PUSAT KURIKULUM
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
2007
ABSTRAK
Perubahan kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan dari sentralistik menjadi
desentralistik berimplikasi terhadap peranan satuan pendidikan. Selama puluhan tahun,
satuan pendidikan hanya menjadi pelaksana kurikulum, dengan lahirnya Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang otonomi daerah dan
ditindaklanjuti melalui PP Nomor 19 tahun 2005 serta diatur pelaksanaanya melalui
Peraturan Mendiknas Nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006, maka peran satuan pendidikan
berubah menjadi penyusun kurikulum, yang disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Untuk itu, setiap satuan pendidikan diberi kesempatan untuk
mempersiapkan diri sampai tahun 2009/2010.
Agar sasaran kebijakan tersebut dapat dicapai secara efektif, dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional (Permendinas) No. 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan
Permendiknas No. 22 dan No. 23 tahun 2006 tentang standar isi dan standar kompetensi
lulusan disebutkan bahwa salah satu tugas pokok Badan Penelitian dan Pengembangan
(Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), dalam hal ini, Pusat
Kurikulum adalah memonitor secara nasional penerapan Permendiknas No. 22 Tahun
2006 tentang Standar Isi dan Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan, mengevaluasinya, dan mengusulkan rekomendasi kebijakan kepada BSNP dan/atau
Menteri.
Monitoring ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi tentang kesiapan daerah
dan satuan pendidikan dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut, khususnya
berkaitan dengan pengembangan dan pelaksanaan KTSP. Memasuki tahun pelajaran
2007, sebagian daerah dan satuan pendidikan sudah mulai menerapkanya, terutama
daerah-daerah yang sudah melaksanakan piloting kurikulum berbasis kompetensi
(KBK). Hal ini memungkinkan karena secara operasional, KTSP menggunakan
pendekatan berbasis kompetensi sehingga bagi guru yang sudah terbiasa dengan KBK,
menerapkan KTSP menjadi lebih mudah.
Berdasarkan hasil monitoring, dapat disimpulkan bahwa daerah dan satuan pendidikan
menerima dan menyambut baik kebijakan tersebut. Perubahan kebijakan ini disikapi
sebagai upaya pembaharuan yang menyeluruh di bidang pendidikan yang mememberikan
peluang kepada setiap satuan pendidikan untuk mengembangkan berbagai keunggulan
sesuai dengan kekhasan masing-masing. Kendala yang umumnya dialami oleh masing-
masing daerah adalah keterbatasan sumber dana untuk membiayai kegiatan penyusunan
KTSP.
Terlepas dari itu, hasil mintoring ini mendorong kita untuk meningkatkan kemampuan
memberikan layanan profesional kepada daerah termasuk advokasi tentang pendanaan.
Selain itu, melihat berbagai persoalan yang ada, Pusat Kurikulum perlu mengembangkan
suatu sistem monitoring sehingga mempermudah dan mempercepat alur informasi
berkaitan dengan persoalan-persoalan yang perlu datangani dengan cepat dan intensif.
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 1
C. Ruang Lingkup 2
D. Hasil Yang Diharapkan 2
BAB II METODOLOGI 3
A. Gambaran Umum 7
B. Keberadaan dan Pengembangan KTSP di Satuan Pendidikan 15
C. Persepsi Komite Sekolah (Orangtua) dalam Pengembangang dan Penerapan 22
KTSP
D. Perbandingan Hasil Tes Pemahaman KTSP antara Pejabat Struktral di Dinas 28
pendidikan dengan Sekolah (Kepala Sekolah dan Guru)
E. Observasi Kegiatan Pembelajaran 33
A. Kesimpulan 40
B. Rekomendasi 40
KEPUSTAKAAN
A. Latar Belakang
UU No. 20 Tahun 2003 tentang SPN Pasal 36, ayat 2 mengamanatkan bahwa Kurikulum
pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi
sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Agar keberagaman
potensi dan kebutuhan daerah serta peserta didik dapat direfleksikan dalam kurikulum,
maka pemerintah menegaskan lagi melalui pasal 38, ayat 2: UUSPN No. 20 Tahun 2003,
“bahwa Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan
relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah
di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan menengah”.
Tim Sosialisasi memiliki tugas: (1) melakukan sosialisasi Permendiknas Nomor 22 Tahun
2006 dan Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 kepada Tim sosialisasi KTSP
di Provinsi, (2) melatih dan membina secara terus menerus dalam pengembangan
KTSP kepada Tim Sosialisasi KTSP di Provinsi, (3) memberikan bantuan teknis ke semua
pihak agar semua tim pada semua tingkatan dapat melakukan tugas sebaik-baiknya.
Agar sasaran kebijakan tersebut dapat dicapai secara efisien dan efektif, dalam Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional (Permendinas) No. 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan
Permendiknas No. 22 dan No. 23 tahun 2006 tentang standar isi dan standar kompetensi
lulusan disebutkan bahwa salah satu tugas pokok Badan Penelitian dan Pengembangan
(Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), dalam hal ini, Pusat
Kurikulum adalah memonitor secara nasional penerapan Permendiknas No. 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi dan Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan, mengevaluasinya, dan mengusulkan rekomendasi kebijakan kepada BSNP dan/atau
Menteri.
B. Tujuan
C. Ruang Lingkup
Data dan informasi tentang pemahaman, kesiapan daerah terutama satuan pendidikan
untuk menerapkan Permendiknas Nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006
1. Penyusunan desain
Desain ini merupakan master plan yang disusun untuk dijadikan pedoman atau acuan
dalam kegiatan monitoring yang meliputi: latar belakang dan tujuan monitoring, ruang
lingkup, hasil yang diharapkan, kerangka berpikir atau landasan teori, metodologi,
pelaksanaan kegiatan, analisis hasil monitoring, penyusunan dan presentasi rekomendasi
mengenai hasil kegiatan keseluruhan. Penyusunan desain dilaksanakan dalam bentuk
workshop, rapat kerja dan diskusi fokus yang melibatkan berbagai nara sumber perguruan
tinggi, praktisi pendidik dan tenaga kependidikan, dan stakeholder lain yang relevan.
2. Pengembangan instrumen
Instrumen dikembangkan dan disusun untuk menjaring atau mendapatkan data dan
informasi kualitatif dan kuantitaif mengenai pencapaian pelaksanaan Permendiknas No. 22
dan 23 tahun 2006 tentang Standar Isi dan SKL oleh satuan pendidikan. Instrumen yang
disusun berbentuk tes, kuesioner, pedoman wawancara, pedoman observasi situasi dan
pelaksanaan pembelajaran. Sumber data yang digunakan adalah siswa, guru, kepala
sekolah dan tenaga kependidikan lain, pengawas sekolah, dan dinas pendidikan
kabupaten/kota/ propinsi, serta dokumen yang relevan. Instrumen yang telah disusun
diujicoba secara terbatas untuk memvalidasi keterbacaan dan kesesuaiannya dengan tujuan
monitoring
Rapat kerja ini terutama untuk menentukan kesamaan persepsi dan pemahaman berbagai
pihak pengelola pendidikan dari unsur sekolah, orangtua, dinas pendidikan, pemerintah,
dan pihak lain mengenai implikasi Permendiknas No. 22, 23 dan tahun 2006 tentang:
a. Hal-hal yang harus dilaksanakan dan dicapai satuan pendidikan seperti yang
dituntut dalam Permendiknas No. 22 dan 23 tahun 2006
b. Mekanisme satuan pendidikan dalam menyusun dan melaksanakan kurikulum
tingkat satuan pendidikan dan daya dukungnya.
c. Peran pemerintah kabupaten/kota/propinsi dalam mendukung pelaksanaan
Permendiknas No. 22 dan 23 tahun 2006 oleh satuan pendidikan
d. Peran pemerintah (Depdiknas dan departemen lain terkait) dalam merumuskan
kebijakan untuk mendukung pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23 tahun 2006
oleh satuan pendidikan
Rapat kerja ini juga untuk mengatur koordinasi dalam pelaksanaan monitoring sehingga
diperoleh cukup data dan informasi kualittaif dan kuantitatif yang akurat dan aktual
4. Pelaksanaan monitoring
Data dan informasi hasil monitoring dan kajian dokumen pendukund yang relevan
dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif untuk mendapatkan gambaran, potret atau profil
tingkat pencapaian dan efektifitas penerapan atau pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan
23 tahun 2006 oleh satuan pendidikan pada seluruh propinsi. Hasil analisis ini digunakan
sebagai bahan penyusunan rekomendasi kebijakan dalam penyusunan dan pelaksanaan
kurikulum oleh satuan pendidikan dan evaluasu, supervisi atau pembinaannya oleh
pengawas sekolah, dinas pendidikan kabupaten/kota/propinsi dan pemerintah.
7. Penyusunan laporan
B. Pengembangan Instrumen
Instrumen disusun dan digunakan untuk mengukur atau mendapatkan data dan informasi
pencapaian pelaksanaan Peremndiknas No. 22 dan 23 tahun 2006. Bentuk Instrumen yang
dikembangkan dalam monitoring ini berupa kuesioner, pedoman wawancara, dan
pedoman observasi.
Metode wawancara dapat dilakukan secara tertulis ataupun langsung dengan mengacu
pada panduan wawancara. Observasi digunakan untuk mengamati unjuk kerja (kinerja)
pada saat pembelajaran di sekolah maupun obaservasi situasi dan kondisi pembelajaran
Metode kuesioner disusun dalam bentuk pertanyaan dan pernyataan tertulis yang telah
disiapkan yang dapat berbentuk pertanyaan dengan jawaban tertutup, terbuka, atau
pernyataan sikap. Kuesioner dengan jawaban (options) tertutup mudah dianalisis tetapi
tidak memberi peluang responden memberi tanggapan lain yang mungkin sangat berguna.
Kuesioner dengan jawaban terbuka memberi peluang pada responden menyatakan
pendapatnya secara bebas tetapi memerlukan waktu untuk menganalisis. Dalam
pengembangan kuesioner memperhatikan aspek kepraktisan, kegunaan informasi yang
dijaring, dan keakuratan jawaban. Aspek lain yang tidak mungkin dimonitor melalui
kuesioner dapat dimonitor melalui observasi atau teknik monitoring lainnya.
Penilaian diri merupakan salah satu bentuk kuisioner yang khusus untuk melakukan
evaluasi diri tentang komitmen Penilaian diri cukup bermanfaat untuk dilakukan karena
pelaksana diklat akan lebih jujur mengungkapkan pendapatnya tentang pelaksanaan
program diklat. Walaupun perlu dilakukan kroscek atau verifikasi dengan sumber data
yang lain untuk mendapat informasi yang lebih otentik.
Populasi dalam monitoring ini adalah unsure dari satuan pendidikan dasar dan menengah
dan komitenya serta dinas pendidikan kabupaten/kota/propinsi pada 33 propinsi. Teknik
sampling dilakukan secara multi-stages dengan mengkombinasikan sistem cluster samples
dan purposive samples. Pada masing-masing propinsi akan dilakukan monitoring pada
tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang meliputi pendidik, tenaga
kependidikan, komite, siswa, orangtua, pengawas, dan sarana pendukungnya. Monitoring
pada tingkat dinas penddikan kab/kota/propinsi meliputi ketenagaan dan program kerja
dalam mendukung pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23 tahun 2006.
Analisis data yang digunakan adalah content analysis berupa studi dokumen untuk
membandingkan berbagai temuan yang memiliki karakteristik berbeda-beda dan narrative
analysis untuk melihat kohorensi temuan / informasi dari dokumen ataupun tanggapan
para responden yang berkaitan dengan ketersediaan buku-buku pelajaran dan
kesesuaiannya dengan kurikulum. Selain itu, juga digunakan descriptive statistically
analysis untuk mendeskripsikan berbagai aspek variabel yang berkaitan dengan buku-buku
pelajaran.
E. Responden
Responden yang dilibatkan dalam monitoring ini berasal dari dinas pendidikan provinsi,
dinas pendidikan kota di ibu kota provinsi, dan sekolah-sekolah yang berada di ibukota
provinsi. Responden dipilih secara acak, namun karena semua responden berasal dari ibu
kota provinsi, data yang diberikan belum mewakili daerah-daerah di luar ibukota provinsi.
Namun demikian, hasil monitoring dapat dijadikan sebagai barometer untuk
memperkirakan (memprediksi) bagaimana kondisi di luar ibu kota provinsi. Berikut tabel
jumlah responden.
1. Dinas Pendidikan
Sebagain besar responden yang berasal dari pejabat struktural Dinas Pendidikan berlatar
belakang pendidikan sarjana strata 1 (64,8%), sarjana strata 2 (18,0%), SLTA (13,7%),
dan diploma (3,5%). Responden yang berlatar belakang pendidikan SLTA adalah staf
teknis yang hadir mewakili atasannya. Sebagian besar (53,9%) telah memiliki masa kerja
antara 21-30 tahun, dan hanya 14,4% yang masa kerjanya 10 tahun ke bawah.
Lebih seproh (58,5) responden mengaku belum pernah ikut sosialisasi. Dari responden
yang mengikuti sosialisasi, umumnya (97,8) menyatakan ikut sosialisasi kurang dari
seminggu.
2. Sekolah
Responden yang terdiri atas kepala sekolah dan guru dengan latar belakang pendidikan
sebagian besar sarjana. 80,3% responden kepala sekolah berpendidikan sarjana strata 1,
dan 19,7 berpendidikan sarjana strata 2. Sedangkan guru, 84,5% adalah sarjana starta 1,
11,9 sarjanan strata 2, 1,2% sarjanan strata 3, serta 2,4 masih berpendidikan diploma.
Berdasarkan masa kerjanya, 48,5% kepala sekolah yang menjadi responden memiliki
masa kerja 11-20 tahun, 37,8% dengan masa kerja 21-30 tahun, 7,6% dengan masa kerja
10 tahun ke bawah, dan hanya 6,1 % yang memiliki masa kerja di atas 31 tahun.
Sedangkan guru yang menjadi responden monitoring ini lebih separo (57,1%) memiliki
masa kerja 11-20 tahun, 29,8% di bawah 10 tahun, 13,3 % antara 21-30 tahun. 57,6% di
antara kepala sekolah berasal dari SM/MA dan 42,4% dari SMK. Keadaan ini hampir
sama dengan guru, lebih separoh responden guru berasal dari SMA/MA (58,3%), dan
41,7% berasal dari SMK.
A. Gambaran Umum
Para pejabat struktural maupun staf teknis di Provinsi hanya bisa memberikan gambaran
tentang kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan melalui kegiatan provinsi. Kegiatan-kegiatan
yang bersifat mandiri yang dilaksanakan oleh masing-masing Kabupaten/Kota melalui
MGMP atau tidak semuanya terpantau oleh Dinas Provinsi, demikian juga kegiatan yang
dilakukan oleh sekolah-sekolah dengan memanfaatkan dana swadaya. Kegiatan-kegiatan
seperti ini cukup banyak dilakukan karena di beberapa daerah karena mereka sangat
proaktif, baik Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota maupun sekolah.
Untuk itu data yang digunakan adalah data kualitatif mengenai pengembangan dan
penerapan KTSP yang bersumber dari persepsi dinas propinsi.
Berdasarkan pengalaman yang lalu, setiap pergantian kebijakan tentang kurikulum sangat
dirasakan bahwa proses sosialisasi kurang optimal. Akibatnya, tingkat pemaham pelaksana
dilapangan kurang memadai. Atas dasar pengalaman tersebut, pelaksanaan monitoring
pada tahun 2007 ini diawali dengan melihat proses sosialisasi di masing-masing provinsi.
Data yang yang diambil adalah (1) jumlah daerah yang telah melakukan sosialisasi di tiap
provinsi, (2) sasarn sosialisasi di masing-masing daerah. Berikut gambaran secara umum
pelakasanaan sosialisasi di masing-masing provinsi.
Dari tabel jelas bahwa secara keseluruhan semua kabupaten/kota telah mendapatkan
sosialisasi atau workshop tentang kebijakan dan penerapan Permendiknas No. 22 dan 23
tahun 2006 tentang SI (standar isi) dan SKL (standar kompetensi lulusan). Penyelenggara
sosialisasi pada umumnya adalah unit Pusat dan Daerah (Dinas Pendidikan
Propinsi/Kab/Kota). Tabel di atas juga menunjukkan bahwa kegiatan sosialisasi yang
dilaksanakan oleh langsung oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota hampir tidak
terpantau oleh Dinas Pendidikan Provinsi.
Meskipun pada tabel di atas terlihat bahwa hanya 4 kabupaten/kota yang melaksanakan
kegiatan sosialisasi, hal ini bukan berarti daerah lain tidak melaksanakan. Menurut
prediksi Dinas Pendidikan provinsi, hampir semua daerah telah melakukan sosialisasi
secara mandiri, tetapi belum ada laporan resmi sehingga Dinas Pendidikan Provinsi tidak
memiliki data tentang itu. Hal ini mungkin disebabkan karena tidak ada keharusan bagi
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota atau sekolah untuk melaporkan pelaksanaan kegiatan
sosialisasi yang dilakukan secara swadaya atau melalui APBD tingkat II. Oleh karena itu,
Menurut Dinas Propinsi belum ada pihak terkait lain seperti perusahaan penerbitan buku
pelajaran, LSM Pendidikan, Perusahaan swasta/BUMN, atau lembaga profesional lainnya
yang cukup partisipasif dalam program KTSP ini. Hal ini mungkin disebabkan belum
meluasnya sosialisasi dan mungkin penyelenggaraan oleh lembaga profesional lain tidak
terpantau oleh Dinas.
Selain sekolah, sosialisasi juga dilakukan terhadap organisasi profesi pendidikan lain
berikut ini. Menurut responden, mereka telah ikut di beberapa kegiatan seperti yang
digambarkan pada tabel berikut:
Tabel 2 : Organisasi Profesi dan Unit terkait yang menjadi sasaran ssosialisasi SI, SKL,
dan KTSP.
Sasaran Sosialisasi %
MGMP 78,9
KKKS 78,9
PGRI 21,1
Organisasi Pengawas 63,2
Yayasan 36,7
Dewan Pendidikan 26,3
Komite 26,3
Dari tabel tersebut jelas bahwa sasaran utama sosialisasi atau workshop KTSP adalah
sekolah ditambah gugus sekolah (kelompok sekolah), MGMP (musyawarah guru mata
pelajaran), KKKS (kelompok kerja kepala sekolah), pengawas sekolah, baru kemudian
yayasan, dewan pendidikan dan komite sekolah. Jelas bahwa unit yang terlibat dalam
sosialisasi sudah mewakili keseluruhan stakeholder pendidikan. Namun, tampaknya peran
komite sekolah masih dianggap kecil (26,3%) dalam pelibatan pengembangan KTSP.
Padahal secara kebijakan, pengembangan KTSP disusun bersama oleh pihak sekolah dan
komite sekolah. Hal ini mungkin disebabkan sekolah masih menganggap tingkat
keprofesionalan orangtua masih bervariasi, orangtua sudah menyerahkan urusan ini ke
sekolah, atau pemahaman pengembangan KTSP yang perlu dipertajam.
2. Penerapan KTSP
Dalam hal penyusunan KTSP, menurut informasi dari Dinas Pendidikan Provinsi,
umumnya sekolah-sekolah menyusun sendiri KTSP ( 73,7%). Berikut secara lengkap
informasi tentang proses penyusunan KTSP menurut informasi dari Dinas Pendidikan
Provinsi (mulai dari yang frekuensinya tinggi, jawaban boleh lebih dari satu).
Penyusunan KTSP %
Satuan pendidikan menyusun sendiri mengacu SI, SKL dan model kurikulum KTSP 73,3
KTSP disusun oleh sekolah dengan koordinasi Dinas Pendidikan 57,9
KTSP disusun oleh tim yang dibentuk oleh Dinas Pendidikan 26,3
Satuan pendidikan mengadaptasi model kurikulum KTSP dari pusat 42,1
Satuan pendidikan mengadopsi atau menggunakan model kurikulum KTSP dari pusat 36,8
Masih pada taraf sosialisasi dan mempelajari perangkat dokumen 15,8
Masih menggunakan kurikulum sebelumnya 26,3%
Total persentase respon melebihi dari 100% karena umumnya responden menjawab lebih
dari satu pilihan, dalam arti, penyusunan KTSP oleh sekolah dilakukan dengan metode
kombinasi melalui koordinasi, menggunakan tim, adaptasi dan sebagainyaP . Ada yang
menyatakan bahwa KTSP disusun oleh sekolah di bawah koordinasi Dinas pendidikan,
dan pada bagian-bagian tertentu diadopsi, misalnya mengenai seilabus. Banyak guru yang
belum siap menyusun silabus sendiri, sehingga ada yang mengadopsi, mengadaptasi, dan
bahkan ada yang menyusun secara bersama-sama beberapa sekolah. Untuk kategori ini,
mereka menyebut menyusun sendiri tetapi secara bersama di gusus, sehingga silabusnya
sama. Ada unsur adopsi dan adaptasi, serta menyusun senidiri.
Dalam pengembangan KTSP, beberapa sekolah menyusun sendiri, namur terbatas pada
beberapa bagian saja. Beberapa sekolah menyusun di bawah koordinasi dinas dengan
menggunakan tim pengembang dari dinas, serta mengadaptasi dan mengadopsi model
kurikulum.
Hal yang perlu dicermati hádala, masih cukup banyak sekolah yang baru pada taraf
mempelajari kebijkan KTSP dan menggunakan kurikulum sebelumnya. Menurut
pemantauan Dinas Propinsi, sebagian besar penerapan KTSP pada tiap kabupaten/kota
selama tahun 2006 belum intensif (31,6%), belum menjadi prioritas (26,3%), dan yang
menyatakan intensif hanya (15,8%), lainya tidak memberikan jawaban (26,3%). Kondisi
tersebut berbeda dengan tahun 2007, Lebih separoh daerah (57,9%) menyatakan
kabupaten/kota mulai menerapkan KTSP secara intensif. Sebanyak 15,8% daerah
menyatakan kabupaten/kota belum menempatkan penerapan KTSP sebagai prioritas, dan
26,3% responden tidak memberikan jawaban. Ini menunjukkan KTSP telah menjadi
program dengan prioritas bagi tiap propinsi/kabupaten/kota.
Beberapa alasan yang dikemukakan oleh daerah, mengapa intesitas penerapan KTSP
masih beragam, diantaranya adalah: menunggu sampai 2009 (batas akhir yang diberikan
oleh pemerintah untuk menerapkan KTSP), melihat sekolah yang terdekat dengan mereka
agar dapat secara bersama-sama menyusun KTSP. Alasan lain adalah kurangnya dana
pendukung untuk penyusunan KTSP, dan sebagian lagi menyatakan bahwa masih perlu
waktu untuk melakukan sosialisasi di kalangan warga sekolah dan masyarakat karena
sebagian besar di antara warga sekolah dan masyarakat belum memahami kebijakan
tentang KTSP ini. Berkaitan dengan hal ini, sebagian besar daerah memprogramkan mulai
tahun 2007 menerapkan KTSP, rata-rata melaksanakan secara bertahap.Jadi, peningkatan
prioritas program KTSPdisebabkan oleh tuntutan bahwa tahun 2009 KTSP harus sudah
diterapkan menyeluruh pada setiap satuan pendidikan, sosialisasi dan workshop KTSP
yang mulai meluas dan tingkat pemahaman KTSP yang membaik bagi seluruh stakholder.
Pada umumnya sekolah mulai menerapkan KTSP pada awal tahun pelajaran 2007 secara
bertahap (73,7%).
Tabel di atas menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil sekolah yang masih menggunakan
kurikulum sebelumnya (31,6%). Sebagian sekolah (36,8%) telah menerapkan secara
efektif di semua kelas. Umumnya sekolah yang menerapkan secara kelseluruhan adalah
sekolah-sekolah yang sudah melaksanakan piloting KBK (2004). Tingkat kesadaran dan
komitmen sekolah untuk mengembangkan dan menerapkan KTSP cukup tinggi.
Tentang kondisi yang berkaitan dengan pelaksanaan KTSP, sebagian besar daerah
menyatakan sudah cukup baik (84,2%), 10% menyatakan sangat baik, dan hanya 5,3%
yang menyatakan kurang. Faktor yang paling mentukan keterlaksanaan KTSP menurut
pernyataan Dinas pendidikan Provinsi adalah guru (78,9%), sarana dan prasarana (47,4%),
siswa (21,1%), orang tua dan masyarakat (10,5%). Sebagian responden menjawab
gabungan antara siswa dan orang tua (20,10%). Keberhasilan program KTSP sangat
ditentukan oleh sumberdaya pendidik dan tenaga kependidikan. Hal ini mennjukkan perlu
adanya komitmen manajemen yang profesional pada tingkat sekolah untuk
mengembangkan dan menerapkan KTSP
Secara umum, menurut informasi dari Dinas Pendidikan, kesiapan guru berkaitan dengan
pengembangan dan penerapan KTSP oleh sekolah cukup memadai, kecuali dalam
pengembangan bahan ajar mandiri Lebih lengkap informasi tentang kesiapan guru dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:
Dari tabel tersebut jelas bahwa bahwa secara umum guru telah siap dalam pengembangan
dan penerapan KTSP dari kualifikasi akademik, penguasaan mata pelajaran, penyusunan
kurikulum, silabus, dan RPP. Namun yang perlu dicermati dan ditingkatkan kompetensi
guru adalah dalam melakukan pengembangan penilaian berbasis kompetensi,
pengembangan bahan ajar serta pengembangan sumber belajar mandiri. Tampaknya guru
belum konfiden dalam mengembangkan alat penilaian walaupun itu sudah dijalani sehari-
hari, padahal dalam KTSP, seorang guru harus melakukan penilaian secara profesional dan
dapat dipertanggungjawabkan. Pengembangan bahan ajar yang meliputi buku teks, modul
maupun referensi lainnya juga perlu dipertimbangkan karena guru lebih bergantung
kepada penerbit buku
Kesiapan kepala sekolah dalam pengembangan dan penerapan KTSP, menurut dinas
pendidikan adalah sebagai berikut.
Dari tabel tersebut jelas bahwa bahwa secara umum kepala sekolah telah siap dalam
pengembangan dan penerapan KTSP dari kualifikasi akademik, penguasaan mata
pelajaran, penyusunan kurikulum, silabus, dan RPP. Yang perlu dicermati dan
ditingkatkan kompetensi kepala sekolah adalah walaupun secara umum kepala sekolah
berkompeten dalam pengembangan kurikulum, namun tidak mendalam pada tingkat detil
kurikulum maupun silabus mata pelajaran. Pada jenjang pendidikan dasar, penguasaan ini
secara umum masih diperlukan. Gaya Kepeminpinan kepala sekolah juga perlu
ditingkatkan untuk mengelola guru dan tenaga lain dalam pengembangan KTSP.
Tentang kesiapan pengawasa sekolah, menurut dinas pendidikan adalah sebagai berikut.
Dari tabel tersebut jelas bahwa bahwa secara umum pengawas sekolah telah siap dalam
pengembangan dan penerapan KTSP dari kualifikasi akademik (namun ini masih perlu
ditingkatkan, karena angkanya baru 47.4%), penyusunan kurikulum, silabus, dan RPP,
menilai kualitas kurikulum, membantu masalah guru dalam pengembangan silabus dan
RPP (namun ini masih ditingkatkan karena angkanya baru 47.4%), serta mengelola guru
dalam pengembangan KTSP. Program peningkatan kompetensi pengawas dapat berbentuk
workshop pengembangan kurikulum, serta membina guru dalam melaksanakan
pembelajaran. Ini berarti peran pengawas harus ditingkatkan fungsinya dalam pembianaan
substansial sekolah mulai dari pengembangan kurikulum sampai pelaksanaan
pembelajaran, tidak sekedar memeriksa adminstrasi kurikulum dan pembelajaran di
sekolah.
Hampir separoh responden menyatakan sarana dan prasarana sekolah sebagai pendukung
KTSP masing kurang memadai (47,3%), 47,4% menyatakan sangat baik, dan hanya 5,3 %
yang menyatakan sangat baik. Perlu dikritisi di sini bahwa pengembangan dan penerapan
KTSP harus disesuaikan dengan kondisi, potensi, kebutuhan dan karakteristik sekolah dan
peserta didik. Ini berarti, bagi sekolah dengan sarana dan prasarana kurang memadai perlu
mengembangkan KTSP yang sesuai dengan sekolah tersebut dan dapat dilaksanakan oleh
sekolah tersebut. Perlu juga ditingkatkan program mandiri pengembangan alternatif
sarana, artinya sarana-sarana yang tidak tersedia atau rusak, sekolah dapat
mengembangkan sendiri alternatif sarana yang tersedia dari lingkungan sekolah.
Dari tabel tersebut jelas bahwa program KTSP melibatkan berbagai sumber mencakup
dana APBD, Blockgrant, maupun sumber lainnya yang sah. Perlu dicermati di sini, banyak
responden justru memilih tidak menjawab. Hal dimungkinkan karena berbagai hal yaitu:
pengetahuan responden yang rendah dalam masalah anggaran (hanya fokus pada
program/kegiatan yang dijalankan), tidak tahu, dan tidak bersedia menjawab.
Angka Prioritas
Jenis Program
1 2 3 4 ksg
Melakukan koordinasi program dengan kab/kota 52,6 15,8 15,8 5,3 10,5
Melakukan pendataan pencapaian penerapan KTSP pada tiap 36,8 36,8 5,3 5,3 15,8
kab/kota
Melakukan workshop pengembangan KTSP dan program 36,8 10,5 15,8 21,1 15,8
supervisi klinis dengan kab/kota
Melakukan supervisi klinis langsung ke sekolah-sekolah 26,3 - 10,5 26,3 36,8
terpilih
Penyediaan dokumen SI, SKL dan model KTSP 36,8 5,3 15,8 20,5 21,1
Dari tabel tersebut jelas bahwa prioritas pertama Dinas Propinsi dalam program KTSP
adalah melakukan koordinasi tingkat internal, dengan dinas kabupaten/kota dan dengan
pusat. Tampaknya koordinasi menjadi hal penting karena dengan adanya otonomi daerah,
peran ini menjadi kurang, terutama koordinasi dengan kabupaten/kota. Prioritas kedua
adalah melakukan pendataan kuantitatif penerapan KTSP pada tingkat kab/kota,
penyediaan dokumen SI, SKL, workshop pengembangan KTSP dan supervisi klinis ke
kab/kota dan
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa hampir semu provinsi (94,7 %) telah
membentuk Tim Pengembang Kurikulum, dan sebagian besar (68,4%) keberadaan tim
tersebut telah dikukuhkan melalui Surat Keputusan Pemerintah Daerah. Pada sebagian
daerah, Surat Keputusan ditandatangani langsung oleh Gubernur, dan sebagian lagi
ditandatangani oleh Kepala Dinas Dinas Pendidikan atasnama Gubernur. Pengesahan ini
sangat diperlukan sebagai dasar pengajuan anggaran pembiayaan kegiatan tim
pengembang kurikulum.
Dari semu daerah yang sudah membentuk Tim Pengembang Kurikulum, umumnya
(63,2%) telah menyusun program kegiatan yang terdiri dari program jangka panjang,
jangka menengah, dan jangka pendek.
Selain menggunakan data kualitatif dari dinas propinsi, tim studi juga melakukan studi
pengembangan dan penerapan KTSP bersumber dari pihak sekolah (sebagai sekolah
sampel) yang terlibat dalam kegiatan ini. Berikut adalah tabel latar belakang responden
yang terlibat dalam studi.
Berikut tabel kepemiliakn dokumen kelangkapan SI, SKL, dan KTSP yang mulai
disosialisasikan sejak tahun 2006.
Tabel di atas memberikan gambaran bahwa secara umum kepala sekolah (93,9 % SI,
92,4 % untuk SKL, 90,9% untuk pelaksanaan SI dan SKL) menyatakan telah memiliki. Ini
berarti, sumber acuan pengembangan KTSP telah dimiliki oleh sekolah-sekolah tersebut.
Namun terdapat perbedaan pernyataan antara kepala sekolah dan guru. Frekuensi kepala
sekolah yang telah menenrima dokumen tersebut lebih tinggi dari pada guru. Menurut
guru baru sekitar 70,2 % yang menyatakan telah menerima dokumen SI, 66,7 %untuk
SKL dan aturan pelaksanaannya. Perbedaan ini menunjukkan bahwa mungkin saja
sebagian kepala sekolah belum sempat menyampaikan dokumen tersebut kepada guru oleh
karena berbagai alasan. Sayangnya tim studi tidak sempat melacak alasan mengapa terjdi
perbedaan yang cukup signifikan, sementara guru dan kepala sekolah yang diundang
berasal dari sekolah yang sama.
Hal lain yang perlu juga dicermati adalah bahan-bahan tersebut harus bisa diakses secara
mudah oleh semua insan di sekolah terssebut. Sumber acuan lain yang harus dimiliki
sekolah adalah model muatan lokal, model pengembangan diri, model pembelajaran
Ketika diminta untuk mendeskripsikan isi dokumen tersebut untuk melihat apakah mereka
telah mempelajari dan memahaminya, berikut jawaban yang mereka berikan:
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa responden mengetahui dokumen hanya
sekadar kulitnya saja, sedangkan apa yang tertera secara eksplisit dan implisit di
dalamnya, sama sekali belum dipahami. Perlu dilakukan berbagai upaya agar pemahaman
tentang kebijakan pengembangan dan penerapan KTSP oleh satuan pendidikan memiliki
persepsi yang sama, fleksibel, sesuai kondisi sekolah. Hal ini dapat dilakukan tidak hanya
dalam bentuk sosialisasi saja tetapi juga melalui workshop dengan menggunakan media
langsung (rapat kerja), media cetak, media televisi radio, dan internet secara interaktif,
dengan menggunakan bahan yang jelas, sederhana, dan praktis.
4. Penyusunan KTSP
Sebagian besar responden menyatakan bahwa sekolah mereka telah menyusun KTSP.
(93,9%). Menurut pernyataan responden, sebagian besar penyusunan dilakukan dengan
cara adaptasi atau penyesuaian dengan keadaan dan kebutuhan sekolah (62,1%), disusun
Sedangkan responden guru yang menyampaikan sekolahnya telah menyusun KTSP adalah
86,9%. Penyusunan dilakukan sebagian besar dengan cara adaptasi atau penyesuaian
dengan keadaan dan kebutuhan sekolah (61,9%), disusun sendiri (13,1%), dan adopsi dari
contoh-contoh yang ada (7,1%).
Berdasarkan pendapat responden, 60% kepala sekolah menganggap tidak sulit menyusun
KTSP. Demikian pula 51,2% responden guru beranggapan demikian.
Bagi yang merasakan kesulitan dalam penyusunan KTSP menyampaikan berbagai alasan,
di antaranya sebaai berikut:
Data di atas menunjukan masih terdapat inkonsistensi antara pemahaman isi dokumen
berkaitan dengan KTSP dengan kesulitan yang dialami guru dan kepala sekolah dalam
mengembangkan dan menerapkan KTSP, yang sifatnya sudah harus menjabarkan secara
teknis dan rinci.
Umumnya responden telah mengetahui komponen-komponen KTSP, yaitu (1) visi misi
dan tujuan pendidikan, struktur dan muatan, kalender pendidikan, silabus, RPP (2) visi,
misi, tujuan Sekolah, struktur kurikulum, muatan lokal, pengaturan beban belajar, kalender
pendidikan standar kompetensi, standar kompetensi lulusan dan SKBM/KKM.
1. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh sekolah agar dapat melaksanakan KTSP
Responden berpendapat bahwa persyaratan yang harus dipenuhi oleh sekolah dalam
melaksanakan KTSP adalah adanya kesatuan pendapat dan dukungan dari warga sekolah
dalam menentukan tujuan sekolah serta keinginan masyarakat yang dituangkan dalam
KTSP. Juga perlu didukung oleh kesiapan semua komponen sekolah, ketersediaan dana,
bahan yg akan dijadikan acuan.
Sedangkan hal-hal yang harus dilakukan guru agar dapat melaksanakan KTSP secara
optimal adalah guru harus memiliki pemahaman yang baik terhadap konsep dan falsafah
KTSP serta teknis implementasinya di lapangan.
Umumnya responden menyatakan perbedaan antara KTSP dengan kurikulum 1994 adalah
bahwa KTSP berorientasi pada penguasaan kompetensi, berpusat pada siswa, guru sebagai
fasilitator, konteksual. Sedangkan kurikulum 1994 berorientasi pada tujuan, berpusat pada
guru, guru sebagai sumber belajar, abstrak.
Umumnya responden melihat hal-hal positif yang ada dalam KTSP, di antaranya
kurikulum KTSP lebih menampung inspirasi dari warga sekolah serta mencakup
perubahan/menyesuaikan dengan kondisi yang ada.
6. Pelaksanaan KTSP
Umumnya responden memahami silabus sebagai penjabaran SK, KD, indikator sebagai
pedoman dalam pelaksanaan KBM. Unsur-unsur yang harus ada dalam silabus adalah SK,
KD, materi pokok, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, waktu dan sumber.
Umumnya responden menyatakan bahwa perbedaan antara silabus dan RPP adalah: RPP
sifatnya lebih operasional dari silabus. RPP dibuat untuk setiap pertemuan, sedangkan
Silabus dibuat untuk beberapa kali pertemuan. Umumnya responden meyakini bahwa
silabus dan RPP dapat menuntun atau membantu guru dalam pelaksanaan pembelajaran.
Sebagian besar responden menyatakan bahwa umumnya silabus disusun oleh para guru
secara bersama-sama dengan rekan satu sekolah maupun dalam MGMP. Umumnya
sekolah melibatkan pengawas dalam penyusunan silabus, baik sebagai pembimbing
maupun sebagai narasumber.
Secara umum, masih ada permasalahan dalam implementasi KTSP. Persoalan yang
umumnya dialami oleh sekolah dalam menyusun KTSP menurut responden adalah
pemahaman yang belum maksimal dari warga sekolah, terutama guru, serta ketersediaan
sarana dan prasarana pendukung yang belum memadai.
Upaya untuk mengatasi kesulitan adalah dengan terus meningkatkan pemahaman aspek-
aspek yang terdapat dalam KTSP serta peningkatan penggunaan TIK untuk mendukung
kegiatan pembelajaran. Caranya dengan mengadakan diklat, work shop, pertemuan rutin
guru, KKG, dan KKKS.
Strategi sekolah dalam mensosialisasikan KTSP kepada warga sekolah (guru, orang tua),
dan masyarakat adalah dengan melakukan diskusi di antara guru, kepsek, serta warga
sekolah lain dengan dibimbing oleh pengawas dan kepala UPT Dinas Pendidikan
setempat.
Persyaratan dan Kebutuhan sekolah dalam menyusun KTSP adalah adanya kemauan yang
keras dari pihak sekolah untuk menyusun dan mengimplementasikan KTSP serta
dukungan dana yang besar.
Upaya sekolah dalam mendorong guru dalam melaksanakan KTSP antara lain dengan:
1. Memberi motivasi bagi guru dan reward bagi yang telah menyusun silabus dan RPP.
2. Memberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengikuti diklat dan banyak bertanya
pada rekan sejawat yang lebih paham.
3. Membantu memberikan petunjuk; mendatangkan tenaga ahli; mendatangkan tenaga
LPMP.
8. Pendanaan
Selain menggunakan sumber data dari dinas pendidikan, guru dan kepala sekolah, dalam
monitoring ini juga dilakukan analisis tentang KTSP dengan sumber data dari oorangtua
yang bertindak sebagai komite sekolah. Berikut adalah berbagai informasi yang berkaitan
tentang KTSP menurut persepsi orangtua.
Memahami kurikulum yang berlaku termasuk hal yang harus dilakukan oleh orang tua.
Berkaitan dengan perubahan kebijakan kurikulum saat ini, perlu digali sejauhmana orang
tua siswa memahami perbedaan kurikulum yang sekarang dengan kurikulum yang berlaku
selama ini. Hal ini menjadi penting karena perubahan kebijakan tentang kurikulum saat ini
memiliki konsekuensi terhadap peranan orang tua. Dengan adanya otonomi sekolah dalam
pengembangan kurikulum, orang tua dituntut untuk berperan aktif dalam mendukung
keberhasilan siswa dalam pencapaian kompetensi yang diharapkan.
5.0
10
0%
.00
%
Tahu
Tidak Tahu
Tidak berbeda
85
.00
%
Untuk mendukung pemahaman orang tua, perlu ada upaya sekolah untuk melibatkan
orang tua dalam sosialisasi kurikulum. Sehubungan dengan tersebut, berdasarkan
wawancara dengan orang tua siswa, sebanyak 90% orang tua menyatakan menerima
penjelasan tentang KBK dari pihak sekolah dan dinas pendidikan setempat, sedangkan
10 % menyatakan belum pernah. Namun hanya 20 % yang menyatakan mengerti
penjelasan yang diberikan sehingga dapat memberikan dukungan dan kerja sama
dengan pihak sekolah. Sedangkan 80 % lainnya sudah menerima penjelasan tapi tidak
mengetahui dengan pasti arti penjelasan tersebut. Ini menunjukkan bahwa pemahaman
orang tua tentang KTSP belum memadai sehingga perlu sosialisasi lebih lanjut agar
orang tua dapat berpartisipasi lebih aktif dalam pendidikan putra/putrinya.
Pemahaman yang benar bagi setiap orang tua terhadap KTSP sangat menentukan
keberhasilan proses pembelajaran siswa. Berdasarkan wawancara dengan orang tua,
diperoleh informasi bahwa sebanyak 65% orang tua cukup mengerti bahwa KTSP
disusun dengan memperhitungkan potensi lingkungan dan didasarkan atas Permen
Mendiknas Nomor 22, 23, dan 24. Sedangkan 15 % lainnya sudah mendengar tapi
belum menunjukkan pemahaman tentang KTSP, sedangkan 20% belum pernah sama
sekali menerima sosialisasi KTSP. Namun demikian memberi indikasi bahwa
sosialisasi KTSP di tingkat satuan pendidikan SMA (khususnya) dan SMK sudah
dilakukan sekolah dengan baik kepada orang tua (stake holder) namun perlu
ditingkatkan dan dilakukan lebih intensif.
Hampir semua responden (99 %) menyatakan senang dengan pengunaan KTSP sebab
membuat perhatian siswa terhadap kegiatan belajarnya lebih besar (siswa lebih aktif
belajar) dan kemampuanya lebih dieksplorasi. Namun secara implisit orang tua (25%)
Respon yang sangat baik ini memberikan indikasi bahwa KTSP mendapat sambutan
yang sangat positif dikalangan orang tua (stake holder) sehingga sosialisasinya perlu
ditingkatkan dan strategi implementasinya perlu dievaluasi secara berkala agar
implementasinya maksimal.
20.00%
25.00%
Sangat Senang
55.00%
Diagram 2. Tanggapan orang tua terhadap pelaksanaan KTSP dan peluangnya dalam
peningkatan kemampuan siswa
2. Hubungan penerapan KTSP dengan biaya yang dikeluarkan siswa dalam proses
belajar mengajar
Sebanyak 57,15 % (14,29% sering dan 42,86% kadang-kadang orang tua mengeluarkan
uang tambahan) orang tua menyatakan adanya tambahan pengeluaran biaya yang
signifikan dengan penerapan KTSP. Sedangkan 42,86% (yang menyatakan tidak
pernah/hampir tidak pernah mengeluarkan biaya tambahan setelah penerapan KTSP)
menyatakan bahwa sekolah di mana putra/i mereka bersekolah telah menyusun anggaran
yang lengkap sehinga semua pembiayaan sudah dibayar pada awal tahun ajaran. Ini
menunjukkan bahwa pengeluaran tambahan untuk biaya studi setelah KTSP diterapkan
cukup signifikan. Namun dari data rersponden tidak ditemukan keluhan atau keberatan
orang tua (stake holder) sehubungan dengan tambahan biaya ini. Dengan demikian
walaupun penerapan KTSP mempunyai implikasi pengeluaran dana yang lebih namun
dapat diterima secara positif sebab dana-dana tambahan yang dikeluarkan dialokasikan
langsung untuk peningkatan kompetensi siswa. Untuk itu sosialisasi KTSP yang akan
datang tidak saja difokuskan pada konsep-konsep KTSP tetapi lebih dari itu difokuskan
pada strategi implementasi dan teknik pelaksanaan.
14.29%
Sering
Kadang-Kadang
42.86%
Tidak Pernah
42.86%
Semua responden menyatakan adanya tambahan biaya yang besar dan frekuensinya sangat
bergantung pada kegiatan yang direncanakan sekolah masing-masing. Namun jawaban
responden tengan pengeluaran tambahan ini sangat beragam antara yang sudah terencana
melalui APBS sekolah sampai dengan yang tidak memiliki rencana sama sekali. Khusus
sekolah-sekolah yang belum memiliki APBS yang baik tambahan pengeluaran ini
menambah volume pekerjaan bertambah. Untuk itu dalam pelaksanaan sosialisasi KTSP
pada level strategi peleksanaan dan di tingkat teknis operasional perlu diberikan
bimbingan pengelolaan keuangan sekolah sehingga baik sekolah maupun orang tua
mendapat kemudahan-kemudahan dalam memberikan layanan kepada putra/i-nya.
<= Rp.10.000,00
30
%
.00
%
Responden yang menyatakan buku yang dimiliki siswa cukup memadai dengan yang
menyatakan tidak cukup memadai sama besar. Sementara responden yang menyatakan
bahwa buku cukup memadai dalam menunjang proses pembelajaran tidak memberikan
penjelasan atas jawaban yang diberikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pengadaan buku-buku yang sesuai dengan potensi daerah dan sesuai dengan karakteristik
siswa perlu diupayakan secara sungguh-sungguh baik oleh pemerintah maupun
masyarakat.
20.00%
Cukup
40.00%
Tidak Cukup
Tidak Tahu
40.00%
Hanya 45% orang tua yang menganggap rapor hasil belajar yang disampaikan sekolah ke
pada orang tua memberikan informasi tentang prestasi belajar siswa. Selain itu data
responden menunjukkan bahwa yang merasa kurang jelas adalah 25% demikian pula yang
tidak memahami sama sekali. Kemungkinannya adalah sekolah belum mampu
medayagunakan format rapor yang ada untuk menginformasikan pencapaian kompetensi
siswa, atau format rapor terlalu rumit sehingga untuk memahaminya diperlukan
penjelasan-penjelasan yang khusus. Ini menunjukkan bahwa diperlukan suatu penelitian
lebih lanjut tentang format laporan hasil belajar dan cara penggunaannya yang diikuti oleh
sosialisasi yang intensif dari pihak sekolah terhadap orang tua.
Jelas
45.00%
Kurang Jelas
Tidak Jelas
25.00%
Secara umum responden menyatakan adanya perubahan sikap belajar putra/putri mereka
yaitu peningkatan minat dan semangat belajar yang signifikan dengan penerapan KTSP.
Dengan demikian peningkatan pemahaman dan penguasaan KTSP secara konsep, strategi
implementasi, dan teknik pelaksanaan perlu disosialisasikan lebih intensif, luas, dan
efektif.
15.00%
Sebagian besar orang tua (65%0 menyatakan bahwa anaknya tidak pernah mengeluh
sehubungan dengan penerapan KTSP, 25 % menyatakan anaknya sering mengeluh, dan 10
% menyatakan kadang-kadang.
0%
.0
0%
10
Kadang-kadang
.0
25
Tidak Pernah
Diagram 8. Persentase keluhan siswa terhadap orang tua setelah penerapan KTSP
Dalam monitoring ini juga dilakukan tes pemahaman atau tes persepsi tentang persepsi
KTSP menurut responden. Tes melibatkan seluruh responden dari dinas pendidikan, guru,
kepala sekolah dan orangtua. Selain untuk melihat persepsi tentang KTSP, tes
dimaksudkan juga untuk mendukung temuan-temuan yang diperoleh melalui kuesioner
guru, kepala, sekolah, orangtua dan dinas pendidikan. Identitas dari para responden adalah
sebagai berikut.
Sebagian besar responden dari kalangan pejabat struktural Dinas Pendidikan memahami
bahwa Standar Isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi minimal untuk
mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu (65.5%).
Hal ini senada dengan pemahaman kepala sekolah dan guru. Sebanyak 63.5% kepala
sekolah dan guru menjawab dengan jawaban yang sama. Kondisi ini menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan signifikan antara pemahaman Dinas Pendidikan dengan sekolah
tentang standar Isi. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada sekitar 35-37% reseponden
belum memahami pengertian standar isi dan standar kompetensi lulusan dengan benar.
Unsur (%)
Jawaban Dinas Sekolah (Guru dan
Pendidikan Kepsek)
a. Ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang
18.3 22.6
dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi
b. Mencakup lingkup materi minimal dan tingkat
kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi
65.5 63.5
lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan
tertentu.
c. Mengatur tentang struktur kurikulum satuan
12.3 10.9
pendidikan
d. Mengatur tentang kompetensi lulusan 3,9 3
Unsur (%)
Jawaban Dinas Sekolah (Guru dan
Pendidikan Kepsek)
a. Satuan pendidikan 84.5 85.7
b. Dinas pendidikan 9.9 4.5
c. Pusat 0.7 8
d. Komite sekolah 3.5 7.5
Mengenai kegiatan pengembangan diri, sebagian besar responden dari Dinas pendidikan
menjawab ” memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan
mengekspresikan diri”, yaitu sebesar 73,6%. Hal yang sama juga terjadi pada responden
dari sekolah (Kepala Sekolah dan Guru), sebesar 75,9 %. Ini berarti terdapat sekitar 24-
27% responden memberikan jawaban yang salah atau belum memahami dengan benar.
Unsur (%)
Jawaban Dinas Sekolah (Guru dan
Pendidikan Kepsek)
a. Memperdalam penguasaan mata pelajaran 3.5 1.5
b. Menciptakan wahana kegiatan sesuai minat dan
19.4 18.0
bakat siswa
c. Memberi pelayanan konseling pada siswa 2.5 3.0
d. memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
73.6 75.9
mengembangkan dan mengekspresikan diri.
Dalam hal penggunaan Standar Kompetensi Lulusan sebagai pedoman penilaian dalam
menentukan kelulusan peserta didik 90,5 % responden dari pejabat struktural Dinas
Pendidikan menjawab dengan benar. Sejalan dengan hal tersebut, sekolah (kepala sekolah
dan guru) menjawab dengan benar sebanyak 89,5%. Data ini menunjukkan bahwa terdapat
sekitar 10% responden yang belum menjawab dengan benar.
Unsur (%)
Jawaban Dinas Sekolah (Guru dan
Pendidikan Kepsek)
a. Pedoman penilaian kelas 1.8 0.8
b. Pedoman penilaian tertulis 2.1 1.9
c. pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan
90.5 89.5
peserta didik.
d. Panduan penilaian kinerja dan portofolio 3.5 5.3
Sebagai kurikulum operasional, KTSP disusun oleh sekolah dan disesuaikan dengan
kondisi yang ada. Hanya 68 % responden dari Dinas pendidikan yang menjawab dengan
benar, dan sebanyak 70,7 % responden sekolah (kepala sekolah dan guru) menjawab sama.
Artinya, terdapat sekitar 30 % responden belum memahami dengan benar. Dan ternyata,
sekitar 25 % responden masih beranggapan bahwa masih ada kurikulum nasional.
Kemungkinan besar yang disebut sebagai kurikulum nasional itu adalah Standar Isi dan
Standar Kompetensi Lulusan.
Unsur (%)
Jawaban Dinas Sekolah (Guru dan
Pendidikan Kepsek)
a. Disusun oleh pusat 3.5 2.6
b. Disusun oleh sekolah dengan mengacu pada
24.6 23.7
kurikulum nasional
c. Disusun oleh sekolah sesuai dengan kondisi,
68.0 70.7
kebutuhan dan potensi sekolah
d. Disusun oleh sekolah sebagai model kurikulum 2.5 1.5
Sebagian besar responden yang berasal dari Dinas Pendidikan (74,3%) menyatakan
bahwa ”model Kurikulum yang dikembangkan oleh satuan pendidikan lain tidak dapat
dijadikan sebagai acuan pengembangan KTSP. Hal senada juga ditunjukan oleh
Unsur (%)
Jawaban Dinas Sekolah (Guru dan
Pendidikan Kepsek)
a. Standar Isi 5.6 4.9
b. Standar kompetensi lulusan 6.7 4.1
c. Panduan penyusunan kurikulum dari BSNP 11.3 9.4
d. Model kurikulum satuan pendidikan lain 74.3 79.7
8. harapan Dinas Pendidikan dan Sekolah tentang Batas Akhir penerapan KTSP
Hampir semua responden (sekitar 96%) baik yang berasal dari Dinas pendidikan maupun
kepala sekolah dan guru menyatakan bahwa paling lambat penerapan KTSP pada tahun
2009/2010. Sebagian daerah optimis dengan batas akhir tahuan 2007/2008 (14,4% untuk
Dinas pendidikan dan 18,4% untuk sekolah). Daerah dan sekolah yang berpandangan
demikian umumnya bagi mereka yang telah menerapkan KBK secara keseluruhan.
Unsur (%)
Jawaban Dinas Sekolah (Guru dan
Pendidikan Kepsek)
a. Tahun Ajaran 2007/2008 14.4 18.4
b. Tahun Ajaran 2008/2009 23.6 25.2
C Tahun Ajaran 2009/2010 57.1 52,3
d Tahun Ajaran 2010/2011 4.9 4.1
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden berharap bahwa satuan
pendidikan dasar dan menengah seharusnya sudah mulai menerapkan Standar Isi dan
Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah paling
lambat Tahun Ajaran 2009/2010
Selain menggunakan tes pemahaman atau tes persepsi KTSP, kuesioner guru dan kepala
sekolah, kuesioner dinas pendidikan, dan kuesiner orangtua, juga dilakukan observasi
pembelajaran. Tujuan observasi adalah untuk memotret secara faktual perencanaan dan
pelaksanaan pembelajaran dilihat dari segi: kesesuaianya dengan kebijakan pengembangan
KTSP, prinsip pembelajaran yang aktif dan umpan baliknya. Secara umum, hasilnya
adalah sebagai berikut.
Monitoring ini memfokuskan pada tiga aspek, yaitu: (1) Pemahaman terhadap isi
kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun
2006 tentang Satndar Isi, Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan,
serta Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi
Lulusan. (2) Kesiapan dan kemampuan sumber daya yang ada, dan (3) Implementasi atau
penerapan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, 23, dan 24 Tahun 2006.
Unsur-unsur yang dijadikan patokan pengkajian adalah (a) substansi Permendiknas Nomor
22, 23, dan 24 Tahun 2006 (hal-hal apa saja yang diatur dalam peraturan tersebut); (b)
Proses adopsi atau adaptasi dalam pengembangan KTSP (hal-hal apa saja yang dapat
disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah/satuan pendidikan); (c) fungsi Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar dalam Standar Isi (d) fungsi Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar dalam Standar Kompetensi Lulusan. Unsur-unsur tersebut digali
melalui tes pemahaman, angket, dan wawancara.
Berdasarkan angket yang diberikan kepada pejabat dan staf struktural Dinas Pendidikan
provinsi dapat disimpulkan bahwa semua daerah telah melakukan sosialisasi tentang
Peraturan Mendiknas Nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006. Hal senada juga diakui oleh
responden yang berasal dari sekolah (kepala sekolah, guru, dan komite/orang tua siswa).
Dilihat dari pemahaman yang diperoleh melalui jawaban angket, tes pemahaman dan
wawancara kepada semua responden, dapat disimpulkan bahwa secara konseptual
sebagian besar responden cukup memahami peraturan mendiknas tersebut. Sebagai
contoh, umumnya responden memahami KTSP disusun dan ditetapkan oleh masing-
masing satuan pendidikan dengan mempertimbangkan keragaman kondisi, potensi, dan
kebutuhan daerah serta peserta didik. Namun, substansi dan strategi strategi implementasi
KTSP belum cukup dipahami. Hal ini dilihat dari naskah KTSP dan perangkatnya yang
disusun oleh masing-masing satuan pendidikan. Umunya naskah tersebut baru pada tahap
”copy-paste”. Akibatnya, penerapkan KTSP di masing-masing satuan pendidikan belum
begitu kuat karakteristiknya.
Di sisi lain, KTSP mengisyaratkan bahwa bahan ajar perlu disesuaikan dengan kebutuhan
siswa dan kekhasan daerah. Hal ini belum sepenuhnya di lakukan karena terbatasnya
sumber daya manusia di aderah yang mampu menyusun bahan ajar. Upaya yang umumny
dilakukan oleh satuan pendidikan adalah mengadakan buku-buku baru yang menurut
mereka ”sesuai” dengan KTSP atau Standar Isi.
Upaya lain adalah memperbanyak aktifitas siswa dengan konsekuensi kegiatan belajar
lebih padat. Sebagian orang tua sering menerima keluhan dari anak-anak mereka bahwa
setelah menerapkan KTSP, tugas-tugas yang harus mereka selesaikan menjadi bertambah
banyak sehingga melelahkan. Konsekuensi lain adalah bertambahnya biaya. Tentang
biaya tambahan ini juga dikeluhkan oleh orang tua siswa.
Hal lain yang juga sering dikeluhkan satuan pendidikan adalah tidak adanya kejelasan
tentang format rapor. Di satu sisi satuan pendidikan dituntut untuk mengembangkan
format rapor sendiri sesuai dengan kekhasan KTSP-nya, namun di sisi lain mereka ”takut”
jika rapor yang dikembangkan pada satuan pendidikan yang bersangkutan berbeda dengan
sekolah lain. Ada kekhawatiran jika nanti ada mutasi siswa. Di pihak lain, secara implisit
”ada keharusan” bahwa rapor ditetapkan oleh dinas pendidikan setempat. .
Namun upaya belum cukup mengingat proses pembelajaran yang berlangsung masih
mengikuti pola lama, terutama dalam penggunaan metode pemeblajaran yang monoton,
penggunaan sumber belajar belum bervariasi, proses penilaian belum sesuai dengan
karakter dan tingkat kompetensi yang dituntut. Hal ini mengkibatkan proses pembelajaran
belum efisien dan efektif. Informasi ini diperoleh melalui observasi dan wawancara yang
dilakukan tehadap siswa.
Informasi ini diperoleh melalui pejabat struktural dan staf Dinas Pendidikan, kepala
sekolah, guru, komite/orang tua siswa melalui angket, tes pemahaman dan wawancara. .
Diakui bhwa kemampuan dan kesiapan sumber daya sangat menentukan keberhasilan
pelaksanaan kebijakan. Berdasarkan hasil angket dan wawancara dapat disimpulkan
bahwa sebagian besar daerah mengalami permasalahan dengan ketersediaan sumber daya
manusia, seperti kekurangan guru dan tenaga kependidikan lainnya. Di samping
kekurangan jumlah suber daya manusia, ummnya daerah juga mengeluhkan tentang
kualitas sumber daya yang ada. Apabila tuntutan kebijakan tentang KTSP harus dipenuhi,
maka perlu dilakukan sosialisasi dan pelatihan bagi tenaga-tenaga terkait, mulai dari unsur
Dinas Pendidikan, pengawas, kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi.
Berdasarkan jawaban angket dari pejabat struktural di dinas pendidikan dan sekolah
(kepala sekolah dan guru), diakui bahwa peranan unsur-unsur terkait belum optimal.
Koordinasi antar pihak terkait belum berjalan lancar, ada kecenderungan masing-masing
pihak masih jalan sendiri-sendiri.
Berikut sejumlah persoalan berkaitan dengan kemampuan dan kesiapan sumber daya
dalam pengembangan dan penerapan KTSP:
Di samping itu, sarana dan prasaran juga belum sepenuhnya memadai, banyak sekolah
yang belum punya laboratorium, perpustakaan, dan ruang belajar yang memenuhi
persyaratan. Untuk hal ini, perlu peningkatan kemampuan tenaga-tenaga yang ada agar
dapat memanfaatkan sarana yang seefektif dan seefisien mungkin. Hal ini untuk mengatasi
sementara pengadaan fasilitas belum memungkinkan.
Hal lain yang masih menjadi persoalan adalah ketersediaan dana yang memadai untuk
memenuhi semua tuntutan kebijakan. Sebagian sekolah sulit untuk memaksimalkan
program kegiatan karena minimnya dana. Semantara keluhan dari Dinas Pendidikan,
anggaran APBD sangat terbatas dan pengajuan dana seringkali terganjal karena
kepentingan lain. Apa lagi dana untuk pelatihan guru agar dapat menerapkan KTSP.
Setiap kali mengajukan anggaran untuk pelatihan guru seringkali dipotong karena belum
dianggap penting. Namun sebagian daerah sangat proaktif dan bisa mendapatkan dana
melalui APBD. Hal ini sangat bergantung pada tingkat kepedulian pememrintah daerah
dan DPRD terhadap pembangunan pendidikan di daerahnya.
Unsur-unsur yang dimonitor adalah (a) apakah responden telah memiliki dokumen dan
bagaiaman cara mendapatkan dokumen tersebut. Hal ini akan menggambarkan
sejauhmana pihak-pihak terkait proaktif dalam mendapatkan informasi, misalnya dengan
meng-copy sendiri atau menunggu informasi dikirimkan oleh pihak yang berwenang. (b)
apakah sudah menyusun KTSP dan perangkatnya (struktur kurikulum, silabus, RPP,
penilaian dan sebagainya), (c) apakah sudah melaksanakan KTSP, (d) apa dampak,
kendala, dan upaya yang dilakukan, (e) sejauhmana peran serta masyarakat, (f) bagaimana
penjadualan penerapan , (g) berapa persen daerah (kabupaten/kota) yang telah
melaksanakan sosialisasi, (h) apakah ada koordinasi antar pihak-pihak terkait?
Informasi ini diperoleh melalui pejabat struktural dan staf Dinas Pendidikan, kepala
sekolah, guru, komite/orang tua siswa melalui angket, tes pemahaman dan wawancara. .
Secara umum, semua responden menyatakan sekolahnya telah menyusun KTSP dan
perangkatnya, Namur sebagaimana yang disinggung di atas, sebagaian besar maíz pada
tahap adopsi. Guru sudah membuat silabus dan RPP, namun silabus yang di buat guru
belum menunjukkan penjabaran SK dan KD yang disesuaikan dengan potensi
daerah/wilayah, potensi sekolah, dan sesuai dengan karakteristik peserta didik.
Berdasarkan hasil observasi, secara keseluruhan, guru telah berupaya sebaik mungkin
untuk mengubah proses pembelajaran, namun, kelihatanya guru masih ragu-ragu dan
merasa nyaman dengan pola lama. Dilihat dari dokumen yang disusun guru, dapat
disimpulkan bahwa guru sudah berupaya menyusun rencana pembelajaran dan penilaian,
namun kelihatannya dalam pelaksanaan masih belum konsisten.
A. Kesimpulan
Faktor lain berupa kualitas penyampaian informasi, banyak responden yang mengeluhkan
bahwa pada setiap kali ikut sosialisasi, informasi yang terima selalu berbeda. Hal ini
cukup meresahkan dan membingungkan para pelaksana dan pengambil kebijakan di
lapangan. Pengalaman yang pernah terjadai pada sosialisasi kurikulum 2004, yaitu adanya
2 versi kurikulum, terulang kembali dalam bentuk lain, terutama yang berkaitan dengan
komponen-komponen yang harus disiapkan oleh satuan pendidikan, seperti kasus bentuk
rapor.
KTSP sebagai model kurikulum yang berdasar pada Standar Isi dan dikembangkan dengan
memperhatikan potensi dan karakteristik wilayah/sekolah belum disosialisasikan dengan
baik. Substansi KTSP dan strategi implementasinya belum dipahami dengan jelas oleh
pihak sekolah dan orang tua. Penggunaan KTSP di tingkat satuan pendidikan cukup
signifikan dalam meningkatkan motivasi, aktifitas dan kreatitivitas siswa dalam belajar
hampir semua responden menyatakan bahwa penggunaan KTSP membuat putra/putri
mereka lebih rajin belajar.
Penggunaan KTSP sebagai kurikulum pendidikan saat ini diterima dengan baik oleh orang
tua walaupun muncul keluhan-keluhan dari pihak siswa karena perubahan pola
pembelajaran. Ada peningkatan biaya yang signifikan dengan penggunaan KTSP.
B. Rekomendasi
1. Dalam skala kecil, perlu melihat pelaksanaan KTSP di semua kabupaten/kota untuk
melihat sejauh mana dampak/pengaruh sosialisasi di daerah provinsi tersebut.
2. Perlu rentang waktu yang lebih panjang dalam melakukan pemantauan dan atau
pelaksanaannya yang lebih berkala/ periodik, untuk menghasilkan data yang lebih
akurat dan dapat dipercaya.
3. Agar monitoring ini dapat jauh lebih bermanfaat, maka untuk melihat adanya
perkembangan kemampuan guru-guru dalam melaksanakan KTSP di lapangan,
sebaiknya secara periodik (1 tahun sekali) dilakukan monitoring dan berupaya untuk
membandingkannya.