Anda di halaman 1dari 12

Bagi para pecinta kopi sejati, pabrik kopi Aroma bukanlah nama asing.

Penggemarnya bahkan datang dari


berbagai belahan dunia. Tak heran, karena puluhan tahun pabrik kopi Aroma memasok kopinya ke hotel-
hotel dan kafe-kafe ternama di manca negara. Setahu saya, Gandhi Suryoto, kawan saya sesama praktisi
periklanan, adalah salah seorang penikmat dan pecinta Kopi Aroma. Di-blog-nya malah ada cerita ia
memperoleh pengetahuan pembuatan kopi di pabrik kopi ini.

Sabtu kemarin (18 Februari) saya bersama isteri berkesempatan datang lagi ke Pabrik Kopi Aroma yang
berlokasi di jalan Banceuy 51, Bandung. Menelusuri kenangan 20 tahun lalu ketika saya terakhir membeli
kopi di sana saat masih duduk di kelas 3 SMA. Waktu itu memang belum ada yang namanya Starbucks,
Segafredo, dan sejenisnya. Belum ada juga café yang menjanjikan suasana menikmati kopi dengan gaya
‘priyayi’ di mall dan shopping center. Kopi Aroma adalah ‘kemewahan’ yang terjangkau buat saya dan
rekan-rekan sekolah sesama pecinta kopi. Di awal-awal tahun bekerja, saya masih sempat menikmati
kembali kopi Aroma dengan gaya yang sedikit menak. Waktu itu, Sidewalk Café yang berada di sayap kiri
depan Hotel Savoy Homann hanya menyajikan kopi Aroma buat pengunjungnya. Sayangnya sudah
lama café ini tutup, dan coffee shop Homann yang sekarang tidak lagi menjual kopi Aroma. Sama sekali tak
ada yang berubah dari pabrik kopi Aroma. Semuanya masih tetap terlihat sama. Di mata saya, 20 tahun lalu
saja, pabrik yang sekaligus merangkap toko ini sudah terlihat klasik. Apalagi sekarang. Berada di deretan
toko bergaya bangunan dari zaman kolonial, Aroma memang makin teguh citranya sebagai merekheritage.
Hanya kepadatan kawasan Banceuy yang terasa makin ruwet. Arah jalan menuju Banceuy juga sudah
berubah sehingga harus agak memutar bila kita datang dari arah Utara. Pabrik kopi Aroma memang berada
di kawasan penjualan peralatan dan asesoris kendaraan bermotor dan di lingkungan kawasan niaga sejak
dulu.

Selain bangunan luar dan dalam yang tak berubah, satu hal penting yang tak pernah berubah – dan
karenanya kopi Aroma tetap menjadi salah satu kopi terbaik sampai hari ini – adalah passion pemiliknya
pada kopi. Ketika sedang menanti butir kopi di-grind, kami sempat dihampiri oleh pemiliknya. Beliau –
entah generasi ke berapa, walau saya menduga beliau adalah generasi kedua atau ketiga – dengan antusias
menjelaskan tentang sifat dua jenis kopi yang kami pesan:Arabica dan Robusta, tanpa diminta. Robusta,
katanya, untuk meningkatkan stamina. Berguna untuk tetap melek dan konsentrasi, seperti kalau mau kerja
lembur atau mennyetir jarak jauh. Disarankan untuk tidak meminumnya pada saat malam hari ketika kita
hendak beristirahat. Sementara jenis Arabica nikmat diminum saat kita sedanghappy, rileks dan santai.
Kami juga memperoleh tips bagaimana cara menyimpannya. Beliau menyarankan kopi disimpan di tempat
kedap udara dan disimpan di dalam frezzer di kulkas. Untuk membawa pulang ke Jakarta, beliau malah
wanti-wanti jangan diletakkan di bagasi mobil, tapi di bagian depan dekat AC. Katanya, bagian bagasi
belakang mobil yang sering kemasukan bau oli bisa mengganggu aroma kopi. Sayang, kami tidak sempat
terlibat pembicaraan lebih lama. Bahkan tidak sempat berkenalan. Beliau sudah disibukkan oleh urusan lain.
Satu info penting yang kami dapat, ternyata, sudah banyak tempat minum kopi di Bandung dan Jakarta
yang menyajikan kopi Aroma. Sayangnya, beliau juga tak sempat memberitahu kami lebih detail dimana
saja di Jakarta kami bisa menikmati kopi Aroma. Kami akhirnya memesan masing-masing 3 bungkus kopi
(@ 250 gram) jenis Arabica dan Robusta. Ketika membayar, kami cuma bisa ternganga karena harganya.
Untuk 6 bungkus kali 250 gram salah satu kopi terbaik di dunia ini kami mengeluarkan uang yang nilainya
kurang lebih sama dengan pesanan 2 gelas kopi di coffee shop di mal-mal di Jakarta. Gaya hidup memang
mahal ya, he.. he.. he..

Buat Anda para penikmat kopi kelas berat dan belum pernah merasakan nikmatnya kopi Aroma, saya
sungguh menyarankan – bila mengunjungi Bandung – sempatkan membeli kopi Aroma. Biar sedikit padat
dan ruwet, jalan Banceuy adalah jalan terkenal yang sangat mudah dicari di Bandung. Bila sudah sampai di
kawasan itu, tanyakan saja pada para tukang parkir, mereka pasti tahu dimana letak pabrik kopi Aroma
yang legendaris itu. Dan silakan buktikan sendiri kedahsyatan rasa dan aromanya yang luar biasa.
Widya Pratama Mengolah Kopi dengan Jurus Kejujuran
November 24, 2009 pada 2:12 am (biografi)

BANYAK orang yang percaya bahwa kopi bisa menjadi sumber bencana bagi kesehatan. Ada yang

mengaku setelah minum kopi magnya kambuh, jantungnya berdegub lebih kencang, perutnya

kembung, atau efek samping lain yang merugikan. Pendek kata, jika dibanding-bandingkan, kopi lebih

banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Benarkah?

“Memang bisa terjadi seperti itu, tetapi tunggu dulu, jangan salahkan kopinya. Jika ada efek seperti itu,

biasanya karena kita yang salah memperlakukan kopi,” kata Widya Pratama (55), pemilik gerai kopi

Aroma. “Jika kita memperlakukan kopi secara benar, justru ada banyak manfaat yang kita dapat dari

kopi, bukan sekadar menyegarkan badan dan menghilangkan kantuk, kopi juga bisa jadi obat.”

Menurut Widya, kesalahan dalam pengelolaan kopi bisa terjadi dari hulu hingga hilir. Di hulu, karena

didesak kebutuhan, petani sudah memetik buah kopi yang masih muda. “Padahal, kopi yang baik

harus dimulai sejak pemetikan, yakni harus dipetik dalam kondisi sudah matang, cirinya warna biji

merah menyala,” kata pria kelahiran Bandung 16 Oktober 1952 ini memberi penjelasan.

Pada dasarnya kopi memang mengandung kafein dan zat asam yang tinggi. Nah, biasanya para

pelaku bisnis kopi, khususnya yang berskala besar (pabrik), kurang memerhatikan aspek persyaratan

ini. Kopi yang baru dipetik langsung digoreng atau disangray, lalu digiling menjadi serbuk halus.

“Kalau cara perlakuannya seperti ini, ya pasti, kopi yang kita minum bisa mengakibatkan sakit mag,

perut kembung, atau jantung deg-degan. Kalau saya tidak berani memperlakukan kopi seperti itu

karena pertanggungjawabannya dunia akhirat,” kata penganut Katolik yang sejak kecil juga mendapat

pendidikan ala pesantren ini.

Kata Widya, agar keasaman kopi berkurang atau hilang, setelah dijemur untuk mengurangi kadar air,

kopi harus disimpan cukup lama. “Saya menyimpan kopi antara 5-8 tahun, setalah itu baru saya

sangray dan oleh menjadi kopi bubuk untuk dijual kepada langganan saya. Dijamin, tak akan kembung

atau sakit mag,” kata Widya dengan pasti. “Dan jangan lupa, agar manfaat kopi bisa kita rasakan

maksimum, cara menyeduh juga harus benar.”

Prinsip kejujuran
Bagi para pencinta kopi, nama Widya Pratama memang tak asing. Di tengah gempuran produk-produk

kopi instan yang dihasilkan melalui pabrik modern, Widya konsisten mempertahankan bisnis kopinya

secara konvensional. Bukan hanya alat yang digunakan merupakan produk peninggalan zaman

Belanda tahun 1930, tetapi dalam hal manajemen usaha, Widya lebih memilih sikap konvensional.

Di gudangnya yang terletak di kawasan Jln. Banceuy Bandung, berton-ton biji kopi kering dalam

karung goni bertumpuk. Biji-biji kopi tersebut berasal dari berbagai daerah sentra kopi di seluruh

tanah air yang ia kumpulkan. Usia biji kopi tersebut rata-rata di atas delapan tahun, bahkan ada di

antaranya sudah berusia 30 tahun.

Demikian pula saat menggoreng atau nyangray kopi, Widya lebih memilih cara lama, menggunakan

kayu bakar dari pohon karet. Akibatnya, waktu penggorengan sangat lama, bisa mencapai dua jam.
“Dengan kompor gas sebenarnya bisa lebih cepat. Tapi, cara seperti itu menyalahi filosofi mengelola

kopi. Saya tidak mau. Kalau proses pembuatannya harus seperti itu, ya harus kita ikuti, agar orang lain

tidak dirugikan,” kata Widya dengan penuh kesungguhan.

“Bagi saya, mengelola kopi itu harus dengan niat bahwa usaha ini bukan sekadar mencari uang, tapi

juga menjadi jalan buat saya dan keluarga saya agar bisa masuk surga. Makanya, saya tak mau

bohongi orang karena bohong itu dosa, gini-gini juga saya pengen lho masuk surga, ha…ha…ha…,”

kata Widya disertai derai tawa.

Widya Pratama adalah generasi kedua penerima tongkat estafet Kopi Aroma yang didirikan ayahnya,

Tan Houw Sian, pada tahun 1930. Sang ayah sebelumnya adalah pegawai perusahaan kopi milik

Belanda sebelum mendirikan perusahaan kopi. Meski setiap hari sebagai dosen mata kuliah ekonomi

di Universitas Padjadjaran, Universitas Maranatha, dan Universitas Widyatama Bandung, Widya tetap

setia menjalani “kewajibannya” berada di dapur untuk mengelola kopi. “Setiap hari saya ya begini,

bersama para karyawan nyangray kopi, baru setelah siang, saya mengajar,” kata jebolan Fakultas

Ekonomi Unpad yang menjadi anak angkat almarhum Prof. Rochmat Sumitro, Guru Besar Fakultas

Ekonomi Unpad.

Setelah dirinya, Widya mengaku tidak tahu, siapa di antara ketiga anaknya yang akan mewarisi usaha

kopinya. “Saya belum tahu, siapa yang akan meneruskan usaha saya, belum ada tuh anak-anak saya

yang tertarik meneruskan usaha saya. Yang saya tahu, anak bungsu saya malah suka filsafat, biarin

ajalah,” kata Widya lagi-lagi dengan derai suaranya yang khas.


Koffie Fabriek AROMA Bandoeng
JALAN BANCEUY 51

Kopi Aroma dari Jalan Banceuy 51 Bandung ini sudah memproduksi kopi terbaik sejak tahun
1930an. Dirintis oleh Tan Houw Sian, usaha keluarga Kopi Aroma kini diteruskan oleh
generai kedua. Gudang kopi, pabrik, dan tokonya terletak di antara toko-toko suku cadang
kendaraan di Jalan Banceuy, Bandung. Kawasan ini dan sekitarnya memang sejak zaman
Belanda menjadi pusat bisnis dan pecinan.

Kopi Aroma dari Banceuy bukanlah kopi biasa. Setelah dibeli dan dibersihkan, biji-biji kopi
disimpan dalam karung selama bertahun-tahun untuk mengurangi keasaman (acidity),
salah satu ukuran kenikmatan kopi. Dengan begitu, selain menjadi semakin nikmat, kopi ini
dipercaya tidak mengganggu kerja lambung.

Di dalam toko dipajang mesin kopi klasik, salah satunya buatan Amerika. Mesin kopi jadul
ini sudah menggunakan tenaga listrik. Tentu tidak dapat disejajarkan dengan mesin saeco
atau keurig k-cup yang mewakili mesin kopi jaman sekarang.

Tersedia pilihan kopi Arabica atau Robusta di Toko Kopi Aroma. Kemasan mulai dari
seperempat kilogram, setengah kilogram, dan satu kilogram. Sangat disarankan membeli
kemasan kecil, dan baru membeli lagi jika sudah habis. Ini agar kopi yang diperoleh selalu
segar.

Nah sekarang tentang Arabica dan Robusta. Robusta adalah kopi yang paling kuat, dari
aroma, rasa, hingga efek sulit tidur dan debar jantung yang berlebihan. Sementara Arabica
memberikan rasa kopi yang ringan, aroma yang lumayan, tapi tidak terlalu mengganggu
irama tidur.
Kopi ini telah di simpan selama 8 Tahun agar kadar keasaman Menurun dan dapat di
nikmati oleh penderita penyakit Maag.. Selamat Menikmati... ^_^
Kopi nya ada 2 Jenis... Arabica & Robusta

-kopi Mokka arabica


cocok dinikmati dalam keadaan rileks dan santai
Arabica dapat di minum oleh penderita penyakit darah tinggi
-kopi arabica toraja
yang ini jenis arabica khusus berasal dari toraja
Arabica dapat di minum oleh penderita Darah Tinggi

-kopi robusta
mau kuat melek???cocok buat juragan2 yang hobby begadang ato kerja malam
Robusta dapat dinikmati oleh penderita DIABETES
Perbedaan Kopi Arabika & Robusta
Jenis varietas kopi di dunia ada 40 Jenis, terdapat dua jenis kopi utama yang paling banyak
diperdagangkan, yaitu:

Kopi Arabika,
hampir 75% produksi kopi di dunia merupakan kopi jenis ini (Indonesia menyumbang 10%
dari jumlah tersebut).

Kopi Robusta,
diproduksi sekitar 25% produksi dunia. Dari jumlah tersebut, Indonesia menyumbang 90%.

Berikut Perbedaan antara Kopi Arabika dan Robusta

Bagaimana Mengenali Perbedaan Antara Biji


Kopi Arabika dan Robusta
Satu kata: kualitas. Anda mungkin telah lama sebagai peminum kopi dan masih
merasa bingung dengan perbedaan bentuk biji kopi, seperti yang boleh dibilang, cukup umum di antara
konsumen kopi. Yang Anda butuhkan adalah sedikit pendidikan, dan Anda akan memilih dan membahas biji
kopi kualitas terbaik dalam waktu singkat! Berita terbaru adalah bahwa sebagai pecinta kopi, Anda harus
membeli 100% biji kopi Arabika karena mereka adalah kualitas yang lebih tinggi dari Robusta dilihat sebagai
pengisi lebih murah. Arabica dan Robusta merupakan dua jenis tanaman kopi utama di luar sana, dan
keduanya mempunyai kualitas yang sangat berbeda yang membedakan mereka.

Biji Robusta: Mudah Didapat

Biji robusta tumbuh lebih baik dan lebih mudah untuk panen dari biji kopi Arabika, yang berarti bahwa
mereka membutuhkan perawatan yang kurang dan kurang sensitif terhadap iklim sehingga mereka akan
selalu menjadi jaminan panen. Tanaman ini akan benar-benar menghasilkan lebih banyak buah daripada
Arabika, namun di sisi adalah bahwa minuman yang dihasilkan oleh biji ini rasanya pahit dan asam. Biji
Robusta sendiri jauh lebih tinggi di kafein, bagi pecandu kopi di luar sana, tetapi mereka tetap rendah di
kualitas. Sering kali, pemanggangan biji robusta memiliki kandungan kafein yang lebih tinggi dan lebih
berani rasanya, tetapi Anda akan menemukan Robusta terutama digunakan sebagai pengisi yang murah
untuk memotong biaya kopi grosir dan produk. Ini adalah kasus selera dan rasa yang dikorbankan untuk
biaya. Itu adalah apa yang Anda akan menemukan di sebagian besar ditemukan kopi kalengan di
supermarket karena juga akan menyembunyikan tanda-tanda di kopi staleness yang mungkin telah duduk
di rak untuk beberapa lama.

Biji Kopi Arabuka : Biji Kopi Terbaik

Biji kopi Arabika tumbuh di dataran tinggi dan sangat halus dalam proses panen. Karena perawatan yang
terus-menerus dalam fase pertumbuhan, biji ini menawarkan rasa jauh lebih mengejutkan dan luar biasa
berani profil catatan dalam minuman. Anda akan sering melihat biji kopi Arabika diberi label sebagai kopi
berkualitas, dan mereka mempunyai sekitar setengah dari kafein yang ditemukan dalam biji Robusta. Murni
biji kopi Arabika adalah yang paling langka dan bernilai dalam berbagai kopi dan dapat ditemukan di daging
panggang khusus yang lebih canggih.

Jadi sekarang terserah pada Anda untuk memutuskan mana yang terbaik dan kualitas rasa kopi Anda
terletak pada pilihan. Jika Anda merasakan murni biji kopi Arabika dan segar, kemungkinan adalah bahwa
Anda akan selamanya berubah sekarang mengetahui perbedaan kualitas yang lebih rendah dari kopi yang
dijual secara komersial. Untuk semua penikmat kopi di luar sana, sampling kelas dan gaya biji kopi Arabika
sangat layak usaha.
Aromanya Kopi Aroma
REP | 31 December 2009 | 10:04 754 28 5 dari 6 Kompasianer menilai Menarik

Pagi, di hari kedua kunjungan kami ke Bandung, kami bersiap ke toko sekaligus pabrik kopi
“Aroma”. Toko tersebut terletak di Jl. Banceuy 51, Bandung. Dari penginapan yang terletak di Jalan
Juanda, Dago, kami cukup sekali naik angkot yang menuju St. Hall, lalu berhenti di ujung Jalan
Banceuy. Selanjutnya kami berjalan menuju ke toko tersebut. Tidak jauh, sekitar 200 meter. Kami
melewati toko-toko yang terkesan tua juga. Jarang ada ruko dengan arsitektur dan cat yang baru.
Saat itu, pukul 07.30, aktivitas perdagangan pun sudah tampak ramai.

Maka, sampailah kami di sana. Toko tersebut berada di ujung Jalan Pecinan Lama. Bangunannya
juga masih mempertahankan arsitektur lamanya, tampak pada gambar. Di tembok yang menghadap
Jalan Banceuy, tercetak nama Aroma Paberik Kopi, tertulis dalam ejaan lama. Maka, masuklah kami
ke toko itu. Saat itu, tampak beberapa pengunjung lain sudah berada di dalam toko. Seseorang
berujar, “Minta aja masuk ke dalam. Boleh kok.. Biar bisa melihat proses pembuatannya.” Oya, kami
pun semakin antusias.

Pabrik dan Toko Kopi Aroma

Sambil menunggu giliran masuk ke dalam, kami mengamati sekeliling, bagian depan toko. Kata
seorang teman, “Aduh, kotor amat, debu di mana-mana begini..” Ujarku, “Untuk mengesankan
kejadulannya aja kali”. “He… jadul kan cukup diwakili dengan menampilkan alat-alatnya yang jadul.
Tapi penampilannya harus tetap bersih dong.” Temanku makin kekeuh. Yap, saran yang semoga
didengarkan oleh pemilik toko sebagai perbaikan tampilan tokonya.
salah satu sudut toko. foto dok. pribadi

Seorang pekerja toko kemudian menanyai kami, apakah kami akan membeli kopi. Tentu saja. Aku
memesan 2 kemasan kopi Arabika, yang masing-masing beratnya 0,25 kg. Setiap kemasan
dibandrol dengan harga Rp 13.000,-. Mau yang digiling kasar atau halus. Bedanya, yang halus
sudah disaring. Demikian jawabnya. Kemudian seorang pembeli yang lain memesan, “Pak yang ini
masih kurang kasar ni gilingannya.” “Baik, akan saya ganti lagi, mo yang gilingan kasar seperti apa,”
katanya sambil menunjukkan beberapa kopi yang digiling dengan beberapa tingkat kekasaran.
Ternyata, di toko ini kopi baru akan digiling dan dikemas berdasarkan pesanan. Setelah menggiling,
Bapak tersebut mengambil kantong kertas, dengan terlebih mengecapnya dengan label jenis kopi,
aroma kopi dan label kapan kopi tersebut dikemas. Setelah dikemas dalam kantong kertas,
kemudian didobel dengan plastik baru kemudian diklip dengan hekter/strapler.

Tak berapa lama kemudian, Bapak pemilik toko keluar. Seorang bapak dengan penampilan
sederhana, memakai seragam cokelat seperti seragam pekerja lainnya. Senyum mengembang di
mulutnya. Dari hasil penelusuran melalui Om google, dikatakan bahwa Pak Widya ini adalah salah
satu dosen Fakultas Ekonomi Unpad. Ehm, pantes banyak tuturannya yang menganalogikan
pemrosesan kopi dengan tentang sistem perkuliahan.

Dengan munculnya Pak Widyapratama, berarti kami sudah bisa menjelajah ke dalam toko dan
pabrik dengan pemanduan darinya. Di awal, beliau menjelaskan bahwa kopi yang diproses di pabrik
ini adalah kopi yang telah disimpan sedikitnya 8 tahun untuk jenis Arabika dan 5 tahun untuk jenis
robusta. Mengapa demikian ? “Untuk menghilangkan kadar asamnya dan menajamkan aromanya,”
demikian jawabnya. “Dengan demikian, kami tak perlu menambahkan berbagai bahan kimia dan
berbagai essens. Hal inilah yang membedakannya dengan kopi yang ada di pasaran. Kadar asam
dan bahan kimia kopi Aroma lebih rendah, sehingga tidak memicu kita sering pipis jika
meminumnya. Inilah bedanya dengan kopi yang beredar di pasaran sekarang. Diminum saat pagi
pun aman, tidak akan menimbulkan sakit perut atau sembelit,” tegasnya.

Lalu beliau memaparkan perbedaan kopi arabika dan robusta dari segi pemakaian. Bagi yang
mempunyai tekanan darah tinggi sebaiknya menghindari kopi robusta, sebaliknya, sangat dianjurkan
untuk penderita diabetes karena rasanya yang lebih pahit. “Kopi robusta juga dapat digunakan untuk
meningkatkan vitalitas, bikin melek sepanjang malam dan terutama meningkatkan gairah seks,”
ujarnya sambil tertawa lebar. Kami bertiga yang masih lajang langsung nyengir. Hihihi.. ilmu baru ni..

Kemudian beliau pun mengajak kami ke belakang, ke tempat pemrosesan. Di sana tampak mesin
pemanggang, berbahan bakar kayu. Pembakaran dilakukan selama 4 jam – 8 jam, berbeda dengan
pengoven berbahan bakar gas, yang menghabiskan waktu dua jam saja. “Saya tetap pertahankan
mesin berbahan kayu, untuk memanfaatkan kayu karet yang sudah tidak produktif,” demikian ujar
Pak Widya.

Lalu dibawanya kami ke tempat pengeringan kopi di belakang pabrik. Hanya sedikit kopi yang
tampak dijemur saat itu. “Ini adalah kopi yang baru dikirim dari petani. Masih tampak hijau kan.
Setelah dikeringkan beberapa hari, kopi ini akan dikarung kembali kemudian disimpan dalam
gudang di dalam.” Lalu kami diajaknya ke gudang yang penuh dengan karung kopi. Lalu dia pun
memberikan kesempatan kami untuk berfoto di dalamnya. “Banyak yang melakukannya karena
sangat artistik., Kalian foto saja di sini, trus ntar dimuat di facebook deh..” dorongnya. Hehehe, Pak
Widya ternyata kenal facebook juga. Sepertinya dia sadar, bahwa social network dan social
blog adalah media yang ampuh untuk mempromosikan pabriknya. Tanpa sadar, orang yang telah
berkunjung ke kopi aroma dan mempublish foto atau tulisannya ikut juga mempromosikan produk
ini. So, bukan suatu kerugian untuk menjalinrelationship dengan pengunjung, menyambut mereka
dengan keramahan, keterbukaan dan membawa mereka langsung ke pabrik untuk menyaksikan
langsung proses pembuatan kopinya.

3 onthel 3 generasi. foto dok.pribadi

Akhirnya setelah ceklak-ceklik di sana-sini, kami pun berjalan ke luar. Kami tidak mau berlama-lama
di dalam pabrik. Bukannya tidak betah karena debu kopi yang beterbangan cukup banyak, tapi di
luar sana, pengunjungnya yang menanti giliran masuk ke pabrik juga makin banyak. Kami harus
berbagi kesempatan agar mereka juga mendapatkan ilmu dari Pak Widya. Sebelum keluar, aku pun
sempat menengok ke dinding atas pabrik yang memajang tiga sepeda onthel. “Lambang 3 generasi
yang telah menjalankan bisnis ini sejak 1930,” ujarnya.

Di rumah, kopi Aroma pun saya coba sebagai sarapan. Doping untuk memelekkan mata karena
kebiasaan tidur larut. Dan benar, kopi ini tidak membuatku sering pipis. Kuharap memang bukan
karena sugesti, namun karena proses pembuatannya yang dilakukan lebih lama dan alami.
Setiap minum kopi ini, saya jadi teringat pada ujaran Pak Widya pagi itu, “Banyak orang yang
beranggapan bahwa usaha saya ini tidak efisien. Namun bagi saya, berusaha tu tidak hanya
mengenai hitung-hitungan untung dan rugi. Usaha itu akan kita pertanggungjawabkan setelah kita
meninggal, jadi setiap berusaha, prosesnya saya usahakan untuk selalu bersih dan benar, sehingga
bisa produk yang dihasilkan aman dan bermanfaat bagi tubuh, bukannya malah memberikan efek
negatif.” Wah, jarang-jarang lho, ada yang memegang prinsip seteguh ini. Teladan yang patut
ditiru !! Bagaimana menurut Anda..?

Anda mungkin juga menyukai