Menyoal Status Pulau Kecil Di Wilayah An
Menyoal Status Pulau Kecil Di Wilayah An
Wilayah perbatasan Indonesia menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 tahun 2002
memiliki 88 buah PPK yang berbatasan langsung dengan 10 negara tetangga, yaitu
Australia, Thailand, India, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua
Nugini dan Timor Leste. Di sinilah perlunya mendapatkan perhatian serius
pemerintah, agar tidak terulang kasus Sipadan-Ligitan.
Tiga, pulau Nipah di wilayah Riau, yang berbatasan langsung dengan Singapura.
Sekarang, pulau ini mengalami abrasi yang sangat parah. Penyebabnya adalah
eksploitasi pasir laut di perairan Riau yang juga dijual ke Singapura. Seandainya
pulau ini hilang akibat abrasi dan Singapura semakin bertambah daratannya akibat
reklamasi, maka garis batas asli (original coast line) antara Indonesia dengan
Singapura menjadi tidak jelas.
Empat, Pulau Sekatung di wilayah Riau Kepulauan. Pulau ini terletak laut Cina
Selatan dan berbatasan dengan Vietnam. Pemerintah Indonesia dengan Vietnam telah
menandatangani perjanjian batas landas kontinen tetapi batas perairan ZEE-nya belum
dilakukan. Cina pun mengklaim perbatasanya dekat dengan pulau ini, sehingga
Indonesia perlu juga melakukan perundingan dengan pemerintah Cina.
Lima, pulau Marore, Marampit dan Miangas. Pulau-pulau ini terletak di wilayah
Sulawesi Utara, berbatasan langsung dengan Filipina. Problemnya sekarang adalah
perundingan antara pemerintah Indonesia dan Filipina membicarakan masalah pulau-
pulau ini belum ada; dan pemerintah Filipina telah memasukan pulau-pulau ini dalam
UUD negaranya. Justifikasi kepemilikan Indonesia atas pulau-pulau tersebut hanya
berdasarkan keputusan Hakim Hubber tahun 1928 di Mahkamah Arbitrase
Internasional.
Enam, pulau Fani di Kepulauan Asia dan pulau Fanildo serta Bras di kepulauan
Mapia. PPK ini masuk wilayah Papua dan berbatasan langsung dengan Palau dan
Papua Nugini khususnya kepulauan Mapia. Saat ini penduduk yang bermukim di
pulau-pulau tersebut sebanyak 200 orang (Dishidros, TNI-AL 2003). Palau telah
mengeluarkan batas ZEE-nya, sedangkan Indonesia baru menetapkan titik dasar saja.
Problemnya, pemerintah Indonesia belum juga melakukan perundingan dengan
pemerintah Palau maupun Papua Nugini baik landas kontinen maupun ZEE.
Tujuh, pulau Batek Di NTT. Pulau ini berbatasan dengan NTT dan wilayah Oecussi
Negara Timor Leste yang baru saja merdeka. Sekarang ini, Direktur Jenderal
Perhubungan Laut baru memasang lampu Suar di pulau tersebut. Problemnya adalah
pemerintah Indonesia belum mengadakan perundingan dengan pemerintah Timor
Leste mengenai batas landas kontinen maupun ZEE. Persis dengan PPK yang
berbatasan dengan Palau dan Papua Nugini.
Delapan, pulau Pasir (Asmhore Island) di wilayah NTT yang berbatasan dengan
Australia. Saat ini pulau tersebut termasuk teritori maritim Australia. Fakta sejarah
menunjukkan bahwa pulau Pasir adalah milik Indonesia, karena pemerintah Hindia
Belanda saat menyerahkan kekuasaannya kepada Indonesia, seluruh wilayah jajahan
diserahkan termasuk pulau Pasir. Fakta sejarah lain menyebutkan juga bahwa di pulau
ini banyak ditemukan batu nisan, makam sesepuh warga Timor Barat, provinsi NTT.
Makanya, Yayasan Peduli Timor Barat menuntut agar pemerintah Indonesia
“merebut’ kembali pulau tersebut (Kompas, 2/02/2002).
Anehnya, Departemen Luar Negeri (Deplu) RI malah mengatakan bahwa pulau itu
milik Australia berdasarkan kesepakatan pemerintah RI-Australia tahun 1997 tentang
batas landas kontinen dan ZEE.
Ketiga, provinsi-provinsi di Indonesia yang batas administrasinya laut dalam UU
pembentukan provinsi, kerap tidak jelas penentuan sampai dimana batas provinsi itu
ke arah perairan laut. Hanya disebutkan misalnya Provinsi Sulawesi Utara bagian
utara berbatasan dengan Laut Sulawesi. Tidak jelas berapa mil laut batas itu. Padahal
di perairan laut tersebut terdapat PPK yang berbatasan langsung dengan Filipina. Hal
ini menjadi problem tersendiri tatkala keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang
kewenangan di wilayah laut. Pasalnya, PPK tersebut kerapkali letaknya lebih dari 4
mil (kewenangan kabupaten) maupun 12 mil (kewenangan provinsi) dari daratan
pulau induknya. Inilah tugas Departemen Dalam Negeri (Depdagri) untuk meninjau
kembali dan menetapkan aturan batas yang jelas kearah laut baik Kabupaten/Kota
maupun provinsi.
Institusi Koordinasi
Mengacu pada problem-problem di atas dan supaya peraturan perundangan yang
dibuat efektif, maka urgensi hadirnya institusi/lembaga yang mengkoordinasikan
kebijakan pembangunan kelautan (ocean development policy) dan mengurusi wilayah
perbatasan menjadi keniscayaan. Hal ini penting karena urusan perbatasan tidak
sekedar menyangkut ancaman lepasnya PPK tersebut akibat problem status
perbatasan yang belum tuntas dan mempunyai landasan yuridis kuat dengan negara 10
negara tetangga kita. Tetapi, lebih dari itu persoalan geo-politik dan geo-strategis
yang menyangkut eksistensi NKRI.
Reference: web.ipb.ac.id