Anda di halaman 1dari 3

Meskipun pembicaraan masih berlandaskan pada kedua istilah itu, harus dipahami bahwa ada

pemahaman lain tentang apa yang dimaksudkan dengan unsur ekstrinsik dan instrinsik itu. Pemahaman
ini terutama menyangkut aspek yang dikandung oleh kedua istilah yang sudah biasa digunakan tersebut
sebagai unsur, haruslah diasumsikan bahwa secara universal unsur-unsur pembangunan karya – baik
ekstriksik maupun intrinsik – dapat ditemukan pada setiap karya. Hanya hal-hal yang spesifik saja yang
tidak terdapat pada setiap karya, melaikan hanya dimiliki oleh karya-karya tertentu saja. Maka unsur
eksentrinsik dan unsur intrinsik sebagai aspek yang universal sudah seharusnya dapat ditemukan pada
setiap karya, atau ntidak tetap dapat diidentifikasikan . asumsi ini tentu tidak berlebihan, karena jika
aspek-aspek yang universal berbedea-bedabentukjnya pada karya sastra-karya yang sejenis, maka serta-
merta sebenarnya aspek-aspek itu tidak dapat lagidisebut sebagai aspek yang universal yang dicirkaqn
sebagai unsur pembangunan karya.

Biasanya – karena pemahaman yang didapatkan dan referensi sebelumnya – aspek ekstrinsik
dikukuhkan sebagai aspek-aspek sosial budaya yang mempengaruhi isi dan perciptaan karya sastra.
Maka keluarlah rumusan bahwa unsur-unsur ekstrinsik dari sebuah karya adalah faktor-faktorekonomi,
sosial, budaya, politik, atau dengan bahasa yang lebih praktis dan telah lancar disebut oleh lidah orang
indonesia sebagai ipoleksosbudhankam. Apakah memang sedemikian halnya.

Baiklah jika memang permasalahan ipoleksosbudhankam dapat dikatakan sebagai elemen unsur
ekstrinsiksebagaimana yang telah dirumuskan selama ini akan coba dialami rumusan ini. akan tetapi
sebagai unsur, maka ada keharusan aspek-aspek ipoleksosbudhankam harus terdapat di dalam setiap
karya, atau setidaknya dapat diidentifikasi pada karya-karya drama. Akan tetapi bukankah pada
kenytaannya, hanya elemen-elemen tertentu saja dari aspek kenyataannya, hanya elemen-elemen
tertentu saja dari aspek ipoleksosbudhankam yang dapat teridentifikasi. Misalnya, pada drama
mahakam (Asrul sani), hanya ditemukan elemen religiositas sertta elemen sosial-budaya saja yang
dominan. Teryata permasalahan ipoteksosbudhabkam hanya menyentuh sebagian-sebagian saja di
dalam karya. Oleh sebab itu, berdasarkan kenyataan ini permasalahan yang selama ini desebut unsur
utama ekstinsik harus diakui hanya merupakan latar permasalahan di dalam proses penciptaan karya-
karya fisionalitas, disamping itu hal yang harus dipahami adalah, jika teridentifikasi elemen-elemen
seperti yang dimaksudkan, misalnya elemen religiositas di dalam mahkamah, hal itu harus disebut
sebagai religiositaqs berdasarkan atau melewati faktor imajinasi asrul sani. Masalah sosial-budaya di
dalam tenung, merupakan masalah sosial-budaya berdasarkan imajinasi n. riantiarno. Masalah-masalah
tersebut tidak terpengaruh ter hadap darama secara tunggal melaikan masih ada konvensi lain yang
terikat dengan proses penciptaan.

Pemahaman atas hal ini mengharuskan munculnya pengertian baru, bahwa yang merupakan aspek
utama dari unsur ekstrinsik adalah pengarang sedang aspek penunjangnya adalah realitas objektif
9kenyataan semesta0 kedua aspek ini (pengarang dan realitas objektif0 ternyata memang amat
mempengaruhi penciptaankarya drama. Pengaruh-pengaruhlain yang memungkinkan munculnya karya
drama harus melewati pengarang terlebih dahulu. Pengaranglah yang mengolah semuanya. Aspek
utama dalam unsur ekstrinsik ini dapat dikatakan sebagai semua yang berkaitan dengan pemberian
makna yang tertuang, melaui bahasa sedangkan aspek penunjang adalah segala upaya yang digunakan
dalam memanfaatkan bahasa. Faktor-faktor seperti sosial-budaya, ekonomi politik, agama, hukum,
pendidikan, dan lain-lain pada dasarnya tidak berfungsi jika pengarang tidak menganggapnya sebagai
sesuatu yang penting. Apakah pemangunan fisik yang draktis selama pemerintahahan orde baru
mendapatkan tempat di dalam teks-teks drama? Apakah kemapanan stabilitas dari

sudut politik mendapatkan perhatian besar di dalam teks-teks drama? Sampai sejauh manakah
kemajuan tewknologi IPTN direkam teks-teks drama? atau prestasi-prestasi olah raga, kerukunan hidup
beragama, serta hal-hal lainya mendapat perhatian di dalam drama? Sejauh permasalahan itu oleh
pengarang tidak dianggap sebagai sesuatu yang “penting “, misalnya sebagai sesuatu yang menyalahi
norma-norma dan menyentuh pandangna hidup yang dipegangnya, masalah-maslah tesebut tidak akan
pernah terangkat kedalam drama dengan demikian, sekali lagi, unsur utama yang paling dominan dari
ekstinsik drama adalah pengarang, dan bukan masalah=masalah ipoleksosbudhankam, agam,
pendidikan, dan lain-lain

di dalam realitas objektif (kenyataan sementara) di dalam kaitannya dengan pola kehidupan masysrakat,
akan ditemukan norma-norma, edeologi, tata nilai, konvensi bahasa, dan konvensi sastra. Aspek-aspek
tersebut mungkin berbedea-beda pada tiap-tiap masyarakat, tiap-tiap zaman, dan tiap-tiap tradisi
masyarakat pendukungnya. Yang tidak bisa dibantah tentunya setiap masyarakat pendukungnya. Yang
tidak bisa dibantah tentunya setiap masyarakat tentu mempunyai norma-norma yang diakui bersama,
baik secara hukum, adat atau kesepakatan tertentu, dan juga yang berasal dari agama. Aspek-aspek
realitas objektif semacam ini bereaksi pada diri pengarang. Jika pengarang berpendapat aspek-aspek
tersebut menarik untuk dipermasalahkannya maka ia akan menulis. Ketika ia menulis, sumber penulisan
faktor kreativitas yang dilandasi imajinasi, keintelektualan pengarang mempengaruhgi dunia rekaan
yang diciptakan .

Aspek-aspek yang telah disebutkan dan dibicarakan diatas, jika diidentifikasi pada tiap=tiap karya drama
maka aspek-aspek tersebut akan dapat ditemukan norma-norma yang diperbincangkan pada tiap-tiap
karya mungkin berbeda-beda. Bisa saja teks yang stu mempermasalahkan norma-norma sosial-budaya,
atau hal-hal lainnya. Akan tetapi yuang jelas setiuap karya drama mempermaslahkan norma-norma
tertentu demikian juga aspek-aspek ekstrinsik dari unsur realitas objektifyang lain, misalnya masalah
ideologi, tata nilai, serta konvensi-konvensi tertentu. Setiap karya dapat diindentifikasikan adanya
aspek-aspek.
Pengarang, sebagai manusaia yang “berkuasa” atas karyannya dapat memperlakukan seperti apa tokoh-
tokoh yang diinginkannya, latar yang disukai, serta konflik kemanusiaan diinginkannya, latar yang
disukai, serta konflik kamanusiaan yang menurutnya menarik. Kesemiua itu berhasil disusun karena
beberapa faktor yang dimiliki oleh pengarangggg. Faktor-faktor yang dimaksudkan itu adalah faktor
sensitivitas 9kepekaan0, imajinasi, intelektualitas, serta pandangan hidupnya. Dengan kesensitifitasan
atau kepekaannya, pengarang menjadi jeli untuk menangkap, menginventarisasi aspek-aspek realitas
objektif yang pantas untuk diperbincangkan. Namun begitu kesensitifitasan pengarang amat berkaitan
erat dengan pandangan hidupnya. Meskipun Putu wijaya dan N. Riantiarno sama-sama interes pada
permasalahan sosial-politik, sama-sama punya kepekaan akan hal ini, tetapi pengekspresian karya
keduanya tidak akan sama salah satu sebabnya karena pandangan hidup serta orientasi keduanya
berbeda. Disamping hal-hal lain yang dimiliki keduanya berbeda, yaiutu imajinasui dan keintelektualan.
Semakin terasa, semakin tajam kepekaan pengarang pada aspek realitas objektif. Semakin terlatih,
semakin berkembang imajinasi pengaran untuk membuat dunia rekaannya. Semakin menarik dunia
rekaan itu, jika keintelektualan pengarang ikut berperan. Dengan begitu karya ciptaannya akan ikut juga
memancing unsur keintelektiualan pembaca. Mekipun pengarang mengunakan kemampuan imajinasi
dan keintelektualannya, dalam membentuk dunia baru, dunia rekaannya, ia akan tetap menyadarkan
“dunia barunya” itu pada realitas objektif. Jika pengarang melalui karyanya berhasil menciptakan
norma-norma baru, ideologi yang aneh, atau tata nilai yang asing, kesemuanya itu tetap harus
disampaikannya melalui konversi-konversi yang telah

Anda mungkin juga menyukai