Anda di halaman 1dari 12

 MILITER

 Peran militer di dalam sistem politik di banyak negara berkembang sangat besar. Peran ini
bisa mengambil beberapa bentuk, seperti: (1) militer memerintah secara langsung dengan
menerapkan hukum-hukum militer, (2) perwira-perwira militer memerintah dari belakang
layar melalui boneka-boneka sipil, dan (3) militer membiarkan orang-orang sipil
menjalankan pemerintahan sehari-hari akan tetapi tetap memiliki kekuatan veto atas isu-isu
penting.

 Di negara maju yang sistem demokrasinya sudah mantap, militer berada dibawah
dominasi sipil dan samasekali tidak ikut melibatkan diri dalam urusan-urusan politik.

 Alasan Terjadinya Keterlibatan Militer


Dalam Politik

1. Mudahnya melakukan intervensi: keterlibatan militer dalam politik bisa terjadi karena hal ini
memang mudah dilakukan.

2. Kurang terlembaganya lembaga-lembaga politik sipil: intervensi militer dalam politik juga
bisa terjadi karena belum terlembaganya dengan secara baik lembaga-lembaga politik sipil
yang ada.

3. Adanya keinginan untuk memelihara otonomi militer: Adanya keinginan dari perwira-
perwira militer untuk "memelihara dan memperluas otonomi dan hak prerogatif yang
sudah mereka miliki"

4. Konflik nilai: intervensi militer dalam politik terjadi karena telah adanya konflik nilai yang
telah muncul di antara elit militer dan elit sipil sebagai akibat dari reaksi mereka yang
berlawanan/berbeda terhadap tekanan-tekanan yang diakibatkan oleh adanya perubahan
sosial dan ekonomi.

5. Intervensi militer dalam konflik politik sipil: intervensi militer dalam politik bisa terjadi
disebabkan karena lembaga-lembaga politik sipil yang ada masih kurang terlembaga dan tidak
mampu menahan perembesan-perembesan militer.

6. Faksionalisasi dalam tubuh militer: faksionalisasi dalam tubuh militer juga sering
mengakibatkan militer terlibat begitu jauh dalam kehidupan politik. Ketidak-percayaan
antara kelompok-kelompok ideologis dan parokial di dalam tubuh militer sering
menggerakkan ketakutan yang amat nyata bahwa intervensi politik oleh salah satu faksi
akan mengakibatkan penghancuran atas faksi-faksi besar yang saling berkompetisi.

7. Penggunaan militer untuk kontrol dalam negeri: intervensi militer dalam politik yang sangat
sering terjadi nampak berhubungan langsung dengan kenyataan bahwa di beberapa
negara sedang berkembang militer telah digunakan terutama untuk operasi internal
daripada eksternal.
8. Kurangnya profesionalisme militer: kurangnya profesionalisme militer di antara para serdadu
dan perwiranya bisa menjadi faktor yang relevan dari adanya intervensi militer dalam
politik.

 Peranan Militer Dalam Pembangunan

 Rejim militer memiliki tiga karakter yang nampaknya cocok dengan pembangunan: (1)
nilai-nilai yang diyakini militer pada umumnya dianggap lebih berorientasi pada
pembangunan daripada nilai-nilai yang diyakini penduduk pada umumnya, (2) rejim militer
dapat membuat keputusan yang pasti dan berjangkauan jauh tanpa mengenal kompromi, dan
(3) militer memiliki aset koersif dan aparat organisasional yang diperlukan untuk
melaksanakan keputusannya dan menyediakan stablitas politik yang dibutuhkan bagi
pembangunan (Palmer, 259).

 Pendek kata, di negara-negara sedang berkembang militer pada umumnya berjiwa lebih
nasionalis, berpandangan lebih maju, lebih disiplin dan berdedikasi, lebih jujur, dan pada
umumnya memiliki lebih banyak nilai-nilai, sikap, dan pola-pola perilaku yang dekat dengan
modernisme dari pada penduduk negara pada umumnya.

 Nilai-nilai Modern Militer

1. Norma-norma militer profesional menekankan nasionalisme dan pengabdian nasional;

2. Para anggota militer, berpindah dari asal-usul yang parokial dan ditempatkan pada latar
belakang yang berbeda cenderung mengembangkan sikap yang lebih luas dan lebih toleran
terhadap semua kelompok yang ada dalam masyarakat;

3. Kemajuan dalam bidang militer diperoleh melalui prestasi dan bukan keturunan. Dengan
kerja keras, anggota-anggota militer yang berbakat dapat maju terus lebih cepat daripada
anggota-anggota kelompok masyarakat lainnya;

4. Teknologi militer yang berkembang terus menjadi begitu amat kompleks memerlukan latihan
yang lebih luas dan mendalam, perjalanan, dan pengenalan-pengenalan nilai-nilai baru;

5. Keefektifan dan prestise militer memerlukan penggelaran sistem persenjataan modern.


Karena dukungan mesin militer yang modern pada umumnya memerlukan landasan industri
yang kuat, perwira-perwira militer telah menjadi pendukung utama bagi pembangunan
industri atau industrialisasi (Palmer 259-260).
BIROKRASI

Oleh :

Prof. Drs. Totok Sarsito, SU, MA, Ph.D.

Universitas Sebelas Maret

Birokrasi Ideal

Pembagian Kerja: Kegiatan pemerintah dibagi menjadi bagian-bagian yang masing-masing terpisah
dan memiliki fungsi yang berbeda, sehingga memungkinkan mempekerjakan orang-orang ahli dalam
tugas-tugas khusus yang bertanggungjawab atas keberesan pekerjaannya;

Hierarki Wewenang: Hierarki berbentuk piramid, semakin tinggi suatu jenjang, semakin besar
wewenang yang dimilikinya dan semakin sedikit penghuninya. Dalam hierarki itu masing-masing
pejabat harus bertanggungjkawab kepada atasannya mengenai keputusan dan tindakannya sendiri
maupun yang dilakukan oleh anak buahnya;

Apa yang mampu membuat birokrasi bersikap bebas dan terlepas dari kontrol masyarakat dan
bahkan pimpinan eksekutif sendiri? Sumber-sumber kekuasaan apa yang dimilikinya? Bagaimana
masyarakat modern dapat mengendalikan penggunaan kekuasan oleh birokrasi itu?

1. Peranannya sebagai personifikasi negara: Birokrasi terutama sekali menikmati kekuasaan


akibat peranannya sebagai pengejawantahan atau personifikasi dari negara. Dalam
menjalankan tugasnya, para birokrat bisa dengan mengatas-namakan negara menuntut
kepatuhan warganegara.

2. Penguasaan informasi. Informasi adalah sumber kekuasaan yang luar biasa besar. Dalam
tugasnya sehari-hari, birokrasi mengumpulkan catatan-catatan yang berisi informasi
tentang hampir segala bidang kegiatan negara dan masyarakat. Prestasi dalam
pengumpulan informasi ini tidak mungkin disaingi oleh para politisi, walaupun ia adalah
kepala staf eksekutif, apalagi oleh para anggota badan legislatif, terutama karena pejabat
kedua cabang ini lebih sering berganti-ganti. Selain itu, para birokrat bisa, dengan melalui
media massa, membuka informasi tertentu untuk menciptakan opini publik demi
kepentingannya sendiri dan, dengan demikian, memaksa pimpinan eksekutif mengambil
keputusan tentang kebijaksanaan yang diinginkan oleh pejabat birokrasi. Pendek kata,
pemilikan informasi telah membuat posisi birokrasi sangat kuat dalam berhadapan dengan
kepala pemerintahan maupun dengan anggota parlemen.

3. Pemilikan keahlian teknis. Birokrasi memiliki tenaga dengan beraneka-ragam keahlian


teknis yang sangat diperlukan dalam pembuatan keputusan mengenai kebijaksanaan dan
dalam pelaksanaan keputusan-keputusan itu. Cara kerja, sebagaimana telah digambarkan
oleh Weber, telah memungkinkan timbulnya bermacam-macam keahlian itu. Cara kerja itu
adalah membagi-bagi masalah yang kompleks menjadi tugas-tugas yang lebih kecil
sehingga lebih mudah dikelola; tugas-tugas yang lebih kecil ditangani oleh kelompok-
kelompok khusus; dan dalam satuan-satuan birokrasi khusus itu dipekerjakan para
profesional.

4. Status sosial yang tinggi. Di hampir setiap negara, khususnya di negara-negara berkembang
dan terlebih khusus lagi dalam tatanan masyarakat feodal, keanggotaan dalam korps
birokrasi pemerintah merupakan lambang kedudukan sosial yang cukup tinggi. Sebagaiman
sifat elit pada umumnya, para birokrat tingkat tinggi biasanya cenderung untuk
mengembangkan hubungan intensif dengan anggota masyarakat lain dengan status tinggi.
Dan disinilah muncul kelompok yang sering disebut sebagai "elit penguasa". Keeratan
hubungan antar elit ini semakin memperbesar pengaruh birokrat atas masyarakatnya.

PENGENDALIAN BIROKRASI

1. Pengendalian eksternal-formal berujud pengendalian secara politik oleh pucuk pimpinan


eksekutif dan badan legislatif, oleh pengadilan, dan oleh komisi parlemen yang disebut
"ombudsman". Cabang eksekutif dan legislatif mengendalikan birokrasi melalui kekuasaan
mereka sebagai pemegang wewenang untuk mengesahkan perundang-undangan yang
membentuk struktur administratif, yaitu dengan: (1) menetapkan tujuan-tujuan dan
kekuasaan yang dimiliki struktur itu dan menetapkan standard prestasi yang harus dicapai,
dan (2) menetapkan anggaran untuk membiayai kegiatan birokrasi.

2. Pengendalian yang eksternal-informal dilakukan oleh pers dan oleh kelompok-kelompok


kepentingan.

3. Pengendalian yang internal-formal dilakukan dengan membuat proses pembuatan dan


penerapan kebijaksanaan agar lebih representatif dan didesentralisasikan, dan ini berarti
menggalakkan partisipasi masyarakat dalam pembuatan dan penerapan kebijaksanaan
pemerintahan.

4. Pengendalian yang internal-informal berujud upaya para birokrat agar menghayati kode etik
profesi dan lebih dalam lagi menghayati etos masyarakatnya

Ada empat kelemahan birokrasi yang dijumpai di beberapa negara sedang berkembang.

Persoalan kelembagaan dan struktural. Secara teoritis, birokrasi modern didasarkan pada model
birokrasi legal-rasional seperti yang telah dirumuskan oleh Weber. Dalam model ini unit-unit
administratif distrukturkan secara rasional untuk memaksimalkan efisiensi. Tanggungjawab dan
kewenangan adalah seimbang, dengan garis tanggungjawab yang dengan jelas digambarkan untuk
meminimalkan timbulnya overlapping dan duplikasi. Peraturan-peraturan sifatnya khusus dalam isi
dan universal dalam penerapannya. Karyawan direkrut dan dipromosikan semata-mata atas dasar
prestasi.

Persoalan yang berhubungan dengan sikap dan perilaku administratif. Di negara-negara sedang
berkembang, tugas birokrasi adalah membangun negara, tidak hanya melulu menjalankan suatu
sistem yang sedang berjalan sesuai dengan prosedur yang telah mapan. Untuk melaksanakan tugasnya
ini, para birokrat harus bersedia mengambil inisiatif, bereksperimentasi, dan mencari jalan alternatif
untuk memecahkan persoalan. Perilaku inovatif memerlukan suatu fleksibilitas, dan kesediaan untuk
melengkungkan prosedur guna mencapai tujuan. Ia juga memerlukan agar para atasan bersedia
mendelegasikan wewenang kepada bawahan mereka dan menyediakan padanya baik ruang gerak
maupun dukungan dalam usahanya mencari pemecahan bagi perluasan persoalan. Kerjasama dan
komunikasi antara birokrasi dan publik haruslah dimaksimalkan, karena mereka harus berada diantara
dan didalam departemen.

Persoalan sikap klien. Apapun defisiansi struktural dan behavioral dari administrasi negara, kualitas
administrasi akan secara luas ditingkatkan apabila beban yang berlebihan ditempatkan pada birokrasi
tidaklah dipersulit oleh sikap dan perilaku publik yang bermusuhan. Kurangnya perilaku inovatif
dikalangan birokrat, sebagai misal, merefleksikan suatu kekurangan umum perilaku inovatif di dalam
masyarakat dari mana mereka direkrut.

Persoalan intervensi politik. Hampir tanpa kecuali, para pemimpin politik di negara sedang berkembang
telah mendorong nativisasi yang cepat atau eliminiasi orang asing dari birokrasi mereka. Dalam istilah
politik, nativisasi telah menyediakan pemimpin politik kesempatan yang luas mengembangkan
patronase. Regim politik di negara sedang berkembang telah memanfaatkan birokrasi sebagai dasar
bagi pengurangan pengangguran. Untuk mencapai tujuan ini, persyaratan masuk telah secara
progresif diturunkan dan, dalam banyak hal, diabaikan sama sekali.

QUIZ I à SELASA, 29 MARET 2011

BAHAN: PENGERTIAN

TENTANG SISTEM POLITIK

TUGAS à PILIHAN 1: PILKADA SRAGEN SEBAGAI

MANIFESTASI SISTEM

POLITIK DEMOKRATIS

à PILIHAN 2: SEKRETARIAT

GABUNGAN (KOALISI

DALAM PEMERINTAHAN

SBY)

KELOMPOK à 6 ORANG

NAMA-NAMA KETUA & ANGGOTA AGAR DILAPORKAN BESUK TGL 29 MARET 2011.
BUDAYA POLITIK

Prof. Drs. Totok Sarsito, SU, MA, PhD.

FISIP Universitas Sebelas Maret

Definisi Budaya

E.B. Taylor: “Culture is that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom,
and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society” (quoted in Kluckhohn,
1964:165-168 by Chilcote, 1994:178).

Frans Boas:“culture embraces all the manifestations of social habits of the group in which he lives and
the products of human activities as determined by these habits” (Chilcote, 1994:178).

‘’Wong cilik’ is a group of people with lower social and economic status, and ‘priyayi’ or aristocrats are a
group of people with higher social and economic status (Fachri Ali, 1986:1). ‘priyayi’ or aristocrats
function as the contributor of culture and philosophy, which become guidance for ‘wong cilik’. While
‘wong cilik’ or peasants, on the other hand, function as the contributor of agricultural products needed
by ‘priyay’.

The Javanese concept of environment

In the eyes of the Javanese people, environment is not merely objective reality. The physical reality
which they could see is also a part of the universal phenomenon. Universal means that life reality, which
they could perceive, is fully attached to things that they could not perceive (Fachri Ali, 1986:8).

For the Javanese people, the environment where they live is very important. This becomes the basis for
their life encircling the individual, society, and nature. The all elements are integrated with the
supernatural universe. The survival of life fully depends on the environment. People have to maintain
the regularity of their environment. The achievement of life coordinated between man and nature has
been the dreamt of the Javanese people. The unity or harmony has been understood as the harmonious
relationship between ‘jagad gedhe’ or macro cosmos and ‘jagad alit’ or micro cosmos. The unity of
these two cosmoses has been the final destination of the Javanese people (Fachri Ali, 1986:8).

Prinsip ‘Rukun’ dan ‘Urmat’

Kedua konsep Jawa tentang manusia dan tentang lingkungan direfleksikan dalam hubungan sosial dan
politik, suatu hubungan yang menekankan pada prinsip ‘rukun’ atau harmony (suatu hubungan yang
selalu berusaha menghindari konflik terbuka) dan prinsip ‘urmat’ atau respect (Fachri Ali, 1986:8).
Franz Magnis Suseno dalam bukunya “Etika Sebagai Kebijaksanaan Hidup: Catatan Tentang Struktur
Etika Jawa” menjelaskan bahwa prinsip ‘rukun’ (harmony) dengan prinsip ‘urmat’ (respect)
mengatasi prinsip yang lain mengatur hubungan sosial mereka (Franz Magnis Suseno and Reksosusilo,
1983:90).
Atas nama kedua prinsip ini, seseorang merasa wajib untuk menempatkan kepentingan dan hak-
haknya pada urutan kedua guna memelihara harmoni sosialnya. Bahkan seandainya diperlukan ia
bersedia membuang jauh kepentingan dan hak-haknya tersebut (Franz Magnis Suseno and
Reksosusilo, 1983:90).
Suseno mengatakan bahwa prinsip‘rukun’ melarang orang Jawa mengambil posisi yang dapat
menyebabkan konflik. Tidak hanya konflik yang disebabkan oleh kepentingan pribadinya yang
dilarang, penyebab konflik itu sendiri secara prinsip juga harus dihindari (Franz Magnis Suseno and
Reksosusilo, 1983:90).

Setiap tindakan yang akan dapat menimbulkan konflik telah dipandang oleh orang Jawa sebagai
perbuatan yang negatif, sekalipun konflik tersebut diperlihatkan atas nama kejujuran, kesetiaan,
keadilan, atau kesiapan untuk membantu (Franz Magnis Suseno and Reksosusilo, 1983:90).

Suseno menggambarakan hubungan antara prinsip ‘rukun’ dan prinsip hak indivudu sebagai berikut:
“Javanese people firstly determine not their right which could not be claimed, but their duty which
they have to do which of course implicate other people’s rights. Their duties are not perceived from
men who own right, but from the side of all village people: the duty should be done on behalf of the
village harmony” (Franz Magnis Suseno and Reksosusilo, 1983:64-65).

Suseno juga mengatakan bahwa prinsip ‘rukun’ bukanlah prinsip yang fundamental, prinsip yan tidak
dapat ditemukan dalam norma-norma yang lain. Prinsip ‘rukun’ berhubungan dengan interaksi yang
melarang konflik terbuka, sementara sikap bathin tidaklah dilarang (Franz Magnis Suseno and
Reksosusilo, 1983:91).

Suseno juga menjelaskan bahwa prinsip ‘rukun’ tidak selalu berhubungan dengan kesadaran. ’Rukun’
atau harmony tidak hanya memerlukan bahwa semua penampakan individu dan konflik sosial
dihindari untuk muncul. Hildred Geertz menyebut prinsip ini sebagai ‘harmonious social appearance’
(Hildred Geertz, 1989:146).

Bagi orang Jawa keadaan ‘rukun’ memiliki nilai emosional yang tinggi. Semua manifestasi konflik
dilihat sebagai sesuatu yang tidak diharapkan sehingga orang Jawa sering menarik dirinya dari hak-
haknya daripada beresiko terlibat konflik dengan yang lain (Franz Magnis Suseno and Reksosusilo,
1983:87). Mereka cenderung menolak usul orang lain secara terbuka. Keadaan semacam ini dipilih
sejak mereka masih anak-anak (Franz Magnis Suseno and Reksosusilo, 1983:89).

Di belakang kecenderungan semacam ini ada persepsi bahwa keadaan emosi yang seimbang akan
menumbuhkan kekuatan moral and sosial, sementara keadaan emosi yang merusak dipandang
sebagai berbahaya (Franz Magnis Suseno and Reksosusilo, 1983:90).

Konsep Jawa Tentang Kekuasaan

Hubungan sosial dan politik orang Jawa ditentukan oleh konsepnya tentang manusia dan lingkungan.
Dua konsep ini kemudian mengembangkan dua prinsip penting, yaitu:
prinsip ‘rukun’ atau harmony dan ‘urmat’ atau respect.
Dua prinsip tersebut menjadi petunjuk bagi orang Jawa dalam berperilaku dan bertindak.
Dalam kehidupan politik, semua konsep dan prinsip bersama-sama dengan konsep lain tentang
kekuasaan memainkan peranan penting.

Dalam tulisannya tentang “The Idea of Power in Javanese Culture” dalam buku “Culture and Politics in
Indonesia” yang di-edit oleh Claire Holt (1972), Benedict R. O’G. Anderson mengatakan: “the central
problem raised by this conception, by contrast with the Western of political theory, is not the exercise
of Power but its accumulation. Accordingly, a very considerable portion of the traditional literature
deals with the problems of concentrating and preserving Power, rather than with its proper uses”
(Claire Holt, 1972:8).

Konsep Kekuasaaan Jawa

Power is concrete: Power exists, independent of its possible users. It is not a theoretical postulate but
an existential reality. Power is that intangible, mysterious, and divine energy which animates the
universe;

Power is homogeneous: All power is of the same type and has the same source. Power in the hands
of one individual or one group of people is identical with power in the hands of any other individual or
group;

The quantum of power in the universe is constant: In the Javanese view, the cosmos is neither
expanding nor contracting. The total amount of power within it, too, remains fixed. Since power
simply exists, and it is not the product of organization, wealth, weapons, or anything else – indeed
precedes all of these and makes them what they are – its total quantity does not change, even though
the distribution of power in the universe may vary;

Power does not raise the question of legitimacy: Since all power derives from a single homogeneous
source, power itself antecedes questions of good and evil. It would be meaningless to claim the right
to rule on the basis of differential sources of power – for example, to say that power based on wealth
is legitimate, whereas power based on guns is illegitimate. Power is neither legitimate nor
illegitimate” (Claire Holt, 1972:7-8).

Konsep Jawa tentang Pemimpin

Kebanyakan orang Jawa memandang raja sebagai eksponen mikro-kosmos kerajaan. Seoranag raja
Jawa hanyalah medium yang menghubungkan mikro-kosmos dunia dengan kondisi makro-kosmos.
Dia dianggap sebagai mediator antara rakyat dengan Tuhannya dan identik dengan Tuhan, umumnya
disebut Dewa Wisnu yang memiliki kekuatan magis ….. yang membuat keputusannya tidak dapat
diperdebatkan dan juga tak terbatas (Fachri Ali, 1986:27).

Dalam pandangan orang Jawa, seorang raja adalah raja yang sah yang memiliki kekuasaan untuk
mewujudkan perdamaian dan melaksanakan perang. Dia tidak hanya panglima peranf tetapi juga
wakil Tuhan di bumi (Fachri Ali, 1986: 27).
Pada abad 15, sesudah kedatangan Islam, sultan dianggap sebagai “a man who was awarded kingdom
with absolute political, military and religious power. …the power in politics and in religion was
identical” (Fachri Ali, 1986: 27).

Konsep Jawa tentang raja dipengaruhi oleh kombinasi antara ajaran Islam dan Hindu-Budha.
Pengaruh ini telah memperkaya dan memperkuat dan melanggengkan konsep raja atau ratu. Raja
dipandang sebagai “wenang murba wisesa” (possessing power to present reward and punishment)
atau kekuasaan raja adalah mutlak yang diturunkan dari kekuasaan Tuhan sebagai sang pencipta
(Fachri Ali, 1989: 27-28).

Seorang raja Jawa memerintah tidak hanya negara dan seluruh harta kekayaannya akan tetapi juga
semua orang dan kehidupannya (Solopos, 2004:62).

Surat Wulangreh

Walaupun memiliki kekuasaan besar, ada pembatasan yang harus dijaga oleh seorang raja.

‘Surat Wulangreh’: “In exercising power, a king had to keep the law of justice, so that people would
follow him. People who did not follow him or rejected to follow his order would be regarded as being
against God, the Creator.

Seorang raja haruslah memiliki sifat ‘berbudi bawa leksana ambeg adil para marta’, meaning the king
had to be able to maintain order and security to people. The king had to be ‘wicaksana’ or wise in
exercising power or able to keep order and security (‘anjaga tata tentreming praja’) or to keep people
to live peacefully” (JB. Meinsma, 1941).

“The king had not only to be someone who could punish but also someone who could enforce order
as the manifestation of justice for the people and state” (Solopos, 2004:63).

As the representative of God the Creator on the earth, a Javanese king was requested to possess
ability to achieve the guidance of God the Creator by ‘semedi’ or to learn knowledge of the God’s
wills or to predict the future …. popularly called ‘neges karsaning hyang ingkang murbeng pandalu’
(trying to understand what really God’s wills were). The God’s wills were never seen clearly, but
indirectly in the forms of ‘perlambang-perlambang’ (symbols) or ‘pasemon-pasemon’ (secret
informations). ‘Perlambang-perlambang’ were used as the media of communication not only between
God the Creator and the created, but also between men and other human beings indirectly (Fachri Ali,
1989:30).

A Javanese king had to do so in exercising power for the relationship between the king and his people
or ‘kawulo’ was not impersonal but personal. People or ‘kawulo’ was regarded as a part of his family.
Through the socialization process of values defending the position and the king’s power, people
always obeyed the king. The relationship between the king and his people was formulated in the
concept of ‘jumbuhing kawulo gusti’ (the unity between the lowest or the subordinates and the
highest or the superior) (Fachri Ali, 1989:29). The unity between the lowest (subordinates) and the
highest (superior) was only possible to be achieved if there were a number of ties between general
aspects and God. The concept of ‘kawulo gusti’ was also colored with the belief of ‘nasib’ or ‘pinesti’
or ‘tinitah’ (faith), leading to the birth of Javanese social status, ‘kawulo’ or ‘wong cilik’ and
‘penggede’ or ‘ priyayi’ (Fachri Ali, 1989:29).

The concept of ‘kawulo gusti’ described not only the relation between the subordinates and
superior, but also the dependency between these two different elements. Although these two
different elements were separated, they finally formed two aspects of the same thing.

Regularity and harmony were the Javanese’s obsessions, leading to the birth of power phenomenon
regarded as being concrete, homogeny and indivisible. For most the Javanese, it was more important
for a king always to concentrate and to defend power rather than to use it appropriately. In the eyes
of ‘kawulo’ or ‘wong cilik’ a Javanese king had to concentrate power in order to maintain peace and
order. Even, they would think that the king or ruler who was unable to concentrate power would fail
to maintain peace and order. The greater power that the king or ruler could concentrate, the greater
the people would appreciate it. In other words, the king or ruler who could ‘spit fire’ or ‘idu geni’
would be regarded as the great king or ruler.

It is very much different from that of Western democracy, which perceives phenomena of power
based on the Social Contract theory, meaning power possessed by a ruler is only a contract between
the ruler and the people, so that both the king’s and the people’s rights and obligations are then
written into a document called the constitution. The Javanese concept of power only regulated the
people’s obligation but showed no consideration for their rights. Even when Javanese king conducted
bad or improper manner, people did not have any rights to protest or to oppose him.

For most Javanese, the emergence of new leaders during the time of political turmoil or ‘goro-goro’ is
always perceived as a common phenomenon. According to most Javanese, every political turmoil or
‘goro-goro’ would give birth to a ‘satriyo piningit’ (a hidden warrior or a hidden candidate of leader)
who at the end would become a ‘Ratu Adil’ or a just ruler sent by God the Creator to restore peace
and order as well as to bring welfare and prosperity for the whole people.

Legitimacy in the Javanese Political Culture

Since the position of the king was really very important, from the Javanese point of view, only certain
human beings were able to posit the throne. As a ruler who possessed the basis of ‘dewa raja’, who
acted as the representative of God, whose power was absolute, a king was not a common man. These
concepts of king as mentioned above had made not every one be able to be the king. Only those
possessing certain characters were entitled to be appointed as a king.

Based on such arguments, a king needed legitimacy in order to be accepted as ruler. In the Javanese
political culture, legitimacy needed by a king could be in the forms of heredity, legality, ‘pusaka’ or
heirloom, ‘wahyu’ or ‘pulung’ or ‘ndaru’, good and brave behaviour or ‘satria’, and other mystical
stories (Mudjanto, 2002:83-87). The more resources that a king possesses, the stronger legitimacy
would be.
In Javanese tradition, there was no clear and certain rule for succession. Therefore, at every
succession there was a problem often emerged (Mudjanto, 2002:62).

Although in Javanese tradition there was a rule of ‘trah’ (trahing kusuma, rembesing madu, wijining
atapa, tedhaking andana warih) or blood relation, stipulating that someone’s position or social
status would be based on the rule of ‘trah’, meaning higher social status required higher ‘trah’ or the
level of ‘trah’ would sort out someone’s social status (Mudjanto, 2002:67); there was no guarantee
that the king would be from those whose ‘trah’ or blood relation was the highest.

Suharto dan Budaya Jawa

Menurut Suharto: “Man will come to the ultimate end he aspires to, if during his life in the ‘alam
madya’ – in this world – he leads a life inspired by the nature of the Lord, i.e. to be ‘good’, in the
essence of its meaning. His entire thought, aspirations and speech must be guided by the essence of
virtue (kebaikan), his mind noble, his heart generous or ‘becik sajatining becik, berbudi bowoleksono,
hambeg adil paramarta’. To be essentially good means to be good not merely for one own sake but
for the sake of others as well” (Siti Hardiyanti Rukmana, 1993: x).

Suharto lebih jauh mengatakan: “Whether or not man will reach his ultimate goal depends on how he
makes use of the means the Lord endowed him with, i.e. his five senses, his thought, his feeling, and
his two antagonistic passions, one for virtue and other for evil” (Siti Hardiyanti Rukmana, 1993:x). In
other words, if someone wants to succeed in achieving the ideal or ultimate goal of his life, he has to
make himself to be a good Javanese, that is someone who is ‘becik sajatining becik, berbudi
bowoleksono, hambeg adil paramarta’, that is someone who lives by undertaking all guidance and
avoiding all prohibitions as taught by the ancestors.

Even, Suharto also said: “Maxims in the Javanese culture, ‘pituduh’ or moral guidances, as well as
‘wewaler’ or prohibitions, would make it easier for the Indonesians to nurture a noble mind and a
generous heart, i.e. to develop oneself to be essentially good, and thus it will be easier as well for him
to develop a conscience necessary to lead a Pancasila – based on civic and social life” (Siti Hardiyanti
Rukmana, 1993:x).

According to “Serat Wedhatama,” in order to become the ideal type of Javanese that is someone
who is ‘becik sajatining becik, berbudi bowoleksono, hambeg adil paramarta’, someone has to learn
from Panembahan Senapati that he/she has to be brave of living in a condition of ‘prihatin’. Meaning,
he/she must be willing to study persistently or ‘tekun belajar’, he must not know the word of retreat
or surrender or ‘pantang menyerah’, and he must be tough and love facing difficult or heavy problems
or ‘ulet dan senang menghadapi persoalan-persoalan yang berat’ (Thomas Wiyasa Bratawijaya,
1987:37).

In order to become a man possessing a simple life disposition or ‘hidup sederhana’, someone has to
control him/herself by doing a certain thing, which is popularly called ‘laku’. The word ‘laku’ could be
equalized to attitude, behavior, or character. By cutting down on eating and sleeping or ‘cegah dhahar
lawan guling/berpuasa’, rejecting funs of life in the world or ‘mati raga’, controlling bad passions or
‘mengendalikan nafsu angkara murka’, and having self-confidence, all we achieved would make us
satisfied and feel closer to God who has complied with all we have requested or ‘apa yang dicapai akan
mendatangkan kepuasan dan selalu bersyukur atas berkat Tuhan yang telah mengabulkan permohonan
kita’ (Thomas Wiyasa Bratawijaya, 1987:37).

Pardi Suratno in his book of “Sang Pemimpin menurut Asthabrata, Wulang Reh, Tripama, Dasa
Darma Raja” (2006) has also asserted that fasting (cutting down on eating) would make someone
having empathy that is someone who could feel other people’s suffering. So that when he becomes a
leader, he could understand the people’s suffering living in poverty. While reducing sleep or ‘cegah
guling’ would make someone possessing more time to come closer to God Almighty. “Serat Wulang
Reh” (written by Sri Paku Buwono IV), has told us that a leader has to pay attention day and night for
the safety and welfare of his people (Pardi Suratno, 2006:142-143).

Beside cutting down on eating and sleeping, someone is also required to get knowledge. “Knowledge
could be attained by studying persistently. By being persistent, tough, and not knowing the word of
‘retreating’ or ‘tekun, ulet dan pantang menyerah’ someone would be able to improve his/her horizon
and awareness so that he/she would be able to overcome problems or obstacles occurring to his/her
life” (Thomas Wiyasa Bratawijaya, 1987:40).

Guidance from the Lord would only be given to someone who possesses a good character or ‘memiliki
keluhuran budi’. According to Thomas Wiyasa Bratawijaya: ”Someone who possesses a good
character would be given guidance from God Almighty so that he would be able to reject obstacles
making him forgotten of himself. He would not be able to be seduced of doing bad actions which
could endanger other people either” (Thomas Wiyasa Bratawijaya, 1987:40).

Suharto quite believed in this Javanese traditional teaching that power would come automatically to
someone who has a good character such as ‘becik sajatining becik, berbudi bowoleksono, hambeg adil
paramarta’. Power or ‘wahyu’ from God would only come into a good median. So, in order to get
power someone has to improve his personality by conducting a number of ‘laku’ or ‘samadi’.

Anda mungkin juga menyukai