Anda di halaman 1dari 45

REAKSI OBAT

KELOMPOK B-4
KETUA : SAFITRI QAMILA ( 1102007161 )
SEKERTARIS : SOFIAH ( 1102007265 )
ANGGOTA : JURIAH ( 1102007159 )
KARTINI ANISA LAFONDA ( 1102007160 )
KHARIS MADI ( 1102007161 )
RYAN PERMANA PUTRA ( 1102007246 )
SAFITRI RAHAYU ( 1102007248 )
SANDRA AMELIA ( 1102007250 )
SISCA AGUSTIA OLII ( 1102007260 )
SITI RAMADHANI ( 1102007263 )
REAKSI OBAT
Seorang laki-laki, 28 tahun datang ke UGD dengan sesak nafas , nafasnya berbunyi
disertai gatal-gatal ditubuhnya, kulit merah dan melepuh sejak dua hari yang lalu.
Keluhan ini dialami setelah pasien mempunyai riwayat penyakit asthma. Oleh dokter UGD
yang memeriksanya didapatkan :
KU : Sedang , Sens : CM
Vital sign : TD : 100/70mmHg ; Nadi : 100x/menit ; RR : 30x/menit ; suhu : 36,5 C

Pemeriksaan fisik :
THT : Sesak nafas Jackson derajat II-III
Regio thorax :
► Inspeksi : simetris
► Palpasi : SF Kanan = kiri
► Perkusi : sonor
► Auskultasi : Wheezing (+)

Status Dermatologis :
Lokasi 1 : Mata
Ujud kelainan : mata merah , sekret (+)
Lokasi 2 : Kulit , badan , dan ekstermitas atas dan bawah
Ujud kelainan : vesikel , bula berbagai ukuran , lesi target (+) , erosi
Lokasi 3 : Bibir
Ujud kelainan kulit : krusta hemorragi
Kelainan tubuh hiperemis (+) , bullae (+)
STEP 1
► Memahami dan menjelaskan laringitis akut
 Definisi laringitis akut
 Etiologi laringitis akut
 Patofisiologi laringitis akut
 Manifestasi klinis laringitis akut
 Tatalaksana laringitis akut
► Memahami dan menjelaskan asma ( status asmatikus )
 Definisi asma
 Etiologi asma
 Klasifikasi asma
 Patofisiologi asma
 Manifestasi klinis asma
 Diagnosis asma
 Pengobatan dan edukasi asma
► Memahami dan menjelaskan sindroma steven-jhonson (SSJ )
 Definisi SSJ
 Etiologi SSJ
 Patofisiologi SSJ
 Manifestasi klinis SSJ
 Diagnosis ssj
 Diagnosis banding SSJ
 Tatalaksana SSJ
 Prognosis SSJ
STEP 2
MANDIRI
STEP 3
LARINGITIS AKUT
Laringitis akut adalah suatu radang laring
yang disebabkan terutama oleh virus dan
dapat pula disebabkan oleh bakteri , yang
berlangsung kurang dari 3 minggu.
ETIOLOGI LARINGITIS AKUT :
► Infeksi virus influenza (tipe A dan B),
parainfluenza (tipe 1, 2, 3), rhinovirus dan
adenovirus.
► Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae,
Branhamella catarrhalis, Streptococcus
pyogenes, Staphylococcus aureus dan
Streptococcus pneumoniae.
► Penyakit ini juga dapat terjadi karena
perubahan musim / cuaca ,Pemakaian suara
yang berlebihan, Trauma ,Bahan kimia
,Merokok dan minum-minum alkohol ,Alergi
PATOFISIOLOGI LARINGITIS AKUT :
► Parainfluenza virus, yang merupakan
penyebab terbanyak dari laringitis, masuk
melalui inhalasi dan menginfeksi sel dari
epitelium saluran nafas lokal yang bersilia,
ditandai dengan proses inflamasi sehingga
merangsang kelenjar mukus untuk
memproduksi mukus yang berlebih dan
merangsang batuk hebat .
► Terjadi pembengkakan dan kemerahan dari
saluran nafas yang terlibat, kebanyakan
ditemukan pada dinding lateral dari trakea
dibawah pita suara.
► Karena trakea subglotis dikelilingi oleh
kartilago krikoid, maka pembengkakan
terjadi pada lumen saluran nafas dalam,
menjadikannya sempit, bahkan sampai
hanya sebuah celah.
► Mukus yg berlebih dan pembengkakan pd
saluran nafas sehingga menyumbatan aliran
udara pada saluran nafas atas akan
berakibat terjadinya stridor dan kesulitan
bernafas yang akan menuju pada hipoksia
ketika sumbatan yang terjadi berat.
MANIFESTASI KLINIS :
► Gejala lokal seperti suara parau , bahkan sampai tidak
bersuara sama sekali (afoni).
► Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menalan atau
berbicara.
► Gejala radang umum seperti demam, malaise
► sumbatan total menimbulkan sesak nafas ,hipoksia
sehingga anak menjadi gelisah dan sianosis.
► gejala common cold
► mukosa laring yang hyperemis, membengkak dan juga
didapatkan tanda radang akut di hidung atau sinus
paranasal atau paru.
► stridor,Kadang-kadang dapat ditemukan mengi yang
menandakan penyempitan yang parah.
► edema laring diikuti edema subglotis menyebabkan anak
menjadi gelisah, air hunger (megap-megap), sesak
semakin bertambah berat, ditemukan retraksi suprasternal
dan epigastrium yang dapat menyebabkan keadaan
darurat dan mengancam jiwa anak.
Sumbatan saluran napas atas dapat dibagi menjadi 4
derajat berdasarkan kriteria Jackson :
► Jackson I ditandai dengan sesak, stridor inspirasi
ringan, retraksi suprasternal, tanpa sianosis.
► Jackson II adalah gejala sesuai Jackson I tetapi
lebih berat yaitu disertai retraksi supra dan
infraklavikula, sianosis ringan, dan pasien tampak
mulai gelisah.
► Jackson III adalah Jackson II yang bertambah
berat disertai retraksi interkostal, epigastrium, dan
sianosis lebih jelas.
► Jackson IV ditandai dengan gejala Jackson III
disertai wajah yang tampak tegang, dan terkadang
gagal napas.
► Anak yang menderita laringitis harus menerima
minimal 0.15 sampai 0.6 mg/kg deksametason
dosis tunggal secara peroral, intramuscular,
maupun intravena.
► Dan bukti sekarang menunjukkan perlunya
nebulisasi bunesonide, dengan dosis 2 mg
terutama pada keadaan darurat.
► Penggunaan helium-oksigen telah berhasil
meningkatkan aliran udara pada pasien dengan
obstruksi saluran nafas atas.
► Selain pengobatan kadang pasien memerlukan
juga intubasi endotrakeal. Pasien harus diberi
oksigen lembab selama diintubasi. Anak dengan
laringitis memerlukan perawatan di rumah sakit.
► Pemberian antibiotik tidak disarankan kecuali hasil
kultur menunjukkan adanya streptococcus.
TATALAKSANA LARINGITIS AKUT :
► Pasien dateng dengan hipoksemia, sehingga
oksigenisasi harus diberikan oksigen yang
dilembabkan.
► Oksigenisasi dapat dinilai pertama-tama dengan
cara oximetry pulse noninvasif untuk
meminimalkan ketidaknyamanan dan
memaksimalkan ketenangan pasien.
► Pada pasien dengan keadaan gawat tidak boleh
diberikan makan dan harus diberikan cairan
intravena untuk mempertahankan rehidrasi.
► Nebulisasi epinefrin rasemic dapat memperbaiki
distres pernafasan, tetapi bila tidak terdapat
epinefrin rasemic maka dapat digunakan epinefrin
saja.
Asma bronchial
► Asma merupakan suatu
penyakit gangguan jalan
nafas obstruktif intermiten
yang bersifat reversibel,
ditandai dengan adanya
periode bronkospasme,
peningkatan respon trakea
dan bronkus terhadap
berbagai rangsangan yang
menyebabkan
penyempitan jalan nafas.
PENYEBAB Pada penderita asma :
► penyempitan saluran pernafasan
merupakan respon terhadap rangsangan
yang pada paru-paru normal tidak akan
mempengaruhi saluran pernafasan.
► Penyempitan ini dapat dipicu oleh berbagai
rangsangan, seperti serbuk sari , debu, bulu
binatang, asap, udara dingin dan olahraga.
klasifikasi berdasarkan tingkat kegawatan
terbagi dalam :
► Serangan asma akut ringan, dengan gejala:
 Rasa berat di dada
 Batuk kering ataupun berdahak
 Gangguan tidur malam karena batuk atau sesak napas
 Mengi tidak ada atau mengi ringan
 APE (Arus Puncak Aspirasi) kurang dari 80 %
► Serangan Asma akut sedang, dengan gejala:
 Sesak dengan mengi agak nyaring
 Batuk kering/berdahak
 Aktivitas terganggu
 APE antara 50-80%
► Serangan Asma akut berat, dengan gejala:
 Sesak sekali
 Sukar berbicara dan kalimat terputus-putus
 Tidak bisa berbaring, posisi mesti 1/2 duduk agar dapat bernapas
 APE kurang dari 50 %.
Status asmatikus
► Statusasmatikus adalah keadaan darurat
medik paru berupa serangan asma yang
berat atau bertambah berat yang bersifat
refrakter sementara terhadap pengobatan
yang lazim diberikan. Refrakter adalah tidak
adanya perbaikan atau perbaikan yang
sifatnya hanya singkat, dengan pengamatan
1-2 jam.
Gambaran klinis Status Asmatikus :
► Penderita tampak sakit berat dan sianosis.
► Sesak nafas, bicara terputus-putus.
► Banyak berkeringat, bila kulit kering
menunjukkan kegawatan sebab penderita
sudah jatuh dalam dehidrasi berat.
► Pada keadaan awal kesadaran penderita
mungkin masih cukup baik, tetapi lambat
laun dapat memburuk yang diawali dengan
rasa cemas, gelisah kemudian jatuh ke
dalam koma.
PATOFISIOLOGI
PEMERIKSAAN FISIK :
► Perhatian pertama adalah pada keadaan umum
pasien, pasien dengan kondisi yang sangat berat
akan duduk tegak. Selain itu pada pemeriksaan
fisik didapatkan :
1. penggunaan otot-otot bantu pernafasa
2. Frekuensi nafas > 30 kali per menit
3. Takikardia > 120 x/menit
4. Pulsus Parokdoksus >12 mmHg
5. wheezing ekspiratoar
PEMERIKSAAN PENUNJANG :
a. Spirometri : Cara yang sederhana adalah uji
bronkodilator nebulizer golongan adrenerjek beta.
Pemeriksaan menggunakan spirometri selain menegakkan
diagnosis juga dapat menilai derajat obstruksi yang ada
dan efek pengobatan yang telah dilakukan.
b. Uji provokasi bronkhus : Tes ini untuk memprovokasi
bronkus agar efek asma bisa dibaca.
c. Pemeriksaan sputum : Sputum eosinofil merupakan ciri
dari asma, menggunakan kristal Charcot-leyden, dan spiral
Curschmann
d. Pemeriksaan eosinofil total : Pada pemeriksaan darah
dijumpai kadar eosinofil yang tinggi.
e. Uji kulit : Tujuannya untuk menunjukkan antibodi spesifik
dalam tubuh.
f. Pemeriksaan kadar IgE total dan kadar IgE sputum :
Tujuan pemeriksaan ini untuk menyokong dugaan atopi
pada penderita.
g. Foto dada : untuk menyingkirkan penyebab lain
obstruksi saluran nafas yang lain. Pemeriksaan
Thorax foto umum dilakukan dengan indikasi
kecurigaan adanya pneumoni atau pasien asma
yang setelah 6-12 jam dilakukan pengobatan
intensif tidak membaik.
h. Monitor Irama Jantung : EKG dilakukan
apabila terdapat kemungkinan diagnosa banding
Asma Cardiale ataupun gawat jantung lain yang
kemungkinan menyertai Asma umumnya dilakukan
pada penderita lansia dan atau umur 45 tahun.
i. Analisa gas darah : Pemeriksaan ini hanya
dilakukan bila kita mencurigai adanya gangguan
asam basa dalam tubuh. Gangguan asam basa
dicurigai pada asma yang berat atau SpO2 tidak
membaik >90%.
PROSEDUR TETAP STATUS ASMATIKUS

► Menetapkan beratnya Tanda tanda


fisik
Score 0 Score 1

penyakit dan beratnya Nadi < 120mmHg > 120mmHg


terapi dengan Pernafasan <30 x/m >30 x/m
menggunakan
predictor index scoring Pulsus
paradoksus
< 18 mmHg >18 mmHg

system : PEFR > 120 l/m < 120 l/m

► Catatan : Bila score


lebih dari 4 harus MRS Sesak Nafas Ringan berat

dan Bila ada silent Retraksi Tidak ada ada

Chest merupakan Wheezing Ringan berat


tanda bahaya
Mengatasi Keadaan Gawat :
► Infus RL : D5 = 3: 1 dengan tetesan sesuai
kebutuhan rehidrasi.
► Oksigen 2– 4 l/m melalui nasal prong.
► Aminofilin bolus 5-6 mg / kgBB i.v pelan
selama 20-30 menit dilanjutkan maintenance
20 mg/kgBB/hari diberikan secara drip.
► Terbutalin 0,25 mg / 6 jam subcutan atau
I.V. atau orciprenalin 0,25 mg / 6 jam
subcutan atau I.V. pelan (penelitian terakhir
tidak berbeda bermakna)
► Hidrocortison sodium suksinat 4 mg / kgBB / 4 jam I.V
( 200 mg / 4 jam I.V. ) bisa juga memakai
dexamethason 20 mg / 6 jam I.V. selain itu dapat
digunakan 160 mg methilprednisolon dalam dosis terbagi
4 kali per hari, kortikosteroid diberikan sampai membaik
secara klinis dan laboratoris. Disamping parenteral
diberikan juga Prednison peroral 3 x 10 mg per hari
sampai keadaan membaik diberhentikan secara
tappering off.
► Antibiotik bila jelas ada infeksi : Oksitetrasiklin 2 x 100
mg I. M. atau Amoxillin / Ampicillin 2 x 1 g I.V. atau
golongan antibiotik yang sesuai dngan sumber
infeksinya.
► Menilai hasil tindakan dan terapi : Dengan keadaan klinis
( scoring) dan secara laboratoris yaitu pemeriksaan faal
paru, analisa gas darah , elektrolit, leukosit dan eosinofil
serta monitoring EKG.
Bila terjadi kegagalan terapi :
a. Asidosis respiratorik
- Ventilasi diperbaiki
- Pemberian Nabic
b. Hipoksia berat ( PaO2 < 50 mmHg )
- Pemberian O2 4- 6 L/m dengan venturi mask
c. Gagal napas akut
- alat bantu napas ( ventilator mekanik )
syarat : - apneu
- kenaikan PaCO2 > 5 mmHg / jam disertai asidosis
respiratorik akut
- Nilai absolut PaCO2 > 50 mmHg disertai asidosis
respiratorik akut
- Hipoksia refrakter walau sudah diberi O2
SINDROMA STEVEN-JHONSON
► Steven-Johnson Syndrome (SJS) sebuah
kondisi mengancam jiwa yang
mempengaruhi kulit dimana kematian sel
menyebabkan epidermis terpisah dari
dermis,dan juga merupakan reaksi
hipersensitivitas yang diperantarai kompleks
imun yang merupakan bentuk berat dari
eritema multiformis. SJS dikenal pula
sebagai eritem multiformis mayor.
► Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, walaupun pada umumnya
sering dikaitkan dengan respons imun terhadap obat.
Infeksivirus  Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae, vaksinia
jamur koksidioidomikosis, histoplasma
bakteri streptokokus, Staphylococcs haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis,
  salmonela
parasit                 malaria

Obat salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif,


klorpromazin, karbamazepin, kinin, analgetik/antipiretik

Makanan Coklat

Fisik udara dingin, sinar matahari, sinar X

Lain-lain penyakit kolagen, keganasan, kehamilan


PATOFISIOLOGI
► Patogenesis SSJ sampai saat ini belum  jelas
walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun)
yang disebabkan oleh kompleks soluble dari
antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM
dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat
(delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV)
adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang
spesifik.
► Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit
dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin,
serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.
► Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan
karier yang dapat merangsang respons imun spesifik
sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau
karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya
virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang
timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur
sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat
infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun
beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa,
serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi
komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi.
► Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T
serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan
yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan
mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas
mediator serta produk inflamasi lainnya.
► Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan
apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan
kerusakan epidermis.
GEJALA KLINIK
Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa :
► Demam
► malaise
► batuk
► korizal
► sakit menelan
► nyeri dada
► muntah
► pegal otot
► atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat
dan kombinasi gejala
► Trias Sindrom Stevens-Johnson adalah :
1. Kelainan kulit berupa eritema, vesikel dan bula yang
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas.
Purpura dapat terjadi dan prognosisnya menjadi lebih
buruk. Pada keadaan berat kelainannya generalisata,
khas berupa lesi target.
2. Kelainan selaput lendir orifisium,ialah pada mukosa
mulut , orifisium genetalia eksterna , lubang hidung dan
anus . Lesi awal berupa vesikel di bibir, lidah dan
mukosa bukal yang kemudian pecah membentuk erosi,
ekskoriasi, eksudasi, krusta kehitaman dan
pembentukkan pseudomembran. Biasanya juga terjadi
hipersalivasi dan lesi dapat berulserasi. Di bibir kelainan
yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang
tebal akibat ekskoriasi.Kelainan di mulut yang hebat dan
terbentuknya pesudomembran berwarna putih atau
keabuan di faring dapat menyebabkan kesulitan
menelan, sedangkan kelainan di saluran pernafasan
bagian atas dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
3. Mata : konjungtivitas kataralis,
blefarokonjungtivitis, iritis,
iridosiklitis, kelopak mata edema
dan sulit dibuka, pada kasus
berat terjadi erosi dan perforasi
kornea yang dapat
menyebabkan kebutaan. Cedera
mukosa okuler merupakan
faktor pencetus yang
menyebabkan terjadinya ocular
cicatricial pemphigoid,
merupakan inflamasi kronik dari
mukosa okuler yang
menyebabkan kebutaan. Waktu
yang diperlukan mulai onset
sampai terjadinya ocular
cicatricial pemphigoid bervariasi
mulai dari beberapa bulan
sampai 31 tahun.
DIAGNOSIS 
► Anamnesis dan pemeriksaan
fisis ditujukan terhadap
kelainan yang dapat sesuai
dengan trias kelainan kulit,
mukosa, mata, serta
hubungannya dengan faktor
penyebab.
► Secara klinis terdapat lesi
berbentuk target, iris, atau
mata sapi, kelainan pada
mukosa, demam, dan hasil
biopsi yang sesuai dengan
SSJ .
- Pemeriksaan laboratorium : Pemeriksaan
yang rutin adalah pemeriksaan darah Jika
terdapat leukositosis, penyebabnya
kemungkinan karena infeksi bakterial.
Kalau terdapat eosinofilia kemungkinan
karena alergi. Jika penyebabkan suspek
karena infeksi maka dapat dilakukan kultur
darah.
- Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan
C4 normal atau sedikit menurun, dan
dapat dideteksi adanya kompleks imun
yang beredar.
► Pemeriksaan imunofluoresen dapat
memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin.
Untuk mendapat hasil pemeriksaan
imunofluoresen yang baik maka bahan biopsi kulit
harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang
dari 24 jam.
► Hasil biopsi dapat menunjukkan adanya nekrosis
epidermis dengan keterlibatan kelenjar keringat,
folikel rambut dan perubahan dermis.
► Anemia dapat dijumpai pada kasus berat yang
menunjukkan gejala perdarahan.
► Gambaran histopatologinya sesuai dengan edema
multiforme, bervariasi dari perubahan dermal yang
ringan sampai nekrolisis epidermal yang
menyeluruh
DIAGNOSIS BANDING
Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target
yang umum, terjadi pasca infeksi, sering
rekuren namun morbiditasnya rendah.
Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister
yang luas dan makulopapular, biasanya
terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh
obat dengan angka morbiditas yang tinggi
dan prognosisnya buruk. Dalam konsep ini,
SJS dan TEN kemungkinan sama-sama
merupakan proses yang diinduksi obat yang
berbeda dalam derajat keparahannya.
Terdapat 3 derajat
klasifikasi yang
diajukan :

1. Derajat 1 : erosi
mukosa SJS dan
pelepasan epidermis
kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya
lapisan epidermis
antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya
lapisan epidermis lebih
dari 30%
PENATALAKSANAAN
► Terapi suportif : Pemberian cairan tergantung dari luasnya
kelainan kulit dan mukosa yang terlibat. Pemberian nutrisi
melalui pipa nasogastrik dilakukan sampai mukosa oral
kembali normal. Lesi di mukosa mulut diberikan obat
pencuci mulut dan salep gliserin.
► Untuk infeksi, diberikan antibiotika spektrum luas, biasanya
dipergunakan gentamisin 5mg/kgBB/hari IM dalam dua
dosis. Pemberian antibiotik selanjutnya berdasarkan hasil
biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan
darah.
► Kortikosteroid diberikan parenteral, biasanya
deksametason dengan dosis awal 1 mg/kgBB bolus,
kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kgBB tiap 6 jam, lalu
diturunkan berangsur-angsur, TETAPI Pemberian
kortikosteroid sistemik masih kontroversial.
► Penggunaan Human Intravenous Immunoglobulin
(IVIG) dapat menghentikan progresivitas penyakit SSJ
► Pada kulit atau epidermis yang mengalami nekrosis dapat
dilakukan debridement. Untuk mencegah sekuele okular
dapat diberikan tetes mata dengan antiseptik.
► Faktor penyebab (obat atau faktor lain yang diduga
sebagai penyebab) harus segera dihentikan atau diatasi.
► Antihistamin bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen
maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3
tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia  3-12 tahun 15 mg/dosis,
diberikan 3 kali/hari.  
► Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan
Burowi.
► Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada
lesi kulit.
► Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
► Terapi infeksi sekunder :klindamisin intravena 8-16
mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
PROGNOSIS
► Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya
baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu
2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-
15% pada kasus berat dengan berbagai
komplikasi atau pengobatan terlambat dan
tidak memadai. Prognosis lebih berat bila
terjadi purpura yang lebih luas. Kematian
biasanya disebabkan oleh gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit,
bronkopneumonia, serta sepsis.
SELESAI

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai