2009: kurang lebih 100 juta. Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan Indonesia:
*Malaysia: 1 - 2 juta
*Suriname: 75.000.
*Kaledonia Baru: 5.000.
Bahasa :
bahasa Jawa, bahasa Indonesia, bahasa Melayu, bahasa Madura, bahasa Belanda, bahasa Perancis dan
lain-lain.
Agama:
Kejawen, Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha.
Kelompok etnis terdekat
suku Sunda, suku Madura, suku Bali.
Suku bangsa Jawa, adalah suku bangsa terbesar di Indonesia. Jumlahnya mungkin ada sekitar
90 juta. Mereka berasal dari pulau Jawa dan terutama ditemukan di provinsi Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Tetapi di provinsi Jawa Barat banyak ditemukan Suku Jawa, terutama di Kabupaten
Indramayu dan Cirebon yang mayoritas masyarakatnya merupakan orang-orang Jawa yang
berbahasa dan berbudaya Jawa. Di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara populasi
mereka juga cukup banyak. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger.
Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Tetapi yang
menganut agama Protestan dan Katolik juga banyak. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan.
Penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula
agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama
berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat
Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan
menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur.Di
Indonesia, orang Jawa bisa ditemukan dalam segala bidang, terutama sebagai Pegawai Negeri
Sipil dan Militer. Orang Jawa tidak menonjol dalam bidang Bisnis dan Industri. Orang Jawa juga
banyak yang bekerja sebagai buruh kasar dan tenaga kerja Indonesia sebagai pembantu rumah
tangga dan buruh di hutan-hutan di luar negeri yang mencapai hampir 6 juta orang.
Orang Jawa terkenal dengan budaya seninya yang terutama dipengaruhi oleh agama
Hindu-Buddha, yaitu pementasan wayang. Repertoar cerita wayang atau lakon sebagian besar
berdasarkan wiracarita Ramayana dan Mahabharata. Tetapi pengaruh Islam dan Dunia Barat ada
pulaStereotipe orang JawaOrang Jawa memiliki stereotipe sebagai sukubangsa yang sopan dan
halus.[1] Tetapi mereka juga terkenal sebagai sukubangsa yang tertutup dan tidak mau terus
terang. Sifat ini konon berdasarkan watak orang Jawa yang ingin menjaga harmoni atau
keserasian dan menghindari konflik, karena itulah mereka cenderung untuk diam dan tidak
membantah apabila terjadi perbedaan pendapat.
Namun, tidak semua orang Jawa memiliki sikap tertutup dan tidak mau berterus terang.
Orang Jawa di daerah timur bantaran Sungai Brantas — khususnya Kota Surabaya, Kota dan
Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Jombang, Kota dan
Kabupaten Pasuruan, Kota Batu, Kota dan Kabupaten Malang — memiliki watak egaliter, lugas,
terbuka, terus terang, apa adanya, dan tidak suka basa-basi.
Kepercayaan
Sebahagian besar orang Jawa menganuti agama Islam pada nama sahaja. Yang menganuti agama
Kristian, Protestan dan Katolik juga banyak, termasuknya di kawasan luar bandar, dengan
penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan di kalangan masyarakat Jawa. Terdapat juga
agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini pada
dasarnya berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh agama Hindu-Buddha yang kuat.
Masyarakat Jawa terkenal kerana sifat asimilasi kepercayaannya, dengan semua budaya luar
diserap dan ditafsirkan mengikut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadang
kalanya menjadi kabur.
Pekerjaan
Di Indonesia, orang Jawa biasanya ditemukan dalam semua bidang, khususnya dalam
perkhidmatan awam dan tentera. Secara tradisi, kebanyakan orang Jawa adalah petani. Ini adalah
sebabkan oleh tanah gunung berapi yang subur di Jawa. Walaupun terdapat juga banyak
usahawan Indonesia yang berjaya yang berasal daripada suku Jawa orang Jawa tidak begitu
menonjol dalam bidang perniagaan dan perindustrian.
Masyarakat Jawa juga terkenal kerana pembahagian golongan sosialnya. Pada dekad 1960-an,
Clifford Geertz, pakar antropologi Amerika Syarikat yang ternama, membahagikan masyarakat
Jawa kepada tiga buah kelompok:
1. Kaum santri
2. Kaum abangan
3. Kaum priyayi.
Menurut beliau, kaum santri adalah penganut agama Islam yang warak, manakala kaum abangan
adalah penganut Islam pada nama sahaja atau penganut Kejawen, dengan kaum priyayi
merupakan kaum bangsawan. Tetapi kesimpulan Geertz ini banyak ditentang kerana ia
mencampurkan golongan sosial dengan golongan kepercayaan. Pengelasan sosialnya juga
dicemari oleh penggolongan kaum-kaum lain, misalnya orang-orang Indonesia yang lain serta
juga suku-suku bangsa bukan pribumi seperti keturunan-keturunan Arab, Tionghoa dan India.
Orang Jawa terkenal sebagai suku bangsa yang sopan dan halus, tetapi mereka juga terkenal
sebagai suatu suku bangsa yang tertutup dan tidak mahu terus terang. Sifat ini konon berdasarkan
sifat orang Jawa yang ingin memeliharakan keharmonian atau keserasian dan menghindari
pertikaian. Oleh itu, mereka cenderung diam sahaja dan tidak membantah apabila tertimbulnya
percanggahan pendapat. Salah satu kesan yang buruk daripada kecenderungan ini adalah bahawa
mereka biasanya dengan mudah menyimpan dendam.
Orang suku Jawa juga mempunyai kecenderungan untuk membeza-bezakan masyarakat
berdasarkan asal-usul dan kasta atau golongan sosial. Sifat seperti ini dikatakan merupakan sifat
feudalisme yang berasal daripada ajaran-ajaran kebudayaan Hindu dan Jawa Kuno yang sudah
diyakini secara turun-temurun oleh masyarakat Jawa sehingga sekarang.
Tokoh-tokoh Jawa
Ada kurang lebih 5 juta orang Bali. Sebagian besar mereka tinggal di pulau Bali, namun mereka juga
tersebar di seluruh Indonesia.
Penyebaran orang Bali ke luar Bali sudah terjadi sejak jaman dahulu kala. Contohnya, pada tahun 1673,
ketika penduduk kota Batavia berjumlah 27.086 jiwa sudah terdapat 981 orang Bali. Adapun komposisi
bangsa-bangsa lainnya di masa itu adalah sebagagai berikut: 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang
Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), dan 611 orang Melayu. Penduduk
yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan
bangsa (demikian Lekkerkerker). Sebagian besar orang Bali di Batavia didatangkan sebagai budak belian.
Salah satu jejak pengaruh bangsa Bali pada kebudayaan Betawi adalah kesenian Ondel-Ondel. Orang-
orangan raksasa ini berasal dari kesenian Barong Landung Bali. Akhiran-in dalam bahasa Betawi,
misalnya dalam kata: mainin, nambahin, panjatin, dll., yang kemudian juga diadopsi sebagai akhiran
yang populer dalam bahasa gaul Indonesia juga berasal mula dari akhiran -in yang lazim dalam tata
bahasa Bali.
Bahasa Bali adalah sebuah bahasa Austronesia dari cabang Sundik dan lebih spesifik dari anak cabang
Bali-Sasak. Bahasa ini terutama dipertuturkan di pulau Bali, pulau Lombok bagian barat, dan sedikit di
ujung timur pulau Jawa. Di Bali sendiri Bahasa Bali memiliki tingkatan penggunaannya, misalnya ada
yang disebut Bali Alus, Bali Madya dan Bali Kasar. Yang halus dipergunakan untuk bertutur formal
misalnya dalam pertemuan di tingkat desa adat, meminang wanita, atau antara orang berkasta rendah
dengan berkasta lebih tinggi. Yang madya dipergunakan di tingkat masyarakat menengah misalnya
pejabat dengan bawahannya, sedangkan yang kasar dipergunakan bertutur oleh orang kelas rendah
misalnya kaum sudra atau antara bangsawan dengan abdi dalemnya,
Di Lombok bahasa Bali terutama dipertuturkan di sekitar kota Mataram, sedangkan di pulau Jawa
bahasa Bali terutama dipertuturkan di beberapa desa di kabupaten Banyuwangi. Selain itu bahasa Osing,
sebuah dialek Jawa khas Banyuwangi, juga menyerap banyak kata-kata Bali. Misalkan sebagai contoh
kata osing yang berarti “tidak” diambil dari bahasa Bali tusing. Bahasa Bali dipertuturkan oleh kurang
lebih 4 juta jiwa.
Agama Hindu dan Buddha tiba di Bali menerusi Pulau Jawa dan juga secara langsung dari anak benua
India di antara abad ke-8 dan abad ke-16. Unsur kedua-dua agama tersebut berkembang dan bergabung
di Bali.
Catur Warna
Di Bali berlaku sistem Catur Varna (Warna), yang mana kata Catur Warna berasal dari bahasa Sanskerta
yang terdiri dari kata Catur berarti empat dan kata warna yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri)
artinya memilih. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan
berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kwalitas kerja yang dimiliki
sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh
ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal
dengan istilah Catur Warna itu ialah: Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.
Warna Brahmana: Disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan fungsional di dalam masyarakat
yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian
keagamaan.
Warna Ksatrya: Disimbulkan dengan warna merah adalah golongan fungsional di dalam masyarakat
yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan,
keperwiraan dan pertahanan keamanan negara.
Warna Wesya: Disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang
setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian,
perindustrian, dan lain- lain).
Warna Sudra: Disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang
setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan.
Dalam perjalanan kehidupan di masyarakat dari masa ke masa pelaksanaan sistem Catur Warna
cenderung membaur mengarah kepada sistem yang tertutup yang disebut Catur Wangsa atau Turunan
darah. Padahal Catur Warna menunjukkan pengertian golongan fungsional, sedangkan Catur Wangsa
menunjukkan Turunan darah.
Manusa Yadnya
• Otonan / Wetonan, adalah upacara yang dilakukan pada hari lahir, seperti perayaan hari ulang tahun,
dilakukan 210 hari.
• Upacara Potong Gigi, adalah upacara keagamaan yang wajib dilaksanakan bagi pemeluknya. Upacara
ini dilakukan pada pemeluk yang telah beranjak remaja atau dewasa. Bagi wanita yang telah mengalami
menstruasi, dan bagi pria yang telah memasuki akil balik.
Pitra Yadnya
• Upacara Ngaben, adalah prosesi upacara pembakaran jenazah, Sebagaimana dalam konsep Hindu
mengenai pembakaran jenazah, upacara ini sebagai upaya untuk mempercepat pengembalian unsur-
unsur/zat pembentuk dari raga/wadag/badan kasar manusia.