Oleh:
Kristian Mairi 1
ABSTRAK
1
Peneliti Muda pada Balai Penelitian Kehutanan Manado
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kondisi hutan dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan kualitas maupun
kuantitas. Untuk itu Departemen Kehutanan (Dephut) mengambil langkah-langkah
implementatif untuk mengejar laju ketertinggalan deforestasi dan degradasi lahan. Salah
satunya adalah Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang
dilaksanakan sejak tahun 2003 sampai sekarang.
Namun sampai sekarang laju deforestasi dan degradasi lahan jauh lebih cepat
dibanding dengan laju kemampuan merehabilitasinya. Salah satu penyebab utamanya
adalah kurang berhasilnya kegiatan proyek penanaman/rehabilitasi hutan dan lahan.
Kurang berhasilnya kegiatan RHL terletak pada penyusunan program yang
sentralistik dan jenis perencanaan yang diacu adalah perencanaan instruktif dan
perencanaan pedoman yang bersifat top down. Konsekuensinya pola yang diterapkan
seragam untuk seluruh wilayah di Indonesia, padahal permasalahannya sangat kompleks
dan beragan karena karakteristik wilayah sangat berbeda. Selain itu jiwa rimbawan petugas
lapangan sudah terdistorsi oleh mental birokrasi yang cenderung resisten dengan perubahan
dan di sisi lain mengorbankan kepentingan masyarakat lokal yang cenderung diam dan
menerima apa adanya karena ketidakberdayaan mereka.
Faktor lain yang menentukan berhasil tidaknya kegiatan pembangunan kehutanan di
lapangan adalah sejauh mana pihak pengelola/pelaksana kegiatan mampu mengakomodir
dan memecahkan masalah-masalah sosial ekonomi masyarakat setempat (perencanaan
artikulatif). Karena gagal dalam pemecahan masalah sosial ekonomi masyarakat, akan
gagal pula upaya pengelolaan hutan termasuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).
Dengan demikian strategi pembangunan kehutanan yang berorientasi kepada kepentingan
masyarakat menjadi suatu keharusan, bahkan sebenarnya sudah terlambat. Tetapi masih
lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali (Simon, 2008).
Untuk itu maka kegiatan penelitian ini dirancang untuk mengkaji secara empirik
sejauh mana tingkat keberhasilan RHL pada tataran implementasi yang telah ada di
lapangan. Penelitian ini di fokuskan pada dua pola kegiatan RHL yang dilakukan secara
bersama-sama di satu catchment area yang sama. Kedua pola RHL tersebut adalah pola
Model DAS Mikro (MDM) yang dibangun oleh Balai Pengelolaan DAS (BP DAS)
Saddang dan pola insentif yang dibangun oleh Balai Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Pengelolaan DAS (BP2TPDAS) Makassar. Kedua pola tersebut dianalisis
dengan metode komparasi untuk memilih model yang terbaik.
Indikator penilaian yang digunakan adalah (1) keberhasilan tumbuh tanaman di
lapangan yang dinyatakan dalam persentase (%) tumbuh tanaman, diameter tanaman dan
tinggi tanaman; (2) tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan; (3) eksistensi
kelembagaan kelompok tani sebagai lembaga lokal sebagai pewaris investasi; (4) jumlah
biaya yang digunakan untuk membuat tanaman hutan rakyat per satuan hektar; (5)
kuantifikasi manfaat langsung yang dipereloh masyarakat dari kedua pola RHL; (6)
dampak sosial yang ditimbulkan dari kedua pola RHL yang dilaksanakan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat keberhasilan RHL pola
MDM yang diujicoba oleh BPDAS Saddang dan keberhasilan RHL pola insentif yang
diujicoba oleh BP2TP DAS Makassar. Disamping itu untuk mendapatkan suatu model
alternatif RHL dalam upaya meningkatkan kualitas lingkungan dan memberikan manfaat
bagi masyarakat. Dengan mengetahui secara baik kegayutan pola RHL dengan konsep
pembangunan masyarakat yang berkelanjutan maka pola RHL rekomendasi hasil penelitian
dapat diacu untuk diterapkan di lapangan agar tujuan RHL dapat tercapai secara optimal.
B. Perumusan Masalah
Penyebab utama kurang berhasilnya GNRHL pada tataran implementasi adalah
karena GNRHL masih dipersepsikan sebagai sebuah “proyek” yang seharusnya
dipersepsikan sebagai gerakan moral nasional. Dengan persepsi demikian telah
memposisikan dan memperlakukan masyarakat setempat sebagai buruh tanam yang hanya
mendapatkan upah HOK (Hari Orang Kerja) sehingga masyarakat tidak merasa memiliki
apa yang dikerjakannya. Selain itu persiapan piranti kelembagaan lokal sebagai pemegang
estafet pasca proyek tidak dilakukan dengan serius. Dengan demikian sulit mendapatkan
hasil kontinyu yang bisa dimanfaatkan sebagai pengikat kelembagaan lokal agar bisa eksis
sepanjang tahun.
Sebagai suatu pola alternatif, sistem insentif RHL dirancang berbeda dengan pola-
pola yang selama ini diterapkan. Pola yang dimaksud adalah kompensasi atas semua biaya
yang digunakan untuk pembangunan fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat.
Pembangunan fasilitas tersebut seperti instalasi air minum untuk rumah tangga yang
bersumber dari hutan dan pembangunan mikro hidro electrik, lalu dikompensasikan
kedalam satuan biaya penanaman per hektar pada lahan kritis yang sudah ditetapkan. Jadi
jumlah biaya pembangunan fasilitas umum tersebut dihitung bersama masyarakat lalu
disetarakan dengan luasan hektar yang akan ditanami secara swadaya oleh masyarakat.
Sistem insentif ini dimaksudkan agar masyarakat mau dengan sungguh-sungguh
berpartisipasi dalam kegiatan RHL. Hal ini sesuai dengan konsep bahwa pada dasarnya
orang mau berpartisipasi dengan baik apabila memperoleh keuntungan (benefit). Oleh
karena itu konsep kegiatan RHL dipadukan dengan kegiatan yang dapat memenuhi
kebutuhan dasar (basic needs) masyarakat.
Salah satu hubungan logis pemanfaatan hasil hutan untuk kebutuhan dasar
masyarakat disekitar hutan adalah memanfaatkan hasil air yang melimpah dari hutan.
Dengan adanya hubungan (link) langsung dan nyata dirasakan oleh masyarakat mengenai
manfaat hutan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka maka secara alamiah akan
membentuk kesadaran yang tinggi serta sikap yang ramah terhadap lingkungan bahkan
menjadi sikap yang konservasif dan protektif terhadap lingkungan khususnya hutan.
II. METODE PENELITIAN
A. Metode Dasar
Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus (case studi) yang dilakukan dengan
pendekatan metode dasar deskriptif analisis. Obyek kasus yang diamati dan dianalisis
adalah masyarakat dan kondisi biofisik. Masyarakat yang dimaksud adalah petani yang
terlibat langsung dalam kegiatan RHL. Sedangkan kondisi biofisik yang dimaksud adalah:
1. Areal hutan rakyat unit satu seluas 25 Ha yang dibangun dari proyek pembangunan
Model DAS Mikro (MDM) oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP
DAS) Saddang di Tana Toraja.
2. Ujicoba insentif RHL berupa pembangunan turbin, instalasi air bersih untuk
masyarakat dan pembuatan demplot RHL hutan rakyat seluas 12 Ha.
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di Sub DAS Mararin, Desa Pakkala, Kecamatan
mengkendek, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Sub DAS Mararin merupakan
bagian dari DAS Saddang yang terletak di bagian hulu. Sedangkan DAS Saddang
merupakan DAS prioritas I di Indonesia (Dirjen RLPS, 2002).
Pertimbangan pemilihan lokasi tersebut adalah:
1. Kedua obyek penelitian (RHL pola MDM dan RHL pola insentif) terdapat pada satu
cathment area dalam satu desa. RHL pola MDM diprakarsai oleh BPDAS Saddang
sedangkan RHL pola insentif diprakarsai oleh BP2TPDAS Makassar.
2. Kedua obyek penelitian dilaksanakan secara bersamaan pada tahun anggaran 2004.
3. Jenis tanaman yang ditanaman juga sama yaitu Uru (Elmerillia Sp), Suren (Toona
sureni), Buangin (Casuarina junghuniana), Jatih Putih (Gmelina Sp), Akasia
(Acacia mangium), Mangga (Mangifera indica) dan Nangka (Arthocarpus integra).
4. Masyarakat yang terlibat di kedua kegiatan tersebut adalah masyarakat yang sama.
C. Teknik Pengambilan Sampel
Jumlah kepala keluarga yang ada di Desa Pakkala sebagai lokasi penelitian adalah
242 KK. Populasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seluruh anggota masyarakat
yang terlibat langsung dan merasakan manfaat langsung dari kedua kegiatan yaitu sebanyak
150 KK. Jumlah sampel adalah sebesar 30% dari populasi yaitu 45 KK. Metode
pengambilan sampel dilakukan secara acak (random).
Populasi hutan rakyat seluas 25 Ha untuk pola MDM dan demplot 12 Ha dari pola
insentif. Sampel pola MDM yang diambil sebesar 1,28% dari populasi yaitu seluas 0,32 Ha
(8 buah plot ukuran 20 m x 20 m). Sedangkan sampel pola insentif yang diambil sebesar
1,33% dari populasi yaitu seluas 0,16 Ha (4 buah plot ukuran 20 m x 20 m).
1. Perbandingan Biaya
Biaya yang dimaksud adalah jumlah biaya pembuatan tanamaman yang
dikeluarkan dalam satuan per hektar baik pola MDM maupun pola insentif. Biaya
pembuatan tanaman Pola MDM sebesar Rp. 3.496.000/Ha, sedangkan pola insentif sebesar
Rp. 3.539.250/Ha. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah biaya pembuatan tanaman pola
insentif ternyata sedikit lebih besar dari pola MDM yaitu terdapat selisih Rp. 43.250/Ha.
Selisih jumlah ini relatif sangat kecil sehingga tidak signifikan sebagai faktor yang
menentukan dalam pertimbangan pemilihan pola RHL yang baik. Disamping itu besar
kecilnya biaya yang digunakan tergantung pada jenis dan jumlah insentif yang digunakan.
4. Dampak Sosial
Bila ditinjau dari dampak sosial maka pola insentif lebih besar dampaknya.
Dampak sosial yang paling nyata pembedanya yaitu kepercayaan makin meningkat,
solidaritas dan rasa kebersamaan semakin meningkat, kesadaran masyarakat akan fungsi
dan peran hutan makin meningkat, perubahan perilaku positif (proaktif dan protektif),
perubahan pola hidup lebih sehat dan higienis, pengamanan hutan swakarsa, semangat
gotong-royong meningkat, dan perubahan orientase buruh menjadi pemilik.
5. Tingkat Partispasi
Tingkat partisipasi masyarakat dapat diukur dari kehadiran anggota kelompok
dalam kegiatan yang dilakukan. Dari laporan kelompok mararin diperoleh informasi bahwa
tingkat kehadiran anggota kelompok dalam kegiatan pembangunan PLTMH, instalasi air
bersih dan penanaman di lahan kritis sangat tinggi yaitu 86,67% dengan rentang antara 80%
s/d 100 % dalam setiap tahapan kegiatan. Sedangkan tingkat kehadiran dalam setiap
pertemuan dan rapat kelompok yang digelar tergolong tinggi yakni sebesar 74,34% dengan
rentang antara 70% s/d 90%.
Sedangkan tingkat partisipasi masyarakat di pola MDM termsuk kategori tinggi
(76%). Hal ini disebabkan karena pekerja yang boleh ikut kegiatan pembangunan hutan
rakyat hanya anggota kelompok yang terdiri dari 25 KK.
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil analisis komparasi indikator keberhasilan RHL pola MDM dan pola
insentif diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
a. Indikator biaya pembangunan tanaman per hektar relatif sama yaitu Rp.
3.539.250/Ha untuk pola insentif dan Rp. 3.496.000/Ha untuk pola MDM.
b. Persentase tumbuh tanaman pola insentif sebesar 49,31% sedang pola MDM
sebesar 50,69%. Berdasarkan uji T indikator persen tumbuh tanaman tidak berbeda
nyata antara Pola MDM dan Pola Insentif.
c. Rata-rata tinggi tanaman untuk pola MDM adalah 4,1075 m, sedangkan untuk pola
insentif sebesar 3,3580 m. Hasil uji T menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
secara nyata antara tinggi tanaman pada kedua pola RHL yang diteliti.
d. Rata-rata diameter tanaman untuk pola MDM adalah 6,5963 cm, sedangkan untuk
pola insentif sebesar 6,2600 cm. Uji T menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
secara nyata antara diameter di lapangan pada kedua pola RHL yang diteliti.
e. Indikator manfaat langsung yang diterima masyarakat dari pola insentif lebih
beragam dan lebih besar yaitu sebesar Rp. 119.280.000, sedangkan dari pola MDM
masyarakat hanya mendapat upah HOK sebesar Rp. 23.320.000.
f. Indikator dampak sosial pola insentif lebih banyak dirasakan masyarakat dari pola
MDM. Indikator partispasi masyarakat pola insentif termasuk kategori sangat tinggi
(82%) sedangkan pola MDM termasuk kategori tinggi (76%).
g. Indikator eksistensi kelembagaan kelompok tani pola insentif lebih
berkesinambungan dan terus berjalan paska bantuan sedangkan pola MDM
kelembagaan kelompok tani terputus/berhenti paska proyek.
2. Pola insentif RHL layak dilakukan dan dikembangkan karena memiliki sejumlah
keunggulan komparatif dari pola MDM seperti manfaat langsung yang diperoleh
masyarakat lebih besar, dampak sosial positif lebih banyak; partisipasi masyarakat lebih
tinggi, dan eksistensi kelembagaan kelompok tani berkesinambungan. Selain itu biaya
pembangunan tanaman dan keberhasilan tanaman di lapangan relatif sama antara pola
insentif dengan pola MDM.
B. Saran
Hal yang sangat penting diperhatikan dalam penerapan pola insentif RHL di
lapangan agar kebehasilannya lebih tinggi adalah:
1. Adanya kepastian kesepakatan/komitmen dengan masyarakat dalam hal jenis kegiatan,
mekanisme insentif, manfaat, dan peran masing-masing sehingga ada kepecayaan
(trust) di antara stake holders.
2. Ada kompensasi langsung yang dirasakan masyarakat secara kolektif bila menjaga dan
memelihara hutan seperti air bersih dan atau PLTMH gratis atau pembangunan
infrastruktur lainnya yang ada hubungannya dengan kehutanan.
3. Pola perencanaan dan implementasi harus berbasis masyarakat yaitu perencanaan
insentif dan atau perencanaan artikulatif
4. Proses pendampingan kelembagaan lokal terus-menerus dilakukan walaupun kegiatan
pembangunan fisik selesai sampai masyarakat dianggap bisa mengelola secara mandiri
investasi/insentif yang telah diberikan.
DAFTAR PUSTAKA