DAN BERDUKA
BAB I
PENDAHULUAN
Lahir, kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang unuiversal dan kejadian yang sifatnya unik
bagi setiap individual dalam pengalaman hidup seseorang.
Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum berarti sesuatu kurang
enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi ini lebih banyak
melibatkan emosi dari yang bersangkutan atau disekitarnya.
Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini, proses kehilangan dan berduka sedikit demi
sedikit mulai maju. Dimana individu yang mengalami proses ini ada keinginan untuk mencari
bentuan kepada orang lain.
Pandangan-pandangan tersebut dapat menjadi dasar bagi seorang perawat apabila menghadapi
kondisi yang demikian. Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan diperlukan dalam
memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang memperhatikan perbedaan
persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi perawatan yang tidak tetap
(Suseno, 2004).
Perawat berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe kehilangan. Mekanisme
koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan menerima kehilangan.
Perawat membantu klien untuk memahami dan menerima kehilangan dalam konteks kultur
mereka sehingga kehidupan mereka dapat berlanjut. Dalam kultur Barat, ketika klien tidak
berupaya melewati duka cita setelah mengalami kehilangan yang sangat besar artinya, maka
akan terjadi masalah emosi, mental dan sosial yang serius.
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan
keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami
kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat memahami kehilangan dan dukacita. Ketika
merawat klien dan keluarga, parawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-
kelurga-perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian.
Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat
mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005).
1.2 Permasalahan
Adapun permasalahan yang kami angkat dari makalah ini adalah bagaimana asuhan keperawatan
pada klien dengan kehilangan dan berduka disfungsional.
1.3 Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
1. Tujuan khusus
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kehilangan
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan. Kehilangan adalah suatu
kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian
tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau
traumatik, diantisispasi atau tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau
tidak dapat kembali.
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada,
kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Lambert dan
Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap
individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan
cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda.
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu kekurangan atau tidak
ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki. Kehilangan merupakan suatu
keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik
sebagian atau seluruhnya.
Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang berarti adalah salah
satu yang paling membuat stress dan mengganggu dari tipe-tioe kehilangan, yang mana harus
ditanggung oleh seseorang.
Kematian juga membawa dampak kehilangan bagi orang yang dicintai. Karena keintiman,
intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau jalinan yang ada, kematian pasangan suami/istri
atau anak biasanya membawa dampak emosional yang luar biasa dan tidak dapat ditutupi.
Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan tentang mental seseorang.
Anggapan ini meliputi perasaan terhadap keatraktifan, diri sendiri, kemampuan fisik dan mental,
peran dalam kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan dari aspek diri mungkin sementara atau
menetap, sebagian atau komplit. Beberapa aspek lain yang dapat hilang dari seseorang misalnya
kehilangan pendengaran, ingatan, usia muda, fungsi tubuh.
Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri atau bersama-sama, perhiasan,
uang atau pekerjaan. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang
tergantung pada arti dan kegunaan benda tersebut.
Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat dikenal termasuk dari
kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu satu periode atau bergantian secara permanen.
Misalnya pindah kekota lain, maka akan memiliki tetangga yang baru dan proses penyesuaian
baru.
Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan respon pada kegiatan dan
orang disekitarnya, sampai pada kematian yang sesungguhnya. Sebagian orang berespon berbeda
tentang kematian.
1. Fase denial
a. Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan
b. Verbalisasi;” itu tidak mungkin”, “ saya tidak percaya itu terjadi ”.
c. Perubahan fisik; letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat,
menangis, gelisah.
4. Fase depresi
a. Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.
b. Gejala ; menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
5. Fase acceptance
a. Pikiran pada objek yang hilang berkurang.
b. Verbalisasi ;” apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh”, “ yah, akhirnya saya
harus operasi “
2.2 Berduka
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan
adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA merumuskan ada
dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam merespon
kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau
ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya
dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan
ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau
kesalahan/kekacauan.
Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka. Konsep dan teori
berduka hanyalah alat yang hanya dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional
klien dan keluarganya dan juga rencana intervensi untuk membantu mereka memahami
kesedihan mereka dan mengatasinya. Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran
tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan
dukungan dalam bentuk empati.
1. Teori Engels
Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat diaplokasikan pada
seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau
pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung
cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa.
Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum. Bisa merasa
bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini
diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.
1. Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada perilaku dan
menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk mempercayai
bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau
“Tidak akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan klien.
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap orang dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif
sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk
menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah
kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain.
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut.
Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai
memecahkan masalah.
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan sikap
penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada
pengunduran diri atau berputus asa.
1. Teori Martocchio
Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai lingkup yang tumpang
tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang
mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus menerus dari kesedihan biasanya
reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun.
1. Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori:
1. Penghindaran
1. Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang-ulang
melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.
1. Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki kembali
secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan
kehidupan mereka.
BAB III
Pengkajian
Definisi: sesuatu respon terhadap kehilangan yang nyata maupun yang dirasakan dimana
individu tetap terfiksasi dalam satu tahap proses berduka untuk suatu periode waktu yang terlalu
lama, atau gejala berduka yang normal menjadi berlebih-lebihan untuk suatu tingkat yang
mengganggu fungsi kehidupan.
Kehilangan yang nyata atau dirasakan dari beberapa konsep nilai untuk individu
Kehilangan yang terlalu berat (penumpukan rasa berduka dari kehilangan multiple yang
belum terselesaikan)
Menghalangi respon berduka terhadap suatu kehilangan
Tidak adanya antisipasi proses berduka
Perasaan bersalah yang disebabkan oleh hubungan ambivalen dengan konsep kehilangan.
ü Merenungkan perasaan nersalah secara berlebihan dan dibesar-basarkan tidak sesuai dengan
ukuran situasi.
Regresi perkembangan
Gangguan dalam konsentrasi
Kesulitan dalam mengekspresikan kehilangan
Afek yang labil
Kelainan dalam kebiasaan makan, pola tidur, pola mimpi, tingkat aktivitas, libido.
Sasaran/Tujuan
1. Tentukan pada tahap berduka mana pasian terfiksasi. Identifikasi perilaku-perilaku yang
berhubungan dengan tahap ini.
Rasional
Pengkajian data dasar yang akurat adalah penting untuk perencanaan keperawatan yang efektif
bagi pasien yang berduka.
1. Kembangkan hubungan saling percaya dengan pasien. Perlihatkan empati dan perhatian.
Jujur dan tepati semua janji
Rasional
Rasional
Sikap menerima menunjukkan kepada pasien bahwa anda yakin bahwa ia merupakan seseorang
pribadi yang bermakna. Rasa percaya meningkat.
1. Dorong pasien untuk mengekspresikan rasa marah. Jangan menjadi defensif jika
permulaan ekspresi kemarahan dipindahkan kepada perawat atau terapis. Bantu pasien
untuk mengeksplorasikan perasaan marah sehingga pasien dapat mengungkapkan secara
langsung kepada objek atau orang/pribadi yang dimaksud.
Rasional
Pengungkapan secara verbal perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak mengancam dapat
membantu pasien sampai kepada hubungan dengan persoalan-persoalan yang belum
terpecahkan.
Rasional
Latihan fisik memberikan suatu metode yang aman dan efektif untuk mengeluarkan kemarahan
yang terpendam.
1. Ajarkan tentang tahap-tahap berduka yang normal dan perilaku yang berhubungan
dengan setiap tahap. Bantu pasien untuk mengerti bahwa perasaan seperti rasa bersalah
dan marah terhadap konsep kehilangan adalah perasaan yang wajar dan dapat diterima
selama proses berduka.
Rasional
Pengetahuan tentang perasaan-perasaan yang wajar yang berhubungan dengan berduka yang
normal dapat menolong mengurangi beberapa perasaan bersalah menyebabkan timbulnya
respon-respon ini.
1. Dorong pasien untuk meninjau hubungan dengan konsep kehilangan. Dengan dukungan
dan sensitivitas, menunjukkan realita situasi dalam area-area dimana kesalahan presentasi
diekspresikan.
Rasional
Pasien harus menghentikan persepsi idealisnya dan mampu menerima baik aspek positif maupun
negatif dari konsep kehilangan sebelum proses berduka selesai seluruhnya.
1. Komunikasikan kepada pasien bahwa menangis merupakan hal yang dapat diterima.
Menggunakan sentuhan merupakan hal yang terapeutik dan tepat untuk kebanyakan
pasien.
1. Bantu pasien dalam memecahkan masalahnya sebagai usaha untuk menentukan metoda-
metoda koping yang lebih adaptif terhadap pengalaman kehilangan. Berikan umpan balik
positif untuk identifikasi strategi dan membuat keputusan.
Rasional
Umpan balik positif meningkatkan harga diri dan mendorong pengulangan perilaku yang
diharapkan.
10. Dorong pasien untuk menjangkau dukungan spiritual selama waktu ini dalam bentuk apapun
yang diinginkan untuknya. Kaji kebutukan-kebutuhan spiritual pasien dan bantu sesuai
kebutuhan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu.
1. Pasien mampu untuk menyatakan secara verbal tahap-tahap proses berduka yang normal
dan perilaku yang berhubungan debgab tiap-tiap tahap.
2. Pasien mampu mengidentifikasi posisinya sendiri dalam proses berduka dan
mengekspresikan perasaan-perasaannya yang berhubungan denga konsep kehilangan
secara jujur.
3. Pasien tidak terlalu lama mengekspresikan emosi-emosi dan perilaku-perilaku yang
berlebihan yang berhubungan dengan disfungsi berduka dan mampu melaksanakan
aktifitas-aktifitas hidup sehari-hari secara mandiri.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu kekurangan atau tidak
ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki. Kehilangan merupakan suatu
keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik
sebagian atau seluruhnya.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA merumuskan ada
dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam merespon
kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau
ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya
dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan
ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau
kesalahan/kekacauan.
Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali
pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati.
Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu: Aktual atau nyata dan persepsi. Terdapat 5 katagori
kehilangan, yaitu:Kehilangan seseorang seseorang yang dicintai, kehilangan lingkungan yang
sangat dikenal, kehilangan objek eksternal, kehilangan yang ada pada diri sendiri/aspek diri, dan
kehilangan kehidupan/meninggal.
Elizabeth Kubler-rose,1969.h.51, membagi respon berduka dalam lima fase, yaitu : pengikaran,
marah, tawar-menawar, depresi dan penerimaan.
DAFTAR PUSTAKA
Townsend, Mary C. 1998. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatn Psikiatri, Pedoman Untuk
Pembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
stikes.fortdekock.ac.id
Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa, ed.3. Jakarta: ECG.
The final stage model we have included is the "7 stages of grief".
Once again, it is important to interpret the stages loosely, and expect much
individual variation. There is no neat progression from one stage to the next. In
reality, there is much looping back, or stages can hit at the same time, or occur out
of order. So why bother with stage models at all? Because they are a good general
guide of what to expect.
Outsiders do not understand this, and feel that it should be time for you to "get
over it" and rejoin the land of the living. Just knowing that your desire to be alone
with your sad reflections at this time is normal will help you deal with outside
pressures. You are acting normally. They just don't "get it".
7 Stages of Grief...
1. SHOCK & DENIAL-
You will probably react to learning of the loss with numbed disbelief. You may deny
the reality of the loss at some level, in order to avoid the pain. Shock provides
emotional protection from being overwhelmed all at once. This may last for weeks.
You may have guilty feelings or remorse over things you did or didn't do with your
loved one. Life feels chaotic and scary during this phase.
You may rail against fate, questioning "Why me?" You may also try to bargain in vain
with the powers that be for a way out of your despair ("I will never drink again if
you just bring him back")
During this time, you finally realize the true magnitude of your loss, and it
depresses you. You may isolate yourself on purpose, reflect on things you did with
your lost one, and focus on memories of the past. You may sense feelings of
emptiness or despair.
7 Stages of Grief...
7 stages of grief...
You will start to look forward and actually plan things for the future. Eventually,
you will be able to think about your lost loved one without pain; sadness, yes, but
the wrenching pain will be gone. You will once again anticipate some good times to
come, and yes, even find joy again in the experience of living.
http://pastakyu.wordpress.com/2010/01/21/asuhan-keperawatan-kehilangan-dan-berduka/
Kaku Mayat
Rigor mortis adalah kekakuan otot yang irreversible yang terjadi pada mayat setelah relaksasi
primer. Rigor mortis bukan merupakan fenomena yang khas manusia, karena hewan yang invertebrata
dan vertebrata juga mengalami rigor mortis. Louise pada tahun 1752 adalah orang yang pertama kali
menyatakan rigor mortis sebagai tanda kematian. Lebih specifik lagi Kusmaul menyatakan bahwa rigor
mortis adalah tanda terjadinya kematian otot yang sesungguhnya. kemudian Nysten tahun 1811 adalah
orang yang melengkapi penemuan pertama dari rigor mortis ini.
Setelah terjadinya kematian segera akan diikuti oleh relaksasi muskuler secara total yang dikenal
dengan primary muscular flaccidity , pada saat ini sel dan jaringan otot masih hidup dan masih
menunjukan reaksi pengerutan bila mendapat rangsangan mekanis atau listrik. Keadaan seperti ini
disebut reaksi supravital, yaitu suatu keadaan pada mayat yang masih dapat menghasilkan gambaran
intravital. Dengan berlalunya waktu reaksi supravital akan berkurang, karena makin banyak otot yang
mati. Umumnya reaksi supravital berlangsung sangat singkat, antara 3 – 6 jam setelah kematian (rata-
rata 2 – 3 jam) Walaupun demikian reaksi yang jelas adalah 1 – 2 jam pertama setelah kematian.
Bersamaan dengan menghilangnya reaksi supravital, rigor mortis muncul secara serentak pada semua
otot volunter dan otot involunter. Rigor mortis pada otot kerangka sesungguhnya terjadi secara
simultan pada semua otot, tetapi biasanya lebih nyata dan mudah diamati pada otot-otot kecil ,
sehingga sering dikatakan bahwa rigor mortis muncul dari otot-otot kecil berturut-turut ke otot yang
lebih besar dan menyebar dari atas kebawah. Shapiro pada tahun 1950 menganggap bahwa secara
tradisional rigor mortis yang terjadi mulai dari atas ke bawah perlu direvisi, dia juga bahwa proses rigor
mortis adalah proses phsyco-chemical yang terjadi secara spontan mempengaruhi semua otot sehingga
tidak terjadi dari atas kebawah tetapi satu keseluruhan yang melibatkan sendi-sendi beserta otot-
ototnya. (polson)
Krompecher dan Fryc pada tahun 1978 menemukan dalam penelitiannya bahwa rigor mortis yang
terjadi pada otot besar dan kecil menunjukan waktu yang sama dalam hal munculnya yaitu maksimal
4½ jam, dan menetap selama 2 jam dan kemudian terjadi resolusi sempurna. Hal ini membuktikan
bahwa rigor mortis terjadi secara simultan pada semua otot, sedangkan urutan rigor mortis hanyalah
urutan intensitas rigor mortis yang terukur pada pemeriksaan manual yang kasar.
Niderkorn`s pada tahun 1872 mengobservasi 113 mayat untuk mengetahui perkembangan rigor
mortis yang terjadi seperti yang biasanya disebutkan pada buku-buku teks, dia mendapatkan hasilnya
adalah sebagai berikut:
Dalam urutan ini, rigor mortis menjadi menyeluruh dalam 14 % kasus dalam 3 jam postmortem dan presentasi ini
meningkat menjadi 72 % dalam 6 jam atau menjadi 90 % dalam 9 jam. Pada 12 jam postmortem rigor mortis
menjadi komplet dalam 98 % kasus. Dengan data yang ada seperti ini, dapat dimengerti bahwa kutipan-kutipan yang
mengatakan bahwa rigor mortis dimulai dalam 6 jam pertama, menjadi menyeluruh dalam waktu 6 jam,
dipertahankan dalam waktu 12 jam dan menghilang dalam waktu 12 jam ini adalah sangat menyesatkan, seperti
yang diterapkan di india dan pola seperti ini dikenal dengan Rule of Twelve.
Rigor mortis yang belum sempurna atau belum mencapai kekakuan maksimal bila dibengkokkan secara paksa
akan melemas dan membengkok tetapi akan kembali kaku pada posisi terakhir. Sedangkan bila rigor mortis sudah
terjadi secara sempurna, diperlukan tenaga yang besar untuk melawan kekuatan rigor yang menyebabkan robeknya
otot dan dikatakan rigor telah “putus” dan rigor tidak akan timbul kembali sekali dipatahkan oleh kekuatan.
Sehingga Smith mengingatkan agar pemeriksaan rigor mortis dilakukan sebelum membuka pakaian mayat, karena
dengan melakukan manipulasi pada tubuh korban (membuka pakaian mayat) akan mengubah keadaan rigor mortis.
Mallach, pernah menyusun tabel yang diambil dari data-data yang dipublikasi selama 150 tahun (1811-1960)
yang didapat secara kasar dari berbagai variasi metodologi, dan didapat data seperti di bawah ini:
Pada suhu rata-rata, dapat digunakan suatu pengalaman dalam memperkirakan saat mati, seperti tabel di bawah ini
akan tetapi harus digunakan secara berhati-hati:
Ada beberapa cara yang dipakai dalam menentukan terjadinya rigor mortis. Cara pertama dengan
pemeriksaan secara manual, dimana diperiksa sendi mana saja yang sudah kaku, berapa kekuatannya,
sempurna atau tidak. Diperiksa dengan cara memfleksikan atau membuat ekstensi persendian, karena
tidak ada patokan yang jelas maka pemeriksaan ini bersifat subyektif, sehingga diperlukan waktu
yang cukup dan berhati-hati dalam memeriksanya. Oppenheimer pada tahun 1919 melakukan
penelitian terhadap 43 mayat yang diketahui meninggal 8 – 48 jam sebelumnya, tak berhasil
menentukan saat kematian berdasarkan rigor mortis.
Forster , mengusulkan suatu pemeriksaan rigor mortis yang lebih objektif, dengan menggunakan
suatu alat dalam pengukurannya. Alat yang digunakan berupa alat fiksasi dari kayu yang menempel
pada meja. Mayat ditelungkupkan dengan paha yang terfiksasi pada meja. Pada daerah lutut terdapat
batangan besi yang bersendi dengan alat fiksasi. Ujung bebasnya terpasang rantai yang dihubungkan
dengan neraca per. Neraca per ini dihubungkan dengan ujung bawah tibia dengan sudut tegak lurus.
Pengukuran dilakukan dengan cara menarik batangan menuju paha sehingga sendi lutut dibengkokan.
Tenaga yang terbaca pada neraca per menunjukan tenaga maksimal yang diperlukan untuk mengatasi
rigor mortis pada penampang paha, yang dikenal sebagai indeks FRR (Freiburger Rigor Index).
Ketepatan pengukuran dengan alat ini adalah sampai 5 Nm. Dengna pemeriksan pada suhu tertentu
akan didapatkan grafik hubungan saat kematian dengan kekuatan rigor mortis. Sehingga bila
diketahui nilai FRR pada kondisi yang sama, akan dapat diketahui saat kematiannya.
Pemeriksaan lain yang dapat digunakan untuk melihat terjadinya rigor mortis adalah dengan
menggunakan mikroskop elektron. Pemeriksaan otot rangka dengan menggunakan mikroskop elektron
menujukan adanya gambaran granul-granul kecil yang menempel pada aktin dan miosin (terutama jelas
pada aktin) pada batas antara pita (band) A dan I. Sepintas lalu gambaran granul membentuk salib-
salib yang berbaris dengan periodisitas 400 Angstrom. Diduga granul tersebut adalah jembatan
antara aktin dan miosin pada rigor mortis. Secara biokimiawi diduga granul tersebut adalah
troponin, karena dapat bereaksi dengan globulin anti troponin. Troponin merupakan reseptor ion
kalsium yang berperan pada mekanisme kontraksi dan relaksasi otot. Bila ion kalsium dilepaskan,
aktin dan miosin mendapat penekanan dan terjadi relaksasi otot. Bila troponin mengikat ion kalsium,
tekanan tadi tidak ada lagi dan otot berkontraksi.
Secara kronologis perubahan penampakan otot dengan mikroskop elektron adalah sebagai berikut:
a. Rigor mortis baru terbentuk (3 jam post mortem), terdapat gambaran granul pada batas pita
A dan I.
b. Rigor mortis sudah sempurna (6 – 12 jam post mortem), granul pada pta A makin jelas, pada
pita H (miosinsaja) muncul granul yang sama.
c. 24 jam post mortem, granul pada pita A masih jelas, teta[I yang pada pita H sudah
menghilang.
d. 48 jam post mortem, granul sudah menghilang seluruhnya, sebagian miofibril aktin sudah
menghilang pla karena pembuukan. Granul troponin ini merupakan tanda khas rigor mortis.
Perubahan lain pada gambaran mikroskop elektron, seperti pembengkakan atau destruksi
motikondria dan retikulum endoplasmik dan edema miofibril ternyata tidak terdapat pada otot
mencit yang dibunuh dengan 2,4 dinitrophenol atau monoiodoacetic acid. Sehingga gambaran ini
bukanlah gambaran khas rigor mortis.
Memperkirakan saat kematian dengan menggunakan rigor mortis akan memberikan petunjuk yang
kasar, akan tetapi ini lebih baik dari pada lebam mayat oleh karena progresifitasnya dapat
ditentukan. (polson). Knight, memberikan opininya mengenai rigor mortis, bagaimanapun juga sangat
tidak aman dalam mamperkirakan saat mati dengan menggunakan rigor mortis. Knight selanjutnya
mengatakan bahwa perkiraan saat mati dengan menggunakan rigor mortis hanya mungkin digunakan
sekitar dua hari, bila suhu tubuh sudah sama dengan suhu lingkungan, tetapi pembusukan belum
terjadi. Bila rigor terjadi sudah menyeluruh, ada suatu perkiraan bahwa ini sudah terjadi kurang
lebih dua hari, tetapi inipun tergantung kondisi lingkungan.
Di daerah tropis, sebelum terjadi relaksasi sekunder biasanya pembusukan telah terjadi. Pada
temperatur panas rigor mortis secara tipikal akan mulai menghilang kurang lebih 36 – 48 jam
sesudah kematian. Bila suhu lingkungan tinggi dan kemudia berkembang menjadi pembusukan, secara
menyeluruh rigor mortis dapat menghilang dalam 9 – 12 jam sesudah kematian. Semakin cepat
pembusukan sebagai akibat dari septikemia yang terjadi pada antemortem dapat menyebabkan
semakin cepat menghilangnya rigor mortis.
Secara umum, bila onset terjadinya rigor mortis adalah cepat maka durasinya adalah relatif
singkat, dikatakan ada 2 faktor utama yang mempengaruhi onset dan durasi dari rigor mortis ini,
faktor pertama adalah suhu lingkungan, dan derajat dari aktifitas otot sebelum mati. Onset dari
rigor mortis ini dipercepat dan durasinya dipersingkat pada suhu lingkungan yang tinggi. sebaliknya
bila mayat diletakkan dalam lingkungan yang sangat dingin (dibawah 3,5˚C atau 40˚F) maka seluruh
cairan tubuh, otot, lemak bawah kulit akan membeku. Cairan sendi yang membeku menyebabkan sendi
tidak dapat digerakan. Bila sendi dibengkokan secara paksa maka akan terdengar suara es pecah. Dan
mayat yang kaku ini akan menjadi lemas kembali bila diletakan ditempat yang hangat, kemudian rigor
mortis akan terjadi dalam waktu yang sangat singkat.
Penelitian Krompecher pada tahun 1981 menujukan bahwa otot yang sudah membusuk dimana rigor
mortis sudah menghilang masih dapat menunjukan cold steiffening bila berada dalam ruangan
bertemperatur 6˚C selama 24 jam, disini dapat dibuktikan bahwa rigor mortis dan cold steiffening
adalah dua hal yang berbeda.
Onset dari rigor mortis menjadi cepat dan durasinya menjadi singkat dapat terjadi pada penyakit
yang menyebabkan kelelahan otot yang sangat sehingga katabolismenya meningkat seperti kolera,
cacar, tifus abdominalis, tuberkulosis, kanker, uremia, penyakit ginjal kronis, tetanus, serangan
epilepsi, hidrofobia, skorbut, rematik akut, meningitis, septikemia, piemia dan penyakit abdomen
lainnya. Pada keadaan ini rigor mortis hanya berlangsung 1 – 2 jam saja, sehingga sering tidak
terlihat oleh pemeriksa. Pada kasus tersambar petir, dimana rigor mortis terjadi secara cepat dan
menghilang secara cepat sering tidak terlihat pada waktu pemeriksaan. Keracunan striknin dosis
kecil, racun slinal, natrium salisilat, racun penyebab kejang, alkaloid, karbon monoksida,
dinitroortocresol (DNOC) pentachlorphenol, dan penghambat cholinesterase, luka gorok pada leher,
luka listrik dan luka tembak menyebabkan onset dari rigor mortis yang berlangsung cepat dan
mempunyai durasi yang berlangsung singkat.
Selain itu ada dua faktor tambahan lain yang mempengaruhi rigor mortis yaitu faktor endogen
lainnya dan faktor lingkungan. Dimana onset rigor mortis ini terjadinya relatif lebih cepat pada
anak/bayi dan orang tua bila dibandingkan dengan otot dewasa muda. Pada fetus yang meninggal
selalu terjadi rigor mortis, hanya saja onset dan durasinya berlangsung lebih singkat sehingga sering
tidak teramati. Di Bombay Famine Hospital pada tahun 1901 pernah dilaporkan adanya rigor mortis
pada fetus yang berusia 5 bulan. Pada fetus yang lahir mati, terutama yang aterm, rigor mortis
sering ditemukan dalam waktu yang sangat singkat. Fetus yang dikraniotomipun menunjukan adanya
rigor mortis. Sehingga dikatakan pada anak-anak dan orang tua proses rigor mortis berlangsung lebih
cepat dengan intensitas yang lemah, sedangkan pada remaja dan dewasa sehat rigor mortis
berlangsung lambat. Intensitas dari rigor mortis ini tergantung dari perkembangan dari otot mayat
itu sendiri, sebagai konsekuensinya, intensitas ini tidak boleh dikacaukan dengan derajat
perkembangannya dari rigor mortis. Pada waktu memeriksa rigor mortis ini antara derajat (komplet,
parsial, atau absent) dan distribusinya harus ditentukan setelah pemeriksaan sebelum dilakukan
manipulasi pada tubuh oleh pemeriksa yang lainnya.
Pada kasus-kasus asfiksia, kelumpuhan otot, perdarahan hebat, dan dekapitasi, rigor mortis dapat
berlangsung sampai 14 hari atau lebih. Rigor mortis yang berlangsung lambat dan durasinya lama juga
dapat terjadi pada keracunan striknin dosis besar, arsen, merkuri, kloroform, eter, atropin dan
narkotik.
Pada lingkungn yang bersuhu tinggi dan lembab, seperti pada daerah tropis, onset rigor mortis
berlangsung cepat dan durasinya pun berlangsung singkat. Sebaliknya pada lingkungan bersuhu
rendah dan kering, onset rigor mortis ini berlangsung lambat dan durasinyapun berlangsung lebih
lama. Pada daerah yang sangat dingin, rigor mortis dapat terhambat munculnya secara tak terbatas
dan bila sudah muncul dapat menetap sampai lebih dari 3 minggu.