Anda di halaman 1dari 4

KASUS PELANGGARAN HAM DENGAN MODUS BUNUH DIRI

JAKARTA - Putri sulung mantan Presiden RI KH.Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang juga
Direktur Eksekutif The Wahid Institute Yenny Wahid menilai, kasus bom bunuh diri yang
terjadi di Masjid Adz-Dzikro, Mapolresta Cirebon, Jumat (15/4/2011) lalu, menjadi modus
baru terorisme di Indonesia.

Oleh karena, pelaku bom bunuh diri, Muhammad Syarif Astanagarif, selama ini tidak pernah
terdeteksi sebagai bagian dari jaringan teroris. "Dia (Muhammad Syarif) mungkin lebih
terdeteksi ke jaringan-jaringan yang mungkin radikal, tetapi tidak menggunakan medium
seperti bom," ujar Yenny kepada wartawan di Kantor PBNU, Jakarta, Selasa (19/4/2011).

Yenny menambahkan, dalam kasus tersebut terlihat bahwa saat ini telah terjadi
persinggungan antara kelompok lama dan kelompok baru pelaku terorisme. Hal itu dapat
disebabkan karena munculnya ladang perekrutan bagi kelompok-kelompok yang
berakidahkan kekerasan.

"Hal itu menunjukan sekarang sudah ada persinggungan antara dua kelompok tersebut. Ini
bahaya sekali karena sekarang sudah ada titik persinggungannya. Karena itu, saya berharap
semua pihak mewaspadai dan aparat keamanan juga mesti bertindak cepat mengantisipasi hal
ini," jelas Yenni yang juga Ketua Umum DPP PKB Kalibata.

Untuk itu, ia menyarankan agar pemerintah dapat lebih waspada terhadap kasus seperti itu.
Jika dibiarkan terus-menerus, hal ini akan membuat stigma Islam menjadi buruk di mata
masyarakat Indonesia. "Nah, jika ini dibiarkan nanti, ladang rekrutmennya itu dapat menjadi
semakin besar. Inilah yang harus diantisipasi oleh pemerintah," pungkasnya.

Sementara itu, pihak Kepolisian menyita berbagai peralatan untuk merakit bom saat
penggeledahan di rumah Basuki, adik Syarif Astanagarif, pelaku bom bunuh diri di Masjid
Adz-Dzikro, kompleks Mapolresta Cirebon, Jawa Barat. Rumah Basuki yang digeledah polisi
terletak di Desa Trusmi Wetan Blok Bambangan RT 13 RW 4, Kecamatan Plered, Cirebon,
Selasa (19/4/2011).

"Ditemukan peralatan-peralatan yang kayaknya itu sebagai bahan untuk merakit bom. Saya
belum mendapatkan laporan yang banyak," ucap Kepala Polda Jawa Barat, Irjen Suparni
Parto, ketika dihubungi wartawan, Selasa. Suparni mengatakan, pihaknya belum memiliki
banyak bukti keterlibatan Basuki dalam aksi bom bunuh diri yang dilakukan kakaknya pada
Jumat (15/4/2011) lalu.

"Untuk keterlibatan belum begitu terbaca. Tapi ada fakta yang mengarah kita untuk
menindaklanjuti. Ini langkah teknis yang dilakukan untuk mendapat data untuk kepentingan
proses hukum. Mungkin sekarang belum telihat secara jelas," kata jendral bintang dua
tersebut.
Sementara Wakil Kepala Bareskrim Polri, Irjen Matius Salempang, mengatakan, jika melihat
peralatan pembuat bom ditemukan di rumah Basuki, kemungkinan bom dibuat di rumah itu.
"Bisa jadi begitu," kata mantan Kapolda Sulsel ini di Mabes Polri, Jakarta.

Seperti diberitakan, Polri menyita sejumlah barang bukti saat penggeledahan di beberapa
lokasi. Di rumah mertua Syarif di Desa Panjalinan Kidul, Kecamatan Sumber Jaya,
Majalengka, polisi menyita hardware, CPU, rangkaian elektronik, CD, dan buku berjudul
Jihad di Asia Tengah (Perang Akhir Zaman) yang di bagian belakang tertulis pesan dari
Syarif.

Adapun di rumah Syarif di daerah Cirebon, penyidik menemukan rangkaian elektronik yang
diduga untuk membuat bom. Hingga saat ini, penyidik telah memeriksa 30 orang, salah
satunya Basuki, terkait aksi yang melukai 31 orang tersebut. (David)

KASUS PELANGGARAN HAM, PENYIKSAAN PADA ANAK

PERNYATAAN SIKAP: Hari Anak Nasional 23 Juli 2009

Pemerintahan kita sudah berganti presiden sebanyak enam kali. Tahun ini, SBY akan
menjabat kedua kalinya sebagai pemimpin pemerintahan. Namun dari sekian kali berganti
presiden, anak-anak miskin dan marginal masih saja menderita dan jauh dari perlindungan
dan pemenuhan hak-hak mereka sebagai anak bangsa. Memang ada beberapa kebijakan dan
regulasi yang dibuat pemerintah untuk melaksanakan perlindungan anak. Tapi, sampai saat
ini pada tataran praksis segala regulasi dan kebijakan tersebut masih belum berpihak kepada
anak-anak miskin.

Misalnya saja di Ponorogo, di lokaliasi Kedung Banteng, anak-anak dari kelompok marginal
ini hak-hak anak tidak terpenuhi dengan baik. Mereka tidak mendapat pendidikan yang layak.
Situasi yang sama di masyarakat pinggir hutan Lengkok Nganjuk, di Desa Bangkak, utuk
sekolah TK saja mereka harus mengeluarkan biaya yang sangat mahal karena habis untuk
biaya trasnportasi karena  jalannya rusak total. Biaya seorang anak hampir setara dengan
membeli sapi. Tentunya, ini menjadi tidak seperti yang sering kali muncul di televisi dimana
anak bebas dan gratis menikmati bangku sekolah dan diantar orang tuanya penuh dengan
kegembiraan.

Di Jombang masih terjadi kekerasan terhadap anak bahkan di pesantren- pesantren,


pendidikan anak-anak jalanan terabaikan. Di Madiun, anak-anak dimanfaatkan menjadi
pengemis, sehingga kekerasan seksual dan ekonomi terhadap anak terjadid di depan mata. Di
Ponorogo, hak pendidikan anak tidak terpenuhi, pekerja anak di bawah umur dengan imbalan
lebih murah yang berdampak pada perkembangan pendidikan mereka. Di Tulungagung;
kekerasan anak dalam bentuk pelecehan seksual terjdi. Selain itu trafficking anak baik di
dalam negeri (di warung-warung kopi) maupun luar negeri (TKI ilegal) semakin marak.
Lebih parah lagi hak kesehatan yang ramah pada anak (produk makanan yang
membahayakan kesehatan anak) sampai sekarang tidaka menjadi perhatian pemerintah.
Bahaya TV terhadap anak dimana ada eksploitasi media (tayangan yang tidak mendidik)
justru dibiarkan oleh pemeritah. Di Nganjuk,  anak-anak yang tidak memiliki budaya lokal.
Mereka juga diperkerjakan secara eksploitatif di pabrik-pabrik home insudtri seperti pabrik
roti.

Situasi ini tentu saja adalah bentuk pelanggaran terhadap konstisusi dan Hak Asasi Manusia.
Padahal, secara gamblang disebutkan bahwa di dalam UU tersebut setiap anak menjadi
tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah dan Negara dalam mewujudkan hak anak untuk
hidup, tumbuh kembang, berpartisipasi optimal, mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, mendapat identitas diri, memperoleh pelayanan dan fasilitas kesehatan serta
jaminan sosial sesuai fisik, mental, spiritual, dan sosial, memperoleh pendidikan dan
pengajaran dengan tanggungan biaya cuma-cuma untuk anak-anak kurang mampu dan
terlantar, menyatakan pendapat, bermain dan berkreasi, membela diri dan memperoleh
bantuan hukum, dan bebas berserikat dan berkumpul, termasuk kewajiban pemerintah
mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.

Sebagai suatu hak yang harus dipenuhi oleh Negara, maka wajarlah bila Negara
mengeluarkan biaya yang banyak untuk pemenuhan, perlindungan, dan pemajuan akan hak-
hak pendidikan anak, kesehatan anak, kemerdekaan anak, dan hak anak lainnya. Hal itu
mengingat bahwa penyelenggaraan pendidikan dan kesehatan pada prinsipnya cost centre
(menghabis-habiskan biaya), bukan profit centre (yang dapat mendatangkan keuntungan).

KASUS PELANGGARAN HAM, PENIPUAN YANG BERKEDOK AGAMA

TRIBUNMANADO.CO.ID, MALANG — Jumlah mahasiswa di Malang, Jawa Timur, yang


didoktrin untuk tidak percaya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia mencapai 15
orang. Para korban wajib percaya pada Negara Islam.

"Dari hasil pengakuan para korban, baik korban yang tahun 2008 lalu dan korban yang
direkrut pada 2011 ini, otaknya sudah didoktrin untuk tidak percaya pada Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), tetapi harus percaya pada Negara Islam," kata Nasrullah kepala
humas Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) di Jawa Timur, Selasa (19/4/2011).

Istilah yang mereka pakai bukan hanya Negara Islam, melainkan juga sering disebut "Negara
Karunia". "Kalau menjadi warga NKRI itu katanya kafir. Bisa Islam dan langsung masuk
surga kalau jadi warga Negara Islam," ujarnya.

Yang aneh menurut Nasrulah, diskusi dilakukan di mal, seperti di Malang Olympic Garden
(MOG) dan MATOS. Penampilan para pelaku "cuci otak" itu pun tak seperti aktivis gerakan
Islam radikal pada umumnya.

"Penampilan para pengajaknya tidak seperti wajah-wajah beraliran keras. Inilah yang hingga
kini masih menjadi tanda tanya, apakah hanya penipuan dengan modus agama atau memang
mengajak untuk anti-NKRI," katanya.

Menurut Nasrullah, dua versi itu masih terus dikaji oleh pihak UMM. "Tetapi yang santer
dari pengakuan korban bukan hanya murni penipuan bermodus agama. Otak korban itu sudah
dipengaruhi radikalisasi Islam," katanya.
Sementara itu, menurut pengakuan M Hanif, salah satu korban yang tidak sampai dibaiat di
Jakarta, yang menjadi bahasan dalam setiap diskusi yang sudah belangsung selama berkali-
kali tersebut memang Negara Islam.

"Kami dibuat tidak percaya kepada NKRI. Adam dan Fikri itu selalu menyampaikan karut-
marutnya bangsa Indonesia. Agar keluar dari permasalahan karut marutnya bangsa ini, harus
hijrah keluar dari NKRI dan pindah menjadi warga Negara Islam atau Negara Karunia,"
ceritanya, Selasa.

Hanif mengaku, kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa baru yang belum banyak tahu
soal keagamaan. Kebanyakan korban merupakan mahasiswa baru dari Jurusan Teknik.

"Awalnya saya sudah yakin terhadap Negara Islam itu karena ke depan ini akan datang
pembaharu Islam yang akan mengubah NKRI menjadi Negara Islam," urai mahasiswa yang
masih berumur 19 tahun ini.

Hanif juga mengatakan bahwa yang membuat dia tertarik mengikuti diskusi adalah
pembeberan mengenai masalah bangsa yang sampai saat ini dinilai gagal. "Solusinya adalah
Negara Islam, yang bisa mendamaikan negara," katanya.

Kapolresta Malang AKBP Agus Salim saat dihubungi mengatakan bahwa pihaknya terus
melakukan koordinasi dan penyelidikan terkait kasus pencucian otak kepada mahasiswa
UMM dan Universitas Brawijaya Malang itu.

"Saat ini kami sudah menurunkan tim khusus untuk menyelidiki kasus tersebut karena sudah
meresahkan banyak orang dan para korban ditipu puluhan juta dengan alasan digunakan
biaya baiat ke Jakarta," ungkapnya.

Anda mungkin juga menyukai