BANK INDONESIA
Direktorat Kredit, BPR dan UMKM
Telepon : (021) 3818043 Fax: (021) 3518951, Email : tbtlkm@bi.go.id
DAFTAR ISI
1. Pendahuluan ............................................................................................................ 3
a. Latar Belakang ................................ ................................ .......... 3
b. Tujuan, Ruang Lingkup dan Metode Penelitian ................................ 3
3. Aspek Pemasaran................................................................................................... 8
a. Permintaan ................................ ................................ ............... 8
b. Penawaran ................................ ................................ ................ 9
c. Harga ................................ ................................ ....................... 9
d. Peluang Usaha ................................ ................................ ......... 10
e. Pemasaran Produk ................................ ................................ ... 10
f. Kendala Pemasaran................................ ................................ ... 11
4. Aspek Produksi...................................................................................................... 12
a. Lokasi Usaha................................ ................................ .........12
b. Fasilitas Produksi dan Peralatan Usaha ................................ ........ 13
c. Bahan Baku ................................ ................................ ............. 13
d. Tenaga Kerja................................ ................................ ........... 14
e. Teknologi Produksi ................................ ................................ ... 15
f. Proses Produksi ................................ ................................ ........ 15
g. Jenis dan Mutu ................................ ................................ ........ 20
h. Produksi Optimum................................ ................................ .... 20
i. Kendala Produksi ................................ ................................ ...... 21
7. Penutup .................................................................................................................... 28
a. Kesimpulan ................................ ................................ ............. 28
b. Saran ................................ ................................ ..................... 28
LAMPIRAN .................................................................................................................... 30
a. Latar Belakang
Lidah buaya (Aloe vera (L.) Webb.) merupakan tanaman yang telah lama
dikenal di Indonesia karena kegunaannya sebagai tanaman obat untuk aneka
penyakit. Belakangan tanaman ini menjadi semakin popular karena
manfaatnya yang semakin luas diketahui yakni sebagai sumber penghasil
bahan baku untuk aneka produk dari industri makanan, farmasi, dan
kosmetik. Pada saat ini, berbagai produk lidah buaya dapat kita jumpai di
kedai, toko, apotek, restoran, pasar swalayan, dan internet yang
kesemuanya mengisyaratkan terbukanya peluang ekonomi dari komoditi
tersebut bagi perbaikan ekonomi nasional yang terpuruk dewasa ini.
Tujuan
Metode Penelitian
a. Profil Usaha
Pengusaha tanaman lidah buaya adalah para petani setempat dan pendatang
dengan taraf pendidikan yang relatif rendah. Pada umumnya mereka
berpendidikan sekolah dasar, di antaranya bahkan tidak sampai tamat.
Namun, di antara mereka ada pula yang pernah mengikuti kursus pertanian
dan terus mendapat bimbingan budidaya tanaman lidah buaya dari Penyuluh
Pertanian Lapangan (PPL) setempat. Saling tukar pengalaman dalam praktek
budidaya terjadi antar petani tanaman ini meskipun mereka belum terikat
dalam suatu bentuk organisasi profesi.
Usia petani tanaman lidah buaya pada umumnya tergolong usia produktif.
Kepala keluarga bekerja di kebun bersama isteri dan anak-anaknya yang
telah dewasa. Terdapat juga petani yang dibantu oleh anaknya yang masih
berusia sekolah, dimana anak-anak tersebut bekerja di kebun ketika tidak
ada kegiatan sekolah.
b. Pola Pembiayaan
Tidak ada skim khusus aturan perolehan kredit dari bank untuk pembiayaan
usahatani lidah buaya. Kasus petani yang memperoleh pinjaman dari salah
satu bank umum di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa petani tersebut
hanya memperoleh Rp 8 juta (72.7 persen) dari Rp 11 juta yang
diusulkannya. Dalam kasus bank umum tersebut, pihak petani penerima
kredit menganggap bahwa pinjaman senilai tersebut masih dirasakan kurang
jumlahnya untuk menutupi biaya usahatani lidah buaya.
Bank belum memiliki lending model untuk pemberian kredit kepada petani
lidah buaya sehingga pemberian kredit tersebut didasarkan pada adanya
penjaminan dari perusahaan "Bapak Angkat" petani lidah buaya tersebut
(yakni PT Pupuk Kaltim). PT Pupuk Kaltim bertindak sebagai penyusun
proposal dan penjamin dana kredit petani. Karena itu, kontrak kredit
dilakukan Bank dengan perusahaan BUMN tersebut, bukan dengan petani.
Petani tidak memiliki informasi yang rinci mengenai hal ini. Di antara
informasi yang diketahuinya adalah sebagai berikut: (1) tidak ada fasilitas
masa tenggang pengembalian pinjaman yang diterima oleh petani; (2)
jangka waktu pengembalian kredit adalah dua tahun dengan suku bunga
sebesar 6 persen per tahun; (3) nilai agunan sebesar nilai kreditnya (100
a. Permintaan
Komoditi lidah buaya baru disadari nilai ekonomiknya belakangan ini, bahkan
oleh instansi pemerintah terkait sekali pun. Karena itu, tidak ada dokumen
resmi tentang besaran permintaannya di Dinas Pertanian Tingkat Provinsi,
Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak, dan Biro Pusat Statistik Kota
Pontianak. Sehubungan dengan hal ini, lidah buaya belum tercatat sebagai
komoditi ekspor penghasil devisa yang terukur kontribusinya bagi
pendapatan pemerintah daerah oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Pontianak. Demikian juga, nilai pajak yang dikenakan pada penjualan
komoditi tersebut tidak dapat diketahui. Pengakuan para petani pun sejalan
dengan hal tersebut, mereka tidak pernah dikenai pajak penjualan untuk
produk daun lidah buayanya yang dijual kepada pengumpul.
Pengamat lidah buaya setempat menilai bahwa komoditi ini belum memiliki
segmen pasar yang pasti, meskipun diketahui bahwa permintaan baik dari
dalam maupun dari luar negeri memang ada. Namun, jika ditanyakan berapa
potensi permintaannya dan negara mana yang memerlukannya belum ada
data atau studi khusus untuk hal ini. Sebaliknya, Dinas Urusan Pangan lebih
yakin akan besarnya permintaan produk lidah buaya sehingga
menjadikannya sebagai salah satu produk unggulan di masa yang akan
datang. Dinas ini bahkan tengah menyusun rencana pembangunan Pusat
Pengkajian/ Pengembangan Aloe vera, sebagai salah satu program
Pemerintah Daerah Kota Pontianak.
Besaran permintaan saat ini mungkin dapat didekati dari jumlah pedagang
pengumpul yang kini beroperasi, yakni 5 orang di Kota Pontianak. Jika
diduga bahwa kapasitas pembelian oleh mereka sama, berdasarkan kasus
seorang pedagang pengumpul yang mampu membeli rata-rata 11 ton per
b. Penawaran
c. Harga
Harga produk daun lidah buaya segar bervariasi menurut mutu produk dan
cara penanganannya. Tingkat mata rantai tata niaga tidak memberikan
pengaruh pada harga karena hasil panen dari petani diambil di kebun oleh
pedagang pengumpul atau petani mengangkutnya ke pedagang pengumpul
terdekat dari kebunnya. Dalam hal ini tingkat mata rantai tata niaga terdiri
dari tingkat petani/kebun, tingkat industri/pengolahan rumah tangga
(setempat), tingkat pedagang pengumpul, dan tingkat pengekspor. Namun,
pedagang pengumpul tersebut ada yang berperan sebagai "tangan-tangan"
pengekspor, yang dalam suatu kasus bahkan dianggap sebagai konsultan
penjamin mutu produk dari perusahaan pengekspor tadi.
Terdapat dua atau tiga kelas mutu produk komoditi ini yang dikenal di
lapangan. Penggolongan mutu produk ke dalam dua kelas memberikan kelas
mutu A dan kelas mutu B, sedangkan penggolongan mutu ke dalam tiga
kelas memberikan kelas mutu A (mutu ekspor), kelas mutu B, dan kelas
Harga daun lidah segar kelas mutu A di tingkat petani atau pengumpul
adalah Rp 1200/kg jika belum dibungkus dengan kertas koran dan menjadi
Rp1300/kg jika telah dibungkus kertas koran (biaya pembungkusan dengan
kertas koran Rp 100/kg daun lidah buaya segar). Harga produk di tingkat
pengekspor tidak terjangkau oleh survei ini. Harga kelas mutu B adalah Rp
800 setelah dibungkus koran dan kelas mutu C Rp 500/kg. Secara pukul
rata, harga daun lidah buaya segar berkisar dari Rp 800 hingga Rp 1500 per
kilogram di tingkat petani atau pedagang pengumpul. Kualifikasi mutu daun
lidah buaya tersebut dikemukakan dalam Bab IV.
d. Peluang Usaha
Persaingan pasar produk lidah buaya belum terasa menyulitkan para petani
pada saat ini. Meskipun di sekitar lahannya juga tersebar lahan-lahan lidah
buaya milik petani lainnya, para petani telah memiliki pembeli produknya
atau pedagang pengumpul langganannya masing-masing. Persaingan pasar
antarpedagang pengumpul juga tidak ada karena status mereka yang hanya
merupakan "tangan-tangan" atau konsultan mutu pengekspor belaka.
Peluang pasar lidah buaya dianggap besar dengan alasan sebagai berikut.
e. Pemasaran Produk
Seperti yang telah dikemukakan di atas, pemasaran daun lidah buaya segar
mengikuti tiga mata rantai tata niaga yang tidak tegas benar tingkatan mata
rantainya, khususnya antara pedagang pengumpul dengan pengekspor.
Gambar 3.1 memperlihatkan bahwa petani menjual produk tersebut (kelas
mutu A dan B) kepada pedagang pengumpul yang kemudian menjualnya
kembali kepada industri pengolahan rumah tangga (kelas mutu B) dan atau
f. Kendala Pemasaran
Dipandang dari kemudahan petani menjual produk daun lidah buaya yang
dihasilkannya, yakni kepada pedagang pengumpul dan kepada industri
pengolahan setempat, tidak ada kendala pemasaran yang langsung
dirasakan oleh petani. Namun, dipandang dari peluang meningkatkan
perolehan keuntungan, kemudahan menjual produk kepada para pedagang
pengumpul itu pada kenyataannya telah mengurangi peluang petani dapat
memasarkan sendiri produknya kepada industri pengolahan setempat atau di
luar pulau dan langsung mengekspornya ke luar negeri. Meskipun demikian,
4. Aspek Produksi
a. Lokasi Usaha
Tanaman ini dapat tumbuh baik di dataran rendah dan di dataran tinggi
asalkan tanahnya subur, gembur, dan kaya bahan organik, dengan pH ideal
5.5-6. Karena itu, tanaman lidah buaya dapat tumbuh memuaskan baik di
tanah mineral maupun di tanah organik. Dengan sifat perakarannya yang
dangkal, kesuburan yang cukup di lapisan olah sedalam 30 cm
dipersyaratkan untuk pertumbuhan yang memuaskan dari tanaman ini.
Tanah yang ringan (berpasir) perlu diperbaiki dengan pupuk organik,
demikian pula jika tanah berat (liat) agar menjadi lebih sarang. Drainase
yang jelek (penggenangan) tidak disenangi oleh lidah buaya.
c. Bahan Baku
Bahan baku produksi adalah sarana produksi tanaman yang biasa digunakan
oleh petani produsen lidah buaya di Kalimantan Barat, khususnya Kota
Pontianak. Sarana produksi usahatani lidah buaya mencakup bibit, pupuk,
pestisida, kertas koran untuk pembungkus. Bibit berasal dari kebun sendiri
atau dibeli dari penangkar bibit. Pupuk yang digunakan terdiri dari pupuk
organik (berupa abu serbuk gergaji dan pupuk kandang) dan pupuk
inorganik (urea, KCl, dan/atau pupuk daun). Pestisida yang lazim dipakai
adalah herbisida untuk pengendalian gulma.
d. Tenaga Kerja
Jenis kegiatan usahatani juga menentukan jenis kelamin tenaga kerja yang
digunakan di lapangan. Kecuali kegiatan mencabuti rumput, kegiatan
budidaya tanaman sejak pra-panen hingga pascapanen biasanya
dilaksanakan oleh tenaga kerja pria. Namun, dalam hal digunakannya
herbisida untuk mengendalikan gulma, tenaga kerja pria digunakan pula.
Tenaga panen wanita kadang-kadang digunakan juga dalam kegiatan
penyeleksian hasil panen dan pembungkusannya dengan kertas koran.
Tenaga kerja borongan biasanya pria.
Upah tenaga kerja pria (dewasa) adalah Rp 15.000 - Rp 20.000 per hari per
orang, sedangkan upah tenaga kerja wanita (dewasa) adalah Rp 10.000 per
hari per orang. Jam kerja mereka pada umumnya adalah sejak pukul 07.30
hingga 10.30, diselingi istirahat, kemudian dilanjutkan bekerja lagi sejak
pukul 13.00 hingga 16.30. Jam kerja borongan tergantung pada kehendak
pelakunya. Upah borongan bernilai Rp 600.000 untuk kegiatan penebasan
semak ketika membuka lahan; Rp 1.500.000 untuk kegiatan pembongkaran
akar-akar semak dan tunggulnya serta pembakaran biomas; Rp 2.000.000
untuk kegiatan pencangkulan lahan hingga pembuatan bedengan.
e. Teknologi Produksi
f. Proses Produksi
Grafik 4.1 memperlihatkan alir proses produksi daun segar lidah buaya di
Kalimantan Barat, khususnya di Kota Pontianak yang berlahan gambut, sejak
pembukaan lahan tersebut hingga peremajaan kebun diperlukan satu daur
produksi yang menjadi dasar analisa lending model dalam Bab V.
Spesies tanaman lidah buaya di Kalimantan Barat adalah Aloe vera (L.)
Webb. Seperti yang telah dikemukakan terdahulu, pengadaan bibitnya
diperoleh hanya dengan memisahkan dan mengumpulkan anakannya yang
tumbuh (5-8 batang) di sekeliling tanaman induknya, berukuran kira-kira
sebesar ibu jari. Anakan tersebut kemudian didederkan terlebih dahulu di
pesemaian beratap hingga didapatkan bibit yang selanjutnya diseleksi
ukurannya untuk mendapatkan yang berukuran seragam dan memenuhi
syarat (3-4 minggu di pesemaian, tinggi bibit 10-20 cm). Pupuk kandang
atau kompos biasanya digunakan untuk menyiapkan bedengan pesemaian
yang subur. Pemeliharaan semaian dilakukan dengan seksama, di antaranya
dengan melakukan penyiraman dan pengendalian hama-penyakit, dan
gulmanya apabila diperlukan. Petani dapat pula menyiapkan kebun lidah
buaya yang khusus untuk sumber anakan. Polibag pun bisa digunakan untuk
menggantikan bedengan pesemaian.
Bibit lidah buaya dapat pula diperoleh dengan menggunakan stek batang.
Namun, karena batang tanaman ini pendek, tidak banyak bibit yang dapat
dihasilkan dari stek tersebut. Bibit dapat pula diperoleh dari anakan yang
tumbuh di sekitar tanaman hasil peremajaan, yakni yang dipotong batangnya
setinggi permukaan tanah.
Pembukaan Lahan
Pembersihan Lahan
Pembuatan ParitKeliling
Penanaman Bibit
Pemeliharaan Tanaman
Gulma dikendalikan dengan herbisida yang sesuai atau dicabut oleh petani
secara manual sepanjang umur tanaman. Gulma yang dominan di lahan
petani antara lain adalah alang-alang, teki, sikejut, krokot, dan wedusan.
Pertumbuhan gulma relatif cepat karena curah hujan di Kota Pontianak cukup
tinggi (di atas 2.000 mm/tahun). Pengendalian gulma secara manual
dilaksanakan petani praktis setiap hari jika dirasakan ada waktu terluang.
Panen
Panen pertama daun lidah buaya dapat dilakukan pada tanaman berumur 8 -
12 bulan tergantung pada keadaan penampakan daunnya, apakah telah
memenuhi persyaratan atau belum. Penampakan daun tersebut dipengaruhi
oleh kesuburan tanah: daun berukuran besar jika tanahnya subur, tetapi
kecil jika kesuburan tanah kurang. Daun yang dipanen adalah 1 - 2 helai
yang paling tua, terdapat paling bawah di pohonnya. Kualifikasi mutu daun
yang dapat dipanen ini telah mencapai bobot minimal 0.4 kg (memenuhi
kelas mutu B).
Dalam pemanenan daun lidah buaya, cara panen dan kebersihan daun
terpanen harus mendapat perhatian. Pisau yang tajam dipakai untuk
menyayat pangkal daun, selanjutnya daun tersebut diputar sambil
dipisahkan dari tanaman induknya. Getah berwarna kuning kecoklatan
dibiarkan mengucur dari bekas sayatan, dijaga agar tidak mengenai helaian
daunnya dengan cara menyimpan daun tersebut miring. Pelukaan daun
karena ketidakhati-hatian saat panen agar dihindari karena hal itu dapat
menurunkan kelas mutunya.
Pascapanen
Daun hasil panen dilap dengan kain bersih setelah dipanen, kemudian
dibungkus dengan kertas koran dan dimasukkan ke dalam keranjang rotan
Dalam penanganan pascapanen harus diperhatikan agar daun tidak luka atau
patah karena kelas mutunya menjadi turun. Hal ini terutama dapat terjadi
ketika daun ditumpuk di dalam keranjang, ketika sedang diseleksi dan dipilah
berdasarkan kelas mutunya, ketika ditimbang dan disusun di atas rak pasca
seleksi, atau ketika disusun/dimasukkan ke dalam kemasan peti kayu untuk
dikirim kepada pengekspor.
Peremajaan kebun biasanya dilakukan pada umur tanaman lima tahun, pada
waktu tanaman terlihat tinggi batangnya, kadang-kadang mulai rebah. Cara
peremajaan kebun adalah dengan memotong batang tersebut, kemudian
menancapkannya kembali ke dalam tanah. Pasca peremajaan daun dapat
diteruskan pemanenannya setelah tanaman mengalami penyembuhan.
h. Produksi Optimum
i. Kendala Produksi
Terdapat dua kendala utama yang dapat menggangu produksi daun lidah
buaya, yakni sebagai berikut.
1. Adaptabilitas tanaman
Hingga saat ini, tanaman lidah buaya yang berasal dari Pontianak
merupakan varietas terunggul di Indonesia, bahkan diakui pula
keunggulannya di dunia. Kendala produksi dapat terjadi jika tanaman
tersebut ditanam di luar wilayah adaptasinya. Dilaporkan bahwa upaya
penyebarluasan tanaman lidah buaya asal Pontianak ke daerah lain
hingga saat ini belum menghasilkan produk daun lidah buaya dengan
mutu yang setara dengan yang dicapai di Pontianak. Sebaliknya,
kendala juga akan terjadi jika varietas yang ditanam bukan yang
berasal dari Pontianak, meskipun penanaman dilakukan di Pontianak
dengan kualifikasi agroklimatnya sebagaimana yang telah dibahas
dalam sub-bab 4.1.
2. Aspek agronomik
a. Struktur Biaya
Biaya Investasi
Biaya investasi budidaya lidah buaya disajikan dalam Tabel 5.2. Biaya
tersebut mencapai Rp 16.265.000, terdiri dari Rp 10.572.250 yang perlu
dipinjami oleh Bank dan Rp 5.692.750 yang diharapkan dapat dibiayai sendiri
oleh petani. Di antara komponen biaya investasi, biaya sewa lahan
merupakan biaya yang diperhitungkan karena pada kenyataannya petani
merupakan pemilik lahan.
Biaya modal kerja terdiri dari biaya yang dikeluarkan sebelum tanaman
menghasilkan dan yang dikeluarkan setelah tanaman menghasilkan. Untuk
perhitungan biaya ini, tanaman dianggap baru menghasilkan di bulan ke-11.
Selanjutnya umur tanaman menghasilkan diperhitungkan sampai dengan
tahun ke-5. Peremajaan dilakukan pada tahun ke-6 karena pada umur
tersebut tanah untuk pembumbunan dianggap terlalu tinggi untuk
dipindahkan dari bidang tanam antar bedengan dan ini berarti akan
meningkatkan biaya. Selain itu, pada umur tanaman 6 tahun, jika
pembumbunan kurang memadai, tanaman akan rebah dan hal ini dapat
merusak daun karena menyentuh tanah.
Tabel 5.3 menyajikan rekapitulasi komponen biaya modal kerja untuk tahun
0 - 5. Pada tahun 0, misalnya, besar biaya modal kerja adalah Rp
62.513.000, terdiri dari Rp 13.940.000 untuk upah tenaga kerja dan Rp
48.573.000 untuk pembelian bahan-bahan atau sarana produksi. Biaya
modal kerja tanaman belum menghasilkan dan modal kerja pemeliharaan
tanaman menghasilkan selengkapnya selama 5 tahun disajikan dalam Tabel
Lampiran 1, Lampiran 2, Lampiran 3, Lampiran 4, Lampiran 5, Lampiran 6.
Setiap keluarga tani dianggap terdiri dari 1 orang pria dewasa dan 1 orang
wanita dewasa yang terlibat aktif dalam usahatani. Keduanya dianggap
bekerja di kebun selama 6 hari/minggu (= 312 hari/tahun) sehingga setara
dengan menyumbangkan 312 hkp (= Rp 6.240.000) + 312 hkw (= Rp
b. Pendapatan
Pendapatan yang akan diperoleh dari penjualan daun lidah buaya disajikan
dalam Tabel 5.4. Pendapatan tersebut diperoleh sejak tanaman berumur 11
bulan (Tahun I).
c. Analisa Kelayakan
Tabel 5.5 menyajikan analisa cash flow budidaya lidah buaya dengan suku
bunga 18% dan pajak sebesar 15 persen. Analisa kelayakannya disajikan
dalam Tabel 5.6 menghasilkan Net B/C sebesar 2,95 dengan NPV (DF 18%)
sebesar Rp 153.802.740 dan IRR = 76%. Jadi, budidaya lidah buaya ini layak
secara finansial karena diduga akan menguntungkan petani. BEP dicapai
pada nilai uang Rp 6.259.474, setara dengan produk daun segar lidah buaya
sebanyak 4.815 kg. Pay back period-nya selama satu tahun atau 12 bulan,
yang berarti mulai Tahun I hutang ke bank telah mampu dibayarkan.
Tabel 6.1 memperlihatkan penggunaan tenaga dari kedua sumber ini dengan
empat alternatif asumsi pelibatan tenaga kerja keluarga: (1) 1 orang pria
dan 1 orang wanita dewasa bekerja di kebun; (2) 1 orang pria dan 2 orang
wanita; (3) 2 orang pria dan 1 orang wanita keluarga tani bekerja di kebun;
(4) 2 orang pria dan 2 orang wanita keluarga tani bekerja di kebun.
Diasumsikan pula bahwa hari kerja petani adalah 6 hari/minggu, jadi 6x52
hari = 312 hari/tahun. Ternyata bahwa tenaga kerja luar keluarga hanya
memerlukan pria, sedangkan tenaga kerja wanitanya telah dipenuhi (bahkan
yang tersedia berlebih) oleh tenaga kerja keluarga. Tenaga kerja pria upahan
dapat diserap sebanyak 67-369 HKP/tahun pada Tahun I (terendah) hingga
419 - 721 HKP/tahun pada tahun ke-5 (tertinggi).
Berdasarkan Tabel 6.1, usahatani ini per hektarnya membuka lapangan kerja
sebanyak 67-369 HKP (= Rp 1 340 000 hingga Rp 7 380 000) per tahun
pada tahun ke-1 (terendah) dan 419 - 721 HKP (= Rp 8 380 000 hingga Rp
14 420 000) per tahun pada tahun ke-4 (tertinggi) atau secara kasar dapat
membuka lapang kerja 1-2 orang tenaga luar keluarga (buruh tani). Jika
rencana pengembangan lidah buaya dilaksanakan, berdasarkan data arahan
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Kalimantan Barat (Tabel 1.1, Bab
I) dapat ditampung tidak kurang dari 4450 - 9900 orang buruh tani, selain
dari keluarga petaninya sejumlah yang kurang lebih sama.
b. Dampak Lingkungan
Tidak ada pengaruh negatif secara moral dari kegiatan usahatani lidah buaya
terhadap kehidupan masyarakat setempat. Dari aspek kesejahteraan, petani
pengusaha tanaman ini merasakan peningkatan kesejahteraannya. Mereka
bisa membiayai keluarga dan menyekolahkan anaknya dari penghasilan
bertani komoditi ini. Analisa finansial dan neraca rugi laba yang dikemukakan
terdahulu memperkuat kebenaran kondisi demikian. Menurut pemerintahan
desa setempat usahatani lidah buaya memang tidak secara langsung
dirasakan manfaatnya dari sumbangannya kepada perbaikan infrastruktur
setempat. Namun, pengembangan usahatani ini pada masa yang akan
datang sangat diharapkan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah
setempat. Lidah buaya merupakan salah satu komoditi pertanian unggulan
bagi Propinsi Kalimantan Barat, khususnya bagi Kota Pontianak.
a. Kesimpulan
b. Saran
Dengan berbagai hal positif di seluruh aspek yang dipelajari, khususnya hasil
analisis kelayakan usahataninya, petani lidah buaya sebaiknya memperoleh
dukungan kredit dari bank. Penyuluhan perlu dilakukan untuk perbaikan
teknik budidaya lidah buaya di kalangan petani dan membuka wawasan
mereka terhadap masalah perbankan karena lembaga ini tergolong masih
asing bagi sebagian kalangan mereka.