Anda di halaman 1dari 5

Desakan rekonsiliasi Kenya

 
Tekanan diplomatik atas para pemimpin Kenya meningkat
karena kekuatiran akan kekerasan yang menimbulkan
korban 120 jiwa.
Kerusuhan ini dipicu oleh pengambilan sumpah Presiden Kenya, Mwai Kibaki, untuk masa
jabatan kedua pada hari Minggu, menyusul penghitungan suara yang menguntungkan kubunya.
Saingannya, Raila Odinga, mengatakan kemenangannya telah dicuri oleh kecurangan dalam
penghitungan suara.
Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown, mendesak kedua belah pihak untuk berupaya mencari
solusi atas kondisi yang disebut pemerintah Inggris sebagai 'pembunuhan yang mengerikan.'
Pemerintah Amerika Serikat mengatakan keprihatinan yang serius atas perhitungan suara.
Mulai berwarna etnis
Unjuk rasa marak marak di kawasan pemukiman kumuh di Nairobi pada Hari Senin dan di kota
asal Odinga, Kisumu.
Di beberapa tempat, kekerasan sudah diwarnai dengan konflik antar etnis, dengan masyarakat
Luo yang pro Odinga sedang Kikuyus sebagai pendukung Kibaki.
Jika kedua belah pihak tidak bisa diajak berunding dalam beberapa hari, ada kekuatiran
kekerasan bisa meluas tak terkendali dan menjadi pembunuhan antar etnis.
Palang Merah Kenya mengatakan banyak dari yang tewas merupakan korban kekerasan antar
etnis.
Kantor berita AP melaporkan para anggota gang memeriksa asal suku orang-orang pada saat
Palang Merah mencoba membantu korban yang luka.
Para wartawan melaporkan kekerasan terburuk terjadi di kawasan oposisi Kisumu, dan wartawan
BBC melihat sekitar 40 jenasah dengan luka tembak di kamar jenasah.
Dalam pesan tahun barunya, Presiden Kibaki meminta 'rekonsiliasi' namun memperingatkan
pemerintahnya akan bertindak tegas atas mereka yang merusak perdamaian.
Sedangkan Odinga meminta para pendukungnya tidak membawa-bawa masalah etnis dalam
penghitungan suara yang bermasalah.
Upaya perundingan
Gordon Brown sudah menelepon Kibaki dan Odinga untuk membujuk keduanya agar
mengupayakan 'persatuan dan rekonsiliasi.'
"Kami prihatin dan mengutuk insiden kekerasan yang berlangsung di Kenya, termasuk
pembunuhan yang mengerikan di beberapa kota di Kenya," kata Menteri Luar Negeri Inggris,
David Miliband.
Amerika Serikat dan Uni Eropa sudah mengungkapkan kekuatiran atas penghitungan suara.
"Yang jelas ada sejumlah masalah di sini dan membutuhkan penyelesaian yang sejalan dengan
konstitusi dan sistem hukum," kata jurubicara Kementrian Luar Negeri Amerika, Tom Casey.
"Saya tidak memberikan ucapan selamat kepada siapapun karena kami menyayangkan proses
penghitungan," tambahnya.
Sekjen PBB, Ban Ki-moon, mendesak aparat keamanan 'untuk menjaga diri' dan meminta warga
Kenya 'tenang dan menghormati hukum.'
Sementara itu Odinga sudah menyerukan pawai sejuta orang di ibukota Nairobi pada Hari
Kamis.
Polisi melarang pendukungnya melakukan upacara pelantikan tandingan atas Odinga di Nairobi
pada hari Senin, sehari setelah Kibaki disumpah.
Kantor-kantor berita asing menghitung sedikitnya 100 orang tewas di seluruh Kenya sejak
pemilihan umum Hari Kamis.
 
Mencermati Kasus Konflik Etnis di Kalimantan Barat : Tantangan Untuk
Mempertahankan Perdamaian Berkesinambungan

Peristiwa ketegangan antar warga di kawasan Tanjungpura Pontianak yang hampir saja
membuahkan amuk massa atau kekerasan komunal pada hari kamis (6/12) kemarin tentu saja
sangat kita sayangkan. Meskipun sudah dilakukan pertemuan perdamaian antar tokoh keduabelah
etnis, hampir saja kekerasan komunal terjadi lagi. Untunglah kepolisian bisa bertindak sigap dan
tegas sehingga gosip dan sentimen tidak menyebar. Namun sampai kapan polisi sanggup
memainkan perannya sebagai pemadam kebakaran konflik yang ada di Kalimantan Barat jika
isu-isu utama yang menjadi akar konflik tersembunyi tetap tidak terselesaikan ?
Tak pelak lagi kasus perselisihan warga yang hampir menyeret konflik etnis tersebut
telah mengusik ingatan kita tentang kasus konflik etnis antara tahun 1997-1999. Semua konflik
yang melibatkan komunal selalu dimulai oleh permasalahan-permasalahan yang terkesan sepele,
yang kadang tidak ada hubungannya dengan masalah etnis sekalipun. Namun dengan cepat ia
membakar sentimen keetnisan warganya dengan cepat, hingga menjadi tidak terkendali.

Kasus Konflik Yang Terulang


Menilik kasus-kasus konflik etnis di Kalimantan Barat, ini bukanlah kasus perselisihan
warga berbuah kekerasan komunal etnis yang pertama. Jika melihat kebelakang kasus-kasus
konflik etnis di Kalbar, kita akan melihat pola kasus etnis yang serupa dan berulang. Meskipun
dengan variasi keterlibatan etnis yang berbeda. Tercatat misalnya pada masa Hindia Belanda ada
beberapa kasus konflik yang melibatkan etnis Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Kemudian pada
masa setelah kemerdekaan pada tahun 1950’an yang melibatkan etnis Tionghoa dan Melayu.
Dan puncaknya memang kasus konflik etnis tahun 1997- 1999 yang melibatkan etnis Madura,
Melayu, dan Dayak. Konflik etnis yang menelan jiwa hingga ribuan nyawa melayang dan jutaan
orang kehilangan tempat tinggal dan hartanya. Sedikit banyak fakta ini menunjukkan bahwa
Kalbar memang rawan terhadap potensi-potensi konflik yang bersifat keetnisan.
Isu konflik etnis sendiri dalam banyak kasus hanyalah bungkusan dari isu-isu
marginalitas dari rasa ketidakadilan dan ketidaksejajaran, baik dalam domain politik, ekonomi,
maupun sosial budaya. Banyak sudah penelitian yang membahas hal itu di Kalbar. Saya tidak
berpretensi untuk mengulasnya lebih jauh. Namun apabila permasalahan-permasalahan tersebut
tidak diagendakan untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah di Kalbar, maka dapat dipastikan
konflik etnis yang ada di Kalbar suatu saat akan muncul kembali dalam wujud ketidakpuasan
yang berbeda. Etnis dalam hal ini menjadi sentimen yang sangat mudah dipicu untuk
memwujudkan afiliasi-afiliasi politik seseorang.

Penyelesaian konflik yang tak pernah selesai


Seperti layaknya kasus-kasus konflik yang melibatkan kekerasan komunal lainnya,
konflik etnis di Kalbar juga membawa dampak luar biasa pada masyarakatnya. Dampak tersebut
telah banyak membawa perubahan yang sungguh luar biasa dalam masyarakat Kalimantan Barat.
Sendi-sendi kehidupan masyarakat Kalimantan Barat secara nyata tercapik-capik. Masyarakat
Kalimantan Barat yang tadinya dikenal harmonis dan tolerant berubah menjadi masyarakat yang
penuh kecurigaan kepada masing etnis.
Sayangnya pemerintah nampaknya tidak mempunyai cukup perhatian untuk bagaimana
menata perdamaian agar dapat berkesinambungan. Kalaupun ada biasanya hanya sampai sekedar
slogan, atau tertinggal dalam kebijakan yang tidak tahu kapan bagaimana
mengimplementasikannya. Seperti penyelesaian kasus-kasus konflik lainnya di Indonesia,
pemerintah selalu menganggap bahwa permasalahan konflik akan selesai ketika kesepakatan
damai telah tercapai dimeja perundingan oleh para eli-elit kelompok dan penyelesaian untuk
permaslahan pengungsi telah diatasi. Simak saja beberapa kasus penyelesaian konflik yang ada
di Indonesia. Misalnya kasus Poso dan Maluku. Jalannya perdamaiannya tampak terhenti
ditangan pemerintah ketika kesepakatan damai antar relit telah ditandatangani dan penyelesaian
pengungsi, dengan pembangunan pemukiman dan pembagian jatah hidup, telah terselesaikan.
Persoalan-persoalan bagaimana menjaga perdamaian agar berkesinambungan ini yang menurut
hemat saya lebih banyak dimaintain oleh kalangan CSO (Civil Society Organization), berikut
kalangan agamawan, dengan ide-ide pluralism dan multiculturalism, serta pendidikan
perdamaiannya.
Dalam konteks Kalbar, pemerintah menganggap konflik telah selesai ketika para
pengungsi akibat konflik telah dipindah lokasi pemukiman baru Tebang Kacang. Mereka tidak
melihat bahwa perasaan-perasaan curiga, stereotype, dan prasangka antara etnis masih
berkembang ditingkat masyarakat Kalbar. Masih adanya penolakan oleh kelompok etnis tertentu
kepada kelompok etnis yang lain di Kalbar untuk kembali ke asalnya hingga kini masih terjadi.
Permasalahan-permasalahan kejelasan hak para pengungsi dan korban konflik etnis, terutama
bagi etnis yang kalah, hingga kini masih buram. Pemerintah daerah tidak mau secara terbuka
membicarakan kasus-kasus tersebut secara terbuka. Dilain sisi muncul dugaan bahwa pemerintah
daerah mencoba untuk membatasi ruang dialog antar etnis pada isu-isu tertentu karena alasan
sensitivitas isu yang ditakutkan akan menganggu stabilitas keamanan.
Salah satu dampak yang timbul ditingkat publik adalah adanya penolakan-penolakan dan
keengganan sebagian masyarakat di Kalbar untuk membicarakan isu-isu etnis secara terbuka
untuk mencari penyelesaiannya. Atau misalnya penolakan masyarakat Melayu diSambas yang
hingga kini menolak kembalinya masyarakat Madura di wilayah Sambas. Oleh pemerintah
sendiri kasus konflik antar sukubangsa ini dinyatakan telah selesai dengan dipindahkannya para
pengungsi ke tempat pemukiman baru (Tebang Kacang). Namun permasalahannya tidak
sesederhana itu. Banyak persoalan dilapangan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Seperti
misalnya bagaimana hak-hak milik para pengungsi di daerah asal (Sambas) yang telah
ditinggalkan dan pemulihan kehidupan mereka dilokasi pengungsian yang menurut mereka lebih
menyerupai lokasi pengucilan dari kelompok masyarakat lainnya.
Ketakutan akan mengganggu stabilitas keamanan yang juga akhirnya membentuk pola
pikir sebagian elit etnis dan pemerintah daerah setempat dalam menyelesaikan konflik etnis yang
akan timbul. Elit etnis segera didatangkan untuk menenangkan massanya segera ketika ada
kasus-kasus yang kadang tidak berkaitan dengan etnis sekalipun. Namun berapa cepat dan
sanggupkah para elit tersebut mengontrol massanya ketika mulai menunjukkan keberangusan ?
sangat susah untuk diukur memang keberhasilannya

Anda mungkin juga menyukai