Anda di halaman 1dari 6

UJIAN AKHIR SEMESTER ATA 2011/2012

MIKROBIOLOGI LINGKUNGAN
TAKE HOME
DOSEN: SITARESMI M.Sc

NAMA : USMAN ARIF


NPM : 0806453434

JAWABAN PERTANYAAN KELOMPOK JURNAL A.

1. Berdasarkan jurnal Fujii dkk. jelaskan beberapa tantangan yang mereka hadapi
dan bagaimana mengatasinya?

Tantangan utama yang dihadapi oleh Fuji dkk. adalah lama durasi degradasi 17β-
estradiol (E2) oleh strain ARI-1 dimana 30mg E2 didegardasi dalam waktu yang
lebih dari 50 hari. Tantangan lain adalah memperoleh data jumlah konsentrasi E2
yang relevan pada lingkungan. Hal tersebut karena konsentrasi E2 dalam part per
billion (ppb) sangat sulit diukur dengan teknik yang digunakan (HPLC), untuk
mengatasinya diperlukan metode analisis yang lebih sensitif. Langkah-langkah
yang perlu dilakukan untuk mengatasi problem-problem diatas adalah
melakukan teknik rekayasa genetika ARI-1 untuk menghasilkan strain yang dapat
mendegradasi E2 lebih cepat, menemukan medium tanam bagi ARI-1 yang akan
mengoptimalkan pertumbuhan strain tersebut.

2.a Competitive dominance adalah kompetisi yang berlangsung antar berbagai


populasi pada suatu habitat untuk mendominansi populasi lainnya, dalam hal ini
dapat berlangsung perubahan populasi yang mendominasi pada habitat
tersebut. Penelitian Layton dkk. menunjukkan bahwa pada mulanya
Nitrosomonas nitrosa mendominasi komposisi AOB namun seiring dengan
berjalannya penelitian strain RI-27 yang merupakan garis keturunan
Nitrosomonas communis meningkat populasinya dari jumlah yang tidak
terdeteksi menjadi salah satu populasi yang dominan.

2.b kelompok AOB memiliki peran untuk mengkonversi ammonia menjadi nitrit.
Hal tersebut mengurangi toksisitas ammonia pada air pembuangan limbah. Pada
skala industri besar di negara-negara maju pengolahan limbah cair sebelum
dialirkan kelingkungan sering kali dilakukan wastewater treatment plant
(WWTPs). Ammonia ditambahkan kedalam WWTPs untuk mensuplai nitrogen
bagi pertumbuhan sekunder mikroba AOB. Meskipun terjadi perubahan populasi
yang mendominasi pada ekosistem WWTPs namun proses konversi ammonia
menjadi nitrit tetap berlangsung secara optimal.
3. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh Zilles dkk. dalam penelitiannya
antara lain adalah:

a. Uji keberadaan Rhodocyclus sp. dengan menggunakan metode FISH


(Fluorescence in situ hybridization) lalu diamati di bawah mikroskop
Axioplan 2. Hasil positif ditunjukkan oleh empat probe uji yaitu RHC439,
PAO462b, PAO651, dan PAO846b.
b. Uji degradasi pelepasan fosfat dari lumpur aktif dengan menggunakan tes
bacth anaerob. Dua liter lumpur aktif dimasukkan ke dalam batch pada
akhir tahap anaerobik lalu diinkubasi 30 menit untuk menghilangkan
oksigen tersisa, selanjutnya ditambahkan sodium asetat untuk
memperoleh nilai asam asetat mula-mula.
c. Pemisahan organisme-organisme pengakulmulasi fosfat (PAOs).
Pemisahan tersebut dialukan dengan dua metode. Metode pertama
dengan tingkat daya apung yang lebih tinggi berdasarkan berat jenis yang
lebih ringan dari organisme-organisme lainnya. Metode kedua dengan
perbedaan pewarnaan yang timbul pada PAOs dan non-PAOs dengan
menggunakan DAPI (5µg ml-1) selema semalam pada permukaan es. Hasil
yang didapatkan adalah nilai rasio fluorescence pewarna DAPI pada
subpopulasi PAOs lebih tinggi dibandingkan dengan non-PAO.
d. Analisis mikroskopik dengan mengambil sampel pada tahap akhir aerobik,
sampel difiksasi dengan 3% paraformaldehid dalam fosfat buffer saline
selama 30 menit lalu dicuci dan ditransfer pada gelas objek yang dilapisi
gelatin.
e. Pembuatan clone libraries (Sampel kloning). Dua jenis sampel kloning dari
sampel lumpur aktif yang diamati yaitu sekuens 16s rRNA gen yang
terkain dengan Rhodocyclus dan universal primer 1492r.

Peranan bakteri PAOs pada lokasi tiga lokasi WWTP sangat beragam presentase
populasi PAO dan Rhodocyclus-related tertinggi terlihat pada instalasi Nine
Springs, sehingga disimpulkan pemindahan fosfat pada instalasi tersebut
dikatalisis oleh organisme Rhodocyclus-related dan pelepasan fosfat tertinggi
terjadi pada lokasi pengolahan limbah cair Nine Spring. Jumlah populasi
organisme Rhodocyclus-related yang tidak begitu banyak pada WWTP Dane-Iowa
seperti halnya pada WWTP Nine Spring memperlihatkan bahwa hasil pelepasan
fosfatnya tidak sebesar nilai pelepasan fosfat pada WWTP Nine Spring. Pada
WWTP Racine, analisis yang serupa tidak dapat dilakukan karena subpopulasi
yang kaya akan PAO tidak teramati. Hal ini sesuai dengan fungsi WWTP tersebut
yang memindahkan fosfor dengan cara presipitasi kimia, bukan secara EBPR.
JAWABAN PERTANYAAN KELOMPOK JURNAL B

1.a Peran asam asetat yang ditambahkan pada sedimen/tanah tercemar uranium
adalah peningkatan pelepasan uranium dari air tanah karena menstimulasi
proses dissimilatory metal-reducing dapat mengurangi jumlah uranium yang
terlarut (U VI) menjadi uranium yang tidak terlarut dalam air (U IV). Pada daerah
yang diinjeksi asetat juga menunjukkan tingginya jumlah Geobacteraceae,
bahkan merupakan salah satu koloni yang mendominasi pada reduksi metal.
Daerah yang memiliki salinitas tinggi setelah ditambah asam asetat mengalami
peningkatan dalam pelepasan nitrat dari air tanah, proses tersebut diikuti
akumulasi Fe(II) dan pelepasan U(VI) sehingga mengurangi kadar U(VI) dan
menghasilkan Fe(III). Hal tersebut diatas dapat membuktikan bahwa
penambahan asam asetat dapat menstimulasi respirasi anaerob sediment
bersalinitas tinggi dan dapat meningkatkan pelepasan kontaminan U(VI).

1.b Lingkungan dapat menjadi faktor penting penentu berhasilnya bioremidiasi


uranium. Lingkungan yang tidak mendukung seperti halnya tingginya nilai
salinitas dapat menjadi barrier bagi bakteri Geobacteraceae, sehingga pada
daerah bersalinitas tinggi tidak didapati kelompok bakteri Geobacteraceae.
Namun, hal tersebut dapat mejadi stimulasi untuk mencari bakteri perduksi
uranium dari kelompok lain (Pseudomonas dan Desulfosforusinus) yang dapat
hidup pada daerah bersalinitas tinggi. Kondisi lingkungan yang berbeda dapat
menyebabkan komposisi mikroorganisme pada tiap-tiap lingkungan berbeda
pula. Betaproteobakteria merupakan kelompok yang dominan pada Pada
lingkungan air tanah, yaitu sebanyak 41%. Sedangkan pada lingkungan sedimen
padat kelompok mikroorganisme yang biasanya banyak terdapat adalah
Acidobacteria, Alphaproteobacteria, dan actinobacteria.

2.a Penelitian yang dilakukan oleh Mishra dkk. terkait bioremidiasi tanah
terkontaminasi minyak. Misrha dkk. menggunakan Acinetobacter baumannii
sebagai agen bioremidiasi yang dilakukannya. Grafik pada figure 1. Merupakan
hasil pengurangan total petroleum hidrocarbon (TPH). Terdapat tiga kelompok
grafik yang menggambarkan pengurangan jumlah TPH pada tiga plot yang
berbeda. Plot A dan plot B merupakan plot yang diberi perlakuan penambahan
bakteri A. baumannii, masing-masing strain S19 dan strain S30. Bakteri tersebut
diduga memiliki kemampuan meremidiasi lahan yang telah tercemar oleh
minyak. Plot C adalah kontrol, plot ini tidak ditambahkan bakteri apa-apa selain
bakteri-bakteri indegenous yang memang terdapat pada lokasi plot C. Dari hasil
penelitian selama satu tahun terlihat bahwa pengurangan TPH pada plot A dan B
sangat signifikan. Plot A mengalami pengurangan TPH sebanyak 92% dalam
kurun waktu 360 hari dan Plot B mengalami pengurangan TPH sebanyak 89,7%
dalan kurun waktu 345 hari. Sedangkan plot C hanya mengalami pengurangan
TPH sebanyak 14% dalam waktu 360 hari. Grafik tersebut membuktikan bahwa
bakteri A. baumannii memiliki kemampuan untuk menggunakan rantai
hidrokarbon sebagai sumber nutrisi, sehingga mampu meremidiasi tanah yang
tercemar oleh minyak.

2.b Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan jenis inokulum
bakteri yang akan digunakan untuk bioremidiasi tanah tercemah hidrokarbon
adalah kemampuan inokulum terkait untuk menggunakan hidrokarbon sebagai
sumber nutrisinya. Setiap strain memiliki kemampuan untuk memetabolisme
gugus hidrokarbon tertentu. Jadi, kesesuaian kemampuan strain dalam
mencerna hidrokarbon haruslah sesuai dengan gugus agen hidrokarbon
pencemar pada daerah tercemar tersebut. Sebagai contoh endapan oli
merupakan campuran alkana, benzena, NSO, fraksi aspal dll. Satu jenis bakteri
mungkin memiliki kemampuan untuk mencerna dengan tingkat efisiensi yang
tinggi namun hanya pada salah satu komponen penyusun endapan oli,
sedangkan bakteri indegenous dapat memiliki spektrum percernaan hidrokarbon
yang luas namun tidak signifikan dan effisien dalam tingkat bioremidiasi.
Pengayaan strain bakteri indegenous perlu dilakukan untuk meningkatkan
kinerja bioremidiasinya. Setelah pengayaan, reintoduksi akan menggabungkan
spektrum sasaran yang luas dan tingkat kinerja bioremidiasi yang tinggi. Hal lain
yang perlu diperhatikan adalah resistensi strain inokulum terhadap tekanan
lingkungan dan material pembawa inokulum sehingga saat ditranfer tidak
menggangu populasi inokulum dan kinerja bioremidiasinya.

JAWABAN PERTANYAAN KELOMPOK JURNAL C

1.a Pemilihan isolat P. acidovorans M3GY sebagai agen biologi pada uji degradasi
DDE diajukan merujuk pada informasi yang terdapat pada jurnal Biodegradation
of DDE (1,1 dicloro-2,2-bis(4chlorophenyl) ethylene oleh Bumpus dkk. Hay dan
Focht mengusulkan bahwa biphenyl-grown P. acidovorans M3GY mengubah DDE
melalui proses cometabolism analog dengan tranformasi biphenyl.

1.b Proses cometabolism yang terjadi dapat berlangsung melalui dua jalur. Jalur
pertama adalah DDE diserang oleh enzim dioxigenase pada posisi meta dan
ortho yang menyebabkan DDE berubah menjadi 2,3-dihidrodiol-DDE
intermediate. Kondisi dihidrodiol tersebut tidaklah stabil, sehingga pada kondisi
asam akan cepat mengalami dehidrasi. Proses dehidrasi akan menghasilkan dua
isomer monohidroksi yang berbeda, satu menggantikan pada posisi meta sedang
yang lainnya pada posisi ortho. Jalur kedua adalah pembentukan cincin oksida
oleh enzim dioksigenase. Pada kondisi asam setelah ekstraksi supernatan akan
terbentuk metabolit pertama yaitu 1,1-dikloro-2-(dihidroksi-4-klorofenil)-2-(4-
klorofenil) etilen. Pada kondisi normal transformasi DDE akan dimediasi oleh
dioxigenase. Pembentukan dihidroksi-DDE meningkat sdari akumulasi pecahnya
cincin dihidrodiol menghasilkan 6-okso-2-hidroksi-7-(4klorofenil)-4,8,8-
triklorookta-2,4-dienoic acid. Selanjutnya molekul tersebut mengalami metilasi
menjadi 2-(-4klorofenil)-4,8,8triklorookta-2,4-dienoic acid (metabolit no 5).
Selanjutnya metabolit no 5 dapat berubah menjadi 4-klorofenil asam asetat
(metabolit no 6) atau 4-kloroasetofenon (metabolit no 7). Metabolit no 7 masih
dapat dimetabolisme menjadi 4-klorobenzaldehid lalu menjadi 4-kloro asam
benzoat.

2a. Penambahan ekstrak yeast pada medium memiliki peran penting pada proses
degradasi sianida. Penambahan ekstrak yeast akan meningkatkan pertumbuhan
Fusarium solani dibanding dengan medium yang tidak ditambahkan ekstrak
yeast. Jumlah koloni yang tumbuh yang lebih besar dengan penambahan ekstrak
yeast akan meningkatkan jumlah sianida yang dapat didegradsi oleh F. Solani.
Peran lain adalah pada konversi formamid menjadi asam format. Fusarium solani
tidak dapat menggunakan formamid sebagai sumber nutrisi utama sehingga
harus ditambahkan ekstrak yeast (fig.3) dan (tabel 4).

2.b ketiga isolat bakteri tersebut dapat hidup karena bersifat toleran terhadap
sisnida dan alkalifilik. Daya toleransi ketiga isolat tersebut bukan disebabkan oleh
kemampuan mendegradasi sianida, tetapi karena kemampuan isolat-isolat
tersebut melakukan oksidasi alternatif pada proses respirasinya.

Kekurangan penggunaan Fusarium solani dalam bioremidiasi adalah hanya


terbatas pada kondisi alkali karena mikroorganisme yang digunakan bersifat
alkalifilik. Lamanya periode lag Fusarium solani (2 hari) menyebabkan proses
remidiasi memakan durasi yang lebih lama. Selain itu, terdapat batas ambang
minimum dan maksimum konsentasi sianida bagi Fusarium solani yang harus ada
pada medium sebesar 40-80µM. Konsenstrasi sianida yang terlalu sedikit atau
terlalu banyak dari batas ambangnya akan menghambat pertumbuhan fungi.
Konversi formamid yang membutuhkan tambahan pada medium berupa ekstrak
yeast membuat proses bioremidiasi tidak efisien. Namun, dalam susut pandang
kesehatan dan lingkungan proses ini lebih baik dari pada volatilisasi sianida yang
akan memabayakan bagi lingkungan dan kesehatan.

3.a Konsep biobarrier yang digunakan Di Lorenzo dkk. pada penelitiannya adalah
penggunaan batu apung sebagai habitat pertumbuhan biofilm pendegradasi
toluen. Batu apung ditempatkan pada tangki terpisah lalu dari sumber makanan
mikroba dan toluen dari tangki masing-masing dipompakan kedalam tangki batu
apung. Pada tangki batu apung akan berlangsung eliminasi toluen oleh mikroba-
mikroba yang terdapat pada tangki tersebut. Permukaan batu apung yang
mudah ditempeli oleh masa mikroba akan membentuk lapisan biofilm pada
permukaanya.

3.b Komunitas mikroorganisme yang membentuk lapisan biofilm pada batu


apung didominasi oleh dua jenis bakteri yaitu: Rhodococcus erythropolis dan
Psedomonas marginalis. Proses pembetukan biofilm diawali dari
perkembangbiakan mikroorganisme dan penempelan pada permukaan batu
apung. Adanya adhesi antara permukaan batu apung yang kasar dan berongga-
rongga dengan permukaan mikroorganisme menyebabkan penempelan tersebut.
Bahkan gaya adhesi tersebut dapat dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri
Rhodococcus erythropolis denagn sangat pesat dibanding dengan
pertumbuhannya pada medium pengayaan. Hasil foto mikroskop pada umur
enam bulan (figure 1 B) memperlihatkan banyaknya sel-sel bakteri berbentuk rod
dan rodococcus. Sedang pada foto mikroskop pada umur dua belas bulan terlihat
lapisan ektraselular bakteri yang tebal menutupi sel-sel bakteri, pada sela-sela
lapisan ektraseluler tersebut sesekali terdapat bakteri tunggal (figure 1C dan 1D).
Lapisan ektraselular pada batu apung bagian bawah tangki terlihat lebih tebal
dari pada lapisan ektraseluler pada batu apung bagian atas.

4. Proses bioremidiasi secara in situ memiliki beberapa keuntungan maupun


kekurangan. Diantara keuntungan-keuntungan tersebut antara lain adalah
pengaplikasian penelitian bioremidiasi in situ lebih tepat sasaran dan hasilnya
dapat dilihat langsung pada lingkungan tempat perlakuan bioremidiasi. Jarak
yang dekat dengan lokasi penelitian akan mempermudah proses penelitian,
sehingga mengurangi dana transportasi sampel dan alat, apalagi jika disekitar
lokasi penelitian bioremidiasi in situ didirikan stasiun pengamatan dan gudang
peralatan yang digunakan dalam penelitian. Walaupun demikian penelitian in
situ juga memiliki beberapa kekurangan seperti rawannya kontaminasi apabila
dibutuhkan beberapa langkah-langkah uji molekular yang membutuhkan ternik
yang steril. Kondisi lingkungan yang kurang bersih dan nyaman dapat menjadi
faktor penghambat sehingga beberapa peneliti cenderung enggan melakukan
penelitian in situ. Kondisi lingkungan berupa parameter kimia dan fisika yang
selalu berubah sepanjang hari dapat menjadi faktor penghhambat bagi
penelitian tertentu.

Anda mungkin juga menyukai