Anda di halaman 1dari 116

A.

KONSEP BIMBINGAN DAN KONSELING

Hakikat dan Urgensi Bimbingan dan Konseling


Diterbitkan Maret 12, 2008

Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah,


bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-
undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting adalah menyangkut
upaya memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya disebut konseli, agar mampu
mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya
(menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual).

Konseli sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau
menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk
mencapai kematangan tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena mereka masih
kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga
pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu
keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara
mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak
selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-
nilai yang dianut.

Perkembangan konseli tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun
sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi
dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) warga masyarakat.
Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan,
maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku konseli, seperti terjadinya
stagnasi (kemandegan) perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan
perilaku. Perubahan lingkungan yang diduga mempengaruhi gaya hidup, dan
kesenjangan perkembangan tersebut, di antaranya: pertumbuhan jumlah penduduk
yang cepat, pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat,
revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan
struktur masyarakat dari agraris ke industri.

Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti : maraknya tayangan pornografi
di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obat
terlarang/narkoba yang tak terkontrol; ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga;
dan dekadensi moral orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya
hidup konseli (terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-
kaidah moral (akhlak yang mulia), seperti: pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah,
tawuran, meminum minuman keras, menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika,
Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, seperti: ganja, narkotika, ectasy, putau, dan sabu-
sabu), kriminalitas, dan pergaulan bebas (free sex).

Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak diharapkan, karena tidak sesuai
dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang dicita-citakan, seperti tercantum dalam
tujuan pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan
keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian yang
mantap dan mandiri, serta (6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan. Tujuan tersebut mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan) bagi
semua tingkat satuan pendidikan untuk senantiasa memantapkan proses pendidikannya
secara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut.

Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan seperti


disebutkan, adalah mengembangkan potensi konseli dan memfasilitasi mereka secara
sistematik dan terprogram untuk mencapai standar kompetensi kemandirian. Upaya ini

1
merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secara
proaktif dan berbasis data tentang perkembangan konseli beserta berbagai faktor yang
mempengaruhinya.

Dengan demikian, pendidikan yang bermutu, efektif atau ideal adalah yang
mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang
administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang
bimbingan dan konseling. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif
dan instruksional dengan mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, hanya akan
menghasilkan konseli yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang
memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian.

Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan konseling,
yaitu dari pendekatan yang berorientasi tradisional, remedial, klinis, dan terpusat pada
konselor, kepada pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif.
Pendekatan bimbingan dan konseling perkembangan (Developmental Guidance and
Counseling), atau bimbingan dan konseling komprehensif (Comprehensive Guidance
and Counseling). Pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan kepada
upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan pengentasan
masalah-masalah konseli. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar
kompetensi yang harus dicapai konseli, sehingga pendekatan ini disebut juga bimbingan
dan konseling berbasis standar (standard based guidance and counseling). Standar
dimaksud adalah standar kompetensi kemandirian (periksa lampiran 1).

Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi antara konselor dengan


para personal Sekolah/ Madrasah lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru, dan
staf administrasi), orang tua konseli, dan pihak-pihak ter-kait lainnya (seperti instansi
pemerintah/swasta dan para ahli : psikolog dan dokter). Pendekatan ini terintegrasi
dengan proses pendidikan di Sekolah/Madrasah secara keseluruhan dalam upaya
membantu para konseli agar dapat mengem-bangkan atau mewujudkan potensi dirinya
secara penuh, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir.

Atas dasar itu, maka implementasi bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah


diorientasikan kepada upaya memfasilitasi perkembangan potensi konseli, yang meliputi
as-pek pribadi, sosial, belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi
konseli sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial,
dan spiritual).

DAFTAR RUJUKAN

AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor.


http://aace.ncat.edu
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional
Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor
Indonesia. Bandung: ABKIN
Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK:
Cambridge University Press.
BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan
Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta:
BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.
Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New
Jersey, Merrill Prentice Hall
Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan
Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan

2
Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor
Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA:
AACD.
Browers, Judy L. & Hatch, Patricia A. (2002). The National Model for School Counseling
Programs. ASCA (American School Counselor Association).
Comm, J.Nancy. (1992). Adolescence. California : Myfield Publishing Company.
Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.
Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan,
Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,
Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The
Educational Resources Information Center.

Gibson R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. New York :
MacMillan Publishing Company.

Havighurts, R.J. (1953). Development Taks and Education. New York: David Mckay.

Herr Edwin L. (1979). Guidance and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.

Hurlock, Alizabeth B. (1956). Child Development. New York : McGraw Hill Book
Company Inc.

Ketetapan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor


01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan
pelayanan professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal
berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.

Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 23 tentang Standar
Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Michigan School Counselor Association. (2005). The Michigan Comprehensive
Guidance and Counseling Program.
Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary
and Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan
Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas
Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan
Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan
Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI,
LIPI.
Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah.
Bandung : CV Bani Qureys.
——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda
Karya.

3
——–.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT.
Remaja Rosda Karya.
Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen
Wagner William G. (1996). “Optimal Development in Adolescence : What Is It and How
Can It be Encouraged”? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.
Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.

*)) Materi di atas merupakan salah satu bagian dari makalah yang disajikan oleh
Dr. Uman Suherman, M.Pd. pada acara seminar sehari Bimbingan dan
Konseling yang diselenggarakan oleh Universitas Kuningan bekerja sama
dengan ABKIN Cabang Kabupaten Kuningan pada tanggal 11 Maret 2008
bertempat di Aula Student Center UNIKU.

Landasan Bimbingan dan Konseling


Diterbitkan Januari 25, 2008

Oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.

Abstrak :

Agar dapat berdiri tegak sebagai sebuah layanan profesional yang dapat diandalkan dan
memberikan manfaat bagi kehidupan, maka layanan bimbingan dan konseling perlu
dibangun di atas landasan yang kokoh, dengan mencakup: (1) landasan filosofis, (2)
landasan psikologis; (3) landasan sosial-budaya, dan (4) landasan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Berkenaan dengan layanan bimbingan dan konseling dalam konteks
Indonesia, selain berpijak pada keempat landasan tersebut juga perlu berlandaskan
pada aspek pedagogis, religius dan yuridis-formal. Untuk terhidar dari berbagai
penyimpangan dalam praktek layanan bimbingan dan konseling, setiap konselor mutlak
perlu memahami dan menguasai landasan-landasan tersebut sebagai pijakan dalam
melaksanakan tugas-tugas profesionalnya.

Kata kunci : bimbingan dan konseling, landasan filosofis, landasan psikologis; landasan
sosial-budaya, landasan ilmu pengetahuan dan teknologi.

A. Pendahuluan

Layanan bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan di


Indonesia. Sebagai sebuah layanan profesional, kegiatan layanan bimbingan dan
konseling tidak bisa dilakukan secara sembarangan, namun harus berangkat dan berpijak
dari suatu landasan yang kokoh, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan
penelitian yang mendalam. Dengan adanya pijakan yang jelas dan kokoh diharapkan
pengembangan layanan bimbingan dan konseling, baik dalam tataran teoritik maupun
praktek, dapat semakin lebih mantap dan bisa dipertanggungjawabkan serta mampu
memberikan manfaat besar bagi kehidupan, khususnya bagi para penerima jasa layanan
(klien). .

4
Agar aktivitas dalam layanan bimbingan dan konseling tidak terjebak dalam berbagai
bentuk penyimpangan yang dapat merugikan semua pihak, khususnya pihak para
penerima jasa layanan (klien) maka pemahaman dan penguasaan tentang landasan
bimbingan dan konseling khususnya oleh para konselor tampaknya tidak bisa ditawar-
tawar lagi dan menjadi mutlak adanya..

Berbagai kesalahkaprahan dan kasus malpraktek yang terjadi dalam layanan bimbingan
dan konseling selama ini,– seperti adanya anggapan bimbingan dan konseling sebagai
“polisi sekolah”, atau berbagai persepsi lainnya yang keliru tentang layanan bimbingan
dan konseling,- sangat mungkin memiliki keterkaitan erat dengan tingkat pemahaman dan
penguasaan konselor.tentang landasan bimbingan dan konseling. Dengan kata lain,
penyelenggaraan bimbingan dan konseling dilakukan secara asal-asalan, tidak dibangun
di atas landasan yang seharusnya.

Oleh karena itu, dalam upaya memberikan pemahaman tentang landasan bimbingan dan
konseling, khususnya bagi para konselor, melalui tulisan ini akan dipaparkan tentang
beberapa landasan yang menjadi pijakan dalam setiap gerak langkah bimbingan dan
konseling.

B. Landasan Bimbingan dan Konseling

Membicarakan tentang landasan dalam bimbingan dan konseling pada dasarnya tidak
jauh berbeda dengan landasan-landasan yang biasa diterapkan dalam pendidikan, seperti
landasan dalam pengembangan kurikulum, landasan pendidikan non formal atau pun
landasan pendidikan secara umum.

Landasan dalam bimbingan dan konseling pada hakekatnya merupakan faktor-faktor


yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku pelaksana
utama dalam mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Ibarat sebuah
bangunan, untuk dapat berdiri tegak dan kokoh tentu membutuhkan fundasi yang kuat
dan tahan lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki fundasi yang kokoh, maka
bangunan itu akan mudah goyah atau bahkan ambruk. Demikian pula, dengan layanan
bimbingan dan konseling, apabila tidak didasari oleh fundasi atau landasan yang kokoh
akan mengakibatkan kehancuran terhadap layanan bimbingan dan konseling itu sendiri
dan yang menjadi taruhannya adalah individu yang dilayaninya (klien). Secara teoritik,
berdasarkan hasil studi dari beberapa sumber, secara umum terdapat empat aspek pokok
yang mendasari pengembangan layanan bimbingan dan konseling, yaitu landasan
filosofis, landasan psikologis, landasan sosial-budaya, dan landasan ilmu pengetahuan
(ilmiah) dan teknologi. Selanjutnya, di bawah ini akan dideskripsikan dari masing-masing
landasan bimbingan dan konseling tersebut :

1. Landasan Filosofis

Landasan filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman
khususnya bagi konselor dalam melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan konseling
yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun estetis.Landasan
filosofis dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan dengan usaha mencari
jawaban yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang : apakah manusia itu ? Untuk
menemukan jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan
dari berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat
modern dan bahkan filsafat post-modern. Dari berbagai aliran filsafat yang ada, para
penulis Barat .(Victor Frankl, Patterson, Alblaster & Lukes, Thompson & Rudolph, dalam
Prayitno, 2003) telah mendeskripsikan tentang hakikat manusia sebagai berikut :

• Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu
untuk meningkatkan perkembangan dirinya.

5
• Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia
berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
• Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya
sendiri khususnya melalui pendidikan.
• Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup
berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-
tidaknya mengontrol keburukan.
• Manusia memiliki dimensi fisik, psikologis dan spiritual yang harus dikaji secara
mendalam.
• Manusia akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia
terwujud melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.
• Manusia adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.
• Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat
pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini
memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia
itu adan akan menjadi apa manusia itu.
• Manusia pada hakikatnya positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana
apapun, manusia berada dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan
berkemampuan untuk melakukan sesuatu.

Dengan memahami hakikat manusia tersebut maka setiap upaya bimbingan dan konseling
diharapkan tidak menyimpang dari hakikat tentang manusia itu sendiri. Seorang konselor
dalam berinteraksi dengan kliennya harus mampu melihat dan memperlakukan kliennya
sebagai sosok utuh manusia dengan berbagai dimensinya.

2. Landasan Psikologis

Landasan psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman bagi


konselor tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan (klien). Untuk
kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa kajian psikologi yang perlu dikuasai
oleh konselor adalah tentang : (a) motif dan motivasi; (b) pembawaan dan lingkungan, (c)
perkembangan individu; (d) belajar; dan (e) kepribadian.

a. Motif dan Motivasi

Motif dan motivasi berkenaan dengan dorongan yang menggerakkan seseorang


berperilaku baik motif primer yaitu motif yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki
oleh individu semenjak dia lahir, seperti : rasa lapar, bernafas dan sejenisnya maupun
motif sekunder yang terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi, memperoleh
pengetahuan atau keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya motif-motif tersebut
tersebut diaktifkan dan digerakkan,– baik dari dalam diri individu (motivasi intrinsik)
maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik)–, menjadi bentuk perilaku instrumental
atau aktivitas tertentu yang mengarah pada suatu tujuan.

b. Pembawaan dan Lingkungan

Pembawaan dan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor yang membentuk dan


mempengaruhi perilaku individu. Pembawaan yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak
lahir dan merupakan hasil dari keturunan, yang mencakup aspek psiko-fisik, seperti
struktur otot, warna kulit, golongan darah, bakat, kecerdasan, atau ciri-ciri-kepribadian
tertentu. Pembawaan pada dasarnya bersifat potensial yang perlu dikembangkan dan
untuk mengoptimalkan dan mewujudkannya bergantung pada lingkungan dimana
individu itu berada. Pembawaan dan lingkungan setiap individu akan berbeda-beda. Ada
individu yang memiliki pembawaan yang tinggi dan ada pula yang sedang atau bahkan
rendah. Misalnya dalam kecerdasan, ada yang sangat tinggi (jenius), normal atau bahkan
sangat kurang (debil, embisil atau ideot). Demikian pula dengan lingkungan, ada individu
yang dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif dengan sarana dan prasarana yang

6
memadai, sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya dapat berkembang secara
optimal. Namun ada pula individu yang hidup dan berada dalam lingkungan yang kurang
kondusif dengan sarana dan prasarana yang serba terbatas sehingga segenap potensi
bawaan yang dimilikinya tidak dapat berkembang dengan baik.dan menjadi tersia-siakan.

c. Perkembangan Individu

Perkembangan individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu


yang merentang sejak masa konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya, diantaranya
meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral dan sosial.
Beberapa teori tentang perkembangan individu yang dapat dijadikan sebagai rujukan,
diantaranya : (1) Teori dari McCandless tentang pentingnya dorongan biologis dan
kultural dalam perkembangan individu; (2) Teori dari Freud tentang dorongan seksual;
(3) Teori dari Erickson tentang perkembangan psiko-sosial; (4) Teori dari Piaget tentang
perkembangan kognitif; (5) teori dari Kohlberg tentang perkembangan moral; (6) teori
dari Zunker tentang perkembangan karier; (7) Teori dari Buhler tentang perkembangan
sosial; dan ( Teori dari Havighurst tentang tugas-tugas perkembangan individu
semenjak masa bayi sampai dengan masa dewasa.

Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus memahami berbagai aspek


perkembangan individu yang dilayaninya sekaligus dapat melihat arah perkembangan
individu itu di masa depan, serta keterkaitannya dengan faktor pembawaan dan
lingkungan.

d. Belajar

Belajar merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dari psikologi. Manusia belajar
untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan
mengembangkan dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya dan
mengembangkan harkat kemanusiaannya. Inti perbuatan belajar adalah upaya untuk
menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaatkan yang sudah ada pada diri individu.
Penguasaan yang baru itulah tujuan belajar dan pencapaian sesuatu yang baru itulah
tanda-tanda perkembangan, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun
psikomotor/keterampilan. Untuk terjadinya proses belajar diperlukan prasyarat belajar,
baik berupa prasyarat psiko-fisik yang dihasilkan dari kematangan atau pun hasil belajar
sebelumnya.

Untuk memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan belajar terdapat beberapa teori
belajar yang bisa dijadikan rujukan, diantaranya adalah : (1) Teori Belajar Behaviorisme;
(2) Teori Belajar Kognitif atau Teori Pemrosesan Informasi; dan (3) Teori Belajar Gestalt.
Dewasa ini mulai berkembang teori belajar alternatif konstruktivisme.

e. Kepribadian

Hingga saat ini para ahli tampaknya masih belum menemukan rumusan tentang
kepribadian secara bulat dan komprehensif.. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang
dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005)
menemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari
studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian
yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi
dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang
unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian
kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider dalam Syamsu Yusuf (2003)
mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang bersifat
behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri,
ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara
pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan.

7
Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat
dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh
keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon,
segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga
menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.

Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian


yang sudah banyak dikenal, diantaranya : Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, Teori
Analitik dari Carl Gustav Jung, Teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan
Sullivan, teori Personologi dari Murray, Teori Medan dari Kurt Lewin, Teori Psikologi
Individual dari Allport, Teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull, Watson, Teori The
Self dari Carl Rogers dan sebagainya. Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003)
mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang mencakup :

• Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten


tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
• Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi
terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
• Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
• Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari
lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa.
• Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan
atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci
tangan, atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
• Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan
interpersonal. Seperti: sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan
berkomunikasi dengan orang lain.

Untuk kepentingan layanan bimbingan dan konseling dan dalam upaya memahami dan
mengembangkan perilaku individu yang dilayani (klien) maka konselor harus dapat
memahami dan mengembangkan setiap motif dan motivasi yang melatarbelakangi
perilaku individu yang dilayaninya (klien). Selain itu, seorang konselor juga harus dapat
mengidentifikasi aspek-aspek potensi bawaan dan menjadikannya sebagai modal untuk
memperoleh kesuksesan dan kebahagian hidup kliennya. Begitu pula, konselor sedapat
mungkin mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan segenap
potensi bawaan kliennya. Terkait dengan upaya pengembangan belajar klien, konselor
dituntut untuk memahami tentang aspek-aspek dalam belajar serta berbagai teori belajar
yang mendasarinya. Berkenaan dengan upaya pengembangan kepribadian klien, konselor
kiranya perlu memahami tentang karakteristik dan keunikan kepribadian kliennya. Oleh
karena itu, agar konselor benar-benar dapat menguasai landasan psikologis, setidaknya
terdapat empat bidang psikologi yang harus dikuasai dengan baik, yaitu bidang psikologi
umum, psikologi perkembangan, psikologi belajar atau psikologi pendidikan dan
psikologi kepribadian.

3. Landasan Sosial-Budaya

Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman


kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang
mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan
produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan
dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-
budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat
mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang
melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan
perbedaan pula dalam proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang
bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka

8
tidak mustahil akan timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat
menghambat terhadap proses perkembangan pribadi dan perilaku individu yang
besangkutan dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.

Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor dengan
klien, yang mungkin antara konselor dan klien memiliki latar sosial dan budaya yang
berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan
yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuain diri antar budaya, yaitu :
(a) perbedaan bahasa; (b) komunikasi non-verbal; (c) stereotipe; (d) kecenderungan
menilai; dan (e) kecemasan. Kurangnya penguasaan bahasa yang digunakan oleh pihak-
pihak yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa non-verbal pun
sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak belakang.
Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau golongan tertentu
berdasarkan prasangka subyektif (social prejudice) yang biasanya tidak tepat. Penilaian
terhadap orang lain disamping dapat menghasilkan penilaian positif tetapi tidak sedikit
pula menimbulkan reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu
memasuki lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan
yanmg berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju ke culture
shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan harus
berbuat sesuatu. Agar komuniskasi sosial antara konselor dengan klien dapat terjalin
harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu diantisipasi.

Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, Moh. Surya (2006)
mengetengahkan tentang tren bimbingan dan konseling multikultural, bahwa bimbingan
dan konseling dengan pendekatan multikultural sangat tepat untuk lingkungan berbudaya
plural seperti Indonesia. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan
semangat bhinneka tunggal ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Layanan bimbingan
dan konseling hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara
nyata mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.

4. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)

Layanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan profesional yang memiliki dasar-
dasar keilmuan, baik yang menyangkut teori maupun prakteknya. Pengetahuan tentang
bimbingan dan konseling disusun secara logis dan sistematis dengan menggunakan
berbagai metode, seperti: pengamatan, wawancara, analisis dokumen, prosedur tes,
inventory atau analisis laboratoris yang dituangkan dalam bentuk laporan penelitian, buku
teks dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya.

Sejak awal dicetuskannya gerakan bimbingan, layanan bimbingan dan konseling telah
menekankan pentingnya logika, pemikiran, pertimbangan dan pengolahan lingkungan
secara ilmiah (McDaniel dalam Prayitno, 2003).

Bimbingan dan konseling merupakan ilmu yang bersifat “multireferensial”. Beberapa


disiplin ilmu lain telah memberikan sumbangan bagi perkembangan teori dan praktek
bimbingan dan konseling, seperti : psikologi, ilmu pendidikan, statistik, evaluasi, biologi,
filsafat, sosiologi, antroplogi, ilmu ekonomi, manajemen, ilmu hukum dan agama.
Beberapa konsep dari disiplin ilmu tersebut telah diadopsi untuk kepentingan
pengembangan bimbingan dan konseling, baik dalam pengembangan teori maupun
prakteknya. Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan konseling selain
dihasilkan melalui pemikiran kritis para ahli, juga dihasilkan melalui berbagai bentuk
penelitian.

Sejalan dengan perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi berbasis


komputer, sejak tahun 1980-an peranan komputer telah banyak dikembangkan dalam
bimbingan dan konseling. Menurut Gausel (Prayitno, 2003) bidang yang telah banyak
memanfaatkan jasa komputer ialah bimbingan karier dan bimbingan dan konseling

9
pendidikan. Moh. Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan
teknologi komputer interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya (klien)
tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga dilakukan melalui
hubungan secara virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk “cyber counseling”.
Dikemukakan pula, bahwa perkembangan dalam bidang teknologi komunikasi menuntut
kesiapan dan adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan
bimbingan dan konseling.

Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran konselor didalamnya
mencakup pula sebagai ilmuwan sebagaimana dikemukakan oleh McDaniel (Prayitno,
2003) bahwa konselor adalah seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu
mengembangkan pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik
berdasarkan hasil pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan
penelitian.

Berkenaan dengan layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, Prayitno
(2003) memperluas landasan bimbingan dan konseling dengan menambahkan landasan
paedagogis, landasan religius dan landasan yuridis-formal.

Landasan paedagogis dalam layanan bimbingan dan konseling ditinjau dari tiga segi,
yaitu: (a) pendidikan sebagai upaya pengembangan individu dan bimbingan merupakan
salah satu bentuk kegiatan pendidikan; (b) pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan
konseling; dan (c) pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan layanan bimbingan dan
konseling.

Landasan religius dalam layanan bimbingan dan konseling ditekankan pada tiga hal
pokok, yaitu : (a) manusia sebagai makhluk Tuhan; (b) sikap yang mendorong
perkembangan dari perikehidupan manusia berjalan ke arah dan sesuai dengan kaidah-
kaidah agama; dan (c) upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya
secara optimal suasana dan perangkat budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi)
serta kemasyarakatan yang sesuai dengan dan meneguhkan kehidupan beragama untuk
membantu perkembangan dan pemecahan masalah. Ditegaskan pula oleh Moh. Surya
(2006) bahwa salah satu tren bimbingan dan konseling saat ini adalah bimbingan dan
konseling spiritual. Berangkat dari kehidupan modern dengan kehebatan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat
yang ternyata telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan
kebahagiaan batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini sedang
berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai
spiritual. Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya bimbingan dan
konseling yang berlandaskan spiritual atau religi.

Landasan yuridis-formal berkenaan dengan berbagai peraturan dan perundangan yang


berlaku di Indonesia tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling, yang bersumber
dari Undang-Undang Dasar, Undang – Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Menteri serta berbagai aturan dan pedoman lainnya yang mengatur tentang
penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Indonesia.

C. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

Sebagai sebuah layanan profesional, bimbingan dan konseling harus dibangun di atas
landasan yang kokoh.

Landasan bimbingan dan konseling yang kokoh merupakan tumpuan untuk terciptanya
layanan bimbingan dan konseling yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan.

10
Landasan bimbingan dan konseling meliputi : (a) landasan filosofis, (b) landasan
psikologis; (c) landasan sosial-budaya; dan (d) landasan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Landasan filosofis terutama berkenaan dengan upaya memahami hakikat manusia,


dikaitkan dengan proses layanan bimbingan dan konseling.

Landasan psikologis berhubungan dengan pemahaman tentang perilaku individu yang


menjadi sasaran layanan bimbingan dan konseling, meliputi : (a) motif dan motivasi; (b)
pembawaan dan lingkungan; (c) perkembangan individu; (d) belajar; dan (d) kepribadian.

Landasan sosial budaya berkenaan dengan aspek sosial-budaya sebagai faktor yang
mempengaruhi terhadap perilaku individu, yang perlu dipertimbangakan dalam layanan
bimbingan dan konseling, termasuk di dalamnya mempertimbangkan tentang keragaman
budaya.

Landasan ilmu pengetahuan dan teknologi berkaitan dengan layanan bimbingan dan
konseling sebagai kegiatan ilimiah, yang harus senantiasa mengikuti laju perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat.

Layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, di samping berlandaskan


pada keempat aspek tersebut di atas, kiranya perlu memperhatikan pula landasan
pedagodis, landasan religius dan landasan yuridis-formal.

Sumber Bacaan :

Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya


Remaja.

Calvin S. Hall & Gardner Lidzey (editor A. Supratiknya). 2005. Teori-Teori Psiko
Dinamik (Klinis) : Jakarta : Kanisius

Depdiknas, 2004. Dasar Standarisasi Profesi Konseling. Jakarta : Bagian Proyek


Peningkatan Tenaga Akdemik Dirjen Dikti

Gendler, Margaret E..1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New York :
McMillan Publishing.

Gerlald Corey. 2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (Terj. E. Koswara),
Bandung : Refika

Gerungan 1964. Psikologi Sosial. Bandung : PT ErescoH.M. Arifin. 2003. Teori-Teori


Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.

Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Phsychology. New Yuork : McGraw-Hill


Book Company

Moh. Surya. 1997. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung PPB - IKIP
Bandung

.———-2006. Profesionalisme Konselor dalam Pelaksanaan Kurikulum Berbasis


Kompetensi (makalah). Majalengka : Sanggar BK SMP, SMA dan SMK

Muhibbin Syah. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Raja Grafindo.

Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T.
Remaja Rosdakarya.

11
Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdiknas

.———-, dkk. 2004. Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling, Jakarta :
Rineka Cipta

.——–2003. Wawasan dan Landasan BK (Buku II). Depdiknas : Jakarta

Sarlito Wirawan.2005. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta : Raja Grafindo

Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta

Sumadi Suryabrata. 1984. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Rajawali.

Syamsu Yusuf LN. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.. Bandung : PT
Rosda Karya Remaja.

Tujuan Bimbingan dan Konseling


Diterbitkan Maret 14, 2008

Tujuan pelayanan bimbingan ialah agar konseli dapat: (1) merencanakan kegiatan
penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupan-nya di masa yang akan
datang; (2) mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya seoptimal
mungkin; (3) menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat
serta lingkungan kerjanya; (4) mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam
studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan
kerja.

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, mereka harus mendapatkan kesempatan untuk:


(1) mengenal dan memahami potensi, kekuatan, dan tugas-tugas perkem-bangannya,
(2) mengenal dan memahami potensi atau peluang yang ada di lingkungannya, (3)
mengenal dan menentukan tujuan dan rencana hidupnya serta rencana pencapaian
tujuan tersebut, (4) memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri (5)
menggunakan kemampuannya untuk kepentingan dirinya, kepentingan lembaga tempat
bekerja dan masyarakat, (6) menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari
lingkungannya; dan (7) mengembangkan segala potensi dan kekuatan yang dimilikinya
secara optimal.

Secara khusus bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu konseli agar dapat
mencapai tugas-tugas perkembangannya yang meliputi aspek pribadi-sosial, belajar
(akademik), dan karir.

1. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial konseli
adalah:

• Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan


ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam kehidupan pribadi,
keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, Sekolah/Madrasah, tempat kerja,
maupun masyarakat pada umumnya.
• Memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling
menghormati dan memelihara hak dan kewajibannya masing-masing.
• Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif antara
yang menyenangkan (anugrah) dan yang tidak menyenangkan (musibah), serta

12
dan mampu meresponnya secara positif sesuai dengan ajaran agama yang
dianut.
• Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif, baik
yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan; baik fisik maupun psikis.
• Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain.
• Memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan secara sehat
• Bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai orang lain,
tidak melecehkan martabat atau harga dirinya. Memiliki rasa tanggung jawab,
yang diwujudkan dalam bentuk komitmen terhadap tugas atau kewajibannya.
• Memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang diwujudkan
dalam bentuk hubungan persahabatan, persaudaraan, atau silaturahim dengan
sesama manusia.
• Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat
internal (dalam diri sendiri) maupun dengan orang lain.
• Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif.

2. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek akademik (belajar) adalah
:

• Memiliki kesadaran tentang potensi diri dalam aspek belajar, dan memahami
berbagai hambatan yang mungkin muncul dalam proses belajar yang dialaminya.
• Memiliki sikap dan kebiasaan belajar yang positif, seperti kebiasaan membaca
buku, disiplin dalam belajar, mempunyai perhatian terhadap semua pelajaran,
dan aktif mengikuti semua kegiatan belajar yang diprogramkan.
• Memiliki motif yang tinggi untuk belajar sepanjang hayat.
• Memiliki keterampilan atau teknik belajar yang efektif, seperti keterampilan
membaca buku, mengggunakan kamus, mencatat pelajaran, dan
mempersiapkan diri menghadapi ujian.
• Memiliki keterampilan untuk menetapkan tujuan dan perencanaan pendidikan,
seperti membuat jadwal belajar, mengerjakan tugas-tugas, memantapkan diri
dalam memperdalam pelajaran tertentu, dan berusaha memperoleh informasi
tentang berbagai hal dalam rangka mengembangkan wawasan yang lebih luas.
• Memiliki kesiapan mental dan kemampuan untuk menghadapi ujian.

3. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek karir adalah :

• Memiliki pemahaman diri (kemampuan, minat dan kepribadian) yang terkait


dengan pekerjaan.
• Memiliki pengetahuan mengenai dunia kerja dan informasi karir yang menunjang
kematangan kompetensi karir.
• Memiliki sikap positif terhadap dunia kerja. Dalam arti mau bekerja dalam bidang
pekerjaan apapun, tanpa merasa rendah diri, asal bermakna bagi dirinya, dan
sesuai dengan norma agama.
• Memahami relevansi kompetensi belajar (kemampuan menguasai pelajaran)
dengan persyaratan keahlian atau keterampilan bidang pekerjaan yang menjadi
cita-cita karirnya masa depan.
• Memiliki kemampuan untuk membentuk identitas karir, dengan cara mengenali
ciri-ciri pekerjaan, kemampuan (persyaratan) yang dituntut, lingkungan
sosiopsikologis pekerjaan, prospek kerja, dan kesejahteraan kerja.
• Memiliki kemampuan merencanakan masa depan, yaitu merancang kehidupan
secara rasional untuk memperoleh peran-peran yang sesuai dengan minat,
kemampuan, dan kondisi kehidupan sosial ekonomi.
• Dapat membentuk pola-pola karir, yaitu kecenderungan arah karir. Apabila
seorang konseli bercita-cita menjadi seorang guru, maka dia senantiasa harus
mengarahkan dirinya kepada kegiatan-kegiatan yang relevan dengan karir
keguruan tersebut.
• Mengenal keterampilan, kemampuan dan minat. Keberhasilan atau kenyamanan
dalam suatu karir amat dipengaruhi oleh kemampuan dan minat yang dimiliki.
Oleh karena itu, maka setiap orang perlu memahami kemampuan dan minatnya,

13
dalam bidang pekerjaan apa dia mampu, dan apakah dia berminat terhadap
pekerjaan tersebut.
• Memiliki kemampuan atau kematangan untuk mengambil keputusan karir.

DAFTAR RUJUKAN

AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor.


http://aace.ncat.edu
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional
Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor
Indonesia. Bandung: ABKIN
Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK:
Cambridge University Press.
BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan
Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta:
BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.
Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New
Jersey, Merrill Prentice Hall
Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan
Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan
Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor
Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA:
AACD.
Browers, Judy L. & Hatch, Patricia A. (2002). The National Model for School Counseling
Programs. ASCA (American School Counselor Association).
Comm, J.Nancy. (1992). Adolescence. California : Myfield Publishing Company.
Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.
Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan,
Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,
Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The
Educational Resources Information Center.

Gibson R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. New York :
MacMillan Publishing Company.

Havighurts, R.J. (1953). Development Taks and Education. New York: David Mckay.

Herr Edwin L. (1979). Guidance and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.

Hurlock, Alizabeth B. (1956). Child Development. New York : McGraw Hill Book
Company Inc.

Ketetapan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor


01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan
pelayanan professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal
berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.

14
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 23 tentang Standar
Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Michigan School Counselor Association. (2005). The Michigan Comprehensive
Guidance and Counseling Program.
Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary
and Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan
Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas
Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan
Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan
Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI,
LIPI.
Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah.
Bandung : CV Bani Qureys.
——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda
Karya.
——–.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT.
Remaja Rosda Karya.
Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen
Wagner William G. (1996). “Optimal Development in Adolescence : What Is It and How
Can It be Encouraged”? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.
Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.

*)) Materi di atas merupakan salah satu bagian dari makalah yang disajikan oleh Dr. Uman Suherman,
M.Pd. pada acara seminar sehari Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan oleh Universitas
Kuningan bekerja sama dengan ABKIN Cabang Kabupaten Kuningan pada tanggal 11 Maret 2008
bertempat di Aula Student Center UNIKU

Fungsi, Prinsip dan Asas Bimbingan dan Konseling


Diterbitkan Maret 14, 2008

Fungsi Bimbingan dan Konseling adalah :

1. Fungsi Pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling membantu konseli


agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya
(pendidikan, pekerjaan, dan norma agama). Berdasarkan pemahaman ini,
konseli diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal, dan
menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif.
2. Fungsi Preventif, yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor untuk
senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya

15
untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh konseli. Melalui fungsi ini,
konselor memberikan bimbingan kepada konseli tentang cara menghindarkan diri
dari perbuatan atau kegiatan yang membahayakan dirinya. Adapun teknik yang
dapat digunakan adalah pelayanan orientasi, informasi, dan bimbingan
kelompok. Beberapa masalah yang perlu diinformasikan kepada para konseli
dalam rangka mencegah terjadinya tingkah laku yang tidak diharapkan,
diantaranya : bahayanya minuman keras, merokok, penyalahgunaan obat-
obatan, drop out, dan pergaulan bebas (free sex).
3. Fungsi Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang sifatnya
lebih proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi
perkembangan konseli. Konselor dan personel Sekolah/Madrasah lainnya secara
sinergi sebagai teamwork berkolaborasi atau bekerjasama merencanakan dan
melaksanakan program bimbingan secara sistematis dan berkesinambungan
dalam upaya membantu konseli mencapai tugas-tugas perkembangannya.
Teknik bimbingan yang dapat digunakan disini adalah pelayanan informasi,
tutorial, diskusi kelompok atau curah pendapat (brain storming), home room, dan
karyawisata.
4. Fungsi Penyembuhan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bersifat
kuratif. Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada
konseli yang telah mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial,
belajar, maupun karir. Teknik yang dapat digunakan adalah konseling, dan
remedial teaching.
5. Fungsi Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu
konseli memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan
memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat,
keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya. Dalam melaksanakan fungsi ini,
konselor perlu bekerja sama dengan pendidik lainnya di dalam maupun di luar
lembaga pendidikan.
6. Fungsi Adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan, kepala
Sekolah/Madrasah dan staf, konselor, dan guru untuk menyesuaikan program
pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan
kebutuhan konseli. Dengan menggunakan informasi yang memadai mengenai
konseli, pembimbing/konselor dapat membantu para guru dalam memperlakukan
konseli secara tepat, baik dalam memilih dan menyusun materi
Sekolah/Madrasah, memilih metode dan proses pembelajaran, maupun
menyusun bahan pelajaran sesuai dengan kemampuan dan kecepatan konseli.
7. Fungsi Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu
konseli agar dapat menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungannya secara
dinamis dan konstruktif.
8. Fungsi Perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu
konseli sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam berfikir, berperasaan dan
bertindak (berkehendak). Konselor melakukan intervensi (memberikan
perlakuan) terhadap konseli supaya memiliki pola berfikir yang sehat, rasional
dan memiliki perasaan yang tepat sehingga dapat mengantarkan mereka kepada
tindakan atau kehendak yang produktif dan normatif.
9. Fungsi Fasilitasi, memberikan kemudahan kepada konseli dalam mencapai
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang
seluruh aspek dalam diri konseli.
10. Fungsi Pemeliharaan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu
konseli supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan situasi kondusif yang
telah tercipta dalam dirinya. Fungsi ini memfasilitasi konseli agar terhindar dari
kondisi-kondisi yang akan menyebabkan penurunan produktivitas diri.
Pelaksanaan fungsi ini diwujudkan melalui program-program yang menarik,
rekreatif dan fakultatif (pilihan) sesuai dengan minat konseli

Terdapat beberapa prinsip dasar yang dipandang sebagai fundasi atau landasan bagi
pelayanan bimbingan. Prinsip-prinsip ini berasal dari konsep-konsep filosofis tentang
kemanusiaan yang menjadi dasar bagi pemberian pelayanan bantuan atau bimbingan,
baik di Sekolah/Madrasah maupun di luar Sekolah/Madrasah. Prinsip-prinsip itu adalah:

16
1. Bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua konseli. Prinsip ini
berarti bahwa bimbingan diberikan kepada semua konseli atau konseli, baik yang
tidak bermasalah maupun yang bermasalah; baik pria maupun wanita; baik anak-
anak, remaja, maupun dewasa. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan dalam
bimbingan lebih bersifat preventif dan pengembangan dari pada penyembuhan
(kuratif); dan lebih diutamakan teknik kelompok dari pada perseorangan
(individual).
2. Bimbingan dan konseling sebagai proses individuasi. Setiap konseli bersifat
unik (berbeda satu sama lainnya), dan melalui bimbingan konseli dibantu untuk
memaksimalkan perkembangan keunikannya tersebut. Prinsip ini juga berarti
bahwa yang menjadi fokus sasaran bantuan adalah konseli, meskipun pelayanan
bimbingannya menggunakan teknik kelompok.
3. Bimbingan menekankan hal yang positif. Dalam kenyataan masih ada konseli
yang memiliki persepsi yang negatif terhadap bimbingan, karena bimbingan
dipandang sebagai satu cara yang menekan aspirasi. Sangat berbeda dengan
pandangan tersebut, bimbingan sebenarnya merupakan proses bantuan yang
menekankan kekuatan dan kesuksesan, karena bimbingan merupakan cara
untuk membangun pandangan yang positif terhadap diri sendiri, memberikan
dorongan, dan peluang untuk berkembang.
4. Bimbingan dan konseling Merupakan Usaha Bersama. Bimbingan bukan
hanya tugas atau tanggung jawab konselor, tetapi juga tugas guru-guru dan
kepala Sekolah/Madrasah sesuai dengan tugas dan peran masing-masing.
Mereka bekerja sebagai teamwork.
5. Pengambilan Keputusan Merupakan Hal yang Esensial dalam Bimbingan
dan konseling. Bimbingan diarahkan untuk membantu konseli agar dapat
melakukan pilihan dan mengambil keputusan. Bimbingan mempunyai peranan
untuk memberikan informasi dan nasihat kepada konseli, yang itu semua sangat
penting baginya dalam mengambil keputusan. Kehidupan konseli diarahkan oleh
tujuannya, dan bimbingan memfasilitasi konseli untuk memper-timbangkan,
menyesuaikan diri, dan menyempurnakan tujuan melalui pengambilan keputusan
yang tepat. Kemampuan untuk membuat pilihan secara tepat bukan kemampuan
bawaan, tetapi kemampuan yang harus dikembangkan. Tujuan utama bimbingan
adalah mengembangkan kemampuan konseli untuk memecahkan masalahnya
dan mengambil keputusan.
6. Bimbingan dan konseling Berlangsung dalam Berbagai Setting (Adegan)
Kehidupan. Pemberian pelayanan bimbingan tidak hanya berlangsung di
Sekolah/Madrasah, tetapi juga di lingkungan keluarga, perusahaan/industri,
lembaga-lembaga pemerintah/swasta, dan masyarakat pada umumnya. Bidang
pelayanan bimbingan pun bersifat multi aspek, yaitu meliputi aspek pribadi,
sosial, pendidikan, dan pekerjaan.

Keterlaksanaan dan keberhasilan pelayanan bimbingan dan konseling sangat ditentukan


oleh diwujudkannya asas-asas berikut.

1. Asas Kerahasiaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menuntut


dirahasiakanya segenap data dan keterangan tentang konseli (konseli) yang
menjadi sasaran pelayanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan
tidak layak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini guru pembimbing
berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu
sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin.
2. Asas kesukarelaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki
adanya kesukaan dan kerelaan konseli (konseli) mengikuti/menjalani
pelayanan/kegiatan yang diperlu-kan baginya. Dalam hal ini guru pembimbing
berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan tersebut.
3. Asas keterbukaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar
konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan bersifat terbuka dan
tidak berpura-pura, baik di dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri
maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna
bagi pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban
mengembangkan keterbukaan konseli (konseli). Keterbukaan ini amat terkait
pada terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri

17
konseli yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan. Agar konseli dapat terbuka,
guru pembimbing terlebih dahulu harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura.
4. Asas kegiatan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar
konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan berpartisipasi secara aktif di
dalam penyelenggaraan pelayanan/kegiatan bimbingan. Dalam hal ini guru
pembimbing perlu mendorong konseli untuk aktif dalam setiap
pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling yang diperuntukan baginya.
5. Asas kemandirian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menunjuk pada
tujuan umum bimbingan dan konseling, yakni: konseli (konseli) sebagai sasaran
pelayanan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi konseli-konseli yang
mandiri dengan ciri-ciri mengenal dan menerima diri sendiri dan lingkungannya,
mampu mengambil keputusan, mengarahkan serta mewujudkan diri sendiri.
Guru pembimbing hendaknya mampu mengarahkan segenap pelayanan
bimbingan dan konseling yang diselenggarakannya bagi berkembangnya
kemandirian konseli.
6. Asas Kekinian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar
objek sasaran pelayanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan konseli
(konseli) dalam kondisinya sekarang. Pelayanan yang berkenaan dengan “masa
depan atau kondisi masa lampau pun” dilihat dampak dan/atau kaitannya
dengan kondisi yang ada dan apa yang diperbuat sekarang.
7. Asas Kedinamisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki
agar isi pelayanan terhadap sasaran pelayanan (konseli) yang sama
kehendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta
berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu
ke waktu.
8. Asas Keterpaduan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki
agar berbagai pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang
dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang,
harmonis, dan terpadu. Untuk ini kerja sama antara guru pembimbing dan pihak-
pihak yang berperan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan
konseling perlu terus dikembangkan. Koordinasi segenap pelayanan/kegiatan
bimbingan dan konseling itu harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
9. Asas Keharmonisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki
agar segenap pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada
dan tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan
norma agama, hukum dan peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan
kebiasaan yang berlaku. Bukanlah pelayanan atau kegiatan bimbingan dan
konseling yang dapat dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya
tidak berdasarkan nilai dan norma yang dimaksudkan itu. Lebih jauh, pelayanan
dan kegiatan bimbingan dan konseling justru harus dapat meningkatkan
kemampuan konseli (konseli) memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai
dan norma tersebut.
10. Asas Keahlian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar
pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar
kaidah-kaidah profesional. Dalam hal ini, para pelaksana pelayanan dan kegiatan
bimbingan dan konseling hendaklah tenaga yang benar-benar ahli dalam bidang
bimbingan dan konseling. Keprofesionalan guru pembimbing harus terwujud baik
dalam penyelenggaraan jenis-jenis pelayanan dan kegiatan dan konseling
maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.
11. Asas Alih Tangan Kasus, yaitu asas bimbingan dan konseling yang
menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan pelayanan
bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan
konseli (konseli) mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih
ahli. Guru pembimbing dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-
guru lain, atau ahli lain ; dan demikian pula guru pembimbing dapat
mengalihtangankan kasus kepada guru mata pelajaran/praktik dan lain-lain.

DAFTAR RUJUKAN

AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor.


http://aace.ncat.edu

18
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional
Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor
Indonesia. Bandung: ABKIN
Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK:
Cambridge University Press.
BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan
Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta:
BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.
Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New
Jersey, Merrill Prentice Hall
Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan
Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan
Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor
Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA:
AACD.
Browers, Judy L. & Hatch, Patricia A. (2002). The National Model for School Counseling
Programs. ASCA (American School Counselor Association).
Comm, J.Nancy. (1992). Adolescence. California : Myfield Publishing Company.
Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.
Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan,
Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,
Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The
Educational Resources Information Center.

Gibson R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. New York :
MacMillan Publishing Company.

Havighurts, R.J. (1953). Development Taks and Education. New York: David Mckay.

Herr Edwin L. (1979). Guidance and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.

Hurlock, Alizabeth B. (1956). Child Development. New York : McGraw Hill Book
Company Inc.

Ketetapan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor


01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan
pelayanan professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal
berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.

Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 23 tentang Standar
Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Michigan School Counselor Association. (2005). The Michigan Comprehensive
Guidance and Counseling Program.

19
Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary
and Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan
Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas
Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan
Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan
Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI,
LIPI.
Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah.
Bandung : CV Bani Qureys.
——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda
Karya.
——–.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT.
Remaja Rosda Karya.
Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen
Wagner William G. (1996). “Optimal Development in Adolescence : What Is It and How
Can It be Encouraged”? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.
Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.

*)) Materi di atas merupakan salah satu bagian dari makalah yang disajikan oleh Dr. Uman Suherman,
M.Pd. pada acara seminar sehari Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan oleh Universitas
Kuningan bekerja sama dengan ABKIN Cabang Kabupaten Kuningan pada tanggal 11 Maret 2008
bertempat di Aula Student Center UNIKU.

Bidang Bimbingan dan Konseling


Diterbitkan Juli 8, 2008

• Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang membantu


peserta didik dalam memahami, menilai, dan mengembangkan potensi dan
kecakapan, bakat dan minat, serta kondisi sesuai dengan karakteristik kepribadian
dan kebutuhan dirinya secara realistik.
• Pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta
didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan
sosial yang sehat dan efektif dengan teman sebaya, anggota keluarga, dan warga
lingkungan sosial yang lebih luas.
• Pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu
peserta didik mengembangkan kemampuan belajar dalam rangka mengikuti
pendidikan sekolah/madrasah dan belajar secara mandiri.
• Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam
memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karir.

20
Jenis Layanan Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Juli 8, 2008

Dalam rangka pencapaian tujuan Bimbingan dan Konseling di sekolah, terdapat


beberapa jenis layanan yang diberikan kepada siswa, diantaranya:

Layanan Orientasi; layanan yang memungkinan peserta didik memahami


lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah dan obyek-obyek yang dipelajari,
untuk mempermudah dan memperlancar berperannya peserta didik di
lingkungan yang baru itu, sekurang-kurangnya diberikan dua kali dalam satu
tahun yaitu pada setiap awal semester. Tujuan layanan orientasi adalah agar
peserta didik dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru
secara tepat dan memadai, yang berfungsi untuk pencegahan dan pemahaman.

Layanan Informasi; layanan yang memungkinan peserta didik menerima dan


memahami berbagai informasi (seperti : informasi belajar, pergaulan, karier,
pendidikan lanjutan). Tujuan layanan informasi adalah membantu peserta
didik agar dapat mengambil keputusan secara tepat tentang sesuatu, dalam
bidang pribadi, sosial, belajar maupun karier berdasarkan informasi yang
diperolehnya yang memadai. Layanan informasi pun berfungsi untuk
pencegahan dan pemahaman.

• Layanan Konten; layanan yang memungkinan peserta didik


mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik dalam
penguasaan kompetensi yang cocok dengan kecepatan dan kemampuan
dirinya serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan belajar lainnya, dengan
tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan sikap dan kebiasaan
belajar yang baik. Layanan pembelajaran berfungsi untuk pengembangan.
• Layanan Penempatan dan Penyaluran; layanan yang memungkinan
peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran di dalam kelas,
kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang,
kegiatan ko/ekstra kurikuler, dengan tujuan agar peserta didik dapat
mengembangkan segenap bakat, minat dan segenap potensi lainnya.
Layanan Penempatan dan Penyaluran berfungsi untuk pengembangan.
• Layanan Konseling Perorangan; layanan yang memungkinan peserta
didik mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan)
untuk mengentaskan permasalahan yang dihadapinya dan perkembangan
dirinya. Tujuan layanan konseling perorangan adalah agar peserta didik
dapat mengentaskan masalah yang dihadapinya. Layanan Konseling
Perorangan berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.
• Layanan Bimbingan Kelompok; layanan yang memungkinan sejumlah
peserta didik secara bersama-sama melalui dinamika kelompok
memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk
menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta
untuk pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika
kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh bahan
dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk menunjang
pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk

21
pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika
kelompok. Layanan Bimbingan Kelompok berfungsi untuk pemahaman
dan Pengembangan
• Layanan Konseling Kelompok; layanan yang memungkinan peserta didik
(masing-masing anggota kelompok) memperoleh kesempatan untuk
pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika
kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh
kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi
melalui dinamika kelompok. Layanan Konseling Kelompok berfungsi untuk
pengentasan dan advokasi.
• Konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak
lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu
dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik.
• Mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan
permasalahan dan memperbaiki hubungan antarmereka.

Untuk menunjang kelancaran pemberian layanan-layanan seperti yang telah


dikemukakan di atas, perlu dilaksanakan berbagai kegiatan pendukung,
mencakup :

• Aplikasi Instrumentasi Data; merupakan kegiatan untuk mengumpulkan


data dan keterangan tentang peserta didik, tentang lingkungan peserta
didik dan lingkungan lainnya, yang dapat dilakukan dengan menggunakan
berbagai instrumen, baik tes maupun non tes, dengan tujuan untuk
memahami peserta didik dengan segala karakteristiknya dan memahami
karakteristik lingkungan.
• Himpunan Data; merupakan kegiatan untuk menghimpun seluruh data
dan keterangan yang relevan dengan keperluan pengembangan peserta
didik. Himpunan data diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematik,
komprehensif, terpadu dan sifatnya tertutup.
• Konferensi Kasus; merupakan kegiatan untuk membahas permasalahan
peserta didik dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh pihak-pihak yang
dapat memberikan keterangan, kemudahan dan komitmen bagi
terentaskannya permasalahan klien. Pertemuan konferensi kasus bersifat
terbatas dan tertutup. Tujuan konferensi kasus adalah untuk memperoleh
keterangan dan membangun komitmen dari pihak yang terkait dan
memiliki pengaruh kuat terhadap klien dalam rangka pengentasan
permasalahan klien.
• Kunjungan Rumah; merupakan kegiatan untuk memperoleh data,
keterangan, kemudahan, dan komitmen bagi terentaskannya
permasalahan peserta didik melalui kunjungan rumah klien. Kerja sama
dengan orang tua sangat diperlukan, dengan tujuan untuk memperoleh
keterangan dan membangun komitmen dari pihak orang tua/keluarga
untuk mengentaskan permasalahan klien.
• Alih Tangan Kasus; merupakan kegiatan untuk untuk memperoleh
penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dialami
klien dengan memindahkan penanganan kasus ke pihak lain yang lebih
kompeten, seperti kepada guru mata pelajaran atau konselor, dokter serta
ahli lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh
penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang
dihadapinya melalui pihak yang lebih kompeten.

22
Konsep Bimbingan Karier
Diterbitkan Februari 7, 2008

oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.

Konsep bimbingan jabatan lahir bersamaan dengan konsep bimbingan di Amerika Serikat
pada awal abad keduapuluh, yang dilatari oleh berbagai kondisi obyektif pada waktu itu
(1850-1900), diantaranya : (1) keadaan ekonomi; (2) keadaan sosial, seperti urbanisasi;
(3) kondisi ideologis, seperti adanya kegelisahan untuk membentuk kembali dan
menyebarkan pemikiran tentang kemampuan seseorang dalam rangka meningkatkan
kemampuan diri dan statusnya; dan (4) perkembangan ilmu (scientific), khususnya dalam
bidang ilmu psiko-fisik dan psikologi eksperimantal yang dipelopori oleh Freechner,
Helmotz dan Wundt, psikometrik yang dikembangkan oleh Cattel, Binnet dan yang
lainnya Atas desakan kondisi tersebut, maka muncullah gerakan bimbingan jabatan
(vocational guidance) yang tersebar ke seluruh negara (Crites, 1981 dalam Bahrul Falah,
1987).

Isitilah vocational guidance pertama kali dipopulerkan oleh Frank Pearson pada tahun
1908 ketika ia berhasil membentuk suatu lembaga yang bertujuan untuk membantu anak-
anak muda dalam memperoleh pekerjaan.

Pada awalnya penggunaan istilah vocational guidance lebih merujuk pada usaha
membantu individu dalam memilih dan mempersiapkan suatu pekerjaan, termasuk
didalamnya berupaya mempersiapkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki
suatu pekerjaan. Namun sejak tahun 1951, para ahli mengadakan perubahan pendekatan
dari model okupasional (occupational) ke model karier (career). Kedua model ini
memliki perbedaan yang cukup mendasar, terutama dalam landasan individu untuk
memilih jabatan. Pada model okupasional lebih menekankan pada kesesuaian antara
bakat dengan tuntutan dan persyaratan pekerjaan. Sedangkan pada model karier, tidak
hanya sekedar memberikan penekanan tentang pilihan pekerjaan, namun mencoba pula
menghubungkannya dengan konsep perkembangan dan tujuan-tujuan yang lebih jauh
sehingga nilai-nilai pribadi, konsep diri, rencana-rencana pribadi dan semacamnya mulai
turut dipertimbangkan.

Bimbingan karier tidak hanya sekedar memberikan respon kepada masalah-masalah yang
muncul, akan tetapi juga membantu memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan
yang diperlukan dalam pekerjaan.

23
Penggunaan istilah karier didalamnya terkandung makna pekerjaan dan sebatan sekaligus
rangkaian kegiatan dalam mencapai tujuan hidup seseorang. Hattari (1983) menyebutkan
bahwa istilah bimbingan karier mengandung konsep yang lebih luas. Bimbingan jabatan
menekankan pada keputusan yang menentukan pekerjaan tertentu sedangkan bimbingan
karier menitikberatkan pada perencanaan kehidupan seseorang dengan
mempertimbangkan keadaan dirinya dengan lingkungannya agar ia memperoleh
pandangan yang lebih luas tentang pengaruh dari segala peranan positif yang layak
dilaksanakannya dalam masyarakat.

Perubahan isitilah dari bimbingan jabatan (vocational guidance) ke bimbingan karier


mengandung konsekuensi terhadap peran dan tugas konselor dalam memberikan layanan
bimbingan terhadap para siswanya. Peran dan tugas konselor tidak hanya sekedar
membimbing siswa dalam menentukan pilihan-pilihan kariernya, tetapi dituntut pula
untuk membimbing siswa agar dapat memahami diri dan lingkungannya dalam rangka
perencanaan karier dan penetapan karier pada kehidupan masa mendatang.

Dalam perkembangannya, sejalan dengan kemajuan dalam bidang teknologi informasi


dewasa ini, bimbingan karier merupakan salah satu bidang bimbingan yang telah berhasil
mempelopori pemanfaatan teknologi informasi, dalam bentuk cyber counseling.

Sementara itu, dalam perspektif pendidikan nasional, pentingnya bimbingan karier sudah
mulai dirasakan bersamaan dengan lahirnya gerakan bimbingan dan konseling di
Indonesia pada pertengahan tahun 1950-an, berawal dari kebutuhan penjurusan siswa di
SMA pada waktu itu. Selanjutnya, pada tahun 1984 bersamaan dengan diberlakukannya
Kurikulum 1984, bimbingan karier cukup terasa mendominasi dalam layanan bimbingan
dan penyuluhan dan pada tahun 1994, bersamaan dengan perubahan nama bimbingan
penyuluhan menjadi bimbingan dan konseling dalam Kurikulum 1994, bimbingan karier
ditempatkan sebagai salah bidang bimbingan.

Sampai dengan sekarang ini bimbingan karier tetap masih merupakan salah satu bidang
bimbingan. Dalam konsteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, dengan diintegrasikannya
Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education) dalam kurikulum sekolah, maka
peranan bimbingan karier sungguh menjadi amat penting, khususnya dalam upaya
membantu siswa dalam memperoleh kecakapan vokasional (vocational skill), yang
merupakan salah jenis kecakapan dalam Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill
Education).

Terkait dengan penjabaran kompetensi dan materi layanan bimbingan dan konseling di
SMTA, bidang bimbingan karier diarahkan untuk :

24
1. Pemantapan pemahaman diri berkenaan dengan kecenderungan karier yang
hendak dikembangkan.
2. Pemantapan orientasi dan informasi karier pada umumnya dan karier yang hendak
dikembangkan pada khususnya.
3. Orientasi dan informasi terhadap dunia kerja dan usaha memperoleh penghasilan
untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidup berkeluarga, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
4. Pengenalan berbagai lapangan kerja yang dapat dimasuki tamatan SMTA.
5. Orientasi dan informasi terhadap pendidikan tambahan dan pendidikan yang lebih
tinggi, khususnya sesuai dengan karier yang hendak dikembangkan.
6. Khusus untuk Sekolah Menengah Kejuruan; pelatihan diri untuk keterampilan
kejuruan khusus pada lembaga kerja (instansi, perusahaan, industri) sesuai dengan
program kurikulum sekolah menengah kejuruan yang bersangkutan. (Muslihudin,
dkk, 2004)

Sumber :

Bahrul Falah. 1987. Konstribusi Orientasi Nilai Pekerjaan dan Informasi Karier
terhadap Kematangan Karier (Skripsi). Bandung : PPB-FIP IKIP Bandung.

Hattari. 1983. Ke Arah Pengertian Bimbingan Karier dengan Pendekatan


Developmental. Jakarta : BP3K.

Muslihudin, dkk. 2004. Bimbingan dan Konseling (Makalah). Bandung : LPMP Jawa
Barat.

Informasi Karier
Diterbitkan Februari 4, 2008

Oleh : AKHMAD SUDRAJAT, M.Pd.

Layanan informasi marupakan salah satu jenis layanan dalam bimbingan konseling di
sekolah yang amat penting guna membantu siswa agar dapat terhindar dari berbagai
masalah yang dapat mengganggu terhadap pencapaian perkembangan siswa, baik yang
berhubungan dengan diri pribadi, sosial, belajar ataupun kariernya., Melalui layanan
informasi diharapkan para siswa dapat menerima dan memahami berbagai informasi,
yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan
untuk kepentingan siswa itu sendiri.

Seorang siswa dalam kehidupannya akan dihadapkan dengan sejumlah alternatif, baik
yang berhubungan kehidupan pribadi, sosial, belajar maupun kariernya. Namun,
adakalanya siswa mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan dalam menentukan
alternatif mana yang seyogyanya dipilih. Salah satunya adalah kesulitan dalam
pengambilan keputusan yang berkenaan dengan rencana-rencana karier yang akan
dipilihnya kelak. Mereka dihadapkan dengan sejumlah pilihan dan permasalahan tentang
rencana kariernya. Diantaranya, mereka mempertanyakan, dari sejumlah jenis pekerjaan
yang ada, pekerjaan apa yang paling cocok untuk saya kelak setelah menamatkan
pendidikan ?

25
Kesulitan-kesulitan untuk mengambil keputusan karier akan dapat dihindari manakala
siswa memiliki sejumlah informasi yang memadai tentang hal-hal yang berhubungan
dengan dunia kariernya. Untuk itulah, mereka seyogyanya dapat dibimbing guna
memperoleh pemahaman yang memadai tentang berbagai kondisi dan karakteristik
dirinya, baik tentang bakat, minat, cita-cita, berbagai kekuatan serta kelemahan yang ada
dalam dirinya. Dalam hal ini, tentunya tidak cukup hanya sekedar memahami diri.
Namun juga harus disertai dengan pemahaman akan kondisi yang ada dilingkungannya,
seperti kondisi sosio-kultural, pasar kerja, persyaratan, jenis dan prospek pekerjaan, serta
hal-hal lainnya yang bertautan dengan dunia kerja. Sehingga pada gilirannya siswa dapat
mengambil keputusan yang terbaik tentang kepastian rencana karier yang akan
ditempuhnya kelak.

Dalam memberikan layanan informasi karier setidaknya terdapat dua hal yang harus
diperhatikan yaitu tentang : (1) materi informasi dan (2) teknik layanan informasi.

Materi Informasi.

Dalam era informasi dewasa ini sesungguhnya kemudahan untuk memperoleh informasi
sangat terbuka, baik melalui media cetak atau eleltronik. Terutama setelah adanya
kemajuan yang menakjubkan dalam bidang teknologi komputer multi media, maka
dengan mudah dan dalam waktu relatif singkat kita dapat mengakses ribuan bahkan
jutaan jenis informasi melalui internet. Namun, karena begitu banyak dan beragamnya
jenis informasi yang dapat diakses, sehingga tidak mustahil dapat menimbulkan
kekacauan informasi. Untuk itulah, dalam upaya pemberian layanan informasi
seyogyanya dibutuhkan sikap arif dan selektif dari konselor dalam memilih berbagai
materi informasi, yang sekiranya benar-benar dapat memberikan manfaat besar bagi
siswa.

Materi informasi yang diberikan kepada siswa hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan
dan permasalahan siswa, sehingga benar-benar dapat dirasakan lebih bermanfaat dan
memiliki makna (meaningful). Pemilihan dan penetuan jenis materi informasi yang tidak
didasarkan kepada kebutuhan dan masalah siswa akan cenderung tidak memiliki daya
tarik, sehingga siswa akan menjadi kurang partisipatif dan kooperatif dalam mengikuti
kegiatan layanan. Materi informasi yang lengkap dan akurat akan sangat membantu siswa
untuk lebih tepat dalam mempertimbangkan dan memutuskan pilihan kariernya.

Beberapa jenis materi informasi tentang karier yang mungkin dibutuhkan siswa,
diantaranya:

• Tugas perkembangan masa remaja tentang kemampuan dan perkembangan karier.


• Perkembangan dan prospek karier di masyarakat.
• Kursus-kursus dalam rangka pengembangan karier.
• Langkah-langkah dalam memasuki pekerjaan, jenis pekerjaan, ciri-ciri pekerjaan.
• Syarat-syarat pekerjaan yang dapat dimasuki setelah tamat SMA.
• Kemungkinan permasalahan dalam pilihan pekerjaan, karier, dan tuntutan
pendidikan yang lebih tinggi, dan sebagainya.

Di samping itu, materi informasi yang bersifat personal, seperti bakat, ciri-ciri
kepribadian atau minat pekerjaan perlu dikuasai oleh siswa.

Hanya perlu dipertimbangkan jika memang sekolah sudah dapat menyelenggarakan


pemeriksaan psikologis/tes psikologis, maka penyampaian materi hasil-hasil pemeriksaan
psikologis harus benar-benar dilaksanakan secara cermat dan di bawah pengawasan
konselor. Karena, biasanya data hasil pemeriksaan psikologis dideskripsikan dalam
bahasa/terminologis tertentu, yang tentunya tidak semua siswa dapat memaknainya
sendiri. Data-data personal ini memang perlu dipahami dan dimaknai oleh siswa, karena
dengan adanya pemahaman tentang diri sendiri, seperti kecerdasan, bakat, ciri-ciri

26
kepribadian, atau minat pekerjaannya, siswa akan dapat lebih akurat lagi dalam
mengambil keputusan kariernya, sesuai dengan karakterisitik diri yang dimikinya.

Teknik Layanan Informasi

Disamping konselor dituntut untuk banyak memahami berbagai informasi yang akan
dibutuhkansiswa, juga seyogyanya dapat menguasai berbagai teknik penyampaiannya
secara variatif dan menyenangkan. Tanpa didukung kekayaan informasi dan keterampilan
penyampaian, layanan informasi dikhawatirkan menjadi tidak memiliki daya tarik di
hadapan siswa.

Penyampaian informasi bisa dilakukan oleh konselor itu sendiri melalui teknik
ekspositorik. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan cara meminta bantuan dari pihak
lain sebagai nara sumber, misalkan dengan mengundang “tokoh karier”. Upaya
pemanfatan nara sumber memiliki keunggulan tersendiri, yakni informasi yang diberikan
cenderung bersifat nyata, berdasarkan hasil pengalamannya.

Selain itu, dapat dilakukan pula melalui media “papan bimbingan”, yakni dengan
menyediakan papan informasi untuk menempelkan berbagai bentuk tulisan yang
mengandung nilai informasi. Untuk itu, konselor dituntut secara kreatif untuk dapat
mengoleksi berbagai tulisan, keterangan, artikel, atau klipping yang berhubungan dengan
karier.

Jika mengacu pada teori kontruktivisme yang saat ini sedang dikembangkan. Penggunaan
teknik layanan informasi seyogyanya lebih mengedepankan aktivitas dan partisipasi
siswa dalam menentukan kebutuhan, menggali dan mengolah serta menarik kesimpulan
dari informasi yang diperolehnya. Misalkan, untuk memahami tentang kondisi nyata
kehidupan di suatu perusahaan, dapat dilakukan dengan cara siswa diajak langsung untuk
berkunjung dan melakukan pengamatan ke perusahaan tertentu. Dari hasil kunjungan,
siswa akan memperoleh berbagai informasi yang dibutuhkan, dalam rangka menambah
wawasan, yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan keputusan kariernya,
sekaligus dapat membangun dan mengembangkan sikap-sikap positif dan konstruktif
terhadap pekerjaan. Dalam hal ini, tentu saja dibutuhkan sosiabilitas yang tinggi dari
konselor untuk dapat menjalin hubungan secara luas dan menjalin kemitraan dengan
berbagai pihak untuk memfasilitasi siswa dalam proses penggalian informasi.

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa sumber informasi saat ini dapat dengan
mudah diakses melalui teknologi komputer multi media, maka dalam hal ini tidak
salahnya konselor untuk belajar menguasai teknologi internet untuk menjelajah situs-situs
yang menyediakan informasi yang berkenaan dengan dunia pekerjaan/karier.

Dengan mengenal situs-situs yang berkenaan dengan dunia pekerjaan/karier, maka di


samping konselor dapat memperoleh berbagai tambahan informasi untuk dirinya, juga
dapat menunjukkannya kepada siswa, agar siswa dapat belajar secara langsung
menjelajah dan menggali berbagai informasi karier yang tersedia dalam internet.

Sumber bacaan :

Prayitno dan Erman Anti, (1995), Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta :
P2LPTK

Depdikbud (1995), Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum


(SMU) Buku IV;

Seri Pemandu Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah,Jakarta : IPBI

27
Tim Instruktur Bimbingan dan Konseling Kanwil Propinsi Jawa Barat , (1997), Materi
Sajian Penataran Guru Pembimbing SMU Propinsi Jawa Barat Tahun 1997, Dekdikbud
Kanwil Propinsi Jawa Barat : Bandung

Winkel, W.S. (1991), Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta :


Gramedia

15 Kekeliruan Pemahaman tentang Bimbingan dan Konseling di Sekolah


Diterbitkan April 11, 2008

Perjalanan bimbingan dan konseling menuju sebuah profesi yang handal hingga saat ini
tampaknya masih harus dilalui secara tertatih-tatih. Dalam hal ini, Prayitno (2003) telah
mengidentifikasi 15 kekeliruan pemahaman orang dalam melihat bimbingan dan
konseling, baik dalam tataran konsep maupun praktiknya yang tentunya sangat
mengganggu terhadap pencitraan dan laju pengembangan profesi ini. Kekeliruan
pemahaman ini tidak hanya terjadi di kalangan orang-orang yang berada di luar
Bimbingan dan Konseling, tetapi juga banyak ditemukan di kalangan orang-orang yang
terlibat langsung dengan bimbingan dan konseling. Kelimabelas kekeliruan pemahaman
itu adalah :

1. Bimbingan dan Konseling disamakan atau dipisahkan sama sekali dari


pendidikan.

Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa bimbingan dan konseling adalah identik
dengan pendidikan sehingga sekolah tidak perlu lagi bersusah payah menyelenggarakan
pelayanan bimbingan dan konseling, karena dianggap sudah implisit dalam pendidikan
itu sendiri. Cukup mantapkan saja pengajaran sebagai pelaksanaan nyata dari pendidikan.
Mereka sama sekali tidak melihat arti penting bimbingan dan konseling di sekolah.
Sementara ada juga yang berpendapat pelayanan bimbingan dan konseling harus benar-
benar terpisah dari pendidikan dan pelayanan bimbingan dan konseling harus secara
nyata dibedakan dari praktik pendidikan sehari-hari.

Walaupun guru dalam melaksanakan pembelajaran siswa dituntut untuk dapat melakukan
kegiatan-kegiatan interpersonal dengan para siswanya, namun kenyataan menunjukkan
bahwa masih banyak hal yang menyangkut kepentingan siswa yang tidak bisa dan tidak
mungkin dapat dilayani sepenuhnya oleh guru di sekolah melalui pelayanan pengajaran
semata, seperti dalam hal pelayanan dasar (kurikulum bimbingan dan konseling),
perencanaan individual, pelayanan responsif, dan beberapa kegiatan khas Bimbingan dan
Konseling lainnya.

Begitu pula, Bimbingan dan Konseling bukanlah pelayanan eksklusif yang harus terpisah
dari pendidikan. Pelayanan bimbingan dan konseling pada dasarnya memiliki derajat dan
tujuan yang sama dengan pelayanan pendidikan lainnya (baca: pelayanan pengajaran
dan/atau manajemen), yaitu mengantarkan para siswa untuk memperoleh perkembangan
diri yang optimal. Perbedaan terletak dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, dimana
masing-masing memiliki karakteristik tugas dan fungsi yang khas dan berbeda (1).

2. Menyamakan pekerjaan Bimbingan dan Konseling dengan pekerjaan dokter dan


psikiater.

Dalam hal-hal tertentu memang terdapat persamaan antara pekerjaan bimbingan dan
konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater, yaitu sama-sama menginginkan

28
konseli/pasien terbebas dari penderitaan yang dialaminya, melalui berbagai teknik yang
telah teruji sesuai dengan masing-masing bidang pelayanannya, baik dalam mengungkap
masalah konseli/pasien, mendiagnosis, melakukan prognosis atau pun penyembuhannya.

Kendati demikian, pekerjaan bimbingan dan konseling tidaklah persis sama dengan
pekerjaan dokter atau psikiater. Dokter dan psikiater bekerja dengan orang sakit
sedangkan konselor bekerja dengan orang yang normal (sehat) namun sedang mengalami
masalah.Cara penyembuhan yang dilakukan dokter atau psikiater bersifat reseptual dan
pemberian obat, serta teknis medis lainnya, sementara bimbingan dan konseling
memberikan cara-cara pemecahan masalah secara konseptual melalui pengubahan
orientasi pribadi, penguatan mental/psikis, modifikasi perilaku, pengubahan lingkungan,
upaya-upaya perbaikan dengan teknik-teknik khas bimbingan dan konseling.

3. Bimbingan dan Konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah yang


bersifat insidental.

Memang tidak dipungkiri pekerjaan bimbingan dan konseling salah satunya bertitik tolak
dari masalah yang dirasakan siswa, khususnya dalam rangka pelayanan responsif, tetapi
hal ini bukan berarti bimbingan dan konseling dikerjakan secara spontan dan hanya
bersifat reaktif atas masalah-masalah yang muncul pada saat itu.

Pekerjaan bimbingan dan konseling dilakukan berdasarkan program yang sistematis dan
terencana, yang di dalamnya mengggambarkan sejumlah pekerjaan bimbingan dan
konseling yang bersifat proaktif dan antisipatif, baik untuk kepentingan pencegahan,
pengembangan maupun penyembuhan (pengentasan)

4. Bimbingan dan Konseling dibatasi hanya untuk siswa tertentu saja.

Bimbingan dan Konseling tidak hanya diperuntukkan bagi siswa yang bermasalah atau
siswa yang memiliki kelebihan tertentu saja, namun bimbingan dan konseling harus dapat
melayani seluruh siswa (Guidance and Counseling for All). Setiap siswa berhak dan
mendapat kesempatan pelayanan yang sama, melalui berbagai bentuk pelayanan
bimbingan dan konseling yang tersedia.

5. Bimbingan dan Konseling melayani “orang sakit” dan/atau “kurang/tidak


normal”.

Sasaran Bimbingan dan Konseling adalah hanya orang-orang normal yang mengalami
masalah. Melalui bantuan psikologis yang diberikan konselor diharapkan orang tersebut
dapat terbebaskan dari masalah yang menghinggapinya. Jika seseorang mengalami
keabnormalan yang akut tentunya menjadi wewenang psikiater atau dokter untuk
penyembuhannya. Masalahnya, tidak sedikit petugas bimbingan dan konseling yang
tergesa-gesa dan kurang hati-hati dalam mengambil kesimpulan untuk menyatakan
seseorang tidak normal. Pelayanan bantuan pun langsung dihentikan dan dialihtangankan
(referal).

6. Pelayanan Bimbingan dan Konseling berpusat pada keluhan pertama (gejala)


saja.

Pada umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dari gejala yang ditemukan
atau keluhan awal disampaikan konseli. Namun seringkali justru konselor mengejar dan
mendalami gejala yang ada bukan inti masalah dari gejala yang muncul. Misalkan,
menemukan siswa dengan gejala sering tidak masuk kelas, pelayanan dan pembicaraan
bimbingan dan konseling malah berkutat pada persoalan tidak masuk kelas, bukan
menggali sesuatu yang lebih dalam dibalik tidak masuk kelasnya.

7. Bimbingan dan Konseling menangani masalah yang ringan.

29
Ukuran berat-ringannya suatu masalah memang menjadi relatif, seringkali masalah
seseorang dianggap sepele, namun setelah diselami lebih dalam ternyata masalah itu
sangat kompleks dan berat. Begitu pula sebaliknya, suatu masalah dianggap berat namun
setelah dipelajari lebih jauh ternyata hanya masalah ringan saja. Terlepas berat-ringannya
yang paling penting bagi konselor adalah berusaha untuk mengatasinya secara cermat dan
tuntas. Jika segenap kemampuan konselor sudah dikerahkan namun belum juga
menunjukan perbaikan maka konselor seyogyanya mengalihtangankan masalah (referal)
kepada pihak yang lebih kompeten

8. Petugas Bimbingan dan Konseling di sekolah diperankan sebagai “polisi


sekolah”.

Masih banyak anggapan bahwa bimbingan dan konseling adalah “polisi sekolah” yang
harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin dan keamanan di sekolah.Tidak
jarang konselor diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian, bahkan diberi
wewenang bagi siswa yang bersalah.

Dengan kekuatan inti bimbingan dan konseling pada pendekatan interpersonal, konselor
justru harus bertindak dan berperan sebagai sahabat kepercayaan siswa, tempat
mencurahkan kepentingan apa-apa yang dirasakan dan dipikirkan siswa. Konselor adalah
kawan pengiring, penunjuk jalan, pemberi informasi, pembangun kekuatan, dan pembina
perilaku-perilaku positif yang dikehendaki sehingga siapa pun yang berhubungan dengan
bimbingan konseling akan memperoleh suasana sejuk dan memberi harapan.

9. Bimbingan dan Konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian


nasihat.

Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian nasihat.
Pemberian nasihat hanyalah merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan
konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien
dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal.

10. Bimbingan dan konseling bekerja sendiri atau harus bekerja sama dengan ahli
atau petugas lain

Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah proses yang terisolasi, melainkan proses
yang sarat dengan unsur-unsur budaya,sosial,dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan
bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu bekerja sama
dengan orang-orang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang
sedang dihadapi oleh klien. Di sekolah misalnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh
siswa tidak berdiri sendiri.Masalah itu sering kali saling terkait dengan orang
tua,siswa,guru,dan piha-pihak lain; terkait pula dengan berbagai unsur lingkungan rumah,
sekolah dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu penanggulangannya tidak dapat
dilakukan sendiri oleh guru pembimbing saja .Dalam hal ini peranan guru mata pelajaran,
orang tua, dan pihak-pihak lain sering kali sangat menentukan. Guru pembimbing harus
pandai menjalin hubungan kerja sama yang saling mengerti dan saling menunjang demi
terbantunya siswa yang mengalami masalah itu. Di samping itu guru pembimbing harus
pula memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dan dapat diadakan untuk
kepentingan pemecahan masalah siswa. Guru mata pelajaran merupakan mitra bagi guru
pembimbing, khususnya dalam menangani masalah-masalah belajar.

Namun demikian, konselor atau guru pembimbing tidak boleh terlalu mengharapkan
bantuan ahli atau petugas lain. Sebagai tenaga profesional konselor atau guru
pembimbing harus mampu bekerja sendiri, tanpa tergantung pada ahli atau petugas lain.
Dalam menangani masalah siswa guru pembimbing harus harus berani melaksanakan
pelayanan, seperti “praktik pribadi”, artinya pelayanan itu dilaksanakan sendiri tanpa
menunggu bantuan orang lain atau tanpa campur tangan ahli lain. Pekerjaan yang

30
profesional justru salah satu cirinya pekerjaan mandiri yang tidak melibatkan campur
tangan orang lain atau ahli.

11. Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain harus pasif

Sesuai dengan asas kegiatan, di samping konselor yang bertindak sebagai pusat
penggerak bimbingan dan konseling, pihak lain pun, terutama klien,harus secara langsung
aktif terlibat dalam proses tersebut.Lebih jauh, pihak-pihak lain hendaknya tidak
membiarkan konselor bergerak dan berjalan sendiri. Di sekolah, guru pembimbing
memang harus aktif, bersikap “jemput bola”, tidak hanya menunggu didatangi siswa yang
meminta layanan kepadanya.Sementara itu, personil sekolah yang lain hendaknya
membantu kelancaran usaha pelayanan itu.

Pada dasarnya pelayanan bimbingan dan konseling adalah usaha bersama yang beban
kegiatannya tidak semata-mata ditimpakan hanya kepada konselor saja. Jika kegiatan
yang pada dasarnya bersifat usaha bersama itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja,
dalam hal ini konselor, maka hasilnya akan kurang mantap, tersendat-sendat, atau bahkan
tidak berjalan sama sekali.

12. Menganggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa
saja

Benarkah pekerjaan bimbingan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja? Jawabannya
bisa saja “benar” dan bisa pula “tidak”. Jawaban ”benar”, jika bimbingan dan konseling
dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan secara amatiran belaka.
Sedangkan jawaban ”tidak”, jika bimbingan dan konseling itu dilaksanakan berdasarkan
prinsip-prinsip keilmuan dan teknologi (yaitu mengikuti filosopi, tujuan, metode, dan
asas-asas tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara profesional. Salah satu ciri
keprofesionalan bimbingan dan konseling adalah bahwa pelayanan itu harus dilakukan
oleh orang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keahliannya itu
diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang cukup lama di Perguruan Tinggi.

13. Menyama-ratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien

Cara apapun yang akan dipakai untuk mengatasi masalah haruslah disesuaikan dengan
pribadi klien dan berbagai hal yang terkait dengannya.Tidak ada suatu cara pun yang
ampuh untuk semua klien dan semua masalah. Bahkan sering kali terjadi, untuk masalah
yang sama pun cara yang dipakai perlu dibedakan. Masalah yang tampaknya “sama”
setelah dikaji secara mendalam mungkin ternyata hakekatnya berbeda, sehingga
diperlukan cara yang berbeda untuk mengatasinya. Pada dasarnya.pemakaian sesuatu cara
bergantung pada pribadi klien, jenis dan sifat masalah, tujuan yang ingin dicapai,
kemampuan petugas bimbingan dan konseling, dan sarana yang tersedia.

14. Memusatkan usaha Bimbingan dan Konseling hanya pada penggunaan


instrumentasi

Perlengkapan dan sarana utama yang pasti dan dan dapat dikembangkan pada diri
konselor adalah “mulut” dan keterampilan pribadi. Dengan kata lain, ada dan
digunakannya instrumen (tes.inventori,angket dan dan sebagainya itu) hanyalah sekedar
pembantu. Ketidaan alat-alat itu tidak boleh mengganggu, menghambat, atau bahkan
melumpuhkan sama sekali usaha pelayanan bimbingan dan konseling.Oleh sebab itu,
konselor hendaklah tidak menjadikan ketiadaan instrumen seperti itu sebagai alasan atau
dalih untuk mengurangi, apa lagi tidak melaksanakan layanan bimbingan dan konseling
sama sekali.Tugas bimbingan dan konseling yang baik akan selalu menggunakan apa
yang dimiliki secara optimal sambil terus berusaha mengembangkan sarana-sarana
penunjang yang diperlukan

31
15. Menganggap hasil pekerjaan Bimbingan dan Konseling harus segera terlihat.

Disadari bahwa semua orang menghendaki agar masalah yang dihadapi klien dapat
diatasi sesegera mungkin dan hasilnya pun dapat segera dilihat. Namun harapan itu sering
kali tidak terkabul, lebih-lebih kalau yang dimaksud dengan “cepat” itu adalah dalam
hitungan detik atau jam. Hasil bimbingan dan konseling tidaklah seperti makan sambal,
begitu masuk ke mulut akan terasa pedasnya. Hasil bimbingan dan konseling mungkin
saja baru dirasakan beberapa hari kemudian, atau bahkan beberapa tahun kemuadian..
Misalkan, siswa yang mengkonsultasikan tentang cita-citanya untuk menjadi seorang
dokter, mungkin manfaat dari hasil konsultasi akan dirasakannya justru pada saat setelah
dia menjadi seorang dokter.

Adaptasi dan disarikan dari : Prayitno.2003. Wawasan dan Landasan BK (Buku II).
Depdiknas : Jakarta

Bimbingan dan Konseling di Sekolah


Diterbitkan April 20, 2008

Beberapa bulan yang lalu saya pernah menulis tentang layanan Bimbingan dan Konseling
di sekolah, yang merujuk pada Pola 17+ sebagai panduan penyelenggaraan Bimbingan
dan Konseling di sekolah.
Setelah saya mengikuti pelatihan Bimbingan dan Konseling di Bandung yang
diselenggarakan oleh ABKIN, dan saya memperoleh informasi tentang rencana
perubahan kebijakan baru layanan Bimbingan dan Konseling yang disebut-sebut sebagai
layanan Bimbingan dan Konseling Komprehensif, akhirnya saya memutuskan untuk
men-delete postingan saya tersebut, dengan harapan akan segera muncul kebijakan baru
tersebut.
Tunggu punya tunggu ternyata kebijakan baru itu tidak segera muncul juga. Dari pada
menunggu kebijakan yang tidak pasti akhirnya saya posting ulang tulisan tentang
Bimbingan dan Konseling di sekolah beserta contoh pengadmintrasiannya.
Silahkan klik saja tautan di bawah ini:

1. Bimbingan dan Konseling di Sekolah


2. Pengadministrasian Bimbingan dan Konseling di Sekolah

32
Rekonseptualisasi Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Januari 21, 2008

Selama empat hari (11-14 Desember 2007) penulis mengikuti pelatihan ‘Keterampilan
Manajemen Bimbingan dan Konseling“, bertempat di Cikole Lembang Bandung, yang
diselenggarakan oleh Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (PB-
ABKIN) bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan
Tenaga Kependidikan Depdiknas.Selama mengikuti pelatihan, penulis menerima berbagai
materi dan penjelasan dari para nara sumber seputar penyelenggaraan Bimbingan dan
Konseling di sekolah yang tampaknya akan menjadi cikal bakal untuk lahirnya kebijakan
penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah.

Dalam tulisan sebelumnya di situs ini, penulis pernah menyampaikan keprihatinan atas
ketidakpastian dalam penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling selama ini, seperti :
ketidakjelasan dalam sertifikasi guru bimbingan dan konseling, standar kompetensi
konselor, Standar Kompetensi Lulusan atau sekarang dikenal dengan istilah Standar
Kompetensi Kemandirian (SKK), dan hal-hal lainnya tentang praktik Bimbingan dan
Konseling.(lihat 1, 2 3)

Beberapa pertanyaan yang berkecamuk dalam benak penulis dan mungkin juga para guru
Bimbingan dan Konseling di lapangan tentang bagaimana seharusnya Bimbingan dan
Konseling di sekolah, melalui kegiatan pelatihan ini sebagian besar terjawab sudah.
Hanya mungkin ada beberapa persoalan teknis yang belum bisa terjawab dan perlu ada
tindaklanjut tertentu.

Ketika membuka kegiatan pelatihan, Prof. Dr. Sunaryo, M.Pd. selaku ketua PB- ABKIN,
dalam sambutannya mengatakan bahwa dalam satu tahun terakhir ini, ABKIN telah
bekerja secara intensif untuk mencari formulasi terbaik tentang bagaimana seharusnya
penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah, yang dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan belum terakomodir dengan baik.

Hasil kerja keras ABKIN dalam satu tahun terakhir ini telah menghasilkan draft Naskah
Akademik berupa “Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam
Jalur Pendidikan Formal“, yang sekarang sedang dikaji oleh pihak yang kompeten
untuk dijadikan sebagai kebijakan resmi penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di
sekolah.

Hal yang cukup mengagetkan penulis, bahwa ke depannya Bimbingan dan Konseling di
Indonesia tidak lagi bersandar pada Konsep Pola 17 yang selama ini digunakan dalam
praktik bimbingan dan konseling di sekolah, tetapi justru akan lebih mengembangkan
model bimbingan dan konseling yang komprehensif dan berorientasi pada perkembangan,
yang didalamnya terdiri dari empat komponen utama program bimbingan dan konseling,
yaitu :

1. Layanan Dasar; yakni layanan bantuan kepada peserta didik melalui kegiatan-
kegiatan kelas atau di luar kelas, yang disajikan secara sistematis, dalam rangka
membantu peserta didik untuk dapat mengembangkan potensi dirinya secara
optimal. Tujuan layanan ini adalah untuk membantu peserta didik agar
memperoleh perkembangan yang normal, memiliki mental yang sehat,
memperoleh keterampilan hidup, yang dapat dilakukan melalui strategi layanan
klasikal dan strategi layanan kelompok.

33
2. Layanan Responsif; yaitu layanan bantuan bagi peserta yang memiliki kebutuhan
atau masalah yang memerlukan bantuan dengan segera”. Tujuan layanan ini
adalah membantu peserta didik agar dapat mengatasi masalah yang dialaminya
yang dapat dilakukan melalui strategi layanan konsultasi, konseling individual,
konseling kelompok, referal dan bimbingan teman sebaya.
3. Layanan Perencanaan Individual; yaitu bantuan kepada peserta didik agar
mampu membuat dan melaksanakan perencanaan masa depannya, berdasarkan
pemahaman akan kekuatan dan kelemahannya. Tujuan layanan ini adalah agar
peserta didik dapat memiliki kemampuan untuk merumuskan tujuan,
merencanakan, atau mengelola pengembangan dirinya, baik menyangkut aspek
pribadi, sosial, belajar, maupun karier, dapat melakukan kegiatan atau aktivitas
berdasarkan tujuan atau perencanaan yang telah ditetapkan, dan mengevaluasi
kegiatan yang dilakukannya, yang dapat dilakukan melalui strategi penilaian
individual, penasihatan individual atau kelompok.
4. Layanan dukungan sistem; yaitu kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan
memantapkan, memelihara, dan meningkatkan program bimbingan dan konseling
di sekolah secara menyeluruh melalui pengembangan profesional; hubungan
masyarakat dan staf; konsultasi dengan guru lain, staf ahli, dan masyarakat yang
lebih luas; manajemen program; dan penelitian dan pengembangan.

Jika kita perhatikan komponen-komponen program di atas, tampaknya ada upaya dari
ABKIN untuk mengelaborasi konsep bimbingan dan konseling sebelumnya, baik dalam
Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, mau pun Kurikulum 1994. Selain itu, keempat
komponen program bimbingan dan konseling di atas tampaknya menggunakan rujukan
model penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang saat ini sedang dikembangkan di
Amerika Serikat. Perbedaannya, untuk komponen layanan dasar di Amerika cenderung
menggunakan istilah guidance curriculum.

Untuk lebih jelasnya, dalam tautan-tautan di bawah ini disajikan sebagian materi yang
disampaikan oleh para nara sumber dalam bentuk tayangan slide dan pdf file :

Sertifikasi Guru Bimbingan dan Konseling (dari: Dr. Uman Suherman, M.Pd.)

Program Bimbingan dan Konseling (dari: Dr. Uman Suherman, M.Pd.)

Supervisi Bimbingan dan Konseling (dari: Drs. Agus Taufiq, M.Pd.)

Draft Standar Kompetensi Konselor (dari: ABKIN)

Rubrik Penilaian Portofolio Sertifikasi Guru Bimbingan dan Konseling

Arah dan Perspektif Baru Bimbingan dan Konseling (dari: Prof. Dr. Syamsu Yusuf
L.N., M.Pd. dan Dr. A. Juntika Nurihsan)

Rubrik Sertifikasi Guru BK


Diterbitkan Februari 6, 2008

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, guru Bimbingan dan Konseling (Konselor)
memiliki karakteristik yang berbeda dengan guru pengampu mata pelajaran. Guru
Bimbingan dan Konseling lebih mengedepankan dan menitikberatkan pada pendekatan
interpersonal serta sarat dengan nilai, sedangkan guru mata pelajaran lebih

34
mengutamakan pada pendekatan instruksional dan terikat dengan bahan ajar dari mata
pelajaran yang diampunya. Kendati demikian, keduanya tetap memiliki tujuan yang sama
yaitu terwujudnya perkembangan pribadi peserta didik secara optimal.Terkait dengan
penilaian portopolio dalam rangka sertifikasi, yang membedakan antara guru pengampu
mata pelajaran dengan guru bimbingan dan konseling terletak pada komponen
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan.

Bukti fisik penilaian dalam merencanakan kegiatan bimbingan dan konseling, berbentuk :

1. Mengumpulkan 5 buah Program Pelayanan Bimbingan dan Konseling (PPBK)


yang berbeda, dengan aspek-aspek penilaian meliputi : (a) perumusan tujuan
pelayanan; (b) pemilihan dan pengorganisasian materi pelayanan; (c) pemilihan
instrumen/media; (d) strategi pelayanan; dan(e) rencana evaluasi dan tindak
lanjut.
2. Mengumpulkan Program Semesteran dan Program Tahunan, dengan aspek-aspek
penilaian meliputi : (a) program semesteran Bimbingan dan konseling dan (b)
program tahunan Bimbingan dan konseling

Sedangkan bukti fisik penilaian dalam pelaksanaan pelayanan berbentuk Laporan


Pelaksanaan Program Pelayanan Bimbingan dan Konseling (PPBK) , dengan aspek-
aspek penilaian meliputi :
1. Agenda kerja guru bimbingan dan konseling (konselor)
2. Daftar konseli
3. Data kebutuhan dan permasalahan konseli
4. Laporan bulanan
5. Laporan semesteran/tahunan
6. Aktivitas pelayanan Bimbingan dan Konseling :

• Pemahaman : (antara lain : sosiometri, kunjungan rumah, catatan anekdot,


konferensi kasus)
• Pelayanan langsung : (antara lain : konseling individual, konseling kelompok,
konsultasi, bimbingan kelompok, bimbingan klasikal, referal)
• Pelayanan tidak langsung : (antara lain : papan bimbingan, kotak masalah,
bibliokonseling, audio visual, audio, media cetak : liflet, buku saku)

7. Laporan hasil evaluasi program, proses, produk bimbingan dan konseling serta tindak
lanjutnya.

Implikasi dari adanya ketentuan penilaian di atas, maka guru bimbingan dan konseling
(konselor) mutlak harus mampu merencanakan kegiatan pelayanan secara tertulis , yang
didalamnya mengandung aspek-aspek yang menjadi bahan penilaian serta dapat
mendokumentasikan secara baik dan tertib. Dalam hal ini, perencanaan layanan dengan
gaya goal in mind tampaknya menjadi tidak relevan lagi.

Begitu juga dalam pelaksanaan layanan, guru bimbingan dan konseling dituntut untuk
melakukan kegiatan pencatatan atas segala aktivitas yang dilakukannya dan
melaporkannya kepada pihak yang kompeten, khususnya kepada kepala sekolah selaku
atasan langsung.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang aspek-aspek yang dinilai dari guru Bimbingan dan
Konseling (konselor) dalam rangka sertifikasi, Anda bisa meng-klik dalam tautan di
bawah ini.

Rubrik Penilaian Portofolio Guru Bimbingan dan Konseling (Konselor)

35
B. PROSEDUR, PROSES DAN TEKNIK
BIMBINGAN DAN KONSELING

Prosedur Umum Layanan Bimbingan dan Konseling


Diterbitkan Mei 31, 2008

Sebagai sebuah layanan profesional, layanan bimbingan dan konseling tidak


dapat dilakukan secara sembarangan, namun harus dilakukan secara tertib
berdasarkan prosedur tertentu, yang secara umum terdiri dari enam tahapan
sebagai, yaitu: (A) Identifikasi kasus; (B) Identifikasi masalah; (C) Diagnosis; (D)
Prognosis; (E) Treatment; (F) Evaluasi dan Tindak Lanjut

A. Identifikasi kasus
Identifikasi kasus merupakan langkah awal untuk menemukan peserta didik
yang diduga memerlukan layanan bimbingan dan konseling. Robinson (Abin
Syamsuddin Makmun, 2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat
dilakukan untuk mendeteksi peserta didik yang diduga mebutuhkan layanan
bimbingan dan konseling, yakni :

1. Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua


peserta didik secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat
ditemukan peserta didik yang benar-benar membutuhkan layanan
konseling.
2. Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh
keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru pembimbing
dengan peserta didik. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara
yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja,
misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi
informal lainnya.
3. Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang
menimbulkan ke arah penyadaran peserta didik akan masalah yang
dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan peserta didik
yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes
bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta
diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
4. Melakukan analisis terhadap hasil belajar peserta didik, dengan cara ini
bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang
dihadapi peserta didik.
5. Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan peserta
didik yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial.

B. Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan
atau masalah yang dihadapi peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar
Mengajar, permasalahan peserta didik dapat berkenaan dengan aspek : (1)
substansial – material; (2) struktural – fungsional; (3) behavioral; dan atau (4)
personality.

36
Untuk mengidentifikasi kasus dan masalah peserta didik, Prayitno dkk. telah
mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah peserta didik,
dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat
membantu untuk menemukan kasus dan mendeteksi lokasi kesulitan yang
dihadapi peserta didik, seputar aspek : (1) jasmani dan kesehatan; (2) diri
pribadi; (3) hubungan sosial; (4) ekonomi dan keuangan; (5) karier dan
pekerjaan; (6) pendidikan dan pelajaran; (7) agama, nilai dan moral; (
hubungan muda-mudi; (9) keadaan dan hubungan keluarga; dan (10) waktu
senggang.
C. Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau
yang melatarbelakangi timbulnya masalah peserta didik. Dalam konteks
Proses Belajar Mengajar faktor-faktor penyebab kegagalan belajar peserta
didik, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H.
Burton membagi ke dalam dua faktor yang mungkin dapat menimbulkan
kesulitan atau kegagalan belajar peserta didik, yaitu : (1) faktor internal; faktor
yang besumber dari dalam diri peserta didik itu sendiri, seperti : kondisi
jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta
kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (2) faktor eksternal, seperti : lingkungan
rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan
sosial dan sejenisnya.
D. Prognosis
Langkah ini dilakukan untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami
peserta didik masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai
alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan
menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil
keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi
kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang
dihadapi siswa untuk diminta bekerja sama guna membantu menangani kasus
- kasus yang dihadapi.
E. Treatment
Langkah ini merupakan upaya untuk melaksanakan perbaikan atau
penyembuhan atas masalah yang dihadapi klien, berdasarkan pada
keputusan yang diambil dalam langkah prognosis. Jika jenis dan sifat serta
sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan
masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru pembimbing
atau konselor, maka pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru
atau guru pembimbing itu sendiri (intervensi langsung), melalui berbagai
pendekatan layanan yang tersedia, baik yang bersifat direktif, non direktif
maupun eklektik yang mengkombinasikan kedua pendekatan tersebut.
Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang
lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru
pembimbing/konselor sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang
lebih kompeten (referal atau alih tangan kasus).
F. Evaluasi dan Follow Up
Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah
seyogyanya tetap dilakukan untuk melihat seberapa pengaruh tindakan
bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang
dihadapi peserta didik.
Berkenaan dengan evaluasi bimbingan dan konseling, Depdiknas (2003) telah
memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan dan konseling
yaitu:

37
1. Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh peserta didik berkaitan
dengan masalah yang dibahas;
2. Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan
melalui layanan, dan
3. Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh peserta didik sesudah
pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut
pengentasan masalah yang dialaminya.

Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2004)


mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan
yang telah diberikan, yang terbagi ke dalam kriteria yaitu kriteria keberhasilan
yang tampak segera dan kriteria jangka panjang.
Kriteria keberhasilan tampak segera, diantaranya apabila:

1. Peserta didik (klien) telah menyadari (to be aware of) atas adanya
masalah yang dihadapi.
2. Peserta didik (klien) telah memahami (self insight) permasalahan yang
dihadapi.
3. Peserta didik (klien) telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima
kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
4. Peserta didik (klien) telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress
release).
5. Peserta didik (klien) telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
6. Peserta didik (klien) telah melai menunjukkan sikap keterbukaannya serta
mau memahami dan menerima kenyataan lingkungannya secara obyektif.
7. Peserta didik (klien) mulai menunjukkan kemampuannya dalam
mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan
secara sehat dan rasional.
8. Peserta didik (klien) telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –
usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai
dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya.
9. Sedangkan kriteria keberhasilan jangka panjang, diantaranya apabila:
10. Peserta didik (klien) telah menunjukkan kepuasan dan kebahagiaan
dalam kehidupannya yang dihasilkan oleh tindakan dan usaha-usahanya.
11. Peserta didik (klien) telah mampu menghindari secara preventif
kemungkinan-kemungkinan faktor yang dapat membawanya ke dalam
kesulitan.
12. Peserta didik (klien) telah menunjukkan sifat-sifat yang kreatif dan
konstruktif, produktif, dan kontributif secara akomodatif sehingga ia
diterima dan mampu menjadi anggota kelompok yang efektif.

Sumber:

Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya


Remaja.

Depdiknas, 2004. Dasar Standarisasi Profesi Konseling. Jakarta : Bagian Proyek


Peningkatan Tenaga Akdemik Dirjen Dikti

Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdiknas.

38
Proses Layanan Konseling Individual
Diterbitkan Januari 26, 2008

Oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.

Dari beberapa jenis layanan Bimbingan dan Konseling yang diberikan kepada peserta
didik, tampaknya untuk layanan konseling perorangan perlu mendapat perhatian lebih.
Karena layanan yang satu ini boleh dikatakan merupakan ciri khas dari layanan
bimbingan dan konseling, yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan khusus

Dalam prakteknya, memang strategi layanan bimbingan dan konseling harus terlebih
dahulu mengedepankan layanan – layanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan,
namun tetap saja layanan yang bersifat pengentasan pun masih diperlukan. Oleh karena
itu, guru maupun konselor seyogyanya dapat menguasai proses dan berbagai teknik
konseling, sehingga bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka
pengentasan masalahnya dapat berjalan secara efektif dan efisien.

Secara umum, proses konseling terdiri dari tiga tahapan yaitu: (1) tahap awal (tahap
mendefinisikan masalah); (2) tahap inti (tahap kerja); dan (3) tahap akhir (tahap
perubahan dan tindakan).

A. Tahap Awal

Tahap ini terjadi dimulai sejak klien menemui konselor hingga berjalan sampai konselor
dan klien menemukan masalah klien. Pada tahap ini beberapa hal yang perlu dilakukan,
diantaranya :

• Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien (rapport). Kunci


keberhasilan membangun hubungan terletak pada terpenuhinya asas-asas
bimbingan dan konseling, terutama asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan;
dan kegiatan.
• Memperjelas dan mendefinisikan masalah. Jika hubungan konseling sudah terjalin
dengan baik dan klien telah melibatkan diri, maka konselor harus dapat membantu
memperjelas masalah klien.
• Membuat penaksiran dan perjajagan. Konselor berusaha menjajagi atau menaksir
kemungkinan masalah dan merancang bantuan yang mungkin dilakukan, yaitu
dengan membangkitkan semua potensi klien, dan menentukan berbagai alternatif
yang sesuai bagi antisipasi masalah.
• Menegosiasikan kontrak. Membangun perjanjian antara konselor dengan klien,
berisi : (1) Kontrak waktu, yaitu berapa lama waktu pertemuan yang diinginkan
oleh klien dan konselor tidak berkebaratan; (2) Kontrak tugas, yaitu berbagi tugas
antara konselor dan klien; dan (3) Kontrak kerjasama dalam proses konseling,
yaitu terbinanya peran dan tanggung jawab bersama antara konselor dan
konseling dalam seluruh rangkaian kegiatan konseling.

B. Inti (Tahap Kerja)

Setelah tahap Awal dilaksanakan dengan baik, proses konseling selanjutnya adalah
memasuki tahap inti atau tahap kerja.
Pada tahap ini terdapat beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya :

• Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah klien lebih dalam. Penjelajahan masalah


dimaksudkan agar klien mempunyai perspektif dan alternatif baru terhadap
masalah yang sedang dialaminya.

39
• Konselor melakukan reassessment (penilaian kembali), bersama-sama klien
meninjau kembali permasalahan yang dihadapi klien.
• Menjaga agar hubungan konseling tetap terpelihara.

Hal ini bisa terjadi jika :

• Klien merasa senang terlibat dalam pembicaraan atau waancara konseling, serta
menampakkan kebutuhan untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalah
yang dihadapinya.
• Konselor berupaya kreatif mengembangkan teknik-teknik konseling yang
bervariasi dan dapat menunjukkan pribadi yang jujur, ikhlas dan benar – benar
peduli terhadap klien.
• Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak. Kesepakatan yang telah dibangun
pada saat kontrak tetap dijaga, baik oleh pihak konselor maupun klien.

C. Akhir (Tahap Tindakan)

Pada tahap akhir ini terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :

• Konselor bersama klien membuat kesimpulan mengenai hasil proses konseling.


• Menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan kesepakatan yang
telah terbangun dari proses konseling sebelumnya.
• Mengevaluasi jalannya proses dan hasil konseling (penilaian segera).
• Membuat perjanjian untuk pertemuan berikutnya

Pada tahap akhir ditandai beberapa hal, yaitu ; (1) menurunnya kecemasan klien; (2)
perubahan perilaku klien ke arah yang lebih positif, sehat dan dinamis; (3) pemahaman
baru dari klien tentang masalah yang dihadapinya; dan (4) adanya rencana hidup masa
yang akan datang dengan program yang jelas.

Pendekatan dan Teknik Konseling


Diterbitkan Januari 12, 2008

Pekerjaan konseling pada dasarnya merupakan pekerjaan profesional dan dalam


melaksanakan tugas - tugas profesionalnya, seorang konselor perlu memiliki pemahaman
dan keterampilan yang memadai dalam menggunakan berbagai pendekatan dan teknik
dalam konseling.Tanpa didukung oleh penguasaan penguasaan teknik-teknik konseling
yang memadai, niscaya bantuan yang diberikan kepada siswa (klien) tidak akan berjalan
efektif. Dalam bentuk tayangan slide, Dr. DYP Sugiharto, M.Pd mengupas tentang
berbagai pendekatan dan teknik konseling, diantaranya : pendekatan dan teknik konseling
behaviorisme, gestalt, psikoanaliss, rational emotive therapy (RET), dan trait and
factor.Anda ingin memahami lebih jauh tentang materi ini dengan cara meng-klik tautan
di bawah ini dan tentunya komentar Anda sangat dinantikan.

Pendekatan dan Teknik Konseling Klik Disini !

40
Pendekatan Konseling Behavioral
Diterbitkan Januari 23, 2008

A. Konsep Dasar

Manusia adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari
luar.

Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan


interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian.

Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan macamnya penguatan yang diterima
dalam situasi hidupnya.

Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan melalui hukum-
hukum belajar : (a) pembiasaan klasik; (b) pembiasaan operan; (c) peniruan.

Tingkah laku tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidak puasan yang
diperolehnya.

Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar,
sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi
pembentukan tingkah laku.

Karakteristik konseling behavioral adalah : (a) berfokus pada tingkah laku yang tampak
dan spesifik, (b) memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling, (c)
mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien, dan (d)
penilaian yang obyektif terhadap tujuan konseling.

B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah

1. Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif


atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan
tuntutan lingkungan.
2. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentu dari cara belajar atau lingkungan
yang salah.
3. Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku
negatif dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena
kesalapahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat.
4. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku
tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar

C. Tujuan Konseling

Mengahapus/menghilangkan tingkah laku maldaptif (masalah) untukdigantikan dengan


tingkah laku baru yaitu tingkah laku adaptif yang diinginkan klien.

Tujuan yang sifatnya umum harus dijabarkan ke dalam perilaku yang spesifik : (a)
diinginkan oleh klien; (b) konselor mampu dan bersedia membantu mencapai tujuan
tersebut; (c) klien dapat mencapai tujuan tersebut; (d) dirumuskan secara spesifik

Konselor dan klien bersama-sama (bekerja sama) menetapkan/merumuskan tujuan-tujuan


khusus konseling.

41
D. Deskripsi Proses Konseling

Proses konseling adalah proses belajar, konselor membantu terjadinya proses belajar
tersebut.

Konselor aktif :

1. Merumuskan masalah yang dialami klien dan menetapkan apakah konselor dapat
membantu pemecahannya atu tidak
2. Konselor memegang sebagian besar tanggung jawab atas kegiatan konseling,
khususnya tentang teknik-teknik yang digunakan dalam konseling
3. Konselor mengontrol proses konseling dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya.

Deskripsi langkah-langkah konseling :

1. Assesment, langkah awal yang bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika


perkembangan klien (untuk mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya,
kekuatan dan kelemahannya, pola hubungan interpersonal, tingkah laku
penyesuaian, dan area masalahnya) Konselor mendorong klien untuk
mengemukakan keadaan yang benar-benar dialaminya pada waktu itu. Assesment
diperlukan untuk mengidentifikasi motode atau teknik mana yang akan dipilih
sesuai dengan tingkah laku yang ingin diubah.
2. Goal setting, yaitu langkah untuk merumuskan tujuan konseling. Berdasarkan
informasi yang diperoleh dari langkah assessment konselor dan klien menyusun
dan merumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam konseling. Perumusan tujuan
konseling dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : (a) Konselor dan klien
mendifinisikan masalah yang dihadapi klien; (b) Klien mengkhususkan perubahan
positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling; (c) Konselor dan klien
mendiskusikan tujuan yang telah ditetapkan klien : (a) apakah merupakan tujuan
yang benar-benar dimiliki dan diinginkan klien; (b) apakah tujuan itu realistik; (c)
kemungkinan manfaatnya; dan (d)k emungkinan kerugiannya; (e) Konselor dan
klien membuat keputusan apakahmelanjutkan konseling dengan menetapkan
teknik yang akan dilaksanakan, mempertimbangkan kembali tujuan yang akan
dicapai, atau melakukan referal.
3. Technique implementation, yaitu menentukan dan melaksanakan teknik
konseling yang digunakan untuk mencapai tingkah laku yang diinginkan yang
menjadi tujuan konseling.
4. Evaluation termination, yaitu melakukan kegiatan penilaian apakah kegiatan
konseling yang telah dilaksanakan mengarah dan mencapai hasil sesuai dengan
tujuan konseling.
5. Feedback, yaitu memberikan dan menganalisis umpan balik untuk memperbaiki
dan meingkatkan proses konseling.

Teknik konseling behavioral didasarkan pada penghapusan respon yang telah


dipelajari (yang membentuk tingkah laku bermasalah) terhadap perangsang, dengan
demikian respon-respon yang baru (sebagai tujuan konseling) akan dapat dibentuk.

Prinsip Kerja Teknik Konseling Behavioral

• Memodifikasi tingkah laku melalui pemberian penguatan. Agar klien terdorong


untuk merubah tingkah lakunya penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya
yang cukup kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan
melalui tingkah laku klien.
• Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diinginkan.

42
• Memberikan penguatan terhadap suatu respon yang akan mengakibatkan
terhambatnya kemunculan tingkah laku yang tidak diinginkan.
• Mengkondisikan pengubahan tingkah laku melalui pemberian contoh atau model
(film, tape recorder, atau contoh nyata langsung).
• Merencanakan prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah laku yang
diinginkan dengan sistem kontrak. Penguatannya dapat berbentuk ganjaran yang
berbentuk materi maupun keuntungan sosial.

Teknik-teknik Konseling Behavioral

Latihan Asertif

Teknik ini dugunakan untuk melatih klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan
diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini terutama berguna di
antaranya untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan
tersinggung, kesulitan menyatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon posistif
lainnya. Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran dengan bimbingan
konselor. Diskusi-diskusi kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini.

Desensitisasi Sistematis

Desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokukskan


bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara
mengajarkan klien untuk rileks. Esensi teknik ini adalah menghilangkan tingkah laku
yang diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah
laku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak
dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakikatnya
merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat
secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang
berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan.

Pengkondisian Aversi

Teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini
dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus
yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut.

Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan
dengan munculnya tingkah laku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian
ini diharapkan terbentuk asosiasi antara tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan
stimulus yang tidak menyenangkan.

Pembentukan Tingkah laku Model

Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada klien, dan
memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan
kepada klien tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model audio, model fisik,
model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak
dicontoh. Tingkah laku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor.
Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.

Sumber : Dr. DYP Sugiharto, M.Pd. Pendekatan-Pendekatan Konseling. (Makalah)

43
Pendekatan Konseling Gestalt
Diterbitkan Januari 23, 2008

A. Konsep Dasar

Pendekatan konseling ini berpandangan bahwa manusia dalam kehidupannya selalu aktif
sebagai suatu keseluruhan. Setiap individu bukan semata-mata merupakan penjumlahan
dari bagian-bagian organ-organ seperti hati, jantung, otak, dan sebagainya, melainkan
merupakan suatu koordinasi semua bagian tersebut.

Manusia aktif terdorong kearah keseluruhan dan integrasi pemikiran, pera-saan, dan
tingkah lakunya

Setiap individu memiliki kemampuan untuk menerima tanggung jawab pribadi, memiliki
dorongan untuk mengembangkan kesadaran yang akan mengarahkan menuju
terbentuknya integritas atau keutuhan pribadi. Jadi hakikat manusia menurut pendekatan
konseling ini adalah : (1) tidak dapat dipahami, kecuali dalam keseluruhan konteksnya,
(2) merupakan bagian dari lingkungannya dan hanya dapat dipahami dalam kaitannya
dengan lingkungannya itu, (3) aktor bukan reaktor, (4) berpotensi untuk menyadari
sepenuhnya sensasi, emosi, persepsi, dan pemikirannya, (5) dapat memilih secara sadar
dan bertanggung jawab, (6) mampu mengatur dan mengarahkan hidupnya secara efektif.

Dalam hubungannya dengan perjalanan kehidupan manusia, pendekatan ini memandang


bahwa tidak ada yang “ada” kecuali “sekarang”. Masa lalu telah pergi dan masa depan
belum dijalani, oleh karena itu yang menentukan kehidupan manusia adalah masa
sekarang.

Dalam pendekatan ini, kecemasan dipandang sebagai “kesenjangan antara saat sekarang
dan kemudian”. Jika individu menyimpang dari saat sekarang dan menjadi terlalu terpaku
pada masa depan, maka mereka mengalami kecemasan.

Dalam pendekatan gestalt terdapat konsep tentang urusan yang tak selesai (unfinished
business), yakni mencakup perasaan-perasaan yang tidak terungkapkan seperti dendam,
kemarahan, kebencian, sakit hati, kecemasan, kedudukan, rasa berdosa, rasa diabaikan.
Meskipun tidak bisa diungkapkan, perasaan-perasaan itu diasosiasikan dengan ingatan-
ingatan dan fantasi-fantasi tertentu. Karena tidak terungkapkan di dalam kesadaran,
perasaan-perasaan itu tetap tinggal pada latar belakang dan di bawa pada kehidupan
sekarang dengan cara-cara yang menghambat hubungan yang efektif dengan dirinya
sendiri dan orang lain. Urusan yang tak selesai itu akan bertahan sampai ia menghadapi
dan menangani perasaan-perasaan yang tak terungkapkan itu.

B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah

Individu bermasalah kaena terjadi pertentangan antara kekuatan “top dog” dan
keberadaan “under dog”. Top dog adalah kekuatan yang mengharuskan, menuntut,
mengancam. Under dog adalah keadaan defensif, membela diri, tidak berdaya, lemah,
pasif, ingin dimaklumi.

Perkembangan yang terganggu adalah tidak terjadi keseimbangan antara apa-apa yang
harus (self-image) dan apa-apa yang diinginkan (self).

Terjadi pertentangan antara keberadaan sosial dan biologis

Ketidakmampuan individu mengintegrasikan pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya

44
Mengalami gap/kesenjangan sekarang dan yang akan datang

Melarikan diri dari kenyataan yang harus dihadapi

Spektrum tingkah laku bermasalah pada individu meliputi :

Kepribadian kaku (rigid)

Tidak mau bebas-bertanggung jawab, ingin tetap tergantung

Menolak berhubungan dengan lingkungan

Memeliharan unfinished bussiness

Menolak kebutuhan diri sendiri

Melihat diri sendiri dalam kontinum “hitam-putih” .

C. Tujuan Konseling

Tujuan utama konseling Gestalt adalah membantu klien agar berani mengahadapi
berbagai macam tantangan maupun kenyataan yang harus dihadapi. Tujuan ini
mengandung makna bahwa klien haruslah dapat berubah dari ketergantungan terhadap
lingkungan/orang lain menjadi percaya pada diri, dapat berbuat lebih banyak untuk
meingkatkan kebermaknaan hidupnya.

Individu yang bermasalah pada umumnya belum memanfaatkan potensinya secara penuh,
melainkan baru memanfaatkan sebagaian dari potensinya yang dimilikinya. Melalui
konseling konselor membantu klien agar potensi yang baru dimanfaatkan sebagian ini
dimanfaatkan dan dikembangkan secara optimal.

Secara lebih spesifik tujuan konseling Gestalt adalah sebagai berikut.

Membantu klien agar dapat memperoleh kesadaran pribadi, memahami kenyataan atau
realitas, serta mendapatkan insight secara penuh.

Membantu klien menuju pencapaian integritas kepribadiannya

Mengentaskan klien dari kondisinya yang tergantung pada pertimbangan orang lain ke
mengatur diri sendiri (to be true to himself)

Meningkatkan kesadaran individual agar klien dapat beringkah laku menurut prinsip-
prinsip Gestalt, semua situasi bermasalah (unfisihed bussines) yang muncul dan selalu
akan muncul dapat diatasi dengan baik.

D. Deskripsi Proses Konseling

Fokus utama konseling gestalt adalah terletak pada bagaimana keadaan klien sekarang
serta hambatan-hambatan apa yang muncul dalam kesadarannya. Oleh karena itu tugas
konselor adalah mendorong klien untuk dapat melihat kenyataan yang ada pada dirinya
serta mau mencoba menghadapinya. Dalam hal ini perlu diarahkan agar klien mau belajar
menggunakan perasaannya secara penuh. Untuk itu klien bisa diajak untuk memilih dua
alternatif, ia akan menolak kenyataan yang ada pada dirinya atau membuka diri untuk
melihat apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya sekarang.

Konselor hendaknya menghindarkan diri dari pikiran-pikiran yang abstrak, keinginan-


keinginannya untuk melakukan diagnosis, interpretasi maupun memberi nasihat.

45
Konselor sejak awal konseling sudah mengarahkan tujuan agar klien menjadi matang dan
mampu menyingkirkan hambatan-hambatn yang menyebabkan klien tidak dapat berdiri
sendiri. Dalam hal ini, fungsi konselor adalah membantu klien untuk melakukan transisi
dari ketergantungannya terhadap faktor luar menjadi percaya akan kekuatannya sendiri.
Usaha ini dilakukan dengan menemukan dan membuka ketersesatan atau kebuntuan
klien.

Pada saat klien mengalami gejala kesesatan dan klien menyatakan kekalahannya terhadap
lingkungan dengan cara mengungkapkan kelemahannya, dirinya tidak berdaya, bodoh,
atau gila, maka tugas konselor adalah membuat perasaan klien untuk bangkit dan mau
menghadapi ketersesatannya sehingga potensinya dapat berkembang lebih optimal.

Deskripsi fase-fase proses konseling :

Fase pertama, konselor mengembangkan pertemuan konseling, agar tercapai situasi yang
memungkinkan perubahan-perubahan yang diharapkan pada klien. Pola hubungan yang
diciptakan untuk setiap klien berbeda, karena masing-masing klien mempunyai keunikan
sebagai individu serta memiliki kebutuhan yang bergantung kepada masalah yang harus
dipecahkan.

Fase kedua, konselor berusaha meyakinkan dan mengkondisikan klien untuk mengikuti
prosedur yang telah ditetapkan sesuai dengan kondisi klien. Ada dua hal yang dilakukan
konselor dalam fase ini, yaitu :

Membangkitkan motivasi klien, dalam hal ini klien diberi kesempatan untuk menyadari
ketidaksenangannya atau ketidakpuasannya. Makin tinggi kesadaran klien terhadap
ketidakpuasannya semakin besar motivasi untuk mencapai perubahan dirinya, sehingga
makin tinggi pula keinginannya untuk bekerja sama dengan konselor.

Membangkitkan dan mengembangkan otonomi klien dan menekankan kepada klien


bahwa klien boleh menolak saran-saran konselor asal dapat mengemukakan alasan-
alasannya secara bertanggung jawab.

Fase ketiga, konselor mendorong klien untuk mengatakan perasaan-perasaannya pada


saat ini, klien diberi kesempatan untuk mengalami kembali segala perasaan dan perbuatan
pada masa lalu, dalam situasi di sini dan saat ini. Kadang-kadang klien diperbolahkan
memproyeksikan dirinya kepada konselor.

Melalui fase ini, konselor berusaha menemukan celah-celah kepribadian atau aspek-aspek
kepribadian yang hilang, dari sini dapat diidentifikasi apa yang harus dilakukan klien.

Fase keempat, setelah klien memperoleh pemahaman dan penyadaran tentang pikiran,
perasaan, dan tingkah lakunya, konselor mengantarkan klien memasuki fase akhir
konseling.

Pada fase ini klien menunjukkan gejala-gejala yang mengindikasikan integritas


kepribadiannya sebagai individu yang unik dan manusiawi.

Klien telah memiliki kepercayaan pada potensinya, menyadari keadaan dirinya pada saat
sekarang, sadar dan bertanggung jawab atas sifat otonominya, perasaan-perasaannya,
pikiran-pikirannya dan tingkah lakunya.

Dalam situasi ini klien secara sadar dan bertanggung jawab memutuskan untuk
“melepaskan” diri dari konselor, dan siap untuk mengembangan potensi dirinya.

Teknik Konseling

46
Hubungan personal antara konselor dengan klien merupakan inti yang perlu diciptakan
dan dikembangkan dalam proses konseling. Dalam kaitan itu, teknik-teknik yang
dilaksanakan selama proses konseling berlangsung adalah merupakan alat yang penting
untuk membantu klien memperoleh kesadaran secara penuh.

Prinsip Kerja Teknik Konseling Gestal

Penekanan Tanggung Jawab Klien, konselor menekankan bahwa konselor bersedia


membantu klien tetapi tidak akan bisa mengubah klien, konselor menekankan agar klien
mengambil tanggung jawab atas tingkah lakunya.

Orientasi Sekarang dan Di Sini, dalam proses konseling konselor tidak merekonstruksi
masa lalu atau motif-motif tidak sadar, tetapi memfokuskan keadaan sekarang. Hal ini
bukan berarti bahwa masa lalu tidak penting. Masa lalu hanya dalam kaitannya dengan
keadaan sekarang. Dalam kaitan ini pula konselor tidak pernah bertanya “mengapa”.

Orientasi Eksperiensial, konselor meningkatkan kesadaran klien tentang diri sendiri dan
masalah-masalahnya, sehingga dengan demikian klien mengintegrasikan kembali dirinya:
(a) klien mempergunakan kata ganti personal

klien mengubah kalimat pertanyaan menjadi pernyataan; (b)klien mengambil peran dan
tanggung jawab; (c) klien menyadari bahwa ada hal-hal positif dan/atau negative pada
diri atau tingkah lakunya

Teknik-teknik Konseling Gestalt

Permainan Dialog

Teknik ini dilakukan dengan cara klien dikondisikan untuk mendialogan dua
kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu kecenderungan top dog dan
kecenderungan under dog, misalnya : (a) kecenderungan orang tua lawan kecenderungan
anak; (b) kecenderungan bertanggung jawab lawan kecenderungan masa bodoh; (c)
kecenderungan “anak baik” lawan kecenderungan “anak bodoh”

kecenderungan otonom lawan kecenderungan tergantung; (d) kecenderungan kuat atau


tegar lawan kecenderungan lemah

Melalui dialog yang kontradiktif ini, menurut pandangan Gestalt pada akhirnya klien
akan mengarahkan dirinya pada suatu posisi di mana ia berani mengambil resiko.
Penerapan permainan dialog ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknik “kursi
kosong”.

Latihan Saya Bertanggung Jawab

Merupakan teknik yang dimaksudkan untuk membantu klien agar mengakui dan
menerima perasaan-perasaannya dari pada memproyeksikan perasaannya itu kepada
orang lain.

Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk membuat suatu pernyataan dan kemudian
klien menambahkan dalam pernyataan itu dengan kalimat : “…dan saya bertanggung
jawab atas hal itu”.

Misalnya :

“Saya merasa jenuh, dan saya bertanggung jawab atas kejenuhan itu”

47
“Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan sekarang, dan saya bertanggung jawab
ketidaktahuan itu”.

“Saya malas, dan saya bertanggung jawab atas kemalasan itu”.

Meskipun tampaknya mekanis, tetapi menurut Gestalt akan membantu meningkatkan


kesadaraan klien akan perasaan-perasaan yang mungkin selama ini diingkarinya.

Bermain Proyeksi

Proyeksi artinya memantulkan kepada orang lain perasaan-perasaan yang dirinya sendiri
tidak mau melihat atau menerimanya. Mengingkari perasaan-perasaan sendiri dengan
cara memantulkannya kepada orang lain.Sering terjadi, perasaan-perasaan yang
dipantulkan kepada orang lain merupakan atribut yang dimilikinya.

Dalam teknik bermain proyeksi konselor meminta kepada klien untuk mencobakan atau
melakukan hal-hal yang diproyeksikan kepada orang lain.

Teknik Pembalikan

Gejala-gejala dan tingkah laku tertentu sering kali mempresentasikan pembalikan dari
dorongan-dorongan yang mendasarinya. Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk
memainkan peran yang berkebalikan dengan perasaan-perasaan yang dikeluhkannya.

Misalnya : konselor memberi kesempatan kepada klien untuk memainkan peran


“ekshibisionis” bagi klien pemalu yang berlebihan.

Tetap dengan Perasaan

Teknik dapat digunakan untuk klien yang menunjukkan perasaan atau suasana hati yang
tidak menyenangkan atau ia sangat ingin menghindarinya. Konselor mendorong klien
untuk tetap bertahan dengan perasaan yang ingin dihindarinya itu.

Kebanyakan klien ingin melarikan diri dari stimulus yang menakutkan dan menghindari
perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini konselor tetap mendorong
klien untuk bertahan dengan ketakutan atau kesakitan perasaan yang dialaminya sekarang
dan mendorong klien untuk menyelam lebih dalam ke dalam tingklah laku dan perasaan
yang ingin dihindarinya itu.

Untuk membuka dan membuat jalan menuju perkembangan kesadaran perasaan yang
lebih baru tidak cukup hanya mengkonfrontasi dan menghadapi perasaan-perasaan yang
ingin dihindarinya tetapi membutuhkan keberanian dan pengalaman untuk bertahan
dalam kesakitan perasaan yang ingin dihindarinya itu.

Sumber : Dr. DYP Sugiharto, M.Pd. Pendekatan-Pendekatan Konseling. (Makalah)

48
Pendekatan Konseling Rasional Emotif
Diterbitkan Januari 23, 2008

A. Konsep Dasar

Manusia padasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional
dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia,
dan kompeten. Ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak
efektif.Reaksi emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi,
dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari.Hambatan psikologis atau emosional
adalah akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional. Emosi menyertai individu
yang berpikir dengan penuh prasangka, sangat personal, dan irasional.Berpikir irasional
diawali dengan belajar secara tidak logis yang diperoleh dari orang tua dan budaya
tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari verbalisasi yang
digunakan. Verbalisasi yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan
verbalisasi yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat.Perasaan dan pikiran negatif
serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang
dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.

Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-
konsep kunci teori Albert Ellis : ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu,
yaitu Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar
ini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.

Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu.
Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain.
Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan
merupakan antecendent event bagi seseorang.

Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu
peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational
belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan
yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal,
bijaksana, dan kerana itu menjadi prosuktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan
keyakinan ayau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan
keran itu tidak produktif.

Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau


reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya
dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A
tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB
maupun yang iB.

B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah

Dalam perspektif pendekatan konseling rasional emotif tingkah laku bermasalah adalah
merupakan tingkah laku yang didasarkan pada cara berpikir yang irrasional.

Ciri-ciri berpikir irasional : (a) tidak dapat dibuktikan; (b) menimbulkan perasaan tidak
enak (kecemasan, kekhawatiran, prasangka) yang sebenarnya tidak perlu; (c)
menghalangi individu untuk berkembang dalam kehidupan sehari-hari yang efektif

Sebab-sebab individu tidak mampu berpikir secara rasional : (a) individu tidak berpikir
jelas tentangg saat ini dan yang akan dating, antara kenyatan dan imajinasi; (b) individu
tergantung pada perencanaan dan pemikiran orang lain; (c) orang tua atau masyarakat

49
memiliki kecenderungan berpikir irasional yang diajarkan kepada individu melalui
berbagai media.

Indikator keyakinan irasional : (a) manusia hidup dalam masyarakat adalah untuk
diterima dan dicintai oleh orang lain dari segala sesuatu yang dikerjakan; (b) banyak
orang dalam kehidupan masyarakat yang tidak baik, merusak, jahat, dan kejam sehingga
mereka patut dicurigai, disalahkan, dan dihukum; (c) kehidupan manusia senantiasa
dihadapkan kepada berbagai malapetaka, bencana yang dahsyat, mengerikan,
menakutkan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh manusia dalam hidupnya; (d) lebih
mudah untuk menjauhi kesulitan-kesulitan hidup tertentu dari pada berusaha untuk
mengahadapi dan menanganinya; (e) penderitaan emosional dari seseorang muncul dari
tekanan eksternal dan bahwa individu hanya mempunyai kemampuan sedikit sekali untuk
menghilangkan penderitaan emosional tersebut; (f) pengalaman masa lalu memberikan
pengaruh sangat kuat terhadap kehidupan individu dan menentukan perasaan dan tingkah
laku individu pada saat sekarang; (g) untuk mencapai derajat yang tinggi dalam hidupnya
dan untuk merasakan sesuatu yang menyenangkan memerlukan kekuatan supranatural;
dan (h) nilai diri sebagai manusia dan penerimaan orang lain terhadap diri tergantung dari
kebaikan penampilan individu dan tingkat penerimaan oleh orang lain terhadap individu.

C. Tujuan Konseling

Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-
pandangan klien yang irasional dan tidak logis menjadi pandangan yang rasional dan
logis agar klien dapat mengembangkan diri, meningkatkan sel-actualizationnya seoptimal
mungkin melalui tingkah laku kognitif dan afektif yang positif.

Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti rasa


takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa was-was, rasa marah.

Tiga tingkatan insight yang perlu dicapai klien dalam konseling dengan pendekatan
rasional-emotif :

Pertama insight dicapai ketika klien memahami tentang tingkah laku penolakan diri yang
dihubungkan dengan penyebab sebelumnya yang sebagian besar sesuai dengan
keyakinannya tentang peristiwa-peristiwa yang diterima (antecedent event) pada saat
yang lalu.

Kedua, insight terjadi ketika konselor membantu klien untuk memahami bahwa apa yang
menganggu klien pada saat ini adalah karena berkeyakinan yang irasional terus dipelajari
dari yang diperoleh sebelumnya.

Ketiga, insight dicapai pada saat konselor membantu klien untuk mencapai pemahaman
ketiga, yaitu tidak ada jalan lain untuk keluar dari hembatan emosional kecuali dengan
mendeteksi dan melawan keyakinan yang irasional.

Klien yang telah memiliki keyakinan rasional tjd peningkatan dalam hal : (1) minat
kepada diri sendiri, (2) minat sosial, (3) pengarahan diri, (4) toleransi terhadap pihak lain,
(5) fleksibel, (6) menerima ketidakpastian, (7) komitmen terhadap sesuatu di luar dirinya,
( penerimaan diri, (9) berani mengambil risiko, dan (10) menerima kenyataan.

D. Deskripsi Proses Konseling

Konseling rasional emotif dilakukan dengan menggunakan prosedur yang bervariasi dan
sistematis yang secara khusus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku dalam batas-
batas tujuan yang disusun secara bersama-sama oleh konselor dan klien.

Tugas konselor menunjukkan bahwa

50
• masalahnya disebabkan oleh persepsi yang terganggu dan pikiran-pikiran yang
tidak rasional
• usaha untuk mengatasi masalah adalah harus kembali kepada sebab-sebab
permulaan.

Operasionalisasi tugas konselor : (a) lebih edukatif-direktif kepada klien, dengan cara
banyak memberikan cerita dan penjelasan, khususnya pada tahap awal
mengkonfrontasikan masalah klien secara langsung; (b) menggunakan pendekatan yang
dapat memberi semangat dan memperbaiki cara berpikir klien, kemudian memperbaiki
mereka untuk dapat mendidik dirinya sendiri dengan gigih dan berulang-ulang
menekankan bahwa ide irrasional itulah yang menyebabkan hambatan emosional pada
klien; (c) mendorong klien menggunakan kemampuan rasional dari pada emosinya; (d)
menggunakan pendekatan didaktif dan filosofis menggunakan humor dan “menekan”
sebagai jalan mengkonfrontasikan berpikir secara irasional.

Karakteristik Proses Konseling Rasional-Emotif :

1. Aktif-direktif, artinya bahwa dalam hubungan konseling konselor lebih aktif


membantu mengarahkan klien dalam menghadapi dan memecahkan masalahnya.
2. Kognitif-eksperiensial, artinya bahwa hubungan yang dibentuk berfokus pada
aspek kognitif dari klien dan berintikan pemecahan masalah yang rasional.
3. Emotif-ekspreriensial, artinta bahwa hubungan konseling yang dikembangkan
juga memfokuskan pada aspek emosi klien dengan mempelajari sumber-sumber
gangguan emosional, sekaligus membongkar akar-akar keyakinan yang keliru
yang mendasari gangguan tersebut.
4. Behavioristik, artinya bahwa hubungan konseling yang dikembangkan
hendaknya menyentuh dan mendorong terjadinya perubahan tingkah laku klien.

E. Teknik Konseling

Pendekatan konseling rasional emotif menggunakan berbagai teknik yang bersifat


kogntif, afektif, dan behavioral yang disesuaikan dengan kondisi klien. Beberapa teknik
dimaksud antara lain adalah sebagai berikut.

Teknik-Teknik Emotif (Afektif)

Assertive adaptive

Teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara
terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan tingkah laku yang diinginkan. Latihan-
latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.

Bermain peran

Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan


negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat
secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.

Imitasi

Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model tingkah laku tertentu dengan
maksud menghadapi dan menghilangkan tingkah lakunya sendiri yang negatif.

Teknik-teknik Behavioristik

Reinforcement

51
Teknik untuk mendorong klien ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan
jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun hukuman (punishment). eknik ini
dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai dan keyakinan yang irrasional pada klien
dan menggantinya dengan sistem nilai yang positif.

Dengan memberikan reward ataupun punishment, maka klien akan menginternalisasikan


sistem nilai yang diharapkan kepadanya.

Social modeling

Teknik untuk membentuk tingkah laku-tingkah laku baru pada klien. Teknik ini dilakukan
agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara imitasi
(meniru), mengobservasi, dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-
norma dalam sistem model sosial dengan masalah tertentu yang telah disiapkan oleh
konselor.

Teknik-teknik Kognitif

Home work assigments,

Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan
diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola tingkah laku yang
diharapkan.

Dengan tugas rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau
menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis,
mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek
kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang
diberikan

Pelaksanaan home work assigment yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam
suatu pertemuan tatap muka dengan konselor

Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung


jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri,
pengelolaan diri klien dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.

Latihan assertive

Teknik untuk melatih keberanian klien dalam mengekspresikan tingkah laku-tingkah laku
tertentu yang diharapkan melalui bermain peran, latihan, atau meniru model-model sosial.

Maksud utama teknik latihan asertif adalah : (a) mendorong kemampuan klien
mengekspresikan berbagai hal yang berhubungan dengan emosinya; (b) membangkitkan
kemampuan klien dalam mengungkapkan hak asasinya sendiri tanpa menolak atau
memusuhi hak asasi orang lain; (c) mendorong klien untuk meningkatkan kepercayaan
dan kemampuan diri; dan (d) meningkatkan kemampuan untuk memilih tingkah laku-
tingkah laku asertif yang cocok untuk diri sendiri.

Sumber : Dr. DYP Sugiharto, M.Pd. Pendekatan-Pendekatan Konseling. (Makalah)

52
Pendekatan Konseling Psikoanalisis
Diterbitkan Juli 8, 2008

A. Konsep Dasar

1. Hakikat manusia, Freud berpendapat bahwa manusia berdasar pada sifat-sifat:

• Anti rasionalisme
• Mendasari tindakannya dengan motivasi yang tak sadar, konflik dan simbolisme.
• Manusia secara esensial bersifat biologis, terlahir dengan dorongan-dorongan
instingtif, sehingga perilaku merupakan fungsi yang di dalam ke arah dorongan
tadi. Libido atau eros mendorong manusia ke arah pencarian kesenangan, sebagai
lawan lawan dari Thanatos
• Semua kejadian psikis ditentukan oleh kejadian psikis sebelumnya.
• Kesadaran merupakan suatu hal yang tidak biasa dan tidak merupakan proses
mental yang berciri biasa.
• Pendekatan ini didasari oleh teori Freud, bahwa kepribadian seseorang
mempunyai tiga unsur, yaitu id, ego, dan super ego

C. Tujuan Konseling

• Menolong individu mendapatkan pengertian yang terus menerus dari pada


mekanisme penyesuaian diri mereka sendiri
• Membentuk kembali struktur kepribadian klien dengan jalan mengembalikan hal-
hal yang tak disadari menjadi sadar kembali, dengan menitikberatkan pada
pemahaman dan pengenalan pengalaman-pengalaman masa anak-anak, terutama
usia 2-5 tahun, untuk ditata, disikusikan, dianalisis dan ditafsirkan sehingga
kepribadian klien bisa direkonstruksi lagi.

D. Deskripsi Proses Konseling

1. Fungsi konselor

• Konselor berfungsi sebagai penafsir dan penganalisis


• Konselor bersikap anonim, artinya konselor berusaha tak dikenal klien, dan
bertindak sedikit sekali memperlihatkan perasaan dan pengalamannya, sehingga
klien dengan mudah dapat memantulkan perasaannya untuk dijadikan sebagai
bahan analisis.

2. Langkah-langkah yang ditempuh :

• Menciptakan hubungan kerja dengan klien


• Tahap krisis bagi klien yaitu kesukaran dalam mengemukakan masalahnya dan
melakukan transferensi.
• Tilikan terhadap masa lalu klien terutama pada masa kanak-kanaknya
• Pengembangan reesitensi untuk pemahaman diri
• Pengembangan hubungan transferensi klien dengan konselor.
• Melanjutkan lagi hal-hal yang resistensi.
• Menutup wawancara konseling

E. Teknik Konseling

• Asosiasi bebas, yaitu mengupayakan klien untuk menjernihkan atau mengikis


alam pikirannya dari alam pengalaman dan pemikiran sehari-hari sekarang,

53
sehingga klien mudah mengungkapkan pengalaman masa lalunya. Klien diminta
mengutarakan apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Tujuan teknik ini adalah
agar klien mengungkapkan pengalaman masa lalu dan menghentikan emosi-emosi
yang berhubungan dengan pengalaman traumatik masa lalu. Hal ini disebut juga
katarsis.
• Analisis mimpi, klien diminta untuk mengungkapkan tentang berbagai kejadian
dalam mimpinya dan konselor berusaha untuk menganalisisnya. Teknik ini
digunakan untuk menilik masalah-masalah yang belum terpecahkan. Proses
terjadinya mimpi adalah karena pada waktu tidur pertahanan ego menjadi lemah
dan kompleks yang terdesak pun muncul ke permukaan. Menurut Freud, mimpi
ini ditafsirkan sebagai jalan raya mengekspresikan keinginan-keinginan dan
kecemasan yang tak disadari.
• Interpretasi, yaitu mengungkap apa yang terkandung di balik apa yang dikatakan
klien, baik dalam asosiasi bebas, mimpi, resistensi, dan transferensi klien.
Konselor menetapkan, menjelaskan dan bahkan mengajar klien tentang makna
perilaku yang termanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resitensi dan
transferensi.
• Analisis resistensi; resistensi berati penolakan, analisis resistensi ditujukan untuk
menyadarkan klien terhadap alasan-alasan terjadinya penolakannya (resistensi).
Konselor meminta perhatian klien untuk menafsirkan resistensi
• Analisis transferensi. Transferensi adalah mengalihkan, bisa berupa perasaan dan
harapan masa lalu. Dalam hal ini, klien diupayakan untuk menghidupkan kembali
pengalaman dan konflik masa lalu terkait dengan cinta, seksualitas, kebencian,
kecemasan yang oleh klien dibawa ke masa sekarang dan dilemparkan ke
konselor. Biasanya klien bisa membenci atau mencintai konselor. Konselor
menggunakan sifat-sifat netral, objektif, anonim, dan pasif agar bisa terungkap
tranferensi tersebut.

Konseling Humanistik
Diterbitkan Juli 14, 2008

A. Konsep Dasar:

1. Memandang manusia sebagai individu yang unik. Manusia merupakan seseorang


yang ada, sadar dan waspada akan keberadaannya sendiri. Setiap orang
menciptakan tujuannnya sendiri dengan segala kreatifitasnya, menyempurnakan
esensi dan fakta eksistensinya.
2. Manusia sebagai makhluk hidup yang dapat menentukan sendiri apa yang ia
kerjakan dan yang tidak dia kerjakan, dan bebas untuk menjadi apa yang ia
inginkan. Setiap orang bertanggung jawab atas segala tindakannya.
3. Manusia tidak pernah statis, ia selalu menjadi sesuatu yang berbeda, oleh karena
itu manusia mesti berani menghancurkan pola-pola lama dan mandiri menuju
aktualisasi diri
4. Setiap orang memiliki potensi kreatif dan bisa menjadi orang kreatif. Kreatifitas
merupakan fungsi universal kemanusiaan yang mengarah pada seluruh bentuk self
expression.

B. Asumsi Perilaku Bermasalah

Gangguan jiwa disebabkan karena individu yang bersangkutan tidak dapat


mengembangkan potensinya. Dengan perkataan lain, pengalamannya tertekan.

54
C. Tujuan Konseling

1. Mengoptimalkan kesadaran individu akan keberadaannya dan menerima


keadaannya menurut apa adanya. Saya adalah saya
2. Memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi cara berfikir, keyakinan serta
pandangan-pandangan individu, yang unik, yang tidak atau kurang sesuai dengan
dirinya agar individu dapat mengembangkan diri dan meningkatkan self
actualization seoptimal mungkin.
3. Menghilangkan hambatan-hambatan yang dirasakan dan dihayati oleh individu
dalam proses aktualisasi dirinya.
4. Membantu individu dalam menemukan pilihan-pilihan bebas yang mungkin dapat
dijangkau menurut kondisi dirinya.

D. Deskripsi Proses Konseling

1. Adanya hubungan yang akrab antara konselor dan konseli.


2. Adanya kebebasan secara penuh bagi individu untuk mengemukakan problem dan
apa yang diinginkannya.
3. Konselor berusaha sebaik mungkin menerima sikap dan keluhan serta perilaku
individu dengan tanpa memberikan sanggahan.
4. Unsur menghargai dan menghormati keadaan diri individu dan keyakinan akan
kemampuan individu merupakan kunci atau dasar yang paling menentukan dalam
hubungan konseling.
5. Pengenalan tentang keadaan individu sebelumnya beserta lingkungannya sangat
diperlukan oleh konselor.

E. Teknik-Teknik Konseling

Teknik yang dianggap tepat untuk diterapkan dalam pendekatan ini yaitu teknik client
centered counseling, sebagaimana dikembangkan oleh Carl R. Rogers. meliputi: (1)
acceptance (penerimaan); (2) respect (rasa hormat); (3) understanding (pemahaman); (4)
reassurance (menentramkan hati); (5) encouragement (memberi dorongan); (5) limited
questioning (pertanyaan terbatas; dan (6) reflection (memantulkan pernyataan dan
perasaan).

Melalui penggunaan teknik-teknik tersebut diharapkan konseli dapat (1) memahami dan
menerima diri dan lingkungannya dengan baik; (2) mengambil keputusan yang tepat; (3)
mengarahkan diri; (4) mewujudkan dirinya.

Sumber:

Sayekti. 1997. Berbagai Pendekatan dalam Konseling. Yogyakarta: Menara Mass Offset

Sofyan S. Willis. 2007. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta

55
Terapi Realitas
Diterbitkan Juli 14, 2008

A. Konsep Dasar

Terapi Realitas merupakan suatu bentuk hubungan pertolongan yang praktis, relatif
sederhana dan bentuk bantuan langsung kepada konseli, yang dapat dilakukan oleh guru
atau konselor di sekolah daam rangka mengembangkan dan membina
kepribadian/kesehatan mental konseli secara sukses, dengan cara memberi tanggung
jawab kepada konseli yang bersangkutan.

Terapi Realitas berprinsip seseorang dapat dengan penuh optimis menerima bantuan dari
terapist untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan mampu menghadapi
kenyataan tanpa merugikan siapapun.

Terapi Realitas lebih menekankan masa kini, maka dalam memberikan bantuan tidak
perlu melacak sejauh mungkin pada masa lalunya, sehingga yang paling dipentingkan
adalah bagaimana konseli dapat memperoleh kesuksesan pada masa yang akan datang.

Adalah William Glasser sebagai tokoh yang mengembangkan bentuk terapi ini.
Menurutnya, bahwa tentang hakikat manusia adalah:

1. Bahwa manusia mempunyai kebutuhan yang tunggal, yang hadir di seluruh


kehidupannya, sehingga menyebabkan dia memiliki keunikan dalam
kepribadiannnya.
2. Setiap orang memiliki kemampuan potensial untuk tumbuh dan berkembang
sesuai pola-pola tertentu menjadi kemampuan aktual. Karennya dia dapat menjadi
seorang individu yang sukses.
3. Setiap potensi harus diusahakan untuk berkembang dan terapi realitas berusaha
membangun anggapan bahwa tiap orang akhirnya menentukan nasibnya sendiri

B. Ciri-Ciri Terapi Realitas

1. Menolak adanya konsep sakit mental pada setiap individu, tetapi yang ada adalah
perilaku tidak bertanggungjawab tetapi masih dalam taraf mental yang sehat.
2. Berfokus pada perilaku nyata guna mencapai tujuan yang akan datang penuh
optimisme.
3. Berorientasi pada keadaan yang akan datang dengan fokus pada perilaku yang
sekarang yang mungkin diubah, diperbaiki, dianalisis dan ditafsirkan. Perilaku
masa lampau tidak bisa diubah tetapi diterima apa adanya, sebagai pengalaman
yang berharga.
4. Tidak menegaskan transfer dalam rangka usaha mencari kesuksesan. Konselor
dalam memberikan pertolongan mencarikan alternatif-alternatif yang dapat
diwujudkan dalam perilaku nyata dari berbagai problema yang dihadapi oleh
konseli .
5. Menekankan aspek kesadaran dari konseli yang harus dinyatakan dalam perilaku
tentang apa yang harus dikerjakan dan diinginkan oleh konseli . Tanggung jawab

56
dan perilaku nyata yang harus diwujudkan konseli adalah sesuatu yang bernilai
dan bermakna dan disadarinya.
6. Menghapuskan adanya hukuman yang diberikan kepada individu yang mengalami
kegagalan., tetapi yang ada sebagai ganti hukuman adalah menanamkan disiplin
yang disadari maknanya dan dapat diwujudkan dalam perilaku nyata.
7. Menekankan konsep tanggung jawab agar konseli dapat berguna bagi dirinya dan
bagi orang lain melalui perwujudan perilaku nyata.

C. Tujuan Terapi

1. Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri, supaya dapat menentukan
dan melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.
2. Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul segala resiko
yang ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam perkembangan dan
pertumbuhannya.
3. Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.
4. Perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang
sukses, yang dicapai dengan menanamkan nilai-nilai adanya keinginan individu
untuk mengubahnya sendiri.
5. Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran sendiri.

D. Proses Konseling (Terapi)

Konselor berperan sebagai:

1. Motivator, yang mendorong konseli untuk: (a) menerima dan memperoleh


keadaan nyata, baik dalam perbuatan maupun harapan yang ingin dicapainya; dan
(b) merangsang klien untuk mampu mengambil keputusan sendiri, sehingga klien
tidak menjadi individu yang hidup selalu dalam ketergantungan yang dapat
menyulitkandirinya sendiri.
2. Penyalur tanggung jawab, sehingga: (a) keputusan terakhir berada di tangan
konseli; (b) konseli sadar bertanggung jawab dan objektif serta realistik dalam
menilai perilakunya sendiri.
3. Moralist; yang memegang peranan untuk menetukan kedudukan nilai dari tingkah
laku yang dinyatakan kliennya. Konselor akan memberi pujian apabila konseli
bertanggung jawab atas perilakunya, sebaliknya akan memberi celaan bila tidak
dapat bertanggung jawab terhadap perilakunya.
4. Guru; yang berusaha mendidik konseli agar memperoleh berbagai pengalaman
dalam mencapai harapannya.
5. Pengikat janji (contractor); artinya peranan konselor punya batas-batas
kewenangan, baik berupa limit waktu, ruang lingkup kehidupan konseli yang
dapat dijajagi maupun akibat yang ditimbulkannya.

Teknik-Teknik dalam Konseling

1. Menggunakan role playing dengan konseli


2. Menggunakan humor yang mendorong suasana yang segar dan relaks
3. Tidak menjanjikan kepada konseli maaf apapun, karena terlebih dahulu diadakan
perjanjian untuk melakukan perilaku tertentu yang sesuai dengan keberadaan
klien.
4. Menolong konseli untuk merumuskan perilaku tertentu yang akan dilakukannya.
5. Membuat model-model peranan terapis sebagai guru yang lebih bersifat
mendidik.
6. Membuat batas-batas yang tegas dari struktur dan situasi terapinya

57
7. Menggunakan terapi kejutan verbal atau ejekan yang pantas untuk
mengkonfrontasikan konseli dengan perilakunya yang tak pantas.
8. Ikut terlibat mencari hidup yang lebih efektif.

Sumber:

Sayekti. 1997. Berbagai Pendekatan dalam Konseling. Yogyakarta: Menara Mass Offset

Sofyan S. Willis. 2007. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta.

Teknik Umum Konseling (1)


Diterbitkan Januari 15, 2008

Teknik umum merupakan teknik konseling yang lazim digunakan dalam tahapan-tahapan
konseling dan merupakan teknik dasar konseling yang harus dikuasai oleh konselor.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan disampaikan beberapa jenis teknik umum,
diantaranya :
A. Perilaku Attending

Perilaku attending disebut juga perilaku menghampiri klien yang mencakup komponen
kontak mata, bahasa tubuh, dan bahasa lisan. Perilaku attending yang baik dapat :
1. Meningkatkan harga diri klien.
2. Menciptakan suasana yang aman
3. Mempermudah ekspresi perasaan klien dengan bebas.

Contoh perilaku attending yang baik :

• Kepala : melakukan anggukan jika setuju


• Ekspresi wajah : tenang, ceria, senyum
• Posisi tubuh : agak condong ke arah klien, jarak antara konselor dengan klien
agak dekat, duduk akrab berhadapan atau berdampingan.
• Tangan : variasi gerakan tangan/lengan spontan berubah-ubah, menggunakan
tangan sebagai isyarat, menggunakan tangan untuk menekankan ucapan.
• Mendengarkan : aktif penuh perhatian, menunggu ucapan klien hingga selesai,
diam (menanti saat kesempatan bereaksi), perhatian terarah pada lawan bicara.

Contoh perilaku attending yang tidak baik :

• Kepala : kaku
• Muka : kaku, ekspresi melamun, mengalihkan pandangan, tidak melihat saat klien
sedang bicara, mata melotot.
• Posisi tubuh : tegak kaku, bersandar, miring, jarak duduk dengan klien menjauh,
duduk kurang akrab dan berpaling.
• Memutuskan pembicaraan, berbicara terus tanpa ada teknik diam untuk memberi
kesempatan klien berfikir dan berbicara.
• Perhatian : terpecah, mudah buyar oleh gangguan luar.

B. Empati

Empati ialah kemampuan konselor untuk merasakan apa yang dirasakan klien, merasa
dan berfikir bersama klien dan bukan untuk atau tentang klien. Empati dilakukan sejalan

58
dengan perilaku attending, tanpa perilaku attending mustahil terbentuk empati.
Terdapat dua macam empati, yaitu :

1. Empati primer, yaitu bentuk empati yang hanya berusaha memahami perasaan,
pikiran dan keinginan klien, dengan tujuan agar klien dapat terlibat dan
terbuka.Contoh ungkapan empati primer :” Saya dapat merasakan bagaimana
perasaan Anda”. ” Saya dapat memahami pikiran Anda”.” Saya mengerti
keinginan Anda”.
2. Empati tingkat tinggi, yaitu empati apabila kepahaman konselor terhadap
perasaan, pikiran keinginan serta pengalaman klien lebih mendalam dan
menyentuh klien karena konselor ikut dengan perasaan tersebut. Keikutan
konselor tersebut membuat klien tersentuh dan terbuka untuk mengemukakan isi
hati yang terdalam, berupa perasaan, pikiran, pengalaman termasuk
penderitaannya. Contoh ungkapan empati tingkat tinggi : Saya dapat merasakan
apa yang Anda rasakan, dan saya ikut terluka dengan pengalaman Anda itu”.

C. Refleksi

Refleksi adalah teknik untuk memantulkan kembali kepada klien tentang perasaan,
pikiran, dan pengalaman sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non
verbalnya. Terdapat tiga jenis refleksi, yaitu :

1. Refleksi perasaan, yaitu keterampilan atau teknik untuk dapat memantulkan


perasaan klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal
klien. Contoh : ” Tampaknya yang Anda katakan adalah ….”
2. Refleksi pikiran, yaitu teknik untuk memantulkan ide, pikiran, dan pendapat klien
sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien.Contoh :
” Tampaknya yang Anda katakan…”
3. Refleksi pengalaman, yaitu teknik untuk memantulkan pengalaman-pengalaman
klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien.
Contoh : ” Tampaknya yang Anda katakan suatu…”

D. Eksplorasi

Eksplorasi adalah teknik untuk menggali perasaan, pikiran, dan pengalaman klien. Hal ini
penting dilakukan karena banyak klien menyimpan rahasia batin, menutup diri, atau tidak
mampu mengemukakan pendapatnya. Dengan teknik ini memungkinkan klien untuk
bebas berbicara tanpa rasa takut, tertekan dan terancam. Seperti halnya pada teknik
refleksi, terdapat tiga jenis dalam teknik eksplorasi, yaitu :

1. Eksplorasi perasaan, yaitu teknik untuk dapat menggali perasaan klien yang
tersimpan. Contoh :” Bisakah Anda menjelaskan apa perasaan bingung yang
dimaksudkan ….”
2. Eksplorasi pikiran, yaitu teknik untuk menggali ide, pikiran, dan pendapat klien.
Contoh : ” Saya yakin Anda dapat menjelaskan lebih lanjut ide Anda tentang
sekolah sambil bekerja”.
3. Eksplorasi pengalaman, yaitu keterampilan atau teknik untuk menggali
pengalaman-pengalaman klien. Contoh :” Saya terkesan dengan pengalaman yang
Anda lalui Namun saya ingin memahami lebih jauh tentang pengalaman tersebut
dan pengaruhnya terhadap pendidikan Anda”

E. Menangkap Pesan (Paraphrasing)

Menangkap Pesan (Paraphrasing) adalah teknik untuk menyatakan kembali esensi atau
initi ungkapan klien dengan teliti mendengarkan pesan utama klien, mengungkapkan
kalimat yang mudah dan sederhana, biasanya ditandai dengan kalimat awal : adakah atau
nampaknya, dan mengamati respons klien terhadap konselor.

59
Tujuan paraphrasing adalah : (1) untuk mengatakan kembali kepada klien bahwa konselor
bersama dia dan berusaha untuk memahami apa yang dikatakan klien; (2) mengendapkan
apa yang dikemukakan klien dalam bentuk ringkasan ; (3) memberi arah wawancara
konseling; dan (4) pengecekan kembali persepsi konselor tentang apa yang dikemukakan
klien.

Contoh dialog :

Klien : ” Itu suatu pekerjaan yang baik, akan tetapi saya tidak mengambilnya. Saya tidak
tahu mengapa demikian ? ”
Konselor : ” Tampaknya Anda masih ragu.”

F. Pertanyaan Terbuka (Opened Question)

Pertanyaan terbuka yaitu teknik untuk memancing siswa agar mau berbicara
mengungkapkan perasaan, pengalaman dan pemikirannya dapat digunakan teknik
pertanyaan terbuka (opened question). Pertanyaan yang diajukan sebaiknya tidak
menggunakan kata tanya mengapa atau apa sebabnya. Pertanyaan semacam ini akan
menyulitkan klien, jika dia tidak tahu alasan atau sebab-sebabnya. Oleh karenanya, lebih
baik gunakan kata tanya apakah, bagaimana, adakah, dapatkah.

Contoh : ” Apakah Anda merasa ada sesuatu yang ingin kita bicarakan ? ”

G. Pertanyaan Tertutup (Closed Question)

Dalam konseling tidak selamanya harus menggunakan pertanyaan terbuka, dalam hal-hal
tertentu dapat pula digunakan pertanyaan tertutup, yang harus dijawab dengan kata Ya
atau Tidak atau dengan kata-kata singkat. Tujuan pertanyaan tertutup untuk : (1)
mengumpulkan informasi; (2) menjernihkan atau memperjelas sesuatu; dan (3)
menghentikan pembicaraan klien yang melantur atau menyimpang jauh.

Contoh dialog :

Klien : ”Saya berusaha meningkatkan prestasi dengan mengikuti belajar kelompok yang
selama ini belum pernah saya lakukan”.
Konselor: ”Biasanya Anda menempati peringkat berapa ? ”.
Klien : ” Empat ”
Konselor: ” Sekarang berapa ? ”
Klien : ” Sebelas ”

H. Dorongan minimal (Minimal Encouragement)

Dorongan minimal adalah teknik untuk memberikan suatu dorongan langsung yang
singkat terhadap apa yang telah dikemukakan klien. Misalnya dengan menggunakan
ungkapan : oh…, ya…., lalu…, terus….dan…
Tujuan dorongan minimal agar klien terus berbicara dan dapat mengarah agar
pembicaraan mencapai tujuan. Dorongan ini diberikan pada saat klien akan mengurangi
atau menghentikan pembicaraannya dan pada saat klien kurang memusatkan pikirannya
pada pembicaraan atau pada saat konselor ragu atas pembicaraan klien.

Contoh dialog :

Klien : ” Saya putus asa… dan saya nyaris… ” (klien menghentikan pembicaraan)
Konselor: ” ya…”
Klien : ” nekad bunuh diri”
Konselor: ” lalu…”

60
I. Interpretasi

Yaitu teknik untuk mengulas pemikiran, perasaan dan pengalaman klien dengan merujuk
pada teori-teori, bukan pandangan subyektif konselor, dengan tujuan untuk memberikan
rujukan pandangan agar klien mengerti dan berubah melalui pemahaman dari hasil
rujukan baru tersebut.

Contoh dialog :

Klien : ” Saya pikir dengan berhenti sekolah dan memusatkan perhatian membantu orang
tua merupakan bakti saya pada keluarga, karena adik-adik saya banyak dan amat
membutuhkan biaya.”
Konselor : ” Pendidikan tingkat SMA pada masa sekarang adalah mutlak bagi semua
warga negara. Terutama hidup di kota besar seperti Anda. Karena tantangan masa depan
makin banyak, maka dibutuhkan manusia Indonesia yang berkualitas. Membantu orang
tua memang harus, namun mungkin disayangkan jika orang seperti Anda yang tergolong
akan meninggalkan SMA”.

J. Mengarahkan (Directing)

Yaitu teknik untuk mengajak dan mengarahkan klien melakukan sesuatu. Misalnya
menyuruh klien untuk bermain peran dengan konselor atau menghayalkan sesuatu.

Klien : ” Ayah saya sering marah-marah tanpa sebab. Saya tak dapat lagi menahan diri.
Akhirnya terjadi pertengkaran sengit.”
Konselor : ” Bisakah Anda mencobakan di depan saya, bagaimana sikap dan kata-kata
ayah Anda jika memarahi Anda.”

K. Menyimpulkan Sementara (Summarizing)

Yaitu teknik untuk menyimpulkan sementara pembicaraan sehingga arah pembicaraan


semakin jelas. Tujuan menyimpulkan sementara adalah untuk : (1) memberikan
kesempatan kepada klien untuk mengambil kilas balik dari hal-hal yang telah
dibicarakan; (2) menyimpulkan kemajuan hasil pembicaraan secara bertahap; (3)
meningkatkan kualitas diskusi; (4) mempertajam fokus pada wawancara konseling.

Contoh :

” Setelah kita berdiskusi beberapa waktu alangkah baiknya jika simpulkan dulu agar
semakin jelas hasil pembicaraan kita. Dari materi materi pembicaraan yang kita
diskusikan, kita sudah sampai pada dua hal: pertama, tekad Anda untuk bekerja sambil
kuliah makin jelas; kedua, namun masih ada hambatan yang akan hadapi, yaitu : sikap
orang tua Anda yang menginginkan Anda segera menyelesaikan studi, dan waktu bekerja
yang penuh sebagaimana tuntutan dari perusahaan yang akan Anda masuki.”

Sumber :

Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta


H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Sugiharto.(2005. Pendekatan dalam Konseling (Makalah). Jakarta : PPPG

61
Teknik Umum Konseling (2)
Diterbitkan Januari 15, 2008

A. Memimpin (leading)

Yaitu teknik untuk mengarahkan pembicaraan dalam wawancara konseling sehingga


tujuan konseling .

Contoh dialog :

Klien :” Saya mungkin berfikir juga tentang masalah hubungan dengan pacar. Tapi
bagaimana ya?”
Konselor : ” Sampai ini kepedulian Anda tertuju kuliah kuliah sambil bekerja. Mungkin
Anda tinggal merinci kepedulian itu. Mengenai pacaran apakah termasuk dalam kerangka
kepedulian Anda juga ?”

B. Fokus

Yaitu teknik untuk membantu klien memusatkan perhatian pada pokok pembicaraan.
Pada umumnya dalam wawancara konseling, klien akan mengungkapkan sejumlah
permasalahan yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, konselor seyogyanya dapat
membantu klien agar dia dapat menentukan apa yang fokus masalah. Misalnya dengan
mengatakan :

” Apakah tidak sebaiknya jika pokok pembicaraan kita berkisar dulu soal hubungan Anda
dengan orang tua yang kurang harmonis ”.

Ada beberapa yang dapat dilakukan, diantaranya :

1. Fokus pada diri klien. Contoh : ” Tanti, Anda tidak yakin apa yang akan Anda
lakukan ”.
2. Fokus pada orang lain. Contoh : ” Roni, telah membuat kamu menderita,
Terangkanlah tentang dia dan apa yang telah dilakukannya ?”
3. Fokus pada topik. Contoh : ” Pengguguran kandungan ? Kamu memikirkan aborsi
? Pikirkanlah masak-masak dengan berbagai pertimbangan”.
4. Fokus mengenai budaya. Contoh: ” Mungkin budaya menyerah dan mengalah
pada laki-laki harus diatas sendiri oleh kaum wanita. Wanita tak boleh menjadi
obyek laki-laki.”

C. Konfrontasi

Yaitu teknik yang menantang klien untuk melihat adanya inkonsistensi antara perkataan
dengan perbuatan atau bahasa badan, ide awal dengan ide berikutnya, senyum dengan
kepedihan, dan sebagainya. Tujuannya adalah : (1) mendorong klien mengadakan
penelitian diri secara jujur; (2) meningkatkan potensi klien; (3) membawa klien kepada
kesadaran adanya diskrepansi; konflik, atau kontradiksi dalam dirinya.

Penggunaan teknik ini hendaknya dilakukan secara hati-hati, yaitu dengan : (1) memberi
komentar khusus terhadap klien yang tidak konsisten dengan cara dan waktu yang tepat;
(2) tidak menilai apalagi menyalahkan; (3) dilakukan dengan perilaku attending dan
empati.

Contoh dialog :

62
Klien : ” Saya baik-baik saja”.(suara rendah, wajah murung, posisi tubuh gelisah).”
Konselor :” Anda mengatakan baik-baik saja, tapi kelihatannya ada yang tidak beres”.
”Saya melihat ada perbedaan antara ucapan dengan kenyataan diri ”.

D. Menjernihkan (Clarifying)

Yaitu teknik untuk menjernihkan ucapan-ucapan klien yang samar-samar, kurang jelas
dan agak meragukan. Tujuannya adalah : (1) mengundang klien untuk menyatakan
pesannya dengan jelas, ungkapan kata-kata yang tegas, dan dengan alasan-alasan yang
logis, (2) agar klien menjelaskan, mengulang dan mengilustrasikan perasaannya.

Contoh dialog :

Klien : ” Perubahan yang terjadi di keluarga saya membuat saya bingung. Saya tidak
mengerti siapa yang menjadi pemimpin di rumah itu.”
Konselor : ”Bisakah Anda menjelaskan persoalan pokoknya ? Misalnya peran ayah, ibu,
atau saudara-saudara Anda.”

E. Memudahkan (facilitating)

Yaitu teknik untuk membuka komunikasi agar klien dengan mudah berbicara dengan
konselor dan menyatakan perasaan, pikiran, dan pengalamannya secara bebas. Contoh :
” Saya yakin Anda akan berbicara apa adanya, karena saya akan mendengarkan dengan
sebaik-baiknya.”

F. Diam

Teknik diam dilakukan dengan cara attending, paling lama 5 – 10 detik, komunikasi yang
terjadi dalam bentuk perilaku non verbal. Tujuannya adalah (1) menanti klien sedang
berfikir; (2) sevagai protes jika klien ngomong berbelit-belit; (3) menunjang perilaku
attending dan empati sehingga klien babas bicara.

Contoh dialog :

Klien :”Saya tidak senang dengan perilaku guru itu”


Konselor :”…………..” (diam)
Klien :” Saya..harus bagaimana.., Saya.. tidak tahu..
Konselor :”…………..” (diam)

G. Mengambil Inisiatif

Teknik ini dilakukan manakala klien kurang bersemangat untuk berbicara, sering diam,
dan kurang parisipatif. Konselor mengajak klien untuk berinisiatif dalam menuntaskan
diskusi. Teknik ini bertujuan : (1) mengambil inisiatif jika klien kurang semangat; (2) jika
klien lambat berfikir untuk mengambil keputusan; (3) jika klien kehilangan arah
pembicaraan.

Contoh:

” Baiklah, saya pikir Anda mempunyai satu keputusan namun masih belum keluar. Coba
Anda renungkan kembali”.
G. Memberi Nasehat

Pemberian nasehat sebaiknya dilakukan jika klien memintanya. Walaupun demikian,


konselor tetap harus mempertimbangkannya apakah pantas untuk memberi nasehat atau
tidak. Sebab dalam memberi nasehat tetap dijaga agar tujuan konseling yakni
kemandirian klien harus tetap tercapai.

63
Contoh respons konselor terhadap permintaan klien : ” Apakah hal seperti ini pantas saya
untuk memberi nasehat Anda ? Sebab, dalam hal seperti ini saya yakin Anda lebih
mengetahuinya dari pada saya.”

H. Pemberian informasi

Sama halnya dengan nasehat, jika konselor tidak memiliki informasi sebaiknya dengan
jujur katakan bahwa dia mengetahui hal itu. Kalau pun konselor mengetahuinya,
sebaiknya tetap diupayakan agar klien mengusahakannya.

Contoh :

” Mengenai berapa biaya masuk ke Universitas Pendidikan Indonesia, saya sarankan


Anda bisa langsung bertanya ke pihak UPI atau Anda berkunjung ke situs www.upi.com
di internet”.

I. Merencanakan

Teknik ini digunakan menjelang akhir sesi konseling untuk membantu agar klien dapat
membuat rencana tindakan (action), perbuatan yang produktif untuk kemajuan klien.

Contoh :

” Nah, apakah tidak lebih baik jika Anda mulai menyusun rencana yang baik berpedoman
hasil pembicaraan kita sejak tadi ”

J. Menyimpulkan

Teknik ini digunakan untuk menyimpulkan hasil pembicaraan yang menyangkut : (1)
bagaimana keadaan perasaan klien saat ini, terutama mengenai kecemasan; (2)
memantapkan rencana klien; (3) pemahaman baru klien; dan (4) pokok-pokok yang akan
dibicarakan selanjutnya pada sesi berikutnya, jika dipandang masih perlu dilakukan
konseling lanjutan.

Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta


H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.

Sugiharto.(2005. Pendekatan dalam Konseling (Makalah). Jakarta : PPPG

Teknik Khusus Konseling


Diterbitkan Januari 15, 2008

Dalam konseling, di samping menggunakan teknik-teknik umum, dalam hal-hal tertentu


dapat menggunakan teknik-teknik khusus. Teknik-teknik khusus ini dikembangkan dari
berbagai pendekatan konseling, seperti pendekatan Behaviorisme, Rational Emotive
Theraphy, Gestalt dan sebagainya

Di bawah disampaikan beberapa teknik – teknik khusus konseling, yaitu :

64
1. Latihan Asertif

Teknik ini digunakan untuk melatih klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan
diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini terutama berguna di
antaranya untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan
tersinggung, kesulitan menyatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon posistif
lainnya. Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran dengan bimbingan
konselor. Diskusi-diskusi kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini.

2. Desensitisasi Sistematis

Desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokukskan


bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara
mengajarkan klien untuk rileks. Esensi teknik ini adalah menghilangkan perilaku yang
diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan perilaku yang
akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki
dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakekatnya merupakan
teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus perilaku yang diperkuat secara negatif
biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan
perilaku yang akan dihilangkan.

3. Pengkondisian Aversi

Teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini
dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus
yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut. Stimulus yang tidak
menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya
perilaku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk
asosiasi antara perilaku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak
menyenangkan.

4. Pembentukan Perilaku Model

Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk Perilaku baru pada klien, dan memperkuat
perilaku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang
perilaku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya
yang teramati dan dipahami jenis perilaku yang hendak dicontoh. Perilaku yang berhasil
dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai
ganjaran sosial.

5. Permainan Dialog

Teknik ini dilakukan dengan cara klien dikondisikan untuk mendialogan dua
kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu kecenderungan top dog dan
kecenderungan under dog, misalnya :

Kecenderungan orang tua lawan kecenderungan anak.

Kecenderungan bertanggung jawab lawan kecenderungan masa bodoh.

Kecenderungan “anak baik” lawan kecenderungan “anak bodoh”.

Kecenderungan otonom lawan kecenderungan tergantung.

Kecenderungan kuat atau tegar lawan kecenderungan lemah.

65
Melalui dialog yang kontradiktif ini, menurut pandangan Gestalt pada akhirnya klien
akan mengarahkan dirinya pada suatu posisi di mana ia berani mengambil resiko.
Penerapan permainan dialog ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknik “kursi
kosong”.

6. Latihan Saya Bertanggung Jawab

Merupakan teknik yang dimaksudkan untuk membantu klien agar mengakui dan
menerima perasaan-perasaannya dari pada memproyeksikan perasaannya itu kepada
orang lain. Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk membuat suatu pernyataan
dan kemudian klien menambahkan dalam pernyataan itu dengan kalimat : “…dan saya
bertanggung jawab atas hal itu”.

Misalnya :

“Saya merasa jenuh, dan saya bertanggung jawab atas kejenuhan itu”

“Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan sekarang, dan saya bertanggung jawab atas
ketidaktahuan itu”.

“Saya malas, dan saya bertanggung jawab atas kemalasan itu”

Meskipun tampaknya mekanis, tetapi menurut Gestalt akan membantu meningkatkan


kesadaraan klien akan perasaan-perasaan yang mungkin selama ini diingkarinya.

7. Bermain Proyeksi

Proyeksi yaitu memantulkan kepada orang lain perasaan-perasaan yang dirinya sendiri
tidak mau melihat atau menerimanya. Mengingkari perasaan-perasaan sendiri dengan
cara memantulkannya kepada orang lain. Sering terjadi, perasaan-perasaan yang
dipantulkan kepada orang lain merupakan atribut yang dimilikinya. Dalam teknik
bermain proyeksi konselor meminta kepada klien untuk mencobakan atau melakukan hal-
hal yang diproyeksikan kepada orang lain.

8. Teknik Pembalikan

Gejala-gejala dan perilaku tertentu sering kali mempresentasikan pembalikan dari


dorongan-dorongan yang mendasarinya. Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk
memainkan peran yang berkebalikan dengan perasaan-perasaan yang dikeluhkannya.

Misalnya : konselor memberi kesempatan kepada klien untuk memainkan peran


“ekshibisionis” bagi klien pemalu yang berlebihan.

9. Bertahan dengan Perasaan

Teknik ini dapat digunakan untuk klien yang menunjukkan perasaan atau suasana hati
yang tidak menyenangkan atau ia sangat ingin menghindarinya. Konselor mendorong
klien untuk tetap bertahan dengan perasaan yang ingin dihindarinya itu.

Kebanyakan klien ingin melarikan diri dari stimulus yang menakutkan dan menghindari
perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini konselor tetap mendorong
klien untuk bertahan dengan ketakutan atau kesakitan perasaan yang dialaminya sekarang
dan mendorong klien untuk menyelam lebih dalam ke dalam tingkah laku dan perasaan
yang ingin dihindarinya itu.

Untuk membuka dan membuat jalan menuju perkembangan kesadaran perasaan yang
lebih baru tidak cukup hanya mengkonfrontasi dan menghadapi perasaan-perasaan yang

66
ingin dihindarinya tetapi membutuhkan keberanian dan pengalaman untuk bertahan
dalam kesakitan perasaan yang ingin dihindarinya itu.

10. Home work assigments,

Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan
diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola perilaku yang
diharapkan. Dengan tugas rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau
menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis,
mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek
kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang
diberikan. Pelaksanaan home work assigment yang diberikan konselor dilaporkan oleh
klien dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor. Teknik ini dimaksudkan untuk
membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada diri
sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien dan mengurangi
ketergantungannya kepada konselor.

11. Adaptive

Teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara
terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan perilaku yang diinginkan. Latihan-latihan
yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.

12. Bermain peran

Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan


negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat
secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.

13. Imitasi

Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model perilaku tertentu dengan
maksud menghadapi dan menghilangkan perilakunya sendiri yang negatif.

Sumber :

H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
Sugiharto.(2005. Pendekatan dalam Konseling (Makalah). Jakarta : PPPG

67
Studi Kasus dalam Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Januari 31, 2008

Bahan ini cocok untuk Sekolah Menengah.


Nama & E-mail: Slameto
Saya Dosen di UKSW salatiga
Tanggal: 8 Mei 2002
Judul Artikel: Memahami dan Menolong Siswa Yang Kurang PD
Topik: Studi Kasus Untuk Bimbingan Konseling.
Artikel:
DESKRIPSI KASUS

Lia (bukan nama sebenarnya) adalah siswa kelas I SMU Favorit Salatiga yang barusan
naik kelas II. Ia berasal dari keluarga petani yang terbilang cukup secara sosial ekonomi
di desa pedalaman + 17 km di luar kota Salatiga, sebagai anak pertama semula orang
tuanya berkeberatan setamat SLTP anaknya melanjutkan ke SMU di Salatiga; orang tua
sebetulnya berharap agar anaknya tidak perlu susah-sudah melanjutkan sekolah ke kota,
tapi atas bujukan wali kelas anaknya saat pengambilan STTB dengan berat merelakan
anaknya melanjutkan sekolah. Pertimbangan wali kelasnya karena Lia terbilang cerdas
diantara teman-teman yang lain sehingga wajar jika bisa diterima di SMU favorit. Sejak
diterima di SMU favorit di satu fihak Lia bangga sebagai anak desa toh bisa diterima,
tetapi di lain fihak mulai minder dengan teman-temannya yang sebagian besar dari
keluarga kaya dengan pola pergaulan yang begitu beda dengan latar belakang Lia. Ia
menganggap teman-teman dari keluarga kaya tersebut sebagai orang yang egois, kurang
bersahabat, pilih-pilih teman yang sama-sama dari keluarga kaya saja, dan sombong.
Makin lama perasaan ditolak, terisolik, dan kesepian makin mencekam dan mulai timbul
sikap dan anggapan sekolahnya itu bukan untuk dirinya tidak krasan, tetapi mau keluar
malu dengan orang tua dan temannya sekampung; terus bertahan, susah tak ada/punya
teman yang peduli. Dasar saya anak desa, anak miskin (dibanding teman-temannya di
kota) hujatnya pada diri sendiri. Akhirnya benar-benar menjadi anak minder, pemalu dan
serta ragu dan takut bergaul sebagaimana mestinya. Makin lama nilainya makin jatuh
sehingga beban pikiran dan perasaan makin berat, sampai-sampai ragu apakah bisa naik
kelas atau tidak.

MEMAHAMI LIA DALAM PERSPEKTIF RASIONAL EMOTIF


Menurut pandangan rasional emotif, manusia memiliki kemampuan inheren untuk
berbuat rasional ataupun tidak rasional, manusia terlahir dengan kecenderungan yang luar
biasa kuatnya berkeinginan dan mendesak agar supaya segala sesuatu terjadi demi yang
terbaik bagi kehidupannya dan sama sekali menyalahkan diri sendiri, orang lain, dan
dunia apabila tidak segera memperoleh apa yang diinginkannya. Akibatnya berpikir
kekanak-kanakan (sebagai hal yang manunusiawi) seluruh kehidupannya, akhirnya hanya
kesulitan yang luar biasa besar mampu mencapai dan memelihara tingkah laku yang
realistis dan dewasa; selain itu manusia juga mempunyai kecenderungan untuk melebih-
lebihkan pentingnya penerimaan orang lain yang justru menyebabkan emosinya tidak
sewajarnya seringkali menyalahkan dirinya sendiri dengan cara-cara pembawaannya itu
dan cara-cara merusak diri yang diperolehnya. Berpikir dan merasa itu sangat dekat dan
dengan satu sama lainnya : pikiran dapat menjadi perasaan dan sebaliknya; Apa yang
dipikirkan dan atau apa yang dirasakan atas sesuatu kejadian diwujudkan dalam
tindakan/perilaku rasional atau irasional. Bagaimana tindakan/perilaku itu sangat mudah
dipengaruhi oleh orang lain dan dorongan-doronan yang kuat untuk mempertahankan diri
dan memuaskan diri sekalipun irasional.

Ciri-ciri irasional seseorang tak dapat dibuktikan kebenarannya, memainkan peranan


Tuhan apa saja yang dimui harus terjadi, mengontrol dunia, dan jika tidak dapat
melakukannya dianggap goblok dan tak berguna; menumbuhkan perasaan tidak nyaman
(seperti kecemasan) yang sebenarnya tak perlu, tak terlalu jelek/memalukan namun

68
dibiarkan terus berlangsung, dan menghalangi seseorang kembai ke kejadian awal dan
mengubahnya. Bahkan akhirnya menimbulkan perasaan tak berdaya pada diri yang
bersangkutan. Bentuk-bentuk pikiran/perasaan irasional tersebut misalnya : semua orang
dilingkungan saya harus menyenangi saya, kalau ada yang tidak senang terhadap saya itu
berarti malapetaka bagi saya. Itu berarti salah saya, karena saya tak berharga, tak seperti
orang/teman-teman lainnya. Saya pantas menderita karena semuanya itu.

Sehubungan dengan kasus, Lia sebetulnya terlahir dengan potensi unggul, ia menjadi
bermasalah karena perilakunya dikendalikan oleh pikiran/perasaan irasional; ia telah
menempatkan harga diri pada konsep/kepercayaan yang salah yaitu jika kaya, semua
teman memperhatikan / mendukung, peduli, dan lain-lain dan itu semua tidak
ada/didapatkan sejak di SMU, sampai pada akhirnya menyalahkan dirinya sendiri dengan
hujatan dan penderitaaan serta mengisolir dirinya sendiri. Ia telah berhasil membangun
konsep dirinya secara tidak realistis berdasarkan anggapan yang salah terhadap (dan dari)
teman-teman lingkungannya. Ia menjadi minder, pemalu, penakut dan akhirnya ragu-ragu
keberhasilan/prestasinya kelak yang sebetulnya tidak perlu terjadi.

TUJUAN DAN TEKNIK KONSELING


Jika pemikiran Lia yang tidak logis / realistis (tentang konsep dirinya dan pandangannya
terhadap teman-temannya) itu diperangi maka dia akan mengubahnya. Dengan demikian
tujuan konseling adalah memerangi pemikiran irasional Lia yang melatar-belakangi
ketakutan / kecematannya yaitu konsep dirinya yang salah beserta sikapnya terhadap
teman lain. Dalam konseling konselor lebih bernuansa otoritatif : memanggil Lia,
mengajak berdiskusi dan konfrontasi langsung untuk mendorongnya beranjak dari pola
pikir irasional ke rasional / logis dan realistis melalui persuasif, sugestif, pemberian
nasehat secara tepat, terapi dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk PR serta
bibliografi terapi.

Konseling kognitif : untuk menunjukkan bahwa Lia harus membongkar pola pikir
irasional tentang konsep harga diri yang salah, sikap terhadap sesama teman yang salah
jika ingin lebih bahagia dan sukses. Konselor lebih bergaya mengajar : memberi nasehat,
konfrontasi langsung dengan peta pikir rasional-irasoonal, sugesti dan asertive training
dengan simulasi diri menerapkan konsep diri yang benar dan sikap/ketergantungan pada
orang lain yang benar/rasional dilanjutkan sebagai PR melatih, mengobservasi dan
evaluasi diri. Contoh : mulai dari seseorang berharga bukan dari kekayaan atau jumlah
dan status teman yang mendukung, tetapi pada kasih Allah dan perwujudanNya. Allah
mengasihi saya, karena saya berharga dihadiratNya. Terhadap diri saya sendiri suatu saat
saya senang, puas dan bangga, tetapi kadang-kadang acuh-tak acuh, bahkan adakalanya
saya benci, memaki-maki diri saya sendiri, sehingga wajar dan realistis jika sejumlah 40
orang teman satu kelas misalnya ada + 40% yang baik, 50% netral, hanya 10% saja yang
membeci saya. Adalah tidak mungkin menuntut semua / setiap orang setiap saat baik
pada saya, dan seterusnya. Ide-ide ini diajarkan, dan dilatihkan dengan pendekatan
ilmiah.

Konseling emotif-evolatif untuk mengubah sistem nilai Lia dengan menggunakan teknik
penyadaran antara yang benar dan salah seperti pemberian contoh, bermain peran, dan
pelepasan beban agar Lia melepaskan pikiran dan perasaannya yang tidak rasional dan
menggantinya dengan yang rasional sebagai kelanjutan teknik kognitif di atas. Konseling
behavioritas digunakan untuk mengubah perilaku yang negatif dengan merobah akar-akar
keyakinan Lia yang irasional/tak logis kontrak reinforcemen, sosial modeling dan
relaksasi/meditasi.

PENUTUP
Teori ini dalam menolong menggunakan pendekatan direct menggunakan nasehat yang
ditandai oleh menyerang masalah dengan intektual dan meyakinkan (koselor). Tekniknya
jelas, teliti, makin melihat/menyadari pikiran dan kata-kata yang terus menerus ditujukan
kepada diri sendiri, yang membawa kehancuran kepada diri sendiri. Cara konselor ialah

69
dengan pendekatan yang tegas, memintakan perhatian kepada pikiran-pikiran yang
menjadi sebab gangguan itu dan bagaimana pikiran dan kalimat itu beroperasi hingga
membawa akibat yang merugikan. Konselor selanjutnya menolong dia untuk memikir
kembali, menantang, mendebat, menyebutkan kembali kalimat-kalimat yang merugikan
itu, dan dengan cara demikian ia membawa klien ke kesadaran dan tilikan baru. Tetapi
tilikan dan kesadaran tidak cukup. Ia harus dilatih untuk berpikir dan berkata kepada diri
sendiri hal-hal yang lebih positive dan realistik. Terapis mengajar klien untuk berpikir
betul dan bertindak efektif. Teknik yang dipakai bersifat eklektif dengan pertimbangan :

1. Ekonomis dari segi waktu baik bagi konselor maupun konseli.


2. Efektifitas teknis-teknis yang dipakai cocok untuk bermacam ragam konseli.
3. Kesegaran hasil yang dicapai.
4. Kedalaman dan tanah lama serta dapat dipakai konseli untuk mengkonseling
dirinya sendiri kalah.

Kesimpulannya, penstrukturan kembali filosofis untuk merubah kepribadian yang salah


berfungsi menyangkut langkah-langkah sebagai berikut : (1) mengakui sepenuhnya
bahwa kita sebagian besar bertanggungjawab penciptaan masalah-masalah kita sendiri;
(2) menerima pengertian bahwa kita mempunyai kemampuan untuk merubah gangguan-
gangguan secara berarti; (3) menyadari bahwa problem-problem dan emosi kita berasal
dari kepercayaan-kepercayaan tidak rasional ; (4) mempersepsi dengan jelas
kepercayaan-kepercayaan ini; (5) menerima kenyataan bahwa, jika kita mengharap untuk
berubah, kita lebih baik harus menangani cara-cara tingkah laku dan emosi untuk tindak
balasan kepada kepercayaan-kepercayaan kita dan perasaan-perasan yang salah fungsi
dan tindakan-tindakan yang mengikuti; dan (6) mempraktekkan metode-metode RET
untuk menghilangkan atau merubah konsekuensi-konsekuensi yang terganggu pada sisa
waktu hidup kita ini.

SUMBER
Aryatmi, S., 1991, Perspektif BK dan Penerapannya di Berbagai Institusi, Satya Wacana
Semarang.
Corey G., 1991/1995, Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi (terjemahan
Mulyarto), IKIP Semarang Pres.
Prayitno, 1998, Konseling Pancawashita, progdi BK PPB, FIP, IKIP Padang
Rosjidan, 1998, Pengantar Teori-teori Konseling, Depdikbud Dirjen PT Proyek P2LPTK,
Jakarta
Surya, M., 1988, Dasar-Dasar Konseling Pendidikan, Kota Kembang, Yogyakarta.

70
Konseling Pecandu Narkoba
Diterbitkan Januari 25, 2008

Konseling Terpadu Pemulihan Pecandu Narkoba

Oleh: Sofyan S. Willis*)

Abstrak : Pemulihan pecandu narkoba pasca pengobatan di Rumah Sakit


Ketergantungan Obat (RSKO) dapat ditangani dengan Konseling Terpadu yang terdiri
dari Konseling Individual, Konseling Agama, Konseling Keluarga, Konseling Kelompok,
Pendidikan dan Pelatihan, Kunjungan, dan Partisipasi Sosial. Semua itu bertujuan agar
klien terbebas dari dorongan kecanduan akibat mengkonsumsi narkoba. Pemulihan
pecandu narkoba dengan menggunakan Konseling Terpadu itu memungkinkan hasil-hasil
sebagai berikut. Tumbuh pada diri klien perasaan percaya diri, tidak menyalahkan pihak
luar, mengambil tanggung jawab atas perbuatan sendiri dengan sadar atas resikonya,
mendapat penghargaan dari lingkungan sehingga tumbuh motivasi untuk hidup baik,
merasa sebagai anggota masyarakat yang beragama, dan akhirnya tumbuh sifat
kepemimpinan terhadap diri, keluarga, dan masyarakat dengan moral-religius yang baik.
Studi kasus aplikasi Konseling Terpadu terhadap seorang klien pasca RSKO,
membuktikan bahwa dengan menjalani konseling selama 3 bulan (April-Juni 2001), klien
telah menjadi anggota masyarakat dan bekerja normal pada toko suku cadang mobil di
Jakarta.

Kata Kunci: Konseling Terpadu, pecandu narkoba, Pasca RSKO, Pemulihan.


*)
Sofyan S. Willis adalah Dosen Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan
FIP-UPI Bandung

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan narkoba berawal sejak tahun 2737 SM ketika Kaisar Cina bernama Shen
Nung menulis naskah farmasi yang bernama Pen Tsao atau “Ramuan Hebat” (Great
Herbal). Salah satu ramuan itu adalah disebut liberator of sin atau delight giver (pemberi
kesenangan) yang ditujukan untuk kesenangan, obat lemah badan, malaria, rematik, dan
analgesik (Martin, 1977).
Pada tahun 800 SM di India ditemukan ramuan sejenis opium yang disebut the heavenly
guide, digunakan oleh masyarakat sebagai pemberi kesenangan (fly) dan juga sebagai anti
sakit (analgesik). Opium banyak pula ditemukan di Cina, Mesir, Turki, dan segitiga emas
(Kamboja, Vietnam, Thailand). Pada tahun 1973 atau 2500 tahun kemudian ditemukan
antara lain di India, Cina, dan Amerika Selatan, sejenis obat (drug) yang saat ini amat
populer yaitu marijuana yang berasal dari tanaman linneaeus canabis sativa. Suku-suku
primitif seperti Aztec dan suku-suku di banyak negara Amerika Selatan (Latin)
menggunakan ramuan-ramuan hallucinogenic seperti marijuana dan sejenisnya untuk
upacara-upacara ritual kepercayaannya mendekati roh-roh, dan untuk bahan analgesik
(Kisker, 1977; Martin, 1977).
Saat ini narkoba telah meluas ke seluruh dunia dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan,
terutama remaja, terutama di Amerika Serikat dan Afrika. Kedua benua ini lebih banyak
mengkonsumsi marijuana. Diperkirakan terdapat 200 juta pemakai marijuana hingga
tahun 1977 (Kisker, 1977), dan angka tersebut diperkirakan akan meningkat dua kali pada
abad ke 21.
Bagaimana di Eropa, Australia, dan Asia, termasuk di Indonesia? Saat ini seluruh dunia
sudah terkena wabah narkoba yang meracuni generasi muda. Diperkirakan saat ini di
Indonesia sudah ada empat juta pengguna narkoba (Republika, 22-5-2001). Media
tersebut juga mengutip pernyataan Ketua Umum Granat (Gerakan Anti Narkotika) Henry
Yosodinigrat bahwa omzet narkoba di Indonesia saat ini berjumlah 24 triliun rupiah per

71
bulan, suatu angka yang fantastis. Angka tersebut diperoleh dari jika setiap hari seorang
pengguna memakai narkoba seharga Rp.200.000, satu hari omzetnya mencapai 4 juta x
Rp.200.000 = Rp.800 miliar.
Berkembangnya jumlah pecandu narkoba ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor dalam
dan di luar diri sendiri. Faktor penentu dalam diri adalah: (1) minat, (2) rasa ingin tahu
(curiousity) (Hurlock, 1978), (3) lemahnya rasa ketuhanan (Abu Hanifah, 1989), dan (4)
ketakstabilan emosi (Duke and Norwicki, 1979). Sedangkan, faktor-faktor yang berasal
dari luar diri sendiri adalah: (1) gangguan psikososial keluarga (Sofyan S. Willis, 1995),
(2) lemahnya hukum terhadap pengedar dan pengguna narkoba, (3) lemahnya sistem
sekolah termasuk bimbingan dan konseling (BK), serta yang terpenting (4) lemahnya
pendidikan agama para siswa sekolah (Sofyan S.Willis, 2001).
Meluasnya narkoba di Indonesia terutama di kalangan generasi muda karena didukung
oleh faktor budaya global. Budaya global dikuasai oleh budaya Barat (baca Amerika
Serikat) yang mengembangkan pengaruhnya melalui layar TV, VCD, dan film-film. Ciri
utama budaya tersebut amat mudah ditiru dan diadopsi oleh generasi muda karena sesuai
dengan kebutuhan dan selera muda. Penetrasi budaya Barat ke Indonesia mudah sekali
diamati melalui pergaulan anak-anak muda kota (AMK). Ciri pergaulan AMK adalah
bebas, konsumtif, dan haus akan segala macam mode yang datang dari AS (Abdullah N.
Ulwan, 1993). Jika pakaian para artis di TV buka-bukaan, dan bahkan mengkonsumsi
narkoba, maka AMK pun menirunya.
Maraknya narkoba berkaitan pula dengan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
dari para pejabat negara, sehingga narkoba mudah beredar. Akibat KKN hukum di negeri
ini tidak berfungsi, sering pengedar narkoba hanya dihukum ringan saja.
Berbagai upaya untuk mengatasi berkembangnya pecandu narkoba telah dilakukan,
namun terbentur pada lemahnya hukum. Beberapa bukti lemahnya hukum terhadap
narkoba adalah sangat ringan hukuman bagi pengedar dan pecandu, bahkan minuman
beralkohol di atas 40 persen (minol 40 persen) banyak diberi kemudahan oleh
pemerintah. Sebagai perbandingan, di Malaysia jika kedapatan pengedar atau pecandu
membawa dadah 5 gr ke atas maka orang tersebut akan dihukum mati (Republika, 25-5-
2001).
1.2 Tujuan Studi Kasus
Penanganan kasus pecandu narkoba yang di Indonesia dilakukan dengan hanya
pendekatan medis dan/atau spiritual, seperti di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, ternyata
kurang membawa hasil yang memuaskan, karena setelah penanganan tersebut klien hidup
di masyarakat dan kembali kecanduan. Masalahnya, pada diri klien belum terbentuk
pertahanan diri untuk melawan godaan dari kelompok lamanya. Pertahanan diri bisa
berbentuk melalui kesadaran klien terhadap bahaya narkoba bagi dirinya dan generasi
muda lainnya. Indikator lain adalah tumbuh kemampuan dengan rasa tanggung jawab
untuk mengkampanyekan bahaya narkoba kepada masyarakat, khususnya generasi muda.
Tujuan studi kasus ini adalah untuk mengungkapkan secara jelas dan sistematik mengenai
penanganan kasus narkoba yang dialami seorang klien bernama FR, melalui metode
Konseling Terpadu, yaitu perpaduan berbagai pendekatan konseling. Dengan metode
Konseling Terpadu diharapkan klien akan berubah perilakunya yaitu: (a) munculnya
sikap anti narkoba, (b) menjauhi teman-teman lama yang masih kecanduan, (c) mencintai
keluarga, (d) kembali bekerja sebagai layaknya orang-orang normal, dan (e) mendekatkan
diri kepada Tuhan.
1.3 Kajian Literatur
Upaya pemulihan (recovery) pecandu narkoba secara medis dan psikologis di negara kita
pada umumnya berpedoman pada cara-cara yang dilakukan Amerika Serikat. Di negara
itu sejak tahun 60-an telah ada beberapa panti rehabilitasi. Panti rehabilitasi yang
terkemuka adalah St. Mary’s Hospital and Rehabilitation Center (SHRC), Minneapolis,
Minnesota. Pada tahun 1967 panti rehabilitasi itu hanya memiliki 16 tempat tidur, namun
9 tahun kemudian panti tersebut telah memiliki 112 tempat tidur. Hal ini berarti, telah
terjadi peningkatan pecandu secara berarti setiap tahun.
Model pemulihan yang ada saat ini sangat berorientasi medis dan psikologis. Artinya,
pada tahap awal pecandu dibawa ke Rumah Sakit Ketergantungan Obat atau RSKO
(Mann, 1979). Mengenai hal itu Mann (1979) berkomentar sebagai berikut.

72
“There are still many places in our society where the typical approach to the disease of
chemical dependency is to admit the individual patient into a hospital for detoxification;
institute nutrition and vitamin therapy; prescribe mood-controlling medications; and
than put the patient back on the street, back home, or back on the job, and back to
destructive drinking”.
Sebagai seorang dokter medis, Mann menyangsikan keampuhan RSKO bagi pemulihan
total (total recovery) pasien dengan layanan detoksifikasi, terapi nutrisi/vitamin, dan
memberi obat pengendalian emosi pasien. Mann memuji pendekatan Panti St. Mary’s
Hospital and Rehabilitation Center (SHRC) karena disana pasien tidak hanya
disembuhkan melalui pendekatan pengobatan, akan tetapi juga pendekatan rehabilitasi
psikologis, sosial, intelektual, spiritual, dan fisik.
2.Metode Penanganan Kasus
Konseling Terpadu (KT) adalah upaya memberikan bantuan kepada klien kecanduan
narkoba dengan menggunakan beragam pendekatan konseling dan memberdayakan klien
terhadap lingkungan sosial agar klien segera menjadi anggota masyarakat yang normal,
bermoral, dan dapat menghidupi diri dan keluarga. Syarat utama KT adalah klien telah
selesai dengan program detoxification dari RSKO.
Dari penjelasan di atas ada dua hal penting yang harus mendapat penekanan untuk upaya
recovery klien. Ragam pendekatan konseling yang diterapkan pada KT adalah sebagai
berikut.
2.1 Konseling Individual (KI)
Penerapan KI adalah upaya membantu klien oleh konselor secara individual dengan
mengutamakan hubungan konseling antara konselor dengan klien yang bernuansa
emosional, sehingga besar kepercayaan klien terhadap konselor. Pada gilirannya klien
akan bicara jujur membuka rahasia batinnya (disclosure) yang selama ini tidak pernah
dikemukakan kepada orang lain termasuk keluarga (Ivey & Downing, 1980). KI
bertujuan menanamkan kepercayaan diri klien atas dasar kesadaran diri untuk: (1) tidak
menyalahkan orang lain atas kecerobohan dan kesalahannya mengkonsumsi narkoba, (2)
menumbuhkan kesadaran untuk mengambil tanggung jawab atas perbuatannya yang
destruktif yang dilakukan selama ini dengan menerima segala akibatnya (seperti: keluar
dari sekolah/kuliah, kehilangan pekerjaan, dijauhi orang-orang yang dicintai, dsb), (3)
menerima realita hidup dengan jujur, (4) membuat rencana-rencana hidup secara rasional
dan sistematik untuk keluar dari cengkraman setan narkoba dan menjadi manusia yang
baik, dan (5) menumbuhkan keinginan dan kepercayaan diri untuk melaksanakan rencana
hidup tersebut (Dyere & Vriend, 1977).
Jika seorang konselor menguasai pendidikan agama, akan lebih baik KI diiringi dengan
ajaran-ajaran agama seperti penyerahan diri kepada Allah, menerima cobaan hidup
dengan tawakal, taat ibadah, dan berbuat baik terhadap sesama. Jika konselor tidak
menguasai soal agama, konselor harus memasukkan seorang ahli agama kedalam tim
konselor.
Prosedur Konseling Individual adalah sebagai berikut: (a) konselor menciptakan
hubungan konseling yang menumbuhkan kepercayaan klien terhadap konselor, sehingga
klien menjadi jujur dan terbuka, bersedia mengatakan segala isi hati dan rahasia pribadi
berkaitan dengan kecanduannya. Hal ini disebabkan oleh sikap empati, hangat, terbuka,
memahami, dan asli (genuine) dari konselor, serta memiliki kemampuan-kemampuan
teknik konseling yang baik (Sofyan S. Willis 1995), (b) konselor membantu klien agar dia
mampu memahami diri dan masalahnya. Kemudian ia bersedia bersama konselor untuk
menemukan jalan keluar atas kekacauan dirinya sehingga membuat keluarga klien
menderita karena merasa malu, mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dan
memungkinkan sekolah adik-adiknya terganggu, (c) konselor membantu klien untuk
memahami dan mentaati rencana atau program yang telah disusun konselor. Selanjutnya,
klien siap untuk melaksanakan program tersebut.
2.2 Bimbingan Kelompok (BKL)
Bimbingan kelompok bertujuan memberi kesempatan klien untuk berpartisipasi dalam
memberi ceramah dan diskusi dengan berbagai kelompok masyarakat seperti mahasiswa,
sarjana, tokoh-tokoh masyarakat, guru-guru BK di sekolah, para siswa, anggota DPR,
ibu-ibu pengajian, dan sebagainya. Melalui interpersonal relation, akan tumbuh

73
kepercayaan diri klien (Yalom, 1985).
Prosedur BKL yang menjadikan klien sebagai figur sentral meliputi: (a) Mempersiapkan
mental klien untuk berani tampil menyampaikan kisah kasusnya, dan selanjutnya
berdiskusi dengan peserta. Jumlah peserta yang ideal paling banyak 10 orang; (b)
Mempersiapkan materi yang akan disampaikan klien kepada peserta diskusi yaitu
penjelasan tentang identitas diri dan kisah panjang tentang proses kecanduan sejak awal
hingga saat ini beserta upaya-upaya penyembuhan yang telah dilaluinya; (c)
Mempersiapkan peserta agar mempunyai minat untuk berdiskusi dengan klien pecandu
narkoba, dan tidak segan-segan mengeritik dan memberi masukan; (d) Mempersiapkan
daftar hadir peserta dan kamera photo.
Dengan berdiskusi dengan beragam kelompok, diharapkan klien akan makin meningkat
kepercayaan diri untuk hidup normal dan juga tumbuh sikap kepemimpinan diri,
keluarga, dan masyarakat, sehingga setelah melakukan konseling klien menjadi orang
yang berguna. Pelajaran dari ceramah dan diskusi yang dilakukan klien secara terus
menerus akan mendewasakan klien sehingga menjadi kuat kepribadian untuk menjadi
anggota masyarakat.
2.3 Konseling Keluarga (KK)
Untuk membantu secepatnya pemulihan (recovery) klien narkoba, amat diperlukan
dukungan keluarga seperti ayah, ibu, saudara, istri, suami, pacar, dan keluarga dekat
lainnya. Fasilitator konseling keluarga adalah konselor, sedangkan pesertanya adalah
klien, orang tua, saudara, suami/istri, dan sebagainya. Nuansa emosional yang akrab
harus mampu diciptakan oleh konselor agar terjadi keterbukaan klien terhadap keluarga,
sebaliknya anggota keluarga mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap
pemulihan klien. Dampaknya adalah tumbuh rasa aman, percaya diri, dan rasa tanggung
jawab klien terhadap diri dan keluarga.
Untuk mencapai keberhasilan KK maka prosedur yang harus ditempuh adalah sebagai
berikut:

1. Menyiapkan mental klien narkoba untuk menghadapi anggota keluarga.


Alasannya karena ada sebagian anggota keluarga yang jengkel, marah, dan bosan
dengan kelakuan klien yang mereka anggap amat keterlaluan, merusak diri,
mencemarkan nama keluarga, dan biaya keluar jadi besar untuk pemulihan.
Mempersiapkan mental klien berarti dia harus berani menerima kritikan-kritikan
anggota keluarga dan siap untuk berubah kepada kebaikan sesuai harapan
keluarga.
2. Memberi kesempatan kepada setiap anggota keluarga untuk menyampaikan
perasaan terpendam, kritikan-kritikan, dan perasaan-perasaan negatif lainnya
terhadap klien. Di samping itu, ada kesempatan untuk memberi saran-saran,
pesan, keinginan-keinginan terhadap klien agar dia berubah. Semuanya bertujuan
untuk menurunkan stres keluarga sebagai akibat kelakuan klien sebagai anggota
keluarga yang dicintai (Horne & Ohlsen, 1982).
3. Selanjutnya, konselor memberi kesempatan kepada klien untuk menyampaikan isi
hatinya berupa kata-kata pengakuan jujur atas kesalahan-kesalahannya, serta
penyesalan terhadap masa lalu. Kemudian, klien mengemukakan harapan hidup
masa depan dan diberi kesempatan untuk berbuat baik terhadap diri, keluarga, dan
masyarakat.
4. Selanjutnya, konselor mengemukakan kepada keluarga tentang program
pemulihan klien secara keseluruhan. Maksudnya supaya keluarga klien menaruh
kepercayaan terhadap semua upaya konselor bersama klien. Selanjutnya, keluarga
akan mendorong penyembuhan klien dengan tulus dan kasih sayang,.
5. Konselor meminta tanggapan keluarga tentang program tersebut. Di samping itu,
diminta juga tanggapan mereka terhadap keadaan klien saat ini. Demikian juga,
tanggapan klien terhadap program yang telah disusun konselor, dan juga
tanggapan terhadap keluarganya. Tanggapan-tanggapan dari kedua pihak terhadap
program yang disusun konselor amat penting supaya semua pihak terutama klien
sungguh-sungguh didalam menjalani program pemulihan dirinya.

74
Secara berturut-turut telah dikemukakan program konseling yang memadukan kegiatan
konseling individual, bimbingan kelompok, dan konseling keluarga. Masih dalam
konteks bimbingan dan konseling, diberikan pula program pendidikan dan pelatihan,
serta program partisipasi terhadap kegiatan-kegiatan di masyarakat.

Sumber : http://depdiknas.go.id, Editorial Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi 36.

Perilaku Konselor yang Efektif dan Tidak Efektif


Diterbitkan Juli 10, 2008

Dalam proses konseling, seorang konselor dituntut untuk dapat menunjukkan


perilakunya secara efektif, baik perilaku verbal maupun non verbal. Barbara F. Okun
(Sofyan S. Willis, 2004) telah mengidentifikasi beberapa perilaku verbal non verbal
konselor yang efektif dan tidak efektif sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini:

1. Perilaku Verbal:

Efektif Tidak efektif


Menggunakan kata-kata yang Memberi nasihat
dapat dipahami klien
Memberikan refleksi dan Terus menerus menggali dan
penjelasan terhadap pernyataan bertanya terutama bertanya
klien “mengapa”
Penafsiran yang baik/sesuai Bersifat menentramkan klien
Membuat kesimpulan-kesimpulan Menyalahkan klien
Merespon pesan utama klien Menilai klien
Memberi dorongan minimal Membujuk klien
Memanggil klien dengan nama Menceramahi
panggilan atau “Anda”
Memberi informasi sesuai keadaan Mendesak klien
Menjawab pertanyaan tentang diri Terlalu banyak berbicara mengenai
konselor diri sendiri
Menggunakan humor secara tepat Menggunakan kata-kata yang tidak
tentang pernyataan klien dimengerti
Penafsiran yang sesuai dengan Penafsiran yang berlebihan
situasi
Sikap merendahkan klien
Sering menuntut/meminta klien
Menyimpang dari topik
Sok intelektual
Analisis yang berlebihan
Selalu mengarahkan klien

2. Perilaku Non Verbal:

Efektif Tidak efektif


Nada suara disesuaikan dengan Berbicara terlalu cepat atau terlalu
klien (tenang, sedang) pelan
Memelihara kontak mata yang baik Duduk menjauh dari klien

75
Sesekali menganggukkan kepala Senyum menyeringai /senyum sinis
Wajah yang bersemangat Menggerakan dahi
Kadang-kadang memberi isyarat Cemberut
tangan
Jarak dengan klin relatif dekat Marapatkan mulut
Ucapan tidak terlalu cepa/lambat Menggoyang-goyangkan jari
Duduk agak condong ke arah klien Menguap
Sentuhan (touch) disesuaikan Gerak-gerak isyarat yang
dengan usia klien dan budaya lokal mengacaukan
Air muka ramah dan senyum Menutup mata atau mengantuk
Nada suara tidak menyenangkan
Membuang pandangan

Sumber:

Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual: Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta

Penanganan Siswa Bermasalah di Sekolah


Diterbitkan Juli 8, 2008

Di sekolah sangat mungkin ditemukan siswa yang yang bermasalah, dengan


menunjukkan berbagai gejala penyimpangan perilaku. yang merentang dari
kategori ringan sampai dengan berat. Upaya untuk menangani siswa yang
bermasalah, khususnya yang terkait dengan pelanggaran disiplin sekolah
dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: (1) pendekatan disiplin dan (2)
pendekatan bimbingan dan konseling.
Penanganan siswa bernasalah melalui pendekatan disiplin merujuk pada
aturan dan ketentuan (tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta sanksinya.
Sebagai salah satu komponen organisasi sekolah, aturan (tata tertib) siswa
beserta sanksinya memang perlu ditegakkan untuk mencegah sekaligus
mengatasi terjadinya berbagai penyimpangan perilaku siswa. Kendati
demikian, harus diingat sekolah bukan “lembaga hukum” yang harus
mengobral sanksi kepada siswa yang mengalami gangguan penyimpangan
perilaku. Sebagai lembaga pendidikan, justru kepentingan utamanya adalah
bagaimana berusaha menyembuhkan segala penyimpangan perilaku yang
terjadi pada para siswanya.
Oleh karena itu, disinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan yaitu
pendekatan melalui Bimbingan dan Konseling. Berbeda dengan pendekatan
disiplin yang memungkinkan pemberian sanksi untuk menghasilkan efek jera,
penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling justru lebih
mengutamakan pada upaya penyembuhan dengan menggunakan berbagai
layanan dan teknik yang ada. Penanganan siswa bermasalah melalui
Bimbingan dan Konseling sama sekali tidak menggunakan bentuk sanksi apa
pun, tetapi lebih mengandalkan pada terjadinya kualitas hubungan
interpersonal yang saling percaya di antara konselor dan siswa yang
bermasalah, sehingga setahap demi setahap siswa tersebut dapat memahami
dan menerima diri dan lingkungannya, serta dapat mengarahkan diri guna
tercapainya penyesuaian diri yang lebih baik.
Secara visual, kedua pendekatan dalam menangani siswa bermasalah dapat
dilihat dalam bagan berikut ini:

76
Dengan melihat gambar di atas, kita dapat memahami bahwa di antara kedua
pendekatan penanganan siswa bermasalah tersebut, meski memiliki cara
yang berbeda tetapi jika dilihat dari segi tujuannya pada dasarnya sama yaitu
tercapainya penyesuaian diri atau perkembangan yang optimal pada siswa
yang bermasalah. Oleh karena itu, kedua pendekatan tersebut seyogyanya
dapat berjalan sinergis dan saling melengkapi.
Sebagai ilustrasi, misalkan di suatu sekolah ditemukan kasus seorang siswi
yang hamil akibat pergaulan bebas, sementara tata tertib sekolah secara
tegas menyatakan untuk kasus demikian, siswa yang bersangkutan harus
dikeluarkan. Jika hanya mengandalkan pendekatan disiplin, mungkin tindakan
yang akan diambil sekolah adalah berusaha memanggil orang tua/wali siswa
yang bersangkutan dan ujung-ujungnya siswa dinyatakan dikembalikan
kepada orang tua (istilah lain dari dikeluarkan). Jika tanpa intervensi
Bimbingan dan Konseling, maka sangat mungkin siswa yang bersangkutan
akan meninggalkan sekolah dengan dihinggapi masalah-masalah baru yang
justru dapat semakin memperparah keadaan. Tetapi dengan intervensi
Bimbingan dan Konseling di dalamnya, diharapkan siswa yang bersangkutan
bisa tumbuh perasaan dan pemikiran positif atas masalah yang menimpa
dirinya, misalnya secara sadar menerima resiko yang terjadi, keinginan untuk
tidak berusaha menggugurkan kandungan yang dapat membahayakan dirinya
maupun janin yang dikandungnya, keinginan untuk melanjutkan sekolah, serta
hal-hal positif lainnya, meski ujung-ujungnya siswa yang bersangkutan tetap
harus dikeluarkan dari sekolah.
Perlu digarisbawahi, dalam hal ini bukan berarti Guru BK/Konselor yang harus
mendorong atau bahkan memaksa siswa untuk keluar dari sekolahnya.
Persoalan mengeluarkan siswa merupakan wewenang kepala sekolah, dan
tugas Guru BK/Konselor hanyalah membantu siswa agar dapat memperoleh
kebahagiaan dalam hidupnya.
Lebih jauh, meski saat ini paradigma pelayanan Bimbingan dan Konseling
lebih mengedepankan pelayanan yang bersifat pencegahan dan
pengembangan, pelayanan Bimbingan dan Konseling terhadap siswa
bermasalah tetap masih menjadi perhatian. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa
tidak semua masalah siswa harus ditangani oleh guru BK (konselor). Dalam
hal ini, Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tingkatan masalah berserta
mekanisme dan petugas yang menanganinya, sebagaimana dalam bagan
berikut :

1. Masalah (kasus) ringan, seperti: membolos, malas, kesulitan belajar pada


bidang tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum
minuman keras tahap awal, berpacaran, mencuri kelas ringan. Kasus
ringan dibimbing oleh wali kelas dan guru dengan berkonsultasi kepada
kepala sekolah (konselor/guru pembimbing) dan mengadakan kunjungan
rumah.

77
2. Masalah (kasus) sedang, seperti: gangguan emosional, berpacaran,
dengan perbuatan menyimpang, berkelahi antar sekolah, kesulitan
belajar, karena gangguan di keluarga, minum minuman keras tahap
pertengahan, mencuri kelas sedang, melakukan gangguan sosial dan
asusila. Kasus sedang dibimbing oleh guru BK (konselor), dengan
berkonsultasi dengan kepala sekolah, ahli/profesional, polisi, guru dan
sebagainya. Dapat pula mengadakan konferensi kasus.
3. Masalah (kasus) berat, seperti: gangguan emosional berat, kecanduan
alkohol dan narkotika, pelaku kriminalitas, siswa hamil, percobaan bunuh
diri, perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api. Kasus berat
dilakukan referal (alihtangan kasus) kepada ahli psikologi dan psikiater,
dokter, polisi, ahli hukum yang sebelumnya terlebih dahulu dilakukan
kegiatan konferensi kasus.

Secara visual, penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan Bimbingan


dan Konseling dapat dilihat dalam bagan berikut ini:

Dengan melihat penjelasan di atas, tampak jelas bahwa penanganan siswa


bermasalah melalui pendekatan Bimbingan dan Konseling tidak semata-mata
menjadi tanggung jawab guru BK/konselor di sekolah tetapi dapat melibatkan
pula berbagai pihak lain untuk bersama-sama membantu siswa agar
memperoleh penyesuaian diri dan perkembangan pribadi secara optimal.

C. STANDAR KOMPETENSI BIMBINGAN DAN


KONSELING

78
Kompetensi Konselor/Guru BK
Diterbitkan Februari 17, 2008

A. Memahami secara mendalam konseli yang hendak dilayani

1. Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas,


kebebasan memilih, dan mengedepankan kemaslahatan konseli dalam konteks
kemaslahatan umum: (a) mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis tentang
manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral, sosial, individual, dan berpotensi;
(b) menghargai dan mengembangkan potensi positif individu pada umumnya dan
konseli pada khususnya; (c) peduli terhadap kemaslahatan manusia pada
umumnya dan konseli pada khususnya; (d) menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia sesuai dengan hak asasinya; (e) toleran terhadap permsalahan konseli,
dan (f) ersikap demokratis

B. Menguasai landasan teoritik bimbingan dan konseling.

1. Menguasai landasan teoritik bimbingan dan konseling; (b) menguasai ilmu


pendidikan dan landasan keilmuannya; (c) mengimplementasikan prinsipprinsip
pendidikan dan proses pembelajaran; (d) menguasai landasan budaya dalam
praksis pendidikan
2. Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur, jenjang, dan
jenis satuan pendidikan: (a) menguasai esensi bimbingan dan onseling pada
satuan jalur pendidikan formal, non formal, dan informal; (b) menguasai esensi
bimbingan dan konseling pada satuan jenis pendidikan umum, kejuruan,
keagamaan, dan khusus; dan (c) menguasai esensi bimbingan dan konseling pada
satuan jenjang pendidikan usia dini, dasar dan menengah.
3. Menguasai konsep dan praksis penelitian bimbingan dan konseling: (a)
memahami berbagai jenis dan metode penelitian; (b) mampu merancang
penelitian bimbingan dan konseling; (c) melaksanakan penelitian bimbingan
dan konseling; (d) memanfaatkan hasil penelitian dalam bimbingan dan konseling
dengan mengakses jurnal pendidikan dan bimbingan dan konseling.
4. Menguasai kerangka teori dan praksis bimbingan dan konseling: (a)
mengaplikasikan hakikat pelayanan bimbingan dan konseling; (b)
mengaplikasikan arah profesi bimbingan dan konseling; (c) mengaplikasikan
dasar-dasar pelayanan bimbingan dan konseling; (d) mengaplikasikan pelayanan
bimbingan dan konseling sesuai kondisi dan tuntutan wilayah kerja; (e)
mengaplikasikan pendekatan/model/ jenis layanan dan kegiatan pendukung
bimbingan dan konseling; dan (f) Mengaplikasikan dalam praktik format
pelayanan bimbingan dan konseling.

C. Menyelenggarakan bimbingan dan konseling yang memandirikan

1. Merancang program bimbingan dan konseling: (a) menganalisis kebutuhan


konseli; (b) menyusun program bimbingan dan konseling yang berkelanjutan
berdasar kebutuhan peserta didik secara komprehensif dengan pendekatan
perkembangan; (c) menyusun rencana pelaksanaan program bimbingan dan
konseling; dan (d) merencanakan sarana dan biaya penyelenggaraan program
bimbingan dan konseling.
2. Mengimplemantasikan program bimbingan dan konseling yang komprehensif: (a)
Melaksanakan program bimbingan dan konseling: (b) melaksanakan pendekatan
kolaboratif dalam layanan bimbingan dan konseling; (c) memfasilitasi
perkembangan, akademik, karier, personal, dan sosial konseli; dan (d) mengelola
sarana dan biaya program bimbingan dan konseling.
3. Menilai proses dan hasil kegiatan bimbingan dan konseling: (a) melakukan
evaluasi hasil, proses dan program bimbingan dan konseling; (b) melakukan

79
penyesuaian proses layanan bimbingan dan konseling; (c) menginformasikan hasil
pelaksanaan evaluasi layanan bimbingan dan konseling kepada pihak terkait; (d)
menggunakan hasil pelaksanaan evaluasi untuk merevisi dan
mengembangkan program bimbingan dan konseling.
4. Mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat bekerja: (a) memahami dasar,
tujuan, organisasi dan peran pihak-pihak lain (guru, wali kelas, pimpinan
sekolah/madrasah, komite sekolah/madrasah di tempat bekerja; (b)
mengkomunikasikan dasar, tujuan, dan kegiatan pelayanan bimbingan dan
konseling kepada pihak-pihak lain di tempat bekerja; dan (c) bekerja sama dengan
pihak-pihak terkait di dalam tempat bekerja seperti guru, orang tua, tenaga
administrasi)
5. Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling: (a)
Memahami dasar, tujuan, dan AD/ART organisasi profesi bimbingan dan
konseling untuk pengembangan diri.dan profesi; (b) menaati Kode Etik profesi
bimbingan dan konseling; dan (c) aktif dalam organisasi profesi bimbingan dan
konseling untuk pengembangan diri.dan profesi.
6. Mengimplementasikan kolaborasi antar profesi: (a) mengkomunikasikan aspek-
aspek profesional bimbingan dan konseling kepada organisasi profesi lain; (b)
memahami peran organisasi profesi lain dan memanfaatkannya untuk suksesnya
pelayanan bimbingan dan konseling; (c) bekerja dalam tim bersama tenaga
paraprofesional dan profesional profesi lain; dan (d) melaksanakan referal kepada
ahli profesi lain sesuai keperluan.

Sumber : ABKIN. 2007. Naskah Akademik Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan


dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal dan Non Formal

Tulisan yang sama dalam bentuk file Pdf :

Draft Standar Kompetensi Konselor

Standar Kompetensi Bimbingan dan Konseling di SD


Diterbitkan Juni 13, 2008

Dalam Permendiknas No. 23/2006 telah dirumuskan Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
yang harus dicapai peserta didik, melalui proses pembelajaran berbagai mata pelajaran.
Namun, sungguh sangat disesalkan dalam Permendiknas tersebut sama sekali tidak
memuat Standar Kompetensi yang harus dicapai peserta didik melalui pelayanan
Bimbingan dan Konseling. Oleh karena itu, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia
(ABKIN) mengambil inisiatif untuk merumuskan Standar Kompetensi yang harus dicapai
oleh peserta didik, mulai tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi, dalam bentuk
naskah akademik, untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan Depdiknas dalam
menentukan kebijakan Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Indonesia.

Dalam konteks pembelajaran Standar Kompetensi ini disebut Standar Kompetensi


Lulusan (SKL), sementara dalam konteks Bimbingan dan Konseling Standar Kompetensi
ini dikenal dengan istilah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK), yang di dalamnya

80
mencakup sepuluh aspek perkembangan individu (SD dan SLTP) dan sebelas aspek
perkembangan individu (SLTA dan PT). Kesebelas aspek perkembangan tersebut adalah:
(1) Landasan hidup religius; (2) Landasan perilaku etis; (3) Kematangan emosi; (4)
Kematangan intelektual; (5) Kesadaran tanggung jawab sosial; (6) Kesadaran gender; (7)
Pengembangan diri; ( Perilaku kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis); (9)
Wawasan dan kesiapan karier; (10) Kematangan hubungan dengan teman sebaya; dan
(11) Kesiapan diri untuk menikah dan berkeluarga (hanya untuk SLTA dan PT). Masing-
masing aspek perkembangan memiliki tiga dimensi tujuan, yaitu: (1)
pengenalan/penyadaran (memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang aspek dan
tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai); (2) akomodasi
(memperoleh pemaknaan dan internalisasi atas aspek dan tugas perkembangan [standar
kompetensi] yang harus dikuasai) dan (3) tindakan (perilaku nyata dalam kehidupan
sehari-hari dari aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus
dikuasai).

Aspek perkembangan dan beserta dimensinya tampaknya sudah disusun sedemikian rupa
dengan mengikuti dan diselaraskan dengan prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dan tugas-tugas
perkembangan yang harus dicapai individu.

Berikut ini rumusan Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik pada Sekolah Dasar

STANDAR KOMPETENSI KEMANDIRIAN (SKK) PESERTA DIDIK

PADA SEKOLAH DASAR

Tataran/Internalisasi Tujuan
No Aspek Perkembangan
Pengenalan Akomodasi Tindakan
Mengenal bentuk-bentuk
Tertarik pada kegiatan Melakukan bentuk-bentuk
1 Landasan hidup religius dan tata cara ibadah
ibadah sehari ibadah sehari-hari
sehari-hari
Mengenal patokan baik- Menghargai aturan-aturan Mengikuti aturan yang
2 Landasan perilaku etis buruk atau benar salah yang berlaku dalam berlaku dalam kehidupan
dalam berperilaku kehidupan sehari-hari sehari-hari
Mengenal perasaan diri Memahami perasaan diri Mengekspresikan perasaan
3 Kematangan emosi
sendiri dan orang lain sendiri dan orang lain secara wajar
Mengenal konsep-konsep Melibatkan diri dalam
Menyenangi berbagai
4 Kematangan intelektual dasar ilmu pengetahuan berbagai aktifitas perilaku
aktifitas perilaku belajar
dan perilaku belajar belajar
Mengenal hak dan Memahami hak dan
Berinteraksi dengan orang
Kesadaran tanggung kewajiban diri dan orangkewajiban diri dan orang
5 lain dalam suasana
jawab sosial lain dalam lingkungan lain dalam lingkungan
persahabatan
kehidupan sehari-hari kehidupan sehari-hari
Menerima atau Berperilaku sesuai dengan
Mengenal diri sebagai
6 Kesadaran gender menghargai diri sebagai peran sebagai laki-laki atau
laki-laki atau perempuan
laki-laki atau perempuan perempuan
Mengenal keadaan diri Menerima keadaan diri Menampilkan perilaku
7 Pengembangan diri dalam lingkungan sebagai bagian dari sesuai dengan keberadaan
dekatnya lingkungan diri dalam lingkungannya
Memahami perilaku
Mengenal perilaku hemat, Menampilkan perilaku
hemat, ulet sungguh-
Perilaku kewirausahaan ulet sungguh-sungguh dan hemat, ulet sungguh-
sungguh dan konpetitif
8 (kemandirian perilaku konpetitif dalam sungguh dan konpetitif
dalam kehidupan sehari-
ekonomis) kehidupan sehari-hari di dalam kehidupan sehari-hari
hari di lingkungan
lingkungan dekatnya di lingkungannya
dekatnya
Menghargai ragam Mengekspresikan ragam
Mengenal ragam
Wawasan dan kesiapan pekerjaan dan aktivitas pekerjaan dan aktivitas
9 pekerjaan dan aktivitas
karier sebagai hal yang saling orang dalam lingkungan
orang dalam kehidupan
bergantung kehidupan
10 Kematangan hubungan Mengenal norma-norma Menghargai norma-norma Menjalin persahabatan

81
yang dijunjung tinggi
dengan teman sebaya atas
dalam berinteraksi dengan dalam menjalin
dengan teman sebaya dasar norma yang dijunjung
teman sebaya persahabatan dengan
tinggi bersama
teman sebaya

Sumber :

Depdiknas.2007.Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur


Pendidikan Formal.Jakarta.

Standar Kompetensi Bimbingan dan Konseling di SLTP


Diterbitkan Juni 13, 2008

Dalam Permendiknas No. 23/2006 telah dirumuskan Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
yang harus dicapai peserta didik, melalui proses pembelajaran berbagai mata pelajaran.
Namun, sungguh sangat disesalkan dalam Permendiknas tersebut sama sekali tidak
memuat Standar Kompetensi yang harus dicapai peserta didik melalui pelayanan
Bimbingan dan Konseling. Oleh karena itu, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia
(ABKIN) mengambil inisiatif untuk merumuskan Standar Kompetensi yang harus dicapai
oleh peserta didik, mulai tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi, dalam bentuk
naskah akademik, untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan Depdiknas dalam
menentukan kebijakan Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Indonesia.

Dalam konteks pembelajaran Standar Kompetensi ini disebut Standar Kompetensi


Lulusan (SKL), sementara dalam konteks Bimbingan dan Konseling Standar Kompetensi
ini dikenal dengan istilah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK), yang di dalamnya
mencakup sepuluh aspek perkembangan individu (SD dan SLTP) dan sebelas aspek
perkembangan individu (SLTA dan PT). Kesebelas aspek perkembangan tersebut adalah:
(1) Landasan hidup religius; (2) Landasan perilaku etis; (3) Kematangan emosi; (4)
Kematangan intelektual; (5) Kesadaran tanggung jawab sosial; (6) Kesadaran gender; (7)
Pengembangan diri; (8 ) Perilaku kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis); (9)
Wawasan dan kesiapan karier; (10) Kematangan hubungan dengan teman sebaya; dan
(11) Kesiapan diri untuk menikah dan berkeluarga (hanya untuk SLTA dan PT). Masing-
masing aspek perkembangan memiliki tiga dimensi tujuan, yaitu:(1)
pengenalan/penyadaran (memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang aspek dan
tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai); (2) akomodasi
(memperoleh pemaknaan dan internalisasi atas aspek dan tugas perkembangan [standar
kompetensi] yang harus dikuasai) dan (3) tindakan (perilaku nyata dalam kehidupan
sehari-hari dari aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus
dikuasai).

Aspek perkembangan dan beserta dimensinya tampaknya sudah disusun sedemikian rupa
dengan mengikuti dan diselaraskan dengan prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dan tugas-tugas
perkembangan yang harus dicapai individu.

Berikut ini rumusan Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik pada Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama

STANDAR KOMPETENSI KEMANDIRIAN (SKK) PESERTA DIDIK

PADA SEKOLAH LANJUTAN TINGKAT PERTAMA

Aspek Tataran/Internalisasi Tujuan


No
Perkembangan Pengenalan Akomodasi Tindakan

82
Melakukan berbagai
Berminat
Landasan hidup Mengenal arti dan kegiatan ibadah
1 mempelajari arti
religius tujuan ibadah dengan kemauan
dan tujuan ibadah
sendiri
Memahami
Mengenal alasan keragaman Bertindak atas
Landasan perilaku perlunya mentaati aturan/patokan pertimbangan diri
2
etis aturan/norma dalam berperilaku terhadap norma
berperilaku dalam konteks yang berlaku
budaya
Memahami
Mengenal cara-cara keragaman Mengekspresikan
Kematangan mengekspresikan ekspresi perasaan perasaan atas dasar
3
emosi perasaan secara diri dan perasaan pertimbangan
wajar orasaan orang kontekstual
lain
Mengambil
Mempelajari cara- Menyadari keputusan
Kematangan cara pengambilan adanya resiko berdasarkan
4
intelektual keputusan dan dari pengambilan pertimbangan resiko
pemecahan masalah keputusan yang mungkin
terjadi.
Mempelajari cara-
Menghargai nilai-
cara memperoleh Berinteraksi dengan
nilai persahabatan
Kesadaran hak dan memenuhi orang lain atas dasar
dan
5 tanggung jawab kewajiban dalam nilai-nilai
keharmonisan
sosial lingkungan persahabatan dan
dalam kehidupan
kehidupan sehari- keharmonisan hidup.
sehari-hari
hari
Menghargai
peranan diri dan Berinteraksi dengan
Mengenal peran-
orang lain sebagailain jenis secara
peran sosial sebagai
6 Kesadaran gender laki-laki atau kolaboratif dalam
laki-laki atau
perempuan dalam memerankan peran
perempuan
kehidupan sehari- jenis
hari
Meyakini keunikan
diri sebagai aset
Mengenal Menerima
Pengembangan yang harus
7 kemampuan dan keadaan diri
diri dikembangkan
keinginan diri secara positif
secara harmonis
dalam kehidupan
Menyadari
Mengenal nilai-nilai Membiasakan diri
Perilaku manfaat perilaku
perilaku hemat, ulet hidup hemat, ulet
kewirausahaan hemat, ulet
sungguh-sungguh sungguh-sungguh
8 (kemandirian sungguh-sungguh
dan konpetitif dalam dan konpetitif dalam
perilaku dan konpetitif
kehidupan sehari- kehidupan sehari-
ekonomis) dalam kehidupan
hari. hari.
sehari-hari.
Menyadari Mengidentifikasi
Mengekspresikan keragaman nilai ragam alternatif
ragam pekerjaan, dan persyaratan pekerjaan,
Wawasan dan pendidikan dan dan aktivitas yangpendidikan dan
9
kesiapan karier aktivitas dalam menuntut aktifitas yang
dengan kemampuan pemenuhan mengandung
diri kemampuan relevansi dengn
tertentu kemampuan diri
Mempelajari norma- Menyadari
Bekerja sama
norma pergaulan keragaman latar
Kematangan dengan teman
dengan teman belakang teman
10 hubungan dengan sebaya yang
sebaya yang sebaya yang
teman sebaya beragam latar
beragam latar mendasari
belakangnya
belakangnya pergaulan

Sumber :

Depdiknas.2007.Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur


Pendidikan Formal.Jakarta.

Standar Kompetensi Bimbingan dan Konseling di SLTA


Diterbitkan Juni 13, 2008

Dalam Permendiknas No. 23/2006 telah dirumuskan Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
yang harus dicapai peserta didik, melalui proses pembelajaran berbagai mata pelajaran.

83
Namun, sungguh sangat disesalkan dalam Permendiknas tersebut sama sekali tidak
memuat Standar Kompetensi yang harus dicapai peserta didik melalui pelayanan
Bimbingan dan Konseling. Oleh karena itu, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia
(ABKIN) mengambil inisiatif untuk merumuskan Standar Kompetensi yang harus dicapai
oleh peserta didik, mulai tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi, dalam bentuk
naskah akademik, untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan Depdiknas dalam
menentukan kebijakan Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Indonesia.

Dalam konteks pembelajaran Standar Kompetensi ini disebut Standar Kompetensi


Lulusan (SKL), sementara dalam konteks Bimbingan dan Konseling Standar Kompetensi
ini dikenal dengan istilah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK), yang di dalamnya
mencakup sepuluh aspek perkembangan individu (SD dan SLTP) dan sebelas aspek
perkembangan individu (SLTA dan PT). Kesebelas aspek perkembangan tersebut adalah:
(1) Landasan hidup religius; (2) Landasan perilaku etis; (3) Kematangan emosi; (4)
Kematangan intelektual; (5) Kesadaran tanggung jawab sosial; (6) Kesadaran gender; (7)
Pengembangan diri; ( Perilaku kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis); (9)
Wawasan dan kesiapan karier; (10) Kematangan hubungan dengan teman sebaya; dan
(11) Kesiapan diri untuk menikah dan berkeluarga (hanya untuk SLTA dan PT). Masing-
masing aspek perkembangan memiliki tiga dimensi tujuan, yaitu: (1)
pengenalan/penyadaran (memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang aspek dan
tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai); (2) akomodasi
(memperoleh pemaknaan dan internalisasi atas aspek dan tugas perkembangan [standar
kompetensi] yang harus dikuasai) dan (3) tindakan (perilaku nyata dalam kehidupan
sehari-hari dari aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus
dikuasai).

Aspek perkembangan dan beserta dimensinya tampaknya sudah disusun sedemikian rupa
dengan mengikuti dan diselaraskan dengan prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dan tugas-tugas
perkembangan yang harus dicapai individu.

Berikut ini rumusan Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik pada Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas

STANDAR KOMPETENSI KEMANDIRIAN (SKK) PESERTA DIDIK

PADA SEKOLAH LANJUTAN TINGKAT ATAS

Tataran/Internalisasi Tujuan
No Aspek Perkembangan
Pengenalan Akomodasi Tindakan
Mengembangkan Melaksanakan ibadah atas
Mempelajari hal ihwal
1 Landasan hidup religius pemikiran tentang keyakinan sendiri disertai
ibadah
kehidupan beragama sikap toleransi
2 Landasan perilaku etis Mengenal keragaman Menghargai Keragaman Berperilaku atas dasar

84
sumber norma sebagai keputusan yang
sumber norma yang
rujukan pengambilan mempertimbangkan aspek-
berlaku di masyaraakat
keputusan aspek etis
Mengekspresikan perasaan
Mempelajari cara-cara Bersikap toleran terhadap
dalam cara-cara yang
3 Kematangan emosi menghindari konflik ragam ekspresi perasaan
bebas,terbuka dan tidak
dengan orang lain diri sendiri dan orang lain
menimbulkan konflik
Mempelajari cara-cara Menyadari akan keragaman Mengambil keputusan dan
pengambilan keputusan alternatif keputusan dan pemecahan masalah atas
4 Kematangan intelektual
dan pemecahan masalah konsekuensi yang dasar informasi/data secara
secara objektif dihadapinya obyektif
Menyadari nilai-nilai
persahabatan dan
Kesadaran tanggung Mempelajari keragaman Berinteraksi dengan orang
5 keharmonisan dalam
jawab sosial interaksi sosial lain atas dasar kesamaan
konteks keragaman
interaksi sosial
Menghargai keragaman
Mempelajari perilaku peraan laki-laki atau Berkolaborasi secara
6 Kesadaran gender kolaborasi antar jenis perempuan sebagai aset harmonis dengan lain jenis
dalam ragam kehidupan kolaborasi dan dalam keragaman peran
keharmonisan hidup
Mempelajari keunikan diri Menerima keunikan diri Menampilkan keunikan diri
7 Pengembangan diri dalam konteks kehidupan dengan segala kelebihan secara harmonis dalam
sosial dan kekurangannya keragaman
Mempelajari strategi dan
Menerima nilai-nilai hidup
peluang untuk berperilaku Menampilkan hidup hemat,
Perilaku kewirausahaan hemat,ulet sungguh-
hemat,ulet, sengguh- ulet, sungguh-sungguh dan
8 (kemandirian perilaku sungguh dan kompetitif
sungguh dan kompetitif kompetitif atas dasar
ekonomis) sebagai aset untuk
dalam keragaman kesadaran sendiri
mencapai hidup mandiri
kehidupan
Mempelajari kemampuan
diri, peluang dan ragam Mengembangkan alternatif
Internalisasi nilai-niolai
pekerjaan, pendidikan, dan perencanaan karir dengan
Wawasan dan kesiapan yang melandasi
9 aktifitas yang terfokus mempertimbangkan
karier pertimbangan pemilihan
pada pengembangan kemampuan, peluang dan
alternatif karir
alternatif karir yang lebih ragam karir
terarah
Mempelajari cara-cara Menghargai nilai-nilai Mempererat jalinan
membina dan kerjasama kerjasama dan toleransi persahabatan yang lebih
Kematangan hubungan
10 dan toleransi dalam sebagai dasar untuk akrab dengan
dengan teman sebaya
pergaulan dengan teman menjalin persahabatan memperhatikan norma yang
sebaya dengan teman sebaya berlaku
Mengharagai norma-norma Mengekspresikan
Mengenal norma-norma pernikahan dan berkeluarga keinginannya untuk
Kesiapan diri untuk
11 pernikahan dan sebagai landasan bagi mempelajari lebih intensif
menikah dan berkeluarga
berkeluarga terciptanya kehidupan tentang norma pernikahan
masyarakat yang harmonis dan berkeluarga

Sumber :

Depdiknas.2007.Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur


Pendidikan Formal.Jakarta.

Standar Kompetensi BK di Perguruan Tinggi


Diterbitkan Juni 13, 2008

Meski penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling tidak terkait langsung dengan


Permendiknas No. 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Namun Asosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) telah menyiapkan pula rumusan Standar
Kompetensi Kompetensi yang harus dicapai peserta didik melalui pelayanan Bimbingan
dan Konseling di Perguruan Tinggi

Berikut ini rumusan Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik pada Perguruan
Tinggi

85
Tataran/Internalisasi Tujuan
No Aspek Perkembangan
Pengenalan Akomodasi Tindakan
Mengembangkan Melaksanakan ibadah atas
Mempelajari hal ihwal
1 Landasan hidup religius pemikiran tentang keyakinan sendiri disertai
ibadah
kehidupan beragama sikap toleransi
Menghargai Keragaman Berperilaku atas dasar
Mengenal keragaman
sumber norma sebagai keputusan yang
2 Landasan perilaku etis sumber norma yang
rujukan pengambilan mempertimbangkan aspek-
berlaku di masyaraakat
keputusan aspek etis
Mengekspresikan perasaan
Mempelajari cara-cara Bersikap toleran terhadap
dalam cara-cara yang
3 Kematangan emosi menghindari konflik ragam ekspresi perasaan
bebas,terbuka dan tidak
dengan orang lain diri sendiri dan orang lain
menimbulkan konflik
Mempelajari cara-cara Menyadari akan keragaman Mengambil keputusan dan
pengambilan keputusan alternatif keputusan dan pemecahan masalah atas
4 Kematangan intelektual
dan pemecahan masalah konsekuensi yang dasar informasi/data secara
secara objektif dihadapinya obyektif
Menyadari nilai-nilai
persahabatan dan
Kesadaran tanggung Mempelajari keragaman Berinteraksi dengan orang
5 keharmonisan dalam
jawab sosial interaksi sosial lain atas dasar kesamaan
konteks keragaman
interaksi sosial
Menghargai keragaman
Mempelajari perilaku peraan laki-laki atau Berkolaborasi secara
6 Kesadaran gender kolaborasi antar jenis perempuan sebagai aset harmonis dengan lain jenis
dalam ragam kehidupan kolaborasi dan dalam keragaman peran
keharmonisan hidup
Mempelajari keunikan diri Menerima keunikan diri Menampilkan keunikan diri
7 Pengembangan diri dalam konteks kehidupan dengan segala kelebihan secara harmonis dalam
sosial dan kekurangannya keragaman
Mempelajari strategi dan
Menerima nilai-nilai hidup
peluang untuk berperilaku Menampilkan hidup hemat,
Perilaku kewirausahaan hemat,ulet sungguh-
hemat,ulet, sengguh- ulet, sungguh-sungguh dan
8 (kemandirian perilaku sungguh dan kompetitif
sungguh dan kompetitif kompetitif atas dasar
ekonomis) sebagai aset untuk
dalam keragaman kesadaran sendiri
mencapai hidup mandiri
kehidupan
Mempelajari kemampuan
diri, peluang dan ragam Mengembangkan alternatif
Internalisasi nilai-niolai
pekerjaan, pendidikan, dan perencanaan karir dengan
Wawasan dan kesiapan yang melandasi
9 aktifitas yang terfokus mempertimbangkan
karier pertimbangan pemilihan
pada pengembangan kemampuan, peluang dan
alternatif karir
alternatif karir yang lebih ragam karir
terarah
Mempelajari cara-cara Menghargai nilai-nilai Mempererat jalinan
membina dan kerjasama kerjasama dan toleransi persahabatan yang lebih
Kematangan hubungan
10 dan toleransi dalam sebagai dasar untuk akrab dengan
dengan teman sebaya
pergaulan dengan teman menjalin persahabatan memperhatikan norma yang
sebaya dengan teman sebaya berlaku
Mengharagai norma-norma Mengekspresikan
Mengenal norma-norma pernikahan dan berkeluarga keinginannya untuk
Kesiapan diri untuk
11 pernikahan dan sebagai landasan bagi mempelajari lebih intensif
menikah dan berkeluarga
berkeluarga terciptanya kehidupan tentang norma pernikahan
masyarakat yang harmonis dan berkeluarga

Simber:

Depdiknas.2007.Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur


Pendidikan Formal.Jakarta.

86
D. MANAJEMEN BIMBINGAN DAN KONSELING

Program Bimbingan dan Konseling


Diterbitkan Juli 8, 2008

A. Program Bimbingan dan Konseling

Program pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah disusun berdasarkan


kebutuhan peserta didik (need assessment) yang diperoleh melalui aplikasi
instrumentasi, dengan substansi program pelayanan mencakup: (1) empat bidang, (2)
jenis layanan dan kegiatan pendukung, (3) format kegiatan, sasaran pelayanan (4) , dan
(5) volume/beban tugas konselor.

Program pelayanan Bimbingan dan Konseling pada masing-masing satuan


sekolah/madrasah dikelola dengan memperhatikan keseimbangan dan kesinambungan
program antarkelas dan antarjenjang kelas, dan mensinkronisasikan program pelayanan
Bimbingan dan Konseling dengan kegiatan pembelajaran mata pelajaran dan kegiatan
ekstra kurikuler, serta mengefektifkan dan mengefisienkan penggunaan fasilitas sekolah/
madrasah.

Dilihat dari jenisnya, program Bimbingan dan Konseling terdiri 5 (lima) jenis program,
yaitu:

1. Program Tahunan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi


seluruh kegiatan selama satu tahun untuk masing-masing kelas di
sekolah/madrasah.
2. Program Semesteran, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling
meliputi seluruh kegiatan selama satu semester yang merupakan jabaran
program tahunan.
3. Program Bulanan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi
seluruh kegiatan selama satu bulan yang merupakan jabaran program
semesteran.
4. Program Mingguan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi
seluruh kegiatan selama satu minggu yang merupakan jabaran program
bulanan.

87
5. Program Harian, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling yang
dilaksanakan pada hari-hari tertentu dalam satu minggu. Program harian
merupakan jabaran dari program mingguan dalam bentuk satuan layanan
(SATLAN) dan atau satuan kegiatan pendukung (SATKUNG) Bimbingan dan
Konseling.

B. Manajemen Bimbingan dan Konseling

Secara keseluruhan manajemen Bimbingan dan Konseling mencakup tiga kegiatan


utama, yaitu : (1) perencanaan; (2) pelaksanaan, dan (3)penilaian

1. Perencanaan

Perencanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling mengacu pada program


tahunan yang telah dijabarkan ke dalam program semesteran, bulanan serta mingguan.
Perencanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling harian yang merupakan
penjabaran dari program mingguan disusun dalam bentuk SATLAN dan SATKUNG yang
masing-masing memuat:: (a) sasaran layanan/kegiatan pendukung; (b) substansi
layanan/kegiatan pendukung; (c) jenis layanan/kegiatan pendukung, serta alat bantu
yang digunakan;(d pelaksana layanan/kegiatan pendukung dan pihak-pihak yang
terlibat; dan (e) waktu dan tempat. Rencana kegiatan pelayanan Bimbingan dan
Konseling mingguan meliputi kegiatan di dalam kelas dan di luar kelas untuk masing-
masing kelas peserta didik yang menjadi tanggung jawab konselor. Satu kali kegiatan
layanan atau kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling berbobot ekuivalen 2 (dua)
jam pembelajaran. Volume keseluruhan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling
dalam satu minggu minimal ekuivalen dengan beban tugas wajib konselor di sekolah/
madrasah.

B. Pelaksanaan Kegiatan

Bersama pendidik dan personil sekolah/madrasah lainnya, konselor berpartisipasi


secara aktif dalam kegiatan pengembangan diri yang bersifat rutin, insidental dan
keteladanan.Program pelayanan Bimbingan dan Konseling yang direncanakan dalam
bentuk SATLAN dan SATKUNG dilaksanakan sesuai dengan sasaran, substansi, jenis
kegiatan, waktu, tempat, dan pihak-pihak yang terkait.

Pelaksanaan Kegiatan Pelayanan Bimbingan dan Konseling dapat dilakukan di dalam


dan di luar jam pelajaran, yang diatur oleh konselor dengan persetujuan pimpinan
sekolah/madrasah.

Pelaksanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di dalam jam pembelajaran


sekolah/madrasah dapat berbentuk: (1) kegiatan tatap muka secara klasikal; dan (2)
kegiatan non tatap muka. Kegiatan tatap muka secara klasikal dengan peserta didik
untuk menyelenggarakan layanan informasi, penempatan dan penyaluran, penguasaan
konten, kegiatan instrumentasi, serta layanan/kegiatan lain yang dapat dilakukan di

88
dalam kelas. Volume kegiatan tatap muka klasikal adalah 2 (dua) jam per kelas per
minggu dan dilaksanakan secara terjadwal. Sedangkan kegiatan non tatap muka
dengan peserta didik untuk menyelenggarakan layanan konsultasi, kegiatan konferensi
kasus, himpunan data, kunjungan rumah, pemanfaatan kepustakaan, dan alih tangan
kasus.

Kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di luar jam pembelajaran


sekolah/madrasah dapat berbentuk kegiatan tatap muka maupun non tatap muka
dengan peserta didik, untuk menyelenggarakan layanan orientasi, konseling
perorangan, bimbingan kelompok, konseling kelompok, dan mediasi, serta kegiatan
lainnya yang dapat dilaksanakan di luar kelas. Satu kali kegiatan layanan/pendukung
Bimbingan dan Konseling di luar kelas/di luar jam pembelajaran ekuivalen dengan 2
(dua) jam pembelajaran tatap muka dalam kelas. Kegiatan pelayanan Bimbingan dan
Konseling di luar jam pembelajaran sekolah/madrasah maksimum 50% dari seluruh
kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling, diketahui dan dilaporkan kepada
pimpinan sekolah/madrasah. Setiap kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling
dicatat dalam laporan pelaksanaan program (LAPELPROG)..

C. Penilaian Kegiatan

Penilaian kegiatan bimbingan dan konseling terdiri dua jenis yaitu: (1) penilaian hasil;
dan (2) penilaian proses. Penilaian hasil kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling
dilakukan melalui:

1. Penilaian segera (LAISEG), yaitu penilaian pada akhir setiap jenis layanan dan
kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling untuk mengetahui perolehan
peserta didik yang dilayani.
2. Penilaian jangka pendek (LAIJAPEN), yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu
minggu sampai dengan satu bulan) setelah satu jenis layanan dan atau kegiatan
pendukung Bimbingan dan Konseling diselenggarakan untuk mengetahui
dampak layanan/kegiatan terhadap peserta didik.
3. Penilaian jangka panjang (LAIJAPANG), yaitu penilaian dalam waktu tertentu
(satu bulan sampai dengan satu semester) setelah satu atau beberapa layanan
dan kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling diselenggarakan untuk
mengetahui lebih jauh dampak layanan dan atau kegiatan pendukung Bimbingan
dan Konseling terhadap peserta didik.

Sedangkan penilaian proses dilakukan melalui analisis terhadap keterlibatan unsur-


unsur sebagaimana tercantum di dalam SATLAN dan SATKUNG, untuk mengetahui
efektifitas dan efesiensi pelaksanaan kegiatan.

Hasil penilaian kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dicantumkan dalam


LAPELPROG Hasil kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling secara keseluruhan
dalam satu semester untuk setiap peserta didik dilaporkan secara kualitatif.

89
Posisi Pengembangan Diri dalam Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Maret 14, 2008

Pengembangan diri sebagaimana dimaksud dalam KTSP merupakan wilayah


komplementer antara guru dan konselor. Penjelasan tentang pengembangan diri yang
tertulis dalam struktur kurikulum dijelaskan bahwa :

Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru.
Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada konseli untuk
mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat
setiap konseli sesuai dengan kondisi Sekolah/Madrasah. Kegiatan pengembangan diri
difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat
dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan
melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan
kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir konseli.

Dari penjelasan yang disebutkan itu ada beberapa hal yang perlu memperoleh
penegasan dan reposisi terkait dengan pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur
pendidikan formal, sehingga dapat menghindari kerancuan konteks tugas dan
ekspektasi kinerja konselor.

1. Pengembangan diri bukan sebagai mata pelajaran, mengandung arti bahwa


bentuk, rancangan, dan metode pengembangan diri tidak dilaksanakan sebagai
sebuah adegan mengajar seperti layaknya pembelajaran bidang studi. Namun,
manakala masuk ke dalam pelayanan pengembangan minat dan bakat tak dapat
dihindari akan terkait dengan substansi bidang studi dan/atau bahan ajar yang
relevan dengan bakat dan minat konseli dan disitu adegan pembelajaran akan
terjadi. Ini berarti bahwa pelayanan pengembangan diri tidak semata-mata tugas
konselor, dan tidak semata-mata sebagai wilayah bimbingan dan konseling.
2. Pelayanan pengembangan diri dalam bentuk ekstra kurikuler mengandung arti
bahwa di dalamnya akan terjadi diversifikasi program berbasis minat dan bakat
yang memerlukan pelayanan pembina khusus sesuai dengan keahliannya.
Inipun berarti bahwa pelayanan pengem-bangan diri tidak semata-mata tugas
konselor, dan tidak semata-mata sebagai wilayah bimbingan dan konseling.
3. Kedua hal di atas menunjukkan bahwa pengembangan diri bukan substitusi atau
pengganti pelayanan bimbingan dan konseling, melainkan di dalamnya
mengandung sebagian saja dari pelayanan (dasar, responsif, perencanaan
individual) bimbingan dan konseling yang harus diperankan oleh konselor
(periksa gambar 2).

Telaahan di atas menegaskan bahwa bimbingan dan konseling tetap sebagai bagian
yang terintegrasi dari sistem pendidikan (khususnya jalur pendidikan formal). Pelayanan
pengembangan diri yang terkandung dalam KTSP merupakan bagian dari kurikulum.
Sebagian dari pengembangan diri dilaksanakan melalui pelayanan bimbingan dan
konseling. Dengan demikian pengembangan diri hanya merupakan sebgian dari
aktivitas pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan. Jika dilakukan
telaahan anatomis terhadap posisi bimbingan dan konseling pada jalur pendidikan
formal dapat terlukiskan sebagai berikut (lihat gambar 1).

90
Gambar 1.
Posisi Bimbingan dan Konseling dan Kurikulum (KTSP)
dalam Jalur Pendidikan Formal

Dapat ditegaskan di sini bahwa KTSP adalah salah satu subsistem pendidikan formal
yang harus bersinergi dengan komponen/subsitem lain yaitu manajemen dan bimbingan
dan konseling dalam upaya memfasilitasi konseli mencapai perkembangan optimum
yang diwujudkan dalam ukuran pencapaian standar kompetensi. Dengan demikian
pengembangan diri tidak menggantikan fungsi bimbingan dan konseling melainkan
sebagai wilayah komplementer dimana guru dan konselor memberikan kontribusi dalam
pengembangan diri konseli.

DAFTAR RUJUKAN

AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor.


http://aace.ncat.edu
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional
Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor
Indonesia. Bandung: ABKIN
Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK:
Cambridge University Press.
BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan
Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta:
BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.
Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New
Jersey, Merrill Prentice Hall
Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan
Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan
Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor
Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA:
AACD.

91
Browers, Judy L. & Hatch, Patricia A. (2002). The National Model for School Counseling
Programs. ASCA (American School Counselor Association).
Comm, J.Nancy. (1992). Adolescence. California : Myfield Publishing Company.
Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.
Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan,
Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,
Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The
Educational Resources Information Center.

Gibson R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. New York :
MacMillan Publishing Company.

Havighurts, R.J. (1953). Development Taks and Education. New York: David Mckay.

Herr Edwin L. (1979). Guidance and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.

Hurlock, Alizabeth B. (1956). Child Development. New York : McGraw Hill Book
Company Inc.

Ketetapan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor


01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan
pelayanan professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal
berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.

Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 23 tentang Standar
Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Michigan School Counselor Association. (2005). The Michigan Comprehensive
Guidance and Counseling Program.
Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary
and Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan
Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas
Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan
Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan
Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI,
LIPI.
Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah.
Bandung : CV Bani Qureys.
——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda
Karya.
——–.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT.
Remaja Rosda Karya.
Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

92
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen
Wagner William G. (1996). “Optimal Development in Adolescence : What Is It and How
Can It be Encouraged”? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.
Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.

*)) Materi di atas merupakan salah satu bagian dari makalah yang disajikan oleh Dr. Uman Suherman,
M.Pd. pada acara seminar sehari Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan oleh Universitas
Kuningan bekerja sama dengan ABKIN Cabang Kabupaten Kuningan pada tanggal 11 Maret 2008
bertempat di Aula Student Center UNIKU.

BK dan MPMBS
Diterbitkan Februari 10, 2008
Oleh : Drs. Akhmad Sudrajat, M.Pd.

Salah satu issue penting tentang pendidikan saat ini berkenaan berkenaan dengan
penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Dalam hal ini,
tentunya konselor seyogyanya dapat memahami dan menangkap implikasinya bagi
penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Oleh karena itu, tulisan ini, akan dipaparkan
secara ringkas dan sederhana tentang Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS) dan Implikasinya terhadap Layanan Bimbingan dan Konseling

Bahwa berangkat dari realita rendahnya kualitas pendidikan yang hampir terjadi di
setiap jenjang dan satuan pendidikan, pemerintah melalui Departemen Pendidikan
Nasional telah menggulirkan kebijakan pola manajemen pendidikan baru yang di
dalamnya memuat kewenangan yang luas kepada sekolah untuk mengatur dan
mengendalikan sekolah, dengan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang
melibatkan langsung semua warga sekolah. Pola manajemen baru ini dikenal dengan
istilah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah atau disingkat MPMBS.

Sesungguhnya, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ini memiliki


ruang lingkup bahasan yang amat luas, baik dilihat dari segi konsep maupun
implementasinya, sehingga tidak mungkin untuk dapat dipaparkan secara menyeluruh
melalui tulisan ini. Oleh karena itu, dalam tulisan ini hanya akan dibicarakan hal-hal yang
berkenaan dengan penyelenggaraan layanan bimbingan konseling di sekolah,
diantaranya akan dikemukakan tentang : (1) Pemberdayaan dan Profesionalisme
Konselor; (2) Akuntabilitas Kinerja Konselor; dan (3) Konselor Sebagai Agen Informasi

93
1. Pemberdayaan dan Profesionalisme Konselor

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ditandai dengan adanya


perubahan manajemen dari pendekatan sentralistik-birokratik menuju desentralistik-
profesional. Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam pendekatan sentralistik-birokratik,
konselor dalam melaksanakan tugasnya sudah ditentukan dan dipolakan sedemikian
rupa oleh pusat, melalui berbagai bentuk aturan, ketentuan, petunjuk pelaksanaan,
petunjuk teknis dan sebagainya. Akibatnya, ruang gerak konselor menjadi terbatasi,
sehingga pada akhirnya konselor menjadi kurang terbiasa dengan budaya kreatif dan
inovatif.

Aturan dan ketentuan yang kaku dan ketat telah menggiring dan memposisikan konselor
pada iklim kerja yang tidak lagi didasari oleh sikap profesinal, namun justru lebih banyak
sekedar menjalankan kewajiban rutin semata. Maka, muncullah berbagai sikap yang
kurang menguntungkan, seperti : malas, masa bodoh dan tidak peduli terhadap prestasi
kerja.

Dengan hadirnya Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), yang


mengedepankan pendekatan desentralistik-profesional, maka ruang gerak konselor
menjadi leluasa. Proses kreatif dan inovatif justru menjadi lebih utama. Konselor
didorong untuk memiliki keberanian dan membiasakan diri untuk menemukan cara-cara
baru yang lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan berbagai kegiatan pelayanan
bimbingan dan konseling. Dengan kata lain, memasuki alam Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), konselor dituntut bekerja secara profesional.

Dari sini, timbul pertanyaan hal-hal apa yang perlu disiapkan untuk menuju ke arah
profesionalisme itu ? Dalam hal ini, tentu saja konselor seyogyanya dapat berusaha
mengembangkan secara terus menerus kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang
dimilikinya, yang justru merupakan prasyarat untuk menjadi seorang profesional.

Konselor seyogyanya tidak merasa cepat berpuas diri dengan kapasitas pengetahuan
dan keterampilan yang saat ini dimilikinya, namun justru harus senantiasa berusaha
untuk memutakhirkan pengetahuan dan keterampilannya. Bagaimanapun, dalam era
informasi sekarang ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bimbingan
konseling dari waktu ke waktu berkembang secara sangat pesat. Sehingga seorang
konselor dituntut untuk terus dapat mengantisipasi arah perkembangan yang terjadi,
agar tidak menjadi terpuruk secara profesional.

Upaya peningkatan kapasitas pengetahuan dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, bisa saja dilakukan
melalui berbagai bacaan atau buku yang berhubungan dengan dunia bimbingan dan
konseling, atau bahkan bila perlu dilakukan dengan cara melalui penjelajahan situs-situs

94
dalam internet, yang memang banyak menyediakan berbagai informasi terkini, termasuk
yang berhubungan dengan bimbingan dan konseling.

Sedangkan secara langsung, bisa dilakukan dengan cara melibatkan diri dalam
berbagai aktivitas forum keilmuan, seperti : seminar, penataran dan pelatihan, atau
mengikuti kegiatan MGP seperti sekarang ini. Bahkan, akan lebih baik jika timbul
kemauan untuk berusaha menuntut ilmu melalui jenjang pendidikan formal.

Kita maklumi bahwa saat ini latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh konselor masih
beragam, baik dilihat dari program studi/jurusan maupun jenjangnya. Bagi konselor yang
berlatar belakang pendidikan program studi bimbingan, barangkali tidak ada salahnya
untuk berusaha menempuh pendidikan lanjutan pada jenjang yang lebih tinggi.
Sementara, bagi kawan-kawan konselor yang kebetulan bukan berlatar belakang
pendidikan bimbingan, dalam rangka memantapkan diri sebagai konselor, tidak ada
salahnya pula untuk mencoba terjun menekuni dunia akademis dalam bimbingan dan
konseling. Sehingga pada gilirannya, dalam melaksanakan berbagai tugas bimbingan,
konselor benar-benar telah ditopang oleh fundasi keilmuan yang mantap dan memadai.

Sedangkan untuk meningkatkan keterampilan berbagai teknik bimbingan, salah satu


cara yang dipandang cukup efektif adalah dengan berusaha secara terus menerus dan
seringkali mempraktekkan berbagai teknik yang ada. Misalkan, untuk menguasai teknik-
teknik konseling, tentunya konselor harus mempraktekkan sendiri secara langsung, dan
setiap setelah selesai mempraktekkan, diikuti dengan evaluasi terhadap apa yang telah
dilakukan. Kemudian, membandingkannya dengan keharusan-keharusan berdasarkan
teori yang ada, sehingga akan bisa diketahui kelemahan dan keunggulan dari praktek
yang telah dilakukan. Memasuki tahap praktek konseling berikutnya tentunya sudah
disertai usaha perbaikan, dengan bercermin dari kekurangan- kekurangan pada praktek
konseling sebelumnya.

Hal ini secara terus menerus dilakukan dari satu praktek konseling ke praktek konseling
berikutnya, dan sebaiknya disertai pula dengan pencatatan terhadap apa-apa yang telah
dilakukan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan refleksi sekaligus sebagai bukti fisik
dari usaha ilmiah. Berbekal kesabaran dan ketekunan, usaha ini niscaya pada akhirnya
akan dapat mengantarkan sampai pada taraf yang dikehendaki. Walaupun demikian
perlu dicatat, bahwa keleluasaan dalam menjalankan tugas ini tidak diartikan segala
sesuatunya menjadi serba boleh, hal-hal yang menyangkut prinsip dan etika profesi
bimbingan tetap harus dijaga dan dipelihara, sejalan dengan tuntutan profesionalisme.

2. Akuntabilitas Kerja Konselor

Pada masa sebelum diberlakukan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah


(MPMBS), akuntabilitas kerja konselor memang tidak jelas. Sekalipun ada, barangkali
hanya sebatas di hadapan kepala sekolah ataupun pengawas sebagai petugas yang

95
mewakili pihak pemerintah. Namun pada kenyataannya, seringkali kepala sekolah atau
pengawas mengambil sikap permisif atas hasil kerja yang ditunjukkan konselor, padahal
hasil kerja yang ditunjukkan sama sekali tidak bermutu. Akuntabilitas semacam ini
tentunya tidak memberikan kontribusi bagi peningkatan kinerja dan produktivitas
konselor.

Memasuki alam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), dengan


sendirinya akuntabilitas konselor semakin luas, tidak hanya dihadapan kepala sekolah
ataupun pengawas, namun mencakup seluruh pemegang saham (stake holder) dalam
bidang pendidikan, terutama masyarakat dan orang tua siswa.

Bagaimanapun masyarakat, khususnya orang tua siswa telah rela berkorban


mengeluarkan sejumlah dana untuk kepentingan pendidikan anaknya. Jadi wajar sekali,
kalau saja mereka menuntut pertanggungjawaban kepada sekolah dan kepada konselor
khususnya atas hasil-hasil kerja yang telah dilakukan, demi keberhasilan dan kemajuan
peserta didik. Artinya, jumlah dana yang dikeluarkan oleh orangtua/masyarakat
seyogyanya dapat sebanding dengan hasil yang dicapai, dalam bentuk kemajuan dan
keberhasilan pendidikan anaknya di sekolah.

Dengan adanya akuntabilitas ini, jelas konselor dituntut untuk lebih meningkatkan mutu
kinerja dan tingkat produktivitas dalam memberikan layanan bantuan terhadap para
siswa. Jika hal ini tidak terpenuhi maka konselor harus bersiap-siap untuk menerima
berbagai complain dari masyarakat yang mungkin tidak mengenakkan.

Apalagi dengan kehadiran Komite Sekolah yang dianggap sebagai lembaga yang
mewakili kepentingan masyarakat, maka masyarakat akan jauh lebih terbuka dan
leluasa untuk menyampaikan berbagai ketidakpuasan atas hasil-hasil kerja yang telah
dicapai oleh konselor. Tentu saja, kita tidak menghendaki hal-hal seperti itu. Tak ada
cara lain untuk mengantisipasinya, kecuali dengan menunjukkan bukti-bukti nyata atas
segala hasil kerja kita. Manakala kita telah berhasil membuktikan hasil-hasil kerja yang
menggembirakan dan memberi kepuasan kepada masyarakat, bersamaan itu pula akan
tumbuh kepercayaan terhadap sekolah, khususnya kepada bimbingan dan konseling.
Dan pada gilirannya, tidak akan ada keraguan lagi dari masyarakat untuk memberikan
dukungan penuh terhadap sekolah, khususnya kepada bimbingan dan konseling untuk
terus melaksanakan kiprahnya. Dalam hal ini, berapa besar dana yang harus
dikeluarkan tidak lagi menjadi persoalan besar, yang penting prestasi anak benar-benar
dapat terwujudkan dengan baik, baik dalam akademik maupun non-akademik

3. Konselor Sebagai Agen Informasi

Penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ditandai dengan


adanya kewenangan sekolah dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, konselor

96
seyogyanya dapat berusaha melibatkan diri dalam berbagai proses pengambilan
keputusan.

Karena, bagaimanapun konselor bisa dianggap sebagai “orang yang paling banyak
tahu” tentang keadaan siswanya secara personal. Dengan kata lain, konselor dianggap
sebagai orang yang memiliki informasi atau data tentang siswa yang lebih lengkap dan
memadai. Informasi atau data tentang siswa ini ini sangat berguna dan dapat dijadikan
dasar untuk berbagai pengambilan keputusan sekolah yang berkenaan dengan siswa.
Oleh sebab itu, informasi harus diadministrasikan sedemikian rupa dan siap saji (ready
for use), kapan saja diperlukan. Bahkan bila perlu, pengadminstrasian informasi ini
dilakukan secara computerize, karena saat ini telah dikembangkan berbagai software,
yang berhubungan dengan data siswa, seperti Program DataSis dan Program Alat
Ungkap Masalah (AUM) yang dikembangkan Prof. Dr. Prayitno. Atau secara kreatif,
konselor dapat menciptakan berbagai software tentang bimbingan dan konseling sesuai
dengan kebutuhan kerja, yang sekiranya dapat membantu mempermudah
pengadministrasian dan penyajian data. Dengan sendirinya, dalam hal ini konselor
dituntut untuk memahami dan menguasai teknologi komputer.

Hal yang perlu dicermati, bahwa dalam mengkomunikasikan informasi tentang siswa
kepada pihak-pihak terkait, seperti kepala sekolah, dewan sekolah atau siapa pun,
konselor harus dapat memilah dan memilih jenis informasi apa saja yang boleh dan
tidak tidak boleh untuk disampaikan. Tentu saja, informasi-informasi yang berkenaan
dengan “ prinsip kerahasiaan klien “ harus tetap dijaga sebaik mungkin.

Dalam mengkomunikasikan informasi-informasi tentang siswa, yang berkaitan dengan


proses pengambilan keputusan, khususnya dalam forum Komite Sekolah, konselor
hendaknya dapat menyampaikan pandangan-pandangannya secara tegas, yang
berpihak pada kepentingan siswa itu sendiri. Walau pun mungkin akan didapatkan
berbagai benturan sosial di dalamnya, karena pemahaman dan persepsi anggota
Komite Sekolah tentang bimbingan dan konseling akan sangat beragam bahkan
mungkin sangat kurang.

Satu hal lagi bahwa dalam penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS), upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan bimbingan ini konselor
hendaknya memperhatikan pengembangan kerja sama, koordinasi dan sinergis kerja
dengan berbagai komponen pendidikan lainnya. Karena dalam penerapan Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), keberhasilan pendidikan di sekolah tidak
lagi didasarkan pada individual yang cerdas, akan tetapi sangat mengutamakan pada
team work yang cerdas dan kompak. Untuk itulah, konselor sedapat mungkin harus
menjadi bagian utama dari team work tersebut.

Demikianlah, uraian sederhana yang dapat saya sampaikan dan semoga bermanfaat
adanya, khususnya bagi kemajuan dan peningkatan mutu layanan konseling di sekolah.

97
Sumber bacaan :

Dedi Suriyadi, Prof. Dr., (2001), Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Implikasinya
Terhadap Peningkatan Mutu Konselor, Makalah , Jurusan PPB-FIP UPI
Bandung-ABKIN Pengda Jawa Barat : Bandung.

Departemen Pendidikan Nasional (2001) Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis


Sekolah, Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan, Departemen Pendidikan Nasional,
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama : Jakarta

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,(1994), Kurikulum Sekolah Menengah Umum


(SMU), Petunjuk Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdikbud
Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah

Prayitno dan Erman Anti, (1995), Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta :
P2LPTK Depdikbud

Seri Pemandu Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah,(1995), Pelayanan


Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum (SMU) Buku IV, Jakarta :
IPBI

Tim Instruktur Bimbingan dan Konseling Kanwil Propinsi Jawa Barat , (1997), Materi
Sajian Penataran Konselor SMU Propinsi Jawa Barat Tahun 1997, Dekdikbud
Kanwil Propinsi Jawa Barat : Bandung

Winkel, W.S. (1991), Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta :


Gramedia

Evaluasi Program Bimbingan dan Konseling Komprehensif


Diterbitkan Februari 17, 2008

Bagaimana mengevaluasi program Bimbingan dan Konseling Komprehensif? Norman C.


Gysbers and Patricia Henderson dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Comprehensive
Guidance and Counseling Program Evaluation: Program + Personnel = Results”
mengetengahkan tentang tiga jenis evaluasi kaitannya dengan penyelenggaraan
Bimbingan dan Konseling Komprehensif. Ketiga jenis evaluasi tersebut adalah : (1)
evaluasi personil; (2) evaluasi program; dan (3) evaluasi hasil.

Sementara itu, Victoria Merrill dari University of Phoenix Washington mengetengahkan


tentang perubahan peran konselor terkait dengan keberagaman masyarakat atau
multikultural. Konselor harus memiliki pengetahuan tentang perbedaan kultural yang
individu (konseli) yang dilayaninya.

Jika Anda ingin mengetahui lebih lanjut silahkan klik tautan di bawah ini. Tulisan
disajikan dalam Bahasa Inggris, yang penulis peroleh dari hasil searching di internet.

1. Comprehensive Guidance and Counseling Program Evaluation

2. Counselors Role in a Changing

98
Pergeseran Pola Manajemen dan Proses Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Februari 27, 2008

Pola Lama Pola Baru


Manajemen Bimbingan dan Konseling
Menitikberatkan pada siswa yang Melayani seluruh siswa (guidance for all)
beresiko/bermasalah
Dilaksanakan karena adanya Dilaksanakan berdasarkan kurikulum
krisis/masalah
Pendekatan panggilan (on call) Terjadwal (kalender)
Disampaikan dan dilaksanakan hanya Kolaboratif antara konselor, guru, orang
oleh konselor tua dan masyarakat
Dimiliki hanya oleh staf konseling Didukung dan dimiliki oleh seluruh
(konselor) komunitas
Mengukur jumlah usaha yang Mengukur dampak yang dikaitkan dengan
dilakukan tujuan
Berurusan dengan proses melaksanakan Berurusan dengan pencapain tujuan,
pekerjaan sasaran dan hasil
Memfokuskan pada tujuan dan yang Memfokuskan pada pencapaian
dianggap baik (accomplisment)
Bekerja untuk memelihara sistem yang Responsif dan beradaptasi dengan
ada perubahan
Membicarakan tentang bagaimana Membicarakan tentang efektivitas kerja
bekerja keras
Proses Konseling
Bersifat klinis Bersifat pedagogis
Melihat kelemahan klien Melihat potensi klien (siswa)
Berorientasi pemecahan masalah klien Berorientasi pengembangan potensi positif
(siswa) klien (siswa)
Konselor serius Menggembirakan klien (siswa)
Dialog menekan perasaan klien dan Dialog konselor menyentuh klien (siswa),
klien (siswa) sering tertutup klien (siswa) terbuka
Klien sebagai obyek Klien (siswa) sebagai subyek
Konselor dominan dan bertindak Konselor hanya membantu dan memberi
sebagai problem solver alternatif-alternatif

Sumber :

Gary L. Spear (tt) Comprehensive School Counseling on line


http://www.dpi.wisconsin.gov/sspw/counsl1.html
Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta.

Rubrik Sertifikasi Guru BK


Diterbitkan Februari 6, 2008

99
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, guru Bimbingan dan Konseling (Konselor)
memiliki karakteristik yang berbeda dengan guru pengampu mata pelajaran. Guru
Bimbingan dan Konseling lebih mengedepankan dan menitikberatkan pada pendekatan
interpersonal serta sarat dengan nilai, sedangkan guru mata pelajaran lebih
mengutamakan pada pendekatan instruksional dan terikat dengan bahan ajar dari mata
pelajaran yang diampunya. Kendati demikian, keduanya tetap memiliki tujuan yang sama
yaitu terwujudnya perkembangan pribadi peserta didik secara optimal.Terkait dengan
penilaian portopolio dalam rangka sertifikasi, yang membedakan antara guru pengampu
mata pelajaran dengan guru bimbingan dan konseling terletak pada komponen
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan.

Bukti fisik penilaian dalam merencanakan kegiatan bimbingan dan konseling, berbentuk :

1. Mengumpulkan 5 buah Program Pelayanan Bimbingan dan Konseling (PPBK)


yang berbeda, dengan aspek-aspek penilaian meliputi : (a) perumusan tujuan
pelayanan; (b) pemilihan dan pengorganisasian materi pelayanan; (c) pemilihan
instrumen/media; (d) strategi pelayanan; dan(e) rencana evaluasi dan tindak
lanjut.
2. Mengumpulkan Program Semesteran dan Program Tahunan, dengan aspek-aspek
penilaian meliputi : (a) program semesteran Bimbingan dan konseling dan (b)
program tahunan Bimbingan dan konseling

Sedangkan bukti fisik penilaian dalam pelaksanaan pelayanan berbentuk Laporan


Pelaksanaan Program Pelayanan Bimbingan dan Konseling (PPBK) , dengan aspek-
aspek penilaian meliputi :
1. Agenda kerja guru bimbingan dan konseling (konselor)
2. Daftar konseli
3. Data kebutuhan dan permasalahan konseli
4. Laporan bulanan
5. Laporan semesteran/tahunan
6. Aktivitas pelayanan Bimbingan dan Konseling :

• Pemahaman : (antara lain : sosiometri, kunjungan rumah, catatan anekdot,


konferensi kasus)
• Pelayanan langsung : (antara lain : konseling individual, konseling kelompok,
konsultasi, bimbingan kelompok, bimbingan klasikal, referal)
• Pelayanan tidak langsung : (antara lain : papan bimbingan, kotak masalah,
bibliokonseling, audio visual, audio, media cetak : liflet, buku saku)

7. Laporan hasil evaluasi program, proses, produk bimbingan dan konseling serta tindak
lanjutnya.

Implikasi dari adanya ketentuan penilaian di atas, maka guru bimbingan dan konseling
(konselor) mutlak harus mampu merencanakan kegiatan pelayanan secara tertulis , yang
didalamnya mengandung aspek-aspek yang menjadi bahan penilaian serta dapat
mendokumentasikan secara baik dan tertib. Dalam hal ini, perencanaan layanan dengan
gaya goal in mind tampaknya menjadi tidak relevan lagi.

Begitu juga dalam pelaksanaan layanan, guru bimbingan dan konseling dituntut untuk
melakukan kegiatan pencatatan atas segala aktivitas yang dilakukannya dan
melaporkannya kepada pihak yang kompeten, khususnya kepada kepala sekolah selaku
atasan langsung.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang aspek-aspek yang dinilai dari guru Bimbingan dan
Konseling (konselor) dalam rangka sertifikasi, Anda bisa meng-klik dalam tautan di
bawah ini.

Rubrik Penilaian Portofolio Guru Bimbingan dan Konseling (Konselor)

100
Keunikan dan Keterkaitan Pelayanan Guru dan Konselor
Diterbitkan Februari 3, 2008

Tugas-tugas pendidik untuk mengembangkan peserta didik secara utuh dan optimal
sesungguhnya merupakan tugas bersama yang harus dilaksnakan oleh guru, konselor, dan
tenaga pendidik lainnya sebagai mitra kerja. Sementara itu, masing-masing pihak tetap
memiliki wilayah pelayanan khusus dalam mendukung realisasi diri dan pencapaian
kompetensi peserta didik. Dalam hubungan fungsional kemitraan antara konselor dengan
guru, antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan rujukan (referal)

Masalah-masalah perkembangan peserta didik yang dihadapi guru pada saat


pembelajaran dirujuk kepada konselor untuk penanganannya. Demikian pula, masalah-
masalah peserta didik yang ditangani konselor terkait dengan proses pembelajaran bidang
studi dirujuk kepada guru untuk menindaklanjutinya.

Masalah kesulitan belajar peserta didik sesungguhnya akan lebih banyak bersumber dari
proses pembelajaran itu sendiri. Hal ini berarti dalam pengembangan dan proses
pembelajaran fungsi-fungsi bimbingan dan konseling perlu mendapat perhatian guru.
Sebaliknya, fungsi-fungsi pembelajaran bidang studi perlu mendapat perhatian konselor.

Selengkapnya, keunikan dan keterkaitan pelayanan pembelajaran oleh guru dan


pelayanan bimbingan dan konseling oleh konselor dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Dimensi Guru Konselor


1. Wilayah Gerak Khususnya Sistem Khususnya Sistem
Pendidikan Formal Pendidikan Formal
2. Tujuan Umum Pencapaian Tujuan Pencapaian Tujuan
Pendidikan Nasional Pendidikan Nasional
3. Konteks Tugas Pembelajaran yang Pelayanan yang
mendidik melalui mata memandirikan dengan
pelajaran dengan skenario skenario konseli-konselor
guru-murid
Fokus Kegiatan Pengembangan kemampuan Pengembangan potensi diri
penguasaan bidang studi bidang pribadi, sosial,
dan masalah-masalahnya belajar, karier, dan masalah-
masalahnya
Hubungan Kerja Alih tangan (referal) Alih tangan (referal)
4. Target Intervensi
Individual Minim Utama
Kelompok Pilihan Strategis Pilihan Strategis
Klasikal Utama Minim
5. Ekspektasi Kinerja
Ukuran Keberhasilan Pencapaian Standar Kemandirian dalam
Kompetensi Lulusan kehidupan

Lebih Bersifat Kuantitaif Lebih bersifat kualitatif


yang unsur-unsurnya saling
terkait
Pendekatan Umum Pemanfaatan Instructional Pengenalan diri dan
Effects & Nurturant Effects lingkungan oleh konseli

101
melalui pembelajaran yang dalam rangka pengentasan
mendidik masalah pribadi, sosial,
belajar dan karier. Skenario
tindakan merupakan hasil
transaksi yang merupakan
keputusan konseli
Perencanaan tindak Kebutuhan belajar Kebutuhan pengembangan
intervensi ditetapkan terlebih dahulu diri ditetapkan dalam proses
untuk ditawarkan kepada transaksional oleh konseli,
peserta didik difasilitasi oleh konselor
Pelaksanaan tindak Penyesuaian proses Penyesuaian proses
intervensi berdasarkan respons berdasarkan respons
ideosinkretik peserta didik ideosinkretik konseli dalam
yang lebih terstruktur transaksi makna yang lebih
lentur dan terbuka

Sumber : Dirjen PMPTK, 2007. Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan


Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal (Naskah Akdemik). Jakarta

F. OPINI TENTANG BIMBINGAN DAN


KONSELING

Guru BK tak Perlu Beri Solusi


Diterbitkan Februari 17, 2008

Guru bimbingan dan konseling (BK) harus mampu membantu siswa memecahkan
masalahnya sendiri. Guru BK tidak perlu memberikan solusi atas masalah para siswa tapi
menjadi pendengar yang baik dan memberikan arahan-arahan.

Prof. Dr. H. Sofyan S. Willis, M.Pd., mengatakan hal itu kepada ”PR” di sela-sela
lokakarya “Konselor Sekolah” di SMAN 5 Bandung, Jl. Belitung, Menurut dia, solusi
yang diberikan guru malah belum tentu menjadi yang terbaik untuk para siswa. “Tidak
ada yang dipecahkan pembimbing. Siswa harus memecahkannya sendiri atas bantuan
guru,” ujarnya.

Staf pengajar pada program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Pendidikan
Indonesia itu mengatakan, guru BK bisa saja memberikan usulan tapi tidak dalam bentuk
nasihat. “Alternatif bisa diusulkan guru, tapi siswa tetap yang harus memikirkan. Yang
baik, alternatif juga dari dia (siswa-red),” ungkapnya.

Selain terlalu sering memberikan nasihat, katanya, ada beberapa hambatan lain yang
membuat guru BK tidak berfungsi dengan baik di sekolah. Terutama, citra yang telanjur
melekat pada guru BK sebagai polisi sekolah.

Menurut dia, kantor BK di sekolah bahkan telah dianggap sebagai tempat pesakitan.
Padahal, guru BK harus memberikan konseling kepada seluruh siswa, bukan yang

102
memiliki masalah saja. Karenanya, hubungan konseling harus dijaga supaya selalu baik
sehingga siswa bisa percaya pada guru BK secara personal.

Hambatan lain adalah banyaknya guru BK yang tidak mampu mengelompokkan masalah
yang diungkapkan siswa. Saat melakukan konseling, siswa sering berbicara banyak hal
sehingga guru tidak cepat menangkap pokok masalahnya. Karenanya, konseling harus
berlangsung secara berkesinambungan.

Supaya konseling cukup efektif, jumlah guru BK di setiap sekolah harus memadai.
Menurut Sofyan, satu guru BK sebanding dengan 150 siswa.

Berkaitan dengan peran sekolah, ia mengungkapkan, semua guru — terutama guru BK —


harus melakukan pendekatan secara bijak dan personal kepada siswa. Guru pun harus
mampu mengajar sambil membimbing para siswa.

Sumber :

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/042006/07/0702.htm

Layanan Bimbingan dan Konseling Sarat Nilai


Diterbitkan Februari 7, 2008

Layanan Bimbingan dan Konseling Sarat Nilai

Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, Ketua Umum Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia (ABKIN), menulis sebuah artikel yang dimuat dalam harian Pikiran
Rakyat, 6 September 2006, hal. 20 dengan judul tulisan “Layanan Bimbingan dan
Konseling Sarat Nilai”. Isi tulisan kiranya dapat disarikan sebagai berikut :

Bahwa tugas seorang konselor adalah menyelenggarakan layanan kemanusiaan pada


kawasan layanan yang bertujuan memandirikan individu dalam menavigasi perjalanan
hidupnya melalui pengembilan keputusan tentang pendidikan, pilihan dan pemeliharaan
karier untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi
warga masyarakat yang peduli kemaslahatan umum.melalui pendidikan. Makna melalui
pendidikan mengandung penekanan keharusan sinergi antara guru dan konselor.

Seorang konselor sebagai pengampu layanan bimbingan dan konseling selalu digerakkan
oleh motif altruistik, menggunakan penyikapan yang empatik, menghormati keragaman
serta mengedepankan kemaslahatan pengguna layanannya, dilakukan dengan selalu
mencermati kemungkinan dampak jangka panjang dari tindakan layanannya itu terhadap
pengguna layanan, dan selalu menyadari batas kemampuan dan kewenangan yang
dimilikinya sebagai seorang profesional. Pekerjaan bimbingan dan konseling adalah
pekerjaan berbasis nilai, layanan etis normatif, dan bukan layanan bebas nilai. Seorang
konselor perlu memahami betul hakekat manusia dan perkembangannya sebagai makhluk
sadar nilai dan perkembangannya ke arah normatif-etis. Seorang konselor harus
memahami perkembangan nilai, namun seorang konselot tidak boleh memaksakan nilai
yang dianutnya kepada konseli (peserta didik yang dilayani), dan tidak boleh
meneladankan diri untuk ditiru konselinya, melainkan memfasilitasi konseli untuk
menemukan makna nilai kehidupannya.

Dengan karakteristik keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerjanya, seorang konselor
dipersyaratkan memiliki kompetensi : (1) memahami secara mendalam konseli yang
dilayani; (2) menguasai landasan dan kerangka teoritik bimbingan dan konseling; (3)
menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan; (4)

103
mengembangkan profesionalitas profesi secara berkelanjutan, (5) yang dilandasi sikap,
nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung.

Berkenann dengan komponen Pengembangan Diri dalam KTSP, Sunaryo mengingatkan


untuk tidak menyeret layanan bimbingan dan konseling ke arah pembelajaran seperti
bidang studi. Menurutnya, bahwa Pengembangan Diri dalam KTSP merupakan wilayah
kerja semua pendidik di sekolah dan bukan hanya wilayah kerja konselor. Misalnya,
pengembangan bakat dan minat peserta didik lebih banyak merupakan tugas guru bidang
studi karena akan menyangkut substansi yang terkait dengan bakat anak. Konselor akan
berperan membantu peserta didik untuk memahami bakat dan minat yang ada pada
dirinya., misalnya melalui asesmen psikologis, dan memilih alternatif pengembangan
yang paling mungkin bagi dirinya, baik terkait dengan pendidikan maupun karier.
Selebihnya adalah tugas guru untuk membantu peserta didik mengembangkan bakatnya,
baik melalui kegiatan intra maupun ekstra kurikuler. Tidak mungkin seorang konselor
mengajarkan subtansi yang yang terkait dengan pengembangan bakat dan minat peserta
didik.

Layanan bimbingan dan konseling di sekolah tidak bisa digantikan dengan komponen
pengembangan diri, melainkan tetap sebagai sebuah layanan utuh yang berorientasi
kepada upaya memfasilitasi kemandirian peserta didik.

Jika acuan guru bidang studi adalah pencapaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL),
acuan konselor adalah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK) yang basisnya adalah
tugas-tugas perkembangan yang harus dikuasai peserta didik dalam perkembangan moral,
akademik, pribadi-sosial, dan karier. SKK ini sesungguhnya yang harus dirumuskan oleh
konselor dan setiap satuan pendidikan sebagai dasar pengembangan program layanan
bimbingan dan konseling.

Pengembangan program layanan Bimbingan dan Konseling merentang mulai dari tingkat
TK sampai dengan Perguruan Tinggi. Pada jenjang TK dan SD layanan bimbingan dan
konseling dapat dilakukan oleh Roving Counselor (Konselor Kunjung) untuk membantu
guru menyusun Program BK yang terpadu dengan proses pembelajaran dan mengatasi
perilaku yang mengganggu, melalui direct behavioral consultation.

Pada jenjang SMP dan SMA layanan bimbingan dan konseling dapat dilakukan
olehkonselor untuk memfasilitasi peserta didik dalam mengaktualisasikan potensi peserta
didik secara optimal dan salah satunya adalah kemandirian dalam mengambil keputusan
perencanaan pendidikan dan karier.

Pada jenjang SMP dan SMA, layanan Bimbingan dan Konseling untuk semakin
mengokohkan pilihan dan pengembangan karier sejalan dengan bidang vokasi yang
menjadi pilihannya.. Bimbingan Karier (soft skill) dan Bimbingan Vokasional (hard skill)
harus dikembangkan secara sinergis, berkolaborasi dengan guru bidang vokasional.

Pada jenjang Perguruan Tinggi layanan Bimbingan dan Konseling dimaksudkan untuk
semakin memantapkan karier yang sebisa mungkin yang paling cocok, baik dengan
rekam jejak pendidikan mahasiswa maupun kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya
sebagai pribadi yang produktif, sejahtera, serta berguna untuk manusia lain.

Selain itu, dikemukakan pula tentang layanan Bimbingan dan Konseling bagi anak
berkebutuhan khusus dan anak berbakat. layanan Bimbingan dan Konseling bagi anak
berkebutuhan khusus layanan Bimbingan dan Konseling lebih ditekankan pada upaya
pengembangan kecakapan hidup sehari-hari (daily living activities), merupakan
intervensi tidak langsung yang lebih terfokus upaya mengembangkan lingkungan
perkembangan yang akan melibatkan banyak pihak, terutama guru pendidikan khusus.
Sedangkan layanan Bimbingan dan Konseling bagi anak berbakat, pelayanan bimbingan
dan konseling pada dasarnya sama dengan pelayanan umum lainnya. Dalam hal ini,

104
konselor berperan dalam asesmen keberbakatan dan memilih alternatif pengembangan
keberbakatan, yang tidak hanya dalam pengertian intelektual saja tetapi juga
keberbakatan lainnya, seperti dalam olah raga, seni dan sebagainya

Atas semua itu, saat ini Asosiasi Bimbingan dan Konseling (ABKIN) dengan dukungan
Ditjen Dikti, Ditjen PMPTK, BSNP, Dijen Dikdasmen sedang merumuskan standar
kompetensi konselor, pendidikan profesional konselor dan penyelenggaraan layanan
Bimbingan dan Konseling dalam jalur pendidikan formal termasuk di dalamnya
pengembangan Standar Kompetensi Kelulusan (SKK) sebagai rambu-rambu bagi
konselor.

Sumber : Sunayo Kartadinata.“Layanan Bimbingan dan Konseling Sarat Nilai”.Pikiran


Rakyat, 6 September 2006, hal. 20

Penulis dan Bimbingan & Konseling


Diterbitkan Februari 4, 2008

Oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.

Pertama kali mengenal konseling tatkala penulis masih duduk di bangku SMP, sekitar 32
tahun yang lalu. Sebagai siswa yang sedang memasuki masa remaja awal, pada waktu itu
penulis merasakan betul gejolak keremajaan, yang mengakibatkan penulis “terpaksa”
harus berurusan dengan guru BP (panggilan untuk konselor pada waktu itu). Pada saat
diwawancarai atau mungkin diinterogasi, rasa takut sempat menyelimuti diri penulis,
karena kebetulan Guru BP-nya merupakan sosok yang sangat berwibawa dan ditakuti
oleh para siswa. Setelah keluar dari ruangan BP, dalam hati saya berjanji tidak akan
berusaha untuk melanggar peraturan sekolah lagi, karena takut dan malu jika harus
berurusan lagi dengan Guru BP.

Empat tahun kemudian, pada saat akan mengakhiri studi di SMA, lagi-lagi penulis
terpaksa harus berurusan dengan Guru BP. Namun jauh berbeda dengan apa yang dialami
ketika masih di SMP, sosok guru BP yang penulis hadapi merupakan sosok yang lembut
dan penuh perhatian, walaupun pada saat itu penulis merupakan “orang yang
bermasalah”. Kesan manis dan simpatik yang ditampilkannya membuat penulis sering
melakukan kontak dengan guru BP tersebut bahkan dia pun banyak bercerita tentang apa
itu BP dan bagaimana untuk menjadi guru BP.

Setelah menamatkan pendidikan di SMA dan gagal menempuh ujian masuk perguruan
tinggi yang tergabung Proyek Perintis I, penulis mengambil alternatif lain untuk
mengikuti ujian masuk Perguruan Tinggi melalui Proyek Perintis IV, salah satu perguruan
tinggi yang bergabung di dalamnya adalah IKIP Bandung (sekarang berganti nama
menjadi Universitas Pendidikan Indonesia).

Pada saat harus mengisi formulir pendaftaran, penulis sempat mengalami kesulitan untuk
menentukan jurusan apa yang hendak ditempuh. Ketika membaca buku panduan
pengisian formulir, di sana tertera ada satu jurusan yang bernama Psikologi Pendidikan
dan Bimbingan (PPB), kemudian penulis bertanya sambil bercerita tentang guru BP yang
pernah penulis alami di SMA kepada kakak penulis yang mengantar penulis,– yang juga

105
kebetulan sebagai mahasiswa pada salah satu jurusan di IKIP Bandung,- singkatnya
pertanyaan itu, apakah jurusan PPB itu akan menghasilkan guru seperti guru BP yang
pernah saya hadapi ketika di SMA. Jawaban singkatnya, ya seperti itulah ! Maka tidak
panjang lebar lagi, penulis langsung mengisi formulir pendaftaran dengan mencantumkan
jurusan PPB sebagai satu-satunya yang penulis pilih. Walaupun diberikan kesempatan
untuk memilih dua pilihan, penulis hanya memilih satu jurusan saja. Akhirnya, penulis
pun lulus testing dan diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan PPB-FIP IKIP Bandung.

Rupanya pertemuan dan komunikasi yang menyenangkan dengan guru BP pada saat di
SMA telah mempengaruhi keyakinan dan pola pikir penulis, sehingga akhirnya penulis
pun memutuskan untuk menempuh pendidikan pada jurusan yang sama dengan Guru BP
penulis pada saat di SMA. (kalau tidak salah guru BP tersebut bernama Bapak Sa’i
Dayari, mudah-mudahan beliau sempat membaca tulisan ini dan penulis ingin
menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas segala
bimbingannya).

Selanjutnya, penulis menggeluti perkuliahan tentang bimbingan dan penyuluhan dan pada
satu kesempatan mengikuti perkuliahan, penulis bertanya kepada salah seorang dosen
tentang realita bimbingan dan penyuluhan pada saat itu, pertanyaannya seputar citra dan
persepsi bimbingan dan penyuluhan yang dianggap sebagai lembaga yang “mengerikan”
dan mungkin sangat dibenci oleh siswa. Beliau memberikan analisis panjang lebar, yang
diakhiri dengan amanat beliau bahwa tugas penulislah (dan juga mahasiswa yang lainnya)
untuk meluruskan semua itu, jika penulis kelak menjadi guru BP.

Pada akhirnya penulis pun lulus sebagai Sarjana Pendidikan dengan keahlian dalam
bidang Bimbingan dan Penyuluhan. Hanya selang satu tahun setelah lulus, penulis lulus
testing diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di salah satu SMA Negeri di
Kabupaten Bekasi dan bertugas sebagai Guru BP.

Pada awal menjadi Guru BP, Kurikulum BP yang sedang dikembangkan adalah
Kurikulum 1984, yang tampaknya masih berorientasi pada konseling terapeutik (kuratif).
Sehingga dalam mengimplementasikan layanan BP pun masih banyak diwarnai oleh
pendekatan yang bersifat terapeutik (kuratif). Pada kurikulum 1984 ada upaya untuk
menekankan Bimbingan Karier sebagai substansi Bimbingan dan Penyuluhan. Di
lapangan ternyata banyak yang keliru dalam menafsirkannya seolah-olah Bimbingan
Karier merupakan bidang yang terpisah dari Bimbingan dan Penyuluhan, sehingga orang
sering menyebutnya sebagai BP/BK. Lima tahun kemudian penulis pindah tugas ke salah
satu SMA Negeri di Kabupaten Kuningan, tempat kelahiran penulis. Semasa bertugas
menjadi guru BP di sana, sempat terjadi perubahan kurikulum yaitu Kurikulum 1994.
Salah satu perubahan yang terjadi adalah perubahan nama Bimbingan dan Penyuluhan
menjadi Bimbingan dan Konseling. Bersamaan itu pula mulai diperkenalkan sebutan
Guru Pembimbing (sebutan resmi untuk petugas bimbingan dan konseling),
menggantikan sebutan Guru BP, namun ada juga yang menyebutnya Guru BK. Dalam
mengimplementasikan Kurikulum 1994, dikembangkan konsep Pola 17 sebagai kerangka
kerja Bimbingan dan Konseling. Pada Kurikulum 1994 ini telah meletakkan dasar untuk
mengembangkan konseling dengan paradigma pencegahan dan pengembangan. Sehingga
dalam mengimplementasikan layanan Bimbingan dan Koseling tidak harus difokuskan
untuk selalu “mengejar-ngejar kasus” semata. Suka dan duka menyertai perjalanan
penulis selama menjadi Guru BP/Guru Pembimbing. Rasa suka dan bahagia muncul
tatkala penulis berhasil membantu para siswa untuk bisa menjalani kehidupannya lebih
baik. Terlebih jika ada orang tua yang sengaja datang ke sekolah hanya untuk sekedar
menyampaikan rasa terima kasih atas hasil bimbingan yang telah dilakukan terhadap
putera-puterinya.. Sebaliknya, rasa sedih dan duka muncul ketika penulis gagal
memberikan bantuan kepada siswa yang terpaksa harus tidak naik kelas atau dikeluarkan
gara-gara melakukan pelanggaran tata tertib sekolah. Perdebatan dan adu argumentasi
dengan rekan-rekan kerja seringkali terjadi tatkala dalam rapat kenaikan kelas atau
pelulusan harus mengambil keputusan untuk menentukan nasib siswa yang berada pada

106
jurang “degradasi”. Upaya advokasi yang dilakukan memang seringkali menimbulkan
kontraversi dengan rekan-rekan kerja, tapi itulah resiko jabatan yang harus
dijalani.Begitu juga, rasa nelangsa dan prihatin muncul ketika guru-guru mata pelajaran
menerima tunjangan Kelebihan Jam Mengajar, sedangkan guru pembimbing terpaksa
harus gigit jari. Walaupun pada akhirnya penulis bersama dengan rekan-rekan guru
pembimbing lainnya berhasil meyakinkan sekolah bahwa guru pembimbing pun berhak
atas tunjangan Kelebihan Jam Mengajar.Perjalanan selama lima belas tahun menjadi guru
pembimbing telah memberikan pengalaman dan kebanggaan tersendiri bagi penulis,
sampai akhirnya pada tahun 2002 penulis beralih tugas menjadi pengawas sekolah
dengan basis bimbingan dan konseling. Sambil menjalankan tugas-tugas kepengawasan,
penulis semenjak tahun 2003 diberi kepercayaan untuk menjadi Dosen pada Program
Studi Pendidikan Ekonomi FKIP-Universitas Kuningan untuk mengampu mata kuliah
Psikologi Pendidikan (Perkembangan Peserta Didik) – yang di dalamnya memberi kajian
akademik tentang bimbingan dan konseling–

Selama menjalani profesi kepengawasan, terjadi lompatan besar dalam upaya


mereformasi pendidikan nasional. Pada tahun 2003, dengan hadirnya Undang-Undang
Sisdiknas No.20 tahun 2003 mulai diperkenalkan isitilah konselor untuk sebutan resmi
petugas bimbingan dan konseling. Tahun 2004 muncul Kurikulum Berbasis Kompetensi,
yang kemudian pada tahun 2006 direvisi dengan hadirnya Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan.

Hanya sangat disesalkan, di tengah-tengah gelegar reformasi pendidikan dan


pembelajaran tersebut, ternyata suara tentang bimbingan dan konseling semakin sayup-
sayup dan nyaris tak terdengar. Sehingga penulis dan juga rekan-rekan konselor di
lapangan seperti kehilangan pegangan dan arah untuk menyikapi berbagai perubahan
yang terjadi.

Untuk menyiasati keadaan dan berbagai persoalan yang menghinggapi profesi konseling
saat ini, akhirnya sampailah pada satu pemikiran untuk membuat situs ini, dengan
harapan dapat dijadikan sebagai media komunikasi secara virtual, khususnya dengan
seluruh rekan-rekan konselor dimana pun berada dan juga masyarakat lainnya, untuk
saling berbagi pengalaman dan pengetahuan, sehingga profesi konseling tetap bisa
memberikan manfaat bagi kehidupan dan kemajuan pendidikan kita.

Perjalanan Jauh Bimbingan dan Konseling sebagai Profesi


Diterbitkan Februari 6, 2008

oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.

Kehadiran layanan bimbingan dan konseling dalam sistem pendidikan di Indonesia


dijalani melalui proses yang cukup panjang, sejak kurang lebih 40 tahun yang lalu,
bersamaan dengan munculnya kebutuhan akan penjurusan di.SMA pada saat itu. Selama
perjalanannya telah mengalami beberapa kali pergantian nama, semula disebut
Bimbingan dan Penyuluhan (dalam Kurikulum 84 dan sebelumnya), kemudian pada
Kurikulum 1994 berganti nama menjadi Bimbingan dan Konseling. sampai dengan
sekarang. Akhir-akhir ini ada sebagaian para ahli meluncurkan sebutan Profesi Konseling,
meski secara formal istilah ini belum digunakan.

Bersamaan dengan perubahan nama tersebut, didalamnya terkandung berbagai usaha


perubahan untuk memantapkan bimbingan dan konseling sebagai suatu profesi. Kendati
demikian harus diakui bahwa untuk mewujudkan bimbingan dan konseling sebagai suatu

107
profesi yang dapat memberikan manfaat banyak, hingga saat ini tampaknya masih perlu
kerja keras dari semua pihak yang terlibat dengan profesi konseling.

Dalam tataran teoritis, teori-teori bimbingan dan konseling hingga saat ini boleh
dikatakan sudah berkembang cukup mantap, dibandingkan dengan masa-masa
sebelumnya dan bahkan relatif mendahului teori-teori yang dikembangkan dalam
pembelajaran untuk mata pelajaran - mata pelajaran di sekolah. Perkembangan teori
bimbingan dan konseling terutama dihasilkan oleh perguruan tinggi yang
menyelenggarakan program studi bimbingan dan konseling, baik yang bersumber dari
penelitian maupun hasil pemikiran kritis para ahli. Sayangnya, teori-teori itu pun
sepertinya tersimpan rapih dalam gudang perguruan tinggi yang sulit diakses oleh para
konselor di lapangan. Di sisi lain, teori-teori bimbingan dan konseling yang dihasilkan
melalui penelitian oleh para praktisi di sekolah-sekolah tampaknya belum berkembang
sepenuhnya sehingga kurang memberikan kontribusi bagi perkembangan profesi
bimbingan dan konseling.

Kendala terbesar yang dihadapi untuk mewujudkan bimbingan dan konseling sebagai
profesi yang handal dan bisa sejajar dengan profesi-profesi lain yang sudah mapan justru
terjadi dalam tataran praktis. Manfaat bimbingan dan konseling sepertinya masih belum
dirasakan oleh masyarakat, karena penyelenggaraannya dan pengelolaannya tidak jelas.
Kesan lama, konseling sebagai “polisi sekolah“pun hingga kini masih melekat kuat pada
sebagaian masyarakat, khususnya di kalangan siswa. Menurut pandangan penulis,
setidaknya terdapat dua faktor dominan yang diduga menghambat terhadap laju
perkembangan profesi konseling di Indonesia , yaitu :

1. Kelangkaan Tenaga Konselor

Tenaga konselor yang berlatar bimbingan dan konseling memang masih belum memenuhi
kebutuhan di lapangan. Selama ini masih banyak sekolah yang menyelenggarakan
Bimbingan dan Konseling tanpa didukung oleh tenaga konselor profesional dalam jumlah
yang memadai. Sehingga, tenaga konseling terpaksa banyak direkrut dari nonkonseling,
yang mungkin hanya dibekali pengetahuan dan keterampilan tentang bimbingan dan
konseling yang minimal atau bahkan sama sekali tanpa dibekali pengetahuan dan
keterampilan tentang konseling, yang tentunya hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja
bimbingan dan konseling itu sendiri, baik secara personal maupun lembaga.

Meminjam bahasa ekonomi, kelangkaan ini diduga disebabkan oleh ketidakseimbangan


antara demand dan supply. Tingkat produktivitas dari Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan penghasil tenaga konselor tampaknya relatif masih terbatas jumlahnya dan
belum mampu memenuhi kebutuhan pasar. Demikian pula dalam distribusinya relatif
tidak merata. Contoh kasus, di beberapa daerah ketika melakukan rekrutment untuk
tenaga konselor dalam testing Calon Pegawai Negeri Sipil ternyata tidak terisi, bukan
dikarenakan tidak ada peminatnya, tetapi memang tidak ada orangya ! Boleh jadi ini
merupakan dampak langsung dari otonomi daerah, dimana kewenangan rekrutmen Calon
Pegawai Negeri Sipil diserahkan kepada daerah, dan tidak semua daerah mampu
menyediakan sumber daya manusia yang dibutuhkan, termasuk di dalamnya kebutuhan
tenaga konselor di daerahnya.

Oleh karena itu, ke depannya perlu dipikirkan bagaimana Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah dapat bekerja sama dengan Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan pencetak tenaga konselor untuk dapat memproduksi lulusannya, dengan
memperhitungkan segi kuantitas, kualitas dan distribusinya., sehingga kelangkaan tenaga
konselor dapat segera diatasi.

2. Kebijakan Pemerintah yang kurang berpihak terhadap profesi konseling

108
Banyak terjadi kejanggalan dan ketidakjelasan kebijakan dari pemerintah pusat tentang
profesi bimbingan dan konseling. Ketidakjelasan semakin dirasakan justru pada saat kita
sedang berupaya mereformasi pendidikan kita. Contoh kasus terbaru, ketika digulirkan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga saat ini sama sekali belum
memberikan kejelasan tentang bagaimana bimbingan dan konseling seharusnya
dilaksanakan. Dalam dokumen KTSP, kita hanya menemukan secuil informasi yang
membingungkan tentang bimbingan dan konseling yaitu berkaitan dengan kegiatan
Pengembangan Diri.

Begitu juga, dalam kebijakan sertifikasi guru, banyak konselor dan pengawas satuan
pendidikan yang kebingungan untuk memahami tentang penilaian perencanaan dan
pelaksanaan konseling, karena format penilaian yang disediakan tidak sepenuhnya cocok
untuk digunakan dalam penilaian perencanaan dan pelaksanaan bimbingan dan konseling.
Tentunya masih banyak lagi kejanggalan-kejanggalan yang dirasakan di lapangan, baik
yang bersifat konseptual-fundamental maupun teknis operasionalnya.

Ketidakjelasan kebijakan tentang profesi bimbingan dan konseling pada tataran pusat ini
akhirnya mengimbas pula pada kebijakan pada tataran di bawahnya (messo dan mikro),
termasuk pada tataran operasional yang dilaksanakan oleh para konselor di sekolah. Jadi,
kalau ada pertanyaan mengapa Bimbingan dan Konseling di sekolah kurang optimal,
maka kita bisa melihat sumber permasalahannya, yang salah-satunya adalah
ketidakjelasan dalam kebijakan pemerintah terhadap profesi bimbingan dan konseling.

Jika ke depannya, bimbingan dan konseling masih tetap akan dipertahankan sebagai
bagian dari sistem pendidikan nasional, kiranya perlu ada komitmen dan good will dari
pemerintah untuk secepatnya menata profesi konseling, salah satunya dengan berupaya
melibatkan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) selaku wadah yang
menaungi para konselor dan para pakar konseling untuk duduk bersama merumuskan
bagaimana sebaiknya kebijakan konseling untuk hari ini dan ke depannya. Walaupun
dalam hal ini mungkin akan terjadi tawar-menawar yang cukup alot di dalamnya, tetapi
keputusan yang terbaik demi kemajuan profesi bimbingan dan konseling tetap harus
segeradiambil. !

Dengan teratasinya kelangkaan tenaga konselor dan keberhasilan upaya pemerintah


dalam menata profesi bimbingan dan konseling, niscaya pada gilirannya akan
memberikan dampak bagi perkembangan konseling ke depannya, sehingga profesi
konseling bisa tumbuh dan berkembang menjadi sebuah profesi yang dapat memberikan
manfaat besar bagi masyarakat dan kemajuan negeri ini. Jika tidak, maka profesi
bimbingan dan konseling tetap saja dalam posisi termarjinalkan.

*)) Akhmad Sudrajat, M.Pd. Pengawas Satuan Pendidikan Dinas Pendidikan Kabupaten
Kuningan dan Dosen pada Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP-UNIKU.

Seminar BK di Universitas Kuningan


Diterbitkan Maret 8, 2008

Jika tidak ada aral melintang pada hari Selasa, 11 Maret 2008 Universitas Kuningan
(UNIKU) bekerja sama dengan Pengurus Asosiasi Bimbingan dan Konseling (ABKIN)
Cabang Kabupaten Kuningan hendak menyelenggarakan Seminar Sehari Bimbingan dan
Konseling, mengusung tema ” Arah Baru Kebijakan Bimbingan dan Konseling di
Indonesia“, dengan menghadirkan pembicara Dr. Uman Suherman, M.Pd. pakar
Bimbingan dan Konseling dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

109
Tujuan seminar ini adalah untuk memberikan pencerahan kepada para guru BK/Konselor
di Kabupaten Kuningan tentang “Arah dan Perspektif Bimbingan dan Konseling di
Indonesia” yang saat ini sedang digodok oleh ABKIN dan pihak yang berwenang lainnya
untuk menjadi kebijakan resmi penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Indonesia.
Seminar ini juga merupakan salah satu bentuk pengabdian masyarakat dan kepedulian
Universitas Kuningan terhadap profesi Bimbingan dan Konseling. Peserta tidak dipungut
biaya sepeser pun alias gratis dan disediakan Seminar Kit oleh panitia

Kepada pihak-pihak yang telah menerima undangan, mari kita hadiri acara langka ini
untuk kepentingan penambahan wawasan kita.

Tips Advokasi Bimbingan dan Konseling


Diterbitkan Maret 6, 2008

Pekerjaan bimbingan dan konseling kerapkali dipandang sebelah mata oleh orang-orang
yang justru memiliki kepentingan dengan bimbingan dan konseling itu sendiri, Misalnya,
oleh siswa, guru mata pelajaran, kepala sekolah, para pemegang kebijakan lainnya atau
masyarakat. Tidak sedikit mereka yang beranggapan bahwa konselor atau guru BK di
sekolah hanya makan gaji buta, tidak jelas kerjanya, atau hanya dianggap sebagai
pekerjaan embel-embel saja.

Ungkapan-ungkapan miring semacam itu bisa ditepis jika saja konselor atau guru BK
yang bersangkutan dapat menunjukkan kinerjanya sekaligus mampu melakukan advokasi
di hadapan mitra-mitra kerjanya di sekolah.

Di bawah ini beberapa tips untuk melakukan advokasi sekaligus untuk meyakinkan
berbagai pihak yang berkepentingan dengan bimbingan dan konseling di sekolah.

1. Pada saat sedang mengikuti rapat, Anda minta waktu untuk berbicara dan
pembicaraan Anda difokuskan pada hasil-hasil siswa bukan memaparkan apa
yang telah dilakukan konselor. Yang dimaksud dengan hasil – hasil siswa adalah
berbagai kemajuan yang dicapai siswa melalui intervensi bimbingan dan
konseling, baik dalam bidang akademik, sosio-personal, maupun bidang karier.
2. Dukung pembicaraan Anda dengan data-data, karena data akan lebih berbunyi
keras dari pada kata-kata (data speak louder than words), gunakan chart atau
grafik untuk menggambarkan hasil-hasil siswa tersebut.
3. Untuk lebih meyakinkan bisa saja Anda memanfaatkan siswa untuk berbicara
dalam forum mewakili kepentingan Bimbingan dan Konseling atau konselor,
dengan menceritakan kisah sukses (success story) mereka atas bantuan layanan
bimbingan dan konseling yang telah diterimanya.
4. Program bimbingan dan konseling pada dasarnya merupakan investasi siswa di
sekolah tersebut, oleh karena itu konselor dituntut dapat menunjukkan
pengembalian investasi tersebut dalam bentuk hasil-hasil siswa tersebut
5. Bertindak layaknya seorang ”politisi” yang aktif melakukan berbagai lobby dan
berkomunikasi dengan seluruh mitra kerja yang ada sehingga kepentingan
bimbingan dan konseling dapat terwakili dalam setiap keputusan atau kebijakan di
sekolah.

110
6. Ciptakan akuntabilitas kerja melalui laporan hasil bimbingan dan konseling, baik
laporan harian, bulanan, atau tahunan.

In House Trainning di SMA N 1 Garawangi


Diterbitkan Juli 21, 2008

Hari Sabtu lalu (18-07-2008), saya diundang untuk menjadi pemateri dalam acara In
House Trainning yang diselenggarakan SMA Negeri 1 Garawangi Kabupaten Kuningan.
Berdasarkan informasi dari Kepala Sekolah setempat, Bapak Drs. H. Rachmat Setiawan,
M.M.Pd. bahwa kegiatan pelatihan semacam ini memang telah menjadi agenda rutin
setiap akan memasuki tahun pelajaran baru dan diikuti oleh seluruh unsur guru dan staf
tata laksana. Tema pelatihan kali ini adalah “ Upaya terrealisasinya Aplikasi Manajemen
Pembelajaran bagi Pencapaian Mutu Pendidikan” dan pada kesempatan ini saya diminta
untuk menyampaikan materi tentang Layanan Konseling di Sekolah. Untuk itu, saya
memilih topik pembicaraan: “Layanan Konseling: Konsep dan Pratik”, dengan harapan
para peserta dapat memahami: (1) konsep dasar layanan konseling di sekolah; (2) peran
guru dalam layanan konseling di sekolah; dan (3) aplikasi konsep konseling dalam PBM.
Materi yang disajikan merupakan kombinasi antara perspektif kebijakan dan keilmuan
(teoritis).

Dalam jadwal resmi, sebetulnya saya hanya disediakan waktu 75 menit, namun karena
enthusias dan partisipasi peserta yang tinggi, maka atas seijin panitia setempat, penyajian
materi diperpanjang hingga hampir 120 menit. Penyajian semakin berkembang dan
interaktif tatkala dibuka kesempatan tanya jawab. Beberapa peserta ada yang masih
merasa penasaran dan ingin memperoleh penjelasan lebih lanjut terkait dengan materi
tentang optimalisasi peran guru dalam layanan Konseling, dan relevansi penggunaan
reinforcement negatif (hukuman) dalam rangka pendisiplinan siswa di sekolah.

Tentunya saya berharap, semoga saja apa yang telah disampaikan dalam pelatihan ini
dapat dipahami dan diimplementasikan dengan baik di SMA Negeri 1 Garawangi guna
kepentingan efektivitas pendidikan di SMA Negeri 1 Garawangi.

Sebagai Pengawas Sekolah bidang Bimbingan dan Konseling maupun sebagai pribadi,
maka sudah sepatutnya jika saya menyampaikan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-
tinginya atas komitmen dan kepedulian SMA Negeri 1 Garawangi untuk memajukan
peran dan fungsi Konseling di sekolah.

111
DI bawah ini tautan materi yang disampaikan pada kegiatan IHT di SMA Negeri 1
Garawangi Kabupaten Kuningan

Konseling di Sekolah: Konsep dan Praktik

G. INSTRUMEN BIMBINGAN DAN KONSELING

Alat Ungkap Masalah


Diterbitkan Januari 12, 2008

Salah satu kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang guru bimbingan dan konseling
(konselor) adalah memahami konseli secara mendalam, termasuk didalamnya adalah
memahami kemungkinan-kemungkinan masalah yang dihadapi konseli. Melalui
pemahaman yang adekuat tentang masalah-masalah yang dihadapi konseli, seorang
konselor selanjutnya dapat menentukan program layanan bimbingan dan konseling, baik
yang bersifat preventif, pengembangan maupun kuratif, sehingga pada gilirannya
diharapkan upaya pemberian layanan dapat berjalan lebih efektifTentunya banyak cara
untuk memahami masalah-masalah yang dihadapi oleh konseli dan salah satunya dapat
dilakukan melalui penggunaan Alat Ungkap Masalah atau biasa disebut AUM. Alat
Ungkap Masalah adalah sebuah instrumen standar yang dikembangkan oleh Prayitno,
dkk. yang dapat digunakan dalam rangka memahami dan memperkirakan (bukan
memastikan) masalah-masalah yang dihadapi konseli. Alat Ungkap Masalah ini didesain
untuk mengungkap 10 bidang masalah yang mungkin dihadapi konseli, Kesepuluh bidang
masalah tersebut mencakup: (1) Jasmani dan Kesehatan (JDK); (2) Diri Pribadi (DPI); (3)
Hubungan Sosial (HSO); (4) Ekonomi dan Keuangan (EKD); (5) Karier dan Pekerjaan
(KDP); (6) Pendidikan dan Pelajaran (PDP); (7) Agama, Nilai dan Moral (ANM); (
Hubungan Muda Mudi (HMM); (9) Keadaan dan Hubungan dalam Keluarga (KHK); dan
(10) Waktu Senggang (WSG). Jumlah keseluruhan item sebanyak 225.

Untuk kepentingan analisis data, telah disediakan software Aplikasi Program Alat
Ungkap Masalah dalam bentuk data base. Melalui analisis data berbasis komputer ini,
kita dapat mengakses informasi tentang masalah-masalah yang dihadapi konseli secara
individual maupun secara kelompok dengan cepat, mudah dan akurat. Tentunya, setelah
dilakukan input data terlebih dahulu.

Sayangnya, Aplikasi Program yang sebagus ini belum bisa dibagikan secara gratis kepada
para guru bimbingan dan konseling (konselor) dan jika Anda ingin menggunakannya,
Anda harus memesannya kepada penyedia alat tersebut (vendor). Alat ini dilindungi
password yang menurut hemat penulis cenderung “over protection”, karena kesempatan

112
yang diberikan untuk menginstall ke komputer Anda hanya tiga kali, selanjutnya software
ini tidak bisa digunakan lagi atau Anda harus menghubungi penyedia yang bersangkutan.
Kecuali kalau Anda orang yang memang sangat paham tentang seluk beluk Aplikasi
Program Komputer mungkin Anda bisa membongkar password dan pembatasan aplikasi
tersebut. Kendati demikian, di beberapa sekolah telah berhasil memanfaatkan teknologi
yang satu ini guna menunjang kelancaran, efektivitas dan efisiensi layanan bimbingan
dan konseling di sekolah.
Tautan di bawah ini berisi tentang contoh Lembar Jawaban dan Daftar Masalah dari Alat
Ungkap Masalah (AUM) untuk Siswa SMA. Anda dapat men-download materi tersebut,
dan jangan lupa berikan komentar Anda !

Alat Ungkap Masalah Siswa SMA Klik Disini !

Inventori Tugas Perkembangan


Diterbitkan Februari 4, 2008

Manusia sepanjang hidupnya selalu mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut


berlangsung dalam beberapa tahap yang saling berkaitan. Gangguan pada salah satu tahap
dapat mengakibatkan terhambatnya perkembangan secara keseluruhan.

Untuk mengidentifikasi masalah perkembangan, diperlukan pengukuran kuantitatif


tentang tingkat-perkembangan mulai dari tingkat sekolah dasar sampai dengan perguruan
tinggi.

Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat perkembangan
peserta didik adalah ITP (Inventori Tugas Perkembangan) yang dikembangkan oleh
Sunaryo, dkk. Dengan alat ITP, Guru Bimbingan dan Konseling (Konselor) dapat
memahami tingkat perkembangan individu maupun kelompok, mengidentifikasi masalah
yang menghambat perkembangan dan membantu peserta didik yang bermasalah dalam
menyelesaikan tugas perkembangannya.

Berdasarkan hasil pengukuran ini, dapat disusun program bimbingan yang


memungkinkan peserta didik dapat berkembang secara wajar, utuh dan sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya.

ITP mengukur tujuh tingkat perkembangan dan sebelas aspek perkembangan individu,
merentang dari mulai usia tingkat Sekolah Dasar sampai dengan Usia Perguruan Tinggi,
dengan menggunakan kerangka pemikiran dari Loevenger.

Ketujuh tingkat perkembangan individu tersebut adalah :

1. Impulsif, dengan ciri-ciri : (a) identitas diri terpisah dari orang lain; (b)
bergantung pada lingkungan; (c) beorientasi hari ini; dan (d) individu tidak
menempatkan diri sebagai penyebab perilaku.
2. Perlindungan Diri, dengan ciri-ciri : (a) peduli terhadap kontrol dan keuntungan
yang dapat diperoleh dari berhubungan dengan orang lain; (b) mengikuti aturan
secara oportunistik dan hedonistik; (c) berfikir tidak logis dan stereotip; (d)
melihat kehidupan sebagai “zero-sum game”; dan (e) cenderung menyalahkan dan
mencela orang lain.
3. Konformistik, dengan ciri-ciri : (a) peduli terhadap penampilan diri; (b) berfikir
sterotip dan klise; (c) peduli akan aturan eksternal; (d) bertindak dengan motif
dangkal; (e) menyamakan diri dalam ekspresi emosi; (f) kurang introspeksi; (f)
perbedaan kelompok didasarkan ciri-ciri eksternal; (g) takut tidak diterima

113
kelompok; (h) tidak sensitif terhadap keindividualan; dan (i) merasa berdosa jika
melanggar aturan.
4. Sadar Diri, dengan ciri-ciri: (a) mampu berfikir alternatif; (b) melihat harapan
dan berbagai kemungkinan dalam situasi; (c) peduli untuk mengambil manfaat
dari kesempatan yang ada; (d orientasi pemecahan masalah; (e) memikirkan cara
hidup; dan (f) penyesuaian terhadap situasi dan peranan
5. Seksama, dengan ciri-ciri : (a) bertindak atas dasar nilai internal; (b) Mampu
melihat diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan; (c) mampu melihat
keragaman emosi, motif, dan perspektif diri; (d) peduli akan hubungan
mutualistik; (e) memiliki tujuan jangka panjang; (f) cenderung melihat peristiwa
dalam konteks sosial; dan (g) berfikir lebih kompleks dan atas dasar analisis.
6. Individualistik, dengan ciri-ciri : (a) peningkatan kesadaran invidualitas; (b)
kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dengan ketergantungan; (c)
menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain; (d) mengenal eksistensi
perbedaan individual; (e) mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam
kehidupan; (f) membedakan kehidupan internal dan kehidupan luar dirinya; (g)
mengenal kompleksitas diri; (h) peduli akan perkembangan dan masalah-masalah
sosial.
7. Otonomi; dengan ciri-ciri : (a) memiliki pandangan hidup sebagai suatu
keseluruhan; (b) bersikap realistis dan obyektif terhadap diri sendiri maupun
orang lain; (c) peduli akan paham abstrak, seperti keadilan sosial.; (d) mampu
mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan; (e) peduli akan self fulfillment; (f)
ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal; (g) respek terhadap
kemandirian orang lain; (h) sadar akan adanya saling ketergantungan dengan
orang lain; dan (i) mampu mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan
dan keceriaan.

Sedangkan sebelas aspek perkembangan individu yang diungkap melalui ITP mencakup :
(1) landasan hidup religius, (2) landasaan perilaku etis, (3) kematangan emosional, (4)
kematangan intelektual, (5) kesadaran tanggung jawab, (6) peran sosial sebagai pria atau
wanita, (7) penerimaan diri dan pengembangannya, ( kemandirian perilaku ekonomi,
(9) wawasan dan persiapan karir, (10) kematangan hubungan dengan teman sebaya, dan
(11) persiapan diri untuk pernikahan dan hidup berkeluarga. ITP untuk SD dan SLTP
hanya mengukur 10 aspek, sebab aspek yang ke-11 belum sesuai.

ITP berbentuk angket yang terdiri atas kumpulan pernyataan yang harus dipilih oleh
siswa. Setiap soal (kumpulan butir pernyataan) terdiri atas empat butir pernyataan yang
mengukur satu sub aspek.

Tingkat perkembangan siswa dapat dilihat dari skor yang diperoleh pada setiap aspek.
Besar skor yang diperoleh menunjukkan tingkat perkembangan siswa (lihat tabel berikut).

Tingkat sekolah dasar (ITP SD):

Jumlah soal 50 masing-masing terdiri atas 4 butir pernyataan. Yang diskor 40 soal, yang
10 soal digunakan untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.

Tingkat SLTP (ITP SLTP):

Jumlah soal 50 masing-masing terdiri atas 4 butir pernyataan.Yang diskor 40 soal, yang
10 soal digunakan untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.

Tingkat SLTA (ITP SLTA):

Jumlah soal 77 masing-masing terdiri atas 4 butir pernyataan. Yang diskor 66 soal, yang
11 soal digunakan untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.

114
Tingkat Perguruan Tinggi (ITP PT):

Jumlah soal 77 masing-masing terdiri atas 4 butir pernyataan. Yang diskor 66 soal, yang
11 soal digunakan untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.

Bagaimana cara mengukur konsistensi (keajegan) jawaban siswa?

Pada ITP SD dan ITP SLTP, terdapat 10 butir soal yang diduplikasi, sedang pada ITP
SLTA dan ITP PT, terdapat 11 butir soal yang diduplikasi. Hasil duplikasi diletakkan di
bagian akhir angket. Setiap soal duplikasi mewakili satu aspek perkembangan. Jawaban
siswa dinyatakan konsisten bila jawaban untuk kedua soal itu sama. Semakin tinggi skor
konsistensi, semakin tinggi pula tingkat keseriusan siswa menjawab angket.

Proses penyekoran, penghitungan skor konsistensi, dan analisis hasil penyekoran dapat
dilakukan secara manual. Namun, untuk jumlah siswa yang besar, cara ini akan memakan
waktu, menimbulkan banyak kesalahan dan sangat membosankan.

Analisis Tugas Perkembangan

Analisis Tugas Perkembangan adalah perangkat lunak yang khusus dibuat untuk
membantu anda mengolah ITP. Dengan ATP, identifikasi perkembangan siswa dapat
dilakukan dengan mudah, cepat dan menyenangkan.

ATP menyediakan berbagai fasilitas untuk memudahkan Anda dalam melakukan analisis
terhadap perkembangan peserta didik. Kemampuan-kemampuan tersebut antara lain:

Pengolahan data mentah secara cepat. Pada komputer pentium 400 hanya dibutuhkan
waktu satu detik untuk mengolah data 100 orang peserta.Analisis kelompok, yang terdiri
atas: profil kelompok, grafik distribusi frekuensi untuk setiap aspek, grafik distribusi
frekuensi konsistensi, delapan butir tertinggi dan terendah.Analisis per individu, yang
terdiri atas: profil individual, distribusi frekuensi nilai, delapan butir tertinggi dan
terendah untuk individu tersebut.

Visualisasi hasil pengolahan skor dalam bentuk grafik akan memudahkan dan
mempercepat Anda dalam analisis.

Manajemen data, terdiri atas pengelompokan siswa berdasarkan kriteria tertentu, dan
penggabungan kelompok.

Expor hasil pengolahan data ke Microsoft Excel®.


Impor data dari file Microsoft Excel.

Multi window, beberapa window bisa dibuka sekaligus untuk membandingkan hasil
pengolahan.

Sumber :

Sunaryo, dkk . Manual Guide ATP Versi 3.5

115
116

Anda mungkin juga menyukai