk di lantai, berhadapan dengan gadis itu. Meraih asbak, kretek,
dan Zippo. Tiga bersaudara biang penyakit, kata dokter. Tiga sejoli kekasihku, kalau versi Jay.
"Jay, aku minta tolong boleh?" ucap Shinta, setelah mereka saling berdiam diri hampir
sepeminuman teh, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sementara, hujan di luar sana belum juga reda.
"Hmmm? Apaan?" Jay menatap kepada gadis itu dengan raut serius.
Memang hanya di rumah, seluruh kesadarannya terkumpul. Tidak ada ulah konyol,
kekanakan, atau pun melamun sendiri sambil tertawa-tawa.
"Ceritain dong, soal diri kamu, yang nggak dingertiin orang-orang?" Shinta menatapnya
penuh harap.
Jay tertunduk. Gadis ini cerdas sekali, batinnya. Lebih dari yang lain-lain.
Menghisap dalam-dalam kreteknya, Jay membalas, "Boleh. Tapi aku pengen cerita sambil
meluk kamu."
Shinta seketika beranjak dari sofa, kemudian mengambil tempat di sisi Jay. Memeluknya
erat dengan kepala menyandar di bahu si pemuda.
Lalu segala cerita mengenai dirinya, mimpinya, dan sejarahnya di masa lalu, mengalir
dengan runtut. Nyaris semua. Gadis itu mendengarkan semuanya dengan seksama. Sesekali
tertawa kecil, mengangguk serius, juga ikut tercenung, berempati pada kisah hidup pemuda
itu. Hampir tiga jam, Jay berkicau sendiri. Hebat, bisa saingan sama beo. Shinta menikmati
saat-saat ini, dengan segenap rasa. Misteri yang sempat dipikirkannya, tersingkap satu demi
satu. Kecuali hal terakhir.
"Jay, mau nanya lagi." Ucap Shinta, ketika Jay sudah menyelesaikan novel hidupnya.
Jay mengangkat sebelah alisnya. Menunggu.
"Kenapa, kenapa kamu nggak pernah nge-kiss Shinta?" ada kegusaran dalam nada si gadis.
Jay menggelengkan kepala pelan. "Tanya aja yang lain, ya?"
Shinta mengerutkan kening tidak sabar.
"Kamu nggak bergairah sama Shinta, Jay?" kejar gadis itu lagi.
Jay menatapnya kembali. "Hei, hei, bukan itu masalahnya." tukasnya sabar.
Diusapnya perlahan rambut panjang gadis itu.
"Terus? Apa?!" Shinta menatap penuh tantangan. Berapi-api.
Akhirnya, seperti yang sudah kuduga, batin Jay dalam hati.
Tanpa pikir panjang, Jay menjawab, "Karena itu pasti yang pertama buat kamu."
Sedetik setelah mengucapkannya, Jay sadar, tidak ada kata mundur setelah ini. Shinta
tersenyum manis. Lalu dengan satu gerakan cepat, ia meraih wajah Jay dengan kedua
tangannya, dan menyentuhkan ujung bibirnya dengan lembut ke bibir Jay. Merekahkan
tepiannya, lalu melumat lambat-lambat. Pemuda itu memejamkan mata. Kehangatan bibir
gadis itu, coba diresapinya dalam-dalam.
Shinta menarik wajahnya mundur. Kelopak matanya tampak sayu. Sedang napasnya
terdengar mulai cepat.
"Bukan yang pertama, untuk sebuah kecupan, Jay..."
Si Pemuda tidak sempat menjawab. Gadis itu sudah membungkukkan punggung, menciumi
tiap senti dadanya yang telanjang. Menggigit, menghisap. Bahkan menjilat. Jay kembali
memejamkan mata, dengan kepala terdongak ke belakang. Napasnya tanpa sadar mulai
memburu. Gairahnya sedang dibangkitkan. Ia sangat-sangat sadar. Juga ketika jemari Shinta
membuka kancing jeansnya, lalu menurunkan retsluiting dengan cekatan.
Dan bibir gadis itu makin turun ke bawah. Dengan ritme yang sama. Jay merasakan sesuatu
menyesak di bawah sana. Sigap, ditahannya wajah gadis itu. Lalu si Pemuda mengangsurkan
wajahnya, mengulum bibir si Gadis dengan penuh perasaan. Mempermainkan lidahnya di
dalam rongga mulut Shinta dengan liar, lalu keluar ke dagu, leher, dan belakang telinga
gadis itu. Shinta mengerang tertahan. Ada rasa geli yang mengalirkan listrik ke seluruh
syaraf di tubuhnya. Ia menggigit bibir, menahankan desiran dalam vena di sekitar kuduknya,
yang meremangkan bulu-bulu halus di sana, berbarengan dengan tarian lidah Jay di bagian
belakang lehernya.
Jay menggeserkan hidungnya bergantian pada sepasang buah dada yang tertata dengan
Hanya sekejap, mereka berdua sudah bertelanjang badan. Polos. Keduanya saling tindih kini,
di permukaan lantai yang dingin. Deru hujan di luar, seolah sedang terjadi badai petir yang
dahsyat. Meski kalah dahsyat dengan badai dalam dada masing-masing mereka. Langkah
terakhir. Jay menatap mata gadis yang terlentang di bawahnya.
"I want to touch," satu bisikan, pernyataan sebuah keinginan.
Gadis itu mengangguk yakin. Lalu pejamkan mata.
Jay masih sempat melirik tanggalan yang terpasang di dinding ruang tamu. Pemuda itu
menggeleng pelan. Bibirnya tersungging senyum tipis. It's about time. Ia kembali menelusuri
tubuh si gadis dengan bibirnya, lalu menarikan tango jari di bagian bawah si gadis. Yang
kemudian melonjak-lonjak dan merintih tak keruan. Penuh kenikmatan. Kemudian
meninggalkan gadis itu begitu saja, ketika jeritan tertahannya terlontar untuk yang kesekian
kali, dan tergeletak lemas. Jay meraih sebatang kretek dan menyulutnya seraya duduk di
sudut sofa. Entah sejak kapan, wajahnya terlihat begitu dingin dan bengis. Khas lelaki
penakluk. Iblis Jahanam. Ada noda darah di lantai, diusap dengan ibu jari kaki.
***
END
Bintang tamu
Suatu hari di Asrama Puteri
Gadis di pinggir tempat tidur yang sedang menggaruk-garuk kepalanya itu mengumpat
dalam hati. Seharusnya ia sudah curiga saat melihat City-Z silver yang mangkrak di pelataran
parkir kampusnya beberapa hari yang lalu. Sayang waktu itu ia terlalu sibuk dengan urusan
praktikumnya. Coba kalau tidak, mungkin ia sudah mendatangi iblis itu dan mencegah
segalanya terjadi. Tapi kenyataannya, seperti biasa, Dita selalu terlambat datang.
Sekarang, ia terpaksa mendengarkan ratapan dari salah seorang sahabat terbaiknya yang
tidak mengikuti perkuliahan sejak tiga hari lalu. Kamar dimana ia berada sekarang mulai
terasa kecil dan panas. Dita melepaskan cardigan-nya, lalu meraih gelas air putih di atas end
table. Matanya memandang sedih pada gadis yang kemudian meraih gelas di tangannya.
Wajah gadis yang kesehariannya tampak cerah itu sudah terlalu pucat untuk menyimpan
sari-sari kehidupan. Mirip sosok mayat hidup. Tubuhnya sepintas terlihat jauh lebih kurus
daripada biasanya. Rambutnya awut-awutan.
"Sudahlah, De. Hanya masalah cowok," bisiknya, seraya mengusapkan jemari tangannya di
rambut sahabatnya.
Gadis di atas tempat tidur meletakkan gelas kembali di atas meja, lalu memejamkan mata.
Setitik lagi air mata jatuh ke atas bantal.
Dita menarik napasnya dalam. Jangan pernah ada yang mengatakan bahwa ia tidak
mengerti akan semua itu. Walaupun Dewi tidak menceritakan seratus persen tentang
segalanya, Dita sudah dapat menebak apa yang terjadi. Baginya, sosok iblis itu bukanlah
seorang yang asing. Ia sangat mengenalnya. Salah seorang lagi dari sekian banyak sahabat.
Satu diantara yang bertatto di kening : BEWARE, HAZARDOUS!
Semula Dita tidak mengerti, siapa yang membuat Dewi jadi berantakan, dan bagaimana
caranya. Setahu Dita, Dewi memiliki banyak sekali teman pria. Tapi tidak seorang pun yang
dinilainya mampu membuat gadis itu terluka. Dewi bukanlah tipe gadis yang mudah untuk
dipermainkan. Sampai Dewi menyebutkan nama seorang pemuda yang membuatnya
tersentak.
Ray? Ray yang itu? Ray yang membantai wanita dan gadis kecil tanpa berkedip? Hancur
sudah!
Dita menunggu sampai sahabatnya tertidur. Ia meraba kening gadis itu, mendapatinya
sedikit hangat. Alis Dita berkerut. Pemuda itu benar-benar keterlaluan. Dita mungkin masih
merasa tidak mengapa, seandainya pemuda itu menyelesaikan apa yang sudah ia mulai,
membuat gadis itu terluka tanpa menyisakan sekeping cinta lagi. Tapi dengan menarik
harapan terindah dari seorang wanita di tengah jalan saja, sudah merupakan sebuah siksaan
lahir batin. Apalagi dengan membuat si gadis tetap merasa yakin, bahwa pemuda itu tidak
bersalah. Dalam jangka waktu yang panjang, Dita yakin, Dewi akan tetap menyimpan
harapan itu di hatinya. Harapan kosong, tentang kembalinya sang pemuda. Menyedihkan
sekali.
"Ia pergi karena ia menyayangiku. Aku bisa melihat kesedihannya," begitu isak Dewi yang
sempat didengarnya belasan menit lalu.
Dalam hati Dita mencibir. Mana mungkin? Satu-satunya alasan atas kejadian itu yang dapat
diterima nalarnya, adalah pemuda brengsek itu sudah membuat si gadis sedemikian rupa,
meletakkannya dalam batas yang ia inginkan, agar supaya ia dapat melepaskan diri dengan
mudah, dengan rasa cinta yang semakin membara di hati si gadis.
Dita meninggalkan kamar Dewi dengan merenung. Antara kekagumannya, rasa benci, dan
ingatan akan luka panjang di punggungnya, Dita meringis tanpa ia sadari di dalam mobil.
Iblis-iblis ini luar biasa. Datang tanpa diduga, melenakan tanpa terasa, lalu pergi tanpa jejak.
Setahun lalu saat ia mengenal iblis itu. Yang tersenyum menggoda di cofee shop, yang
berusaha mati-matian untuk membuatnya takluk, tapi gagal. Ia menyukai pemuda itu, di
luar sifat buruknya-karena pemuda itu adalah seorang sahabat yang baik.
Ray memang baik, tapi hanya dengan orang yang dianggapnya sahabat. Selain itu, ia akan
jahat seperti binatang buas. Dita mengerti, karena pemuda itu suka menceritakan segala
sesuatu padanya.
Saat ia hendak berlalu, sebuah bayangan melintas di samping mobil. Dita melirik ke arah
spion. Dengan heran ia memandang dua sosok yang turun dari macan hitam. Adegan
selanjutnya mirip sinetron India. Si gadis menghentakkan kaki, menutupi wajahnya, terisak
masuk ke dalam Asrama puteri. Sementara sosok pemuda berambut panjang di samping
macan hitam hanya berdiri. Lalu memutar tubuh. Gadis di dalam mobil dapat melihat
wajahnya dengan jelas. Dita tercekat. Jay? Si manusia beku? Iblis yang lain?
Pemuda itu berhenti memandang ke arahnya. Dari spion, Dita melihat pemuda itu
tersenyum. Jari telunjuk pemuda itu menempel di pelipisnya, untuk kemudian menunjuk ke
depan. Tanpa mengatakan apapun, pemuda itu menaiki macan hitamnya, lalu melaju ke
arah yang berlawanan dengan arah mobil Dita menghadap.
Dita terpana sejenak. Otaknya bekerja. Gerakan Jay terlintas lagi di benaknya. Apa maksud
pemuda itu menunjuk udara kosong? Belum lima menit, Dita sudah melajukan mobilnya.
Mengumpat dalam hati. Sembilan puluh sembilan persen ia sudah menebak apa yang telah
terjadi. Tapi semoga dugaannya salah. Satu persen saja.
***
Dita menemukan kedua makhluk itu di cofee shop biasanya, tempat ia pertama kali
mengenal Ray setahun lalu, dan Jay sebulan setelahnya. Kedua makhluk itu tampak bahagia.
Senyum dan cengiran di wajah mereka, diselingi tawa. Dita melangkah pelan-pelan
menghampiri. Alisnya berkerut, jelas gadis itu tampak gusar. Belum terlalu dekat, salah
seorang dari kedua pemuda itu sudah melihatnya.
"Dit!" Ray berseru seraya melambaikan tangan. Jay menoleh dan tersenyum.
Dita tidak membalas sapaan dan senyuman yang dilontarkan kedua orang itu. Langkahnya
semakin kaku saat ia mendekat. Gadis itu berhenti di samping meja oval. Matanya
memandangi kedua pemuda itu satu-satu, tajam, tidak ada yang luput.
Kedua pemuda itu tak menghindar, malah tertawa terbahak-bahak. Dita lalu mendudukan
tubuhnya di kursi yang sudah ditarik. Wajahnya masih kerut merut. Bagaimanapun, ia
merasa sebal di hatinya."Dit," Ray berbisik, "Mau Banana Split?"
"Plus CC Shake!" Jay ikut berbisik.
Dita melebarkan matanya, "Wah? Mau dong!"
Ketiga sahabat itu lalu bersepakat melupakan apa yang sudah terjadi. Mereka bertiga
memang demikian, cepat sebal satu dengan lainnya. Namun cepat juga mencairkan
kebekuan dengan canda tawa. Walaupun dalam hati Dita merasa kasihan pada Dewi dan
Shinta, sebagai sesama wanita, tapi Dita tahu, yang ada dihadapannya saat ini, adalah dua
sahabat terbaiknya, bukan iblis yang mengerikan. Ia tidak dapat mengubah hal itu. Ia hanya
dapat bertekad, lain kali akan berusaha lebih keras untuk menghalangi kejadian-kejadian
serupa terulang kembali.
"Tapi, Dit. Menurutmu, jahat mana aku sama Jay?" mendadak Ray bertanya.
Dita menelan potongan pisang sebelum menggeleng, "Entahlah. Bagiku kalian semua sama
brengseknya. Nggak ada bedanya selain warna kulit. Itu juga kalau gelap ngga kelihatan."
Ray saling pandang dengan Jay, lalu sama-sama menunjuk. Nyaris pula berbarengan saat
berseru, "Kamu yang kalah!"
***
EPILOG :
Warung Senang. Hanya menyediakan minuman panas, gorengan murahan, dan indomie
tanpa telor. Semua orang mendengarkan dengan napas tertahan. Satu setengah jam mereka
seolah terbuai. Ebes dan Emes saling pandang. Abang becak, tukang ojek, sopir angkutan,
dan tukang ngamen tidak berkata-kata. Jay menghembuskan asap dari bibirnya.
Menyambar kotak Marlboro-nya, Ray menyusul Jay yang sudah keluar warung. Jendela
mobil bergerak turun, wajah tersenyum seorang gadis terlihat. Sesaat kemudian, warung itu
terasa sepi. Ebes melirik Emes, berbisik kecewa, "Lhah, kalau tak ada yang menang..."
"Hutangnya..," Emes meneruskan.
Orang-orang yang ada di warung saling pandang. Lalu nyaris serentak mereka semua
tertawa. Semuanya merasa baru bangun dari sebuah mimpi. Tukang ngamen, yang baru
pertama kali singgah di Warung Senang, mengambil sepotong tempe, lalu bertanya, "Siapa
sih mereka, Bes?"
Ebes, dengan tersenyum, menggeleng-gelengkan kepala, "Bukan siapa-siapa. Hanya dua
orang tukang hutang yang suka mendongeng."
Satu lagi malam berlalu di penghujung tahun.
TAMAT