Anda di halaman 1dari 3

Menyoal Status Pulau Kecil Di Wilayah Perbatasan

Monday, 11 April 2005

Rencana Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) untuk mengajukan


hak interpelasi kepada pemerintahan mengenai lepasnya pulau Sipadan-Ligitan,
seperti diberitakan harian ini perlu dicermati secara serius. Sekalipun kedua pulau itu
mustahil kembali menjadi milik Indonesia, namun interpelasi DPR merupakan
warning bagi pemerintah agar memperhatikan status pulau-pulau kecil (PPK) wilayah
perbatasan.

Wilayah perbatasan Indonesia menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 tahun 2002
memiliki 88 buah PPK yang berbatasan langsung dengan 10 negara tetangga, yaitu
Australia, Thailand, India, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua
Nugini dan Timor Leste. Di sinilah perlunya mendapatkan perhatian serius
pemerintah, agar tidak terulang kasus Sipadan-Ligitan.

Problem PPK Perbatasan


Wilayah perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih menyimpan
problem pokok yang mesti mendapat perhatian serius. Pertama, belum adanya
peraturan perundangan yang menjustifikasi perbatasan wilayah NKRI secara de facto
maupun de jure. Batas wilayah laut yang ada saat ini adalah batas laut teritorial 12
mil, batas perairan Zone Ekonomi-Eksklusif 200 mil, batas landas kontinen dan batas
zona tambahan 24 mil. Batas laut ini sebagian sudah dirundingkan dengan negara
tetangga sesuai hukum laut internasional. Peraturan yang kita punyai berkaitan
dengan perbatasan adalah PP No. 38 tahun 2002 tentang daftar koordinat geografis
titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia.
Kedua, di wilayah perbatasan NKRI terdapat 12 buah PPK yang terancam lepas.
(Dishidros TNI-AL, 2003). Ada beberapa yang dapat disampaikan. Satu, pulau Rondo
di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), terletaknya paling utara wilayah
Indonesia. Pulau ini berbatasan langsung dengan kepulauan Nikobar (India). Nelayan
dari kepulauan Nikobar kerap menjadikan pulau ini sebagai tempat persinggahan dan
ada yang menetap. Berdasarkan perundingan pemerintah RI 1974 dan diratifikasi
dengan Keppres No. 51 Tahun 1974, pemerintah Indonesia sudah menetapkan batas
landas kontinen.

Dua, pulau Berhala di wilayah Sumatera Utara, berbatasan langsung dengan


Malaysia. Problemnya adalah pemerintah Malaysia telah menetapkan batas landas
kontinen dan perairan ZEE-nya mengikuti kaidah negara kepulauan (archipelago
state) yakni menarik garis kedua batas tersebut dari pulau-pulau terluar dari
negaranya. Hal ini tidak dibenarkan menurut UNCLOS 1982 karena Malaysia bukan
negara kepulauan, tetapi negara kontinental. Akibatnya, nelayan Indonesia kerapkali
tertangkap tatkala menangkap ikan di Selat Malaka karena dianggap masuk perairan
Malaysia.

Tiga, pulau Nipah di wilayah Riau, yang berbatasan langsung dengan Singapura.
Sekarang, pulau ini mengalami abrasi yang sangat parah. Penyebabnya adalah
eksploitasi pasir laut di perairan Riau yang juga dijual ke Singapura. Seandainya
pulau ini hilang akibat abrasi dan Singapura semakin bertambah daratannya akibat
reklamasi, maka garis batas asli (original coast line) antara Indonesia dengan
Singapura menjadi tidak jelas.

Empat, Pulau Sekatung di wilayah Riau Kepulauan. Pulau ini terletak laut Cina
Selatan dan berbatasan dengan Vietnam. Pemerintah Indonesia dengan Vietnam telah
menandatangani perjanjian batas landas kontinen tetapi batas perairan ZEE-nya belum
dilakukan. Cina pun mengklaim perbatasanya dekat dengan pulau ini, sehingga
Indonesia perlu juga melakukan perundingan dengan pemerintah Cina.

Lima, pulau Marore, Marampit dan Miangas. Pulau-pulau ini terletak di wilayah
Sulawesi Utara, berbatasan langsung dengan Filipina. Problemnya sekarang adalah
perundingan antara pemerintah Indonesia dan Filipina membicarakan masalah pulau-
pulau ini belum ada; dan pemerintah Filipina telah memasukan pulau-pulau ini dalam
UUD negaranya. Justifikasi kepemilikan Indonesia atas pulau-pulau tersebut hanya
berdasarkan keputusan Hakim Hubber tahun 1928 di Mahkamah Arbitrase
Internasional.

Enam, pulau Fani di Kepulauan Asia dan pulau Fanildo serta Bras di kepulauan
Mapia. PPK ini masuk wilayah Papua dan berbatasan langsung dengan Palau dan
Papua Nugini khususnya kepulauan Mapia. Saat ini penduduk yang bermukim di
pulau-pulau tersebut sebanyak 200 orang (Dishidros, TNI-AL 2003). Palau telah
mengeluarkan batas ZEE-nya, sedangkan Indonesia baru menetapkan titik dasar saja.
Problemnya, pemerintah Indonesia belum juga melakukan perundingan dengan
pemerintah Palau maupun Papua Nugini baik landas kontinen maupun ZEE.

Tujuh, pulau Batek Di NTT. Pulau ini berbatasan dengan NTT dan wilayah Oecussi
Negara Timor Leste yang baru saja merdeka. Sekarang ini, Direktur Jenderal
Perhubungan Laut baru memasang lampu Suar di pulau tersebut. Problemnya adalah
pemerintah Indonesia belum mengadakan perundingan dengan pemerintah Timor
Leste mengenai batas landas kontinen maupun ZEE. Persis dengan PPK yang
berbatasan dengan Palau dan Papua Nugini.

Delapan, pulau Pasir (Asmhore Island) di wilayah NTT yang berbatasan dengan
Australia. Saat ini pulau tersebut termasuk teritori maritim Australia. Fakta sejarah
menunjukkan bahwa pulau Pasir adalah milik Indonesia, karena pemerintah Hindia
Belanda saat menyerahkan kekuasaannya kepada Indonesia, seluruh wilayah jajahan
diserahkan termasuk pulau Pasir. Fakta sejarah lain menyebutkan juga bahwa di pulau
ini banyak ditemukan batu nisan, makam sesepuh warga Timor Barat, provinsi NTT.
Makanya, Yayasan Peduli Timor Barat menuntut agar pemerintah Indonesia
“merebut’ kembali pulau tersebut (Kompas, 2/02/2002).

Anehnya, Departemen Luar Negeri (Deplu) RI malah mengatakan bahwa pulau itu
milik Australia berdasarkan kesepakatan pemerintah RI-Australia tahun 1997 tentang
batas landas kontinen dan ZEE.
Ketiga, provinsi-provinsi di Indonesia yang batas administrasinya laut dalam UU
pembentukan provinsi, kerap tidak jelas penentuan sampai dimana batas provinsi itu
ke arah perairan laut. Hanya disebutkan misalnya Provinsi Sulawesi Utara bagian
utara berbatasan dengan Laut Sulawesi. Tidak jelas berapa mil laut batas itu. Padahal
di perairan laut tersebut terdapat PPK yang berbatasan langsung dengan Filipina. Hal
ini menjadi problem tersendiri tatkala keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang
kewenangan di wilayah laut. Pasalnya, PPK tersebut kerapkali letaknya lebih dari 4
mil (kewenangan kabupaten) maupun 12 mil (kewenangan provinsi) dari daratan
pulau induknya. Inilah tugas Departemen Dalam Negeri (Depdagri) untuk meninjau
kembali dan menetapkan aturan batas yang jelas kearah laut baik Kabupaten/Kota
maupun provinsi.

Keempat, belum adanya institusi/lembaga yang mengurusi masalah wilayah


perbatasan termasuk PPK-nya Sekarang ini urusan masalah perbatasan melibatkan
beberapa institusi negara yakni Departemen Luar Negeri, Mabes TNI-AL, Direktur
Jenderal Perhubungan Laut, Dephub, dan yang terbaru Direktur Jenderal Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, DKP. Jadi, lembaga yang mengurusi perbatasan dan PPK-nya
masih beragam dan terkesan tanpa koordinasi. Buktinya saja adalah (i) DPR dan
Dephan berinisiatif menyiapkan RUU Wilayah Perbatasan NKRI. Sedangkan, DKP
dan DPR konon menyiapkan RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil (PWP3K). Hemat penulis RUU Wilayah Perbatasan kalaupun nanti jadi
diundangkan sebaiknya menginternalisasikan PPK perbatasan. Tidak perlu dimasukan
dalam RUU PWP3K yang sebenarnya tidak ada urgensinya dan banyak bertentangan
dengan eksistensi NKRI di wilayah perbatasan. Umpamanya, diperbolehkannya
investasi di pulau-pulau kecil yang merupakan bahasa lain dari penyewaan.

Institusi Koordinasi
Mengacu pada problem-problem di atas dan supaya peraturan perundangan yang
dibuat efektif, maka urgensi hadirnya institusi/lembaga yang mengkoordinasikan
kebijakan pembangunan kelautan (ocean development policy) dan mengurusi wilayah
perbatasan menjadi keniscayaan. Hal ini penting karena urusan perbatasan tidak
sekedar menyangkut ancaman lepasnya PPK tersebut akibat problem status
perbatasan yang belum tuntas dan mempunyai landasan yuridis kuat dengan negara 10
negara tetangga kita. Tetapi, lebih dari itu persoalan geo-politik dan geo-strategis
yang menyangkut eksistensi NKRI.

Selain perlu hadirnya institusi koordinasi, pemerintah Indonesia (Deplu, Depdagri,


Mabel TNI-AL, instansi terkait lainnya dan DPR) mulai mempersiapkan babak baru
merundingkan masalah perbatasan yang belum tuntas dan muncul belakangan dengan
kesepuluh negara tetangga yang berbatasan langsung. Jika hal ini dibiarkan, tidak
menutup kemungkinan PPK perbatasan yang penulis sebutkan sebelumnya akan lepas
lagi dari NKRI, seperti halnya Sipadan-Ligitan akibat kelalaian dan ketidakpedulian
kita sendiri.

Reference: web.ipb.ac.id

Anda mungkin juga menyukai