Do and Don
Do and Don
Ramadhan telah tiba dan hampir mencapai akhirnya. Namun tak ada salahnya
kalau sahabat muslim sekalian memperdalam ilmu mengenai Ramadhan itu sendiri.
Sebagai bulan suci umat muslim, tak ada salahnya kalau kita ber-ta’aruf lebih jauh
dengan mengenal hal-hal kecil yang berkaitan dengan Ramadhan. Berikut ini
redaksi Sinaps Assalam akan berusaha menuliskan beberapa diantaranya.
ٌ ع
ف َ ضا
َ عَمُلُه ُم
َ َو، ب
ٌ جا
َ سَت
ْ عاُؤُه ُم
َ َوُد، ح
ٌ سِبْي
ْ صْمُتُه َت
ُ َو، عَباَدٌة
ِ صاِئِم
ّ َنْوُم ال
“Tidurnyaorang yang berpuasa adalah ibadah. Diamnya adalah tasbih.
Do’anya adalah do’a yang mustajab. Pahala amalannya pun akan
dilipatgandakan.”
Hadits ini diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Aufi dan dibawakan Al Baihaqi dalam
kitab Syu’abul Iman 3/1437. Dalam sanad1 hadits tersebut terdapat Ma’ruf bin
Hasan yang merupakan perowi2 yang dho’if (lemah). Juga terdapat Sulaiman bin
‘Amr yang lebih dho’if dari Ma’ruf bin Hasan. Dalam riwayat lain perowinya adalah
‘Abdullah bin ‘Amr, dibawakan oleh Al ‘Iroqi dalam Takhrijul Ihya (1/310) dengan
sanad hadits yang dho’if.
Sebenarnya makna dari hadits ini bisa dibawa ke makna yang benar. Sebagaimana
para ulama pada menjelaskan amalan yang statusnya mubah seperti makan, tidur
dan hubungan suami istri, bisa mendapat pahala bila diniatkan untuk
beribadah. Hal ini didasari oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim (6/16) yang
mengatakan :
عَلْيِه
َ َوُيَثاب، عة
َ طا
َ صاَر
َ ل َتَعاَلى
ّ جه ا
ْ صَد ِبِه َو
َ ن اْلُمَباح ِإَذا َق
ّ َأ
“Sesungguhnya perbuatan mubah, jika dimaksudkan dengannya untuk
mengharapkan wajah Allah Ta’ala, maka dia akan berubah menjadi suatu
ketaatan dan akan mendapatkan balasan (ganjaran).”
Ibnu Rajab mengatakan hal yang hampir sama, “Jika makan dan minum diniatkan
untuk menguatkan badan agar kuat ketika melaksanakan shalat dan berpuasa,
maka seperti inilah yang akan bernilai pahala. Sebagaimana pula apabila seseorang
berniat dengan tidurnya di malam dan siang harinya agar kuat dalam beramal,
maka tidur seperti ini bernilai ibadah.” (Latho-if Al Ma’arif, 279-280)
Jadi pada dasarnya, semua tergantung niat. Jika seseorang tidur hanya
untuk bermalas-malasan, tidurnya hanya sia-sia. Akan tetapi jika dia merasa tidak
kuat berpuasa dan dia tidur agar dia dapat mempertahankan puasanya, maka dia
akan mendapat pahala. Begitu juga orang yang tidur di siang hari saat puasa agar
malamnya dapat menjalankan shalat malam atau I’tikaf. Intinya, tetaplah
berpegang pada “innamal a’malu bin niyaat”. (dikutip dengan perubahan, penulis
Muhammad Abduh Tuasikal pada http://rumaysho.com/)
Ghibah atau bergunjing lebih populer di antara kita mungkin dengan istilah nggosip.
Definisi ghibah sendiri adalah menyebut seseorang dengan apa yang
tidak disukainya, dan termasuk maksiat sebagaimana firman Allah
Ta’ala :
ً ً عضا ْ ُ ضك
ْ َم ب ُ ع
ْ َب ب ْ َ وَل ي
ْ َ غت َ
“Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain” (QS. Al Hujurat: 12 )
Baik di bulan Ramadhan atau tidak, Ghibah hukumnya haram, tetapi tidak
membatalkan puasa. Sama halnya dengan namimah atau mengadu
domba, mencela dan berdusta. Semua tidak membatalkan puasa, tetapi menodai
puasa dan mengurangi pahala. Begitu pula marah. Sebagaimana sabda Rasulullah
SAW :
dan hadits-hadits yang semakna jumlahnya banyak (dikutip dengan perubahan, dari
muslimah.or.id)
Siapa saja yang melihat orang berpuasa makan atau minum pada siang hari
(karena lupa), maka wajib bagi yang melihat untuk
mengingatkannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam ketika beliau lupa dalam sholatnya, “Jika aku lupa, maka ingatkanlah
aku.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya)
Seseorang yang lupa karena alpa, maka kesalahannya dimaafkan. Sedangkan orang
yang ingat dan mengetahui bahwa pekerjaan itu membatalkan puasa, namun tidak
mengingatkan saudaranya yang lupa, berarti dia melakukan sebuah kesalahan.
Karena orang yang lupa itu adalah saudaranya. Seharusnya dia ingin saudaranya
seperti dia.
Kesimpulannya, siapapun yang melihat orang yang berpuasa makan atau minum
pada siang hari karena lupa, maka dia boleh memberikan peringatan. Dan orang
yang diberi peringatan, seketika itu juga harus berhenti, tidak boleh melanjutkan
makan atau minumnya. Bahkan jika di mulutnya tersisa air atau
sisa makanan, dia harus mengeluarkannya, tidak boleh
ditelan.
Jika seseorang lupa, lalu dia makan dan minum, maka puasannya tetap sah,
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang lupa
bahwa dia sedang berpuasa lalu dia makan dan minum, maka hendaklah dia
melanjutkan puasa. Sesungguhnya Allah telah memberikannya makan dan
minum.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya)
Jika ada seseorang yang makan dan minum karena mengira bahwa fajar belum
terbit atau mengira matahari telah tenggelam, namun ternyata tidak sesuai
dengan dugaannya, maka puasanya sah, berdasarkan hadits Asma‘ bin Abi Bakr,
dia mengatakan, “Kami pernah berbuka pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam saat matahari tertutup mendung, kemudian matahari muncul lagi, namun
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kami, mengganti
puasa hari itu.”
Seandainya wajib mengganti atau dengan kata lain puasanya batal, tentu
Rasulullah sudah merintahkan kepada mereka. Seandainya Rasulullah
memerintahkan kepada mereka, tentu riwayat ini akan disampaikan kepada kita,
karena itu berarti termasuk syariah, dan syari’ah Allah pasti terjaga sampai hari
kiamat.
Begitu juga hukumnya orang yang tidak sengaja melakukan sesuatu yang bisa
membatalkan, puasa orang ini juga tidak batal, seperti yang berkumur-kumur lalu
air masuk ke tenggorokannya. Air yang masuk ini tidak membatalkan puasanya,
karena dia tidak sengaja. Sebagaimana orang yang berpuasa bermimpi melakukan
hubungan suami istri lalu ia keluar mani. Orang ini juga tidak batal puasanya,
karena dia tidur dan tidak sengaja mengeluarkan mani.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu
khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al Ahzab: 5). (Diketik ulang dari
majalah As Sunnah edisi Khusus Tahun.IX/1426H/2005M)
Tahukah engkau saudariku, tidak perlu bersedih hati karena mendapatkan haidh saat hari
raya. Karena kegembiraan itu dan kehadiranmu di tempat shalat ‘Id tidak terhalangi dengan
hal yang sudah menjadi sunnatullah (ketetapan dari Allah). Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam bahkan memerintahkan seluruh wanita untuk tetap pergi ke tempat shalat ‘Id,
sebagaimana diceritakan oleh Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha,
“Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan kami pada dua hari raya untuk
mengeluarkan gadis-gadis, wanita-wanita pingitan, dan wanita-wanita yang sedang haid
(untuk mengikuti shalat ‘Id), tetapi wanita-wanita yang sedang haid tidak boleh masuk
tempat shalat.” (HR. Bukhari)