Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN WILAYAH

“AGROPOLITAN”

Disusun Oleh :

Nama : Ratri Kusumastuti


NIM : 11356

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2011
AGROPOLITAN

Agropolitan adalah suatu konsep pembangunan berdasarkan aspirasi masyarakat bawah yang
tujuannya tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi juga mengembangkan
segala aspek kehidupan sosial (pendidikan, kesehatan, seni-budaya, politik, pertahanan-
keamanan, kehidupan beragama, kepemudaan, dan pemberdayaan pemuda dan kaum
perempuan). Agropolitan merupakan bentuk pembangunan yang memadukan pembangunan
pertanian (sektor basis di perdesaan) dengan sektor industri yang selama ini secara terpusat
dikembangkan di kota-kota tertentu saja. Secara luas pengembangan agropolitan berarti
mengembangkan perdesaan dengan cara memperkenalkan fasilitas-fasilitas kota/modern yang
disesuaikan dengan lingkungan perdesaan. Ini berarti tidak mendorong perpindahan
penduduk desa ke kota, tetapi mendorong mereka untuk tinggal di tempat dan menanamkan
modal di daerah perdesaan, karena kebutuhan-kebutuhan dasar (lapangan kerja, akses
permodalan, pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, dan kebutuhan sosial-ekonomi
lainnya) telah dapat terpenuhi di desa. Hal ini dimungkinkan, karena desa telah diubah
menjadi bentuk campuran yang dinamakan agropolis atau kota di ladang. Agropolitan adalah
konsep pembangunan pedesaan yang mengintegrasikan pembangunan wilayah dan
pemberdayaan masyarakat. Agropolitan didasari pada konsep pengembangan wilayah dengan
menekankan pada pengembangan infrastruktur, kelembagaan dan permodalan/investasi.
Agropolitan terdiri dari kata Agro (Pertanian) dan Politan (Polis=kota), sehingga agropolitan
dapat diartikan sebagai kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya
sistem dan usaha agribisnis di desa dalam kawasan sentra produksi sebagai kota pertanian
yang memiliki fasilitas yang dapat mendukung lancarnya pembangunan pertanian yaitu:
 Jalan-jalan akses
 Alat-alat mesin pertanian
 Pengairan/jaringan irigasi
 Lembaga penyuluh dan alih teknologi
 Kios-kios sarana produksi
 Pemasaran
Kriteria kawasan Agropolitan:
1. Mempunyai skala ekonomi yang besar, sehingga produktif untuk dikembangkan
2. Mempunyai keterkaitan kedepan dan ke belakang
3. Memiliki produk-produk unggulan yang mempunyai pasar yang jelas dan prospektif
4. Memenuhi prinsip efisiensi ekonomi untuk menghasilkan output yang maksimal
Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangangan Agropolitan adalah sebagai berikut :
1. Sebagian besar wilayah pertanian belum memiliki fasilitas kota yang dapat melayani
kebutuhan sosial-ekonomi petani dan masyarakat pedesaan
2. Rencana tata ruang kawasan agropolitan belum disusun
3. Perkembangan kelembagaan di pedesaan masih mengalami hambatan yang berkaitan
dengan tingkat pendidikan, hambatan informasi, dan komunikasi
4. Belum tergalinya potensi dan peluang investasi di seluruh sektor
5. Masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha skala kecil terhadap modal
pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran,
dalam upaya mengembangkan peluang usaha dan kerjasama investasi
6. Keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi dalam mendukung
pengembangan kawasan agropolitan dan produk unggulan daerah
7. Pengusaha lebih berminat menanam modalnya ke daerah-daerah yang telah
maju,karena kurangnya infrastruktur
Sasaran pengembangan agropolitan
1. Terwujudnya percepatan pembangunan di wilayah-wilayah cepat tumbuh dan
strategis, terintegrasi dalam kesatuan ekonomi regional
2. Meningkatnya nilai tambah produk pedesaan dengan dikembangkan usaha yang
berwawasan industri
3. Tersedianya fasilitas sosial-ekonomi yang dapat diakses oleh petani dan masyarakat di
pedesaan untuk memenuhi kebutuhannya dalam pengembangan usaha, pendididkan,
dan kesehatan
4. Terbangunnya dan membaiknya kondisi prasarana dan sarana transportasi, khusunya
jalan untuk menciptakan akses sosial dan ekonomi
5. Meningkatnya sikap profesionalisme dan kewirausahaan masyarakat yang tinggal di
distrik agropolitan
6. Tumbuhnya kelembagaan yang dapat mendukung perkembangan sosial ekonomi di
distrik agropolitan
7. Meningkatnya akses petani dan pelaku usaha skala kecil terhadap modal
pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran,
dalam upaya mengembangkan peluang usaha dan kerjasama investasi
8. Meningkatnya jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi di kawasan
agropolitan
9. Terwujudnya kawasan pengembangan industri pengelolaan hasil-hasil pertanian
secara terpadu untuk meningkatkan nilai tambah produk-produk pertanian dan
penyediaan lapangan kerja
10. Terwujudnya keterkaitan kegiatan ekonomi antar wilayah perkotaan dan perdesaan
dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi yang saling menguntungkan,
sehingga terjadi keseimbangan pertumbuhan antara pedesaan dan perkotaan

.
Konsep Corporate Farming
Corporate Farming adalah suatu bentuk kerjasama ekonomi dari sekelompok petani dengan
orientasi agribisnis melalui konsolidasi pengelolaan lahan sehamparan dengan tetap
menjamin kepemilikan lahan pada masing-masing petani, sehingga efisiensi usaha,
standarisasi mutu, dan efektivitas serta efisiensi manajemen pemanfaatan sumber daya dapat
dicapai. Proses menuju konsolidasi lahan ini akan berjalan apabila petani dengan kepemilikan
lahan sempit mempunyai kesempatan, kemampuan dan kemauan mencari alternatif pekerjaan
lain (off-farm dan non-farm), yang memberikan kesejahteraan lebih baik. Proses tersebut
dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan petani dan perkembangan lingkungan
agribisnis di wilayah yang bersangkutan.
Tujuan jangka panjang pengembangan Corporate Farming adalah mewujudkan suatu usaha
pertanian yang mandiri, berdaya saing dan berkesinambungan melalui pengelolaan lahan
secara korporasi. Pendekatan dalam pengembangannya adalah pembangunan pedesaan
berbasis agribisnis dengan memanfaatkan peluang sumberdaya dan kelembagaan
masyarakat secara optimal.
Ciri pokok dari Corporate Farming adalah sebagai berikut :
 (1) sekelompok petani sehamparan mempercayaai pengelolaan lahannya kepada suatu
lembaga agribisnis dengan suatu perjanjian kerjasama ekonomi tertentu, dimana petani
bertindak sebagai pemegang saham sesuai dengan perluasan kepemilikannya;
(2) Corporate Farming dibentuk melalui musyawarah/mufakat antar para anggotanya dengan
memperhatikan sosial dan budaya setempat;
(3) Corporate Farming dipimpin oleh manajer profesional, yang dipilih oleh petani serta
dikelola secara transparan, demokratis sesuai dengan kaidah bisnis komersial;
(4) Corporate Farming mensyaratkan skala usaha optimal, sesuai dengan kondisi dan
kapasitas sumberdaya setempat, potensi dan kapasitas pengembangan agroindutri dan
pemasaran, dan ketersediaan teknologi untuk meningkatkan efisiensi, serta kemampuan
teknis pengelolaan dalam satu manajemen; dan
(5) Cakupan kegiatan Corporate Farming tetap bertumpu pada komoditas unggulan di
wilayahnya, dan memperhatikan peluang pengembangan dan diversifikasi, baik secara
vertikal maupun horizontal.
Keberhasilan corporate farming akan lebih cepat dicapai apabila didukung oleh berbagai
faktor antara lain:
(1) Pengembangan Corporate Farming dilaksanakan secara terpadu dengan pengembangan
ekonomi wilayah setempat;
(2) Tersedianya lapangan pekerjaan alternatif lain bagi petani yang mempercayakan
pengelolaan lahannya kepada Corporate Farming;
  (3) Tersedianya dana khusus untuk memulai usaha (start-up business) dan seed capital bagi
petani untuk memulai kegiatan baru;
(4) Terdapat lembaga (pemerintah/non pemerintah) yang mampu berfungsi sebagai fasilitator.
Berbagai hambatan yang diduga akan dapat timbul dalam pelaksanaan Corporate Farming,
apabila antara lain :
 (1) Petani tidak berkeinginan mempercayakan lahannya untuk dikelola secara korporasi
karena alasan ikatan emosional dan kultural;
(2) Pada tahap awal Corporate Farming cenderung mengurangi lapangan pekerjaan, terutama
bagi petani yang tidak memiliki lahan;
(3) Adanya perbedaan persepsi antar petani dalam satu hamparan terhadap Corporate
Farming; (4) Kesulitan mencari alternatif usaha bagi para petani kecil yang masih melibatkan
kelembagaan tradisional seperti bawon, ceblokan, kedokan, tebasan dan lainnya;
 (5) Pembentukan Corporate Farming dapat menjadi sumber konflik pranata sosial di
pedesaan antara buruh dan manajer; dan
(6) Adanya kemungkinan ketidak-terpaduan dalam pembinaan sistem agribisnis termasuk
pengembangan prasarana dan penyediaan sarana agribisnis.
Pengembangan Corporate Farming masih memerlukan pengaturan dan fasilitator termasuk
instansi pemerintah. Pesan pemerintah diarahkan pada penciptaan kondisi yang kondusif
guna mendorong partisipasi masyarakat secara aktif, antara lain berupa regulasi dan
pelayanan publik. Secara lebih spesifik, peran permerintah diharapkan berupa:
(1) Pelayanan kelembagaan, yang akan memberikan dukungan dalam mendorong
pelaksanaan musyawarah/mufakat oleh petani;
(2) Penyediaan hasil kajian dalam berbagai bentuk alternatif rancang bangun kelembagaan
yang sesuai dengan kondisi spesifik lokasi dan kebutuhan petani;
(3) Fasilitas kerja sama kemitraan dengan unit-unit agribisnis lainnya, baik yang berada
dalam wilayah maupun yang berada di luar wilayah;
(4) Bimbingan dalam merumuskan bentuk badan usaha yang layak (dapat berbentuk koperasi
atau Perseroan Terbatas dsb). Serta proses penentuan manajer dari Corporate Farming;
(5) Penyediaan sarana publik yang meliputi dukungan prasarana yang menunjang
pengembangan Corporate Farming seperti pembangunan dan/atau rehabilitasi sarana irigasi,
jalan lapangan, fasilitas penataan dan sertifikasi lahan; dan
(6) Dukungan pendanaan, khususnya untuk start-up business yang akan dikelola manajer dan
penyediaan seed cafital bagi petani untuk memuali kegiatan baru, baik kegiatan on farm, off
farm, maupun non-farm. Dana ini dikelola oleh manajer sesuai dengan kebutuhan petani
dengan menggunakan pola kredit. Apabila pelaksanaan Corporate Farming tersebut sudah
mantap, maka dana tersebut digunakan untuk investasi perluasannya atau untuk mendanai
pembentukan Corporate Farming yang baru.
Pengembangan Corporate Farming harus dilakukan secara bertahap mulai dari konsolidasi
manajemen secara parsial, konsolidasi pengelolaan secara penuh menuju kepada penataan
lahan untuk mencapai skala pengelolaan ekonomis. Tahap-tahap pengembangan adalah:
(1) Tahap persiapan yang meliputi:
(a) Studi Diagnotik untuk mendapatkan gambaran mengenai karakteristik wilayah
(b) Perancangan model untuk membangun aturan dan organisasi Corporate Farming dimana
dicantumkan kesepakatan hak dan kewajiban petani;
(2) Tahap pengembangan model yang meliputi perancangan konsolidasi manajemen produksi
untuk mencari manfaat (nilai tambah) dari kesatuan manajemen produksi (on-farm) dan
mengupayakan alternatif sumber penghasilan lain (off farm dan non-farm) dan perancangan
konsolidasi manajemen olah hasil dan pemasaran;
 (3) Tahap penataan lahan, dimana diharapkan petani telah mempercayakan pengelolaan
usaha kepada Corporate Farming;  
(4) Tahap pemantapan model, dimana petani sudah melakukan konsolidasi manjamen secara
penuh dan telah terjadi perluasan kesempatan kerja (di dalam atau di luar Corporate
Farming).
Proses pengembangan dari Corporate Farming harus dilakukan secara cermat yang
mencakupkan berbagai hal seperti berikut :
 (1) Lokasi diidentifikasi dan diseleksi melalui penelusuran data sekunder dan verifikasi di
lapangan. Kegiatan ini yang dilakukan di daerah yang telah dilakukan di daerah yang telah
dikembangkan maupun di daerah yang relatif belum banyak tersentuh program pemerintah; (
2) Karakteristik biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan dari lokasi sasaran sasaran
diidentifikasikan dengan PRA. Data sosial ekonomi, budaya dan data teknis petani hingga
pada petakan lahan dikumpulkan dengan metode survei dan wawancara intensif;
 (3) Hasil analisis PRA dibahas bersama-sama antara petani dengan tim ahli dan pelaksana
teknis di pusat dan di daerah untuk merumuskan rancangan tahapan pembentukan Corporate
Farming dan penetapan prioritas komponen kegiatan usaha tani yang dicakup dalam
Corporate Farming;
(4) Model Corporate Farming dirancang/dibentuk dengan metode partisipatif yang
melibatkan para pelaku corporate farming termasuk pemerintah daerah;
(5) Kinerja model Corporate Farming dievaluasi melalui verifikasi dengan pelaksanaan di
beberapa lokasi dan replikasi menurut musim dan hamparan yang berbeda;
 (6) Hasil verifikasi dianalisis, dibahas dan disempurnakan dalam forum diskusi untuk
merumuskan model pengembangan selanjutnya dari Corporate Farming spesifikasi lokasi.
Dana pengembangan Corporate Farming harus diusahakan baik dari dana pemerintah
maupun dari dana perbankan, yaitu:
(1) Dana pengembangan infrastruktur publik meliputi farm-road, jaringan irigasi dan lainnya;
(2) Dana untuk start-up business dan seed cafital dalam pengembangan off-farm, dan non-
farm serta biaya manajemen Corporate Farming,
(3) Dana pembinaan, pelatihan dan monitoring serta evaluasi.
Kebutuhan dana untuk setiap model tergantung kepada komoditas, luasan dan kegiatan off-
farm yang dikembangkan. Dana pengembangan infrastruktur publik selayaknya menjadi
investasi pemerintah, sedangkan dana start-up business dan seed cafital termasuk di
dalamnya adalah biaya manajemen Corporate Farming, merupakan dana investasi yang
harus dikelola dengan prinsip business sebagai pinjaman kepada Corporate Farming. Dana
untuk pembinaan, pelatihan dan monitoring serta evaluasi menjadi investasi pemerintah.  
KARAKTERISTIK PRODUK PERTANIAN

KARAKTERISTIK PRODUK PERTANIAN SKALA KECIL :


A. Karakteristik produk ditinjau dari proses produksinya :

1. Produk musiman
2. Produk yang dihasilkan melalui proses biologis tumbuhan
3. Produk yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan pada saat itu

B. Karakteristik produk ditinjau dari handling product :

1. Perlakuan pascapanennya untuk meningkatkan nilai tambah sangat minim dilakukan


2. Kehilangan hasil saat panen relatif besar
3. Produk mudah rusak (perishibel) dan memakan tempat.

C. Karakteristik produk ditinjau dari pemasaran produk :

1. Harga produk relatif murah _ produsen sebagai price taker dan efek dari asimetri
informasi, bargainning potition yang rendah di produsen
2. Fluktuasi harga relatif tajam
3. Produk bersifat generik _ memasuki pasar yang cenderung bersifat monopsoni atau
oligopsoni
4. Jumlah produk yang dipasarkan pada umumnya tidak memenuhi skala ekonomi
(jumlah relatif kecil)
5. Produk melalui rantai pemasaran yang relatif panjang untuk sampai pada konsumen
6. Pada umumnya produk tidak mengalami perubahan bentuk
7. Resiko pemasaran relatif tinggi karena fluktuasi harga dan sifat mudah rusaknya
produk pertanian
8. Elastisitas harga produk relatif lebih rendah

KARAKTERISTIK PRODUK PERTANIAN SKALA BESAR :


A. Karakteristik produk ditinjau dari proses produksinya :

1. Produk musiman
2. Produk yang dihasilkan melalui proses biologis tumbuhan
3. Produk yang dihasilkan dipengaruhi oleh teknologi yang meminimalisir pengaruh
lingkungan

B. Kharakteristik produk ditinjau dari handling product :

1. Perlakuan pasca panennya dalam rangka menjaga kualitas produk dan menghasilkan
nilai tambah (added value)
2. Kehilangan hasil saat panen relatif lebih kecil
3. Produk mudah rusak (perishibel) dan memakan tempat
C. Karakteristik produk ditinjau dari pemasaran produk :

1. Harga produk relatif lebih mahal _ produsen memiliki bargainning potition yang
lebih tinggi dan memiliki kemampuan mengakses pasar konsumen
2. Fluktuasi harga relatif relatif lebih rendah karena kemampuan mendistribusikan
produk dan melihat peluang pasar _ ada perencanaan produksi
3. Produk terstandarisasi dan melalui serangkaian proses pemberian atribut produk untuk
menciptakan nilai tambah dan positioning produk
4. Jumlah produk yang dipasarkan pada umumnya memenuhi skala ekonomi (jumlah
relatif besar) dan melalui perencanaan pemasaran yang lebih baik (marketing plan)
5. Produk untuk sampai pada konsumen tidak melalui rantai pemasaran yang panjang
bahkan cenderung dari titik produsen langsung ke pasar dilakukan oleh produsen
sendiri
6. Unit pengolahan hasil (agroindustri) dan produksi sangat dekat sehingga sangat
dimungkinkan adanya perubahan bentuk dan atau perubahan struktur kimia produk
atas pengolahan yang dilakukan
7. Respon atas perubahan pasar relatif lebih cepat dan mempertimbangkan mekanisme
pengalihan resiko
8. Elastisitas harga produk relatif lebih tinggi

Produksi pertanian dapat disarikan dalam beberapa sifat dan ciri sebagai berikut (Teken dan
Hamid, 1982) :

1. Produksi yang diperoleh dari usaha secara kecil-kecilan (small scale


production). Produksi secara kecil-kecilan ini adalah akibat dari usaha yang
dilakukan petani secara kecil-kecilan pula. Padi atau beras, misalnya, dihasilkan oleh
berjuta-juta petani. Dengan demikian petani-petani tidak dapat mempengaruhi
permintaan atas jenis barang yang dihasilkannya. Mereka sulit untuk saling
berkomunikasi dalam hal penjualan, penyimpanan dan sebagainya, karena terbatasnya
kemampuan dan pengetahuan akan hal tersebut. Berbeda halnya dengan perusahaan-
perusahaan industri, karena telah memiliki kemampuan yang besar untuk
menganalisis situasi pasar, melakukan grading, penyimpanan dan sebagainya, maka
mereka tidak mengalami kesulitan dalam hal penjualannya. Mereka dapat menguasai
atau mengendalikan produksinya sewaktu-waktu, jika permintaan menurun.
Perusahaan-perusahaan industri dengan mudah dapat diorganisir atau mengorganisir
dirinya. 
2. Produksi bersifat musiman. Karena bersifat musiman, maka hasil produksi akan
diperoleh pada waktu-waktu tertentu, sesuai dengan umur tanaman yang
bersangkutan. Kita tidak bisa memaksakan tanaman padi berbuah pada umur satu
bulan, karena kebetulan pada saat itu persediaan beras telah habis atau harga beras
terlalu tinggi karena terlalu banyak permintaan. Sifat produksi yang demikian inilah
sering menimbulkan kesulitan dalam proses pengimbangan. Begitu pula di saat-saat
panen sering dijumpai beberapa kesulitan dalam hal penyimpanan dan pengangkutan.
Pada saat ini biaya-biaya penyimpanan dan pengangkutan biasanya meningkat.
Pedagang-pedagang pengumpul harus menyediakan modal yang cukup besar untuk
membeli hasil-hasil pertanian itu, untuk menyewa gudang dan ongkos transpor.
3.  Produksi terpencar. Tempat produksi pertanian tidak terpusat, tetapi letaknya
terpencar. Hal ini disebabkan petani itu selalu mencari tempat yang keadaan tanah dan
iklimnya cocok untuk tanamannya, tanpa memperhitungkan apakah dekat atau jauh
dari kota atau pasar. Petani tidak dapat dipaksakan melakukan produksi di tempat
yang tandus atau bergunung-gunung, meskipun secara ekonomis mudah dijangkau
oleh para pedagang pengumpul atau konsumen. Karena keterpencaran ini maka dapat
dibayangkan kesulitan dalam proses pengumpulan agar menjadi suatu jumlah yang
besar.
4.  Produk hasil-hasil pertanian bersifat berat (bulky), mengambil banyak tempat
(volumnious) dan cepat atau musah rusak (perishable). Kebanyakan hasil-hasil
pertanian timbangannya adalah berat dan memerlukan banyak tempat. Hal ini berarti
nilai per satuan berat dan per satuan volume adalah lebih kecil dibandingkan nilai
barang-barang industri. Sebungkus rokok yang beratnya beberapa gram nilainya
dalam Rupiah kira- kira sama dengan 1-2 kg singkong. Jelas dalam hal ini bahwa
akan terjadi perbedaan dalam hal pengangkutan dan penyimpanan. Dapat
dibayangkan betapa besar perbedaan nilai jika kita mengangkut 1 ton singkong dan 1
ton rokok pada tarif dan jarak yang sama. Selain itu sifat hasil pertanian juga mudah
rusak atau busuk, sehingga diperlukan perawatan dan penyimpanan yang baik dan
pengangkutan yang cepat ke tempat konsumen.

Anda mungkin juga menyukai