Anda di halaman 1dari 13

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Bp. Joyo Sukarto
Nomor RM :
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 60 tahun
Pekerjaan : Tani
Alamat : Sidikan RT 16 Pelem Gadung Kr. Malang
Sragen
Tanggal masuk : 21 Juni 2010 pukul di bangsal MawarMelati III

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal : 23 Juni pukul 07.40 WIB.
Dilakukan secara alloanamnesis, identitas sumber informasi adalah sebagai
berikut :
Nama :
Umur :
Alamat :
Hubungan dengan pasien adalah anaknya

Resume anamnesis :
Keluhan utama :

Riwayat penyakit sekarang :

Anamnesis sistem :
Sistem serebrospinal : Pandangan kabur (-), sakit kepala (-)
Sistem kardiovaskuler : Nyeri dada (-), berdebar-debar (-)
Sistem respirasi : Sesak napas (±), batuk (-)
Sistem gastrointestinal : Perut terasa kembung dan keras (+),
mual (-), muntah (-), diare (-)
Sistem urogenital : BAK lancar
Sistem integumentum : Adanya bekas luka akibat tusukan benda
tajam di telapak kaki kiri
Sistem muskuloskeletal : Badan terasa kaku untuk digerakkan

Riwayat penyakit dahulu:


Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami keluhan yang serupa
Riwayat penyakit keluarga :
Dari keluarga pasien juga tidak ditemukan penyakit yang serupa.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang dan gelisah


Kesadaran : Composmentis, GCS E4M6V5 = 15
Vital sign : T = 120/70 mmHg
N = 108 x/menit
R = 22 x/menit
S = 36,5 C
BB =  80 kg
Kepala : Mesochepal, rambut coklat, distribusi merata dan
sulit dicabut
Mata : CA(-/-), SI (-/-), RC (+/+), pupil isokor ki = ka 
= 2 mm
THT : Tidak ada kelainan
Mulut : Trismus (+), mukosa bibir tidak anemis, lidah
tidak kotor, gigi tidak ada caries terpasang guedel (+)
Leher : Kaku kuduk (+), tidak teraba limfonodi
Thorax : cor : Ictus cordis tak teraba, tidak kuat angkat
S1>S2 reguler, gallops (-), bising (-)
Pulmo : SD vesikuler seluruh lapang paru,
ronki (+/+), whezzing (-/-)
Abdomen : simetris, suffle (-), keras seperti papan, nyeri
tekan (-),BU (+) N, H/L ttb, jejas (-), hematom (-)
Ekstremitas : R. Antebrachii sinistra
L = tampak luka tertutup kassa dan perban
elastis, deformitas (+), krepitasi (+)
F = nyeri tekan (+)
M= gerak aktif/pasif terhambat
Akral hangat, turgor kulit cukup, udem (-), kejang (+), sianosis (-)

IV. RESUME PEMERIKSAAN FISIK

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak lemah,
pemeriksaan kepala terdapat trismus. vital sign dan pemeriksaan thorax dalam
batas normal. Pada inspeksi abdomen terlihat epistotonus otot-otot perut dan
punggung.

V. DAFTAR MASALAH PASIEN

Masalah aktif : 1. Epistotonus

2. Trismus

Masalah pasif : Makanan belum bisa masuk

VI. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis kerja : Tetanus

VII. TERAPI di RUMAH SAKIT

Terapi yang telah dilakukan di rumah sakit :

1. Awal masuk pada tanggal 22 Juni 2010


- Infus RL 20 tpm
- Injeksi Ketorolac 1 Amp/8 jam
- Injeksi Dexamethason 1 Amp/ 12 jam
- Injeksi Cefotaxime 1 Amp/12 jam

2. Terapi selanjutnya
Tanggal 22 Juni 2010 ( awal masuk bangsal )
- ATS 20.000 unit terbagi 2 per 10.000 unit
- PP 2x 1,5juta U
- Infus RL 20 tpm

Tanggal 23 Juni 2010

- Bed rest
- Diet
- PP 2x1,5juta U
- Dexamethason 1 Amp/8 jam
- Valium 2 Amp
- Infus RL 20tpm

VIII. RENCANA

a. Tindakan diagnostik / pemeriksaan penunjang :

Pemeriksaan darah rutin diharapkan adanya peningkatan leukositosis ringan


b. Tindakan Perawatan pada Tetanus

1. Isolasi penderita untuk menghindari rangsangan suara, cahaya dan sentuhan,


ruangan harus tenang dan gelap.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus makanan bisa diberikan dengan
NGT atau parenteral.
3. Bahan makanan yang mudah dicerna dan cukup mengandung protein dan kalori.
4. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
5. Bila perlu diberikan oksigen dan kadang-kadang diperlukan tindakan trakeostomi
untuk menghindari obstruksi jalan nafas.
6. Jika banyak sekresi pada mulut akibat kejang atau penumpukan saliva maka
dibersihkan dengan pengisap lendir.
c. Rencana Terapi Tetanus

Secara khusus terapi tetenus untuk pasien diatas adalah sebagai berikut:

1. Diberikan Anti Tetanus Toksin selama infeksi. Toksin tetanus beredar dalam 2
bentuk yaitu toksin yang bebas dalam darah dan toksin yang bergabung dengan
jaringan syaraf. Toksin yang dinetralisir oleh antitoksin adalah toksin yang bebas
dalam darah. Sedangkan yang telah beredar dalam jaringan syaraf tidak dapat
dinetralisir oleh antitoksin. Sebelum pemberian toksin harus dilakukan adakah
riwayat alergi dan apabila perlu dilakukan skin test.
2. TIG (Tetanus Imunoglobulin) lebih dianjurkan pemakaiannya dibandingkan
dengan ATS yang serumnya berasal dri hewan. Dosis TIG yang dianjurkan
adalah 5000 unit intramuskuler yang dilanjutkan dengan dosis harian 500-6000
unit. Apabila pemberian TIG tidak memungkinkan bisa digunakan ATS.
3. Dosis ATS yang diberikan 20.000 unit selama 2 hari (FKUI), 10.000 unit lewat
intravena dan sisanya lewat IM. Ada juga yang berpendapat bahwa dosis ATS
yang diberikan adalah 50.000-100.000 unit yang diberikan setengah lewat
intravena dan setengahnya intramuskuler
4. Untuk merelaksasi otot dan mengurangi kepekaan jaringan syaraf terhadap
rangsangan bisa digunakan antikonvulsan dan sedatif. Obat yang ideal dalam
penanganan tetanus yaitu obat yanga dapat mengontrol kejang dan menurunkan
spastisitas tanpa mengganggu pernafasan, gerakan-gerakan volunter atau
kesadaran. Obat yang lazim digunakan ialah diazepam dengan dosis 0,5-1
mg/kg BB/4 jam IM, atau fenobarbital IM dosis 50-100 mg/4 jam, atau
meprobamat 300-400 mg/4 jam, atau klorpromazin 25-75 mg/4 jam IM.
5. Antibiotik yang diberikan untuk bakteri gram (+) anaerob, clostridium tetani
adalah penisilin prokain 1,2 juta unit/hari selama 2 minggu secara IM atau
tetrasiklin 1 gram/hari apabila pasien alergi penisilin. Antibiotik ini diberikan untuk
memusnahkan C. tetani tetapi tidak mempengaruhi proses nueurologinya.
6. Oksigen bisa diberikan apabila terjadi asfiksia dan sianosis
7. Trakeotomi dilakukan pada penderita tetanus jika terjadi spasme
berkepanjangan dari otot respirasi, tidak ada kesanggupan batuk dan menelan,
obstruksi laring dan koma.
Monitoring terapi

1. Monitoring terapi cairan


2. Monitoring komplikasi tetanus
3. Monitoring efek samping atau alergi obat

VIII. PROGNOSIS

Prognosis dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat memperburuk keadaan


yaitu, masa inkubasi yang pendek (kurang dari 7 hari), neonatus dan usia tua (>55 thn),
frekuensi kejang yang sering, kenaikan suhu badan yang tinggi, pengobatan yang
terlambat, periode trismus dan kejang yang semakin sering, dan adanya penyulit
spasme otot pernafasan dan obstruksi jalan nafas.

Apabila kita tinjau kembali keadaan pasien, maka pasien termasuk dalam
tetanus grade II atau derajat sedang, karena pada pasien ditemukan trismus dan
disfagi, kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari, tetapi dipsnoe dan sianosis tidak
ada. Dapat diperkirakan dengan keadaan pasien tersebut kemungkinan ke arah
kesembuhannya sekitar 50% dengan catatan pasien harus mendapat perawatan yang
intensif dan tidak mengalami komplikasi yang dapat memperburuk kondisi pasien
seperti obstruksi jalan nafas, henti nafas dan gagal jantung karena spasme otot.

PEMBAHASAN

II.1 Pengertian Tetanus

Tetanus adalah kelainan klinis yang ditimbulkan oleh infeksi yang


disebabkan kontaminasi luka dari toksin basil tetanus yang termasuk bakteri gram
positif, Clostridium tetani. Basil Clostridium tetani tersebar luas di tanah, terutama
tanah garapan, dan dijumpai pula pada tinja manusia dan hewan seperti pada tinja
hewan. Perawatan luka yang tidak baik, disamping penggunaan jarum suntik yang
tidak steril merupakan faktor yang sering dijumpai sebagai pencetus timbulnya
tetanus.

Tetanus dapat menyerang semua umur dari bayi, anak- anak, dewasa
muda, hingga orang tua (Suyono, 2001). Keparahan kasus meningkat seiring
bertambahnya usia penderita. Pada wanita kemungkinan terjadi tetanus dua kali
lebih besar dibandingkan pada laki-laki. Lebih dari setengah kasus berhubungan
dengan luka minor dan pasien tidak mendapatkan imunisasi yang mencukupi
(Shin, 2002). Namun demikian penyakit tetanus ini tidak ditularkan dari manusia
ke manusia.

II.2 Patofisiologi
Clostridium tetani bukan organisme yang invasif. Infeksi tetap terlokalisasi
pada daerah jaringan yang rusak ( luka, luka bakar, cedera, ujung umbilikus, dan
jahitan bedah) tempat spora masuk. Luas jaringan yang terinfeksi kecil, dan
penyakit ini hampir seluruhnya merupakan toksemia (Jawetz, 1996). Spora dari
Clostridium tetani awalnya tidak patologik, sampai akhirnya dia berubah menjadi
bentuk vegetatif oleh pengaruh berbagai faktor antara lain penurunan oksigen dan
proses supurasi lesi. Bentuk vegetatif sendiri berkembang tanpa menimbulkan
reaksi inflamasi, tetapi eksotoksinnya sangat poten atau tetanospasmin. Ada dua
macam toksin, yaitu tetanolisin yang menyebabkan hemolisis eritrosit tetapi tak
berperan pada penyakit tetanus dan tetanospasmin yang amat poten bekerja
terhadap saraf. Sifat toksin ini seperti antigen, sangat mudah diikat jaringan saraf
dan bila dalam keadaan terikat tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik.
Toksin yang bebas dalam darah, sangat mudah dinetralkan oleh antitoksin
spesifik.

Mekanisme tetanospasmin dalam tubuh belum jelas benar, sangat


mungkin dia diabsorbsi oleh akhiran saraf, transport toksin selanjutnya apakah
melalui sumbu silindrik dibawa ke kornu anterior, spasium perineurale atau melalui
kelenjar limfe yang kemudian dibawa ke susunan saraf pusat belum jelas. Waktu
inkubasi umumnya 3- 21 hari, dapat hanya sependek satu hari tetapi dapat lama
sampai berbulan - bulan. Ada hubungan antara lamanya inkubasi dan jarak tempat
invasi kuman sampai susunan saraf pusat .

Perubahan morfologi amat minimal dan tidak spesifik. Jaringan luka


biasanya hanya menampakkan reaksi radang non-spesifik dengan nekrosis
jaringan. Jaringan saraf juga menampakkan reaksi non-spesifik dan terdiri atas
pembengkakan sel- sel ganglion motorik yang berhubungan dengan
pembengkakan dan lisis inti sel (Suyono, 2001).

Berbagai keadaan berikut ini dapat menyebabkan keadaan anaerob yang


disukai untuk tumbuhnya kuman tetanus antara lain, luka dalam misalnya luka
tusuk karena paku, pecahan kaca atau kaleng, pisau dan benda tajam lainnya.
Luka karena tabrakan, kecelakaan kerja ataupun karena perang. Luka- luka ringan
seperti luka gores, lesi pada mata, telinga atau tonsil, gigitan serangga juga
merupakan tempat masuk kuman penyebab tetanus (Suyono, 2001).

II.3 Gejala Klinik

Masa inkubasi yaitu waktu diantara mulainya terjadi luka hingga gejala
pertama muncul. Masa inkubasi ini bervariasi dari dua hari hingga 60 hari. Selain
itu interval atau jarak antara symptom yang pertama dengan kekakuan otot secara
keseluruhan juga bervariasi antara satu hingga sepuluh hari. Periode inkubasi
merupakan periode onset yang sangat penting mempengaruhi prognosis, pada
periode yang lebih pendek kejadian tetanus lebih berat. Berdasarkan hasil
penelitian onset kurang dari tiga hari dapat berkembang dan mempengaruhi
gangguan pernapasan serta mempengaruhi kebutuhan ventilasi mekanik. Dari sini
dapat disimpulkan bahwa onset dapat mempengaruhi kebutuhan ventilasi (Shin,
2002).

Gejala klinis sering muncul secara umum pada pasien. Gejala dan tanda
awalnya yaitu kejang otot yang sering terjadi pada daerah luka pertama dan
infeksi. Kejang mulut ( lock jaw ), yang biasanya muncul sebagai symptom
pertama pada hampir 100 % pasien, sulit menelan (swallowing difficulty ) terjadi
pada 70,5 %, dysarthria terjadi pada 35,2 % pasien,dan kekakuan otot leher ( neck
stiffness ) yang terjadi pada 29,4 % pasien. Disfungsi saraf otonom juga sering
terjadi. Disfungsi cardiovascular ditemukan sebagai bradikardi atau takikardi (Shin,
2002).

Dengan meningkatnya manifestasi klinis, meluasnya spasme pada otot-


otot yang lain seperti punggung, perut, ekstremitas ataupun system respirasi,
memicu terjadinya henti nafas. Selain itu pada penderita tetanus, pasien dalam
keadaan sadar penuh, dan mungkin merasa sangat nyeri.

Berikut adalah gambaran klinis yang ditemukan pada pasien tetanus.


Gambaran Klinis Prosentase
Simptom awal dan tanda
Trismus ( lockjaw ) 100
Swallowing difficulty 70.5
Kekakuan otot leher 29.4
Dysarthria 35.2
Simptom Sistem Saraf Pusat
Kejang 11.7
Sakit kepala 29.4
Simptom respirasi
Dyspnea 52.9
Spasme laryngeal 35.2
Gagal nafas 35.2
Simptom cardiovascular
Nyeri dada 11.7
Aritmia 29.4
Hipertensi 70.5
Hipotensi 11.7
Simptom gastrointestinal
Mual- muntah 17.6
Ileus paralitik 35.2
Simptom neuromuscular
Kekakuan otot leher 82.3
Opistotonus 64.7
Spasme otot 100
Nyeri punggung 100
Perut papan 70.5
Lain- lain
Berkeringat 64.7
Peningkatan sekresi 29.4
Demam 41.1
(Sumber : J Korean Med Sci 2003 ; 18 : 11-6)
Diagnosis tetanus didasarkan pada manifestasi klinis. Karena kasus
tetanus merupakan kasus yang jarang terjadi, seperti halnya manifestasi klinis
beberapa kondisi penyakit yang lain, diagnosis tetanus sulit ditegakkan dan
bahkan diagnosisnya dapat tersamarkan. Uji laboratorium biasanya tidak begitu
mempengaruhi diagnosis meskipun kadang didapatkan leukositosis ringan.

Tetanus score digunakan untuk menilai berat ringannya derajat dari


penderita tetanus.

Berikut adalah tabel untuk penilaian tetanus :

No Gejala Score
1 Inkubasi
 7 hari 3
 8-12 hari 2
 > 12 hari 1
2 Onset
 3 hari 3
 4-6 hari 2
 >7 hari 1
3 Disfagia 1
4 Kejang spontan 2
Kejang langsung 1

5 Trismus, Rhisus Masing-


sardonicus, epistotonus masing 1
6 Gejala aktivitas
 Simpatis 1
 Kardiovaskular 1
7 Spasme larynk 1
(Sumber : Standart Pelayanan Medis RSUP Dr. Sardjito)

Berdasarkan jumlah angka yang diperoleh derajat keparahan penyakit dapat


dibagi menjadi :
- Tetanus ringan (angka < 9)
- Tetanus sedang (angka 9-16)
- Tetanus berat (angka > 16)
Tetanus ringan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan, tetanus sedang dapat
sembuh dengan pengobatan baku, sedangkan tetanus berat memerlukan perawatan
khusus yang intensif.
Diagnosis banding dari tetanus sangat luas seperti hipokalemia, hipoglikemia,
keracunan, reaksi distonia drug induce, rabies, infeksi orofasial, meningitis, kejang, dan
meningoensefalitis. Pada meningitis juga didapatkan kaku kuduk, akan tetapi akan
sangat berbeda bila diperoleh akhiran bahwa penderita mengalami demam yang tinggi,
kesadaran menuun, dan kelainan cairan serebrospinal. Pada rabies juga didapatkan
spasme laring dan faring tetapi tidak disertai trismus. Diagnosis awal dan
penatalaksanaan yang tepat dapat menurunkan angka mortalitas pada pasien tetanus.
Kematian biasanya terjadi akibat gangguan mekanisme pernafasan.

II.4 Terapi

Orang yang menunjukkan gejala – gejala tetanus harus segera dikirim ke rumah
sakit untuk mendapatkan pertolongan secepatnya. Hal ini sangat penting karena
periode terjadinya tetanus lebih lanjut sangat mempegaruhi hasil dari terapinya.
Beberapa factor yang mempengaruhi buruknya prognosis antara lain masa inkubasi
yang pendek, dan juga onset. Demam, takhikardi, peningkatan tekanan darah, umur
tua, hipoksia, dan asidosis juga mempengaruhi prognosis.

Di rumah sakit, pasien tetanus hendaknya mendapatkan terapi seperti TIG


(tetanus immunoglobulin) dengan dosis 3000-5000 iu intramuscular yang dilanjutkan
dengan dosis harian 500-6000 iu. Namun demikian bila pemberian TIG tidak
memungkinkan dapat diberikan ATS dengan dosis 5000 iu intra muscular dan 5000 iu
intavena (Shin, 2002). Pemberian TIG atau ATS ini diberikan bila sudah dapat
dipastikan bahwa tidak terdapat reaksi hipersensitivitas. Bila pasien terdapat reaksi
hipersensitivitas maka cara pemberiannya dengan cara bedreska.

Pada pasien dengan luka yang dalam, pembersihan dan debridemen secara
seksama, serta pemberian antibiotik merupakan hal terpenting untuk mengurangi
sumber produksi toksin dengan jalan menghilangkan jaringan nekrotik yang penting
untuk perkembangbiakan organisme. Metronidazole merupakan pilihan yang aman
setelah penicillin karena penicillin dapat menyebabkan hipereksitabilitas sistem saraf
pusat dan sekarang direkomendasikan sebagai terapi pertama dan utama.
Metronidazole 500 mg secara intravena dapat diberikan tiga kali dalam sehari selama
7-10 hari (Shin, 2002). Pasien – pasien tetanus ini kemudian dimonitor di ruangan yang
sepi dan gelap yang dapat meminimalkan terjadinya rangsangan terhadap pasien.

Pasien dengan vital sign atau hemodinamik yang tidak stabil dirawat di ruangan
intensif selama stadium awal untuk mencegah peningkatan jumlah kematian. Dosis
yang luas dari sedative seperti benzodiazepin mungkin diperlukan sebagai tambahan
untuk mengontrol spasme otot dan kejang tetanus. Selain itu juga dapat diberikan
antihipertensi yang digunakan untuk memantau tekanan darah. Pada kasus pasien
dengan kekakuan otot dan nyeri, muscular blocking agent (vecuronium) dapat diberikan
setelah ventilasi mekanik diterapkan karena pada beberapa pasien dengan gangguan
pernafasan memerlukan terapi dengan ventilator.

Imunisasi pasif dengan human tetanus immunoglobulin (HTIG) hendaknya


diberikan intramuscular sesegera mungkin, hal ini terbukti dari beberapa penelitian
yaitu dengan penurunan angka kematian.

Hasil pengobatan tetanus belum tentu memuaskan. Karena itu, pencegahan


sangat penting. Pencegahan tetanus bergantung pada (1) imunisasi aktif dengan
tetanus toksoid yang diberikan dalam tiga dosis terbagi dan dosis booster yang
diberikan tiap 10 tahun, (2) perawatan yang baik pada luka yang terkontaminasi dengan
tanah dan sebagainya, (3) pemakaian antitoksin sebagai pencegah, dan (4) pemberian
penisilin(Suyono, 2001).

Anda mungkin juga menyukai