Garis kemiskinan ada 2 menurut BPS . Garis kemiskinan makanan ( per Maret 2010 ) adalah
2.100 kalori dari 52 komoditi yang dirupiahkan. Garis kemiskinan non makanan meliputi
kebutuhan minimum perumahan, sandang dan pendidikan. Rp 201.000,- perorang per bulan, atau
Rp 6.700,- perorang per hari, untuk wilayah Jawa Barat ( meliputi makanan dan non makanan ).
Rp 145.000,- perbulan atau Rp 4.800,- perorang perhari untuk makanan. ( 40 USD atau sekitar
360 ribu perbulan perorang, versi Bank Dunia ).
Tahun 2009, ada 4.733.000 orang miskin ( 11,27 % ) dari 42 juta penduduk Jabar ( ada
penurunan dari tahun lalu, ini karena standarnya diturunkan ? atau kemiskinan menurun oleh
banyaknya orang meninggal karena kelaparan, atau kemiskinan diwariskan ke anak cucu.
Pemerintah banyak mengklaim angka statistik, apa mereka melihat faktanya di lapangan ? ).
Tahun 2008, sekitar 11,96 % dari 41 juta penduduk Jabar. Mereka di kabupaten Bogor,
kab.Bandung, dll. Daya beli masih rendah, meski mereka produktif. Jabar termasuk terseok-seok.
Inflasi masih tinggi.
Sektor informal lebih banyak dari formal. Kena PHK, cepat bangkit ke sektor informal, kata
Lukman Ismail, kepala BPS ( Badan Pusat Statistik ). Setiap pertumbuhan ekonomi 6 %, akan
menurunkan 1 % angka kemiskinan. Distribusi pendapatan di Jawa dan Bali, tidak merata.
Pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi kantong miskinnya terbanyak. Di desa2 Jawa Barat ada sekitar
4 % warganya miskin. Di kota2 Jawa Barat, sekitar 2,5 %. Di Jabar selatan, banyak orang
miskin, salah satunya disebabkan kurangnya infrastruktur. Lihatlah intensitas miskin per
kabupaten jika akan menentukan prioritas pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan.
MCK. Mandi Cuci Kakus. Bersih sebagian dari iman. Bersih pangkal sehat. Sehat, produktif lalu
sejahtera. Semoga.
Masyarakat yang ingin berkontribusi pada tahapan pembangunan sanitasi perlu didukung dengan
dana dan regulasi. Masyarakat ikut aktif mengelola, menentukan pilihan teknologi, sehingga
menghasilkan perubahan perilaku yang sangat menentukan keberhasilan perbaikan sanitasi.
Perencanaan dilakukan masyarakat dan pemda, difasilitasi tenaga ahli, agar sasaran yang tercapai
lebih terukur. Pelibatan seluruh stakeholder melalui un-blunding sistem layanan sanitasi dengan
memecahnya menjadi bagian2 kecil. Untuk mengikutsertakan lebih banyak pemain. Masyarakat
dapat memecahkan masalahnya sendiri dengan 3 R, komunal, dsb.
Terobosan perlu dilakukan pada aspek ; perencanaan program, kelembagaan, pendanaan dan
pelibatan stakeholder. Rencana dan strategi sanitasi yang komprehensif harus didasarkan pada
hasil pemetaan yang akurat terhadap kondisi sanitasi saat ini. Dengan pembagian tanggung
jawab dan kewenangan yang seimbang dan merata antara dinas terkait, swasta, masyarakat, LSM
serta perguruan tinggi. Peran pemerintah sebagai fasilitator diperkuat dalam menciptakan iklim
yang kondusif bagi penyediaan layanan sanitasi melalui perda dan mekanisme koordinasi lintas
sektor. Fungsi operator layanan sanitasi diserahkan kepada lembaga khusus, melalui skema
kemitraan pemerintah dan swasta.
Dana diperoleh melalui optimalisasi akses terhadap dana hibah, pinjaman multilateral dan
bilateral. Dana CSR ( Corporate Social Responsibility ) juga potensi yang cukup besar, namun
belum banyak dialokasikan untuk sanitasi. Lebih mudah jika pemda telah memiliki rencana dan
strategi sanitasi yang komprehensif, kata Budi. Keberhasilan sanitasi diukur melalui peran
Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman ( PPSP ). Advokasi atau mendampingi
pemerintah kabupaten/ kota dalam merealisasikan langkah2 kongkrit ( mulai dari pemetaan
situasi, perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi ) adalah upaya terobosan untuk
mengejar ketertinggalan dalam pembangunan sanitasi.
Pemerintah Pusat sebagai ketua Tim Teknis Pembangunan Sanitasi ( Pokja AMPL Nasional )
bertugas memberi bantuan teknis, memfasilitasi kegiatan di kabupaten/ kota dan provinsi,
memberi advokasi dan menguatkan kelembagaan. Pemprov sebagai ketua Pokja AMPL Sanitasi
bertugas mengkoordinir dan mengorganisir kabupaten/ kota. Pemkot/ pemkab sebagai ketua
Pokja AMPL/ Sanitasi menyusun Strategi Sanitasi Kota ( SSK ). Dalam mengimplementasikan
pembangunan sanitasi, tidak dibatasi hirarki. Mereka bekerja full team, ditambah unsur
masyarakat, donor, dll.
Strategi Sanitasi Kota ( SSK ) adalah perencanaan strategis pembangunan sanitasi jangka
menengah dilengkapi berbagai aspek pendukung, seperti pendanaan, kelembagaan, sosial, dsb,
serta prinsip penyusunannya ; dari, oleh dan untuk kabupaten/ kota yang dilaksanakan secara
komprehensif, skala kota dan lintas sektor. Penggabungan pendekatan top down dan bottom up,
didasarkan pada data kondisi, cakupan layanan, program kegiatan existing dan perilaku. SSK
akan bermanfaat jika ada cetak biru pembangunan sanitasi yang tuntas, tidak tambal sulam,
efektif, efesien, tepat sasaran dan mengakomodasi program pembangunan sanitasi jangka
menengah, dengan target dan tahapan yang jelas serta terukur.
Bagi pemerintah pusat, SSK menjadi masukan untuk menentukan arah pembangunan nasional.
Dukungan bagi pembangunan di daerah. SSK bagi lembaga donor dan program, memberi
kejelasan dalam penyaluran bantuan yang efektif dan tepat sasaran. SSK membuat masyarakat
merasa dilibatkan sejak awal hingga pelaksanaan, membentuk dukungan yang berkelanjutan.
Pemda perlu membentuk Pokja atau memperkuat Pokja yang sudah ada, menyiapkan anggaran
untuk kegiatan koordinasi dan operasional Pokja selama penyusunan SSK di tahun 2010,
menstudi dan mensurvei untuk menyusun buku putih, menyiapkan ruangan dan furnitur untuk
konsultan/ fasilitator serta staf pendukung.
Tahun 2025, urbanisasi di Jawa Barat diperkirakan mencapai 52,7 juta dan 81,4 % penduduk
tinggal di perkotaan. Masalah urbanisasi selalu diikuti dengan meningkatnya angka kemiskinan.
Tahun 2009, angka kemiskinan di Jabar berkisar 11,67 %. Kawasan kumuh di perkotaan meluas,
berujung kota tak layak huni. Merembet ke masalah penyediaan air minum ( PDAM ). Tahun
2009, di perkotaan baru terlayani 30 %, di pedesaan baru 18 %. Sektor persampahan, baru 54 %
penduduk yang terlayani. Sanitasi baru 51 %. Di pusat kota tak lebih dari 1,2 %. Saluran drainase
yang tidak tertata memunculkan bencana banjir. Kerugian ekonomi akibat buruknya sanitasi
bertambah. Penggunaan ruang dan sumber daya alam di permukaan, di bawah dan di atas tanah
kawasan yang tak terkendali merusak lingkungan hidup perkotaan dan pedesaan.
Acuan menangani masalah sanitasi adalah UU no.32 tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah.
Dalam Peraturan Pemerintah no.38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara
Pemerintah, Pemda Provinsi dan Pemda Kab/ Kota, disebutkan ; permasalahan sanitasi
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah yang dibagi bersama antar tingkatan, pusat/
provinsi/ kabupaten/ kota dan / atau susunan pemerintahan.
“Sinkronisasi Program & Sharing Pembiayaan Bidang Ke-Cipta Karyaan (( yang dituangkan
dalam RPIJM ( Rencana Program Investasi Jangka Menengah ) dan Rencana Penyelenggaraan
Pembangunan Program Investasi Prasarana dan Sarana ( infrastruktur ) Kabupaten/ Kota yang
disusun sebagai Consolidated Feasibility Studi ( CFS ) dengan keterpaduan penanganan fisik dan
bukan fisik untuk mendukung perwujudan wilayah )) merupakan program yang sedang dan akan
dilaksanakan dalam mewujudkan percepatan pembangunan sanitasi di Bandung Raya,” kata
Ir.Edi Bahtiar, MSc, Kepala Bidang Permukiman Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi
Jawa Barat.
Sampah menebar bau dan penyakit jika tidak dikelola dan diproses. Sudahkah anda memilah
sampah di rumah ? Dari hulu ( rumah tangga ), sampah sudah dikurangi, sehingga tak perlu
setinggi ini. Apalagi dekat pemukiman dan lalulalang manusia.
Masalah pengelolaan sampah muncul dari aspek cakupan pelayanan, prasarana dan sarana, TPA,
organisasi pengelola, keuangan, SDM dan rencana strategis. Kondisi existing ( yang ada
sekarang ) dipengaruhi terbatasnya sarana dan prasarana yang layak terutama di wilayah yang
sebaran penduduknya luas. Armada pengangkutan, jumlah TPS ( yang memadai ), lahan TPA
terutama di wilayah perkotaan, semua serba terbatas. Pengelolaan persampahan di masing2
daerah tidak sama, dana tidak dikelola sendiri, anggaran kecil, mahalnya biaya mengolah
sampah, SDM profesional yang terbatas, latar belakang pendidikan yang kurang memadai, belum
ada rencana jangka menengah dan jangka panjang, menjadi titik pangkal yang harus dibenahi.
Antara rencana dan realisasi cakupan pelayanan persampahan Jawa Barat tahun 2007-2015,
diprediksi masih selisih 9 % pada tahun 2011. Skema penanganannya dapat ditindaklanjuti
dengan peningkatan kinerja hingga mencapai rata2 cakupan pelayanan sampah Bandung Raya
terhadap RPJMD. Pemenuhan target tsb terbagi dalam sistem pengelolaan sampah kabupaten/
kota ( lokal ), peningkatan kapasitas kelembagaan, peningkatan peran serta masyarakat yang
dijabarkan melalui ;
Skema pembiayaan dari APBN dan APBD provinsi Jawa Barat ( alternatif kedua, pilihan
kedua ), adalah wilayah metropolitan Bandung ( TPPAS Legok Nangka ). Namun, pada tahun
2012 belum dapat dioperasikan secara penuh. Kerjasama operasional ( KSO ) dengan pihak
ketiga dilakukan setelah selesai pembangunan. Sumber dana dari APBN Rp.38.035.870.600 dan
APBD provinsi Rp 7.894.812.000. Total Rp 45.930.682.600.
Masalah drainase dalam pandangan Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat,
terjadi karena adanya genangan air setinggi 0,6 – 2,5 meter antara 2 – 7 hari di sejumlah lokasi.
Penyebabnya ; institusi pengelola prasarana dan sarana, lama menyusun program yang
dibutuhkan, saluran air kurang dipelihara, dibersihkan dan diperbaiki, dimensi drainase yang
kurang memadai, masalah utilitas prasarana kota yang mengganggu saluran, dsb.
Skema penanganan yang digulirkan untuk tahun 2008-2013 dilaksanakan dengan skema Flood
Control ( struktural dan non struktural ) dan sistem drainase permukiman ( drainase primer,
drainase sekunder dan drainase tersier ). Skema pembiayaan sesuai RPIJM tahun 2011-2014
berasal dari APBN Rp 198.620.000, APBD provinsi Jabar Rp 13.500.000 dan APBD kabupaten/
kota Rp 24.903.720. Total anggaran Rp 237.023.720.
Secara bertahap akan ditingkatkan minimal menjadi 25 % di tahun 2010. Diharapkan, dengan
anggaran dari APBD sebesar Rp 51 milyar ditambah bantuan program pengembangan
infrastruktur dari Infrastructure Enchancement Grant ( IEG ) AUSAID Australia, bisa
diwujudkan.”Bantuan berbentuk konsultasi, bahkan katanya akan membantu pembiayaan
beberapa lokasi dalam bentuk proyek. Lokasinya akan kita tentukan.”
Persoalan sanitasi terberat adalah sampah, limbah rumah tangga, limbah dari rumah sakit dan
industri. Kendalanya banyak sekali. Kepadatan penduduk bisa mengakibatkan orang membangun
rumah menjadi tidak sehat. Sanitasi yang kurang memadai sering menimbulkan penyakit,
peningkatan biaya perawatan kesehatan dan kebutuhan air bersih. 58 % cakupan air limbah
berasal dari penduduk. 65,2 % penyakit di tahun 2008 disebabkan sanitasi buruk karena hanya
66,11 % dari jamban keluarga yang memadai. Percepatan pembangunan sanitasi di kota Bandung
merupakan kebutuhan mendesak yang pelaksanaannya harus dilakukan secara terintegrasi antara
pemerintah, masyarakat dan dunia usaha.
Rp 62 milyar untuk jaringan induk layanan air kotor Soekarno Hatta – Bojongsoang
Kepala Bappeda kota Bandung, H.Taufik Rachman menuturkan, saluran air pembuangan air
kotor di kota Bandung, masih banyak bercampur dengan drainase saluran terbuka. Karenanya,
upaya percepatan pembangunan sanitasi mutlak dilakukan diringi perubahan perilaku
masyarakat. Terkait percepatan pembangunan sanitasi di kota Bandung, pemkot telah menambah
jaringan induk layanan air kotor di sepanjang jalan Soekarno Hatta ke arah IPAL Bojongsoang.
Dibiayai bantuan pemerintah pusat sebesar Rp 62 milyar.
IPAL seluas 85 hektar, terbesar di Asia Tenggara, dikatakan masih ideal karena pemanfaatannya
baru sekitar 48 %. Belum over kapasitas. Tugas pemkot Bandung sekarang, bagaimana saluran
buangan air kotor dari rumah2 tangga terhubung ke saluran itu. Jika bisa dimaksimalkan, kualitas
kesehatan masyarakat akan meningkat.
Pemerintah pusat menyediakan dana ratusan miliaran rupiah bagi program pembangunan sanitasi
di kabupaten/ kota. Dana dalam jumlah besar itu berbentuk hibah. Setiap kabupaten/ kota bisa
mendapatkan dana tersebut asal memenuhi syarat. Dana dari AusAID ini mencakup 2 program,
yakni Percepatan Pembangunan Sanitasi ( P2S )/ IEG dan Hibah Air Limbah Terpusat/ WSI.
Program tsb diutamakan bagi kegiatan berskala besar/ komunal. Bukan individual. Untuk
memperolehnya, kabupaten/ kota harus memenuhi persyaratan umum yakni :
Mempunyai dokumen SSK ( Strategi Sanitasi Kota ) atau RPIJM dengan program yang
jelas.
Adanya alokasi dana APBN pada tahun anggaran 2010 untuk kegiatan pembangunan air
limbah, persampahan, dan air minum mengacu SSK atau RPIJM.
Memiliki kesiapan pelaksanaan di antaranya, DED dan amdal, kesiapan lahan, rencana
pengadaan, rencana penyerapan dana, rencana institusi pelaksanaan kegiatan pada masa
konstruksi dan institusi pengelola sistem yang dibangun ( pasca konstruksi ).
Siap atau tidaknya daerah akan dinilai oleh Tim Indii dari AusAID. Sebagai gambaran, program
Hibah Air Limbah Terpusat mencakup program perluasan jaringan bagi kota2 yang telah
memiliki sistem pengelolaan air limbah, dengan sistem pengukuhan kinerja ( output based ).
Pemda mengalokasikan dana APBD/ APBD Perubahan tahun anggaran 2010 untuk
melaksanakan pembangunan terlebih dahulu, juga memiliki perda Penyertaan Modal Pemerintah
Daerah ( PMPD ) untuk PD/ PAL/PDAM.
Di bidang air limbah, dana itu bisa untuk membangun IPAL baru skala kawasan/ komunal yang
dikelola masyarakat, pembangunan IPA/ septic tank komunal berbasis masyarakat, dan
optimalisasi/rehabilitasi/up grading IPLT dan IPAL. Direktur Pengembangan Penyehatan
Lingkungan Permukiman, Ditjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, Susmono,
menjamin semua dana yang dikeluarkan oleh pemda nantinya akan diganti oleh pemerintah pusat
melalui dana hibah tersebut. 100 %. Dana itu akan disalurkan hingga Juni 2011.
Pemda bisa menarik dana tsb dengan mengajukan surat minat pada Ditjen Cipta Karya ( DJCK ).
Surat minat tsb berisi kegiatan yang siap dilaksanakan pada tahun anggaran 2010 dari dokumen
SSK dan RPIJM. Surat itu dialamatkan ke Direktur Bina Program, Ditjen Cipta Karya,
Kementerian Pekerjaan Umum. Dokumen itu akan diverifikasi oleh DJCK dan Tim Indii. Jika
oke, DJCK akan mengajukan usulan kota ke Kementerian Keuangan. Setelah itu terbit surat
persetujuan penetapan penerima hibah oleh DJCK dan Kementerian Keuangan. Barulah kegiatan
dilaksanakan. Setelah ada verifikasi oleh konsultan independen, dana hibah itu akan dicairkan
dan masuk ke kas daerah.
Bedeng liar di atas atau tepi sungai termasuk kekumuhan yang dimaksud. Ketika diminta pindah
mereka menolak. Ketika banjir bandang dan menelan korban, mereka minta dikasihani dan
menyalahkan orang yang tak peduli. Jadi, maunya bagaimana ? ( beri pekerjaan yang bisa
menghidupi mereka di desa, sebarkan pembangunan, keadilan ekonomi dan sosial )
Kawasan kumuh adalah sebuah kawasan dengan tingkat kepadatan populasi tinggi di sebuah kota
yang umumnya dihuni oleh masyarakat miskin. Kondisi kumuh bersifat spesifik, bergantung
pada penyebab terjadinya kekumuhan. Karakteristik dari kawasan kumuh yang tercantum dalam
RTRW kota Bandung 2013 ( 2004 ) adalah :