Bijah Subijanto*
Pendahuluan
Dengan premis seperti itulah, maka pemerintah orde baru merasakan perlu untuk
meng-engineer partai politik agar menjurus ke dalam bentuknya yang lebih sederhana.
Menurut jalan pemikirannya, tujuan yang ingin dicapai adalah menciptakan kondisi
yang kondusif bagi makin berperannya partai politik di satu segi dan makin mudahnya
pengendalian konflik dikala mencapai tingkatan yang dianggap membahayakan
persatuan dan mengganggu jalannya pembangunan nasional pada segi yang lain. Dan
oleh karena itulah, maka kemudian berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1975,
partai politik yang semula jumlahnya cukup banyak direduksi menjadi tiga kekuatan
politik saja, yaitu menjadi dua partai politik dan satu golongan karya (Golkar).
*
Dr. Ir. Bijah Subijanto, MSIE adalah Kepala Biro Politik, Pertahanan Keamanan, dan Hak Asasi
Manusia, Bappenas dan dosen tetap serta Kepala Departemen Teknik Industri, Fakultas Teknik,
Universitas Pancasila, Jakarta-red.
Untuk melihat seberapa jauh peran partai politik sebagai wadah penyalur
aspirasi politik rakyat, sekali lagi harus dilihat dalam konteks prospektif sejarah
perkembangan bangsa Indonesia itu sendiri. Pada awal kemerdekaan, partai politik
belum berperan secara optimal sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi politik
rakyat. Hal ini terlihat dari timbulnya berbagai gejolak dan ketidak puasan di
sekelompok masyarakat yang merasa aspirasinya tidak terwadahi dalam bentuk
gerakan-gerakan separatis seperti proklamasi Negara Islam oleh Kartosuwiryo tahun
1949, terbentuknya negara negara boneka yang bernuansa kedaerahan.2 Negara-negara
boneka ini sengaja diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah persatuan dan
kesatuan. Namun kenapa hal itu terjadi dan ditangkap oleh sebagian rakyat pada waktu
itu? Jawabannya adalah bahwa aspirasi rakyat berbelok arah mengikuti aspirasi
penjajah, karena tersumbatnya saluran aspirasi yang disebabkan kapasitas sistem politik
2
Negara-negara boneka itu sesungguhnya hanya merupakan rekayasa politik “devide at impera”
kolonialis Belanda yang sebenarnya bukan aspirasi politik rakyat.
Pada fase berikutnya dalam sejarah perjalanan bangsa yaitu masa Orde Lama,
peran partai politik sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat juga belum terlaksana
sesuai dengan yang diharapkan. Partai politik cenderung terperangkap oleh kepentingan
partai dan/ atau kelompoknya masing-masing dan bukan kepentingan rakyat secara
keseluruhan. Sebagai akibat daripadanya adalah terjadinya ketidak stabilan sistem
kehidupan politik dan kemasyarakatan yang ditandai dengan berganti-gantinya kabinet,
partai politik tidak berfungsi dan politik dijadikan panglima, aspirasi rakyat tidak
tersalurkan akibatnya kebijaksanaan politik yang dikeluarkan saat itu lebih bernuansa
kepentingan politik dari pada kepentingan ekonomi, rasa keadilan terusik dan ketidak
puasan semakin mengental, demokrasi hanya dijadikan jargon politik, tapi tidak disertai
dengan upaya memberdayakan pendidikan politik rakyat.
Budaya politik merupakan produk dari proses pendidikan atau sosialisasi politik
dalam sebuah masyarakat. Dengan sosialisasi politik, individu dalam negara akan
menerima norma, sistem keyakinan, dan nilai-nilai dari generasi sebelumnya, yang
dilakukan melalui berbagai tahap, dan dilakukan oleh bermacam-macam agens, seperti
keluarga, saudara, teman bermain, sekolah (mulai dari taman kanak-kanak sampai
perguruan tinggi), lingkungan pekerjaan, dan tentu saja media massa, seperti radio, TV,
surat kabar, majalah, dan juga internet. Proses sosialisasi atau pendidikan politik
Indonesia tidak memberikan ruang yang cukup untuk memunculkan masyarakat madani
(civil society). Yaitu suatu masyarakat yang mandiri, yang mampu mengisi ruang publik
sehingga mampu membatasi kekuasaan negara yang berlebihan. Masyarakat madani
merupakan gambaran tingkat partisipasi politik pada takaran yang maksimal. Dalam
kaitan ini, sedikitnya ada tiga alasan utama mengapa pendidikan politik dan sosialisasi
politik di Indonesia tidak memberi peluang yang cukup untuk meningkatkan partisipasi
politik masyarakat.4
Pertama, dalam masyarakat kita anak-anak tidak dididik untuk menjadi insan
mandiri. Anak-anak bahkan mengalami alienasi dalam politik keluarga. Sejumlah
keputusan penting dalam keluarga, termasuk keputusan tentang nasib si anak,
merupakan domain orang dewasa. Anak-anak tidak dilibatkan sama sekali. Keputusan
anak untuk memasuki sekolah, atau universitas banyak ditentukan oleh orang tua atau
orang dewasa dalam keluarga. Demikian juga keputusan tentang siapa yang menjadi
pilihan jodoh si anak. Akibatnya anak akan tetap bergantung kepada orang tua. Tidak
hanya setelah selesai pendidikan, bahkan setelah memasuki dunia kerja. Hal ini berbeda
sekali di barat. Di sana anak diajarkan untuk mandiri dan terlibat dalam diskusi keluarga
menyangkut hal-hal tertentu. Di sana, semakin bertambah umur anak, akan semakin
sedikit bergantung kepada orang tuanya. Sementara itu di Indonesia sering tidak ada
hubungan antara bertambah umur anak dengan tingkat ketergantungan kepada orang
tua, kecuali anak sudah menjadi “orang” seperti kedua orang tuanya.
Ketiga, setiap individu yang berhubungan secara langsung dengan negara tidak
mempunyai alternatif lain kecuali mengikuti kehendak negara, termasuk dalam hal
pendidikan politik. Jika kita amati, pendidikan politik di Indonesia lebih merupakan
sebuah proses penanaman nilai-nilai dan keyakinan yang diyakini oleh penguasa negara.
Hal itu terlihat dengan jelas, bahwa setiap individu wajib mengikuti pendidikan politik
melalui program-program yang diciptakan pemerintah. Setiap warga negara secara
individual sejak usia dini sudah dicekoki keyakinan yang sebenarnya adalah keyakinan
kalangan penguasa. Yaitu mereka harus mengikuti sejak memasuki SLTP, kemudian
ketika memasuki SMU, memulai kuliah di PT, memasuki dunia kerja, dan lain
sebagainya. Proses pendidikan politik melalui media massa, barangkali, sedikit lebih
terbuka dan individu-individu dapat lebih leluasa untuk menentukan pilihannya
menyangkut informasi yang mana yang dapat dipertanggung-jawabkan kebenaran dan
ketepatannya.
Rekrutmen politik yang adil, transparan, dan demokratis pada dasarnya adalah
untuk memilih orang-orang yang berkualitas dan mampu memperjuangkan nasib rakyat
banyak untuk mensejahterakan dan menjamin kenyamanan dan keamanan hidup bagi
setiap warga negara. Kesalahan dalam pemilihan kader yang duduk dalam jabatan
strategis bisa menjauhkan arah perjuangan dari cita-rasa kemakmuran, kesejahteraan,
dan keadilan bagi masyarakat luas. Oleh karena itulah tidaklah berlebihan bilamana
dikatakan bahwa rekrutmen politik mengandung implikasi pada pembentukan cara
berpikir, bertindak dan berperilaku setiap warga negara yang taat, patuh terhadap hak
dan kewajiban, namun penuh dengan suasana demokrasi dan keterbukaan bertanggung
jawab terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Namun bila dikaji secara sekilas sampai dengan saat inipun proses rekrutmen
politik belum berjalan secara terbuka, transparan, dan demokratis yang berakibat
pemilihan kader menjadi tidak obyektif. Proses penyiapan kader juga terkesan tidak
sistematik dan tidak berkesinambungan. Partai politik dalam melakukan pembinaan
terhadap kadernya lebih inten hanya pada saat menjelang adanya event-event politik;
Pada era reformasi seperti sekarang, sesungguhnya peran partai politik masih
sangat terbatas pada penempatan kader-kader politik pada jabatan-jabatan politik
tertentu. Itupun, masih belum mencerminkan kesungguhannya dalam merekrut kader
politik yang berkualitas, berdedikasi, dan memiliki loyalitas serta komitmen yang tinggi
bagi perjuangan menegakkan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan bagi rakyat
banyak. Banyak terjadi fenomena yang cukup ganjil, dimana anggota DPRD di
beberapa daerah tidak menjagokan kadernya, tetapi justru memilih kader lain yang
belum dikenal dan belum tahu kualitas profesionalismenya, kualitas pribadinya, serta
komitmennya terhadap nasib rakyat yang diwakilinya. Proses untuk memenangkan
seoramg calon pejabat politik tidak berdasarkan pada kepentingan rakyat banyak dan
bahkan juga tidak berdasarkan kepentingan partai, tetapi masih lebih diwarnai dengan
motivasi untuk kepentingan yang lebih bersifat pribadi atau kelompok. Meskipun tidak
semua daerah mengalami hal semacam ini, namun fenomena buruk yang terjadi di era
reformasi sangat memprihatinkan, Dalam kondisi seperti itu, tentu saja pembinaan,
penyiapan, dan seleksi kader-kader politik sangat boleh jadi tidak berjalan secara
memadai.
Konflik merupakan suatu tingkah laku yang tidak selalu sama atau identik
dengan emosi-emosi tertentu yang sering dihubungkan dan/ atau dikaitkan dengannya,
seperti rasa kebencian atau permusuhan. Konflik dapat terjadi pada lingkungan yang
paling kecil yaitu individu, sampai kepada lingkungan yang luas yaitu masyarakat. Pada
taraf masyarakat, konflik bersumber pada perbedaan diantara nilai-nilai dan norma-
norma kelompok dengan nilai-nilai dan norma-norma di mana kelompok tersebut
berada. Demikian pula konflik dan bersumber dari perbedaan-perbedaan dalam tujuan,
nilai dan norma, serta minat yang disebabkan karena adanya perbedaan pengalaman
hidup dan sumber-sumber sosial ekonomis di dalam suatu kebudayaan tertentu dengan
yang ada dalam kebudayaan-kebudayaan lain.
Dalam menjalankan peran sebagai pengatur konflik ini, partai-partai politik harus
benar-benar mengakar dihati rakyat banyak, peka terhadap bisikan hati nurani
masyarakat serta peka terhadap tuntutan kebutuhan rakyat. Dengan munculnya partai-
Perjalanan suatu negara bangsa, dimanapun di dunia ini, akan selalu dipengaruhi
oleh berbagai faktor yang bersifat sangat strategis, baik faktor-faktor pada tataran
global, regional, maupun nasional. Berbagai perubahan dan pergeseran yang terjadi,
tentunya membutuhkan langkah-langkah penyesuaian dari negara bangsa tersebut agar
dapat tetap mempertahankan eksistensi atau kelangsungan hidupnya untuk dapat
mencapai tujuan nasionalnya. Langkah-langkah penyesuaian yang dimaksud harus
melibatkan berbagai kekuatan yang ada dalam suatu negara, baik pada lapisan
suprastruktur politik, infrastuktur politik, maupun pada lapisan sub struktur politik.
Dengan demikian, maka berbagai kekuatan tersebut secara sinergis akan mampu
merumuskan dan melaksanakan strategi yang tepat melalui suatu proses dan mekanisme
politik yang demokratis sehingga akan dihormati, dipatuhi, dan dilaksanakan dengan
kesadaran yang mendalam bagi semua rakyat dan masyarakat pada umumnya.
Pada era transparasi dan globalisasi terjadi perubahan yang sangat mendasar
dibandingkan dengan pada era-era sebelumnya. Bila pada era sebelumnya pengaruh
faktor-faktor pada tataran global relatif kecil dibandingkan dengan pengaruh faktor-
faktor yang berkembang pada tataran regional maupun nasional, maka pada era
sekarang ini tidak mustahil justru faktor-faktor perkembangan pada tataran global jauh
lebih menyentuh langsung terhadap kepentingan dan kebutuhan akan perubahan
dibandingkan dengan faktor-faktor yang berkembang di lingkungan regional dan
bahkan nasional sekalipun. Banyak masalah nasional sangat sulit diselesaikan hanya
dengan mempertimbangkan faktor-faktor dominan yang berada pada tataran nasional.
Kesulitan keluar dari kemelut ekonomi dan hak asasi manusia merupakan salah
satu contoh yang dengan gambalng dapat membuktikan mengenai fenomena baru ini.
Betapa pembenahan pada tataran nasional tidak membuahkan perubahan yang berarti ke
arah yang positif, karena sangat tergantung pada dominasi faktor-faktor global dan
regional yang menjadi prasarat untuk diselesaikan terlebih dahulu. Bukan menjadi
rahasia umum bahwa pembangunan nasional kita masih sangat bertumpu pada bantuan
luar negeri. Hutang pemerintah maupun hutang swasta yang cukup besar merupakan
a. Partai politik merupakan sarana yang sangat efektif dan bersifat legal dalam
mewujudkan kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran dalam
mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Untuk membangun kembali struktur partai politik, maka telah diatur dalam UU No.
2 Tahun 1999 tentang Partai Politik dan UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu.
Semenjak diberlakukannya UU No. 2 Tahun 1999, partai politik tidak dibatasi
jumlahnya sesuai opini yang berkembang dalam masyarakat Indonesia menganut
sistem multi partai, asas atau ciri partai tidak lagi Pancasila, asalkan tidak
bertentangan dengan Pancasila. Namun, restrukturisasi partai politik harus terus
digulirkan agar orientasi kedaerahan, agama, ras, dan golongan makin lama makin
mencair dan mengkristal menjadi orientasi kebangsaan dalam bingkai persatuan dan
kesatuan.
b. Partai politik selama ini mudah di intervensi oleh kekuasaan untuk kepentingan
pemerintah dan/ atau politik tertentu. Rekayasa-rekayasa politik, kontrol yang ketat
terhadap partai politik dan politik adu domba oleh pemerintah maupun kelompok
politik harus dihentikan. Partai politik diupayakan bebas dari intervensi
pemerintahan atau kekuatan politik tertentu dan harus lebih mandiri terlepas dari
pengaruh.
c. Dalam kaitan ini, barangkali akan sangat mendukung perkembangan partai politik
ke arah yang lebih otonom, manakala untuk kepentingan operasionalnya didukung
dengan alokasi anggaran melalui APBN, agar kegiatan partai politik dapat berjalan
secara fokus dan efektif dan dihindari bantuan dari pihak pemerintah atau golongan
tertentu untuk kepentingan partai politik tertentu.
d. Semua partai politik pada dasarnya merupakan aset negara, bangsa dan masyarakat
sehingga mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat. Oleh karena itu, segala
produk hukum dan peraturan perundangan yang mengangkat partai politik, harus
diwarnai dan dijiwai dengan semangat menciptakan kondisi yang kondusif bagi
persaingan yang sehat diantara partai politik. Dengan demikian, hanya partai politik
yang berkualitas, kapabel, dan kredibel dihadapan mata rakyatlah yang akan tumbuh
dan berkembang sebagai kekuatan politik yang dominan. Sementara partai politik
yang tidak kapabel dan tidak kredibel dalam memperjuangkan kepentingan rakyat
Dalam kaitan ini banyak masalah yang dihadapi namun yang cukup
memprihatinkan adalah organisasi partai politik yang ada saat ini di dalam
pengelolaannya masih menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan seperti: (1)
Motivasi anggota pengurus partai politik masih berorientasi kepada kepentingan pribadi,
sedangkan perjuangan partai dan kepentingan pengikutnya sangat rendah; (2) Kualitas
pengurus partai politik relatif rendah sehingga mudah ditunggangi oleh kepentingan
kelompok tertentu; (3) Pemerintah masih banyak turut campur baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam penyelesaian perpecahan yang terjadi dan dalam
menentukan kader/calon pemimpin partai politik (pemimpin karbitan); (4) Kekuatan
partai politik belum mewujudkan kemandirian yang kuat dan belum mempunyai
program yang jelas, realistis dalam mensejahterakan rakyat; dan (5) Masih
ditemukannya kecemburuan diantara kekuatan partai politik, karena ketidak seimbangan
sarana dan peluang untuk mendukung keberhasilan organisasi.
a. Perlu dilakukan seleksi yang ketat dan transparan untuk memilih kepengurusan
organisasi serta diakui oleh seluruh anggota, bukan karena rekayasa.
d. Pemerintah dan negara perlu dan harus berlaku secara adil dan seimbang dalam
mendukung keberhasilan organisasi.
e. Kemampuan, dedikasi serta loyalitas yang tinggi dalam diri setiap pemimpin
organisasi, serta didukung moral dan etika setiap anggota, akan menghindari
terjadinya kemelut di dalam organisasi.
f. Agar setiap keputusan yang diambil oleh pemimpin organisasi dapat diterima
anggotanya, maka ketauladanan seorang pemimpin merupakan motor penggerak
didalam pencapaian tujuan organisasi, dalam arti pola pikir, sikap, dan pola tindak
harus dapat menjadi cermin untuk seluruh anggotanya.
2. Kesimpulan
a. Di samping keberhasilan yang telah dicapai pada masa lalu, harus diakui pula
masih banyak pekerjaan rumah yang belum sempat terselesaikan terutama
tercermin pada belum optimalnya peran partai politik dalam peningkatan partisipasi
politik masyarakat khususnya peran sebagai wadah penyalur aspirasi politik, sarana
sosialisasi politik, sarana rekrutmen, dan sarana pengatur konflik.
3. Rekomendasi
Bila mencermati materi yang telah diuraikan pada bagian kesimpulan, kiranya
perlu disampaikan beberapa butir perihal sebagai rekomendasi untuk penguatan peran
partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat; antara lain adalah :
a. Keberhasilan yang telah dicapai sebagai hasil-hasil positif sangat sayang bila
dinafikan begitu saja, seyogyanya didayagunakan rekomendasi awal dalam
penguatan peran partai politik untuk peningkatan partisipasi politik masyarakat.
Sebaliknya hal-hal yang bersifat negatif juga tidak perlu ditutup-tutupi tetati justru
dijadikan pelajaran yang berharga untuk tidak terulangi di masa mendatang,
sedangkan hal-hal yang belum terselesaikan harus menjadi agenda penting dalam
penguatan peran partai politik tersebut.
b. Dalam rangka penguatan peran partai politik untuk peningkatan partisipasi politik
masyarakat, harus didahului atau terlebih dahulu harus diberdayakan partai politik
itu sendiri dalam kancah percaturan politik nasional dengan menempatkannya pada
posisi yang kuat dan memiliki daya tawar yang cukup memadai. Caranya adalah
dengan restrukturisasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi partai politik baik yang
menyangkut struktur, mekanisme, budayanya, serta kapasitasnya dalam melakukan
fungsinya sebagai saluran komunikasi politik.
c. Bila partai politik sudah dalam keadaan yang berdaya, maka penajaman salah satu
dari keempat perannya hanya bersifat kontesktual untuk menghadapi situasi dan
kondisi yang mendesak dan vital. Dalam jangka panjang keempat peran itu harus
diporsikan pada skala intensitas yang relatif seimbang dan serasi, agar masing-
masing dapat saling memperkuat dan memperluas kapasitasnya.
d. Penyelenggaraan Pemilu yang relatif lebih baik dari masa lalu harus disadari
sebagai keberhasilan semua pihak terutama Partai Politik, dan tidak boleh didistorsi
menjadi hal-hal yang bersifat kepentingan sempit dan sesaat. Dalam kaitan ini
semua pihak wajib ikut berpartisipasi untuk makin mendewasakan perilaku politik
semua pelaku, terutama di kalangan elit politik
Alfian, Komunikasi Politik Dan Sistem Politik Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1991.
Gaffar, Afan, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar Indonesia,
Cetakan I, Mei, 1999.
Mardjono, H., Hartono, S.H., Reformasi Politik Suatu Keharusan, Gema Insani Press,
Jakarta, 1998.
Masnad, Dhurorudin, Reformasi Sistem Pemilu Dan Peran Sospol Abri, Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1998.
Tim Peneliti Sistem Pemilu, Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia dan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998.