Anda di halaman 1dari 4

Temuan arkeologi tnghuni Jawa Barat[1]ditemukan di Anyer dengan ditemukannya budaya logam

perunggu dan besi dari sebelum milenium pertama. Gerabah tanah liat prasejarah zaman Buni (Bekasi
kuno) dapat ditemukan merentang dari Anyer sampai Cirebon. [rujukan?]Jawa Barat pada abad ke-5
merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara.[rujukan?] Prasasti peninggalan
Kerajaan Tarumanagara banyak tersebar di Jawa Barat. Ada tujuh prasasti yang ditulis dalam aksara
Wengi (yang digunkan dalam masa Palawa India) dan bahasa Sansakerta yang sebagian besar
menceritakan para raja Tarumanagara.[rujukan?]

Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanagara, kekuasaan di bagian barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon


sampai Kali Serayu dilanjutkan olehKerajaan Sunda[rujukan?]. Salah satu prasasti dari zaman Kerajaan
Sunda adalah prasasti Kebon Kopi II yang berasal dari tahun 932. Kerajaan sunda beribukota di Pakuan
Pajajaran (sekarang kota Bogor).[rujukan?]

Pada abad ke-16, Kesultanan Demak tumbuh menjadi saingan ekonomi dan politik Kerajaan Sunda.
Pelabuhan Cerbon (kelak menjadi Kota Cirebon) lepas dari Kerajaan Sunda karena pengaruh Kesultanan
Demak. Pelabuhan ini kemudian tumbuh menjadi Kesultanan Cirebon yang memisahkan diri dari
Kerajaan Sunda. Pelabuhan Banten juga lepas ke tangan Kesultanan Cirebon dan kemudian tumbuh
menjadi Kesultanan Banten.

Untuk menghadapi ancaman ini, Sri Baduga Maharaja, raja Sunda saat itu, meminta
putranya, Surawisesa untuk membuat perjanjian pertahanan keamanan dengan
orang Portugis di Malaka untuk mencegah jatuhnya pelabuhan utama, yaitu Sunda Kalapa, kepada
Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak. Pada saat Surawisesa menjadi raja Sunda, dengan gelar
Prabu Surawisesa Jayaperkosa, dibuatlah perjanjian pertahanan keamanan Sunda-Portugis, yang
ditandai dengan Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal, ditandatangani dalam tahun 1512. Sebagai
imbalannya, Portugis diberi akses untuk membangun benteng dan gudang di Sunda Kalapa serta akses
untuk perdagangan di sana. Untuk merealisasikan perjanjian pertahanan keamanan tersebut, pada tahun
1522 didirikan suatu monumen batu yang disebut padrão di tepi Ci Liwung.

Meskipun perjanjian pertahanan keamanan dengan Portugis telah dibuat, pelaksanaannya tidak dapat
terwujud karena pada tahun 1527 pasukan aliansi Cirebon - Demak, dibawah pimpinan Fatahilah atau
Paletehan, menyerang dan menaklukkan pelabuhan Sunda Kalapa. Perang antara Kerajaan Sunda dan
aliansi Cirebon - Demak berlangsung lima tahun sampai akhirnya pada tahun 1531 dibuat suatu
perjanjian damai antara Prabu Surawisesa dengan Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon.

Dari tahun 1567 sampai 1579, dibawah pimpinan Raja Mulya, alias Prabu Surya Kencana, Kerajaan
Sunda mengalami kemunduran besar dibawah tekanan Kesultanan Banten. Setelah tahun 1576,
kerajaan Sunda tidak dapat mempertahankan Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda, dan akhirnya
jatuh ke tangan Kesultanan Banten. Zaman pemerintahan Kesultanan Banten, wilayah Priangan (Jawa
Barat bagian tenggara) jatuh ke tangan Kesultanan Mataram.

Jawa Barat sebagai pengertian administratif mulai digunakan pada tahun 1925 ketika Pemerintah Hindia
Belanda membentuk Provinsi Jawa Barat. Pembentukan provinsi itu sebagai
pelaksanaanBestuurshervormingwet tahun 1922, yang membagi Hindia Belanda atas kesatuan-kesatuan
daerah provinsi. Sebelum tahun 1925, digunakan istilah Soendalanden (Tatar Soenda) atau Pasoendan,
sebagai istilah geografi untuk menyebut bagian Pulau Jawa di sebelah barat Sungai Cilosari dan
Citanduy yang sebagian besar dihuni oleh penduduk yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa 

ibu.

Pada 17 Agustus 1945, Jawa Barat bergabung menjadi bagian dari Republik Indonesia.

Pada tanggal 27 Desember 1949 Jawa Barat menjadi Negara Pasundan yang merupakan salah satu
negara bagian dari Republik Indonesia Serikat sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi
Meja Bundar: Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan
ini disaksikan juga oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB.

Jawa Barat kembali bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1950.

Silih Asah
Silih Asih
Silih Asuh

Kata-kata puitis diatas bukan sembarangan puisi, melainkan sebagai filsafat hidup yang dianut mayoritas penduduk Jawa
Barat. Filosofi ini mengajarkan manusia untuk saling mengasuh dengan landasan saling mengasihi dan saling berbagi
pengetahuan dan pengalaman. Sejatinya, inilah suatu konsep kehidupan demokratis yang berakar pada kesadaran dan
keluhuran akal budi, yang akar filsafatnya menusuk jauh ke dalam bumi dalam pengertian hafiah. Berbeda dengan
peradaban masyarakat lain di Nusantara, peradaban masyarakat Jawa Barat yang berpenduduk asli dan berbahasa Sunda
sangat dipengaruhi oleh alam yang subur dan alami. Itulah sebabnya, dalam interaksi sosial, masyarakat di sana menganut
falsafah seperti di kutip di atas.

Selain akrab dengan alam lingkungan dan sesama manusia, manusia Sunda juga dekat dengan Tuhan yang menciptakan
mereka dan menciptakan alam semesta tempat mereka berkehidupan (Triangle of life). Keakraban masyarakat Sunda
dengan lingkungan tampak dari bagaimana masyarakat Jawa Barat, khususnya di pedesaan, memelihara kelestarian
lingkungan. Di provinsi ini banyak muncul anggota masyarakat yang atas inisiatif sendiri memelihara lingkungan alam
mereka.

Keakraban masyarakat Jawa Barat dengan Tuhan, menyebabkan masyarakat di sana relatif dikenal sebagai masyarakat
yang agamis, relijius, yang memegang teguh nilai-nilai ajaran agama yang mereka anut yakni agama Islam sebagai agama
dengan penganut terbesar, kemudian Kristen (Katolik dan Protestan), Hindu, Budha, dan lainnya. Kendati demikian, dalam
proses kehidupan sehari-hari, masyarakat Jawa Barat relatif terbuka saat berinteraksi dengan nilai-nilai baru yang
cenderung sekuler dalam suatu proses interaksi dinamis dan harmonis. Peningkatan kualitas kehidupan dan kerukunan
umat beragama tergambarkan dengan meningkatnya sarana peribadatan. Jumlah Mesjid meningkat dari 43.005 buah pada
tahun 2004 menjadi 50.339 buah pada tahun 2005, Gereja Kristen dari 1.536 buah menjadi 1.629 buah, Gereja
Katolik/Kapel dari 50 buah menjadi 110 buah, Pura/Kuil/Sanggah dari 24 buah menjadi 25 buah dan Vihara/Cetya/Klenteng
dari 171 menjadi 181 buah.

Budaya Jawa Barat didominasi Sunda. Adat tradisionalnya yang penuh khasanah Bumi Pasundan menjadi cermin
kebudayaan di sana. Perda Kebudayaan Jawa Barat bahkan mencantumkan pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara
daerah, kesenian, kepurbakalaan dan sejarahnya, nilai-nilai tradisional dan juga museum sebagai bagian dari pengelolaan
kebudayaan. Pariwisata berbasis kebudayaan yang menampilkan seni budaya Jawa Barat, siap ditampilkan dan bernilai
ekonomi.
Untuk melestarikan budaya Jawa Barat, pemerintah daerah menetapkan 12 desa budaya, yakni desa khas yang di tata
untuk kepentingan melestarikan budaya dalam bentuk adat atau rumah adat. Desa budaya tersebut adalah sebagai beikut:

1. Kampung Cikondang, Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung;


2. Kampung Mahmud, Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung;
3. Kampung Kuta, Desa Karangpaninggal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis;
4. Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi;
5. Kampung Dukuh, Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut;
6. Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut;
7. Kampung Adat Ciburuy, Desa Palamayan, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut;
8. Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya;
9. Kampung Urug, Desa Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor;
10. Rumah Adat Citalang, Desa Citalang, Kecamatan Purwakarta, Kabupaten Purwakarta;
11. Rumah Adat Lengkong, Desa Lengkong, Kecamatan Garangwangi, Kabupaten Kuningan;
12. Rumah Adat Panjalin, Desa Panjalin, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Majalengka.

Sumber daya alam Jawa Barat cukup melimpah. Provinsi ini pada tahun 2006 memiliki lahan sawah ber-irigasi teknis seluas
380.996 ha, sementara sawah ber irigasi setengah teknis 116,443 ha, dan sawah ber irigasi non teknis seluas 428.461 ha.
Total saluran irigasi di Jawa Barat sepanjang 9.488.623 km, Sawah-sawah inilah yang pada 2006 menghasilkan 9.418.882
ton padi, terdiri atas 9,103.800 ton padi sawah clan 315.082 ton padi ladang.

Di antara tanaman palawija, pada 2006 ketela pohon menempati urutan pertama. produksi palawija, mencapai 2.044.674
ton dengan produktivitas 179,28 kuintal per ha, Kendati demikian, luas tanam terluas adalah untuk komoditas jagung yang
mencapai 148.505 ha, Jawa Barat juga menghasilkan hortikultura terdiri dari 2.938.624 ton sayur mayur, 3.193.744 ton
buah buahan, dan 159.871 ton tanaman obat/biofarmaka.

Hutan di Jawa Barat juga luas, mencapai 764.387,59 ha atau 20,62% dari total luas provinsi, terdiri dari hutan produksi
seluas 362.980.40 ha (9,79%), hutan lindung seluas 228.727,11 ha (6,17%), dan hutan konservasi seluas 172.680 ha
(4,63%). Pemerintah juga menaruh perhatian serius pada hutan mangrove yang mencapai 40.129,89 ha, tersebar di 10
kabupaten yang mempunyai pantai. Selain itu semua, ada lagi satu hutan lindung seluas 32.313,59 ha yang dikelola oleh
Perum Perhutani Unit III jawa Barat dan Banten.

Dari hutan produksi yang dimilikinya, pada 2006 Jawa Barat memetik hasil 200.675 m³ kayu, meskipun kebutuhan kayu di
provinsi ini setiap tahun sekitar 4 juta m³. Sampai 2006, luas hutan rakyat 214.892 ha dengan produksi kayu sekitar
893.851,75 m³. Jawa Barat juga menghasilkan hasil hutan non kayu cukup potensial dikembangkan sebagai aneka usaha
kehutanan, antara lain sutera alat jamur, pinus, gerah damar, kayu putih, rotan, bambu, dan sarang burung walet.

Di sektor perikanan, komoditas unggulan adalah ikan mas, nila, bandeng, lele, udang windu,  kerang hijau, gurame, patin,
rumput laut dan udang vaname. Di tahun 2006, provinsi ini memanen 560,000 ton ikan hasil budidaya perikanan dan payau,
atau 63,63% dari total produksi perikanan Jawa Barat.

Di bidang peternakan, sapi perah, domba, ayam buras, dan itik adalah komoditas unggulan di Jawa Barat. Data 2006
menyebutkan kini tersedia 96.796 sapi perah (25% populasi nasional), 4.249.670 domba, 28.652.493 ayam buras 5.596.882
itik (16% populasi nasional). Kini hanya tersedia 245.994 sapi potong di jawa Barat (3% populasi nasional), padahal
kebutuhan setiap tahunnya sekitar 300 ribu sapi potong. Untuk memenuhi kebutuhan Jawa Barat harus mengimpor 150 ribu
ternak sapi dari Australia setiap tahunnya, di samping berharap pasokan ternak hidup dari provinsi lain terutama Jawa
Timur, Jawa Tengah, Daerah lstimewa Yogyakarta, Lampung, Bali, Lombok, dan lain lain. Dalam memaksimalisasi sektor
peternaknya, Jawa Barat membagi kawasan pengembangan andalan peternakan ke dalam tiga wilayah yaitu:

1.    Jawa Barat Bagian Utara untuk peternakan itik;


2.    Jawa Barat Bagian Tengah untuk sapi perah, ayam ras, dan domba; serta 
3.    Jawa Barat Bagian Selatan untuk domba dan sapi potong,

Provinsi ini memiliki banyak objek unggulan di bidang perkebunan, antara lain teh, cengkeh, kelapa, karet, kakao,
tembakau, kopi, tebu, dan akar wangi. Dari semua jenis komoditas itu, cengkeh, kelapa, karet, kakao, tembakau, dan kopi
merupakan komoditas unggulan nasional asal Jawa Barat. Dari sisi lahan, produktivitas terbaiknya, yakni luas areal tanam
sama dengan Iuas tanaman yang menghasilkan, adalah komoditas tembakau dan tebu. Dari sisi produksi, produktivitas
terbanyak adalah kelapa sawit (6,5 ton per ha) dan tebu (5,5 ton per ha).

Jawa Barat juga menghasilkan produksi tambang unggulan. Pada 2006, berhasil dieksplorasi 5.284 ton zeolit, 47.978 ton
bentonit, serta pasir besi, semen pozolan, felspar dan barn permata/gemstone. Potensi pertambangan batu mulia umumnya
banyak terdapat di daerah Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Kuningan, dan Sukabumi.

Anda mungkin juga menyukai