BAB 5 KEb Publik
BAB 5 KEb Publik
BAB V.
PENDIDIKAN
Wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW adalah perintah
membaca,
Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling
Pemurah, Yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam
(dengan budaya baca-tulis). Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.
Ayat yang pertama turun di atas memberi petunjuk bahwa Islam disiapkan
sebagai petunjuk umat manusia dengan budaya ilmu pengetahuan, tidak lain adalah
budaya baca tulis. Ayat pertama turun di atas juga langsung menyentak kepada
penciptaan dengan nuansa logis. Ilmu mesti senantiasa berkembang dengan penemuan-
penemuan di segala bidang yaitu mengungkap misteri yang pada tahap sebelumnya
belum diketahui manusia.
Dengan semangat seperti tersebut di atas wahyu Allah s.w.t. kepada Nabi
Muhammad selalu dicatat sejak awal. Mengatasi kelemahan agama sebelumnya yang
diajarkan melalui budaya tutur, otentisitas Al Qur’an dipersiapkan sejak awal melalui
budaya tulis. Di samping itu para sahabat juga melakukan hafalan sebagai pendamping,
sehingga pada waktu penulisan Al Qur’an dibakukan pada periode khalifah Usman
persoalan otentisitas Al Qur’an dapat dipertahankan. Di samping Al Qur’an yang
80
memberi petunjuk umum, Nabi saw memberikan detail. Detail yang berupa perilaku dan
perkataan Nabi saw memberi kekayaan etik dan menjadi rincian aturan hukum. Untuk
menjaga otentisitas, beberapa sahabat yang terjamin dapat membedakannya dari Al
Qur’an diijinkan mencatat.
Selanjutnya para ulama awal memulai mengkodifikasi hadis dengan metode
bahwa suatu hadis dibawa oleh urutan penutur yang diteliti sebagai orang terpercaya.
Pengumpulan hadis dirintis oleh Muhammad bin Ishaq (wafat 767). Imam Malik (w.795)
menulis al-Muwatta yang merupakan kompedium dari kebiasaan Nabi saw dan
komunitas di sekitarnya. Metode penelitian hadis diperbaiki oleh Imam Syafi’i (w.820)
dengan menggunakan penelitian isnad (mata rantai) untuk menjamin kesahihan berita
yang dibawanya. Hadis menjadi gugur jika terbukti salah satu mata rantai adalah muslim
yang buruk. Metode Syafi’i mengarahkan lahirnya dua antologi terpenting yang
dibukukan oleh Bukhari (w.870) dan Muslim (w.878). Dengan metode penulisan hadist
tersebut, pengambilan hukum yang bersumber dari Al Qur’an dan hadis dimungkinkan.
Al Qur’an membawakan prinsip prinsip besar tentang tujuan penciptaan, arah, dasar
keadilan dan sebaginya, sedangkan hadis memberikan detail dan variasi situasi yang
sesuai dengan arah al Qur’an.
Sampai abad 9 para ilmuwan muslim utama dipersiapkan untuk menyelesaikan
dasar agama Islam untuk menjawab kebutuhan hukum publik di mana wilayah Islam
sudah membentang luas dan meliputi berbagai bangsa dan agama. Abad berikutnya tugas
ilmuwan muslim mulai mengembangan dan melestarikan ilmu pengetahuan yang diwarisi
dari khasanah dunia pada waktu itu. Dengan budaya tulis-baca dan dorongan al Qur’an
bahwa Allah mengajarkan pengetahuan yang semula belum diraih, maka dasar
pengembangan ilmu pengetahuan terpenuhi.
Tokoh tokoh ilmuwan muslim tingkat dunia sampai abad pertengahan bertebaran
di berbagai negara muslim dan di berbagai jaman, sebagian dari mereka didaftar sebagai
berikut. Bidang filsafat-matematika, Al-Kindi (809-870), Khawarizmi, (w.847), Al
Battani (Al Farabi, (w.950). Bidang filsafat, kedokteran, kimia klinik Al-Razi (865-925),
Ibnu Sina (980-1037). Bidang fisika, Ibnu Al-Haitam (L.965). Bidang filsafat dan
hukum islam Ibnu Rusydi, 1126-1198. Bidang tasawuf-filsafat, psikologi, Al-Ghazali
(w.1111), Mulla Sadra, (w.1640). Bidang syariah – kenegaraan, Ibn Taimiyah (1263-
1328) dan bidang sosiologi-sejarah, Ibn Khaldun, (1332-1406).
Sampai abad pertengahan ilmuwan muslim menguasai perkembngn dunia ilmu
pengetahuan. Kekalahan Barat atas empirum Islam Ottoman, menyadarkan Barat akan
kekurangannya. Memasukki abad 17 ilmu pengetahuan Barat mulai bangkit dan dunia
Islam mulai mundur. Sejak saat itu ilmu pengetahun di Barat berkembang pesat,
penemuan mesin-mesin otomatis dan senjata api melahirkan babak baru. Barat
selanjutnya memerlukan kolonisasi dunia islam yang tentu saja bertujuan menundukkan,
di samping untuk memperolah sumber bahan baku, energi, dan sekaligus pasar untuk
menukar barang industri yang mulai berlebih.
Memasuki abad 20 negera-negara muslim memperoleh kemerdekaan, namun pola
pembangunan negaranya ternyata menyebabkan mereka terjerat dalam hutang yang
menyebabkan terus tereksploitasinya sumber alam mereka ke negara maju yang semula
menjajahnya. Di samping ketergantungan pembiayaan, negara muslim juga mengalami
ketergantungan teknologi dan politik yang lain.
81
Kemunduruan politik diikuti kemunduran pendidikan dan ilmu pengetahuan di
dunia muslim. Namun, masih tercatat beberapa ilmuwan pada abad 20 antara lain Abdus
Salam (L.1929) lahir di Pakistan yang kemudian bekerja di Inggris, mendapat hadiah
nobel dalam bidang Fisika pada 1979. Di samping Abdus Salam, masih tercatat Abul
A’la Al Maududi dalam bidang pilitik, dan dewasa ini M. Umar Capra mantan menteri
Saudi yang kemudian bekerja di Islamic Research and Training Institute Islamic
Development Bank dalam bidang Ekonomi. BJ Habibi dengan eksperimennya
memajukan industri pesawat di Indonesia juga termasuk cendekiawan besar di dunia
Islam abad ini.
Secara umum, negeri muslim dewasa ini adalah kawasan tertinggal sebagaimana
ranking HDI yang mendominasi urutan terbawah HDI. HDI merupakan indeks yang
memadukan antara kesempatan pendidikan, kesehatan, dan kemampuan ekonomi.
82
mereka yang berkarier di lembaga politik atau pemerintahan yang memiliki kewenangan
membelanjakan uang publik. Pembelanjaan uang publik juga sangat sedikit yang
menunjang peningkatan ilmu pengetahuan.
Visi pemerintah seharusnya menempatkan pendidikan sebagai layanan yang
utama. Pendidikan termasuk didalamnya pendidikan agama, dalam msyarakat modern
merupakan layanan langsung yang dapat dinikmati rakyat, di samping layanan kesehatan,
dan kesejahteraan. Namun, pemerintah di berbagai level justru masih menempatkan
adanya pemerintah itu sendiri yang utama (self orientation). Visi feodalistik seperti ini
masih sangat kuat dan pemerintahan egaliter belum terbentuk di berbagai negara muslim.
Hal-hal ini satu sama lain mendorong pencapaian pendidikan, ilmu, dan teknologi yang
rendah.
Visi pemerintah dalam melihat pentingnya pendidikan terlihat dari persentase
anggaran pendidikan dari total anggaran yang dimiliki. Tabel 5.1. memberi gambaran
perbandingan antarnegara muslim dan bebrapa negara pembanidng.
Tabel 5.1. Pengeluaran untuk pendidikan, kualifikasi pengajar, dan rasio siswa
pengajar, 2002/2003
83
Mauritania .. .. .. .. .. 41
Morocco 18.9 48.3 94.6 26.4 .. 28
Mozambique .. .. .. .. 59.6 67
Niger 15.5 52.8 304.5 .. 71.7 42
Nigeria .. .. .. .. .. 42
Oman 17.7 18.4 50.2 .. 99.8 21
Pakistan .. .. .. 7.8 .. 40
Saudi Arabia 32.6 31.4 .. .. 93.3 12
Senegal .. .. .. .. 100.0 49
Sierra Leone 16.8 8.2 615.2 .. 78.9 37
Sudan .. .. .. .. .. 29
Syrian Arab 13.8 24.2 .. .. 88.0 24
Republic
Tajikistan 6.8 8.7 21.5 17.8 82.0 22
Kurang menguntungkan bahwa negara muslim yang besar seperti Indonesia dan
Pakistan, terlihat memiliki persentase anggaran pendidikan yang rendah di bawah 10
persen. Hal tersebut mencerminkan visi pemerintahan yang kurang tepat bagi kemajuan
bansga. Di Indonesia sudah diundangkan alokasi dana pendidikan sampai 20 persen, akan
tetapi, hutang pemerintah yang besar dan kebutuhan departemen-departemen lain yang
84
sulit diselaraskan menyebabkan hasil persentase pengeluaran negara untuk pendidikan
yang rendah. Kesulitan mengalokasikan anggaran ke sektor pendidikan di Indonesia,
diduga kuat adanya usaha memperoleh penghasilan tambahan bahkan korupsi dari
proyek-proyek negara yang direalisir di berbagai departemen. Tidak ada visi yang dapat
menyatukan keinginan antardepartemen tersebut. Bahkan beredar rumor banyak
departemen dan pemerintah daerah berburu anggaran ke Jakarta dengan jalan mendekati
bagian pengalokasian di departemen keuangan dan bermain juga dengan Dewan
Perwakilan Rakyat. Hal seperti ini menyulitkan dalam menyatukan visi bagian-bagian di
di dalam pemerintah sendiri untuk menjadikan pendidikan sebagai layanan utama
pemerintah.
Negara maju, khususnya AS, memiliki anggaran pemerintah total yang sangat
besar, sekitar 30 triliun dolar atau 27 000 triliun rupiah, dan persentase anggaran
pendidikannya juga sangat tinggi (17,1 persen dari total pengeluaran pemerintah) atau
sekitar 4500 triliun rupiah. Sementara di Indonesia dari anggaran pemerintah 370 triliun
rupiah (pada th 2003) hanya dialokasikan kurang 10 persen atau sekitar 30 triliun. Uang
yang berada di tangan masyarakatpun yang dialokasikan untuk pendidikan di Indonesia
relatif randah, sebesar 4 persen, 7 persen, dan 21 persen berturut turut untuk membiayi
SD, Sekolah Menengah, dan Pendidikan Tinggi, sementara di AS dialokasikan 21
persen, 24,5 persen, dan 32 persen masing masing untuk Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah, dan Pendidikan Tinggi. Perbedaan visi mengenai pendidikan antara kedua
bangsa, akan menyebabkan jarak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
semakin melebar. Akibatnya aplikasi teknologi dalam aneka produk yang dipertukarkan
antara kedua bangsa juga timpang yang akhirnya mendorong hubungan internasional
dalam pengertian luas yang tidak simetri. Di AS, dengan sistem federasi, anggaran
pendidikan di pemerintahan lokal rata-rata 40 persen pengeluaran, di pemerintah negara
bagian rata-rata 33 persen, dan di pemerintah pusat sekitar 7 persen (Fisher, 1996),
secara keseluruhan rata-rata nasional 17,1 persen.
85
(BLT) berasal dari dana pengurangan subsidi BBM. Dana ini terlihat tidak permanen dan
sewaktu-waktu dapat dihentikan yang akan berakibat sangat menyulitkan perguruan
swasta.
Sistem pembiayaan pendidikan di Indonesia menunjukkan gejala yang aneh.
Sekolah-sekolah dan universitas negeri yang memperoleh subsidi pembiayaan dari
negara, umumnya masih memungut biaya pendidikan justru sering lebih tinggi dari
pendidikan swasta, khususnya pendidikan Islam. Banyak pendidikan milik muslim,
khususnya di bawah persyarikatan Muhammadiyah bekerja seperti layanan publik, dalam
arti yayasan tidak berusaha memperoleh laba dan mengembalikan semua perolehan dana
untuk kepentingan pendidikan. Pendidikan Muhammadiyah dan juga lainnya yang sejenis
bisa meningkatkan tingkat enrollment pendidikan sangat signifikan. Namun, perhatian
pemerintah terhadap lembaga pendidikan seperti ini sangat kurang. Banyak di antaranya
hanya memberi gaji pengajar yang sangat rendah, dan fasilitas pendidikan yang sangat
kurang. Kendala kemampuan ekonomi masyarakat yang kurang menyebabkan sekolah
swasta milik yayasan muslim memungut biaya pendidikan relatif rendah, bahkan lebih
rendah dari pendidikan dan universitas negeri. Relatif tingginya kutipan dari pendidikan
negeri menyebabkan menurunnya akses masyarakat miskin.
Subsidi pembiayaan pendidikan yang hanya dikhususkan kepada institusi
pendidikan milik negara, menyebabkan perbedaan kualitas yang tidak seimbang, di mana
ranking tertinggi umumnya didominasi oleh pendidikan milik pemerintah. Kelompok
peneliti Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001) mengusulkan agar guru swasta memperoleh
pembiayaan negara. Penyelenggaraan pendidikan di lembaga swasta sebenarnya lebih
efisien, namun kebijakan pendidikan yang hanya terbatas kepada instansi pendidikan
milik negara potensi efisiensi tersebut tidak dapat terealisir. Sistem pembiayaan voucher,
atau block grant untuk mensubsidi guru swasta, diduga dapat merealisir potensi efisiensi
dan kemajuan berdasar kompetisi.
Sejak dilakukan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sesuai undang-undang
no 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999
tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, maka pendidikan dasar dan
menengah dikelola oleh pemerintah daerah. Peran pemerintah daerah dilaksanakan di
pemerintah propinsi lebih menonjol untuk guru SD dalam hal pengangkatan, penempatan,
dan mutasi, sedngkan jumlah guru yang diangkat ditentukan oleh pusat. Anggaran gaji
guru SD tersebut dianggarkan dalam APBN yang disalurkan melalui pemerintah popinsi.
Semua hak tersebut untuk guru sekolah menengah pertama dan menengah atas masih
dipegang oleh pemerintah pusat. Pembiayaan pendidikan di Indonesia secara umum
bersumber kepada pemerintah pusat. Pola yang sama juga terjadi di umumnya negara
muslim.
Di AS subsidi pendidikan diberikan per siswa ke pemerintah daerah. Subsidi
tersebut diberikan berdasar kebutuhan dasar dan mempertimbangkan biaya hidup di
daerah dan juga tarif serta pajak kekayaan di daerah. Pajak kekayaan di daerah
merupakan komponen sangat penting untuk mendanai pendidikan, jika pajak kekayaan
ini sangat tinggi dan mencukupi untuk subsidi dasar per siswa, maka grant dari
pemerintah di atasnya bisa menjadi nol (Fisher, 1996).
Di Inggris raya pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Sekolah-
sekolah swasta di bawah gereja juga tetap dibiayai negara, demikian juga sekolah islam.
Pedoman yang digunakan adalah kelayakan jumlah siswa yang memadai, maka
86
pemerintah bersedia untuk membiayai pengadaan guru dan biaya pendidikan secara
standar.
Untuk Indonesia yang mencanangkan anggaran pendidikan 20 persen, orientasi
institusi negerinya masih tetap mengganjal. Dasar subsidi pendidikan hendaknya berbasis
siswa atau mahasiswa. Yang dibiayai adalah orang yang belajar di manapun siswa
melakukan belajar tersebut baik di instansi negeri maupun swasta. Anggaran pendidikan
yang dirancang sampai 20 persen jika hanya dibatasi untuk institusi negeri justru akan
menimbulkan gap makin lebar. Yang perlu menjadi perhatian pemerintah di sekolah
swasta adalah insentif guru, yang merupakan faktor kunci dalam memajukan pendidikan.
Akan tetapi, penghasilan guru masih sangat rendah hanya sekitar setengah dari
kebutuhannya (Sutjipto, dkk. dalam Jalal dan Supriadi, 2001: 295). Pendapatan guru
kontrak dan lebih-lebih guru swasta jauh lebih rendah.
87
dan master dari pengajar/peneliti, gaji, pengeluaran universitas per pengajar, rasio
mahasisw-dosen, dan fasilitas univeristas yang diberikan kepada pengajar.
Research: dihitung dari banyaknya kutipan dalam jurnal akademik sebagaimana direcord
dalam index kutipan, banyaknya artikel di jurnal yang direview oleh peer, paper yang
dipresentasikan dalam konferensi internasional, jumlah buku yang dipublikasikan,
funding riset yang diperoleh, dan jumlah mahasiswa pasca sarjana.
Financial resources: Dihitung dari total pengeluaran per mahasiswa, pengeluaran
perpustakaan per mahasiswa, internet bandwidth, public komputer, dan connection
points. Untuk juruan teknik dan sains ditambah pengeluaran laboratorium.
Dari sisi kuantitas, kecuali untutk beberapa negara, pendidikan untuk tingkat
sekolah dasar di negara muslim sudah terlihat cukup merata. Memasuki sekolah lanjutan,
kecuali Libia, Iran, UAE, Saudi, Mesir, dan negara muslim ex Soviet, umumnya masih
memiliki masalah pemerataan pendidikan sampai tingkat lanjutan, di mana kesempatan
pendidikan sampai sekolah lanjutan atas masih kurang dari 70 persen. Tabel 5.4.
memperlihatkan tingkat enrollment tersebut.
Tabel 5.4. Enrolment Ratio in Primary dan Secondary Schools and University
(Percentages) 2001
88
Gabon 100.00 51.00 ...
Gambia 79.00 34.00 ...
Guinea 77.00 ... ...
Guinea- 70.00 18.00 ...
Bissau
Guyana ... ... ...
Indonesia 100.00 58.00 15.0
Iran 92.00 81.00 19.0
Iraq 98.40 32.30 10.2
Jordan 99.00 ... ...
Kazakhstan 99.00 62.20 39.0
Kuwait 71.20 ... ...
Kyrgyzstan 98.00 82.00 27.0
Lebanon 100.00 77.00 45.0
Libya 100.00 100.00 58.0
Malaysia ... ... ...
Maldives 22.50 16.70 21.0
Mali 57.00 ... 2.0
Mauritania 86.00 22.00 3.0
Morocco 100.00 24.90 10.0
Mozambique ... ... 1.0
Niger 40.00 6.00 1.0
Nigeria 96.00 ... ...
Oman 83.00 79.00 7.0
Pakistan 73.00 ... ...
Palestine 95.90 60.00 24.3
Qatar ... ... ...
Saudi Arabia 67.00 69.00 22.0
Senegal 75.00 19.00 ...
Sierra Leone 76.00 ... 2.0
Somalia ... ... ...
Sudan 59.00 32.00 ...
Suriname ... ... ...
Syria 100.00 45.00 ...
Tajikistan 77.70 ... 10.4
Togo 100.00 36.00 4.0
Tunisia 100.00 ... 23.0
Turkey 94.00 ... 25.0
Turkmenistan ... ... ...
U.A.E. 92.00 79.00 ...
Uganda 100.00 ... 3.0
Uzbekistan 100.00 99.00 ...
Yemen 81.00 46.00 ...
Sumber: www. World Bank. Online Data. diakses 28 Mei 2005.
89
Kesempatam mendaftar di perguruan tinggi juga relatif rendah, kecuali Libia dan
Libanon, semua negara muslim memiliki pendafar pendidikan tinggi di bawah 40 persen.
Beberapa negara memiliki pendafar sangat rendah seperti Niger, Chad, Moambique yang
memiliki pendaftar pendidikan tinggi sekitar 1 persen. Beberapa negara muslim di Afrika
umumnya juga memiliki angka enrolment yng rendah. Indonesia memiliki angka moderat
dengan tingkat enrolment ke perguruan tinggi sampai 15 persen.
Input pendidikan
Input sekolah disediakan Input dari keluarga Input pribadi
oleh publik
Guru Pengalaman dalam Kecerdasan
Buku dan perpustakaan keluarga Minat/usaha
Kampus Kultur (membaca dalam
Komputer/Lab keluarga)
Jam di kelas Lama belajar di rumah
Kurikulum Perpustakaan pribadi
Lingkungan
Model di atas dapat digunakan untuk mendaftar berbagai variabel dan menilainya
sebagai alat mengevalusi situasi pendidikan, sebagai contoh, untuk mengevaluasi
pendidikan tinggi kita. Perguruan Tinggi umumnya masih bermain pada input primer,
seperti memperbaiki jumlah dan pendidikan dosen, menambah komputer dan informasi
teknologi (ITC), buku, dan ruangan. Untuk aplikasi pergurun tinggi, beberapa
pembahasan berikut memberi gambaran kebutuhan pengelolaan pendidikan di negara
muslim,
90
A. Jumlah, persyaratan rekruitmen, dan pendidikan dosen merupakan faktor kunci atau
prasyarat kemajuan. Jumlah tenaga doktor harus ditingkatkan sampai sekitar 50
persen tenaga pengajar pada 10 tahun mendatang. Kebijakan tersebut harus disertai
dengan kebijakan penempatan. Dosen berkualitas karena income yang rendah sering
keluar kampus dan menyebabkan terhambatnya transfer pengetahuan ke mahasiswa. Jadi,
strategi mengikat dosen berkualitas melalui kebijakan remunerasi juga sangat penting.
Akses ke ITC masih merupakan input yang dapat diintesifkan karena tidak meratanya
masalah ini di masyarakat dan demikian juga di berbagai pendidikan tinggi. Perpustakaan
yang dirasa sulit dipenuhi adalah jurnal ilmiah baik yang printing maupun elektronik
karena biayanya tinggi. Gedung dan ruangan kelihatannya tidak lagi menjadi unggulan
saat ini.
B. Input pribadi berupa tingkat kecerdasan dan effort, dapat disaring melalui tes, hal ini
dapat terjadi jika biaya pendidikan di set tinggi, sehingga seorang kandidat mahasiswa
akan mempertimbangkan untuk lanjut ke univerisitas atau terminal pada jenjangnya. Di
Indonesia dewasa ini hanya perguruan tinggi negeri memiliki kesempatan melakukan tes.
Di perguruan tinggi swasta (PTS) yang berjumlah sangat besar menyebabkan over suplai
pendidikan dan akibatnya biaya pendidikan menjadi rendah, tanpa penyaringan, dan
kualitasnya menurun. Penambahan kapasitas di perguruan tinggi negeri (PTN)
dilakukan debgan sunk cost berupa penurunan (fuso)-nya PTS, menunjukkan cara
pandang yang pragmented dari penyelenggra negara. Sumber2 nasional akan lebih efisien
dengan mensubsidi Perguruan Tinggi Swasta yang ada, dan tentu saja yang bersifat semi
publik, serta kredibel daripada mendirikan atau mengekspan yang berakibat mematikan
investasi yang sudah ada.
C. Input keluarga berupa kultur membaca dan belajar dalam keluarga dan juga
perpustakaan pribadi merupakan hal yang masih memprihatinkan. Sistem belajar
semalam untuk menghadapi ujian yang konvensional merupakan fenomena umum
lemahnya imput keluarga. Sistem pesantren/asrama yang dibina dapat diintrodusir untuk
memperbaiki faktor ini.
Perbaikan berbagai input dasar di atas baru merupakan prasyarat. Keunggulan
yang sebenarnya terletak kepada kedalaman. Kedalaman ini merupakan proses proses
yang kompleks. Perbedaan pencapaian output dari input yang sama kuantitas dan
kualitasnya dilambangkan oleh huruf A di dalam model di atas yang dapat diinterpretasi
sebagai teknologi dan manajemen, nilai, spirit, budaya, dan sebagainya. Lambang A
adalah keunggulan tahap kedua, setelah keunggulan dengan ekstensifikasi input Xi, Yi,
dan Zi dilakukan.
Mengukur outcome. Tahap pertama dalam mengevaluasi kebijaksanaan
pendidikan adalah mengidentifikasi tujuannya dan mengukur outputnya. Ukuran dan
tujuan harus selaras, misalnya jika tujuannya pemerataan pendidikan ke daerah tertinggal
dan pedesaan, maka ukuran kuantitas siswa yang terjangkau sesuai untuk tujuan itu. Jika
tujuannya penguasaan materi ajar, maka skore ujian negara lebih sesuai digunakan.
Fungsi produksi umumnya digunakan khususnya untuk menganalisis perusahaan
yang beregerak dalam industri pengolahan. Ekonom membuat asumsi bahwa tujuan
perusahaan adalah untuk menghasilkan suatu produk yang menghasilkan laba tertinggi.
Output dapat dengan mudah diukur baik dengan jumlah phisik unit yang diproduksi atau
dengan nilai penjualan. Jika kaba masih meningkat maka jumlah produksi masih dapat
91
ditingkatkan sampai tercapai laba maksimum. Demikianlah produksi dalam perusahaan
diarahkan.
Untuk jasa pendidikan, tujuan pemerintah dalam menyediakan pendiddikan sulit
didefinisikan. Pengukuran output juga sulit dilaksanakan. Output dapat diukur antara lin
dengan:
a. Skore yang dicapaai atas suatu tes yang terstandar (ujian akhir nsional=UAN).
b. Jumlah siswa yang dapat mencapai pendidikan yang lebih tinggi
c. Pencapaian pekerjaan atau kepuasan siswa
d. Melalui ukuran kepuasan subjektif dengan melalui serangkaian daftar pertanyaan.
Cara lain yang lebih kuantitatif dalam menilai pencapaian pendidikaan dapat diukur
dengan:
a. jumlah siswa yang lulus tepat waktu.
b. Persentase yang dapat masuk perguruan tinggi
c. Jumlah lulusan,
d. Jumlah lulusan yang dapat bekerja pada rentang waktu tertentu
Banyak hal tidak dapat dijalankan dengan baik dalam menerapkan berbagai ukuran
di atas. Jumlah siswa yang lulus tepat waktu hanya bermakna jika masih terdapat disiplin
dan kejujuran antara pengajar dan siswa. Banyak sekolah dan universitas di Indonesia
memberikan lulusan 100 persen dengan kualitas yang sangat beragam. Jumlah lulusan
yang dapat bekerja dalam rentang waktu tertentu sangat sulit didekteksi karena tiadanya
pekerjaan formal yang tersedia dan banyak lulusan membuat pekerjaan mndiri, atau self
employment. Skore test merupakan ukuran yang mudah dan cepat untuk mengamati hasil
pendidikan. Tentu saja standar dan sistem penilaian absolut diperlukan supaya dapat
membandingkan kemajuan pendidikan dari waktu ke waktu.
Pencapaian pendidikan yang penting, di samping meningkatkanya kualitas
kepribadian, adalah kemampuannya memperoleh penghasilan yang lebih tinggi. Data
memang menunjukkan bahwa penghasialn yang lebih tinggi ada hubungannya dengan
pendidikan yang lebih tinggi. Khususnya pada industri pengolahan diperoleh estimasi
bahwa upah memiliki elastisitas 1,1 atas lama tempuh tahun pendidikan (Setiaji, 2002).
Pendidikan di samping menambah skill juga menambah status dan menjadi alat
mensekrining untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi yang paling mudah di
berbagai organisasi kerja. Dengan demikian, meningkatnya pendapatan atas pencapaiana
pendidikan tidak sepenuhnya karena meningkatnya skill dan produktifitas. Hal ini
kembali kepada kualitas hasil pendidikan itu sendiri.
92
pembiayaan ideal PTN sendiri memang tidak mencukupi hanya mengandalkan dari
pemerintah. Dengan demikian problem subsdi pendidikan di Indonesia adalah antara
mendorong kualitas di salah tempat atau mulai berpikir mengenai pemerataan.
PTS sebenarnya memiliki dasar dasar efisiensi, jika subsidi pendidikan diberikan
sama berdasar jumlah mahasiswa, efisiensi pendidikan dan kualitas umum akan
meningkat. Pendidikan dari sisi lain juga dapat dipandang sebagai industri. Subsidi yang
sangat timpang, diiringi kebebasan PTN memungut dari masyarakat tidak adil dilihat dari
kacamata persaingan sehat dalam sebuah industri. Dengan alokasi anggaran 9.5 persen
saja persaingan PTN-PTS sudah timpang dan dirasakan sebagai industri yang tidak fair,
apalagi jika anggaran nanti mencapai 20 persen. Potensi subsidi per mahasiswa akan
meningkat menjadi 12 juta dan untuk PTS akan menjadi 12 ribu saja, gap absolut akan
makin lebar.
Dilihat dari kacamata industri, atau aspek industri dari lembaga pendidikan,
persaingan yang ada sekarang tidak fair. Sebuah industri di mana salah satu pihak diberi
subsidi anggaran yang besar untuk berkembang dan diberi hak memungut dari
masyarakat dan keduanya dilepas untuk berkompetisi.
Seyogyanya PTN hendaknya dipimpin dua rektor, dan dipisahkan menjadi dua
institsi, yaitu, pertama PT negeri (state owned), dan PT swasta milik negara bersama
masyarakat. Kedua institusi memiliki akreditasi tersendiri, yang pertama memungkinkan
akses bagi masyarakat tak mampu dengan kapasitas terbatas, full subsidized, dan institusi
kedua bergerak sebagaimana PTS yang ada. Institusi yang kedua ini bisa lebih baik atau
lebih rendah dari yang pertama. Hal ini diharapkan bisa menyemarakkan persaingan
pendidikan yang sehat.
93
muslim sebagai pasar dan sebagai negara pinggiran. Sebaliknya, riset humaniora dan
spritual justru menonjol menempatkan negeri-negeri muslim tetap pada status quo
hubungan antarbangsa yang kurang menguntungkan mereka, yaitu ditempatkan sebagai
pasar produk teknologi maju dan menukarnya dengan hasil alam mereka yang vital.
Sebagai contoh, salah satu produk pesawat Habibie diproduksi paralel dengan perusahaan
Cassa Spanyol, produk hasil Cassa memperoleh sertifikasi kelayakan internasional,
sementara yang diproduksi di Indonesia tidak memperoleh sertifikasi tersebut. Hal ini
mengakibatkn sulitnya memasarkan produk pesawat-pesawat Habibie dan menyebabkan
kesulitan perkembangan selanjutnya.
Demikianlah masalah pendidikan dilihat dari sisi kebijakan publik baik internal
maupun eksternal. Di samping masalah pembiayaan publik, kualitas pendiddikan yang
bersumber kepada masalah internal seperti kurikulum, kualitas guru, motivasi dan budaya
akademik di sekolah dan perguruan tinggi, isue modernisasi pendidikan versus nilai dasar
di negara sedang berkembang, dan seterusnya bukan juga merupakan masalah yng
ringan.
94
95