Anda di halaman 1dari 10

Great People & City

Masyarakat Madani di Kota Manusiawi

Archive for the ‘layanan publik’ Category


Miskin versi BPS atau BD ? Sampah & sanitasi :
problem & solusi.
tinggalkan komentar »

Kesenjangan ekonomi, ketimpangan sosial, banyak dijumpai di kota2 di Indonesia. Seorang


pelukis Kanada sengaja datang ke Jakarta untuk melukis ketimpangan ini untuk dipamerkan di
Kanada. Bagaimana perasaan anda ? Kemiskinan struktural masih menggelayuti. Korupsi dan
penegakan hukum yang lemah, memilah manusia.

Garis kemiskinan ada 2 menurut BPS . Garis kemiskinan makanan ( per Maret 2010 ) adalah
2.100 kalori dari 52 komoditi yang dirupiahkan. Garis kemiskinan non makanan meliputi
kebutuhan minimum perumahan, sandang dan pendidikan. Rp 201.000,- perorang per bulan, atau
Rp 6.700,- perorang per hari, untuk wilayah Jawa Barat ( meliputi makanan dan non makanan ).
Rp 145.000,- perbulan atau Rp 4.800,- perorang perhari untuk makanan. (  40 USD atau sekitar
360 ribu perbulan perorang,  versi Bank Dunia ).

Tahun 2009,  ada  4.733.000 orang miskin ( 11,27 % ) dari 42 juta penduduk Jabar ( ada
penurunan dari tahun lalu, ini karena standarnya diturunkan ? atau kemiskinan menurun oleh
banyaknya orang meninggal karena kelaparan, atau kemiskinan diwariskan ke anak cucu.
Pemerintah banyak mengklaim angka statistik, apa mereka melihat faktanya di lapangan ?  ).
Tahun 2008, sekitar 11,96 %  dari 41 juta penduduk Jabar. Mereka di kabupaten Bogor,
kab.Bandung, dll. Daya beli masih rendah, meski mereka produktif. Jabar termasuk terseok-seok.
Inflasi masih tinggi.
Sektor informal lebih banyak dari formal. Kena PHK, cepat bangkit ke sektor informal, kata
Lukman Ismail, kepala BPS ( Badan Pusat Statistik ). Setiap pertumbuhan ekonomi 6 %, akan
menurunkan 1 %  angka kemiskinan. Distribusi pendapatan di Jawa dan Bali, tidak merata.
Pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi kantong miskinnya terbanyak. Di desa2 Jawa Barat ada sekitar
4 % warganya miskin. Di kota2 Jawa Barat, sekitar 2,5 %. Di Jabar selatan, banyak orang
miskin, salah satunya disebabkan kurangnya infrastruktur. Lihatlah intensitas miskin per
kabupaten jika akan menentukan prioritas pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan.

Karena miskin, sanitasi merana, penyakit pun menyerang. 58 triliun, euy ..

Investasi sanitasi belum memadai. Rp 5000/kap/tahun. Sebelumnya ( tahun 1994-2004 ), Rp


200/kap/tahun. Idealnya, Rp 47.000/kap/tahun. Jadi, baru 10 %-nya. Diare, kolera, typhus, dll,
pun menyerang. Statusnya, luar biasa pula. KLB penyakit akibat sanitasi buruk selalu terjadi.
Produktivitas masyarakat menurun. Perilaku buruk penduduk miskin di lingkungan kumuh
dengan status sosial memprihatinkan. Biaya kesehatan tinggi. Masalah kemiskinan penyebab
akses sanitasi penduduk Indonesia masih sangat rendah. 70 juta orang Indonesia masih buang air
besar sembarangan. 98 % TPA sampah kita masih dioperasikan secara open dumping. Tiap 1000
bayi yang lahir, hampir 50 diantaranya meninggal akibat diare sebelum usia 5 tahun. IPM
( Indeks Pembangunan Manusia/ HDI ) menurun. Indonesia di urutan 41 dari 102 negara
berkembang di dunia dalam penilaian sanitasi, kata Budi Hidayat, ketua tim teknis pembangunan
sanitasi Bappenas.

Parameternya meliputi : kesehatan, pendidikan dan penghasilan. Pertumbuhan terhambat karena


diare, mengurangi usia harapan hidup. Hilang waktu sekolah karena sakit. Pengeluaran jadi
tinggi, potensi pendapatan menurun, tabungan menipis, terutama saat kemarau ( sulit air untuk
buang hajat ). Kebijakan top down salah satu penyebabnya. Masyarakat tidak dilibatkan, atau
hanya sekedar diberitahu. Proyek sepenuhnya dibiayai pemerintah. Aspek perubahan perilaku
tidak diprioritaskan. Perencanaan dilakukan tenaga ahli, lalu dijelaskan pada masyarakat/ pemda,
tanpa sungguh2 ditindaklanjuti. Program pun gagal.

Masyarakat terlibat aktif, perilaku berubah, sanitasi pun oke.

MCK. Mandi Cuci Kakus. Bersih sebagian dari iman. Bersih pangkal sehat. Sehat, produktif lalu
sejahtera. Semoga.
Masyarakat yang ingin berkontribusi pada tahapan pembangunan sanitasi perlu didukung dengan
dana dan regulasi. Masyarakat ikut aktif mengelola, menentukan pilihan teknologi, sehingga
menghasilkan perubahan perilaku yang sangat menentukan keberhasilan perbaikan sanitasi.
Perencanaan dilakukan masyarakat dan pemda, difasilitasi tenaga ahli, agar sasaran yang tercapai
lebih terukur. Pelibatan seluruh stakeholder melalui un-blunding sistem layanan sanitasi dengan
memecahnya menjadi bagian2 kecil. Untuk mengikutsertakan lebih banyak pemain. Masyarakat
dapat memecahkan masalahnya sendiri dengan 3 R, komunal, dsb.

Terobosan perlu dilakukan pada aspek ; perencanaan program, kelembagaan, pendanaan dan
pelibatan stakeholder. Rencana dan strategi sanitasi yang komprehensif harus didasarkan pada
hasil pemetaan yang akurat terhadap kondisi sanitasi saat ini. Dengan pembagian tanggung
jawab dan kewenangan yang seimbang dan merata antara dinas terkait, swasta, masyarakat, LSM
serta perguruan tinggi. Peran pemerintah sebagai fasilitator diperkuat dalam menciptakan iklim
yang kondusif bagi penyediaan layanan sanitasi melalui perda dan mekanisme koordinasi lintas
sektor. Fungsi operator layanan sanitasi diserahkan kepada lembaga khusus, melalui skema
kemitraan pemerintah dan swasta.

Dana diperoleh melalui optimalisasi akses terhadap dana hibah, pinjaman multilateral dan
bilateral. Dana CSR ( Corporate Social Responsibility ) juga potensi yang cukup besar, namun
belum banyak dialokasikan untuk sanitasi. Lebih mudah jika pemda telah memiliki rencana dan
strategi sanitasi yang komprehensif, kata Budi. Keberhasilan  sanitasi diukur melalui peran
Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman ( PPSP ). Advokasi atau mendampingi
pemerintah kabupaten/ kota dalam merealisasikan langkah2 kongkrit ( mulai dari pemetaan
situasi, perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi ) adalah upaya terobosan untuk
mengejar ketertinggalan dalam pembangunan sanitasi.

When no one answered, call the   AMPL Team.  SSK is ..

Pemerintah Pusat sebagai ketua Tim Teknis Pembangunan Sanitasi ( Pokja AMPL Nasional )
bertugas memberi bantuan teknis, memfasilitasi kegiatan di kabupaten/ kota dan provinsi,
memberi advokasi dan menguatkan kelembagaan. Pemprov sebagai ketua Pokja AMPL Sanitasi
bertugas mengkoordinir dan mengorganisir kabupaten/ kota. Pemkot/ pemkab sebagai ketua
Pokja AMPL/ Sanitasi menyusun Strategi Sanitasi Kota ( SSK ). Dalam mengimplementasikan
pembangunan sanitasi, tidak dibatasi hirarki. Mereka bekerja full team, ditambah unsur
masyarakat, donor, dll.

Strategi Sanitasi Kota ( SSK ) adalah perencanaan strategis pembangunan sanitasi jangka
menengah dilengkapi berbagai aspek pendukung, seperti pendanaan, kelembagaan, sosial, dsb,
serta prinsip penyusunannya ; dari, oleh dan untuk kabupaten/ kota yang dilaksanakan secara
komprehensif, skala kota dan lintas sektor. Penggabungan pendekatan top down dan bottom up,
didasarkan pada data kondisi, cakupan layanan, program kegiatan existing dan perilaku. SSK
akan bermanfaat jika ada cetak biru pembangunan sanitasi yang tuntas, tidak tambal sulam,
efektif, efesien, tepat sasaran dan mengakomodasi program pembangunan sanitasi jangka
menengah, dengan target dan tahapan yang jelas serta terukur.
Bagi pemerintah pusat, SSK menjadi masukan untuk menentukan arah pembangunan nasional.
Dukungan bagi pembangunan di daerah. SSK bagi lembaga donor dan program, memberi
kejelasan dalam penyaluran bantuan yang efektif dan tepat sasaran. SSK membuat masyarakat
merasa dilibatkan sejak awal hingga pelaksanaan, membentuk dukungan yang berkelanjutan.
Pemda perlu membentuk Pokja atau memperkuat Pokja yang sudah ada, menyiapkan anggaran
untuk kegiatan koordinasi dan operasional Pokja selama penyusunan SSK di tahun 2010,
menstudi dan mensurvei untuk menyusun buku putih, menyiapkan ruangan dan furnitur untuk
konsultan/ fasilitator serta staf pendukung.

Apa itu RPIJM dan CFS ?

Tahun 2025, urbanisasi di Jawa Barat diperkirakan mencapai 52,7 juta dan  81,4 % penduduk
tinggal di perkotaan. Masalah urbanisasi selalu diikuti dengan meningkatnya angka kemiskinan.
Tahun 2009, angka kemiskinan di Jabar berkisar 11,67 %. Kawasan kumuh di perkotaan meluas,
berujung kota tak layak huni. Merembet ke masalah penyediaan air minum ( PDAM ). Tahun
2009, di perkotaan baru terlayani 30 %, di pedesaan baru 18 %. Sektor persampahan, baru 54 %
penduduk yang terlayani. Sanitasi baru 51 %. Di pusat kota tak lebih dari 1,2 %. Saluran drainase
yang tidak tertata memunculkan bencana banjir. Kerugian ekonomi akibat buruknya sanitasi
bertambah. Penggunaan ruang dan sumber daya alam di permukaan, di bawah dan di atas tanah
kawasan yang tak terkendali merusak lingkungan hidup perkotaan dan pedesaan.

Acuan menangani masalah sanitasi adalah UU no.32 tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah.
Dalam Peraturan Pemerintah no.38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara
Pemerintah, Pemda Provinsi dan Pemda Kab/ Kota, disebutkan ; permasalahan sanitasi
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah yang dibagi bersama antar tingkatan, pusat/
provinsi/ kabupaten/ kota dan / atau susunan pemerintahan.

“Sinkronisasi Program & Sharing Pembiayaan Bidang Ke-Cipta Karyaan ((  yang dituangkan
dalam RPIJM ( Rencana Program Investasi Jangka Menengah ) dan Rencana Penyelenggaraan
Pembangunan Program Investasi Prasarana dan Sarana ( infrastruktur ) Kabupaten/ Kota yang
disusun sebagai Consolidated Feasibility Studi ( CFS ) dengan keterpaduan penanganan fisik dan
bukan fisik untuk mendukung perwujudan wilayah )) merupakan program yang sedang dan akan
dilaksanakan dalam mewujudkan percepatan pembangunan sanitasi di Bandung Raya,” kata
Ir.Edi Bahtiar, MSc, Kepala Bidang Permukiman Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi
Jawa Barat.

Air limbah, pembiayaan dan metode penanganannya.

Masalah air limbah muncul ( dan pelayanannya rendah ), karena :

 belum ada Perda Pengelolaan Air Limbah,


 fasilitas pengelolaan limbah belum dimanfaatkan secara optimal,
 meningkatnya pertumbuhan penduduk tanpa diimbangi penyediaan prasarana dan sarana
air limbah yang memadai
 rendahnya kepedulian masyarakat.
Skema penanganan masalah tsb, tahun 2008-2013, mencakup sektor limbah domestik, melalui
metode Offsite ( Smallbone system/ SLBM dan Sewerage system ) dan Onsite ( meliputi septic
tank komunal, MCK, jamban keluarga serta sanitasi lingkungan berbasis masyarakat ). Skema
pembiayaan ( sesuai RPIJM tahun 2011-2014 ) berasal dari kucuran APBN sebesar Rp
442.400.000, APBD provinsi Rp 32.900.000, APBD kabupaten/ kota Rp 48.350.000 dan PDAM
Rp 9.000.000. Total anggaran mencapai Rp 532.650.000.

Setumpuk masalah pengelolaan sampah.

Sampah menebar bau dan penyakit jika tidak dikelola dan diproses. Sudahkah anda memilah
sampah di rumah ? Dari hulu ( rumah tangga ), sampah sudah dikurangi, sehingga tak perlu
setinggi ini. Apalagi dekat pemukiman dan lalulalang manusia.

Masalah pengelolaan sampah muncul dari aspek cakupan pelayanan, prasarana dan sarana, TPA,
organisasi pengelola, keuangan, SDM dan rencana strategis. Kondisi existing ( yang ada
sekarang ) dipengaruhi terbatasnya sarana dan prasarana yang layak terutama di wilayah yang
sebaran penduduknya luas. Armada pengangkutan, jumlah TPS ( yang memadai ), lahan TPA
terutama di wilayah perkotaan, semua serba terbatas. Pengelolaan persampahan di masing2
daerah tidak sama, dana tidak dikelola sendiri, anggaran kecil, mahalnya biaya mengolah
sampah, SDM profesional yang terbatas, latar belakang pendidikan yang kurang memadai, belum
ada rencana jangka menengah dan jangka panjang, menjadi titik pangkal yang harus dibenahi.

Antara rencana dan realisasi cakupan pelayanan persampahan Jawa Barat tahun 2007-2015,
diprediksi masih selisih 9 % pada tahun 2011. Skema penanganannya dapat ditindaklanjuti
dengan peningkatan kinerja hingga mencapai rata2 cakupan pelayanan sampah Bandung Raya
terhadap RPJMD. Pemenuhan target tsb terbagi dalam sistem pengelolaan sampah kabupaten/
kota ( lokal ), peningkatan kapasitas kelembagaan, peningkatan peran serta masyarakat yang
dijabarkan melalui ;

 peningkatan sistem dan jumlah sarana pengumpulan,


 peningkatan sistem dan kualitas TPS,
 peningkatan kualitas dan kuantitas sarana pengangkutan,
 peningkatan kemampuan aparatur pengelola sampah,
 peningkatan sistem dan operasional TPA,
 menfasilitasi program 3 R,
 bantuan sarana dan prasarana 3 R,
 pelatihan program 3 R,
 pembentukan kelompok masyarakat peduli sampah,
 sosialisasi peraturan perundangan persampahan,
 peningkatan keterlibatan sektor swasta ( CSR ).

Untuk sistem pengelolaan sampah lintas kabupaten/ kota ( regional ) meliputi ;

 peningkatan kapasitas kelembagaan,


 peningkatan kemampuan aparatur pengelola sampah regional,
 peningkatan status kelembagaan,
 pengaturan kerjasama antar daerah dalam pengelolaan TPPAS,
 pengaturan pembiayaan operasional TPPAS regional
 kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam pengelolaan TPPAS  ( Tempat
Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah ).

Realisasi pembangunan TPPAS regional untuk menyelesaikan sektor persampahan di Bandung


Raya. Kendati lokasinya tak jauh dari tempat yang sudah ada. Dilakukan dengan
mengoperasionalkan TPA Sarimukti, rehabilitasi dan reklamasi TPA  Leuwigajah, pembangunan
TPPAS yang ramah lingkungan dan berkelanjutan di Legok Nangka ( Nagreg ) dan Nambo.

Rp 529.593.152.900  untuk membangun TPPAS Legok Nangka.

Pembangunan sektor persampahan di wilayah metropolitan Bandung ( TPPAS Legok Nangka ),


pembiayaannya berasal dari APBN, APBD provinsi Jawa Barat dan investor. Upaya tersebut
merupakan pilihan pertama. Pengadaan tanah tahap I dan II  telah dilaksanakan dengan total
biaya Rp 23.150.000.000. Percepatan pembangunan dapat dilaksanakan dengan kontrak multi
years. Sumber dana : APBN Rp 121.235.566.000, APBD provinsi Rp 12.002.768.900, investor
Rp 396.354.818.000. Total Rp 529.593.152.900.

Skema pembiayaan dari APBN dan APBD provinsi Jawa Barat ( alternatif kedua, pilihan
kedua ), adalah wilayah  metropolitan Bandung ( TPPAS Legok Nangka ). Namun, pada tahun
2012 belum dapat dioperasikan secara penuh. Kerjasama operasional ( KSO ) dengan pihak
ketiga dilakukan setelah selesai pembangunan. Sumber dana  dari APBN Rp.38.035.870.600 dan
APBD provinsi Rp 7.894.812.000. Total Rp 45.930.682.600.

Rp 45.930.682.600 untuk reklamasi dan rehabilitasi TPPAS Leuwigajah.

Skema pembangunan wilayah metropolitan Bandung ( TPPAS Leuwigajah ) diawali penataan


dan pengadaan tanah yang meliputi tahap I : 49,5 hektar ( tuntas 2007 ) dan tahap II : 4,4 hektar (
tuntas 2009 ), Amdal target Desember 2010 dan FS ( feasibility study ) target Oktober 2010
( mengevaluasi FS versi BPKPMD ). Skema pembiayaan dari APBN, APBD provinsi Jabar dan
investor ( alternatif satu ) untuk wilayah metropolitan Bandung ( TPPAS Leuwigajah ).
Pengadaan tanah tahap I dan II telah dilaksanakan dengan total biaya Rp 63.000.000.000.
Percepatan pembangunan  dilaksanakan dengan kontrak multi years.
Reklamasi dan rehabilitasi dilakukan dengan menata sampah bekas longsoran, perkerasan  jalan,
pembangunan hangar, gudang dan penghijauan. Pembangunan dilaksanakan tahun 2010, dengan
anggaran APBD provinsi Rp 200.000.000. Tahun 1011, dari APBN Rp 17.529.592.600. dan
APBD provinsi Rp 84.500.000. Tahun 2012, dari APBN Rp 20.506.278.000  dan APBD provinsi
Rp 7.610.312.000. Anggaran  dialokasikan untuk TPPAS Metro Bandung, diprioritaskan ke
Legok Nangka. TPPAS Leuwigajah diprioritaskan untuk reklamasi dan rehabilitasi.

Rp 237.023.720 untuk memperbaiki saluran drainase.

Masalah drainase dalam pandangan Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat,
terjadi karena adanya genangan air setinggi 0,6 – 2,5 meter antara 2 – 7 hari di sejumlah lokasi.
Penyebabnya ; institusi pengelola prasarana dan sarana, lama menyusun program yang
dibutuhkan, saluran air kurang dipelihara, dibersihkan dan diperbaiki, dimensi drainase yang
kurang memadai, masalah utilitas prasarana kota yang mengganggu saluran, dsb.

Skema penanganan yang digulirkan untuk tahun 2008-2013 dilaksanakan dengan skema Flood
Control ( struktural dan non struktural ) dan sistem drainase permukiman ( drainase primer,
drainase sekunder dan drainase tersier ). Skema pembiayaan sesuai RPIJM tahun 2011-2014
berasal dari APBN Rp 198.620.000, APBD provinsi Jabar Rp 13.500.000  dan APBD kabupaten/
kota Rp 24.903.720. Total anggaran Rp 237.023.720.

Kondisi sanitasi lingkungan kota Bandung : 15 % ke 25 %

Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan, mencakup perumahan,


pembuangan kotoran, penyediaan air bersih. Pembangunan sanitasi perlu diperhatikan berbagai
pihak, khususnya pemerintah untuk menyediakan alokasi anggaran dan fasilitas yang memadai.
Dilaksanakan secara komprehensif, multi sektoral dan berkelanjutan sehingga manfaatnya
benar2 maksimal dirasakan masyarakat.

“Mewujudkannya, perlu dukungan perubahan perilaku masyarakat secara revolusioner dan


melembaga dalam pola hidup bersih dan sehat, dimulai dari sanitasi pribadi,”ujar walikota
Bandung, H.Dada Rosada, pada lokakarya strategi percepatan pembangunan sanitasi di kota
Bandung. Sebuah kawasan dikatakan status sanitasinya sehat jika memiliki fasilitas penyediaan
air bersih yang cukup, pembuangan dan pengolahan tinja, air limbah, sampah, sehat lingkungan
fisik, biologis dan lingkungan sosialnya. Sementara ini, kondisi sanitasi lingkungan kota
Bandung, masih di angka 15 %.

Secara bertahap akan ditingkatkan minimal menjadi 25 % di tahun 2010. Diharapkan, dengan
anggaran dari APBD sebesar Rp 51 milyar ditambah bantuan program pengembangan
infrastruktur dari Infrastructure Enchancement Grant ( IEG ) AUSAID Australia, bisa
diwujudkan.”Bantuan berbentuk konsultasi, bahkan katanya akan membantu pembiayaan
beberapa lokasi dalam bentuk proyek. Lokasinya akan kita tentukan.”

Persoalan sanitasi terberat adalah sampah, limbah rumah tangga, limbah dari rumah sakit dan
industri. Kendalanya banyak sekali. Kepadatan penduduk bisa mengakibatkan orang membangun
rumah menjadi tidak sehat. Sanitasi yang kurang memadai sering menimbulkan penyakit,
peningkatan biaya perawatan kesehatan dan kebutuhan air bersih. 58 % cakupan air limbah
berasal dari penduduk. 65,2 % penyakit di tahun 2008 disebabkan sanitasi buruk karena hanya
66,11 % dari jamban keluarga yang memadai. Percepatan pembangunan sanitasi di kota Bandung
merupakan kebutuhan mendesak yang pelaksanaannya harus dilakukan secara terintegrasi antara
pemerintah, masyarakat dan dunia usaha.

Rp 62 milyar untuk jaringan induk layanan air kotor Soekarno Hatta – Bojongsoang

Kepala Bappeda kota Bandung, H.Taufik Rachman menuturkan, saluran air pembuangan air
kotor di kota Bandung, masih banyak bercampur dengan drainase saluran terbuka. Karenanya,
upaya percepatan pembangunan sanitasi mutlak dilakukan diringi perubahan perilaku
masyarakat. Terkait percepatan pembangunan sanitasi di kota Bandung, pemkot telah menambah
jaringan induk layanan air kotor di sepanjang jalan Soekarno Hatta ke arah IPAL Bojongsoang.
Dibiayai bantuan pemerintah pusat sebesar Rp 62 milyar.

IPAL seluas 85 hektar, terbesar di Asia Tenggara, dikatakan masih ideal karena pemanfaatannya
baru sekitar 48 %. Belum over kapasitas. Tugas pemkot Bandung sekarang, bagaimana saluran
buangan air kotor dari rumah2 tangga terhubung ke saluran itu. Jika bisa dimaksimalkan, kualitas
kesehatan masyarakat akan meningkat.

Ingin sanitasi dibangun di wilayah anda ? Ini caranya ..

Pemerintah pusat menyediakan dana ratusan miliaran rupiah bagi program pembangunan sanitasi
di kabupaten/ kota. Dana dalam jumlah besar itu berbentuk hibah. Setiap kabupaten/ kota bisa
mendapatkan dana tersebut asal memenuhi syarat. Dana dari AusAID ini mencakup 2 program,
yakni Percepatan Pembangunan Sanitasi ( P2S )/ IEG dan Hibah Air Limbah Terpusat/ WSI.
Program tsb diutamakan bagi kegiatan berskala besar/ komunal. Bukan individual. Untuk
memperolehnya, kabupaten/ kota harus memenuhi persyaratan umum yakni :

 Mempunyai dokumen SSK ( Strategi Sanitasi Kota ) atau RPIJM dengan program yang
jelas.
 Adanya alokasi dana APBN pada tahun anggaran 2010 untuk kegiatan pembangunan air
limbah, persampahan, dan air minum mengacu SSK atau RPIJM.
 Memiliki kesiapan pelaksanaan di antaranya, DED dan amdal, kesiapan lahan, rencana
pengadaan, rencana penyerapan dana, rencana institusi pelaksanaan kegiatan pada masa
konstruksi dan institusi pengelola sistem yang dibangun ( pasca konstruksi ).

Siap atau tidaknya daerah akan dinilai oleh Tim Indii dari AusAID. Sebagai gambaran, program
Hibah Air Limbah Terpusat mencakup program perluasan jaringan bagi kota2 yang telah
memiliki sistem pengelolaan air limbah, dengan sistem pengukuhan kinerja ( output based ).
Pemda mengalokasikan dana APBD/ APBD Perubahan tahun anggaran 2010 untuk
melaksanakan pembangunan terlebih dahulu, juga memiliki perda Penyertaan Modal Pemerintah
Daerah ( PMPD ) untuk PD/ PAL/PDAM.

Rp 2 juta untuk sistem komunal. Rp 5 juta untuk sistem institusi.


Besaran hibah ditentukan hasil penilaian. Rp 5 juta per sambungan pelanggan ( sistem institusi ).
Rp 2 juta per sambungan pelanggan ( sistem komunal ). Pelayanan diutamakan kepada
masyarakat berpenghasilan rendah ( luas bangunan permanen 60-100 m2 dan daya listrik 900-
1300 watt ). Program P2S, khusus bidang persampahan, dialokasikan bagi revitalisasi TPA
sampah, pembangunan transfer depo, stasiun pengumpul sampah atau tempat pengelolaan
sampah terpadu. Tidak untuk membeli peralatan tidak bergerak ( operasional TPA ), atau pun
proses daur ulang sampah yang dikelola masyarakat.

Di bidang air limbah, dana itu bisa untuk membangun IPAL baru skala kawasan/ komunal yang
dikelola masyarakat, pembangunan IPA/ septic tank komunal berbasis masyarakat, dan
optimalisasi/rehabilitasi/up grading IPLT dan IPAL. Direktur Pengembangan Penyehatan
Lingkungan Permukiman, Ditjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, Susmono,
menjamin semua dana yang dikeluarkan oleh pemda nantinya akan diganti oleh pemerintah pusat
melalui dana hibah tersebut. 100 %. Dana itu akan disalurkan hingga Juni 2011.

Pemda bisa menarik dana tsb dengan mengajukan surat minat pada Ditjen Cipta Karya ( DJCK ).
Surat minat tsb berisi kegiatan yang siap dilaksanakan pada tahun anggaran 2010 dari dokumen
SSK dan RPIJM. Surat itu dialamatkan ke Direktur Bina Program, Ditjen Cipta Karya,
Kementerian Pekerjaan Umum. Dokumen itu akan diverifikasi oleh DJCK dan Tim Indii. Jika
oke, DJCK akan mengajukan usulan kota ke Kementerian Keuangan. Setelah itu terbit surat
persetujuan penetapan penerima hibah oleh DJCK dan Kementerian Keuangan. Barulah kegiatan
dilaksanakan.  Setelah ada verifikasi oleh konsultan independen, dana hibah itu akan dicairkan
dan masuk ke kas daerah.

Pemukiman dan kawasan kumuh, artinya ..

Bedeng liar di atas atau tepi sungai termasuk kekumuhan yang dimaksud. Ketika diminta pindah
mereka menolak. Ketika banjir bandang dan menelan korban, mereka minta dikasihani dan
menyalahkan orang yang tak peduli. Jadi, maunya bagaimana ? ( beri pekerjaan yang bisa
menghidupi mereka di desa, sebarkan pembangunan, keadilan ekonomi dan sosial )

Pemukiman kumuh adalah pemukiman yang cara penghuniannya diindikasikan memiliki


ketidaklayakan pada rumah dan infrastruktur dasar ( Urban Secretariat & Shelter Branch,
United Nations Statistic Division and the Cities Alliances, 2002 ). Karakteristik permukiman
kumuh tsb meliputi :

 Status hunian yang tidak jelas/ ilegal.


 Akses air bersih tidak layak.
 Akses sanitasi dan infrastruktur lain tidak layak.
 Kualitas struktur hunian buruk.
 Kepadatan sangat tinggi.

Kawasan kumuh adalah sebuah kawasan dengan tingkat kepadatan populasi tinggi di sebuah kota
yang umumnya dihuni oleh masyarakat miskin. Kondisi kumuh bersifat spesifik, bergantung
pada penyebab terjadinya kekumuhan. Karakteristik dari kawasan kumuh yang tercantum dalam
RTRW kota Bandung 2013 ( 2004 ) adalah :

 Kepadatan bangunan yang tinggi.


 Kondisi prasarana dan sarana yang buruk secara kuantitatif dan kualitatif.
 Kondisi lingkungan yang tidak didukung oleh sistem drainase dan pembuangan sampah
yang memadai.
 Tidak memilliki keteraturan struktur permukiman.
 Pemukiman di bantaran sungai.
 Areal yang terpengaruh secara fisik oleh pengelolaan limbah pabrik di sekitarnya.

( Tata Ruang, Juni 2010 )

Anda mungkin juga menyukai