Anda di halaman 1dari 16

ANALISIS KOMPARASI POLA INSENTIF DAN MODEL DAS MIKRO

DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

Oleh:
Kristian Mairi 1
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara empirik tingkat keberhasilan


Rehabilitasi Hutan Lahan (RHL) yang diujicoba di lapangan. Ujicoba tersebut adalah pola
Model DAS Mikro (MDM) dan pola insentif. Kedua pola RHL tersebut terdapat pada satu
catchment area yang sama.
Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus (case studi) yang dilakukan dengan
pendekatan metode dasar deskriptif analisis. Obyek kasus yang diamati dan dianalisis
adalah masyarakat setempat dan kondisi hutan rakyat. Jumlah sampel masyarakat adalah
sebesar 30% dari populasi yaitu 45 KK. Sedangkan intensitas sampling pola MDM sebesar
1,28% dan pola insentif sebesar 1,33% dari populasi hutan rakyat. Metode pengambilan
sampel dilakukan secara acak (random). Metode dianalisis yang digunakan adalah metode
komparasi untuk memilih model yang terbaik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan persentase tumbuh tanaman di
lapangan pola insentif sebesar 49,31% sedang pola MDM sebesar 50,69%. Rata-rata tinggi
tanaman untuk pola MDM adalah 4,1075 m, sedangkan untuk pola insentif sebesar 3,3580
m. Rata-rata diameter tanaman untuk pola MDM adalah 6,5963 cm, sedangkan untuk pola
insentif sebesar 6,2600 cm. Uji T menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan secara nyata
antara persen tumbuha tanaman, tinggi dan diameter di lapangan pada kedua pola RHL
yang diteliti.
Indikator biaya pembangunan tanaman per hektar relatif sama yaitu Rp.
3.539.250/Ha untuk pola insentif dan Rp. 3.496.000/Ha untuk pola MDM. Indikator
manfaat langsung yang diterima masyarakat dari pola insentif lebih lebih besar yaitu Rp.
119.280.000, sedangkan dari pola MDM sebesar Rp. 23.320.000. Indikator dampak sosial
pola insentif lebih banyak dirasakan masyarakat dari pola MDM. Indikator partispasi
masyarakat pola insentif termasuk kategori sangat tinggi (82%) sedangkan pola MDM
termasuk kategori tinggi (76%). Indikator eksistensi kelembagaan kelompok tani pola
insentif lebih berkesinambungan dan terus berjalan paska bantuan sedangkan pola MDM
kelembagaan kelompok tani terputus/berhenti paska proyek.
Pola insentif RHL layak dilakukan dan dikembangkan karena memiliki sejumlah
keunggulan komparatif dari pola MDM seperti manfaat langsung yang diperoleh
masyarakat lebih besar, dampak sosial positif lebih banyak, partisipasi masyarakat lebih
tinggi, dan eksistensi kelembagaan kelompok tani berkesinambungan, sedangkan indikator
persen tumbuh, diamater dan tinggi tanaman tidak berbeda nyata.

Kata Kunci : Analisis Komparasi, Insentif, Rehabilitasi Hutan.

1
Peneliti Muda pada Balai Penelitian Kehutanan Manado
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kondisi hutan dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan kualitas maupun
kuantitas. Untuk itu Departemen Kehutanan (Dephut) mengambil langkah-langkah
implementatif untuk mengejar laju ketertinggalan deforestasi dan degradasi lahan. Salah
satunya adalah Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang
dilaksanakan sejak tahun 2003 sampai sekarang.
Namun sampai sekarang laju deforestasi dan degradasi lahan jauh lebih cepat
dibanding dengan laju kemampuan merehabilitasinya. Salah satu penyebab utamanya
adalah kurang berhasilnya kegiatan proyek penanaman/rehabilitasi hutan dan lahan.
Kurang berhasilnya kegiatan RHL terletak pada penyusunan program yang
sentralistik dan jenis perencanaan yang diacu adalah perencanaan instruktif dan
perencanaan pedoman yang bersifat top down. Konsekuensinya pola yang diterapkan
seragam untuk seluruh wilayah di Indonesia, padahal permasalahannya sangat kompleks
dan beragan karena karakteristik wilayah sangat berbeda. Selain itu jiwa rimbawan petugas
lapangan sudah terdistorsi oleh mental birokrasi yang cenderung resisten dengan perubahan
dan di sisi lain mengorbankan kepentingan masyarakat lokal yang cenderung diam dan
menerima apa adanya karena ketidakberdayaan mereka.
Faktor lain yang menentukan berhasil tidaknya kegiatan pembangunan kehutanan di
lapangan adalah sejauh mana pihak pengelola/pelaksana kegiatan mampu mengakomodir
dan memecahkan masalah-masalah sosial ekonomi masyarakat setempat (perencanaan
artikulatif). Karena gagal dalam pemecahan masalah sosial ekonomi masyarakat, akan
gagal pula upaya pengelolaan hutan termasuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).
Dengan demikian strategi pembangunan kehutanan yang berorientasi kepada kepentingan
masyarakat menjadi suatu keharusan, bahkan sebenarnya sudah terlambat. Tetapi masih
lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali (Simon, 2008).
Untuk itu maka kegiatan penelitian ini dirancang untuk mengkaji secara empirik
sejauh mana tingkat keberhasilan RHL pada tataran implementasi yang telah ada di
lapangan. Penelitian ini di fokuskan pada dua pola kegiatan RHL yang dilakukan secara
bersama-sama di satu catchment area yang sama. Kedua pola RHL tersebut adalah pola
Model DAS Mikro (MDM) yang dibangun oleh Balai Pengelolaan DAS (BP DAS)
Saddang dan pola insentif yang dibangun oleh Balai Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Pengelolaan DAS (BP2TPDAS) Makassar. Kedua pola tersebut dianalisis
dengan metode komparasi untuk memilih model yang terbaik.
Indikator penilaian yang digunakan adalah (1) keberhasilan tumbuh tanaman di
lapangan yang dinyatakan dalam persentase (%) tumbuh tanaman, diameter tanaman dan
tinggi tanaman; (2) tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan; (3) eksistensi
kelembagaan kelompok tani sebagai lembaga lokal sebagai pewaris investasi; (4) jumlah
biaya yang digunakan untuk membuat tanaman hutan rakyat per satuan hektar; (5)
kuantifikasi manfaat langsung yang dipereloh masyarakat dari kedua pola RHL; (6)
dampak sosial yang ditimbulkan dari kedua pola RHL yang dilaksanakan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat keberhasilan RHL pola
MDM yang diujicoba oleh BPDAS Saddang dan keberhasilan RHL pola insentif yang
diujicoba oleh BP2TP DAS Makassar. Disamping itu untuk mendapatkan suatu model
alternatif RHL dalam upaya meningkatkan kualitas lingkungan dan memberikan manfaat
bagi masyarakat. Dengan mengetahui secara baik kegayutan pola RHL dengan konsep
pembangunan masyarakat yang berkelanjutan maka pola RHL rekomendasi hasil penelitian
dapat diacu untuk diterapkan di lapangan agar tujuan RHL dapat tercapai secara optimal.

B. Perumusan Masalah
Penyebab utama kurang berhasilnya GNRHL pada tataran implementasi adalah
karena GNRHL masih dipersepsikan sebagai sebuah “proyek” yang seharusnya
dipersepsikan sebagai gerakan moral nasional. Dengan persepsi demikian telah
memposisikan dan memperlakukan masyarakat setempat sebagai buruh tanam yang hanya
mendapatkan upah HOK (Hari Orang Kerja) sehingga masyarakat tidak merasa memiliki
apa yang dikerjakannya. Selain itu persiapan piranti kelembagaan lokal sebagai pemegang
estafet pasca proyek tidak dilakukan dengan serius. Dengan demikian sulit mendapatkan
hasil kontinyu yang bisa dimanfaatkan sebagai pengikat kelembagaan lokal agar bisa eksis
sepanjang tahun.
Sebagai suatu pola alternatif, sistem insentif RHL dirancang berbeda dengan pola-
pola yang selama ini diterapkan. Pola yang dimaksud adalah kompensasi atas semua biaya
yang digunakan untuk pembangunan fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat.
Pembangunan fasilitas tersebut seperti instalasi air minum untuk rumah tangga yang
bersumber dari hutan dan pembangunan mikro hidro electrik, lalu dikompensasikan
kedalam satuan biaya penanaman per hektar pada lahan kritis yang sudah ditetapkan. Jadi
jumlah biaya pembangunan fasilitas umum tersebut dihitung bersama masyarakat lalu
disetarakan dengan luasan hektar yang akan ditanami secara swadaya oleh masyarakat.
Sistem insentif ini dimaksudkan agar masyarakat mau dengan sungguh-sungguh
berpartisipasi dalam kegiatan RHL. Hal ini sesuai dengan konsep bahwa pada dasarnya
orang mau berpartisipasi dengan baik apabila memperoleh keuntungan (benefit). Oleh
karena itu konsep kegiatan RHL dipadukan dengan kegiatan yang dapat memenuhi
kebutuhan dasar (basic needs) masyarakat.
Salah satu hubungan logis pemanfaatan hasil hutan untuk kebutuhan dasar
masyarakat disekitar hutan adalah memanfaatkan hasil air yang melimpah dari hutan.
Dengan adanya hubungan (link) langsung dan nyata dirasakan oleh masyarakat mengenai
manfaat hutan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka maka secara alamiah akan
membentuk kesadaran yang tinggi serta sikap yang ramah terhadap lingkungan bahkan
menjadi sikap yang konservasif dan protektif terhadap lingkungan khususnya hutan.
II. METODE PENELITIAN

A. Metode Dasar
Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus (case studi) yang dilakukan dengan
pendekatan metode dasar deskriptif analisis. Obyek kasus yang diamati dan dianalisis
adalah masyarakat dan kondisi biofisik. Masyarakat yang dimaksud adalah petani yang
terlibat langsung dalam kegiatan RHL. Sedangkan kondisi biofisik yang dimaksud adalah:
1. Areal hutan rakyat unit satu seluas 25 Ha yang dibangun dari proyek pembangunan
Model DAS Mikro (MDM) oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP
DAS) Saddang di Tana Toraja.
2. Ujicoba insentif RHL berupa pembangunan turbin, instalasi air bersih untuk
masyarakat dan pembuatan demplot RHL hutan rakyat seluas 12 Ha.

B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di Sub DAS Mararin, Desa Pakkala, Kecamatan
mengkendek, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Sub DAS Mararin merupakan
bagian dari DAS Saddang yang terletak di bagian hulu. Sedangkan DAS Saddang
merupakan DAS prioritas I di Indonesia (Dirjen RLPS, 2002).
Pertimbangan pemilihan lokasi tersebut adalah:
1. Kedua obyek penelitian (RHL pola MDM dan RHL pola insentif) terdapat pada satu
cathment area dalam satu desa. RHL pola MDM diprakarsai oleh BPDAS Saddang
sedangkan RHL pola insentif diprakarsai oleh BP2TPDAS Makassar.
2. Kedua obyek penelitian dilaksanakan secara bersamaan pada tahun anggaran 2004.
3. Jenis tanaman yang ditanaman juga sama yaitu Uru (Elmerillia Sp), Suren (Toona
sureni), Buangin (Casuarina junghuniana), Jatih Putih (Gmelina Sp), Akasia
(Acacia mangium), Mangga (Mangifera indica) dan Nangka (Arthocarpus integra).
4. Masyarakat yang terlibat di kedua kegiatan tersebut adalah masyarakat yang sama.
C. Teknik Pengambilan Sampel
Jumlah kepala keluarga yang ada di Desa Pakkala sebagai lokasi penelitian adalah
242 KK. Populasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seluruh anggota masyarakat
yang terlibat langsung dan merasakan manfaat langsung dari kedua kegiatan yaitu sebanyak
150 KK. Jumlah sampel adalah sebesar 30% dari populasi yaitu 45 KK. Metode
pengambilan sampel dilakukan secara acak (random).
Populasi hutan rakyat seluas 25 Ha untuk pola MDM dan demplot 12 Ha dari pola
insentif. Sampel pola MDM yang diambil sebesar 1,28% dari populasi yaitu seluas 0,32 Ha
(8 buah plot ukuran 20 m x 20 m). Sedangkan sampel pola insentif yang diambil sebesar
1,33% dari populasi yaitu seluas 0,16 Ha (4 buah plot ukuran 20 m x 20 m).

D. Teknik Pengumpulan Data


Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer
terdiri dari data biofisik dan data sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat. Cara
pengukuran dan pengumpulan data dilakukan sebagai berikut:
1. Data primer aspek biofisisk meliputi data jenis tanaman, persentase tumbuh
tanaman di lapangan, diameter dan tinggi tanaman.
2. Data primer aspek sosial ekonomi dan kelembagaan meliputi, jumlah penduduk,
mata pencaharain penduduk, tingkat konsumsi dan pengeluaran rumah tangga, biaya
dan manfaat kegiatan, tingkat partisipasi masyarakat, perkembangan kelembagaan
lokal/kelompok tani yang ada serta pendapat dan persepsi masyarakat.
3. Data sekunder terdiri dari data topografi, penggunaan lahan, tanah, monografi
desa, kecamatan dalam angka, serta laporan-laporan/dokumen yang relevan,.
4. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengukuran, obervasi lapangan,
wawancara semi terstruktur dan wawancara mendalam (deep interview).
5. Kegiatan wawancara dengan metode semi terstruktur yaitu menyiapkan tape
recorder dan daftar pertanyaan sebagai panduan namun tidak kaku.
E. Analisis Data
Pendekatan analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif dan kuantitatif. Untuk keperluan studi ini dilakukan tahapan analisis data
sebagai berikut:
1. Analisis tabulasi, yaitu pengelompokan data-data berdasarkan beberapa kriteria untuk
keperluan analisis selanjutnya. Hasil analisis tabulasi berupa tabel data-data yang
menggambarkan hubungan variabel-variabel penelitian.
2. Analisis kuantitatif yang diperkuat dengan analisis finansial dengan konsep biaya,
penerimaan, pendapatan, dan selisih biaya.
3. Data yang bersifat kualitatif dapat dianalisis dengan analisis deskriptif. Misalnya peran
kelembagaan petani dapat dilihat dari manfaat yang dirasakan petani. Respon diukur
dari tingkat partisipasi dalam setiap tahapan kegiatan RHL.
4. Analisis komparasi digunakan untuk membandingkan keberhasilan RHL yang
diterapkan pada kedua pola yang diteliti yaitu pola MDM dan pola insentif.
Indikator penilaian keberhasilan RHL yang digunakan dalam analisis komparasi
antara pola MDM dan pola insentif RHL di tingkat lapangan adalah:
1. Menguji perbedaan rata-rata pertumbuhan (performances) tanaman di lapangan yaitu
persen tumbuh, tinggi dan diameter tanaman dari kedua pola RHL yang diteliti
digunakan Uji T sampel yang tidak berhubungan (Independent Sample T Test).
(Santoso, S., 2006)
2. Tingkat partisipasi masyarakat didekati dengan analisis persentase (%) jumlah
kehadiran/keterlibatan dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan kelompok.
3. Eksistensi kelompok tani dinilai berdasarkan keberlanjutan aktifitas kelompok dan
keberadaaan organisasi (struktur, aturan dan administrasi), serta manfaat yang diperoleh
anggotanya. Indikator aktifitas kelompok didasarkan pada adaya pertemuan berkala dan
kerja kelompok.
4. Jumlah biaya yang digunakan untuk membuat tanaman hutan rakyat per satuan hektar
dari kedua pola RHL.
5. Kuantifikasi manfaat langsung yang dipereloh masyarakat dari kedua pola RHL.
6. Identifkasi dampak sosial yang ditimbulkan dari kedua pola RHL.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Komparasi Ujicoba RHL


Indikator yang digunakan dalam analisis komparasi ujicoba RHL pola insentif
dengan pola MDM adalah analisis biaya, manfaat, persentase tumbuh tanaman, dampak
sosial, tingkat partisipasi dan eksistensi kelembagaan kelompok tani.

1. Perbandingan Biaya
Biaya yang dimaksud adalah jumlah biaya pembuatan tanamaman yang
dikeluarkan dalam satuan per hektar baik pola MDM maupun pola insentif. Biaya
pembuatan tanaman Pola MDM sebesar Rp. 3.496.000/Ha, sedangkan pola insentif sebesar
Rp. 3.539.250/Ha. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah biaya pembuatan tanaman pola
insentif ternyata sedikit lebih besar dari pola MDM yaitu terdapat selisih Rp. 43.250/Ha.
Selisih jumlah ini relatif sangat kecil sehingga tidak signifikan sebagai faktor yang
menentukan dalam pertimbangan pemilihan pola RHL yang baik. Disamping itu besar
kecilnya biaya yang digunakan tergantung pada jenis dan jumlah insentif yang digunakan.

2. Perbandingan Manfaat Langsung


Secara finansial manfaat langsung yang diperoleh masyarakat dari pola MDM
hanya berupa upah HOK yaitu sebesar Rp 25.000,-/hari. Jumlah upah HOK yang diterima
masyarakat dalam pembuatan tanaman pola MDM seluas 50 Ha adalah sebesar Rp.
23.320.000.-
Manfaat langsung yang diperoleh masyarakat dari pola insentif adalah
memperoleh listrik dari PLTMH dan air bersih rumah tangga. Berdasarkan hasil
perhitungan kuantifikasi manfaat dari PLTMH diperoleh manfaat sebesar Rp. 38.880.000.-
Dengan asumsi bahwa manfaat dari PLTMH setara dengan jumlah rata-rata pembayaran
rekening listrik PLN tiap bulan yaitu sebesar Rp. 30.000,-/bulan. Umur masa pakai (life
time) PLTMH adalah 3 tahun dengan jumlah pengguna sebanyak 36 KK.
Sedangkan manfaat langsung yang diperoleh masyarakat dari instalasi air bersih
adalah sebesar Rp. 80.400.000.- Dengan asumsi bahwa manfaat setara dengan jumlah rata-
rata pembayaran rekening PDAM tiap bulan yaitu sebesar Rp. 20.000,-/bulan. Umur masa
pakai (life time) instalasi air adalah 5 tahun dengan jumlah pengguna sebanyak 67 KK.
Berdasarkan hasil perhitungan manfaat kedua pola tersebut menunjukkan bahwa
jumlah manfaat langsung yang diperoleh masyarakat dari pola MDM adalah sebesar Rp.
23.320.000,- sedangkan manfaat dari pola insentif sebesar Rp. 119.280.000,-. Dengan
demikian manfaat yang diperoleh masyarakat dari pola insentif jauh lebih besar dari pola
MDM yaitu terdapat selisih Rp. 95.960.000.-

3. Perbandingan Keberhasilan Tanaman


Penilaian keberhasilan tanaman di kedua pola RHL adalah dengan cara mengukur
prosentase tumbuh tanaman di lapangan setelah berumur 5 tahun. Untuk mengetahui
apakah ada perbedaan sencara nyata (significant) atau tidak antara parameter pertumbuhan
tanaman dilapangan (performances tanaman ) pada kedua pola yang diteliti dilakukan uji T
sampel yang tidak berhubungan (Independent Sample T Test) melalui program SPSS.
Indikator penilaian performances tanaman adalah persen tumbuh tanaman, tinggi tanaman
dan diameter tanaman baik pada pola MDM maupun pada pola insentif.
Berdasarkan hasil uji T seperti pada Lampiran 1 diperoleh informasi bahwa:
1. Rata-rata persen tumbuh tanaman di lapangan untuk pola MDM adalah 50,6963%,
sedangkan untuk pola insentif sebesar 49,3050%. Uji T menunjukkan bahwa nilai
probabilitas (sig. 2-tailed) persen tumbuh tanaman sebesar 0,894 > 0,05 maka
berarti Ho diterima. Hal ini bermakna bahwa tidak ada perbedaan secara nyata
antara persen tumbuh tanaman di lapangan pada kedua pola RHL yang diteliti.
2. Rata-rata tinggi tanaman untuk pola MDM adalah 4,1075 m, sedangkan untuk pola
insentif sebesar 3,3580 m. Uji T menunjukkan bahwa nilai probabilitas (sig. 2-
tailed) tinggi tanaman sebesar 0,248 > 0,05 maka berarti Ho diterima. Hal ini
bermakna bahwa tidak ada perbedaan secara nyata antara tinggi tanaman pada
kedua pola RHL yang diteliti.
3. Rata-rata diameter tanaman untuk pola MDM adalah 6,5963 cm, sedangkan untuk
pola insentif sebesar 6,2600 cm. Uji T menunjukkan bahwa nilai probabilitas (sig.
2-tailed) persen tumbuh tanaman sebesar 0,660 > 0,05 maka berarti Ho diterima.
Hal ini bermakna bahwa tidak ada perbedaan secara nyata antara diameter tanaman
di lapangan pada kedua pola RHL yang diteliti.
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan bahwa keberhasilan tanaman di kedua
pola RHL ini termasuk kategori sedang karena faktor gangguan ternak akibat
penggembalaan liar. Jumlah ternak sapi sebanyak 272 ekor, kerbau 146 ekor dan kambing
58 ekor sangat potensial merusak tanaman.

4. Dampak Sosial
Bila ditinjau dari dampak sosial maka pola insentif lebih besar dampaknya.
Dampak sosial yang paling nyata pembedanya yaitu kepercayaan makin meningkat,
solidaritas dan rasa kebersamaan semakin meningkat, kesadaran masyarakat akan fungsi
dan peran hutan makin meningkat, perubahan perilaku positif (proaktif dan protektif),
perubahan pola hidup lebih sehat dan higienis, pengamanan hutan swakarsa, semangat
gotong-royong meningkat, dan perubahan orientase buruh menjadi pemilik.

5. Tingkat Partispasi
Tingkat partisipasi masyarakat dapat diukur dari kehadiran anggota kelompok
dalam kegiatan yang dilakukan. Dari laporan kelompok mararin diperoleh informasi bahwa
tingkat kehadiran anggota kelompok dalam kegiatan pembangunan PLTMH, instalasi air
bersih dan penanaman di lahan kritis sangat tinggi yaitu 86,67% dengan rentang antara 80%
s/d 100 % dalam setiap tahapan kegiatan. Sedangkan tingkat kehadiran dalam setiap
pertemuan dan rapat kelompok yang digelar tergolong tinggi yakni sebesar 74,34% dengan
rentang antara 70% s/d 90%.
Sedangkan tingkat partisipasi masyarakat di pola MDM termsuk kategori tinggi
(76%). Hal ini disebabkan karena pekerja yang boleh ikut kegiatan pembangunan hutan
rakyat hanya anggota kelompok yang terdiri dari 25 KK.

6. Eksistensi Kelembagaan Kelompok Tani


Eksistensi kelembagaan pola insentif sampai sekarang masih berlanjut. Hal ini
nampak dari adanya aktifitas kelompok secara nyata seperti adanya kegiatan pencarian
dana kelompok (ma’dana), adanya pertemuan rutin tiap tiga bulan, adanya iuran bulanan
anggota, serta administrasi kepengurusan kelompok masih jalan.
Sedangkan kelompok tani yang dibentuk pada saat kegiatan pembangunan hutan
rakyat pola MDM hanya mampu bertahan selama setahun saja. Hal ini disebabkan karena
setelah kegiatan pembuatan tanaman selesai maka tidak ada lagi aktifitas yang bisa
dikerjakan secara kelompok. Motif masyarakat masuk menjadi anggota kelompok tani pada
saat pembuatan tanaman hutan rakyat pola MDM adalah untuk mendapatkan upah
harian/HOK sebesar Rp. 25.000 karena dipersyaratkan oleh proyek MDM. Dengan
demikian setelah tidak ada lagi aktifitas pekerjaan maka kelompok tersebut dengan
sendirinya bubar.
Berikut ini adalah ringkasan analisis komparasi RHL pola MDM dan pola insentif
Tabel 1. Analisis komparasi Ujicoba RHL Pola Insentif dengan Pola MDM
No Indikator Pola Insentif Pola MDM Keterangan
1. Biaya Rp. 3.539.250/ Ha Rp. 3.496.000/Ha Berbeda
2. Manfaat Rp. 119.280.000,- Rp. 23.320.000,- Berbeda
3. Persentase Tumbuh 49,3050 % 50,6963 % tidak beda nyata
4. Tinggi Tanaman 3,3850 m 4,1075 m tidak beda nyata
5. Diameter Tanaman 6,2600 cm 6,5963 cm tidak beda nyata
6. Dampak Sosial Banyak Sedikit Berbeda
7. Tingkat partisipasi Sangat Tinggi (82%) Tinggi (76%) Berbeda
8. Eksistensi Berkesinambungan Terputus Berbeda
Kelembagaan
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil analisis komparasi indikator keberhasilan RHL pola MDM dan pola
insentif diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
a. Indikator biaya pembangunan tanaman per hektar relatif sama yaitu Rp.
3.539.250/Ha untuk pola insentif dan Rp. 3.496.000/Ha untuk pola MDM.
b. Persentase tumbuh tanaman pola insentif sebesar 49,31% sedang pola MDM
sebesar 50,69%. Berdasarkan uji T indikator persen tumbuh tanaman tidak berbeda
nyata antara Pola MDM dan Pola Insentif.
c. Rata-rata tinggi tanaman untuk pola MDM adalah 4,1075 m, sedangkan untuk pola
insentif sebesar 3,3580 m. Hasil uji T menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
secara nyata antara tinggi tanaman pada kedua pola RHL yang diteliti.
d. Rata-rata diameter tanaman untuk pola MDM adalah 6,5963 cm, sedangkan untuk
pola insentif sebesar 6,2600 cm. Uji T menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
secara nyata antara diameter di lapangan pada kedua pola RHL yang diteliti.
e. Indikator manfaat langsung yang diterima masyarakat dari pola insentif lebih
beragam dan lebih besar yaitu sebesar Rp. 119.280.000, sedangkan dari pola MDM
masyarakat hanya mendapat upah HOK sebesar Rp. 23.320.000.
f. Indikator dampak sosial pola insentif lebih banyak dirasakan masyarakat dari pola
MDM. Indikator partispasi masyarakat pola insentif termasuk kategori sangat tinggi
(82%) sedangkan pola MDM termasuk kategori tinggi (76%).
g. Indikator eksistensi kelembagaan kelompok tani pola insentif lebih
berkesinambungan dan terus berjalan paska bantuan sedangkan pola MDM
kelembagaan kelompok tani terputus/berhenti paska proyek.
2. Pola insentif RHL layak dilakukan dan dikembangkan karena memiliki sejumlah
keunggulan komparatif dari pola MDM seperti manfaat langsung yang diperoleh
masyarakat lebih besar, dampak sosial positif lebih banyak; partisipasi masyarakat lebih
tinggi, dan eksistensi kelembagaan kelompok tani berkesinambungan. Selain itu biaya
pembangunan tanaman dan keberhasilan tanaman di lapangan relatif sama antara pola
insentif dengan pola MDM.

B. Saran

Hal yang sangat penting diperhatikan dalam penerapan pola insentif RHL di
lapangan agar kebehasilannya lebih tinggi adalah:
1. Adanya kepastian kesepakatan/komitmen dengan masyarakat dalam hal jenis kegiatan,
mekanisme insentif, manfaat, dan peran masing-masing sehingga ada kepecayaan
(trust) di antara stake holders.
2. Ada kompensasi langsung yang dirasakan masyarakat secara kolektif bila menjaga dan
memelihara hutan seperti air bersih dan atau PLTMH gratis atau pembangunan
infrastruktur lainnya yang ada hubungannya dengan kehutanan.
3. Pola perencanaan dan implementasi harus berbasis masyarakat yaitu perencanaan
insentif dan atau perencanaan artikulatif
4. Proses pendampingan kelembagaan lokal terus-menerus dilakukan walaupun kegiatan
pembangunan fisik selesai sampai masyarakat dianggap bisa mengelola secara mandiri
investasi/insentif yang telah diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2003. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 349/Kpts-II/2003, tanggal 16


Oktober 2003 tentang penyelenggaraanGNRHL dan Lokasi GNRHL tahun 2003.
Anonim, 2003. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 369/Kpts-V/2003, tanggal 31
Oktober 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan dalam rangka Penyelenggaraan
GNRHL tahun 2003.
Brutland, Gro Harlem. 1987. Our Common Future. World Comission on Environment and
Development
Bungin, B. 2005. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Pemahaman Filosofis dan
Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Darori. 2006. Potret Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan: Gagasan,
Capaian dan Kebutuhan Re-orientasi Program. Prosiding Seminar Nasional:
Arahan Pembentukan Unit Manajemen, Pembangunan Kelembagaan dan
Pengembangan SDM dalam Program Gerhan di Indonesia. Kerjasama Fakultas
Kehutanan UGM dengan Dirjen RLPS Dephut.
Departemen Kehutanan. 2000. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai. Ditjen RLPS Dit. RLKT.
Djogo, Tony, dkk. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestry.
Bahan Ajaran Agroforestri 8. World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor.
Fakih, 1995. Analisis CSIS, 1995:447 dalam San Afri Awang, 2005. Seri Bunga Rampai
Hutan Rakyat. Petani, Ekonomi, dan Konservasi. Aspek Penelitian dan Gagasan.
Debut Press. Yogyakarta.
Hardjanto, Dodik R.N., Dudung Darusman. 2006. Pengembangan SDM Sebagai
Pendukung Keberhasilan Program GERHAN. Prosiding Seminar Nasional:
Arahan Pembentukan Unit Manajemen, Pembangunan Kelembagaan dan
Pengembangan SDM dalam Program Gerhan di Indonesia. Kerjasama Fakultas
Kehutanan UGM dengan Dirjen RLPS Dephut.
http://bpdasbarito.or.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=39. Diakses pada
tgl 5 juni 2009-06-05
McNeely, J.A. 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati: Mengembangkan dan
Memanfaatkan Perangsang Ekonomi Untuk Melestarikan Sumberdaya Hayati.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Paembonan, S. 1982. Analisis Sistem Biofisik Daerah Aliran Sungai: Studi Kasus Daerah
Aliran Sungai Saddang Sulawesi Selatan. Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Paimin, dkk. 2008. Sistem Perencanaan Pengelolaan Sub DAS Berbasis Sistem
Karakterisasi Sub DAS. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi
Alam, Badan Litbang Kehutanan. Bogor.
Putro, H.R, dkk. 2003. Sistem Insentif Rehabilitasi Lahan dalam Rangka Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Santoso, S. 2006. Seri Solusi Berbasis IT: Menggunakan SPSS Untuk Statistik Parametrik.
PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Sawit, M.H. 1994. Analisa Permintaan Pangan. Bukti Empiris Teori Rumah Tangga
Pertanian. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian BTPDAS Surakarta. Vol.
XLII No.1: 99 -120
Simon, H. 2000. Hutan Jati dan Kemakmuran: Problematika dan Strategi Pemecahannya.
Edisi Kedua. BIGRAF Publishing. Yogyakarta.
Simon, H. 2008. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management).
Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Sudibyo dan Sudayatna, 2002. Pengelolaan Hutan Mangrove Secara Lestari. Mangrove
Information Centre Projec. Kerjasama JICA dan Departemen Kehutanan.
Sutopo, P.N. 2002. Pemanfaatan Lahan Marjinal: Peluang dan Tantangan Pengembangan
Lahan Kering Untuk Mendukung Pertanian Berkelanjutan. Jurnal Alami, volume
7. P3TPSLK - BPPTP. Jakarta
Lampiran 1. Independent Sample T Test Untuk Indikator Persen Tumbuh Tanaman, Tinggi Tanaman dan Diameter Tanaman
pada Pola MDM dan Pola Insentif.
T-Test
Group Statistics

Pola Yang Std. Error


Dibandingkan N Mean Std. Deviation Mean
Persen Tumbuh MDM 8 50,6963 16,24658 5,74403
Insentif 4 49,3050 17,32651 8,66325
Tinggi Tanaman MDM 8 4,1075 1,11577 ,39448
Insentif 4 3,3850 ,41461 ,20730
Diameter Tanaman MDM 8 6,5963 1,34228 ,47457
Insentif 4 6,2600 ,82175 ,41087

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of t-test for Equality of Means
Variances
Sig. (2- Mean Std. Error 95% Confidence Interval
F Sig. t df
tailed) Difference Difference of the Difference
Lower Upper
Equal variances
Persen Tumbuh ,064 ,805 ,137 10 ,894 1,39125 10,15188 -21,22854 24,01104
assumed
Equal variances
,134 5,742 ,898 1,39125 10,39451 -24,32294 27,10544
not assumed
Equal variances
Tinggi Tanaman 1,521 ,246 1,228 10 ,248 ,72250 ,58833 -,58839 2,03339
assumed
Equal variances
1,621 9,678 ,137 ,72250 ,44564 -,27494 1,71994
not assumed
Equal variances
Diameter Tanaman 1,052 ,329 ,454 10 ,660 ,33625 ,74089 -1,31455 1,98705
assumed
Equal variances
,536 9,272 ,605 ,33625 ,62772 -1,07743 1,74993
not assumed

Anda mungkin juga menyukai