Anda di halaman 1dari 8

Cinta dan sahabat....

Cinta dan sahabat, dua hal yang tak mudah ntuk dimengerti. Kadang bisa sangat
berarti, namun dalam hal itu bisa membuat luka teuramat perih. Aku adalah orang yang
berada di tengah-tengah cinta dan sahabat itu. Kini, aku yang begitu merindukan hadirnya
seorang kekasih, dalam hangatnya persahabatanku dengan Sisil yang lebih muda satu
tingkat dariku.

Tiga minggu di awal semester satu...aku duduk di bangku kelas XII, seabrek kegiatan


pun kulalui tanpa kuharus memikirkan cinta menurutku itu hanya membuatku lelah.
Namun, pertemuan itu membuatku melupakan suatu hal, aku yang larut dalam perasaanku
terhadap Alan. Aku terlalu bodoh karena terlalu jatuh hati pada orang yang salah, jatuh hati
pada orang yang tak pernah menyimpan cinta padaku. Aku tak begitu saja menyalahkannya!
Dia tak patut untuk disalahkan, dia hanya korban dari cintaku dan dia terlalu baik mau
mengerti akan cintaku padanya.

Dan terlalu naif bila kini aku harus menyesal karena mengenalnya. Karena dia aku
dapat merasakan hal terindah, walaupun hanya sekejap. Aku terlalu naif hingga aku pun
tidak menyadari Sisil merasakan juga perih yang kurasa. Sisil sahabatku orang yang
kupercaya seutuhnya, orang yang selalu berusaha ada untukku. Kini, telah terluka karena
keegoisanku.

Seharusnya aku tak pernah hadir di antara Alan dan Sisil. Bila akhirnya luka ini yang
kurasa. Andai saja kusadari dari awal, andai saja ku lebih mengerti mereka, andai saja aku
tidak jatuh hati pada Alan, Alan dan Alan. Orang yang kucintai dan selalu ada dalam hatiku
walau hati ini terasa perih, kudapat mengerti tak ada gunanya kubertahan di sisimu, karena
ternyata kau lebih menginginkan Sisil mengisi hari-harimu. Aku di sini yang begitu tulus
mencintaimu dan aku yang selalu berusaha ntuk mengerti dirimu kan selalu menanti dan
menata hati lagi hingga bayanganmu pergi hingga tak ada lagi luka kurasa, hingga tak ada
lagi kecewa yang terasa. Aku di sini kan selalu berusaha tegar menjalani hari-hariku, aku
kan selalu berusaha tersenyum agar kau bisa bahagia bersama Sisil sahabatku. Walaupun
dia telah merebutmu, kisahku dan dia dulu takkan pernah kulupa, dia tetap sahabatku,
percayalah dengan sisa kesedihanku ini.

Kumasih dapat bertahan hingga kelak kau mengerti bahwa aku memang
mencintaimu. Aku memang menyayangi, tapi aku tak rela tersakiti olehmu saat ini, esok dan
sampai kapanpun.

Pertemuan itu berawal dari perkenalanku dengan Alan, seorang cowok yang aku
kenal dari temanku, Marcell. Perkenalan yang terbilang singkat juga, aku mulai merasakan
getaran cinta itu. Rasa itu mulai menerangi kembali tahta hatiku yang telah lama ditinggal
pergi oleh seseorang yang pernah begitu berarti dalam hidupku dulu. Yang sampai saat ini
pun aku belum bisa melupakannya.
Alan yang telah hadir untuk mengisi hari-hariku pun membuatku terlelap akan rasa
bahagia itu, hingga akupun tak pernah menyadari ternyata semua kebahagiaan itu palsu.
Alan orang yang kucintai dengan tulus ternyata datang hanya untuk menyakiti dan
menorehkan luka. Luka yang teramat dalam di hatiku. Pertemuan itu juga yang telah
menghancurkan semuanya. Hidupku yang begitu indah yang begitu berwarna menjadi
hancur akan hadirnya!

Malam itu aku dan Alan sepakat untuk memadu kasih, merajut asa dan menggapai
cita berdua. Aku belum pernah merasakan sebahagia ini, aku begitu merasa begitu
beruntung bisa dicintai oleh orang yang kucintai. Hari-hari bahagia pun mulai kami lalui. Alan
begitu indah di mataku yang membuatku lupa akan segalanya, bila bersamanya. Itu juga
yang membuatku merelakan tahta hatiku dipenuhi oleh cintanya, namun lagi-lagi kenyataan
tak selalu berjalan sesuai dengan yang kuharapkan.

Minggu pertama hubungan cintaku bersama Alan mulai goyah, Alan mulai berubah
dan tidak lagi Alan yang selalu tersenyum untukku. Alan tidak juga bersifat manis padaku,
setiap tutur katanya yang menyejukkan hatiku kini terasa mengiris-iris hatiku. Apa yang telah
kulakukan padanya hingga dia begitu tega padaku, aku begitu percaya padanya hingga aku
pun terluka olehnya.

Hubungan ini berakhir begitu saja, pertemuan singkat itu menjadi menyakitkan.
Sahabat pun menjadi pelarian sedih dan kecewa, tapi sahabatku tega mengkhianatiku. Dia
yang ternyata merebut Alan dariku, dia merenggut semua kebahagiaanku . Persahabatan
yang telah bertahun-tahun kubina bersamanya pun menjadi tak berarti. Aku lelah dengan
semua ini hingga aku sempat memutuskan tali persahabatan itu, egoiskah aku?

Aku hanya belum bisa berpikir jernh saat itu, aku merasa semakin tolol, seharusnya
kubisa merelakan Alan dan Sisil untuk bersama. Karena mungkin kebahagiaan Alan hanya
ada pada Sisil! Aku belum siap kehilangan kebahagiaan itu, aku masih ingin disayangi walau
semua itu hanya kebohongan. Aku tak mau merasakan sakit hati ini lagi. Akankah sakit ini
akan terganti saat ku melihat kebahagiaan orang yang kucintai dan Sisil sahabatku.

Kini dalam setiap hari-hari sepiku, dalam kesendirianku, aku hanya bisa berharap aku
kan memiliki kekasihku lagi, memiliki dia yang telah pergi, karena aku kan selalu
mencintainya. Aku kan selalu mengenangnya di dalam hatiku,karena dia telah datang dan
pergi dengan menghiasi setiap sudut didalam hatiku dengan cintanya yang sesaat, dan Sisil
sahabatku buatlah cintaku bahagia karena kalianbegitu berarti untukku...***
CINTA TERLARANG” KERANA ALLAH ??

Aku mencapai telefon mobilku dan membelek-belek SMS ucapan hari lahir yang
diterima minggu lepas. Cukup ringkas. Namun, aku masih tertanya-tanya mengapa Amin
hanya mengirimkan SMS sahaja kali ini? Jika tidak, tahun-tahun sebelum ini pasti sudah ada
kad besar dan bermuzik akan tiba beberapa hari sebelum hari lahir ku. Dah la pakai nombor
orang lain, siap tulis nama penuh aku pula tu. Tak pernah pula dia tulis macam ni… Ish, hati
mula ragu-ragu. Menyangka sesuatu yang tak baik sedang berlaku. Adakah dia sudah ….?
Argh, tak mungkinlah! Dia dah kata takkan ….

Aku teringat ketika dia pulang bercuti pada musim summer tahun lepas. Namun,
sebelum itu aku sudah rasa banyak perubahan berlaku pada dirinya. Dia telah mula banyak
memberi nasihat-nasihat baik ketika kami berhubung samada melalui telefon, SMS, email,
YM dan juga friendster. Dan ketika itu, aku mendapat cuti seminggu dan telah bercadang
untuk turun ke KL dengan kakak melawat saudara-mara, dan sambil-sambil itu bolehlah juga
berjumpa dengan si Amin. Setahun sekali tak salah rasanya. Melepas rindu la sedikit.
‘Boring’ juga kalau asyik berhubung melalui telefon saja. Lagipun Kuantan-KL sekarang
boleh travel dalam 3 jam 1/2 dah. Ulang-alik setiap hari pun boleh.

Di KL, aku telah menghubunginya dan cuba mengajak untuk berjumpa. Dia menolak
ajakan aku untuk keluar berjalan-jalan daripada pagi sampai ke petang. Dia hanya boleh
berjumpa dengan ku seketika sahaja pada petang hari. Walaupun dia beralasan sibuk, tapi
aku tahu dia taklah sesibuk mana. Nak tak nak, aku terpaksalah menerima sahaja
cadangannya. Asal boleh berjumpa, ia sudah cukup bagi aku. Dan petang itu kami taklah ke
mana-mana sangat. Ronda-ronda sahaja dengan kereta Wira kesukaannya itu. Selepas ber-
Asar di Masjid Wilayah, Amin membawa aku ke sebuah restoran dan kami makan ‘early
dinner’ di situ. Kemudian, satu detik yang agak ‘mengingatkan’ bagi aku adalah sewaktu
kami dalam perjalanan menghantar pulang aku ke rumah saudaraku… Dia ada bertanya
“Apa beza kita dengan diaorang kat situ tu ye?” Amin menunjuk-nunjuk ke arah beberapa
pasang ‘couple’ yang sedang lepak berdua-duan di tempat-tempat duduk sepanjang sebuah
taman. Aku tergamam sekejap. Huh. Agak menduga, tapi ‘simple’ saja. “Ala, kita ni baik sket.
Tak ada pegang-pegang. Tutup aurat elok. Sampai waktu solat, kita solat. Erm… Islamik
sket la pendek cerita!.” “Hmm..” Amin hanya mengangguk-angguk. “Dalam Islam ada ke
macam ni?” Amin menduga lagi. Erk… Semakin terkesima aku dibuatnya.

Kali ini aku terus diam terpaku. Aku tahu dia lebih banyak tahu selok-belok masalah
benda-benda macam ini. Kalau aku jawab lagi, mesti dia ‘counter’ lagi. Huh. Diam sahaja
lah! “Erh, abaikan je lah. Saja je saya tanya…” Amin cuba menyedapkan hati. Tidak
lama selepas Amin terbang pulang semula ke UK untuk menyambung sesi pelajarannya
yang baru, dia ada menghantar satu email kepada ku untuk menerangkan kedudukan dan
tujuan dia bertanya akan hal itu. Aku sudah mula faham sedikit-sebanyak yang aku perlu
mengawal hubungan yang masih tidak ‘rasmi’ ini. Dan sejak daripada itu dia tidak pernah
langsung menelefon aku. SMS pula hanya bertanyakan tentang pelajaran sahaja. Itu pun
boleh dibilang dengan jari. Namun, aku bersyukur dan gembira kerana dialah yang membuat
aku berubah untuk jadi lebih baik dan lebih faham Islam. Jika dulu pakaian aku agak ketat
dan singkat, kini sudah banyak yang labuh dan longgar aku beli. Tudungku pun pernah
ditegurnya agar melabuhkan ke bawah dada. Dialah yang memperkenalkan padaku apa itu
usrah dan dakwah. Dia juga ada berpesan – ‘Jaga hubungan dengan Allah tu lagi penting.
Insya Allah, kemudian Dia akan jaga hubungan kita.Jadi, apakah yang akan berlaku selepas
ini? Hatiku masih tak tenteram memikirkan SMS ucapan hari lahir itu. Macam-macam
sangkaan buruk bermain-main dalam hati yang mula busuk ini. Aku masih setia menanti
kepulangannya. Dan aku yakin dia juga setia pada aku. Aku tak pernah memikirkan lelaki-
lelaki lain selain dia. Dan aku yakin dia juga tak pernah nak menggatal dengan perempuan-
perempuan lain. Dia taklah seperti kebanyakan lelaki yang ‘playboy’ pada masa kini.

Ops! Mungkin agak kasar untuk berkata sedemikian.

‘Tuuut. Tuuut…’ Nada dering SMS berbunyi. Nombor Amin yang


terpapar. “Esok free tak? Boleh kita chatting?” “Boleh… Saya free je.” jawab aku ringkas.
Erm, mesti dia saja nak buat ‘surprise.’ Aku dah agak dah, takkanlah dia hantar SMS saja
untuk ‘wish birthday’ aku. Keyakinan aku mula bertambah. Dia masih sayang padaku.
“Ok.Tq…” balasnya pula. Keesokannya, aku menanti awal dia online. ‘Tuk. Tuk. Tuk..’ Amin
has signed in. Oh, tepat sungguh waktunya… Amin: assalamualaikum wbt. Wani: wsalam…
Amin: apa khabar? sihat? iman baik? Wani: alhamdulillah… sihat2..=) awak? Amin:
alhamdulilah… baik2 juga… iman selalu turun naik sejak kebelakagn ni… tp takpe, ok je
semua Wani: awak tak balik ke tahun ni? btw, thanks for the bday wish last week… Amin:
welcome… tak balik. byk kerja sket tahun ni… lagi pun saya nak try bekerja… cari duit…
Wani: wah, rajinnya… baguslah! Amin: hurm… Amin: study macam mana? Wani: ok je…
new sem ni berat sket.. Jadual pack. Amin: oic… Amin: takpe, study rajin2 ye.. Amin: hurm,
dah lama nak tanya ni sebenarnya… Amin: hurm… Wani: apa dia? tanya la… sila2..

Amin: 1st of all sorry dulu ye… hurm, apa pendapat awak tentang kita sekarang?

Wani: erh… macam awak kata dalam email tu dulu yang kita ni kan
‘kawan’… tak lebih daripada tu… tp, special sket… tiada couple-couple mcm org lain…
declare pun tak kan? Wani: so, statusnya kawan je la… Amin: hurm… Wani: erh, tak betul
ke? Amin: hurm.. ni opinion je la – antara lelaki dan perempuan yg bukan mahram, tiada
perhubungan yang lebih akrab melainkan hubungan suami isteri shj… yg lain2.. atas alasan
aper skali pun ia tak patut diterima.. Aku tergamam seketika. Tertampar keras juga
rasanya… Wani: jadi… Amin: saya rasa kita harus stop… stop untuk berpisah… Amin:
sbb…… Amin: sbb saya sedar yg semua ini adalah salah dan juga keliru… Amin: benda ni
akan buatkan hati ternodai… zina hati akan banyak berlaku… Amin: walaupun kita jauh, tak
call, tak jumpa dll, tapi hati tetap ber’zina’… Amin: huh… Amin: saya bercakap itu dan ini
pada org ramai… tapi, dalam masa yang sama saya meyelindungi sesuatu yang tak
sepatutnya saya buat… Amin: kononya Islamik… Amin: saya rasa cara ni tak betul… kita
sbnrnya yang dah menyarungkan benda yg tak baik ni dgn Islam… then, org nampak
Islamik… Amin: saya rasa takde beza pun kita dgn org lain yg duk ber’couple2’ nieh.. Amin:
hurm….. Amin: jadi, saya rasa kita harus berpisah… Amin: demi menjaga diri…& sama-
sama untuk kembali harungi hidup dalam redha Ilahi… Amin: sorry… sorry byk2 untuk
segala apa yang telah kita buat… Amin: dan sorry juga sbb telah membawa awak ke jalan
yang lupa pada-Nya… Amin: andai ada jodoh, moga dipertemukan… Astaghfirullahalazim…
Aku beristighfar panjang. Ku kesat peluh di dahi… Air mata jahiliyah ku deras menitis
membahasi meja. Sedikit terpercik pada keyboard laptop. Aku tak sangka perkara seperti ini
akan terjadi sepantas ini. Ringkas, lembut, berhikmah serta points-nya yang jelas membuat
aku tak dapat membantah dan berkata-kata. Sedih, pilu, kecewa, dan sesekali timbul rasa
kesal pun ada. Tapi, semua itu tak bermakna lagi… Aku tak mampu lagi untuk menyambung
perbualan tersebut. Ku pasrah dan terima sahaja keputusan yang dibuat oleh Amin itu. Di
saat ini, hanya Allah yang bisa mendengar bisikan hati rapuh ini. Dialah juga tempat ku
pohon keampunan atas segala kekeliruan yang telah aku timbulkan. Rupanya selama ini aku
telah tertipu dengan biskan musuh, mengikut jalan taghut, mencampurkan halal dan haram,
serta mengandunkan yang Islam dan al-hawa… Cinta hakiki hanyalah pada Allah…
Tiba-tiba aku teringat hadis halawatul iman yang pernah dibincangkan oleh naqibah aku tak
lama dahulu; pertama-tama sekali mestilah mencintai Allah dan RasulNya lebih daripada
makhlukNya, kemudian mencintai seseorang itu hanya kerana Allah dan akhir sekali, mesti
benci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci dicampakkan dirinya ke dalam
api neraka. Dengan demikian barulah dapat merasai kemanisan iman itu. Hanya Allah
sahajalah yang layak memberi hidayah kepada sesiapa yang dikhendakiNya. Moga-moga
Dia kuatkan dan teguhkan hatiku menghadapi dugaan ini dan moga-moga diringankan
beban yang kupikul ini. Aku terus menjawab ringkas…. Wani: thanks & sorry too… saya
terima… Alhamdulillah… Wani: moga awak bahagia dan sukses selalu di sana. doakan saya
juga. Wani: wassalam. Signed out

Aku merasakan hubungan tiga tahun yang terbina itu memang salah pada
dasarnya. Bagaimana mungkin ia dapat mewujudkan sebuah keluarga yang menjunjung
Islam jika asasnya terbina melalui cara al-hawa? Ya, kami memang saling menasihati dan
bertazkirah, saling mengejut Qiamulali, saling menghantar SMS ayat-ayat Quran serta hadis,
tapi semua itu memang tak betul caranya… Aku sedar yang kami telah mempergunakan
Islam untuk mencapai matlamat peribadi… Astaghfirullah.. Syukur pada Mu ya Allah kerana
lekas mengembalikan ku pada jalan redha-Mu. “Sayang… Cepat turun ni. Nurul dah
nak sampai.” Ops! Tersedar daripada lamunan kisah 15 tahun lepas itu tatkala mendengar
sahutan suamiku, Muhammad Aqil untuk bersiap menyambut tetamu istimewa kami Nurul
dan Amin. “Ya bang, Wani turun…”

Alhamdulillah… Siap semuanya. Aku menutup lid laptopku dan bergegas turun ke
bawah. Aku sudah bersedia untuk membentangkan ‘presentation’ kepada beliawan-
beliawanis negara mengenai Cinta Remaja dalam program ‘Belia Negara 2057’ esok. Aku
sangat bersyukur menjadi siapa diri aku sekarang ini dan aku mengharapkan belia-belia
harapan negara dapat kembali kepada cara fitrah yang sebenar dalam menguruskan soal
cinta
Nilai Rm5. . . .

Jalan di situ berlopak-lopak besar,terhinjut-hinjut toyota ini dilambung graviti. Ery yang
duduk disebelah sudah berapa kali bangun tidur, dengkurnya makin menjadi. Siaran radio
sekejap berbunyi, bercampur-campur. Sekejap radio perak, sekejap kedah mengikut
lambungan kereta lagaknya.

Aku terpaksa memperlahankan kereta melalui satu perkampungan nelayan yang kotor,
beberapa budak-budak kecil dengan muka yang comot dan hingus kering di muka berlari-
lari. Seorang daripadanya tidak berseluar langsung, geli. Ada orang tua berbasikal
mengangkat tangan memberi salam. Aku menaikkan cermin kereta, melepaskan rengusan
garang.

Ery sudah bangun, mengesat-ngesat mata, menggeliat kasar. Mengeluarkan bunyi


seperti kerbau. Perempuan sial, sopannya cuma didepan jantan, tersipu-sipu dan bersimpuh
malu. Hipokrit ini cuma tahu bersolek dan berdandan bila mahu keluar, di rumah dia seperti
perempuan baru beranak, t-shirt goboh dengan kain pelekat senteng dan rambut usai seperti
orang gila, mengeluarkan bau hapak dan masam.

Ada sebuah jeti buruk di situ. Beberapa nelayan baru sampai dari laut disambut peraih-
peraih buncit. Memunggah ikan. Ery sudah separuh menggelepar di luar meliar mata
mencari Shafik, tunangnya. Aku duduk sahaja di dalam kereta. Aku bencikan pantai hanyir
seperti ini. Beberapa gadis bertudung labuh lalu dengan menaiki basikal dan memberi
senyuman. Aku menghempas pintu serta merta. Memang benar. Perempuan kolot seperti
mereka itu, patut dijerukkan saja di tempat busuk ini. Tolol!

Kemudian, datang seorang tua menghampiri tingkap belakang. Aku sedikit marah, mengetap
bibir.

"Nak apa?!"

Dia terketar terkejut, sedikit berundur.

" Assalammualaikum nak, pakcik ambil upah cuci kereta.."

Dia bercakap dengan pandangan yang tumpah ke kakinya, tertib dan seperti takut. Di
tangannya ada satu baldi buruk air sabun dengan tuala koyak di bahu. Baju kemeja kusam
koyak di poket, cuma dibutang dua menampakkan dadanya yang leper ditolak tulang
selangka. Seluar hijau pudar senteng. Tidak berkasut dengan kuku hitam dan kaki yang
reput. Menjijikkan!

" Basuh sajalah, tapi, awas!! Kalau calar kereta aku, tahulah macamana aku nak ajar kau!!"

Berkata sambil meliarkan mata pada Ery yang tengah tersengih-sengih meramas-
ramas tangan dengan tunangnya itu. Duduk pula bersimpuh, membelai-belai rambut. Boleh
pula kaki yang asyik duduk terkangkang di rumah itu di tutup rapat.
Orang tua itu tertunduk-tunduk mengucap terima kasih. Ah, miskin seperti ini tunduk-
tunduk meminta simpati, tiada maruah. Terus saja dia menggosok satu demi satu tayar
kereta. Memberus sambil terbatuk-batuk, meludahkan kahak hijau. Pengotor, sial! Aku
mengalihkan mata ke pantai. Peraih berdekah ketawa menepuk-nepuk belakang nelayan
kurus itu. Menyerahkan beberapa ringgit. Nelayan itu tersenyum pahit. Menyelitkannya di
celah kopiah. Itulah, siapa suruh kecil-kecil tidak mahu belajar pandai-pandai, masuk
universiti dan kerja besar. Tidaklah hidup susah seperti itu. Bodoh!!

"Sudah nak!!" Pakcik itu datang setelah 20 minit. Aku sudah malas hendak memandangnya,
dan kuhulurkan sahaja RM5. Aku rasa itu sudah cukup lumayan untuk fakir seperti dia.
Cepat-cepatlah dia pergi. Tapi, sebaliknya dia memegang lama duit itu. Tunduk dan
menangis tersedu-sedu. Menambahkan kerut dan mengelap mata dengan hujung
kemejanya.

"Kenapa ni? Gila?!"

"Nak, seumur hidup pakcik hidup susah ini, pakcik kerja memetik kelapa, mencuci tandas di
restoran, kemudian mencuci kereta, belum pernah pakcik terima upah sebanyak ini. Paling
banyak pun hanya seringgit." Dia bersungguh-sungguh melihat ke dalam mata aku.

Timbul pula sedikit simpati, sedikit sayu. Rasa yang tidak pernah bertakung dalam hati
keras aku selama 25 tahun ini. Dia melipat kecil wang itu diikat simpul di dalam sapu tangan
biru muda. Pergi dengan terhinggut menangis dengan baldi buruk ke arah sekumpulan
nelayan. Aku memandangnya dengan pandangan kosong. Ini warna kemiskinan, aku tidak
pernah lihat. Aku membesar dalam hutan batu, di kota lumpur. Keras diselaput wang
kemewahan, kemudian keluar dengan segulung ijazah. Bekerja seperti orang gila untuk duit.
Biarlah, kalau aku mahu bantu, ramai lagi di luar sana. Lupakan saja..

Ery memanggil aku dari sebuah kedai makan di situ. Hampir 10 minit aku melayan
meluat melihat Ery yang tersipu-sipu menggagau mee dengan sudu dan garfu. Kemudian,
kelibat orang tua itu melintasi kami, menjinjing dua beg besar hitam berisi barang. Hairan,
takkanlah dengan wang RM5 dia boleh membeli barang sebanyak itu. Mustahil. Atau dia
memang ada duit tapi, berlagak seperti fakir. Mungkin.. Dengan rasa ragu, aku
menghapirinya. Dia memberi senyum lembut dan aku dengan rasa curiga bertanya terus.

"Eh, pakcik. Tadi saya bagi lima ringgit, takkan dapat beli barang sebanyak ini?" .

Bunyinya seperti meninggi. Pakcik itu seperti terkejut. Dia diam dan tunduk seketika.
Pahit menelan air liur. Meletakkan dua beg plastik di atas tanah, membukanya satu satu,
perlahan-lahan dan terketar.

Aku terkedu. Terkejut dan malu. Pakcik itu mengeluarkan sapu tangan tadi dan membuka
simpulannya.Wang aku tadi, masih terlipat kemas.
"Nak, pakcik tahu. Kami ini orang susah, nak. Hidup seperti najis, dibuang dan ditolak-
tolak. Kalian pekup hidung melihat kami. Ambillah ini semula. Pakcik juga punya maruah.
Kadang-kadang maruah kami lebih tinggi dari kamu orang kaya yang hidup berpura-pura,
menipu orang. Harga diri kami masih kuat. Bila anak menyoal pakcik seperti tadi, anak telah
memijak harga diri pakcik. Anak seperti menghukum pakcik sebagai orang tual sial yang
berpura-pura susah. Ambillah semula, nak."

Pakcik itu meletakkannya di atas tangan aku, dan aku menolak, berkali-kali. Aku sudah
menangis, meminta maaf, berkali-kali. Tidak mahu menyentuh langsung wang itu, hingga
jatuh di hujung kaki.

"Lihat, itulah tempat duit. Di tapak kaki. Duit itu perlu, tapi jangan sampai ia lebih tinggi dari
harga diri. Jangan sampai duit menjadikan kita angkuh dan bongkak. Pakcik ke sana tadi,
tempat nelayan memunggah ikan. Pakcik kutip ikan-ikan kembung pecah perut ini yang
sudah dibuang ke tepi. Dengan bangkai busuk ini pakcik sambung hidup anak-anak pakcik,
jangan sampai kelaparan, jangan mati."

Mendatar sahaja suara orang tua itu berkisar-kisar dengan pukulan ombak.

Dia terbatuk-batuk berjalan, meninggalkan aku dengan wang lima ringgit di hujung kaki, dua
plasik berisi ikan busuk yang sudah mula dihurung lalat.

Aku terduduk menangis semahu-mahunya. Aku mempunyai wang yang boleh membeli
segala kemewahan dunia. Cuma aku belum mampu membeli sesuatu yang ada dalam diri
orang tua itu.

Anda mungkin juga menyukai