Anda di halaman 1dari 111

PRAKTEK PENYELESAIAN FORMAL DAN INFORMAL

MASALAH PERTANAHAN, KEWARISAN DAN PERWALIAN


PASCA TSUNAMI DI BANDA ACEH DAN ACEH BESAR

Laporan Penelitian

INTERNATIONAL DEVELOPMENT LAW ORGANIZATION (IDLO)


Post-Tsunami Legal Assistance Initiative for Indonesia

Dr. Arskal Salim

BANDA ACEH
June 2006
[

UCAPAN TERIMAKASIH

Laporan penelitian ini adalah produk kegiatan yang dilaksanakan oleh International
Development Law Organization (IDLO) melalui program ‘Post-Tsunami Legal
Assistance Initiative in Indonesia’ di Aceh. Laporan ini disusun berdasarkan penelitian
lapangan di 12 gampong di Banda Aceh dan Aceh Besar yang dilakukan oleh tim
peneliti IDLO yang terdiri dari Dr. Arskal Salim, Muzakkir Abubakar SH.,SU., dan
Ernita Dewi S.Ag., M.Hum. Untuk itu, tim peneliti ingin mengucapkan terimakasih
kepada segenap informan yang berprofesi sebagai geuchik, imam meunasah, sekretaris
gampong, kepala dusun dan warga gampong. Selain itu, tim peneliti juga ingin
menghaturkan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada sejumlah narasumber yang
terdiri dari pakar hukum dan dosen perguruan tinggi (UNSYIAH dan IAIN Ar-Raniry),
Ketua Mahkamah Syar’iyah Nanggroe Aceh Darussalam, segenap jajaran hakim
Mahkamah Syar’iyah di Banda Aceh dan Jantho, dan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA)
yang telah meluangkan waktu mereka untuk kepentingan penelitian ini dan
keikutsertaan mereka dalam kegiatan workshop hasil penelitian yang diadakan pada
tanggal 30 Mei 2006 di Auditorium Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.

Penulisan laporan ini dikerjakan oleh Dr. Arskal Salim. Penulis ingin menyampaikan
terimakasih kepada Erica Harper, Chief of Party IDLO Banda Aceh yang telah memberi
masukan yang berharga dalam proses penulisan draft awal naskah ini. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Rusydi Ali Muhammad SH., guru besar
Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, yang telah sudi membaca draft awal naskah ini dan
memberikan beberapa catatan yang perlu.

i
RINGKASAN EKSEKUTIF

Gempa dan Tsunami tanggal 26 Desember 2004 telah menimbulkan dampak yang
sangat dahsyat. Bukan saja ratusan ribu jiwa yang melayang dan kerugian materiel yang
tak pernah terbayangkan, tetapi juga menimbulkan puluhan ribu anak yatim piatu.
Dampak utama dari peristiwa ini yang bertalian langsung dengan hukum dan keluarga
adalah munculnya bermacam-macam persoalan di bidang tanah, kewarisan dan
perwalian.

International Development Law Organization sejak akhir tahun 2005 hingga


pertengahan tahun 2006 telah melaksanakan dua kali penelitian mengenai masalah
hukum pasca Tsunami di Aceh. Hasil penelitian yang ada di tangan pembaca saat ini
adalah penelitian lapangan di 12 gampong di Banda Aceh dan Aceh Besar yang
dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2006. Penelitian ini lebih memfokuskan pada aspek
praktis penyelesaian formal dan informal masalah pertanahan, kewarisan dan perwalian
pasca Tsunami di wilayah tersebut. Hasil penelitian ini telah dipresentasikan di
Mahkamah Syar’iyah pada tanggal 30 Mei 2006 dan dihadiri oleh sejumlah pakar
hukum adat Aceh, para hakim tinggi Mahkamah Syar’iyah NAD, dan segenap hakim
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dan Jantho.

Penelitian ini menemukan bahwa kasus persengketaan hak atas tanah yang terkait erat
dengan situasi pasca Tsunami tampaknya lebih sering diselesaikan pada tingkat
gampong oleh pemuka adat. Hal ini terbukti dengan hampir tidak adanya perkara
tersebut yang masuk ke Pengadilan Negeri (PN) dan Mahkamah Syar’iyah (MS) di
Banda Aceh dan Aceh Besar hingga akhir tahun 2005. Masalah tanah yang diselesaikan
oleh aparat gampong pada umumnya melalui musyawarah antar warga di gampong.
Sayangnya, penyelesaian kasus-kasus tanah dengan cara-cara tersebut masih jarang
sekali didokumentasikan dalam bentuk berita acara yang dapat disimpan sebagai arsip
di kantor gampong.

Dalam bidang kewarisan pasca-Tsunami ini, penelitian ini melakukan analisis lewat tiga
aspek: (1) ahli waris, (2) harta warisan, dan (3) implementasi pembagian warisan oleh
aparat gampong. Posisi dan kedudukan perempuan menjadi fokus sentral dalam
pembahasan dan analisis kasus kewarisan yang menjadi obyek penelitian ini. Salah satu
hal yang penting dikemukakan di sini adalah bahwa penyelesaian perkara kewarisan di
gampong tak jarang hasilnya kurang menguntungkan bagi perempuan, khususnya bila
dibandingkan dengan penyelesaian masalah harta warisan yang ditangani oleh
Mahkamah Syar’iyah. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa baitul mal
gampong belum berfungsi sepenuhnya, khususnya dalam menangani harta warisan yang
tak ada lagi pemiliknya atau ahli warisnya.

Tentang masalah perwalian pasca Tsunami, penelitian ini menemukan bahwa dalam
praktek di gampong kedudukan dan kekuasaan wali seringkali lebih dikonotasikan
dengan jenis kelamin laki-laki. Dengan demikian, perwalian terhadap anak-anak yatim
lebih diprioritaskan kepada laki-laki dari pihak keluarga ayah. Meski begitu, sering
terdapat bahwa pengasuhan anak-anak yatim tersebut berada di tangan perempuan dari
sanak keluarga pihak ibu, sementara pengelolaan harta kekayaan anak yatim dan
pembiayaan sehari-hari anak yatim itu berasal dari wali laki-laki dari sanak keluarga
ayah. Penting dicatat bahwa Mahkamah Syar’iyah berusaha memberi arah baru bagi

ii
praktek yang berlangsung ini dengan menunjuk sebagian besar wali perempuan, apakah
itu ibu kandung, kakak perempuan kandung, tante atau nenek dari yatim itu.

Guna mengatasi berbagai celah kekurangan dalam penyelesaian formal dan informal
masalah tanah, kewarisan dan perwalian pasca-tsunami, seperti yang teridentifikasi
dalam uraian temuan penelitian ini, sejumlah kegiatan sebagai tindak lanjut penelitian
perlu disampaikan di sini. Sebagian kegiatan tindak lanjut itu akan dilaksanakan sendiri
oleh IDLO selama misinya di Aceh, seperti:
• Peningkatan pengetahuan hukum dan kemampuan teknik mediasi aparat
gampong.
• Diseminasi informasi hukum yang berwawasan gender untuk warga masyarakat
• Penyediaan pusat informasi hukum dan paralegal yang dapat memfasilitasi
penyaluran kebutuhan hukum masyarakat.

Beberapa agenda lain yang masih perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan
hasil temuan penelitian ini antara lain adalah:
• Membantu kelengkapan administratif dan peralatan yang dibutuhkan untuk
memaksimalkan peran rapat adat gampong sebagai media alternatif penyelesaian
hukum.
• Membentuk secara resmi lembaga baitul mal gampong yang antara lain dapat
difungsikan sebagai pengawas harta peninggalan yang tidak diketahui lagi ahli
warisnya dan sebagai lembaga pengawas terhadap pelaksanaan kewajiban dan
tanggung jawab wali.
• Mengupayakan secara intensif pendekatan hukum yang bersifat afirmatif untuk
menjamin lebih lanjut penguatan posisi ahli waris perempuan yang
sebatangkara, apakah melalui fatwa MPU ataupun lewat surat keputusan
bersama yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga tingkat propinsi yang terkait.
• Di luar program RALAS, dibutuhkan pula dukungan bagi Mahkamah Syar’iyah
untuk melakukan penunjukan secara formal wali-wali bagi anak-anak yatim
piatu, (jumlahnya kurang lebih 20.000 orang) yang hingga kini belum berada di
bawah suatu perwalian resmi. Atau dapat juga, setelah baitul mal di setiap
gampong terbentuk secara resmi, Mahkamah Syar’iyah menetapkan baitul mal
gampong tersebut untuk menjadi wali bagi anak-anak yatim piatu yang berada di
wilayahnya.

iii
DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMAKASIH .............................................................................. i


RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................ ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK ................................................................... vi
DAFTAR DIAGRAM ....................................................................................... vii
KETERANGAN DIAGRAM KEWARISAN ................................................. viii

I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

II. TUJUAN PENELITIAN ............................................................................ 1

III. SIGNIFIKANSI PENELITIAN ................................................................. 2

IV. METODE PENELITIAN............................................................................ 2

V. TEMUAN PENELITIAN............................................................................ 4

A. Pertanahan ............................................................................................. 4
1. Mahkamah Syar’iyah dan Penyelesaian Masalah Tanah .................. 4
a. Lewat Waktu ................................................................................ 5
2. Penyelesaian Masalah Tanah di Gampong ........................................ 6
a. Hukum yang digunakan dalam Penyelesaian Masalah Tanah .... 7
b. Musyawarah Gampong tentang Masalah Tanah .......................... 8
c. Program RALAS .......................................................................... 9
d. Cara Penyelesaian Masalah Tanah .............................................. 12
3. Hak Perempuan atas Tanah ............................................................... 14
a. Perempuan dan Penyelesaian Masalah Tanah di Gampong ......... 15
4. Tanah-tanah yang Pemiliknya Meninggal Sementara Ahli
Warisnya Masih di Bawah Umur ...................................................... 17
5. Tanah-tanah yang Tidak Ada Pemilik atau Ahli Warisnya ............... 18
6. Tanah-tanah Pesisir yang Hilang Akibat Bencana Tsunami ............. 19
7. Tanah-tanah Pinggir Pantai yang Berubah Wujud Permukaannya .... 20

B. Kewarisan ............................................................................................... 22
1. Ahli Waris ......................................................................................... 22
a. Kewajiban Ahli Waris ................................................................. 22
2. Harta Peninggalan ............................................................................. 23
a. Harta Bawaan .............................................................................. 24
b. Harta Bersama ............................................................................. 26
c. Uang Pensiun dan Tabungan Hari Tua ........................................ 29
1) Pegawai Negeri Sipil ............................................................. 29
2) Karyawan Swasta .................................................................. 30
d. Jaminan Kematian ....................................................................... 31
e. Uang Asuransi: Harta Bersama atau Harta Peninggalan? ........... 31
3. Hak Waris Perempuan ....................................................................... 32

iv
a. Anak Perempuan ......................................................................... 32
b. Janda ............................................................................................ 34
c. Cucu Perempuan (patah titi) ....................................................... 36
d. Ibu ................................................................................................ 38
4. Implementasi Pembagian Warisan .................................................... 39
a. Pembagian Harta Warisan dalam Keluarga ................................. 39
b. Penyelesaian Masalah Warisan oleh Aparat Gampong ............... 41
c. Penyelesaian Perkara Waris oleh Mahkamah Syar’iyah ............. 42

C. Perwalian ................................................................................................ 44
1. Cakupan Perwalian ............................................................................ 44
2. Usia Anak di Bawah Perwalian ......................................................... 45
3. Persyaratan Wali ................................................................................ 45
4. Wali Perempuan untuk Pengasuhan dan Harta .................................. 46
5. Penunjukkan dan Penetapan Wali ..................................................... 48
a. Penunjukkan/Penetapan Wali dalam Program RALAS ............... 49
6. Kewajiban dan Tanggungjawab Wali ................................................ 50
a. Pengasuhan Diri Anak Jasmani dan Rohani ................................ 50
b. Pengurusan Harta Benda Milik Anak Yatim ............................... 51
c. Penyerahan Seluruh Harta kepada Anak Yatim di Bawah
Perwaliannya................................................................................. 52
7. Pengawasan Wali ............................................................................... 52
8. Pencabutan Kekuasaan dan Penggantian Wali .................................. 53

VI. KESIMPULAN ......................................................................................... 54

VII. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 56

VIII. LAMPIRAN
1. Jumlah penduduk sebelum dan sesudah bencana tsunami dalam
enam kecamatan di Banda Aceh dan Aceh Besar
a. Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh ....................................... 59
b. Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh ................................... 60
c. Kecamatan Kutaraja Kota Banda Aceh ....................................... 61
d. Kecamatan Peukan Bada Aceh Besar .......................................... 62
e. Kecamatan Baitussalam Aceh Besar ........................................... 63
f. Kecamatan Lhoknga Aceh Besar ................................................ 64
2. Formulir Bukti Kesepakatan Pewarisan ........................................... 65
3. Matriks Hukum Formal dan Hukum Adat Aceh tentang
Pertanahan ......................................................................................... 66
4. Matriks Hukum Formal dan Hukum Adat Aceh tentang
Kewarisan .......................................................................................... 79
5. Matriks Hukum Formal dan Hukum Adat Aceh tentang
Perwalian ........................................................................................... 95

v
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK

Tabel. 1 ........................................................................................................ 3
Tabel. 2 ........................................................................................................ 5
Tabel. 3 ........................................................................................................ 6
Tabel. 4 ........................................................................................................ 15
Tabel. 5 ........................................................................................................ 16
Tabel. 6 ........................................................................................................ 23
Tabel. 7 ........................................................................................................ 25
Tabel. 8 ........................................................................................................ 25
Tabel. 9 ........................................................................................................ 26
Tabel. 10 ........................................................................................................ 27
Tabel. 11 ........................................................................................................ 28
Tabel. 12 ........................................................................................................ 29
Tabel. 13 ........................................................................................................ 32
Tabel. 14 ........................................................................................................ 43
Tabel. 15 ........................................................................................................ 43
Tabel. 16 ........................................................................................................ 47
Tabel. 17 ........................................................................................................ 50
Grafik. 1 ........................................................................................................ 47

vi
DAFTAR DIAGRAM

Diagram. 1 ...................................................................................................... 12
Diagram. 2 ...................................................................................................... 33
Diagram. 3 ...................................................................................................... 34
Diagram. 4 ...................................................................................................... 35
Diagram. 5 ...................................................................................................... 35
Diagram. 6 ...................................................................................................... 36
Diagram. 7 ...................................................................................................... 38
Diagram. 8 ...................................................................................................... 39
Diagram. 9 ...................................................................................................... 40
Diagram. 10 ...................................................................................................... 42
Diagram. 11 ...................................................................................................... 49

vii
KETERANGAN DIAGRAM KEWARISAN

= Laki-laki pewaris

= Laki-laki yang telah meninggal

= Laki-laki yang masih hidup

= Perempuan pewaris

= Perempuan yang telah meniggal

= Perempuan yang masih hidup

= Hubungan Perkawinan

= Hubungan Persaudaraan

= Hubungan keturunan

= Hubungan keturunan angkat

viii
I. PENDAHULUAN
Bencana alam Tsunami tanggal 26 Desember 2004 yang menimpa propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam telah menewaskan dan menghilangkan sedikitnya 150
ribu hingga 200 ribu jiwa, menimbulkan kurang lebih 30 ribu anak yatim, dan
mengakibatkan kerugian materil lainnya dalam jumlah yang sangat besar. Sebagai
dampak dari bencana ini, berbagai persoalan dan sengketa hukum di bidang
pertanahan, kewarisan dan perwalian tak pelak bermunculan ke permukaan.

Dalam waktu hampir satu setengah tahun pasca Tsunami, Mahkamah Syar’iyah di
kota dan kabupaten di seluruh Aceh yang dilanda Tsunami telah menyelesaikan
belasan ribu kasus yang meliputi penetapan ahli waris dan penunjukan perwalian.
Jumlah ini tentu saja masih di bawah angka korban yang meninggal akibat Tsunami
yang mencapai ratusan ribu jiwa. Lebih dari itu, perkara-perkara waris dan
perwalian yang diajukan ke depan Mahkamah pada umumnya bersifat volunteer
(permohonan) dan bukannya berbentuk contentious (persengketaan). Mahkamah
Syar’iyah memperkirakan bahwa ke depan angka kasus sengketa akan meningkat,
lebih-lebih jika kasus-kasus tersebut tak dapat diselesaikan melalui musyawarah
keluarga ataupun oleh pemuka adat di gampong.

Mempertimbangkan kenyataan tersebut, International Development Law


Organization (IDLO) dalam program bantuan hukum yang dilakukannya di Aceh
pasca Tsunami memilih antara lain Mahkamah Syar’iyah Propinsi NAD sebagai
salah satu partner kerjasama khususnya dalam bidang perkara-perkara yang
merupakan kewenangan hukum Mahkamah Syar’iyah. Di antara program kerjasama
tersebut adalah Penelitian dan Dokumentasi Hukum yang berkaitan dengan
pertanahan,1 kewarisan dan perwalian. Hasil dari kegiatan riset ini nantinya akan
digunakan sebagai kerangka pelaksanaan program berikutnya, yaitu pelatihan
aparatur gampong guna peningkatan keterampilan dan teknik mediasi, dan
sosialisasi tentang hak-hak perempuan dalam aspek pertanahan, kewarisan dan
perwalian melalui film dokumenter pendek yang akan diproduksi oleh IDLO.

II. TUJUAN PENELITIAN


Penelitian dan Dokumentasi hukum yang dilakukan oleh IDLO bekerjasama dengan
Mahkamah Syar’iyah bertujuan antara lain:
1. Mengumpulkan informasi tentang prinsip-prinsip dan prosedur hukum
formal berkaitan dengan persoalan pertanahan, kewarisan dan perwalian.
2. Mengumpulkan informasi tentang prinsip-prinsip dan praktek hukum
adat di Banda Aceh dan Aceh Besar berkaitan dengan masalah
pertanahan, kewarisan dan perwalian.
3. Mengetahui dengan lebih jelas tentang posisi dan kedudukan perempuan
dalam praktek pengambilan keputusan hukum yang dibuat, baik oleh
hakim Mahkamah maupun oleh aparat gampong, berkenaan dengan
pertanahan, kewarisan dan perwalian.

1
Persoalan tanah, sepanjang tersangkut di dalamnya masalah kewarisan, menjadi kewenangan hukum
Mahkamah Syar’iyah untuk memeriksanya. Lihat Fatwa MPU no. 3/2005 dan Soufyan M. Saleh,
“Pembagian Hak Warisan: Praktek Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam”, makalah
disampaikan dalam Lokakarya Orientasi Pemahaman Harta Bersama, Penentuan Ahli Waris dan
Perwalian dalam Masyarakat Aceh, Banda Aceh, Mei 2005, p. 8.

1
2

4. Mempersiapkan bahan manual pelatihan keterampilan dan teknik


mediasi yang berwawasan kesetaraan jender bagi aparat gampong di
wilayah yang tertimpa bencana Tsunami.
5. Memperoleh informasi kasus-kasus yang terjadi di tengah masyarakat
sebagai masukan untuk pengayaan cerita film dokumenter pendek yang
akan diproduksi oleh IDLO.

III. SIGNIFIKANSI PENELITIAN


Sejumlah kegiatan berbentuk publikasi, penelitian, seminar dan lokakarya tentang
masalah pertanahan, kewarisan dan perwalian di Aceh pasca Tsunami telah
dihasilkan.2 Akan tetapi, semua karya tersebut lebih banyak menyoroti persoalan
pertanahan, kewarisan dan perwalian dari sudut pandang normatif. Dengan kata lain,
mereka lebih memberi perhatian pada prinsip-prinsip hukum, prosedur hukum dan
skema solusi permasalahan, tetapi tidak menyoroti secara spesifik bagaimana
realitas persoalan pertanahan, kewarisan dan perwalian yang terjadi di tengah
masyarakat dan bagaimana kasus-kasus seputar hal itu dipecahkan baik di tingkat
keluarga maupun gampong.

Penelitian ini menjadi signifikan karena ia bermaksud mengisi kevakuman di atas


dengan mencoba melihat realitas masalah pertanahan, kewarisan dan perwalian di
Aceh pasca Tsunami dari perspektif penyelesaian hukum melalui jalur formal
pengadilan dan penyelesaian sengketa secara damai oleh aparat gampong. Selain itu,
studi kasus kolektif dalam penelitian ini menjadi kian penting berhubung ia juga
bermaksud memotret kecenderungan masyarakat dalam memahami dan memilih di
antara berbagai hukum yang tersedia (misalnya KHI, hukum adat, dan fikih
Syafi’iyah) dalam menyelesaikan perkara hukum yang dihadapi oleh mereka.

IV. METODE PENELITIAN


Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini
dipilih karena informasi dan data yang dicari melalui penelitian ini lebih banyak
dalam bentuk teks, dan juga karena penelitian ini mempelajari sejumlah studi kasus.
Untuk itulah, instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
dokumentasi, observasi dan wawancara mendalam.

Peneliti pertama-tama melakukan penelusuran terhadap sejumlah literatur


khususnya yang berkenaan dengan prinsip dan prosedur hukum adat Aceh berkaitan
dengan tiga aspek hukum yang menjadi fokus penelitian ini. Peneliti juga menelaah
sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan topik utama penelitian
ini. Hasil dari penelusuran dan telaah ini adalah matriks kompilasi peraturan formal
dan prinsip hukum adat mengenai pertanahan, kewarisan dan perwalian.
Penyusunan matriks ini juga berdasarkan hasil wawancara mendalam bersama

2
Lihat misalnya Daniel Fitzpatrick, “Restoring and Confirming Rights to Land in Tsunami-Affected
Aceh,” UNDP/OXFAM Report, 14 July 2005; Daniel Fitzpatrick and Myrna A. Safitri, “Bagaimana
Melindungi dan Memenuhi Hak-Hak atas Tanah Korban Tsunami di Aceh?”, Oktober 2005; “Laporan
Lokakarya Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak Yatim Korban Tsunami sebagai
Prasyarat Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD”, Yayasan Putroe Kandee, Mei 2005; “Lokakarya
Perwalian Perempuan terhadap Harta Anak Yatim Korban Tsunami menurut Syariat Islam dan Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia”, Banda Aceh, September 2005.
3

empat orang narasumber ahli hukum dan sejarah adat Aceh.3 Selain itu, wawancara
mendalam dengan sejumlah hakim Mahkamah Syar’iyah di Banda Aceh dan Jantho
juga ikut melengkapi matriks tersebut.4

Penelitian lapangan ke beberapa gampong sebagian dimaksudkan untuk melakukan


verifikasi terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum adat yang dicantumkan
dalam matriks guna mengetahui seberapa jauh prinsip dan aturan tersebut masih
dipraktekkan dalam masyarakat. Selain untuk tujuan verifikasi itu, penelitian
lapangan juga mempunyai maksud untuk mengevaluasi posisi dan kedudukan
perempuan dalam praktek pelaksanaan hukum yang berkaitan dengan persoalan
pertanahan, kewarisan dan perwalian pasca Tsunami.

Penelitian ini dibatasi hanya untuk dua wilayah, yaitu kota Banda Aceh dan
kabupaten Aceh Besar. Selengkapnya, gampong atau kelurahan yang menjadi target
penelitian ini berjumlah dua belas buah sebagai berikut:

Tabel 1.

KOTA/KAB KECAMATAN MUKIM GAMPONG/KEL


BANDA ACEH MEURAXA Tgk. Chik Lamjabat 1. Cot Lamkuweuh
Meuraxa 2. Lambung
KUTARAJA Tgk. Dianjong 3. Gampong Jawa
Tgk. Dianjong 4. Lampaseh Kota
KUTA ALAM Lam Kuta 5. Lampulo
Kuta Alam 6. Lambaro Skep
ACEH BESAR PEUKAN BADA Lam Teungoh 7. Lamteh
Baroh 8. Ajuen
LHOKNGA Lampuuk 9. Meunasah Balee
Lhoknga 10. Mon Ikeun
BAITUSSALAM Klieng 11. Lambada Lhok
Silang Cadek 12. Kajhu

Gampong-gampong di atas dipilih sebagai lokasi penelitian antara lain


karena angka korban Tsunami (hilang dan meninggal) sangat tinggi
jumlahnya dibandingkan dengan gampong-gampong lainnya yang terletak di
kecamatan yang sama (lihat lampiran 1: Jumlah penduduk sebelum dan
sesudah bencana tsunami di enam lokasi kecamatan di Banda Aceh dan
Aceh Besar). Penelitian ini memandang bahwa semakin banyak jumlah
korban Tsunami di suatu gampong, maka semakin besar pula kemungkinan
jumlah perkara pertanahan, kewarisan dan perwalian yang bakal muncul di
gampong tersebut. Selain itu, gampong yang dipilih tersebut memiliki
kompleksitas masalah yang lebih banyak diakibatkan oleh heterogenitas
penduduk yang berdomisili di gampong tersebut.

3
Wawancara dengan T.I. El Hakimy (26 April 2006), T. Djuned (27 April 2006), Rusdi Sufi (27 April
2006) dan Badruzzaman Ismail (8 Mei 2006).
4
Wawancara dengan hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh (26 April 2006) dan Jantho (27 April
2006).
4

V. TEMUAN PENELITIAN

A. Pertanahan

Patut diungkap sebelumnya disini bahwa persoalan pertanahan yang dikaji


lewat penelitian ini adalah yang berkaitan secara langsung dengan situasi
pasca Tsunami, dan bukannya masalah pertanahan secara umum. Uraian
dalam bagian ini akan diawali oleh pembahasan masalah kewenangan
Mahkamah Syar’iyah atas pertanahan. Berhubung kasus pertanahan yang
berkaitan dengan bencana Tsunami hampir tidak ada yang diajukan ke
pengadilan, pembahasan selanjutnya akan terfokus pada penyelesaian
masalah kepemilikan tanah di gampong.

1. Mahkamah Syar’iyah dan Penyelesaian Masalah Tanah


Pada dasarnya, penyelesaian masalah tanah lewat jalur hukum formal adalah
merupakan kewenangan Peradilan Negeri dan bukan berada di bawah
jurisdiksi Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah. Undang-Undang nomor 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Qanun nomor 10 tahun 2002 tentang
Peradilan Syariat Islam dan Keputusan Presiden nomor 11 tahun 2003
tentang Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tidak
memberi kewenangan hukum untuk memeriksa kasus-kasus pertanahan
secara umum. Masalah pertanahan memang bisa saja diperiksa oleh
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah apabila di dalamnya ada
melibatkan perkara kewarisan. Sungguhpun begitu, jika terdapat sengketa
hak milik tanah di dalam perkara kewarisan tersebut, maka ketentuan pasal
50 UU 7/1989 yang akan berlaku. Pasal tersebut menyatakan bahwa seluruh
bentuk sengketa hak milik, termasuk kepemilikan tanah, tidak dapat
diselesaikan oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah kecuali apabila
telah diperiksa dan diputuskan perkaranya oleh Pengadilan Negeri. Dengan
demikian, jika terdapat masalah kewarisan tanah yang di dalamnya
tersangkut sengketa hak milik, perkara semacam itu terlebih dahulu harus
diselesaikan oleh Pengadilan Negeri, dan setelah itu baru kemudian dapat
diteruskan pemeriksaan dan penyelesaiannya oleh Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah.

Namun, menurut Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, Soufyan Saleh,


penyerahan sebagian kewenangan Peradilan Negeri kepada Mahkamah
Syar’iyah pada tanggal 11 Oktober 2004, melalui Surat Keputusan
Mahkamah Agung (KMA/070/SK/X/2004) tentang Pelimpahan Sebahagian
Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar’iyah Provinsi
NAD, dapat dipandang sebagai pemberian kewenangan yang lebih luas
kepada Mahkamah Syar’iyah daripada kewenangan Pengadilan Agama
sebelumnya, termasuk otoritas dalam memeriksa dan menyelesaikan
sengketa hak milik dalam perkara kewarisan.5

5
Soufyan M. Saleh, “Pembagian Hak Warisan: Praktek Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh
Darussalam”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Orientasi Pemahaman Harta Bersama, Penentuan
Ahli Waris dan Perwalian dalam Masyarakat Aceh, Banda Aceh, Mei 2005.
5

Di samping itu, respon pasca-Tsunami di Aceh tampaknya menjadi alasan


khusus bagi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) untuk mengeluarkan
fatwa nomor 3 tahun 2005 yang menyatakan kewenangan Mahkamah
Syar’iyah untuk memeriksa kasus-kasus kewarisan tanah yang di dalamnya
terdapat pula sengketa milik (lihat fatwa di dalam box di bawah).

Tabel 2.

Gugatan Hak Milik dan Kewarisan atas tanah (korban gempa dan gelombang Tsunami)
dapat diajukan ke Mahkamah Syar’iyah dengan penyertaan alat bukti yang sah.

Kewenangan menyelesaikan sengketa hak milik dan kewarisan atas tanah, sengketa nasab
dan mafqud adalah kewenangan Mahkamah Syar’iyah.

Kewenangan Mahkamah Syar’iyah/Peradilan Agama atas sengketa hak


milik, termasuk di dalamnya perkara kewarisan atas tanah, kian terakui
keabsahannya menyusul diberlakukannya Undang-Undang nomor 3 tahun
2006 tentang Perubahan Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang tersebut berbunyi:
“Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada [UU
3/2006, 50] ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang
beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama
bersama-sama sebagaimana dimaksud dalam [UU 3/2006] pasal 49.”
Dengan kata lain, segala kasus sengketa hak milik atas tanah warisan,
sepanjang pihak-pihak yang terlibat dalam perkara itu beragama Islam,
berada di bawah kewenangan Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah untuk
memeriksanya. Akan tetapi, sungguhpun Mahkamah Syar’iyah sudah
memperoleh otoritas penuh untuk memeriksa kasus-kasus sengketa
kewarisan tanah, hingga penelitian ini selesai dilakukan, terdapat hanya satu
atau dua kasus semacam itu yang diajukan ke muka hakim Mahkamah
Syar’iyah Banda Aceh dan Jantho.

a. Lewat Waktu
Pembahasan tentang lewat waktu atau kadaluarsa dalam kaitannya dengan
pemeriksaan yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah cukup relevan pula
untuk dibahas di sini. Menurut Fatwa MPU nomor 2 tahun 2005 yang
dikeluarkan tidak lama sesudah terjadinya bencana Tsunami (7 Februari
2005), “Gugatan hak milik dan gugatan kewarisan atas tanah korban
Tsunami hanya diterima dalam waktu 5 tahun sejak musibah Tsunami terjadi
dan setelah itu dinyatakan lewat waktu (kadaluarsa); sedang bagi anak yang
belum dewasa ketika musibah Tsunami terjadi hak mengajukan gugatan ini
diperpanjang sampai dia berumur 19 tahun.” Substansi butir fatwa MPU
yang menyangkut lewat waktu ini tampaknya tidak seirama dengan
ketentuan formal yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Buku Keempat tentang Pembuktian dan Lewat Waktu. Pasal 1967
dari KUHPer itu berbunyi:
6

Tabel 3.

Semua tuntuan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan,
hapus karena lewat waktu dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan orang yang
menunjuk adanya lewat waktu itu, tidak usah menunjukkan suatu alas hak, dan
terhadapnya tak dapat diajukan suatu tangkisan yang didasarkan pada itikad buruk.

Menarik diungkapkan di sini bahwa sebelum Tsunami terjadi di Aceh, terdapat


putusan banding Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD (37/Pdt.G/2004/MS Prov.)
yang menolak gugatan perkara kewarisan karena sudah lewat waktu dari 33
tahun. Akan tetapi, putusan banding itu ternyata tidak merujuk ketentuan yang
terdapat dalam pasal 1967 KUHPer di atas, melainkan berdasarkan kitab Al-
Nasyi’ah (jilid 7:485), sebuah kitab fikih bermazhab Syafi’i.

Berkaitan dengan batas lewat waktu ini, tampaknya Mahkamah Syar’iyah akan
lebih mendasarkan diri pada ketentuan formal sebagaimana yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan banding Mahkamah Syar’iyah
Provinsi ketimbang pada fatwa yang dikeluarkan oleh MPU di atas.6 Selain itu,
fatwa merupakan suatu produk hukum yang tidak mempunyai implikasi hukum
yang mengikat, apatah lagi memaksa para hakim untuk mengikutinya.

2. Penyelesaian Masalah Tanah di Gampong


Kasus persengketaan hak atas tanah yang terkait erat dengan situasi pasca
Tsunami tampaknya lebih sering diselesaikan pada tingkat gampong oleh
pemuka adat ketimbang oleh Pengadilan. Hal ini terbukti dengan hampir tidak
adanya perkara pertanahan yang terkait bencana Tsunami yang masuk ke
Pengadilan Negeri (PN) dan Mahkamah Syar’iyah (MS) di Banda Aceh dan
Aceh Besar hingga penelitian lapangan berakhir pada April 2006.7 Ada
kemungkinan bahwa fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU) nomor 2 tahun 2005 merupakan faktor pendorong terjadinya
penyelesaian masalah tanah di gampong. Fatwa tersebut berbunyi
“Mengingatkan kembali bahwa Mahkamah Syar’iyah perlu memberi
kesempatan kepada Geuchik dan Mukim (beserta tuha peutnya masing-masing)
untuk menyelesaikan sengketa melalui perdamaian sebelum diperiksa oleh
Mahkamah Syar’iyah”.

Tapi fatwa MPU tersebut sesungguhnya bukan faktor yang amat menentukan.
Hal lain yang dapat mempengaruhi masyarakat untuk menyelesaikan persoalan
tanah mereka di gampong adalah fakta bahwa mereka tidak memahami dan
mengetahui secara persis mekanisme pengajuan perkara ke pengadilan.8 Lebih-
lebih, pada umumnya yang menjadi korban Tsunami adalah orang-orang tua,
dan yang selamat hanyalah tinggal anak-anak yang hidup bersama wali dari
keluarga orang tuanya. Anak-anak yang masih di bawah perwalian ini tentu saja
tidak bisa segera menangani persoalan kepemilikan tanah yang merupakan harta
warisan dari orang tua mereka yang meninggal dalam Tsunami. Adapun wali-

6
Diskusi dengan sejumlah Hakim Tinggi Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD (2 Juni 2006).
7
Wawancara dengan panitera PN Jantho (27 April 2006); Wakil Ketua PN Banda Aceh (26 April 2006);
Ketua MS dan panitera MS Banda Aceh (26 April 2006); Ketua MS Jantho (27 April 2006).
8
Lihat draft laporan penelitian yang disiapkan oleh UNDP, Access to Justice in Aceh (Mei 2006).
7

wali dari anak-anak tersebut belum seluruhnya memperoleh penetapan resmi


dari Mahkamah Syar’iyah sehingga mereka belum dianggap sah menurut hukum
untuk bertindak melakukan perbuatan hukum atas nama anak yang berada di
bawah perwalian mereka. Menurut perkiraan kasar seorang hakim di Mahkamah
Syar’iyah Banda Aceh, terdapat lebih dari 20.000 anak yatim piatu yang hingga
sekarang belum mendapatkan penetapan wali secara resmi.9 Pembahasan
panjang lebar tentang perwalian akan dibahas dalam bagian mendatang.

Faktor lain yang tidak kalah penting tentang mengapa penyelesaian masalah
tanah lebih sering dilakukan di gampong adalah sikap dan pemahaman warga
masyarakat bahwa berurusan dengan pengadilan hanya menimbulkan ongkos
yang mahal. Sungguhpun biaya perkara tidak dipungut atas mereka yang
tertimpa bencana Tsunami, ongkos transportasi menuju lokasi pengadilan
(misalnya di Jantho bagi penduduk Aceh Besar yang berdomisili di kecamatan
Lhoknga, Lepung atau Lhoong) bukanlah sesuatu yang murah dan terjangkau
bagi masyarakat kecil yang sudah menderita dan kehilangan harta benda akibat
Tsunami. Hal lain yang juga disebut sebagai alasan warga masyarakat tidak
membawa perkaranya ke pengadilan adalah persepsi mereka bahwa perdamaian
hanya dapat diperoleh lewat penyelesaian hukum di gampong, sementara jika
perkara sudah dimasukkan ke pengadilan maka persoalan benar-salah suatu
kasus yang lebih diutamakan. Selain itu, masyarakat juga menganggap bahwa
hanya orang-orang yang kuat atau pintar dan kaya yang mampu menyewa
pengacara yang akan memenangkan perkara itu.10

a. Hukum yang digunakan dalam Penyelesaian Masalah Tanah


Sekalipun disadari betul bahwa terdapat praktek yang berbeda-beda antara satu
gampong dengan gampong lainnya, penelitian ini menemukan bahwa
penyelesaian masalah tanah yang dilakukan lewat musyawarah gampong dengan
dipimpin oleh Geuchik lebih banyak menurut ketentuan adat setempat. Yang
dimaksudkan dengan ketentuan adat di sini adalah bahwa Geuchik lebih
menekankan kepada pihak-pihak untuk mencapai perdamaian dengan cara
musyawarah atau berkompromi di antara mereka sendiri berdasarkan suatu
pembuktian, misalnya keterangan dari saksi-saksi yang masih hidup. Di
Gampong Jawa, kecamatan Kutaraja, Banda Aceh, misalnya, terdapat masalah
yang berhubungan dengan batas tanah. Oleh aparat gampong, setelah sejumlah
saksi dipanggil untuk menjelaskan secara pasti tentang batas-batas tanah
tersebut, perkara tanah tersebut pada galibnya sudah terselesaikan dengan
sendirinya. Pada kasus lain di mana sertifikat tanah hilang atau musnah karena
bencana Tsunami, aparat Gampong Jawa meminta kepada kedua belah pihak
keluarga suami dan keluarga isteri, yang merupakan ahli waris yang masih
tinggal, untuk melakukan musyawarah intern dengan mengutamakan kejujuran
dan keikhlasan.11 Berdasarkan hasil musyawarah keluarga inilah, Geuchik lalu
menerbitkan surat keterangan tentang kepemilikan tanah itu yang nantinya
berguna untuk kepentingan pemecahan, pendaftaran dan penerbitan sertifikat
untuk tanah tersebut.
9
Pembicaraan pribadi dengan Rosmawardani, hakim pada Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, 30 Mei
2006.
10
Wawancara dengan Rafiuddin, Ketua Mahkamah Syar’iyah Jantho; Cf. Draft Laporan UNDP, Access
to Justice in Aceh (Mei 2006).
11
Wawancara dengan Abubakar, Imam Meunasah Gampong Jawa, 2 Mei 2006.
8

Bila diamati secara seksama, proses penyelesaian masalah tanah menurut adat
seperti yang terjadi di beberapa gampong sesungguhnya bersesuaian dengan
ketentuan hukum formal pertanahan. Pasal 18 ayat (1) Peraturan Pemerintah
nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan: “Penetapan batas
bidang tanah yang sudah dipunyai dengan suatu hak yang belum terdaftar atau
yang sudah terdaftar tetapi belum ada surat ukur/gambar situasi atau surat
ukur/gambar situasi yang ada tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sebenarnya,
dilakukan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau
oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik,
berdasarkan penunjukan batas oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan
dan sedapat mungkin disetujui oleh para pemegang hak atas tanah yang
berbatasan.” Selanjutnya, pasal 19 ayat (1) PP 24/1997 menyebutkan: “Jika
dalam penetapan batas bidang tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(1) tidak diperoleh kesepakatan antara pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan dengan pemegang hak atas tanah yang berbatasan, pengukuran
bidang tanahnya diupayakan untuk sementara dilakukan berdasarkan batas-batas
yang menurut kenyataannya merupakan batas-batas bidang-bidang tanah yang
bersangkutan.”

Satu hal yang penting dicatat di sini adalah bahwa amat disayangkan sekali
penyelesaian masalah-masalah tanah lewat musyawarah gampong yang
menghasilkan beberapa keputusan bersama, seperti relokasi tanah, pengurangan
luas tanah dan hibah sebagian tanah, tidak mendapat perhatian administratif
yang sewajarnya. Padahal berbagai keputusan tersebut penting untuk
didokumentasikan dalam bentuk berita acara yang dapat disimpan sebagai arsip
di kantor gampong, karena suatu saat kelak dapat dipergunakan sebagai alat
bukti tertulis jika ada keturunan dari pemilik tanah, atau ahli warisnya, yang
berkeberatan dan mengajukan gugatan ke pengadilan. Sebagai suatu hasil
musyawarah gampong yang telah disetujui bersama oleh seluruh pemilik tanah,
atau ahli warisnya, keputusan itu semestinya mengikat seluruh pihak-pihak
peserta, termasuk anak keturunannya, dalam musyawarah tersebut. Penelitian ini
menemukan bahwa hampir semua gampong yang menjadi obyek penelitian ini
tidak memiliki suatu perangkat dasar administrasi penyelesaian hukum di
gampong. Dengan tidak adanya catatan atas keputusan-keputusan yang sudah
diambil dalam setiap upaya penyelesaian hukum melalui musyawarah gampong,
dikhawatirkan akan membuka celah hukum di kemudian hari yang dapat
mengundang pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk mengambil
keuntungan akibat kelemahan administratif tersebut. Pihak-pihak tersebut
mungkin saja adalah mereka yang tidak menghadiri musyawarah gampong atau
pihak yang merasa dirugikan, baik langsung maupun tidak langsung, oleh
keputusan-keputusan yang dihasilkan dalam musyawarah itu.

b. Musyawarah Gampong tentang Masalah Tanah


Seperti sudah dijelaskan di atas bahwa penyelesaian masalah tanah pasca
Tsunami lebih sering dilakukan di gampong. Penyelesaian ini pada umumnya
mengambil bentuk musyawarah untuk mencapai kesepakatan di antara pemilik
tanah, atau ahli warisnya, terhadap batas-batas tanah mereka (model
penyelesaian masalah tanah seperti ini seringkali juga disebut ‘Community
Driven Adjudication’ (CDA) atau Pendaftaran Tanah berbasis Masyarakat).
Musyawarah gampong ini tidak selalu mengambil tempat di sebuah gedung
9

(meunasah, rumah warga atau kantor gampong), tetapi lebih sering terjadi di
lapangan khususnya di tempat di mana tanah-tanah yang batas-batasnya akan
ditentukan. Musyawarah ini biasanya dilaksanakan berkali-kali dan memakan
waktu hingga beberapa bulan untuk suatu gampong. Hal ini disebabkan oleh
faktor bahwa penyelesaian masalah tanah tidak dapat hanya diselesaikan satu-
persatu, melainkan juga melibatkan segenap pemilik tanah, atau ahli warisnya,
yang berlokasi bersebelahan batas tanah. Sementara itu, keberadaan para pemilik
tanah, atau ahli warisnya, tidak dapat diketahui dengan pasti. Di antara mereka
ada yang bertempat tinggal di barak-barak di lokasi gampong bersangkutan. Ada
juga sebagian yang menetap di tempat-tempat pengungsian di rumah kerabat
mereka di luar gampong tersebut. Tapi ada pula yang tidak ada lagi kabar
beritanya. Karena itulah, masalah koordinasi dan mobilisasi warga pemilik
tanah, atau ahli warisnya, yang dilakukan oleh aparat gampong sangat
menentukan kelancaran dan keberhasilan musyawarah gampong tersebut.12

Dalam pengukuran batas bidang tanah di lapangan, pemilik tanah, atau ahli
warisnya, hadir bersama-sama dengan pemilik bidang tanah yang bersebelahan,
kepala dusun setempat, tuha peut dan geuchik untuk memastikan patok tanda
batas tanah. Apabila tidak diperoleh kesepakatan antara pemilik bidang tanah
yang bersangkutan mengenai patok tanda batas tanah, maka batas bidang tanah
diukur dan dinyatakan sebagai batas sementara. Dalam hal seorang pemilik
bidang tanah, atau ahli warisnya, berhalangan hadir atau tidak diketahui lagi
keberadaannya, maka patok tanda batas tanah ditentukan berdasarkan
pengetahuan para perangkat gampong yang hadir pada saat itu, dan batas bidang
tanah tersebut dinyatakan sebagai batas sementara.13

Satu hal yang penting dijelaskan juga di sini berkaitan dengan musyawarah
gampong untuk penyelesaian masalah tanah adalah rendahnya ongkos yang
harus dikeluarkan bila dibandingkan dengan penyelesaian masalah tanah ini di
pengadilan. Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan musyawarah gampong
itu lebih banyak berupa ongkos pemanggilan/undangan, konsumsi makanan dan
minuman bagi peserta dan hadirin yang mengikuti musyawarah gampong. Tidak
ada keterangan pasti dari informan mengenai berapa besar rupiah yang
dibelanjakan dalam setiap pelaksanaan musyawarah gampong tersebut. Namun,
yang seringkali terjadi adalah bahwa pembiayaan tersebut ditanggulangi secara
bersama ataupun mendapat dukungan dana dari pihak luar (BPN atau NGO)
yang kebetulan sedang menjadikan gampong tersebut sebagai lokasi garapan
kegiatan mereka.

c. Program RALAS
Penyelesaian soal tanah di gampong dilakukan sebagian besar dengan bantuan
pendanaan World Bank yang diberikan melalui program RALAS
(Reconstruction of Aceh Land and Administration System). Program yang
diselenggarakan bersama oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Badan
Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dan Nias (BRR) ini bertujuan untuk

12
Cukup banyak kasus tanah yang pemiliknya bukanlah warga setempat, melainkan orang-orang yang
bertempat tinggal di luar lokasi tanah itu, seperti. Medan, Jakarta dan sebagainya.
13
Manual Pendaftaran Tanah, h. 24.
10

melakukan sertifikasi tanah di sejumlah wilayah yang terkena bencana Tsunami.


Ada empat tujuan pokok program ini sebagai berikut:
1) Pemulihan dan perlindungan hak atas tanah masyarakat di daerah yang
terkena dampak Tsunami;
2) Pembangunan kembali system administrasi pertanahan;
3) Peningkatan jaminan kepastian hak atas tanah dan peningkatan efisiensi dan
transparansi serta memperbaiki kualitas pelayanan pemberian hak atas tanah
dan pendaftarannya; dan
4) Perbaikan kapasitas pemerintah daerah untuk melaksanakan fungsi
manajemen pertanahan secara efisien dan transparan.

Sejauh ini, program RALAS telah memulai kegiatannya khususnya di wilayah


Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Banyak pihak yang terlibat dalam
kegiatan ini, termasuk Mahkamah Syar’iyah. Meski demikian, keterlibatan
Mahkamah Syar’iyah dalam kegiatan ini tidak terkait langsung dengan persoalan
tanah, melainkan lebih banyak berhubungan dengan masalah penetapan
perwalian bagi anak di bawah umur yang akan memperoleh sertifikat tanah dari
program RALAS (masalah ini akan dibahas lebih lanjut nanti dalam bagian
Perwalian). Barangkali cukup untuk dikatakan di sini bahwa aktivitas
penyelesaian masalah tanah dengan dukungan program RALAS ini berada
dalam ranah kekuasaan gampong ketimbang oleh Mahkamah Syar’iyah.

Diagram 1 di bawah menjelaskan bagaimana gampong berperan serta dalam


proses sertifikasi tanah oleh BPN. Peran gampong dalam proses sertifikasi tanah
sangat menentukan, khususnya karena geuchik (kepala gampong) ataupun
aparatur gampong lainnya (imam meunasah dan tuha peut) seringkali bertugas,
difasilitasi oleh tim BPN atau lainnya, untuk mengorganisasikan terciptanya
kesepakatan antar pemilik tanah, yaitu ahli waris dalam hal pemilik sudah
meninggal atau wali dalam hal pemilik tanah adalah ahli waris yang masih di
bawah umur, mengenai batas-batas sebidang tanah yang dimiliki seseorang
dengan sebidang tanah tetangga lainnya. Di gampong Lamteh, kecamatan
Peukan Bada, kabupaten Aceh Besar, misalnya, pada saat proses sertifikasi
tanah dilakukan oleh BPN terdapat dua orang yang mengaku sebagai ahli waris
atas sebuah bidang tanah. Geuchik Lamteh dengan segera menyelesaikan
masalah ini lewat cara meminta masing-masing orang tersebut untuk
mengajukan bukti-bukti kuat sebagai ahli waris yang sah. Melalui bukti-bukti
tersebut, masalah tanah di antara ahli waris dapat diselesaikan dengan mudah
oleh Geuchik. Sampai penelitian ini dilaksanakan, belum ada satupun kasus
menyangkut masalah sengketa kewarisan tanah yang diajukan ke Mahkamah
Syar’iyah.14 Di sini terlihat bahwa aparat gampong berupaya sebaik mungkin
agar seluruh bidang tanah tersebut dapat dibagi kepada ahli waris yang berhak
dengan suatu kesepakatan damai.

Dengan berdasarkan kesepakatan itulah, suatu peta dasar gampong yang terdiri
dari bidang-bidang tanah dapat disusun untuk selanjutnya diikuti oleh sistem dan
prosedur pendaftaran tanah oleh BPN. Hasil pendaftaran tanah dan sertifikasi
oleh BPN ini nantinya berguna untuk keperluan pembangunan bantuan rumah
tinggal bagi warga yang terkena bencana Tsunami. Hal ini karena persyaratan

14
Wawancara dengan Saiful Bahri, Geuchik Lamteh, 6 Mei 2006.
11

memperoleh bantuan rumah dari BRR atau NGO lainnya mengharuskan bahwa
tanah yang akan dibangun tersebut tidak memiliki masalah dan sudah memiliki
kelengkapan surat/sertifkat tanah yang dibutuhkan.

Kegiatan pendaftaran tanah yang dilaksanakan oleh BPN di wilayah NAD yang
tertimpa bencana Tsunami memiliki perbedaan dengan aktivitas pendaftaran
tanah sistematik sebagaimana yang biasa dilakukan oleh BPN. Kegiatan
pendaftaran tanah ini mengalami penyesuaian teknis tertentu terutama
menyangkut keterlibatan anggota masyarakat dalam proses penciptaan
kesepakatan atas bidang-bidang tanah dan kepemilikannya. BPN dalam hal ini
lebih banyak berperan sebagai fasilitator dengan memberikan pengakuan hak
atau persetujuan legalitas.15 Penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana proses
penciptaan kesepakatan warga masyarakat atas persoalan tanah dan bentuk
penyelesaiannya akan dibahas dalam bagian berikut.

15
“Manual Pendaftaran Tanah di Lokasi Bencana Tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera
Utara”, h. 7, 17.
12

Diagram 1

d. Cara penyelesaian Masalah Tanah


Terdapat beberapa cara penyelesaian masalah tanah yang diputuskan lewat
musyawarah gampong seperti yang akan dijelaskan di bawah. Namun, penting
untuk digarisbawahi di sini bahwa sesungguhnya sangatlah sulit untuk membuat
suatu generalisasi mengenai model penyelesaian masalah tanah lewat musyawarah
gampong, karena praktek tersebut seringkali berbeda antara satu gampong dengan
13

gampong lainnya. Keterangan yang disampaikan dalam uraian berikut lebih


bertumpu pada hasil-hasil yang ditemukan di wilayah lokasi penelitian ini dan
belum tentu menggambarkan kondisi yang sama di wilayah gampong lainnya.

1. Relokasi tanah
Gampong Lambung, kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, yang menjadi salah
satu lokasi penelitian ini, adalah contoh yang tepat untuk menggambarkan
bagaimana relokasi tanah terjadi pasca Tsunami. Jumlah penduduk gampong
Lambung sebelum tsunami mencapai 1600 orang dan setelah tsunami jumlah
tersebut berkurang dan tersisa hanya 276 jiwa. Semua penduduk Lambung
yang tersisa itu masih menempati barak-barak hunian sementara dan ada
juga yang tinggal bersama keluarga mereka di luar wilayah gampong
Lambung. Sampai penelitian ini dilakukan, belum ada satupun rumah yang
dibangun kembali. Hal ini terkait erat dengan rencana penataan ulang
gampong Lambung dari keadaan semula gampong tersebut sebelum
Tsunami. Dari peta dasar yang disusun berdasarkan kesepakatan warga dan
sempat diperlihatkan kepada peneliti, tampak bahwa cukup banyak
perubahan peruntukan tanah dan perpindahan lokasi dari tempat asal yang
akan dilakukan di gampong Lambung sesudah Tsunami. Menurut geuchik
Lambung, Zaidi Adan, tipe rumah yang akan dibangun kembali dibuat dalam
bentuk blok-blok dengan tiga tipe antara lain tipe 300 meter, 200 meter dan
150 meter. Setiap blok akan dibatasi dengan jalan seluas yang dapat dilalui
oleh dua kendaraan beroda empat yang berpapasan. Jadi, rumah-rumah di
gampong Lambung yang sebelumnya tidak ada akses jalan akan berubah
menjadi perumahan yang mudah terjangkau oleh kendaraan beroda empat.
Demikian juga, terdapat sejumlah fasilitas umum seperti tempat pendidikan
yang dipindahkan dari posisinya semula yang terletak di tengah pemukiman
penduduk ke pinggir jalan besar yang menghubungkan antara satu gampong
dengan gampong lain di kecamatan Meuraxa.16

2. Pengurangan luas tanah untuk kepentingan umum


Di beberapa gampong yang menjadi lokasi penelitian ini (e.g. Lampulo dan
Lambung), terdapat praktek penyelesaian masalah tanah oleh gampong
dengan cara mengurangi luas tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah, atau
ahli warisnya, untuk kepentingan umum, misalnya untuk pembuatan dan
pelebaran jalan di gampong tersebut. Di Lambung, misalnya, bagi
masyarakat yang memiliki tanah dengan luas 1000 meter pada awalnya akan
dipotong untuk desa sebesar 10%, dan sesudah itu pemilik tanah, atau ahli
warisnya, berhak memiliki 3 petak tanah dan rumah yang masing-masing
seluas 300 meter. Di gampong Lampulo, keadaan yang sama juga terjadi.
Menurut Geuchik Lampulo, Yusuf Zakaria, proses sertifikasi yang dilakukan
oleh BPN di wilayahnya sudah mendekati 90 persen dan dalam proses
tersebut tidak jarang sejumlah tanah milik warga masyarakat ada yang
dikurangi luasnya untuk kepentingan pembuatan akses jalan baru ataupun
pelebaran ruas jalan yang sudah ada sebelumnya.17
3. Hibah sebagian tanah untuk warga lain yang hanya memiliki lahan sempit
Hal lain yang juga patut diutarakan di sini sehubungan dengan cara
penyelesaian masalah tanah melalui musyawarah gampong adalah fakta
16
Wawancara Zaidi Adan, Geuchik Lambung, 2 Mei 2006.
17
Wawancara dengan Yusuf Zakaria, Geuchik Lampulo, 4 Mei 2006.
14

bahwa bagi pemilik tanah, atau ahli warisnya, yang memiliki luas tanah
kurang dari 100 atau 150 meter terkadang memperoleh hibah sebagian tanah
dari tetangganya atau dari gampong. Tujuan hibah sebagian tanah ini adalah
agar yang bersangkutan dapat memenuhi kualifikasi sebagai penerima rumah
bantuan, apakah dari BRR ataupun NGO internasional lainnya, yang secara
umum mempersyaratkan suatu jumlah luas tanah tertentu. Dalam hal ini,
lazimnya warga masyarakat tidak menunjukkan keberatan yang berarti untuk
merelakan sebagian kecil tanahnya untuk saudara atau tetangganya.18 Sebab,
suatu kesepakatan akhir mengenai penggunaan dan peruntukkan lahan oleh
pemilik tanah, atau ahli warisnya yang sah, menjadi prasyarat mutlak untuk
penataan ulang dan pembangunan kembali suatu gampong pasca Tsunami.

3. Hak Perempuan atas Tanah


Penting untuk diutarakan pertama-tama bahwa perempuan sebagai subjek hukum
memiliki hak yang sederajat dengan laki-laki untuk menguasai sebidang tanah dan
mengambil keuntungan dari hasil yang berasal dari tanah tersebut. Undang-Undang
pasal 9 ayat (2) nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
menggariskan bahwa:

Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai


kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk
mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

Berdasarkan bunyi peraturan tersebut, seorang perempuan dapat mendaftarkan tanah


dan memperoleh sertifikat tanah atas namanya sendiri. Dengan demikian,
perempuan-perempuan korban bencana Tsunami yang selamat dan masih hidup,
apakah berposisi sebagai seorang janda, anak perempuan atau saudara perempuan
sebatangkara, dapat memperoleh hak atas tanah dan memanfaatkannya untuk
kepentingan pribadinya. Dalam adat Aceh, hak seorang perempuan atas tanah pun
dibenarkan. Laki-laki dan perempuan, menurut adat Aceh, memiliki hak yang sama
atas tanah/rumah dan manfaat dari tanah/rumah tersebut untuk kepentingan diri dan
keluarganya.19

Untuk menjamin lebih lanjut hak perempuan atas tanah, Keputusan Kepala BPN
nomor 114-II.2005 tentang Manual Pendaftaran Tanah di Lokasi Bencana Tsunami
mengatur beberapa hal sebagai berikut: 20
• Perempuan dapat mendaftarkan tanah dan memperoleh sertifikat hak atas
tanah atas namanya dirinya.
• Untuk tanah yang merupakan harta bersama suami istri maka sertifikat akan
diatasnamakan dua orang tersebut. Tidak hanya atas nama suami saja.
• Janda dan anak perempuan yang memperoleh hak waris atas tanah harus
mendaftarkan hak atas tanah tersebut atas nama dirinya.
• Perempuan pemilik tanah diharapkan dapat hadir dalam muswayarah
gampong untuk membahas rencana pendaftaran tanah.
• Perempuan pemilik tanah harus berada di lokasi di mana tanah miliknya
berada ketika tim ajudikasi akan melakukan pengukuran dan pemetaan.

18
Wawancara Muhammad Yatim, kepala dusun gampong Lambung, 2 Mei 2006
19
Wawancara T. Djuned, 27 April 2006.
20
Manual Pendaftaran Tanah, h. 13-14, 26, 32.
15

• Perempuan (janda) diprioritaskan dalam memperoleh informasi yang berasal


dari materi pengumuman peta pendaftaran tanah dan daftar bidang-bidang
tanah yang sudah disiapkan oleh BPN.
• Perempuan pemilik tanah diberikan jaminan keamanan untuk hadir dalam
acara penerimaan sertifikat tanah secara bersama-sama.

a. Perempuan dan Penyelesaian Masalah Tanah di Gampong


Penyelesaian masalah tanah di gampong kerapkali juga melibatkan persoalan
kewarisan di dalamnya. Masalah kewarisan ini sendiri akan dibahas lebih detil nanti
dalam bagian kewarisan. Namun, persoalan ini kiranya perlu didiskusikan di sini
khususnya yang berkaitan langsung dengan penyelesaian masalah tanah di gampong
yang melibatkan perempuan sebagai pemegang hak waris atas suatu kepemilikan
tanah.

Secara gamblang dapat dikemukakan bahwa posisi perempuan dalam hal


penyelesaian masalah tanah di gampong tak jarang berada dalam kondisi kurang
menguntungkan. Hal ini tampak khususnya dalam konteks ketika ahli waris atas
sebidang tanah hanya terdiri dari seorang ahli waris tunggal yang sebatangkara,
yang mungkin saja berkedudukan sebagai janda, seorang anak perempuan, seorang
saudara perempuan atau seorang ibu kandung dari pewaris. Berhubung posisi
mereka masing-masing sebagai ahli waris tunggal tidak dapat menerima atau
menghabiskan seluruh harta warisan (`asabah), sisa dari harta yang mereka peroleh
akan diambil oleh wali, kerabat jauh (zawil arham) atau oleh gampong sebagai harta
agama. Dalam hal harta peninggalan berupa sebidang tanah, perempuan-perempuan
ini seringkali tidak dapat menerima seutuhnya, melainkan hanya sebagiannya saja.
Jadi dari seluruh luas tanah yang merupakan harta warisan, ahli waris tunggal
tersebut di atas akan menerima bagian luas tanah sebagai berikut: janda memperoleh
½ bagian bila tanah itu merupakan harta bersama dan ¼ dari total luas tanah jika
tanah itu sepenuhnya adalah harta peninggalan; anak perempuan mendapatkan ½;
saudara perempuan akan mendapatkan ½; dan seorang ibu kandung menerima 1/3
bagian. Ketentuan-ketentuan ini semua berasal dari Kompilasi Hukum Islam (KHI),
yang bersesuaian juga dengan norma-norma adat Aceh, sebagai berikut:

Tabel 4.
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. (KHI, 97)
Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang
hidup lebih lama (KHI, 96:1)
Janda mendapat ¼ bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak (KHI, 180)
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat ½ bagian (KHI, 176)
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu
saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat ½ bagian (KHI, 182)
Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia [ibu kandung] mendapat
1/3 bagian (KHI, 178:1)

Memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum di atas, tidak mengherankan jika dalam


penyelesaian masalah tanah di gampong yang hanya melibatkan salah satu ahli
16

waris perempuan sebatangkara seperti yang disebutkan di atas kerapkali


menempatkan perempuan tersebut dalam posisi yang kurang menguntungkan.
Sebuah kasus dari gampong X kiranya penting diketengahkan di sini untuk
menunjukkan fenomena ini (lihat box di bawah).

Tabel 5.

Seorang perempuan (F) adalah korban yang selamat dari bencana Tsunami. Ibu kandungnya
dan seluruh saudara-saudarinya meninggal dunia dalam bencana tersebut, sementara
ayahnya telah meninggal dunia sebelum Tsunami terjadi. Harta berupa tanah yang dimiliki
oleh kedua orang tua F sesungguhnya sudah dibagi-bagikan kepada seluruh anak-anaknya
untuk dibuatkan rumah ketika kedua orang tua F masih hidup. Selain F yang selamat dari
Tsunami, terdapat juga dua orang keponakannya, satu laki-laki dan satu perempuan, yang
masih hidup. Kedua keponakan ini adalah anak-anak kandung dari salah satu adik perempuan
F yang menjadi korban Tsunami. F berkeyakinan bahwa dirinya merupakan ahli waris satu-
satunya yang menerima seluruh harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya dan
saudara-saudarinya yang meninggal dalam bencana Tsunami. Oleh karena itu, pada saat
BPN melalukan proses sertifikasi tanah di gampong, F mengajukan permohonan surat
keterangan kepemilikan tanah kepada geuchik yang isinya menerangkan bahwa semua tanah
warisan yang ada jatuh ke tangan F sebagai satu-satunya ahli waris. Pihak gampong
menolak memenuhi permintaan F dan tidak mau menandatangani Formulir Bukti Kesepakatan
Pewarisan (lihat contoh form dalam lampiran 2). Alasan yang diajukan oleh Geuchik, dan juga
didukung oleh Imam Meunasah, adalah bahwa F hanyalah seorang perempuan dan tidak
dapat bertindak sebagai ahli waris asabah yang menerima atau menghabiskan seluruh harta
peninggalan. Geuchik dan Imam berpendapat bahwa F hanya dapat menerima ½ dari seluruh
luas tanah warisan dan sisanya sebanyak ½ lagi harus diserahkan kepada Baitul Mal
gampong. Sedianya F menyerahkan dua petak tanah yang merupakan harta warisan yang
diterimanya kepada kedua orang keponakan yang masih hidup untuk dibangunkan rumah
buat mereka. Akan tetapi, tindakan F ini pun tidak disetujui oleh aparat gampong. Akibatnya,
hingga penelitian ini dilaksanakan, sertifikasi tanah belum dapat dilakukan atas tanah warisan
yang diterima oleh F. Begitu juga, rumah bantuan yang diperuntukkan bagi kedua keponakan
F belum dapat direalisasikan karena belum ada tindak lanjut atau keputusan yang pasti dan
memuaskan bagi semua pihak.21

Masih ada kasus lain yang cukup relevan dikemukakan di sini yang terjadi antara
sepasang suami istri yang sudah bercerai di gampong Kajhu. Mereka memiliki
sebuah tanah dan rumah yang merupakan harta bersama. Ketika bercerai, istri dan
seorang anaknya tetap menetap di rumah tersebut, sementara mantan suami pergi
tinggal di gampong lain. Akibat Tsunami, rumah itu hancur dan yang tinggal
hanyalah sepetak tanah. Janda dan seorang anak itu selamat dari bencana Tsunami
dan kini menjadi pengungsi di sebuah barak. Mantan suami berkehendak untuk
menjual tanah tersebut dan meminta anaknya untuk menandatangani surat
persetujuan tanpa berkonsultasi atau minta izin mantan istrinya. Janda itu tidak
terima dan pergi menghadap Geuchik dan memohon agar aparat gampong tidak
membantu mantan suaminya melakukan transaksi jual beli tanahnya, karena di
dalam kepemilikan tanah tersebut terdapat haknya separuh bagian. Mantan
suaminya rupanya tidak tinggal diam dan bersikeras meminta aparat gampong
mempermudah urusannya dalam menjual tanah tersebut.22 Sampai penelitian ini

21
Wawancara dengan Geuchik X (1 Mei 2006) dan perempuan F (1 Mei 2006).
22
Wawancara Nazaruddin (7 Mei 2006).
17

selesai, belum diperoleh keterangan lebih lanjut apakah tanah milik sepasang
mantan suami istri di gampong itu berhasil dijual.

Uraian di atas tentang hak perempuan atas tanah di Aceh pasca-Tsunami


memperlihatkan betapa posisi dan kedudukan perempuan masih amat lemah.
Lemahnya posisi perempuan vis a vis aparat gampong dalam kasus pertanahan ini
hanya merupakan sebagian kecil dari keseluruhan kasus-kasus yang muncul di Aceh
pasca-Tsunami berkaitan dengan posisi perempuan. Pada bagian kewarisan di
bawah, uraian yang lebih detil tentang lemahnya kedudukan perempuan akan dapat
ditemukan.

4. Tanah-tanah yang Pemiliknya Meninggal Sementara Ahli Warisnya Masih di


Bawah Umur
Kedudukan anak yatim piatu yang masih di bawah umur sebagai penerima warisan
tanah dari orang tuanya yang meninggal dalam Tsunami perlu juga dibahas di sini
dalam kaitannya dengan hak kepemilikan tanah. Hal ini penting mengingat seorang
anak di bawah umur belum dapat dipandang sebagai subjek hukum yang dapat
melakukan perbuatan hukum secara sah. Dalam hal pemilik tanah meninggal dunia
sedang ahli warisnya masih berupa kanak-kanak di bawah umur, maka untuk anak
tersebut harus ditunjuk seorang wali yang berfungsi mengurus seluruh proses
pendaftaran dan sertifikasi tanah milik anak yatim itu. Agar pembahasan dalam sub
bagian ini tidak tumpang tindih dengan persoalan perwalian yang akan dibahas
tersendiri nanti, penting ditegaskan bahwa fokus utama uraian ini tertuju pada proses
pendaftaran dan sertifikasi tanah yang dimiliki oleh seorang anak yatim yang berada
di bawah perwalian.

Manual Pendaftaran Tanah di Lokasi Bencana Tsunami mengatur beberapa hal


berkaitan dengan masalah ini sebagai berikut:
• Ahli waris di bawah umur dan anak yatim yang mempunyai hak waris atas
tanah dapat mendaftarkan hak atas tanahnya atas nama dirinya dengan
bantuan seorang wali yang mengurus harta tersebut.
• Wali hanya berwenang untuk menjaga dan mengurus pendaftaran tanahnya
saja dan tidak dapat melakukan peralihan pada pihak lain. Hak atas tanah
tersebut akan dialihkan kepada ahli waris tersebut ketika yang bersangkutan
dinyatakan dewasa.
• Untuk bertindak sebagai wali yang sah, seorang wali perlu mendapat
persetujuan perwalian dari imam meunasah dan Geuchik serta penetapan
Mahkamah Syar’iyah.
• Geuchik harus secara aktif mendata berapa orang yang memerlukan
penetapan perwalian dari Mahkamah Syar’iyah.
• Seorang wali, dalam kedudukan mewakili kepentingan anak yatim pemilik
tanah, mengikuti langsung proses pengukuran batas bidang tanah di lapangan
bersama-sama dengan pemilik bidang tanah yang bersebelahan, kepala
dusun, tuha peut serta geuchik.
• Anak yatim pemilik tanah diprioritaskan dalam memperoleh informasi yang
berasal dari materi pengumuman peta pendaftaran tanah dan daftar bidang-
bidang tanah yang sudah disiapkan oleh BPN.
• Buku tanah dan sertifikat tanah dapat diatasnamakan ahli waris yang masih
di bawah umur, tetapi pengelolaannya dilakukan oleh walinya.
18

5. Tanah-tanah yang tidak ada Pemilik atau Ahli Warisnya


Besarnya jumlah korban yang jatuh akibat Tsunami menimbulkan keadaan di mana
terdapat kemungkinan sejumlah petak tanah di gampong-gampong tidak memiliki
ahli waris lagi sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui lagi di mana kini
mereka berada. Keadaan ini segera direspon oleh Majelis Permusyawaratan Ulama
lewat fatwa nomor 2 tahun 2005 yang dikeluarkannya pada tanggal 7 Februari 2005
(butir fatwa yang sama diulangi sekali lagi dalam fatwa nomor 3 tahun 2005 tanggal
17 April 2005) yang berbunyi: “Tanah dan harta benda yang ditinggalkan korban
Gempa dan gelombang Tsunami yang tidak meninggalkan ahli waris adalah menjadi
milik umat Islam melalui Baitul Mal.” Mengenai masalah pendaftaran tanah
semacam itu, Manual Pendaftaran Tanah yang dikeluarkan oleh BPN menyatakan
bahwa dalam hal terdapat sebidang tanah yang tidak ada lagi pemiliknya dan tidak
diketahui siapa ahli warisnya, yang dapat disiapkan hanyalah pembuatan buku tanah
sementara sertifikatnya tidak akan diterbitkan sehingga ada kejelasan status
kepemilikannya, dan tanah tersebut akan diserahkan pengelolaannya oleh badan
Baitul Mal gampong.23 Tampaknya Manual yang dikeluarkan BPN ini lebih
mengikuti bunyi ketentuan yang terdapat di dalam fatwa MPU di atas.

Dalam kaitan uraian di atas, perlu kiranya disampaikan di sini bahwa tanah-tanah
yang tidak ada pemilik atau ahli warisnya itu tidak dapat dianggap sebagai ‘Tanah
Terlantar’. Hal ini karena yang dapat dianggap sebagai ‘Tanah Terlantar’, menurut
pasal 3 Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 1998 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar, adalah sebidang “tanah yang dengan sengaja tidak
dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan
tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.” Adapun terhadap tanah yang
sudah dinyatakan sebagai ‘Tanah Terlantar’, maka pasal 15 ayat (1), PP 36/1998, di
atas mengkategorikannya sebagai tanah yang dikuasai oleh Negara.

Hukum Adat Aceh tentang nasib tanah yang tidak ada pemiliknya atau ahli warisnya
tidak banyak berbeda dengan keterangan yang sudah diuraikan di atas. Hukum Adat
Aceh menentukan bahwa terhadap tanah yang dimiliki oleh orang-orang yang tidak
diketahui lagi keberadaannya, termasuk ahli warisnya, pengurusan tanah tersebut
dilakukan oleh geuchik dan perangkat gampong lain, sementara hasil yang diperoleh
dari tanah tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan meunasah dan warga gampong
yang bersangkutan. Tanah-tanah semacam itu dikategorikan sebagai harta baitul
mal. Di sejumlah gampong, di kabupaten Aceh Besar khususnya, pengelolaan tanah-
tanah tersebut diserahkan oleh Baitul Mal kepada seseorang miskin yang tinggal
dalam gampong tersebut. Hasil yang diperoleh seseorang dari pengelolaan tanah
tersebut biasanya dibagi-bagikan juga kepada masyarakat setempat tiap-tiap tahun
dalam bentuk santapan bubur kanji (sajian buka puasa di bulan ramadhan) yang
dberikan kepada orang-orang yang berbuka puasa di meunasah di bulan Ramadhan.
Masyarakat Aceh Besar memberi nama tanah yang tidak diketahui lagi ahli
warisnya itu dengan nama tanoh ie-bu (tanah bubur kanji).24

Dari pengamatan di lapangan terhadap topik yang sedang didiskusikan ini, peneliti
menemukan bahwa pada umumnya Geuchik sudah memahami dengan baik bahwa

23
“Manual Pendaftaran Tanah”, p. 31.
24
Wawancara T.I. El-Hakimy (26 April 2006); Pola Penguasaan, p. 66.
19

tanah yang tidak ada lagi pemiliknya dan ahli warisnya tidak diketahui lagi
keberadaannya, maka tanah tersebut akan dikelola oleh Baitul Mal gampong. Camat
Peukan Bada, Drs. Busra, menyatakan kepada peneliti bahwa “tanah yang belum
ada [diketahui] ahli warisnya, jangan diambil oleh siapapun, tetapi untuk sementara
waktu tanah itu dikelola oleh aparat gampong. Apabila suatu hari ada pihak ahli
waris yang datang dan memiliki bukti-bukti yang otentik, maka tanah tersebut akan
diberikan kepada ahli waris itu”.25

Sayangnya, hampir semua gampong yang dikunjungi oleh peneliti belum


mendirikan Baitul Mal secara resmi. Padahal, sesuai dengan pasal 10 Keputusan
Gubernur 18/2003, Teungku Imam atau Imam Meunasah sesungguhnya menjabat
sebagai Kepala Baitul Mal Gampong.26 Karena ketiadaan struktur resmi Baitul Mal
di gampong, maka tanah-tanah yang tidak ada lagi pemilik atau ahli warisnya itu
berada di bawah pengawasan langsung kantor gampong yang merangkap sekaligus
sebagai Baitul Mal.

Dalam kaitannya dengan tanah-tanah yang tidak ada lagi pemilik atau ahli warisnya
itu, ada pandangan yang melihat tanah-tanah yang dikuasai oleh Baitul Mal
gampong tersebut merupakan hak/tanah ulayat gampong. Namun, terdapat juga
pendapat lain yang tidak menerima pandangan sedemikian itu, karena bila tanah-
tanah tersebut dianggap sebagai hak ulayat gampong, maka anggota masyarakat
dalam gampong itu bebas meletakkan hak-hak perseorangan atas tanah tersebut,
misalnya: hak garap/pakai (hak useuha), atau hak milik (hak milek). Dengan
demikian, suatu saat tanah-tanah itu dapat dibagi-bagikan atau diperjualbelikan baik
kepada warga gampong itu sendiri maupun kepada orang yang berasal dari luar
gampong itu. Idealnya, tanah-tanah yang tak meninggalkan ahli waris tersebut
merupakan harta agama dan menjadi kekayaan suatu gampong yang diperuntukkan
bagi kesejahteraan warga masyarakat gampong tersebut seperti yang sudah
dipraktekkan selama ini di Aceh.

6. Tanah-tanah Pesisir yang Hilang Akibat Bencana Tsunami


Di beberapa kecamatan di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya dan Aceh Barat
terdapat sejumlah gampong di pesisir pantai yang wilayah daratannya tersapu oleh
gelombang Tsunami sehingga tanah-tanah di gampong tersebut digenangi oleh air
laut dan tidak meninggalkan bekas sama sekali. Di Aceh Besar, wilayah gampong
yang mengalami keadaan ini terdapat di beberapa titik di pesisir pantai wilayah
Kecamatan Lepung dan Lhoong. Sekalipun dua lokasi kecamatan itu tidak menjadi
obyek penelitian ini, karena akses jalan yang cukup sulit ke tempat tersebut dan
terbatasnya waktu riset, tidak ada salahnya jika di sini diterangkan pula aspek legal
yang berkaitan dengan status tanah-tanah yang hilang akibat Tsunami menurut
ketentuan hukum formal dan hukum Adat yang berlaku di Aceh Besar.

Berdasarkan pasal 27 Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar


Pokok-Pokok Agraria, suatu hak kepemilikan tanah hapus apabila suatu bidang
tanah musnah. Dalam konteks bencana Tsunami, musnahnya tanah terjadi akibat
perubahan fisiknya, yaitu wujud daratannya terendam oleh air laut, sehingga tidak
25
Wawancara Camat Peukan Bada (6 Mei 2006).
26
Selain kepala Baitul Mal Gampong, terdapat pula kemungkinan ditunjuknya beberapa orang lain
sebagai pengurus Baitul Mal yang menjabat Wakil Kepala, Sekretaris, Bendaharawan dan sejumlah
anggota. Lihat pasal 10 Keputusan Gubernur nomor 18 tahun 2003.
20

dimungkinkan untuk melakukan pengukuran dan pendaftaran kembali tanah


tersebut. Keadaan ini tentu saja merugikan bagi pemilik tanah, atau ahli warisnya,
yang tidak dapat lagi menguasai dan memanfaatkan tanah tersebut. Apalagi menurut
pasal 12 Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah,
“tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah perairan
pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh Negara.”

Terhapusnya kepemilikan hak tanah juga diakui oleh hukum Adat Aceh. Menurut
hukum adat, hak milik atas tanah dapat terhapus karena:
1. Tidak dikerjakan lagi sehingga menjadi terlantar;27
2. Bekas-bekas pembukaan tanah sudah hilang (tanah kebun atau ladang yang
sudah menjadi hutan belukar atau tanah sawah/tambak sudah tidak ada
pematangnya lagi);28
3. Dikikis sungai atau tergenang oleh air laut.29

Sekalipun hak kepemilikan tanah bisa terhapus menurut hukum Adat Aceh, tetapi
hak kepemilikan seseorang atas tanah tersebut bisa timbul kembali di kemudian hari.
Berbeda dari bunyi ketentuan pasal 12, PP 16/2004, di atas yang menafikan
kemungkinan kembalinya hak kepemilikan tanah atas sebidang tanah yang
tenggelam bila timbul kembali, prinsip adat yang pernah berlaku di Aceh Besar
adalah bahwa “tanah yang timbul kembali di bekas tenggelamnya tanah milik
seseorang menjadi hak terdahulu dari orang yang tanahnya tenggelam tersebut.”
Dengan kata lain, terhadap sebidang tanah yang sudah tenggelam dan suatu saat bila
tanah yang tadi hilang tersebut muncul ke permukaan lagi, pemiliknya tetap berhak
memperolehnya kembali.30 Berpatokan pada prinsip adat ini, maka apabila sebidang
tanah yang berada dipinggir pantai dan terendam oleh air laut akibat Tsunami, tetapi
kemudian suatu saat air laut itu kering dan tanah yang tadi tertelan muncul kembali
ke permukaan dan menjadi daratan, maka pemiliknya atau ahli warisnya tetap dapat
memperoleh hak kepemilikan atas tanah tersebut. Penelitian ini tidak menemukan
apakah prinsip adat semacam ini telah diberlakukan terhadap tanah-tanah yang
hilang akibat bencana Tsunami. Tampaknya, perlu dilihat terlebih dahulu apakah
tanah-tanah yang terendam oleh air laut di sejumlah wilayah pesisir Kecamatan
Lepung dan Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, itu telah berubah
keadaannya menjadi daratan kembali atau tidak.

7. Tanah-Tanah Pinggir Pantai yang berubah Wujud Permukaannya


Masih berkaitan dengan masalah yang dibahas di atas, kiranya relevan juga untuk
diketengahkan di sini masalah tanah-tanah di bibir pantai yang, walaupun tidak
tertelan air laut akibat dampak gelombang Tsunami, telah berubah wujud
permukaannya. Tanah-tanah tersebut sesungguhnya masih berwujud dan tidak
hilang tertelan air laut, tetapi sudah tidak memenuhi syarat lagi untuk didirikan di
atasnya bangunan perumahan. Hal ini terjadi di salah satu wilayah lokasi penelitian
ini, yaitu gampong Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar.
Gampong yang terletak di pesisir pantai ini sebagian wilayahnya sudah tidak bisa
dimanfaatkan lagi untuk pemukiman penduduk karena telah tertimbun sampah-

27
Pola Penguasaan, h. 56.
28
Ibid. h. 75.
29
Wawancara T.I. El-Hakimy (26 April 2006).
30
Pola Penguasaan, 53.
21

sampah dan permukaan daratannya telah berubah bentuk menjadi pasir dan lumpur.
Oleh karena itu, menghadapi situasi ini, pemerintah provinsi NAD berinisiatif untuk
melakukan ‘tukar guling’ atau ruislag kepemilikan tanah dengan sejumlah pemilik
tanah, atau ahli warisnya, di lokasi tersebut. Dengan kata lain, pemerintah akan
mengambil alih kepemilikan seluruh tanah-tanah yang terdapat di lokasi bibir pantai
itu dan menggantikannya dengan tanah-tanah di tempat lain milik Negara.

Tawaran pertukaran kepemilikan tanah dari pemerintah itu direspon secara positif
oleh sebagian penduduk gampong Kajhu. Beberapa orang dari mereka kini
dipindahkan kepemilikan tanahnya ke suatu daerah aliran sungai yang sudah
mengering (sekarang menjadi tanah milik Negara), yang terletak di gampong
Panteriek, Kecamatan Lueng Bata, Banda Aceh. Salah seorang korban Tsunami
bernama RK yang bersedia ditukar tanahnya menuturkan kepada peneliti bahwa
tanahnya di gampong Kajhu seluas 350 meter persegi, sementara luas tanah di
gampong Panteriek yang menjadi gantinya hanya terdiri dari 120 meter persegi.
Menurut RK, sisa kekurangan tanah yang luasnya sebanyak 230 meter itu nantinya
akan dibayar oleh pemerintah sebagai kompensasi ganti rugi.31

31
Wawancara dengan informan RK (19 Mei 2006).
22

B. Kewarisan

Kewarisan merupakan salah satu mekanisme peralihan hak kepemilikan atas suatu harta
benda. Di Aceh pasca Tsunami, persoalan kewarisan adalah salah satu masalah hukum
yang membutuhkan penanganan sebaik dan seakurat mungkin. Apalagi dengan jumlah
korban Tsunami yang mencapai lebih dari dua ratus ribu jiwa (meninggal dan hilang),
status seseorang sebagai ahli waris dan hak kepemilikan atas suatu harta warisan
menjadi amat krusial untuk kebutuhan pembangunan kembali Aceh.

Dalam menyajikan hasil penelitian dalam bidang kewarisan pasca-Tsunami ini, fokus
uraian di bawah akan lebih diarahkan kepada empat hal: (1) ahli waris, (2) harta
warisan, (3) hak waris perempuan, dan (4) implementasi pembagian warisan.

1. Ahli Waris
Dalam masyarakat Islam, termasuk pula komunitas suku-suku Aceh, hubungan darah
dan perkawinan dengan pewaris yang meninggal dunia merupakan faktor utama dalam
hal kewarisan. Pada dasarnya hukum formal dan norma adat Aceh tidak banyak berbeda
dalam menentukan siapa-siapa saja yang berhak berkedudukan sebagai ahli waris. Ada
tiga macam ahli waris utama yang diakui oleh hukum formal (KHI pasal 174:1) dan
norma adat Aceh sebagai berikut:
• Jalur laki-laki: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
• Jalur perempuan: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
• Jalur pasangan nikah: duda atau janda
Apabila semua ahli waris primer di atas masih hidup, yang berhak mewarisi hanya anak,
ayah, ibu dan janda/duda.

Kepenganutan agama Islam merupakan syarat penting lainnya bagi seseorang untuk
menerima harta warisan dari seorang pewaris Muslim. Hal ini karena menurut syariat
Islam, perbedaan agama antara satu orang dan orang lainnya, yang walaupun
mempunyai hubungan darah atau tali perkawinan, menjadi halangan untuk saling
mewarisi. Keislaman seseorang diketahui berdasarkan apa yang tertera dalam kartu
identitasnya (KTP) atau melalui pengakuan dan pengamalan ibadahnya sehari-hari.
Hukum adat Aceh juga menyatakan hal yang sama tentang masalah ini. Karena itu, jika
terdapat seorang anak yang terlahir dalam agama Islam kemudian menjadi murtad di
usia dewasa, maka ia tidak dapat menerima harta warisan dari orang tuanya apabila
meninggal dunia. Bahkan, menurut adat, hilangnya hak seseorang untuk mewarisi juga
berimplikasi pada putusnya hubungan silaturrahmi keluarga.

Selain hal di atas, seseorang juga tidak dapat menjadi ahli waris apabila ia dipersalahkan
telah mencoba untuk membunuh atau menganiaya pewaris. Seseorang menjadi
terhalang haknya untuk menerima warisan jika ia dipersalahkan secara memfitnah telah
mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam
dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat (KHI, 173).

a. Kewajiban Ahli Waris


Sepeninggal pewaris, para ahli waris tidak dapat langsung begitu saja membagi-bagi
harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris, melainkan harus menunaikan terlebih
dahulu sejumlah kewajiban seperti diterangkan oleh KHI pasal 175:1 berikut ini:
• Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
• Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk
kewajiban pewaris maupun menagih piutang.
23

• Menyelesaikan wasiat pewaris.


• Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

Dengan demikian, harta yang ditinggalkan pewaris terlebih dahulu dikurangi dengan
hutang pewaris serta biaya-biaya lain yang perlu dikeluarkan seperti diatur di atas.
Dalam hal ini, mungkin saja terjadi tidak ada lagi harta warisan yang tinggal. Bahkan
bisa jadi hanya hutang-hutang pewaris yang ditinggalkan kepada ahli warisnya tersebut.
Meski begitu, pasal 175:2 KHI dengan tegas telah menerangkan bahwa “tanggung
jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah
atau nilai harta peninggalannya”.

Masalah hutang yang ditinggalkan pewaris, bagi masyarakat Aceh, adalah persoalan
yang serius. Oleh karena itu, pembayaran hutang pewaris biasanya selalu diutamakan
karena dapat membuat malu para ahli waris bila tidak dibayarkan. Di sebuah lokasi
penelitian ini dilakukan, terdapat sebuah kasus kewarisan yang di dalamnya tersangkut
persoalan utang-piutang. Kasus di boks di bawah diajukan untuk menunjukkan betapa
pembayaran utang dalam masyarakat Aceh merupakan masalah yang cukup serius
dalam kaitannya dengan kewarisan.

Tabel 6.

Sepasang suami istri mempunyai dua anak perempuan. Mereka memiliki harta bersama
berupa rumah, tanah dan toko untuk usaha dagang mereka. Istri (E) meninggal dunia
dalam Tsunami. Selain suami (H) dan dua orang anak perempuan yang masih hidup,
terdapat pula 4 orang saudara kandung laki-laki dari E sebagai ahli waris. Semasa
hidupnya, E adalah seorang pedagang yang memiliki satu toko pakaian perempuan yang
terpisah dari suaminya. Bahkan menurut tetangganya, etos kerja E jauh lebih tinggi
dibandingkan suaminya. Walaupun pasangan suami istri tersebut memiliki banyak harta
berupa toko, rumah, dan tanah, hampir semua harta tersebut sudah menjadi agunan
pinjaman di bank. Selain itu, E pun banyak memiliki hutang pada orang lain. Masalah
timbul ketika 4 orang saudara laki-laki dari E menuntut agar H bertanggung jawab atas
semua hutang-hutang E, karena selama ini ada beberapa orang yang datang untuk
menagih hutang E kepada mereka. Keempat orang saudara laki-laki dari E tersebut
meminta agar H menjelaskan semua harta peninggalan dan berapa jumlah hutang-
hutang yang harus dibayar oleh E. H menyanggupi akan membayar seluruh hutang-
hutang tersebut, tetapi tidak bisa dilunasi secara kontan karena modal usahanya akan
habis sehingga membuat H tak dapat meneruskan usaha dagangnya. Persoalan ini sudah
diketahui oleh aparat gampong yang mencoba menyelesaikan masalah ini. Hingga
penelitian ini selesai dilakukan, sudah terbentuk sebuah tim yang ditugaskan oleh
musyawarah gampong untuk mengidentifikasi harta-harta E yang ditinggalkan dan
keseluruhan jumlah hutangnya.

2. Harta Peninggalan
Kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 171d mendefinisikan ‘harta peninggalan’ sebagai
berikut: “harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang
miliknya maupun hak-haknya.” Tidak diperoleh suatu keterangan lebih lanjut dalam
Penjelasan KHI tentang apa yang dimaksud ‘hak-hak’ dalam pasal tersebut, apakah
terbatas pada hak-hak kebendaan atau malah mencakup juga hak-hak non kebendaan
seperti gelar kebangsawanan.
24

‘Harta warisan’ dibedakan dari ‘harta peninggalan’. KHI pasal 171e menerangkan
makna ‘harta warisan’ sebagai “harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.” Di sini terlihat
bahwa pengertian ‘harta warisan’ lebih sempit cakupannya dari konsep ‘harta
peninggalan’ yang mencakup seluruh harta kekayaan milik si pewaris. Harta warisan,
sebagaimana definisi di atas, terdiri dari dua jenis harta yaitu (1) harta bawaan dan (2)
harta bersama. Uraian di bawah akan mencoba menjelaskan masing-masing pengertian
kedua konsep harta tersebut.

a. Harta Bawaan
Harta bawaan adalah semua harta yang dimiliki masing-masing suami dan isteri
sebelum perkawinan dan harta-harta yang didapatkan selama perkawinan dalam bentuk
hadiah, hibah dan warisan dari pihak ketiga sepanjang para pihak tidak menentukan lain
dalam perjanjian perkawinan (UU 1/1974, 35:2). Lebih lanjut, KHI pasal 86 mengatur
bahwa “pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena
perkawinan”. “Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya,
demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya”.

Di Aceh, harta bawaan seperti di atas disebut sebagai hareuta tuha yang dikuasai oleh
masing-masing suami dan isteri.32 Menurut adat Aceh, harta bawaan adalah harta yang
diperoleh suami atau isteri sebelum atau pada saat perkawinan. Harta bawaan dapat
berasal dari pencariannya sendiri, warisan dari orang tua atau kerabatnya, atau dapat
pula berasal dari hibah.33 Dalam masyarakat Aceh Besar, terdapat suatu konsep yang
bertalian dengan harta bawaan milik isteri yaitu areuta peunulang. Areuta peunulang
adalah sebentuk pemberian harta (hibah) oleh orang tua kepada anak perempuan yang
umumnya berupa harta tak bergerak (tanah dan rumah) yang dilakukan di hadapan
geuchik pada waktu peumekleh atau pemisahan anak perempuan karena hendak
membangun rumah tangga yang baru bersama dengan suaminya. Pada saat penyerahan
harta peunulang ini, geuchik biasanya menanyakan berapa banyak harta seorang ayah
yang akan diserahkan kepada anak perempuannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari
kerugian pihak ahli waris anak laki-laki di masa akan datang. Oleh sebab itu, seorang
ayah biasaya bersikap bijaksana mempertimbangkan seluruh kekayaan dan jumlah
anaknya sehingga tidak akan menimbulkan ketidakadilan dalam pembagian harta
kepada ahli waris kelak.34

Seirama dengan bunyi KHI pasal 211 (‘hibah dari orang tua kepada anaknya dapat
diperhitungkan sebagai warisan’), menurut adat Aceh, harta peunulang adalah hibah
yang diberikan oleh pewaris pada masa hidupnya kepada anak perempuan dan dapat
diperhitungkan sebagai bagian dari harta warisan. Pengertian ‘dapat diperhitungkan
sebagai harta warisan’ disini tidak berarti bahwa rumah atau tanah yang sudah diberikan
kepada anak perempuan itu dibagi-bagi kepada ahli waris yang lain, melainkan tanah
atau rumah itu dianggap sepenuhnya sebagai harta warisan untuk anak perempuan itu.35
Bagi masyarakat Aceh Besar, tindakan untuk memperkarakan harta penulang ke
pengadilan merupakan suatu aib yang memalukan karena dianggap mencongkel
32
Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia: Refleksi terhadap Beberapa Bentuk Integrasi
Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh, h. 267.
33
Ibid. h. 217.
34
Ibid. h. 219.
35
Ibid. h. 218-219.
25

kuburan orang tua. Walaupun mungkin ada ahli waris anak laki-laki yang berkeberatan
dengan jumlah harta peunulang yang begitu besar diberikan kepada anak perempuan,
masyarakat Aceh pada umumnya memandang bahwa peunulang yang telah diberikan
sebagai hibah orang tua kepada anak perempuannya tidak dapat dibatalkan. Hal ini
didasarkan pada hadis Nabi saw. yang artinya “Menarik kembali hibah seumpama
anjing yang muntah kemudian memakan kembali muntahannya”.36

Konsep harta bawaan dan peunulang pada umumnya dipraktekkan dengan baik oleh
masyarakat Aceh Besar. Akan tetapi, sebagian di antara mereka memahami bahwa
suami yang masih hidup tidak memiliki hak waris terhadap harta bawaan atau
peunulang milik isteri yang meninggal dalam Tsunami. Dua buah kasus di bawah
merupakan contoh yang dapat mewakili fenomena ini.37

Tabel. 7

Kasus 1
Di gampong Meunasah Balee, seorang suami yang isterinya meninggal dunia dalam
Tsunami tidak diberikan sedikitpun harta bawaan milik isterinya itu oleh ahli waris dari
pihak keluarga isteri. Alasannya, harta bawaan isteri tersebut berasal dari orang tuanya
dan sebagiannya lagi dari perkawinan isteri dengan suami pertamanya yang meninggal
dunia lebih dulu. Apalagi suami kedua ini miskin dan tidak memiliki harta apapun pada
saat menikah dengan istrinya. Suami kedua ini akhirnya melapor kepada Geuchik untuk
meminta bantuannya mendapatkan hak warisnya dari istrinya yang sudah meninggal.

Tabel 8.

Kasus 2
Seorang suami di gampong Meunasah Balee, setelah isterinya meninggal dalam
Tsunami, diusir oleh adik laki-laki isteri dari rumah tempat tinggal mereka dan tidak
mendapatkan hak apapun. Rumah tempat tinggal itu memang merupakan harta
peunulang yang diberikan oleh orang tua isteri kepada anak perempuannya. Akhirnya
suami pulang kembali ke rumah orang tuanya di gampong lain yang juga tertimpa
Tsunami dan di sana ia mendapatkan sebidang tanah milik orang tuanya yang
meninggal dalam Tsunami. Pihak suami mengadukan hal ini kepada Geuchik sekedar
menyampaikan keadaannya dan tidak bermaksud memperpanjang masalah ini, apalagi
dia kini memperoleh tanah warisan dari orang tuanya sendiri untuk dibuatkan rumah
bantuan.

Kedua kasus di atas memperlihatkan bagaimana sebagian masyarakat Aceh memahami


kewarisan terhadap harta bawaan dan peunulang secara keliru. Padahal, baik harta
bawaan atau harta peunulang adalah harta peninggalan yang diwariskan oleh
almarhumah isteri kepada ahli warisnya, termasuk untuk suaminya. Karena itu, suami
berhak menerima warisan dari harta bawaan atau peunulang sebesar ½ bagian bila tidak
punya anak dan ¼ bagian bila ada anak.

36
Ibid. h. 219-220.
37
Wawancara dengan aparat gampong Meunasah Balee (10 Mei 2006).
26

b. Harta Bersama
Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan merumuskan harta bersama sebagai
“harta benda yang diperoleh selama perkawinan”. Harta bersama ini dapat berupa benda
berwujud atau tidak berwujud. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak
bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga. Adapun harta bersama yang tidak
berwujud dapat berupa hak dan kewajiban. Tanpa persetujuan kedua belah pihak suami
dan istri, harta bersama tidak dibolehkan untuk dijadikan barang jaminan, dijual atau
dipindahkan (UU 1/1974, 36; KHI, 91-92).

Dalam adat Aceh, harta bersama dikenal dengan istilah hareuta sihareukat, yang
pengertiannya tidak jauh berbeda dengan konsep harta bersama menurut hukum positif.
Harta semacam ini dipahami sebagai harta yang dihasilkan bersama suami dan isteri
selama dalam perkawinan dan dikuasai bersama oleh suami isteri. Dalam praktek di
Aceh, pengalihan hak atas harta bersama kepada pihak ketiga cukup ditandangani oleh
suami, sedangkan isteri cukup memberi persetujuan lisan saja. Persetujuan ini biasanya
dinyatakan kepada Geuchik yang menandatangani surat pengalihan hak atas barang
yang tak bergerak di suatu gampong. Seharusnya isteri juga ikut serta menandatangani
surat pengalihan hak atas harta bersama, tetapi dalam praktek, camat selaku Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) percaya kepada Geuchik yang sudah mengetahui adanya
persetujuan isteri.38

Menurut ketentuan hukum formal, harta bersama dibagi-bagi untuk suami dan isteri
apabila terjadi perceraian atau kematian salah seorang pasangan suami isteri. KHI pasal
97 mengatur bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari
harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Apabila
terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih
lama (KHI, 96:1), dan separoh sisanya lagi menjadi harta warisan bagi para ahli waris
termasuk pasangan yang hidup lebih lama itu. Pembagian harta bersama bagi seorang
suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya
kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan
Pengadilan Agama (KHI, 96:2).

Mahkamah Syar’iyah di Aceh telah mengeluarkan putusan untuk perkara mafqud


(hilang atau meninggal) bagi para korban bencana Tsunami. Penetapan perkara
semacam ini ada yang dikeluarkan secara independen, tetapi ada juga yang dirangkaikan
dengan perkara pengesahan ahli waris. Jumlah perkara mafqud di Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh dan Jantho dapat dilihat dalam tabel di bawah.

Tabel 9.

MAHKAMAH PENETAPAN MAHKAMAH PENETAPAN


SYAR’IYAH KEMATIAN SYAR’IYAH KEMATIAN
BANDA ACEH (MAFQUD) JANTHO (MAFQUD)
Januari 2005 - Januari 2005 -
Februari 2005 - Februari 2005 -
Maret 2005 - Maret 2005 -
April 2005 1 April 2005 -
Mei 2005 1 Mei 2005 -

38
Syahrizal, h. 272-273.
27

Juni 2005 - Juni 2005 2


Juli 2005 1 Juli 2005 23
Agustus 2005 2 Agustus 2005 -
September 2005 2 September 2005 1
Oktober 2005 1 Oktober 2005 -
November 2005 3 November 2005 -
Desember 2005 4 Desember 2005 1
Januari 2006 2 Januari 2006 1
Februari 2006 - Februari 2006 -
Maret 2006 - Maret 2006 -
TOTAL 17 TOTAL 28

Akan tetapi, putusan untuk perkara mafqud seperti dalam tabel di atas kebanyakannya tidak
bertalian langsung dengan masalah pembagian harta bersama. Biasanya penetapan perkara
mafqud yang independen diajukan oleh pihak isteri yang masih hidup untuk keperluan
menikah lagi. Adapun perkara mafqud yang dirangkaikan dengan pengesahan ahli waris
bisa diajukan oleh pihak mana pun, termasuk keluarga jauh dari pihak suami atau isteri.

Menurut ketentuan hukum adat Aceh, harta bersama tidak dibagi selama suami isteri masih
terikat dalam perkawinan. Harta bersama baru dibagi antara suami dan isteri apabila mereka
bercerai, baik cerai hidup maupun cerai mati. Apabila salah satu pihak meninggal dunia
(cerai mati), terlebih dahulu harta bersama dan harta milik pribadi pasangan yang
meninggal dipisahkan. Setelah itu, barulah harta pasangan yang meninggal itu, yang terdiri
dari harta bawaannya dan sebagian dari harta bersama miliknya, difaraidhkan kepada
semua ahli waris yang berhak, termasuk untuk pasangan yang masih hidup.39 Sampai pada
tahap ini, ketentuan adat tidak banyak berbeda dengan peraturan formal. Akan tetapi, cara
pembagian harta bersama dalam adat Aceh agak berbeda dari hukum positif karena terdapat
bermacam-macam model pembagian harta bersama. Syahrizal mengemukakan sedikitnya 6
model pembagian harta bersama di Aceh, yang itu amat ditentukan oleh keadaan saat
berakhirnya perkawinan seperti terdapat dalam kotak di bawah:40
Tabel 10.

Adat Aceh tentang Cara Pembagian Harta Bersama


1) Dalam hal cerai hidup dan tidak mempunyai anak, maka harta bersama dibagi dua,
yaitu ½ untuk suami dan ½ untuk isteri.
2) Dalam hal cerai hidup dan mempunyai anak, isteri mendapat ½, suami mendapat ¼
dan anak mendapat ¼.
3) Dalam hal cerai mati tanpa meninggalkan anak, tetapi ada ahli waris lainnya, maka
¾ untuk suami atau isteri dan ahli waris lainnya mendapat ¼.
4) Dalam hal cerai mati tanpa meninggalkan anak dan tanpa meninggalkan ahli waris,
maka ¾ untuk suami atau isteri dan ¼ untuk Baitul Mal.
5) Dalam hal cerai mati dan ada meninggalkan anak laki-laki, maka semua harta untuk
isteri dan anak-anaknya.
6) Dalam hal cerai mati dan hanya mempunyai anak perempuan, maka selain isteri dan
anak perempuan itu, terdapat juga bagian hak untuk walinya.

Seperti diakui oleh Syahrizal sendiri, cara pembagian harta bersama di atas
memperlihatkan ketidakseragaman di seluruh Aceh, dan hal itu tergantung dari
39
Ibid. h. 274-275.
40
Ibid. h. 275.
28

kabupaten masing-masing yang memiliki alasan-alasan kultural tertentu. Adapun di


Aceh Besar yang menjadi lokasi penelitian ini, terdapat dua cara pembagian harta
bersama yaitu:
1. Untuk suami seperdua, dan untuk istri pun seperdua.
2. Untuk suami duapertiga, dan untuk istri sepertiga. Cara pembagian ini didasarkan
pada alasan bahwa pekerjaan (usaha) suami dianggap lebih berat bila dibandingkan
dengan usaha isteri. Praktek pembagian semacam ini umumnya dilakukan di
gampong-gampong yang terletak di pesisir pantai yang mayoritas mata pencaharian
penduduknya adalah nelayan, sementara isteri hanya bertugas di rumah mengurus
masakan dan menjaga anak-anak.41

Pemahaman terhadap konsep harta bersama di kalangan sebagian besar informan yang
ditemui di beberapa gampong dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa mereka
kurang mengerti dengan baik apa yang dimaksudkan dengan harta bersama dalam
perkawinan sepasang suami isteri. Akibatnya, dalam pembagian harta warisan pasca
Tsunami seringkali diketemukan bahwa nama yang tertera di atas kepemilikan suatu
harta benda, baik berupa rekening bank atau sertifikat tanah, yang diperoleh selama
perkawinan, dianggap menjadi patokan untuk menentukan siapa pemilik harta benda
tersebut. Dengan demikian, harta benda dengan kondisi semacam itu, walaupun
diperoleh selama perkawinan, dipandang sebagai milik pribadi dan bukan sebagai harta
bersama.

Dalam banyak kasus yang seluruh anggota keluarga inti (suami, isteri dan anak-anak)
meninggal dunia akibat Tsunami, keluarga pihak isteri pada umumnya dirugikan dengan
berkembangnya pemahaman harta bersama seperti itu. Hal ini karena harta bersama
yang ditinggalkan, seperti tabungan, deposito dan sertifikat tanah, pada umumnya
adalah atas nama suami. Dengan demikian, biasanya pihak keluarga suami lah yang
lebih sering menguasai semua dana-dana tersebut dan mengabaikan hak pihak keluarga
isteri atas harta bersama tersebut. Dalam hal ini, posisi keluarga pihak istri berhadapan
dengan posisi keluarga pihak suami seringkali terlihat tak berdaya. Padahal seluruh
harta peninggalan yang diperoleh setelah berumah tangga itu dikategorikan sebagai
harta bersama, di mana masing-masing pihak keluarga suami dan pihak keluarga istri
berhak untuk bersama-sama memperoleh setengah bagian. Dua kasus yang ditemukan
di Banda Aceh di bawah memperjelas uraian ini.

Tabel 11.
Kasus 1: Harta Bersama di Lambaro Skep

A dan B masing-masing adalah sepasang suami


C F
A
B isteri korban Tsunami tanpa memiliki anak. C
adalah saudara laki-laki dari suami (A) yang sudah
D E
meninggal dan mempunyai dua orang anak laki-laki
yaitu D dan E. Adapun F adalah saudara laki-laki
seayah dari isteri (B). A dan B memiliki harta
bersama sebagai harta peninggalan. D, E (pihak
keluarga suami) dan F (pihak keluarga isteri)
sesungguhnya adalah para ahli waris yang sah atas

41
Ibid. h. 275-276.
29

harta bersama tersebut. Akan tetapi, D dan E


menguasai semua harta bersama tersebut, sementara
F tidak mendapatkan apapun dari harta bersama
milik B, yang merupakan saudara perempuannya. F
tidak menerima hal ini dan akhirnya mengadukan
hal itu ke kantor gampong dan meminta agar CARE
tidak memberikan bantuan rumah untuk D dan E di
atas tanah warisan yang masih disengketakan itu.

Tabel 12.
Kasus 2: Harta Bersama di Lampaseh Kota

F E A C D
B

A dan B masing-masing merupakan suami isteri yang meninggal dalam Tsunami.


Mereka berdua tidak punya anak. E dan F adalah ahli waris dari pihak keluarga suami,
sedangkan C dan D adalah ahli waris dari pihak keluarga isteri. C dan D mengetahui
bahwa pasangan suami isteri tersebut memiliki simpanan di bank BRI Darussalam dan
mencairkannya berdasarkan surat keterangan yang mereka peroleh dari Sigli, tempat
mereka berasal. Tak lama setelah mendengar bahwa C dan D menerima uang sebesar 11
juta rupiah yang merupakan harta bersama milik A dan B dari bank, pihak keluarga
suami (F dan E) membuat pengaduan kepada Geuchik dan Imam Meunasah kelurahan
Lampaseh Kota. Aparat kelurahan kemudian menyiapkan surat keterangan untuk F dan
E sebagai ahli waris. Diantar oleh Imam Meunasah ke kantor BRI, F dan E meminta
pihak bank membatalkan pencairan dana 11 juta rupiah untuk pihak keluarga isteri (C
dan D), dan agar menyerahkan dana tersebut kepada F dan E. Pihak bank akhirnya
mengambil kembali dana tersebut dari C dan D, dan kemudian meberikan seluruhnya
kepada pihak keluarga suami (F dan E). Tragisnya, pihak keluarga isteri tidak
mendapatkan sama sekali bagian dari uang tabungan tersebut yang merupakan harta
bersama. Bahkan, sebidang tanah yang ditinggalkan oleh A dan B kini dibangun sendiri
oleh pihak keluarga suami (F dan E) tanpa sepengetahuan pihak keluarga isteri (C dan
D) yang sebenarnya juga adalah ahli waris yang sah.

c. Uang Pensiun dan Tabungan Hari Tua


Di antara ratusan ribu korban yang hilang atau meninggal dalam bencana Tsunami
terdapat pegawai negeri sipil (PNS) yang bekerja pada instansi pemerintah dan
karyawan tetap yang bekerja di perusahaan swasta yang berlokasi di Aceh. Sebagai
korban dalam Tsunami, mereka tentu berhak mendapat sejumlah pembayaran yang akan
diterima oleh ahli waris mereka.

i) Pegawai Negeri Sipil


Di antara pembayaran yang diterima oleh ahli waris dari korban Tsunami yang berstatus
PNS adalah uang pensiun dan tabungan hari tua (PP 25/1981, 8), yang sesungguhnya
30

berasal dari penyisihan delapan persen dari upah bulanan (PP 25/1981, 6). Dari
penjelasan ini, uang pensiun tentunya dapat dikategorikan sebagai harta bersama karena
diperoleh selama perkawinan. Akan tetapi berbeda dari pembagian harta bersama pada
umumnya, uang pensiun akan dibayarkan tunai setiap bulan kepada salah satu dari 3
pihak ahli waris yang ada, yaitu (1) janda/duda dari pegawai yang meninggal dunia
hingga janda/duda itu meninggal dunia atau menikah lagi; (2) anak yatim piatu dari
pegawai yang meninggal sampai anak yatim piatu itu mencapai usia 23 tahun, bekerja
tetap atau menikah; dan (3) ayah atau ibu dari pegawai yang tewas dalam keadaan
masih lajang sampai batas waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan
(UU 40/2004, 41:1, 41:6 dan PP 25/1981, 10:2). Dalam hal ketiga pihak ahli waris
tersebut ikut pula meninggal atau hilang dalam bencana Tsunami, maka uang pensiun
bulanan itu tidak akan dibayarkan kepada kepada ahli waris lainnya (misalnya: saudara
kandung atau paman) di luar tiga pihak ahli waris yang disebutkan di atas. Salah
seorang hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh menuturkan kepada peneliti bahwa
jika masalah semacam ini diperiksa oleh Mahkamah, hakim akan memutuskan sama
seperti ketentuan yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan itu.42

Selain uang pensiun yang diterima setiap bulan oleh ahli waris dari PNS yang
meninggal, ahli waris juga berhak menerima tabungan hari tua yang dibayar satu kali
secara tunai sekaligus pada saat PNS yang bersangkutan meninggal dunia (Penjelasan
PP 25/1981, 9:2; UU 40/2004, 37:1). Akan tetapi, berbeda dengan uang pensiun yang
dibatasi penerimanya hanya pada salah satu dari tiga pihak ahli waris di atas, tabungan
hari tua bagi PNS atau yang kerap dikenal oleh masyarakat sebagai Taspen ini dapat
dibayarkan kepada ahli waris lain di luar tiga pihak ahli waris tersebut (UU 40/2004,
37:4).

2). Karyawan Swasta


Karyawan swasta tidak menerima uang pensiun, kecuali bila mereka menjadi peserta
Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan.43 Akan tetapi,
karyawan swasta menerima juga Jaminan Hari Tua. Jaminan Hari Tua ini dapat
dibayarkan tunai sekaligus, atau secara berkala, atau sebagian dan berkala (UU 3/1992,
14:1). Dalam hal karyawan swasta tersebut meninggal dunia, pembayaran ini diberikan
kepada ahli warisnya, yaitu “janda atau duda atau anak yatim piatu”. (UU 3/1992, 14:2).
Ketentuan dalam UU 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja ini telah menentukan
secara spesifik para ahli waris yang akan menerima manfaat Jaminan Hari Tua apabila
seorang pekerja meninggal dunia.

Akan tetapi, sebuah peraturan yang baru dikeluarkan (UU 40/2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional) telah mengintroduksi suatu ketentuan yang lebih umum dalam
pasal 37 (4) sebagai berikut: “Apabila peserta meninggal dunia, ahli warisnya yang sah
berhak menerima manfaat jaminan hari tua.” Pengertian ‘ahli waris yang sah’ dalam
pasal tersebut tidak menunjuk langsung siapa-siapa pihak tertentu yang berhak
menerima dana Jaminan Hari Tua atau Taspen. Dengan demikian, dalam hal seluruh
keluarga inti meninggal dunia, seperti yang cukup sering didapati dalam bencana
Tsunami, pihak keluarga suami dan pihak keluarga istri apakah ayah ibu, saudara
kandung, maupun keponakan, dapat juga menjadi ahli waris yang menerima manfaat
42
Wawancara Salahuddin Mahmud, Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, (16 Mei 2006).
43
Keterangan lebih lanjut mengenai Dana Pensiun silakan lihat Undang-Undang nomor 11 tahun 1992
tentang Dana Pensiun; Peraturan Pemerintahan nomor 76 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi
Kerja, dan Peraturan Pemerintah nomor 77 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
31

Jaminan Hari Tua dari karyawan swasta atau Taspen milik seorang PNS yang meninggal
dalam Tsunami itu. Mungkin karena ketentuan ini masih baru (dikeluarkan 2 bulan sebelum
Tsunami terjadi), belum banyak pihak yang mengetahuinya, termasuk aparat gampong.
Karena itu tidak heran bila terdapat Geuchik yang belum dapat menyelesaikan pembagian
dana Taspen antara seorang janda (yang sudah menikah kembali dengan pria lain) dengan
seorang saudara laki-laki suami yang meninggal dalam Tsunami.44
d. Jaminan Kematian
Selain gaji pensiun dan tabungan hari tua, terdapat pula uang santunan kematian yang
diberikan kepada ahli waris dari korban Tsunami yang bekerja di kantor pemerintahan
atau perusahaan swasta. Iuran jaminan kematian ditanggung oleh kantor pemberi kerja.
Adapun besarnya manfaat Jaminan Kematian ditetapkan berdasarkan suatu jumlah
nominal tertentu (UU 40/2004, 45-46). Jaminan Kematian meliputi biaya pemakaman
dan santunan berupa uang tunai. Jaminan Kematian dibayarkan kepada ahli waris
pekerja yang meninggal dunia (UU 3/1992, 13), dengan urutan penerima yang
diutamakan sebagai berikut:
1. janda atau duda;
2. anak;
3. orang tua;
4. cucu;
5. kakek atau nenek;
6. saudara kandung;
7. mertua.45
e. Uang Asuransi: Harta Bersama atau Harta Peninggalan?
Dalam beberapa kasus korban yang meninggal dalam Tsunami, terdapat di antara
mereka yang memiliki polis asuransi jiwa dari berbagai perusahaan asuransi yang
terdaftar. Pembayaran dari perusahaan asuransi jiwa tersebut kepada keluarga korban
Tsunami masih sering menjadi pembicaraan apakah menjadi harta bersama korban
dengan isteri/suaminya ataukah merupakan harta peninggalan dari korban yang
meninggal itu.46 Soufyan Saleh, Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD,
berpendapat bahwa dengan mengacu kepada putusan kasasi yang dikeluarkan
Mahkamah Agung (no. 97/AG/1994) uang asuransi tidak dapat digolongkan sebagai
harta bersama dan tidak pula dapat disebut sebagai harta peninggalan. Dengan
demikian, pembayaran uang pertanggungan asuransi harus mengacu kepada ketentuan
khusus yang mengatur hal tersebut dalam klausula perjanjian Asuransi itu sendiri.47
Putusan kasasi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung di atas sesungguhnya sudah
didahului dua tahun sebelumnya oleh sebuah putusan kasasi yang amar putusannya
sebetulnya tidak banyak berbeda. Kasus di bawah ini dengan jelas menunjukkan bahwa
uang pertanggungan asuransi bukanlah harta bersama dan bukan pula harta peninggalan.
Adapun ringkasan kasusnya sebagai berikut:48

44
Wawancara dengan M. Amin, gampong Meunasah Balee, 10 Mei 2006.
45
Pasca Tsunami, Jamsostek NAD mengeluarkan Edaran yang menambah satu ahli waris penerima selain
tujuh orang di atas, yaitu saudara kandung orang tua. Lihat Rusydi Ali Muhammad, “Permasalahan Tanah
di Aceh Pasca Tsunami”, Makalah Diskusi Bulanan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Banda
Aceh, 17 Juli 2006, h. 9.
46
Saleh, “Pembagian Hak Warisan”, h. 7.
47
Ibid.
48
Kasus ini dikutip secara ringkas dari rubrik Analisis Yurisprudensi, Mimbar Hukum no.18, vol. VI
(1995).
32

Tabel 13.

Tingkat Para penggugat (1 saudara perempuan dan dua saudara laki-laki seibu)
Pertama menggugat janda dan mengklaim bahwa dana dari asuransi jiwa dan
tunjangan kematian yang berasal dari Menteri Agama dan Pemerintah Saudi
Pengadilan Arabia kepada saudara laki-laki mereka (suami dari tergugat) yang
Agama Tapak meninggal akibat musibah terowongan Mina pada saat beribadah haji
Tuan (Aceh merupakan harta warisan. Penggugat meminta Pengadilan Agama
Selatan) memfaraidhkan uang tersebut. Pengadilan Agama menerima gugatan para
Putusan No: penggugat dan membagi harta tersebut: janda mendapat ¼, saudara
29/G/1991/PA- perempuan memperoleh ½, dan dua saudara laki-laki seibu menerima sisanya
TTN (¼).
Tingkat Pengadilan Tinggi Agama menemukan bahwa putusan Pengadilan Agama
Banding Tapak Tuan telah keliru menerapkan hukum; uang dari Menteri Agama dan
pemerintah Saudi bukanlah tirkah (harta peninggalan) dari pewaris, tetapi
Pengadilan donasi untuk seluruh ahli waris yang harus dibagikan sama rata antara
Tinggi Agama penggugat dan tergugat. Adapun uang asuransi dipandang sebagai harta
Banda Aceh bersama dari pernikahan janda dan almarhum suaminya yang harus
Putusan No: difaraidkan untuk seluruh ahli waris menurut ketentuan hukum.
49/1991
Tingkat Mahkamah Agung memutuskan bahwa Pengadilan Tinggi Agama telah
Kasasi keliru menerapkan hukum karena yang dipandang sebagai harta warisan itu
seluruhnya berada dalam kepemilikan janda pada saat pewaris hidup. Karena
Mahkamah itu, uang asuransi dan dana yang diberikan oleh Menteri Agama dan
Agung Pemerintah Saudi tidak dapat dibagi-bagikan di antara ahli waris. Mahkamah
Putusan No: Agung akhirnya memutuskan semua dana itu diserahkan kepada janda.
198K/AG/1992

3. Hak Waris Perempuan


Setelah menjelaskan tentang harta peninggalan pada bagian di atas, kini saatnya
untuk membicarakan hak atas bagian dari harta peninggalan yang akan diterima oleh
para ahli waris. Mengenai besarnya bagian untuk ahli waris dalam hukum adat pada
prinsipnya, sama dengan ketentuan hukum Islam atau sebagaimana yang diatur
secara umum dalam KHI. Pengaruh hukum Islam terhadap hukum adat Aceh diakui
sangat besar. Namun, pelaksanaan ketentuan hukum semacam itu tidak terlalu ketat
sepanjang ada kesepakatan antara semua ahli waris berkaitan dengan jumlah bagian
dari harta warisan yang akan diterima.

Mempertimbangkan fokus utama dan tujuan penelitian ini, bagian ini tidak akan
menguraikan semua pihak-pihak ahli waris, tetapi akan membatasi pada ahli waris
berkelamin perempuan saja.

a. Anak Perempuan
Menurut pasal 176 KHI, anak perempuan mendapatkan seperdua bila seorang diri,
dan duapertiga bila mereka jumlahnya berdua atau lebih. Apabila anak perempuan
tersebut bersama anak laki-laki sebagai pewaris, maka bagian anak perempuan
adalah setengah dari bagian anak laki-laki. Norma adat Aceh mengenai hak waris
anak perempuan ini tidak banyak berbeda. Dengan demikian, jika terdapat hanya
seorang anak perempuan ia akan mendapatkan ½ bagian, dan jika 2 orang atau lebih
33

mereka akan mendapatkan 2/3 bagian dari seluruh harta warisan yang ditinggalkan
pewaris. Begitupun, bila anak perempuan itu bersama-sama dengan anak laki-laki,
maka anak perempuan akan menerima ½ bagian dari jumlah yang diterima oleh
anak laki-laki. Tapi pada dasarnya pembagian harta warisan di gampong amat
bergantung pada pertimbangan orang-orang tua adat dan atau persetujuan sesama
anak-anak (laki-laki dan perempuan). Malah dalam adat Aceh, terdapat konsep harta
peunulang, yaitu rumah dan tanah pekarangannya diberikan kepada anak perempuan
pada saat ia menikah, yang salah satu tujuannya adalah untuk perimbangan dari
kekurangan bagian yang diterima oleh anak perempuan dibandingkan dengan anak
laki-laki pada saat pembagian harta warisan sepeninggal pewaris. Melalui konsep
harta peunulang inilah, boleh jadi bagian harta yang diterima oleh anak perempuan
akan lebih banyak dibandingkan dengan harta bagian anak laki-laki.

Posisi anak perempuan dalam praktek kewarisan di gampong terlihat lemah


khususnya jika ia adalah satu-satunya, atau lebih, anak perempuan yang masih hidup
sementara ahli waris utama lainnya (e.g. anak laki-laki, ayah dan ibu, janda atau
duda) sudah meninggal dunia. Dalam keadaan seperti ini, dimana anak perempuan
tidak dapat menjadi `asabah (ahli waris yang menghabiskan seluruh harta warisan),
timbul kecenderungan bahwa wali, khususnya pihak keluarga ayah dari anak
perempuan tersebut, datang dengan alasan perwalian untuk menguasai harta
peninggalan para pewaris. Terlebih lagi apabila anak perempuan tersebut masih di
bawah umur dan belum mengerti akan hak-haknya. Aparat gampong pada umumnya
tidak menghalangi tindakan yang diambil oleh wali tersebut, karena itu memang
merupakan praktek yang berlaku luas. Diagram di bawah mencoba mengilustrasikan
bagaimana posisi anak perempuan yang sebatangkara sepeninggal kedua
orangtuanya berhadapan dengan wali yang merupakan saudara laki-laki ayahnya
(paman).
Diagram 2.

D A B

Di gampong Meunasah Balee, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar,


terdapat seorang anak perempuan (E) yang tidak mendapatkan sama sekali harta
warisan dari ayahnya (C) karena pamannya (D) menguasai seluruh harta
peninggalan AB (lihat diagram di bawah). Harta warisan berupa 150 juta rupiah
mulanya merupakan milik kakek nenek (AB) yang meninggal sebelum kejadian
Tsunami. Kakek nenek ini mempunyai dua orang putra (C dan D) sebagai ahli
waris. Akan tetapi, salah satu ahli waris ini, yaitu C, meninggal dalam Tsunami.
Akhirnya seluruh harta peninggalan kakek diambil oleh paman (D) dan tidak
memberikan hak sedikitpun kepada anak perempuan itu yang sesungguhnya
34

merupakan ahli waris yang sah dari harta milik ayahnya yang diterimanya dari
AB.49
Diagram 3.

AB

C D

Situasi yang agak menguntungkan bagi anak perempuan di bawah umur adalah jika
di gampong di mana anak perempuan itu menetap terdapat proses sertifikasi tanah
yang dilakukan oleh program RALAS yang berada di bawah kendali BPN dan
mengikutsertakan Mahkamah Syar’iyah dalam program tersebut. Dalam keadaan
ini, kemungkinan besar anak perempuan tersebut mendapatkan hak penuh atas tanah
yang ditinggalkan oleh orang tuanya, termasuk sertifikat tanah akan diterbitkan atas
nama anak perempuan tersebut. Hal ini karena Mahkamah Syar’iyah dalam
menetapkan perwalian bagi seorang anak di bawah umur di suatu gampong
seringkali juga menginformasikan kepada warga masyarakat dan aparat gampong
bahwa anak perempuan dapat mewarisi seluruh harta peninggalan milik pewaris.
Penting kiranya dicatat di sini bahwa terdapat yurisprudensi di Pengadilan Agama
(Mahkamah Syar’iyah) yang memutuskan untuk menyerahkan seluruh sisa dari
harta warisan yang tidak habis itu (½) kepada seorang anak perempuan, dan tidak
lagi diberikan, misalnya, kepada paman (wali) yang masih hidup.50 Dengan kata
lain, seorang anak perempuan yang sebatangkara dapat menghabiskan seluruh harta
peninggalan pewaris. Yurisprudensi ini jelas bertentangan secara diametral dengan
bunyi pasal 176 KHI yang sudah disebutkan di atas. Tampaknya suatu terobosan
hukum baru (ijtihad) sudah dilakukan dalam praktek khususnya untuk mengatasi
persoalan yang dipandang kurang menguntungkan bagi posisi anak perempuan.

Oleh sebab itu, sebagaimana disampaikan oleh Hasyim Mannan, Ketua Mahkamah
Syar’iyah Banda Aceh, anak perempuan di bawah umur yang ditetapkan
perwaliannya oleh Mahkamah Syar’iyah melalui program RALAS dapat
dicantumkan namanya dalam sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh BPN, sementara
pengelolaan tanah tersebut tetap akan di bawah kontrol wali yang sudah ditunjuk
oleh Mahkamah hingga anak yatim itu dewasa. Hasyim juga menambahkan bahwa
dalam hal terdapat dua orang anak di bawah umur yang berbeda jenis kelamin, laki-
laki dan perempuan, maka bagian tanah untuk anak perempuan adalah setengah dari
bagian anak laki-laki. Perbedaan ukuran luas tanah bagi anak laki-laki dan
perempuan tersebut terlihat dalam sertifikat yang diterbitkan oleh BPN atas nama
mereka masing-masing.51

b. Janda

49
Wawancara dengan Geuchik Meunasah Balee (10 Mei 2006).
50
Wawancara Rafiuddin, Ketua Mahkamah Syar’iyah Jantho (27 April 2006).
51
Wawancara Hasyim Mannan, Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh (26 April 2006).
35

Posisi janda merupakan contoh lain yang tidak jauh berbeda dengan kasus anak
perempuan di atas. Menurut KHI, seorang janda mendapat ¼ bila pewaris tidak
meninggalkan anak, dan mendapat 1/8 bila pewaris meninggalkan anak (KHI, 180).
Selain itu, janda akibat cerai mati juga berhak atas harta bersama sebesar separoh
bagian (KHI, 96:1). Hak janda atas harta peninggalan pewaris menurut adat Aceh
tidak berbeda dengan ketentuan formal dalam KHI itu. Akan tetapi, hak seorang
janda atas harta bersama, menurut adat, besarnya boleh seperdua bagian atau
sepertiga bagian seperti sudah diterangkan di atas dalam pembahasan Harta
Bersama.

Seorang janda tanpa anak ataupun hanya mempunyai anak perempuan


sesungguhnya dalam beberapa kasus berada dalam posisi yang relatif lemah
berhadapan dengan keluarga pihak suami (e.g. ipar dan mertua). Sungguhpun
seorang janda memperoleh 1/8 (3/24), seorang anak perempuannya memperoleh ½
(12/24), sementara keluarga pihak suami yaitu ibu mertua mendapat 1/6 atau 4/24
dan ipar akan memperoleh 5/24, seringkali terjadi keluarga pihak suami ini
mengontrol seluruh harta kekayaan yang diwariskan dengan pertimbangan bahwa
mereka berkedudukan sebagai wali yang nantinya akan menikahkan anak
perempuan tersebut. Kondisi semacam ini lebih tampak khususnya jika anak-anak
perempuan tersebut masih di bawah umur. Diagram di bawah mencoba
mengilustrasikan posisi janda dengan seorang anak perempuan berhadapan dengan
pihak keluarga suami yang terdiri dari ipar laki-lakinya dan ibu mertuanya.
Diagram 4.

C
Pembagian warisan:

Janda (B) = 3/24


D A B
Anak (E) = 12/24
Ibu (C) = 4/24
Saudara laki-laki (D) = 5/24
E

Dalam hal janda tersebut tidak mempunyai anak sama sekali, kedudukannya betul-
betul menjadi lemah sekali berhadapan dengan satu-satunya ipar laki-lakinya yang
masih hidup. Di gampong Meunasah Balee, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh
Besar, ditemukan kasus seorang janda dan seorang ipar laki-laki sebagai ahli waris.
Masalah kewarisan ini sudah diajukan kepada Geuchik untuk diselesaikan. Geuchik
kemudian memberikan ¼ bagian dari harta warisan kepada janda karena tidak ada
anak, sedang sisanya yaitu ¾ bagian menjadi milik saudara laki-laki dari almarhum
suami janda tersebut.52 Ilustrasi kasus ini dapat dilihat pada diagram di bawah.
Diagram 5.

A
C B

52
Wawancara dengan Geuchik Meunasah Balee (10 Mei 2006).
36

Sesungguhnya janda tersebut tidak hanya memperoleh ¼ bagian, karena harta warisan
yang ditinggalkan pewaris merupakan harta bersama. Seharusnya janda itu memperoleh
½ dari harta bersama dan ¼ dari harta warisan suaminya yang meninggal (karena mereka
tidak punya anak). Dengan demikian, sebetulnya janda memperoleh total ¾ bagian dari
keseluruhan harta peninggalan, sementara iparnya hanya memperoleh ¼ bagian.

Masih di gampong Meunasah Balee, terdapat kasus janda lain yang berhadapan
dengan ipar laki-lakinya. Dalam kasus ini, pembagian harta warisan sebetulnya
sudah dapat dilakukan secara musyawarah keluarga. Akan tetapi, muncul persoalan
pada harta warisan berupa barang bergerak yaitu kendaraan mobil. Mobil itu ditaksir
harganya sebesar 35 juta rupiah. Janda itu diminta untuk membayar sebesar sepuluh
juta rupiah kepada saudara laki-laki suaminya kalau ia ingin memiliki sepenuhnya
kendaraan tersebut. Tapi janda tersebut tidak mau melakukannya. Setelah mendapat
laporan kasus ini, oleh pihak gampong, janda tersebut akhirnya ditetapkan berhutang
kepada iparnya sebesar 10 juta rupiah dan wajib melunasinya. Janda tersebut tidak
punya pilihan lain dan terpaksa mengusahakan agar mobil itu lekas terjual untuk
dapat melunasi hutangnya.53

c. Cucu perempuan (patah titi)


Ahli waris perempuan lainnya yang patut didiskusikan di sini adalah cucu
perempuan yang ayah ibunya meninggal terlebih dahulu daripada pewaris (kakek
cucu perempuan). Menurut ketentuan formal, ahli waris yang meninggal lebih
dahulu daripada pewaris, kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, dan bagian
ahli waris pengganti itu tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat
dengan yang diganti (KHI, 185:1-2). Hukum positif ini mengatur bahwa hubungan
saling mewarisi antara seorang kakek dan cucunya, walaupun orang tua dari cucu itu
sudah meninggal lebih dulu, adalah sesuatu yang dibenarkan secara hukum. Adapun
jumlah bagian harta warisan yang diterima oleh cucu itu tidak dapat melebihi bagian
harta warisan yang diterima oleh masing-masing saudara-saudari dari orang tuanya.
Kemungkinan besar jumlah yang bakal diterima cucu itu setidaknya sama
banyaknya dengan bagian saudara-saudari orang tuanya. Diagram di bawah
mencoba menjelaskan kasus ini.

Diagram 6.

Keterangan gambar: A B

F adalah cucu perempuan


D adalah orang tua F yang meninggal lebih dulu dari
A dan B yg merupakan kakek dan nenek
D C
dari F yang meninggal dalam Tsunami E
E dan C adalah anak kandung dan merupakan ahli
waris dari A dan B
F menggantikan kedudukan ayahnya (D) sebagai
ahli waris yang sejajar dgn E dan C
F

53
Wawancara Geuchik Meunasah Balee (10 Mei 2006).
37

Melalui putusan kasasi, Mahkamah Agung telah memperlebar ketentuan pasal 185
KHI di atas sehingga mencakup juga kondisi patah titi ke samping (anak dari
saudara).54 Maksudnya, seseorang keponakan, baik perempuan atau laki-laki, yang
orang tuanya meninggal lebih dulu daripada pewaris, dapat menempati posisi orang
tuanya sebagai ahli waris ‘saudara kandung’ dari pewaris. Meskipun sudah terdapat
putusan Mahkamah Agung seperti ini, Mahkamah Syar’iyah NAD tidak berencana
untuk mempraktekkan hal ini di wilayah hukumnya.55

Adapun menurut hukum Adat Aceh, seseorang yang lebih dahulu meninggal dunia
daripada pewaris (ayahnya) tidak dapat digantikan oleh anak perempuan dari orang
yang meninggal tersebut sebagai ahli waris untuk menerima harta warisan dari
pewaris. Hal ini dikenal di Aceh dengan istilah Patah Titi, yang maksudnya adalah
titian yang menyambungkan pewaris dengan cucu perempuannya telah hilang
karena orang tua dari cucu itu meninggal dunia lebih dulu dari pewaris. Oleh sebab
itu, penggantian kedudukan ahli waris, dalam hal ini cucu perempuan menggantikan
ayahnya, tidak dianggap berlaku menurut Adat Aceh. Namun, menurut Teuku
Djuned, guru besar hukum Adat dari Fakultas Hukum Unsyiah, patah titi bukanlah
suatu konsep yang murni berasal dari adat Aceh.56 Sesungguhnya konsep patah titi
berasal dari pengaruh mazhab fikih Syafi’iyah terhadap praktek hukum kewarisan
Islam di Aceh,57 yang lama kelamaan kemudian menjadi norma dan dipraktekkan
dalam adat Aceh dalam kurun waktu yang cukup panjang. Akan tetapi, dalam
praktek adat dewasa ini, biasanya cucu perempuan dari seseorang yang telah
meninggal lebih dahulu dari kakek (pewaris) akan memperoleh bagian bukan
sebagai ahli waris tetapi karena diberikan secara sukarela oleh ahli waris yang lain.

Berkat sosialisasi informasi yang dilakukan oleh para hakim Mahkamah melalui
berbagai kesempatan di tengah masyarakat di Banda Aceh,58 konsep patah titi mulai
ditinggalkan. Akan tetapi, aparat gampong di beberapa tempat di Aceh Besar yang
belum pernah mendapatkan pelatihan dan peningkatan pengetahuan masalah waris
oleh hakim Mahkamah, masih mengamalkan patah titi ketika memecahkan masalah
waris yang diajukan oleh anggota masyarakatnya.

Sesungguhnya tertutupnya akses kepada harta warisan tidak selamanya berlaku


hanya untuk cucu perempuan, melainkan juga dapat berakibat pada cucu laki-laki.
Di gampong Lambada Lhok, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar,
terdapat kasus patah titi yang terjadi pada cucu laki-laki dan Geuchik gampong
tersebut mengalami kebimbangan dalam memberikan harta warisan kepada cucu
laki-laki tersebut. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam diagram di bawah ini.

54
Lihat Armia Ibrahim, “Ahli Waris Pengganti Ditinjau dari Aspek Hukum dan Penerapannya dalam
Praktek Peradilan”, Makalah disampaikan dalam Workshop Masalah Faraidh yang dilaksanakan oleh
Yayasan Lamjabat, Banda Aceh, 18-20 Oktober 2005, h. 8.
55
Diskusi dengan Soufyan Saleh, Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, 2 Juni 2006. Lihat juga
Ibrahim, “Ahli Waris Pengganti”, h. 15-16.
56
Tanggapan T. Djuned dalam Workshop Hasil Penelitian IDLO (30 Mei 2006).
57
Ibrahim, “Ahli Waris Pengganti”, h. 7.
58
Misalnya, hakim diundang sebagai narasumber dalam pelatihan peningkatan pengetahuan aparat
gampong tentang masalah waris yang dilaksanakan oleh Yayasan Lamjabat, Oktober 2005.
38

Diagram 7.

B A C

D E F G H I J

K L M N
O P

Dalam diagram di atas, seorang pewaris (A) memiliki 2 orang istri (B dan C) dengan
7 orang anak (D, E, F, G, H, I dan J). Pewaris, kedua orang istrinya dan tiga orang
anaknya (F, G dah H) semuanya meninggal dalam Tsunami, sementara salah
seorang anaknya (D) sudah meninggal dunia sebelum Tsunami terjadi. Yang
menjadi ahli waris atas semua peninggalan milik pewaris adalah E, I dan J,
sementara O dan P terhalang (mahjub) oleh orang tua mereka yang telah menjadi
ahli waris. D tidak dapat menerima warisan dari A karena meninggal dunia lebih
dulu. Berhubung patah titi dianggap telah terjadi dalam kasus ini, Geuchik Lambada
Lhok masih bingung untuk memutuskan apakah akan memberi bagian harta warisan
kepada dua orang cucu (K dan L) dari pewaris atau tidak sama sekali.59

d. Ibu
Pasal 178 (1) KHI menentukan bahwa seorang ibu memperoleh 1/3 dari harta
warisan bila pewaris tidak meninggalkan anak atau dua orang saudara atau lebih,
dan menerima 1/6 dari harta warisan bila pewaris memiliki anak atau dua saudara
atau lebih (KHI, 178:1). Selain itu, pasal 178 (2) KHI juga mengatur bahwa Ibu
mendapat 1/3 dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama
dengan ayah. Dengan demikian, maksimal perolehan harta warisan untuk seorang
ibu hanyalah sepertiga. Yang menjadi masalah adalah jika ibu merupakan satu-
satunya ahli waris yang masih hidup, dan telah mendapatkan bagian maksimalnya
sebanyak 1/3, kepada siapa sisa harta warisan sebesar 2/3 itu akan diberikan?
Sayang sekali, peneliti tidak menemukan adanya kasus semacam ini di lapangan.
Namun, besar dugaan bahwa sisa harta tersebut tidak akan diserahkan kepada ibu
melainkan dikuasai oleh Baitul Mal gampong. Hal ini karena ibu tidak dapat
berfungsi sebagai `asabah yang dapat menerima atau menghabiskan seluruh harta
warisan.

Sebagai ahli waris atas harta peninggalan anak-anaknya, seorang ibu tak jarang
menghadapi masalah khususnya jika anak perempuannya yang sudah menikah
meninggal dunia bersama suaminya dan mempunyai harta bersama dari
pernikahannya sementara anak-anak pun meninggal dalam Tsunami. Masalah yang
dihadapi ibu tersebut adalah pengabaian hak-hak kewarisannya oleh ahli waris yang
lain, khususnya dari pihak keluarga menantu laki-lakinya. Padahal sebagai ahli
waris yang sah, ibu tersebut berhak mendapatkan 1/3, atau 1/6 bila pewaris
mempunyai dua orang saudara atau lebih, dari harta peninggalan (harta bersama dan

59
Wawancara Geuchik Lambada Lhok (9 Mei 2006).
39

harta bawaan) milik anak perempuannya itu. Namun, yang terjadi adalah saudara
laki-laki dari suami anak perempuannya mengambil alih seluruh harta dan tidak
memberikan sedikitpun hak kepada ibu itu. Di gampong Meunasah Balee,
Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, peneliti menemukan kasus seperti
terlihat dalam diagram di bawah:

Diagram 8.

K C B D E F G H

K adalah abang kandung dari C yang menikah dengan B yang merupakan anak
perempuan dari A. K mengambil semua harta peninggalan pasangan suami istri A dan B
dan tidak memberikan bagian apapun kepada A selaku ibu kandung B dan merupakan
salah satu ahli waris yang sah. Saudara-saudari B yang lain (D, E, F, G dan H) yang
selamat dari Tsunami dan berhak juga menerima warisan, sama sekali diabaikan juga
hak-hak kewarisannya.60

4. Implementasi Pembagian Warisan

a. Pembagian harta warisan dalam keluarga


Pasal 188 KHI menyatakan bahwa para ahli waris baik kolektif ataupun individual dapat
mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta
warisan. Bila ada di antara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan untuk dilakukan
pembagian harta warisan. Ahli waris yang telah mandiri atau telah menikah dapat
berinisiatif untuk meminta pembagian warisan segera dilakukan. Hal ini terjadi lebih-
lebih apabila orang tuanya (janda atau duda) telah kawin lagi dengan orang lain.
Apabila belum ada anak yang telah mandiri, maka pihak keluarga, terutama keluarga
pihak ayah (wali) akan segera meminta pembagian warisan dan wali itu akan menjadi
pengawas atau pengelola terhadap bagian warisan yang menjadi hak anak yang belum
dewasa atau belum mampu tersebut.

Masyarakat Aceh melakukan pembagian harta peninggalan pewaris biasanya setelah


100 hari sejak kematian pewaris. Tapi ketentuan waktu ini sesungguhnya agak longgar,
karena banyak juga keluarga yang tidak membagi harta warisan, kecuali kalau seluruh
ahli waris sudah dewasa atau kawin. Jika jumlah harta peninggalan pewaris itu tidak
seberapa banyak, pembagian harta warisan itu biasanya dilakukan sendiri secara damai
dalam keluarga atau dibantu oleh sanak famili lain. Apabila pembagian harta warisan itu
cukup banyak dan dikhawatirkan menimbulkan persengketaan di antara ahli waris,
Imam Meunasah dan geuchik seringkali juga diundang untuk memfasilitasi proses

60
Wawancara dengan ibu A (10 Mei 2006).
40

pembagian harta warisan secara kekeluargaan itu.61 Pembagian itu biasanya dilakukan
dalam suatu acara kenduri sekaligus doa untuk memperoleh keselamatan, sehingga para
ahli waris yang memperoleh harta warisan akan hidup tenteram dan damai.

Sebagaimana dinyatakan oleh pasal 183 KHI, para ahli waris dapat bersepakat
melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing
menyadari bagiannya. Dalam adat Aceh pun, para ahli waris dapat melakukan
persetujuan tentang besarnya bagian yang diterima masing-masing. Pada umumnya
pembagian warisan antara ahli waris dilakukan secara musyawarah antara para ahli
waris. Antara anak laki-laki dan anak perempuan membagi secara sama dan tidak
diperhitungkan jumlah nilainya (harga), melainkan secara innatura. Rumah dan
pekarangan untuk anak perempuan, sedangkan anak laki-laki diberikan sawah dan
ladang, ternak, toko di pasar atau sumber penghasilan lainnya. Apabila ditaksir
harganya, kemungkinan harta rumah yang diperoleh anak perempuan lebih besar karena
mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi. Akan tetapi, anak laki-laki umumnya
tidak membantah hal ini, karena adalah suatu keaiban bagi mereka apabila saudara-
saudara perempuan mereka tidak mempunyai tempat tinggal atau menumpang di rumah
orang lain.62

Penyelesaian masalah kewarisan secara damai di atas lebih dikehendaki oleh semua
pihak karena tidak menimbulkan pembiayaan yang tinggi dan membawa kemudahan
dalam implementasi pembagian harta untuk para ahli waris. Sebuah kasus dari gampong
Lamteh (lihat diagram) kiranya relevan untuk diketengahkan di sini untuk menunjukkan
bagaimana pembagian harta waris yang berlangsung secara damai.

Diagram 9.

C D A B

E F

A dan B adalah sepasang suami istri yang meninggal dunia dalam Tsunami. A
meninggalkan seorang anak perempuan (F) dan saudara laki-laki (C) sebagai ahli waris.
Sementara itu, D seorang saudara laki-laki dari A juga meninggal dalam Tsunami dan
meninggalkan seorang anak laki-laki (E). Menurut ketentuan hukum Islam dan juga adat
Aceh, C berhak untuk menerima harta warisan yang ditinggalkan oleh A (saudara laki-
lakinya) apalagi cuma terdapat seorang anak perempuan sebagai ahli waris. Akan tetapi,
C tidak mengambil sedikitpun dari harta peninggalan A dan menyerahkan semuanya
kepada F. Dalam pandangan adat, E dapat bertindak sebagai wali bagi F jika kelak akan
melangsungkan pernikahan. Oleh karena itu, kepada E ditawarkan juga bagian dari
harta peninggalan A, tetapi E menolak dan memilih untuk menyerahkan semua harta
warisan kepada sepupunya (F).63

61
Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, Depdikbud Atjeh, 1970, h. 100.
62
Ibid. h. 102.
63
Wawancara Geuchik Lamteh (6 Mei 2006).
41

b. Penyelesaian Masalah Warisan oleh Aparat Gampong


Dalam menyelesaikan masalah warisan yang muncul di gampong, Geuchik beserta
Imam Meunasah mempunyai peranan yang cukup penting. Apalagi, menurut pasal 12
Qanun nomor 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, Geuchik dan
Imam Meunasah adalah pimpinan Rapat Adat Gampong, suatu wadah pertemuan yang
bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan dan permasalahan yang terjadi di gampong.
Dalam Rapat Adat Gampong inilah perselisihan antara ahli waris dicoba diselesaikan
dengan damai. Pimpinan rapat dalam mengambil keputusan lebih banyak mengandalkan
saksi sebagai alat bukti. Di sini kejujuran seorang saksi amat menentukan keputusan
akhir musyawarah tersebut. Selain itu, pengetahuan aparat gampong juga ikut
menentukan hasil keputusan rapat itu. Pengetahuan yang dimaksudkan di sini mencakup
pengetahuan tentang materi hukum yang berkaitan dengan kewarisan dan pengetahuan
tentang asal usul harta dan silsilah keluarga dari para ahli waris. Untuk menunjang
pengetahuan aparat gampong tentang materi hukum, tak jarang seorang teungku dari
dayah diundang untuk menyampaikan ilmunya mengenai kewarisan Islam dalam rapat
tersebut. Keputusan yang dibuat pada akhir rapat itu tidak selalu memuaskan semua
pihak, dan karenanya Geuchik dan Imam Meunasah sering mewanti-wanti pihak-pihak
yang bertikai untuk dapat menerima keputusan akhir dengan hati ikhlas.64

Harus diakui bahwa keputusan-keputusan yang dibuat dalam musyawarah gampong


ataupun berdasarkan petunjuk yang disampaikan oleh aparat gampong pada saat
pembagian warisan di antara ahli waris cenderung untuk mengutamakan ahli waris
pihak laki-laki daripada ahli waris pihak perempuan, dan lebih memprioritaskan
keluarga dari pihak suami daripada keluarga dari pihak istri. Selain itu, terhadap anak
perempuan tunggal yang menjadi ahli waris, harta warisan peninggalan orang tuanya
tidak diberikan seluruhnya tetapi hanya separuhnya saja. Adapun sisanya diserahkan
kepada wali anak perempuan itu jika masih ada. Tapi sekiranya anak perempuan itu
tinggal sebatangkara, sisa harta peninggalan orang tuanya dikuasai oleh baitul mal.65

Akan tetapi, patut dicatat di sini bahwa terdapat inisiatif penting yang dilakukan oleh
Geuchik gampong Kajhu mengenai hak anak perempuan terhadap harta peninggalan
orang tuanya. Berbeda dari kebanyakan gampong yang mempraktekkan hukum waris
yang berlaku umum, di mana seorang anak perempuan hanya mendapatkan ½ harta
warisan, Geuchik Kajhu membuat keputusan luar biasa bersama aparat gampong
lainnya dan tokoh masyarakat dalam sebuah musyawarah yang memutuskan bahwa
anak perempuan tunggal itu berhak memperoleh semua harta peninggalan orang tuanya.
Dalam kasus itu, anak perempuan yang dimaksud masih berusia 17 tahun dan berada di
bawah perwalian. Pihak wali pun tidak berkeberatan dengan keputusan musyawarah
gampong itu dan membiarkan anak perempuan tersebut untuk mengurus sendiri harta
warisan miliknya.66

Seperti sudah pernah diuraikan di muka bahwa karakteristik hukum adat adalah
penyelesaian perselisihan dengan cara damai melalui kesepakatan kedua belah pihak.
Prinsip ini amat dihormati dan lebih sering diimplementasikan oleh aparat gampong
dalam pembagian harta warisan, walaupun penentuan hak bagian untuk masing-masing
64
Wawancara Geuchik Kajhu (7 Mei 2006); Imam Meunasah Lampaseh Kota (3 Mei 2006); Geuchik
Lambung (2 Mei 2006); Geuchik Cut Lamkuweuh (1 Mei 2006).
65
Wawancara Geuchik Cut Lamkuweuh (1 Mei 2006); Geuchik Lamteh (6 Mei 2006); Geuchik Mon
Ikeun (7 Mei 2006);
66
Wawancara Geuchik Kajhu (7 Mei 2006).
42

ahli waris akan berbeda dari apa yang sudah ditentukan oleh hukum formal maupun
syariat Islam. Di gampong Lamteh, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar,
ada sebidang tanah yang dibeli oleh sepasang suami isteri. Suami isteri ini beserta
anaknya meninggal dunia dalam bencana Tsunami. Ahli waris yang masih hidup adalah
seorang saudara laki-laki dari isteri dan ibu kandung dari suami, seperti terlihat dalam
diagram di bawah.
Diagram 10.

E B A

C D

Seharusnya, ibu kandung suami (F) menerima 1/3 dari harta warisan dan saudara laki-
laki (E) menerima seluruh sisanya (2/3). Akan tetapi, Geuchik Lamteh mengambil
inisiatif untuk membagi dua harta peninggalan para pewaris untuk masing-masing ahli
waris. Dengan demikian, baik E dan F masing-masing akan menerima ½ dari
keseluruhan luas tanah. Kedua pihak (E dan F) menyetujui petunjuk Geuchik dan
akhirnya mengakhiri persoalan itu secara damai.67

Hal terakhir yang penting dicatat di sini adalah tentang kemampuan Geuchik dalam
menyelesaikan masalah-masalah hukum pasca Tsunami. Agaknya Geuchik yang baru
diangkat setelah bencana Tsunami atau masih berusia muda kurang memiliki
pengetahuan yang dibutuhkan untuk menangani masalah-masalah hukum pasca
Tsunami. Minimnya pengalaman yang dimiliki Geuchik baru itu turut mempengaruhi
kemampuan mereka dalam menerapkan hukum secara tepat. Sedangkan Geuchik yang
sudah terangkat sejak sebelum Tsunami, apalagi mereka yang telah puluhan tahun
menjabat sebagai Geuchik, mempunyai wawasan dan pengetahuan yang cukup baik
untuk menyelesaikan masalah-masalah yang muncul di gampong.

c. Penyelesaian Perkara Waris oleh Mahkamah Syar’iyah


Sampai bulan Maret tahun 2006, penyelesaian perkara waris akibat bencana Tsunami
oleh Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dan Jantho kebanyakannya mengambil bentuk
pengesahan atas permohonan penetapan ahli waris sebagaimana dapat dilihat pada dua
tabel di bawah. Berbeda dengan pemeriksaan atas sengketa kewarisan yang melibatkan
pihak-pihak ahli waris yang saling bertikai, pengesahan atas permohonan penetapan ahli
waris itu merupakan perkara volunteer, yang artinya tidak ada pihak lawan dalam
perkara itu. Meski begitu, bukan tidak mungkin suatu saat nanti jika ada pihak lain yang
dirugikan oleh penetapan ahli waris yang sudah dikeluarkan dapat mengajukan gugatan
keberatan ke Mahkamah dan meminta pembatalan penetapan ahli waris tersebut.

67
Wawancara Geuchik Lamteh (6 Mei 2006).
43

Tabel 14. Perkara Waris di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh

MAHKAMAH SYAR’IYAH PENGESAHAN SENGKETA


BANDA ACEH AHLI WARIS KEWARISAN
Januari 2005 - -
Februari 2005 - -
Maret 2005 22 -
April 2005 101 -
Mei 2005 118 -
Juni 2005 110 1
Juli 2005 69 1
Agustus 2005 91 4
September 2005 123 2
Oktober 2005 104 -
November 2005 55 -
Desember 2005 134 1
Januari 2006 83 1
Februari 2006 70 -
Maret 2006 39 2
TOTAL 1119 12

Tabel 15. Perkara Waris di Mahkamah Syar’iyah Jantho

MAHKAMAH SYAR’IYAH PENGESAHAN SENGKETA


BANDA ACEH AHLI WARIS KEWARISAN
Januari 2005 2 -
Februari 2005 18 -
Maret 2005 116 -
April 2005 71 1
Mei 2005 80 -
Juni 2005 93 1
Juli 2005 64 1
Agustus 2005 64 -
September 2005 39 1
Oktober 2005 24 -
November 2005 40 2
Desember 2005 67 1
Januari 2006 56 -
Februari 2006 39 1
Maret 2006 30 1
TOTAL 803 9

Sampai penelitian ini selesai dilakukan di Banda Aceh dan Aceh Besar, sengketa
kewarisan yang diperiksa oleh Mahkamah Syar’iyah di dua lokasi tersebut boleh
dibilang dapat dihitung dengan jari. Perkara kewarisan yang terlihat dalam kolom
sebelah kanan di atas sebagian besarnya tidak berkait dengan perkara waris pasca
Tsunami. Pada umumnya, perkara waris tersebut melibatkan orang-orang yang berada
di luar bencana Tsunami dan diajukan sebelum Tsunami terjadi. Sengketa kewarisan
yang berkaitan dengan bencana Tsunami baru mulai muncul satu-satu di awal tahun
2006. Pada saat penelitian ini dilaksanakan, perkara sengketa kewarisan tersebut masih
dalam tahap awal proses pemeriksaan dan belum ada yang mencapai tahap akhir, yaitu
pembacaan hasil keputusan oleh majelis hakim.68 Sebuah perkara sengketa kewarisan

68
Wawancara Ketua MS Banda Aceh (26 April 2006); Ketua MS Jantho (27 April 2006).
44

antara ahli waris (anak perempuan vs. paman) di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh
malah berakhir dengan perdamaian, setelah majelis hakim berhasil membujuk pihak-
pihak yang bertikai itu untuk berdamai.69

Minimnya sengketa kewarisan yang diperiksa oleh Mahkamah Syar’iyah adalah akibat
hampir seluruh masalah waris dicoba diselesaikan terlebih dahulu oleh aparat gampong.
Sesungguhnya masih cukup banyak masalah waris yang tak dapat ditangani dengan baik
oleh gampong, dan oleh karena itu, pihak-pihak yang terkait, khususnya perempuan,
tidak puas dengan penyelesaian yang dilakukan oleh Geuchik atau Imam Meunasah.
Akan tetapi, walaupun tidak puas dengan keputusan yang dibuat oleh aparat gampong,
pihak-pihak yang dirugikan itu pada umumnya tidak mengerti jalur dan mekanisme
untuk mencari keadilan di lembaga-lembaga formal,70 sehingga akhirnya mereka
cenderung apatis seolah-olah menerima nasib.

C. Perwalian
Perwalian bagi anak-anak yatim piatu di Aceh pasca Tsunami adalah suatu persoalan
yang cukup pelik. Hal ini bukan saja terkait dengan pemeliharaan dan pengasuhan anak-
anak yatim tersebut, tetapi juga menyangkut status harta benda yang ditinggalkan oleh
orang tua mereka. Selain itu, masih terdapat berbagai persoalan lainnya yang bertalian
dengan perwalian, antara lain pemahaman terhadap konsep perwalian dalam masyarakat
Aceh, masih minimnya jumlah wali yang ditunjuk atau ditetapkan lewat mekanisme
hukum formal, dan realitas pelaksanaan perwalian di lapangan yang belum sesuai
sepenuhnya dengan peraturan perundang-undangan.

Uraian di bawah mencoba menjelaskan ketentuan formal dan prinsip adat Aceh tentang
perwalian, dan melihat bagaimana berbagai ketentuan dan prinsip tersebut berlangsung
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh pasca Tsunami.

1. Cakupan Perwalian
Beberapa ketentuan formal, seperti pasal 50 (2) Undang-Undang Perkawinan dan pasal
107 (2) KHI, menyatakan bahwa perwalian itu mencakup pribadi anak yang
bersangkutan dan harta bendanya. Adat Aceh tidak berbeda mengenai cakupan
perwalian ini. Akan tetapi, perwalian resmi yang mencakup kedua hal tersebut (diri dan
harta) tidak banyak terjadi di Aceh pasca Tsunami, khususnya karena terdapat
kecenderungan bahwa perwalian formal pada umumnya dilakukan hanya untuk anak
yatim yang memiliki harta warisan. Sementara itu, anak-anak yatim yang miskin dan
tidak mempunyai harta warisan dari orang tuanya, penunjukkan atau penetapan wali
bagi mereka secara resmi oleh pengadilan seringkali kurang mendapat perhatian dari
sanak kerabat terdekat dari anak yatim tersebut. Minimnya perhatian terhadap proses
administrasi perwalian bagi anak yatim yang miskin tampaknya berhubungan erat
dengan keberadaan harta warisan yang dimiliki oleh anak yatim. Agaknya, harta
warisan yang dimiliki oleh anak yatim tak jarang menjadi motivasi bagi seseorang untuk
mencalonkan diri sebagai wali.

Patut diungkap di sini adalah fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) nomor 2
tahun 2005 (1) yang substansinya secara hukum tidak mempunyai dampak apa-apa. Tak
lama sesudah Tsunami melanda Aceh, pada bulan Februari 2005, MPU mengeluarkan

69
Wawancara Hafidah Ibrahim, Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh (16 Mei 2006).
70
Lihat draft laporan UNDP Access to Justice (Mei 2006).
45

fatwa yang mendorong agar anak-anak yatim piatu mendapat perhatian umat Islam.
Fatwa itu berbunyi, “Hukum memelihara anak yatim adalah fardhu kifayah atas umat
Islam.” Fatwa ini sesungguhnya menginginkan agar perwalian atas anak yatim tidak
dilakukan pandang bulu karena lebih mempertimbangkan harta warisan anak yatim
tersebut. Sayangnya, fatwa tersebut tidak secara jelas menyebutkan agar pemeliharaan
anak yatim tersebut harus melalui penetapan perwalian resmi oleh pengadilan. Fatwa
MPU nomor 3 tahun 2005 yang dikeluarkan pada bulan April 2005 tampaknya
bermaksud merevisi fatwa sebelumnya. Fatwa ini menyatakan “Anak yatim yang tidak
ada lagi wali nasab, atau washi dapat ditetapkan pengasuhannya oleh Mahkamah
Syar’iyah dengan biaya dari Baitul Mal kalau anak tersebut tidak memiliki biaya hidup
dan Mahkamah Syar’iyah berkewajiban mengawasi pelaksanaannya.” Melalui fatwa
yang terakhir ini, MPU menekankan perlunya perwalian dilakukan secara formal.

2. Usia anak di bawah perwalian


Terdapat keragaman dalam ketentuan mengenai usia anak di bawah perwalian menurut
peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Menurut pasal 50 (1) Undang-
Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, “anak yang belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada
dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.” Sementara itu, pasal
107 (1) KHI menyatakan bahwa “wali hanya bagi anak di bawah usia 21 tahun dan atau
belum menikah.” Terjadinya perbedaan usia anak di bawah perwalian ini barangkali
disebabkan oleh perbedaan dalam mengikuti ketentuan yang terdapat dalam UU
Perkawinan. Penetapan usia di bawah 18 tahun sebagai usia anak di bawah perwalian
kemungkinan merujuk kepada ketentuan mengenai usia minimal bagi pria yang akan
melangsungkan perkawinan sebagaimana tercantum dalam pasal 7 (1) UU Perkawinan,
“perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.” Adapun
penetapan usia di bawah 21 tahun sebagai usia anak di bawah perwalian berdasarkan
pada bunyi pasal 6 (2) UU Perkawinan, “untuk melangsungkan perkawinan seorang
yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang
tua.” Terlepas dari perbedaan ini, satu hal yang dapat disimpulkan adalah kedua
ketentuan usia anak di bawah perwalian itu sama-sama melihat perkawinan sebagai
batas waktu seorang anak sudah dianggap tidak memerlukan perwalian lagi.

Hukum adat Aceh tidak menggunakan batas umur untuk menentukan kapan perwalian
bagi seorang anak akan berakhir. Usia anak yatim di bawah perwalian, menurut adat
Aceh, lebih berpatokan pada saat anak tersebut telah menikah. Hal ini mungkin terkait
dengan bunyi Qur’an (An-Nisa: 6), “Ujilah (peliharalah) anak yatim itu sampai mereka
cukup umur untuk kawin.” Selain itu, adat juga menggunakan tanda-tanda fisik
(kematangan fisik), biologis, mental dan mampu mandiri dalam masyarakat sebagai cara
untuk menentukan kapan seorang anak tidak membutuhkan perwalian lagi.

3. Persyaratan Wali
Seorang wali sedapat-dapatnya berasal dari keluarga anak yatim itu sendiri. Jika tidak
ada dari sanak keluarga terdekat, orang lain di luar keluarga anak yatim itu dapat pula
bertindak sebagai wali. Persyaratan penting bagi seseorang untuk menjadi wali adalah
sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik (UU 1/1974, 51:2).
Wali tidak selalu merupakan individual perorangan, tetapi boleh juga merupakan suatu
badan hukum (KHI, 107:4; UU 23/2002, 31:3, 33:1). Badan hukum ini dapat berupa
yayasan, lembaga pemerintah, atau organisasi masyarakat. Ketentuan lebih lanjut
46

mengenai badan hukum yang dapat berfungsi sebagai wali ini tidak diatur lebih rinci
persyaratannya dalam peraturan perundang-undangan terkait. Namun, untuk konteks
Aceh pasca Tsunami, Baitul Mal yang terdapat di gampong dapat menjadi badan hukum
yang ditunjuk sebagai wali.71

Persyaratan lain yang perlu disebutkan disini adalah keharusan seorang wali seagama
dengan agama yang dipeluk oleh anak yatim. Hal ini berdasarkan pasal 31 (4) UU
nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa “perseorangan
yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus
seagama dengan agama yang dianut anak yang akan diasuhnya”, dan pasal 33 (3) UU
Perlindungan Anak yang berbunyi, “wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) agamanya harus sama dengan agama yang dianut anak.” Dengan demikian,
dalam konteks Aceh pasca Tsunami, anak-anak yatim piatu korban Tsunami yang
beragama Islam tidak dapat diasuh oleh seorang wali yang beragama selain Islam.

Dalam adat Aceh, seorang wali sedapat mungkin diambil dari pihak keluarga ayah
(wali), sementara pemeliharaannya biasanya diserahkan kepada pihak karoeng
(keluarga ibu) karena secara emosional mempunyai hubungan yang dekat dengan anak.
Jika wali dari pihak ayah tidak ada maka barulah diambil dari karoeng (keluarga ibu),
walaupun sebutan wali tidak dikenakan kepadanya. Hal ini terkait dengan pemahaman
wali dalam masyarakat Aceh yang memandang bahwa wali pada umumnya berjenis
kelamin laki-laki. Adapun mengenai perempuan apakah dapat menjadi wali menurut
aturan formal dan praktek dalam masyarakat Aceh akan dibahas pada bagian di bawah
ini.

4. Wali perempuan untuk pengasuhan dan harta


Dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan anak dan masalah
pengasuhannya, seperti UU Perkawinan, KHI dan UU Perlindungan Anak, tidak
ditemukan suatu aturan khusus yang melarang perempuan menjadi wali untuk
pengasuhan dan harta. Bahkan, penafsiran yang digunakan oleh akademisi dan praktisi
hukum pada umumnya memperkenankan perempuan menjadi seorang wali pengasuhan
dan harta. Ahli hukum Subekti, misalnya, berpendapat bahwa bila salah seorang dari
sepasang orang tua meninggal dunia, maka pasangan yang hidup otomatis bertindak
sebagai wali bagi anak-anak yang masih di bawah umur 18. Sejumlah intelektual dan
ulama Aceh juga cenderung berpendapat bahwa seorang wanita atau ibu dapat bertindak
sebagai wali untuk anak-anaknya, meskipun kontrol terhadap harta anak-anak tersebut
berada di tangan wali dari pihak iparnya atau paman dari anak-anak yatim itu.

Dalam praktek di tengah masyarakat Aceh, seorang wali mesti berjenis kelamin laki-
laki. Hal ini terkait dengan konsepsi wali dalam hukum adat Aceh yang seringkali
dipahami sebagai wali nikah dan harta sekaligus, dan tidak dipisah-pisahkan. Oleh
karena itu, berhubung wali nikah selalu berjenis kelamin laki-laki, maka demikian pula
laki-laki harus bertindak sebagai wali harta. Praktek perwalian yang ditemukan oleh
peneliti di gampong pada umumnya mempercayakan kepada pihak laki-laki untuk
bertindak sebagai wali atas anak-anak yatim. Meskipun demikian, dalam keadaan
tertentu dimungkinkan juga perempuan, misalnya ibu kandung, berfungsi sebagai wali
harta untuk anak-anaknya yang telah yatim. Bahkan, menurut Ketua Majelis Adat Aceh,

71
Armia Ibrahim, “Perwalian Anak menurut Hukum Islam dan Hukum Positif”, makalah disampaikan
dalam Workshop Faraidh III yang diselenggarakan oleh Yayasan Lamjabat, Banda Aceh 8-10 April 2006.
47

Badruzzaman Ismail, perempuan (ibu) dianggap cakap hukum dan berwenang untuk
bertindak sebagai wali bagi anak-anak yang masih kecil, untuk mengawasi, mengurus
dan memanfaatkan harta yang ditinggalkan suaminya untuk kepentingan anak-
anaknya.72

Berbeda dengan yang lazim terjadi di gampong, dalam praktek pengadilan (Mahkamah
Syar’iyah), perempuan telah ditetapkan sebagai wali bagi anak yang masih di bawah
umur. Dalam beberapa kasus penunjukkan/penetapan wali di Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh dan Mahkamah Jantho, terdapat jumlah wali perempuan yang cukup
signifikan yang telah ditetapkan oleh kedua pengadilan itu. Wali perempuan ini
sebagian besar adalah kerabat dekat dari anak yatim, misalnya kakak sulung perempuan,
bibi atau nenek dari pihak ibu. Tabel di bawah menginformasikan jumlah kasus
penunjukan/penetapan wali dan jumlah wali perempuan yang ditetapkan oleh
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh pada kurun waktu Januari 2005-Maret 2006 dan
Mahkamah Syar’iyah Jantho dalam periode Januari 2005-Desember 2005.73

Tabel. 16.

PENUNJUKAN WALI
PENGADILAN
WALI PEREMPUAN
MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH 192 67
MAHKAMAH SYAR’IYAH JANTHO 51 33
TOTAL 243 100

Adapun persentase wali perempuan yang ditetapkan dalam perkara


penunjukkan/penetapan wali di kedua pengadilan itu dapat dilihat dalam pie chart di
bawah.

Grafik 1.
Mahkamah Syar'iyah Banda Aceh Mahkamah Syar'iyah Jantho
Januari 2005-Maret 2006 Januari 2005-Desember 2005

Wali
Perempuan
35% Wali
Wali
Perempuan
Laki-laki
52%
Wali 48%
Laki-laki
65%

Penetapan atau penunjukan perempuan untuk bertindak sebagai wali oleh pengadilan
lambat laun akan membentuk persepsi di tengah masyarakat Aceh yang pada akhirnya
akan menerima kehadiran perempuan sebagai wali untuk pengasuhan anak yatim dan
hartanya sekaligus.

72
Badruzzaman Ismail, “Wali Perempuan dari Aspek Hukum Adat di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Perwalian Anak yang diselenggarakan secara
bekerjasama antara Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, Yayasan Putroe Kande dan Unifem, Banda
Aceh, 9-11 September 2005.
73
Data yang diperoleh dari Mahkamah Syar’iyah Jantho untuk periode tahun 2006 belum dapat diolah
dengan baik karena kasus penetapan ahli waris ada yang digabung dengan penunjukkan wali.
48

5. Penunjukkan dan Penetapan Wali


Menurut ketentuan hukum formal, seorang wali memperoleh kewenangan dan
kekuasaan untuk memelihara anak yatim dan mengurus harta warisan anak yang berada
di bawah perwaliannya itu berasal dari penunjukan atau penetapan, dan bukan semata-
mata kewenangan yang lahir secara otomatis dengan meninggalnya orang tua yatim.
Penunjukkan itu adakalanya dilakukan sendiri oleh orang tua dari anak tersebut sebelum
meninggal dunia melalui suatu wasiat, baik secara tertulis maupun dengan lisan yang
turut didengar oleh 2 (dua) orang saksi (UU 1/1974, 51:1). Walaupun wasiat itu sudah
mendelegasikan kewenangan pemeliharaan anak yatim kepada seorang wali, penetapan
secara resmi oleh pengadilan diperlukan atas seorang wali yang ditunjuk berdasarkan
wasiat. Hal ini bertujuan agar segala urusan yang berkaitan dengan harta benda milik
anak yatim itu, seperti penerimaan gaji pensiun almarhum orang tua anak yatim dan
transaksi jual beli atas nama anak yatim itu, dapat diakui keabsahannya.

Dalam hal tidak adanya wasiat penunjukan oleh orangtua yang sudah wafat tentang
siapa yang akan menjadi wali bagi anaknya, pengadilan dapat menunjuk atau
menetapkan seseorang untuk menjadi wali berdasarkan permohonan yang diajukan oleh
calon wali itu sendiri (Penjelasan UU 7/1989, 49:2). Begitupun, pengadilan dapat
menunjuk atau menetapkan seseorang atau badan hukum sebagai wali bagi anak apabila
orang tua anak tersebut tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui
tempat tinggal atau keberadaannya (UU 23/2002, 33:1). Dalam hal anak belum
mendapat penetapan pengadilan mengenai wali, maka harta kekayaan anak tersebut
dapat diurus oleh Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain yang mempunyai
kewenangan untuk itu. Pengurusan harta ini pun memerlukan penetapan pengadilan
(UU 23/2002, 35:1-3).

Menurut adat Aceh, penetapan dan penunjukan wali dapat dilakukan berdasarkan
kesepakatan keluarga dengan sepengetahuan orang-orang tua atau tuha peut gampong.
Proses penetapan wali di gampong ini berlangsung secara informal dan tanpa ada
catatan yang memadai. Dalam pelaksanaan perwalian itu, seorang wali selalu diawasi
oleh anggota masyarakat yang tinggal di lingkungan sekitarnya apakah ia telah
memelihara anak dan mengurus harta yang berada dalam perwaliannya dengan baik.
Apabila wali tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik, maka anggota masyarakat
atau Geuchik akan menegur, dan bahkan dapat mengantikannya dengan orang lain
untuk menjadi wali. Tentang penggantian wali ini akan dibahas lebih lanjut nanti pada
bagian berikut.

Kendati terdapat suatu proses penetapan dan penunjukan wali di gampong, bukan
berarti semua proses perwalian di tengah masyarakat dilakukan secara terbuka. Tak
jarang ditemui ada perwalian yang dilaksanakan tanpa didahului oleh sebuah pertemuan
keluarga ataupun konsultasi dengan pihak aparat gampong. Orang yang bersangkutan
berinisiatif sendiri untuk menjadi wali dan memelihara anak yatim piatu yang masih
tergolong kerabatnya dan menguasai seluruh harta warisan milik anak itu. Bagi
sebagian, perwalian agaknya dipandang sebagai urusan pribadi keluarga tanpa perlu
diketahui oleh aparat gampong. Kasus di gampong Ajun, Kecamatan Peukan Bada,
Kabupaten Aceh Besar, seperti terlihat dalam diagram di bawah, merupakan ilustrasi
yang pas tentang fenomena ini.
49

Diagram 11.

H G F E D A B

A dan B adalah sepasang suami istri yang meninggal dunia dalam Tsunami. C adalah
anak laki-laki dari AB yang masih berusia 5 tahun. C kini tinggal dipelihara oleh D,
salah seorang pamannya yang paling tua. D juga menguasai seluruh harta warisan milik
C. Menurut Geuchik, D tidak pernah meminta untuk dibuatkan surat penetapan
perwalian dari gampong atau surat pengantar ke Mahkamah Syar’iyah untuk memohon
penetapan pengadilan sebagai wali terhadap diri dan harta milik C. Saudara-saudara D
yang lain, yaitu E, F, G dan H, menuntut harta anak yatim, yang juga adalah keponakan
mereka, agar dikelola secara transparan sehingga mereka pun mengetahuinya. Geuchik
sudah berupaya memanggil semua kakak beradik ini untuk duduk bersama dan
bermusyawarah mengambil kata sepakat tentang perwalian keponakan mereka.
Sayangnya, upaya Geuchik ini gagal karena mereka tidak mau memenuhi undangan
itu.74

Kasus perwalian di atas cenderung beresiko merugikan kepentingan anak yatim kelak,
apalagi bila anak yatim itu mempunyai harta warisan yang cukup banyak dari almarhum
orang tuanya. Tanpa adanya penetapan pengadilan yang resmi dan mengikat ataupun
penunjukan wali yang diketahui dan diawasi oleh aparat gampong, dikhawatirkan harta
kekayaan si anak yatim suatu hari akan habis dibelanjakan atau diselewengkan oleh wali
yang tak bertanggung jawab.

a. Penunjukan/Penetapan Wali dalam Program RALAS


Seperti sudah diterangkan dalam bagian Tanah, penunjukan atau penetapan wali
kerapkali dilakukan bersamaan dengan proses pendaftaran dan sertifikasi tanah yang
diselenggarakan di bawah program RALAS. Penunjukan dan penetapan wali dalam
program ini mempunyai tujuan yang lebih spesifik dan terbatas, yaitu untuk kepentingan
mewakili anak yatim dalam setiap langkah prosedur administratif mulai dari rapat
kesepakatan warga, pengukuran dan pemetaan batas tanah warisan anak yatim,
pengisian sejumlah formulir, pengajuan keberatan bila perlu dan penerimaan sertifikat
tanah atas nama anak yatim.

Penetapan wali yang dilakukan Mahkamah Syar’iyah dalam program RALAS ini
berlangsung di luar gedung pengadilan. Biasanya persidangan itu dilangsungkan di
kantor gampong/kelurahan atau meunasah yang terdapat di suatu gampong. Untuk
penetapan wali ini, masyarakat dibebaskan dari pembayaran biaya perkara. Pada
umumnya perkara ini berlangsung singkat dengan menghadirkan calon wali dari anak

74
Wawancara Geuchik Ajun (10 Mei 2006).
50

yatim yang bersangkutan disertai bukti-bukti yang mendukung hubungan kekerabatan


antara wali dengan anak yatim, seperti saksi dari tetangga atau sanak keluarga.75

Sampai bulan Maret 2006, atau hingga penelitian ini selesai dilakukan, Mahkamah
Syar’iyah Banda Aceh dan Jantho sudah menyelesaikan perkara penetapan perwalian di
bawah program RALAS sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah.

Tabel. 17

GAMPONG/ Perwalian Anak


KOTA/ KAB KECAMATAN
KELURAHAN Yatim
BANDA ACEH Meuraxa Ulee Lheu 1
Cot Lamkuweuh 3
Asoe Nanggroe 6
Baro 6
Punge Ujong 13
Lamjabat 5
ACEH BESAR Lhoknga Mon Ikeun 4
Meunasah Masjid 8
TOTAL 46

Menurut Fakri Karim, salah seorang program officer UNDP yang terlibat langsung
dalam program RALAS ini, sedikitnya terdapat 14 orang perempuan yang ditunjuk
sebagai wali dari 66 kasus perwalian anak yatim yang sudah diselesaikan oleh
Mahkamah Syar’iyah di bawah program RALAS hingga bulan Mei 2006.76

6. Kewajiban dan Tanggungjawab Wali


Kewajiban dan tanggung jawab wali meliputi keselamatan diri dan harta yang dimiliki
seorang anak. Secara garis besar, kewajiban dan tanggung jawab tersebut dapat
dibedakan menjadi tiga hal: (i) pengasuhan diri anak secara jasmani dan rohani, (ii)
pengurusan harta benda milik anak, dan (iii) penyerahan seluruh harta oleh wali kepada
anak yang berada di bawah perwaliannya bila si anak telah mampu mengurus dirinya
sendiri, mempunyai penghasilan sendiri atau telah menikah. Uraian di bawah akan
membahas satu persatu ketiga aspek kewajiban dan tanggung jawab wali ini.

a. Pengasuhan Diri Anak Secara Jasmani dan Rohani.


Seorang wali berkewajiban untuk mengurus diri dan harta anak yang di bawah
perwaliannya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan
keterampilan lainnya (KHI, 110:1). Selain itu, seorang wali juga wajib menghormati
agama dan kepercayaan anak itu (UU 1/1974, 51:3). Dalam adat Aceh, seorang wali
berkewajiban untuk mengurus anak dan hartanya, termasuk pendidikan, kesehatan,
tempat tinggal dan kemaslahatan lainnya serta mengantarnya ke jenjang perkawinan.
Bahkan, seorang wali tidak hanya bertanggung jawab terhadap anak yang berada di
bawah perwaliannya, tetapi juga terhadap masyarakat dalam gampong yang
bersangkutan.

Lazimnya anak yatim dipelihara dan bertempat tinggal di rumah milik wali. Akan tetapi,
hal ini bukanlah suatu ketentuan yang berlaku secara umum, terutama di Aceh. Dalam

75
Wawancara Rafiuddin (27 April 2006).
76
Lihat catatan Fakri Karim, “The Existence of ‘Peureumoh’ in Housing Rehabilitation and
Reconstruction Through Community Base After Tsunami Disaster in Aceh’. h. 5.
51

beberapa kasus perwalian yang ditemui oleh peneliti di lapangan, tampak bahwa
pengasuhan diri anak tidak selamanya langsung ditangani sendiri oleh wali, melainkan
dilakukan oleh anggota keluarga lain yang juga masih merupakan kerabat anak yatim di
bawah perwalian itu. Bagi masyarakat Aceh, dalam konsep perwalian terdapat dua
aspek yang mungkin dapat dipisahkan, yaitu pemeliharaan anak yatim dan pengelolaan
harta anak yatim. Walaupun seorang wali diharapkan untuk melaksanakan dua aspek
tersebut sekaligus, tidak berarti bahwa wali itu sendiri yang langsung melakukan kedua-
duanya. Malah tak jarang ditemukan bahwa wali hanya mengelola harta anak yatim,
sementara pemeliharaan anak tersebut secara fisik dilakukan oleh kerabat lain yang
biasanya berasal dari pihak keluarga ibu (karoeng) anak tersebut. Di gampong Mon
Ikeun, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, peneliti bertemu seorang wali yang
menuturkan bahwa anak yang berada di bawah perwaliannya, yang tak lain adalah anak
keponakannya sendiri dari adik laki-lakinya, lebih suka tinggal bersama seorang kerabat
sepupu perempuan dari keluarga ibu anak itu. Anak yatim itu pernah tinggal bersama
dengan wali, tetapi tidak bertahan lama. Kini wali hanya mengelola harta anak yatim itu
(gaji pensiun dan taspen ayahnya) dan menyerahkan setiap bulan kepada sepupu
perempuan dari almarhum ibu anak yatim itu biaya-biaya yang diperlukan sehari-hari
dan menabung sisanya di bank.77

Tidak semua pengasuhan anak yatim korban Tsunami diselenggarakan dengan baik.
Memang ada sejumlah anak yatim yang ditampung di panti-panti asuhan atau pesantren,
tetapi terdapat cukup banyak anak-anak yatim yang masih tinggal di barak-barak
dengan wali yang ditunjuk atau ditetapkan secara informal.78 Wali tidak resmi yang
hidup bersama anak yatim di barak-barak itu pada umumnya tidak memiliki hubungan
keluarga dekat dengan anak yatim. Mereka menjadi wali atas anak yatim itu relatif tidak
terseleksi dengan ketat melalui pertimbangan apakah sudah memenuhi syarat-syarat
sebagai wali atau tidak. Mereka dengan sukarela bersedia ditunjuk oleh gampong untuk
menjadi wali informal guna mengurus kepentingan sehari-hari anak-anak yatim yang
umumnya berasal dari keluarga miskin.79

b. Pengurusan Harta Benda Milik Anak Yatim.


Cukup banyak ketentuan formal yang mengatur dengan rinci kewajiban dan tanggung
jawab wali untuk mengurus harta benda milik anak di bawah perwaliannya. UU
Perlindungan Anak, misalnya, mengatur bahwa untuk kepentingan anak, wali wajib
mengelola harta milik anak yang bersangkutan (UU 23/2002, 33:4). Adapun UU
Perkawinan menegaskan bahwa seorang wali bertanggung-jawab atas harta benda anak
yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan
atau kelalaiannya (UU 1/1974, 51:5). Lebih rinci, UU Perkawinan menguraikan bahwa
seorang wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah
kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-
perubahan harta benda anak atau anak-anak itu (UU 1/1974, 51:4). Guna
mempertanggungjawabkan seluruh kewajiban ini, seorang wali harus membuktikannya
dengan pembukuan setiap tahun sekali (KHI, 110:4).

77
Wawancara Yusran (10 Mei 2006)
78
Seorang hakim memprediksikan bahwa terdapat kurang lebih 20.000 anak yatim piatu korban Tsunami
yang hingga sekarang belum mendapatkan wali melalui penetapan pengadilan secara resmi. Komunikasi
personal dengan Rosmawardani, Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, 30 Mei 2006.
79
Wawancara Geuchik Lampulo (4 Mei 2006).
52

Untuk pengurusan harta benda milik anak yatim, seorang wali yang ditunjuk
berdasarkan penetapan pengadilan dapat pula mewakili anak untuk melakukan
perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak (UU 23/2002, 34). Akan tetapi, seorang wali tidak diperbolehkan
memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak di bawah
perwaliannya, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya” (UU 1/1974, 52).
Lebih lanjut, KHI juga menegaskan larangan bagi seorang wali untuk mengikatkan,
membebani dan mengasingkan harta anak yang berada di bawah perwaliannya, kecuali
menguntungkan atau tidak dapat dihindarkan (KHI, 110:2).

c. Penyerahan seluruh Harta oleh Wali kepada Anak Di Bawah Perwaliannya.


Pada saat anak yang berada di bawah perwalian telah mencapai usia 21 tahun atau sudah
menikah dan dianggap telah cakap untuk mengurus dirinya sendiri, wali berkewajiban
untuk menyerahkan seluruh harta benda milik anak yang berada dibawah
pengelolaannya (KHI, 111:1). Dalam hal ini, apabila terdapat kerugian atas harta anak
yatim yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaian seorang wali, atas tuntutan
anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan pengadilan, wali yang bersangkutan
dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut (UU 1/1974, 54; KHI, 110:3).

Adapun jika terdapat perselisihan mengenai harta yang diserahterimakan antara wali
dan anak yang berada di bawah perwaliannya, maka masalah ini dapat diajukan kepada
pengadilan (KHI, 111:2). Dalam kaitannya dengan isu ini, daftar harta benda anak yang
berada dibawah perwalian dan catatan mengenai semua perubahan-perubahan harta
benda anak itu menjadi penting. Berdasarkan dokumen ini, perselisihan antara wali dan
anak mengenai jumlah harta benda milik anak dapat dielakkan di kemudian hari.
Sayangnya, baik dalam penetapan perwalian oleh Mahkamah maupun oleh aparat
gampong, daftar harta benda milik anak yatim piatu tidak pernah tersedia.

Relevan untuk dibahas pula di sini adalah masalah penggunaan harta oleh seorang wali
yang miskin untuk keperluan pribadinya. Menurut pasal 112 KHI, seorang wali yang
miskin dapat mempergunakan harta anak yang berada dibawah perwaliannya untuk
keperluannya dan kepentingannya menurut kepatutan (ma’ruf). Tidak ada ketentuan
spesifik dalam hukum formal yang mengatur berapa banyak seorang wali miskin dapat
menggunakan harta anak di bawah perwaliannya. Begitupun, tidak ada penjelasan lebih
lanjut mengenai ukuran yang akurat seberapa banyak harta milik anak yatim yang dapat
dimanfaatkan ‘menurut kepatutan’ itu. Namun, jika kita merujuk kepada Qur’an (An-
Nisa:6), seorang wali miskin hanya diperbolehkan memanfaatkan harta anak yatim
untuk sebatas kebutuhan pangan (falya’kul) yang sewajarnya. Adapun wali yang kaya
tidak diperkenankan sama sekali untuk mengambil manfaat dari harta anak yatim di
bawah perwaliannya.

7. Pengawasan wali
Hukum formal yang mengatur bagaimana pengawasan terhadap seorang wali dalam
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya tidak cukup banyak tersedia. Bahkan,
hampir tidak ditemukan suatu ketentuan yang menunjuk langsung pihak-pihak yang
bertanggung jawab dalam mengawasi seorang wali. Di tengah kevakuman ini, MPU
mengeluarkan fatwa nomor 3 tahun 2005 yang isinya antara lain menunjuk Mahkamah
Syar’iyah sebagai institusi yang berkewajiban mengawasi jalannya perwalian bagi anak-
anak yatim piatu korban Tsunami di Aceh. Tampaknya fatwa MPU ini tidak pernah
53

dikonsultasikan terlebih dahulu dengan pihak Mahkamah Syar’iyah.80 Beberapa hakim


Mahkamah Syar’iyah bahkan menilai bahwa ketentuan dalam fatwa itu tidak dapat
berlaku karena akan menempatkan Mahkamah Syar’iyah dalam posisi sulit pada saat
harus memeriksa perkara yang melibatkan antara wali dengan anak di bawah perwalian.
Sebagai pengawas wali, Mahkamah Syar’iyah akan merasakan kejanggalan bila
kemudian harus memeriksa perkara seorang wali yang diawasinya.81 Pihak Mahkamah
Syar’iyah melihat bahwa posisi yang tepat untuk melakukan pengawasan perwalian
adalah lembaga yang berada di gampong, yaitu Baitul Mal.

Hukum formal sendiri ada mengatur bahwa Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain
dapat bertindak sebagai wali pengawas untuk mewakili kepentingan anak dalam hal anak
belum mendapatkan penetapan pengadilan mengenai wali (UU 23/2002, 35:1-2).
Peraturan ini tidak membahas secara spesifik suatu lembaga resmi yang mengawasi wali
yang telah ditunjuk atau ditetapkan oleh pengadilan. Akan tetapi, menurut Dinas Syariat
Islam, dalam konteks Aceh, Balai Harta Peninggalan yang dimaksud dalam UU
Perlindungan Anak di atas tiada lain adalah Baitul Mal. Karena itulah, di tengah
masyarakat Aceh, seorang wali dalam mengelola harta anak yatim biasanya akan diawasi
oleh geuchik, imeum meunasah dan tuha peut gampong selaku pengurus baitul mal di
gampong tersebut. Sejauh mana efektivitas pengawasan ini dilakukan sudah barang tentu
belum dapat diketahui hasilnya untuk sekarang ini. Barangkali diperlukan beberapa tahun
ke depan untuk melakukan penilaian yang lebih seksama apakah pengawasan itu berjalan
dengan baik atau tidak. Namun, ada hal yang patut dibenahi berkaitan dengan mekanisme
pengawasan perwalian di gampong itu, yaitu (1) perlu dilakukan pengangkatan wali
secara resmi melalui sebuah upacara di meunasah, dan (2) perlu disiapkan data-data yang
lengkap mengenai daftar harta kekayaan yang dimiliki anak yatim.82

8. Pencabutan Kekuasaan dan Penggantian Wali


Seorang wali yang dianggap tidak dapat berfungsi lagi sebagai wali yang
bertanggungjawab dan menjalankan amanat dengan baik, maka kekuasaannya sebagai
wali dapat dicabut berdasarkan permohonan kerabat dan melalui penetapan pengadilan.
Secara eksplisit, UU Perlindungan Anak menegaskan, “Dalam hal wali yang ditunjuk
ternyata di kemudian hari tidak cakap melakukan perbuatan hukum atau
menyalahgunakan kekuasaannya sebagai wali, maka status perwaliannya dicabut dan
ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan pengadilan” (UU 23/2002, 36:1).

Ada beberapa alasan seorang wali dapat dicabut kekuasaannya dan digantikan oleh
orang lain:83
1. sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak;
2. berkelakuan buruk sekali;
3. pemabuk;
4. penjudi;
5. pemboros;
6. gila;
7. menyalahgunakan hak dan wewenangnya;
8. meninggal dunia

80
Diskusi dengan Soufyan Saleh (2 Juni 2006).
81
Diskusi dengan hakim tinggi Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD (2 Juni 2006).
82
Lihat Al-Indzar, Penerbitan Khusus Dinas Syariat Islam, edisi keempat, (September 2005), h. 6-7.
83
Lihat ketentuan dalam UU 1/1974, 53; KHI, 109; UU 23/2002, 36:2.
54

Pencabutan kekuasaan dan penggantian wali dengan alasan-alasan di atas tidak otomatis
berlangsung, melainkan mesti melalui prosedur hukum di pengadilan. Dalam hal ini,
salah seorang kerabat dari anak yatim itu, atau dimungkinkan juga baitul mal gampong,
diharuskan mengajukan permohonan pencabutan kekuasaan dan penggantian wali
kepada Mahkamah Syar’iyah. Setelah Mahkamah Syar’iyah memeriksa dan
menemukan kebenaran dalam permohonan tersebut, Mahkamah Syar’iyah melalui suatu
penetapannya dapat mencabut kekuasaan wali yang sudah ditunjuk sebelumnya itu dan
menggantinya dengan anggota keluarga yang lain, atau dimungkinkan juga penunjukkan
wali yang baru dari pihak luar keluarga seperti aparat gampong atau baitul mal. Dalam
kehidupan adat Aceh sehari-hari, kasus pencabutan atau penggantian wali yang
dilakukan oleh pemangku adat jarang sekali terdengar. Hal ini mungkin karena seorang
wali diawasi oleh banyak orang di gampong. Akan tetapi, apabila terjadi kelalaian wali,
maka perwalian akan diambilalih oleh Geuchik atau oleh tuha adat lainnya (tuha peut
atau imam meunasah).

VI. KESIMPULAN

Berdasarkan seluruh temuan penelitian yang telah diuraikan di atas, apa yang dapat
disimpulkan tentang persamaan dan perbedaan antara hukum formal (pengadilan) dan
hukum adat berkenaan dengan tanah, kewarisan dan perwalian, ditinjau dari segi
substansi, prosedur (pemeriksaan pengadilan dan musyawarah adat gampong) dan
pelaksanaan di lapangan (implementasi putusan pengadilan dan praktek masyarakat
gampong)? Secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat cukup banyak persamaan
antara hukum formal dan hukum adat Aceh berkenaan dengan tiga aspek hukum yang
menjadi fokus penelitian ini. Adapun beberapa perbedaan penting yang ditemukan akan
dijelaskan satu persatu di bawah ini.

Terdapat beberapa hal yang berbeda dari prinsip dan praktek antara hukum formal dan
Adat Aceh yang kiranya perlu ditegaskan ulang seperti di bawah ini:
i. Hak kepemilikan tanah yang tenggelam atau tergenang oleh air, lalu beberapa
saat kemudian tanah tersebut timbul kembali ke permukaan. Menurut hukum
formal, hak kepemilikan tanah semacam itu menjadi milik tanah Negara (PP
16/2004, 12). Akan tetapi, menurut adat Aceh, tanah yang timbul kembali di bekas
tenggelamnya tanah milik seseorang menjadi hak terdahulu dari orang yang
tanahnya tenggelam tersebut.
ii. Pembagian harta bersama. Menurut hukum formal, hanya ada satu model
pembagian harta bersama, yaitu dibagi dua samarata untuk suami dan isteri.
Sedangkan adat Aceh Besar mengakui adanya dua model pembagian harta
bersama, yaitu (1) suami dan isteri masing-masing mendapat seperdua; dan (2)
suami memperoleh duapertiga sementara isteri hanya menerima sepertiga.
iii. Wali perempuan untuk penjagaan harta. Dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia, perempuan tidak dihalangi untuk ditunjuk oleh
pengadilan sebagai wali harta anak yatim. Namun, dalam adat Aceh, penunjukkan
dan penetapan wali perempuan untuk penjagaan harta masih merupakan hal yang
belum dapat diterima sepenuhnya.

Masih ada beberapa hal lain yang bisa ditunjuk untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan
di antara keduanya. Namun, cukup kiranya dikatakan di sini bahwa masyarakat adat
yang memiliki karakter sederhana cenderung memahami dan melaksanakan sesuatu
55

melalui suatu prosedur yang mudah dan tidak berbelit. Ketimbang menggunakan suatu
pedoman hukum tertulis yang mengikat secara paksa, warga masyarakat adat lebih
tertarik untuk menggunakan prinsip dan norma hukum yang secara longgar dapat
dinegosiasikan melalui kesepakatan bersama pihak-pihak yang terkait. Tak ayal,
pluralisme hukum adalah suatu realitas yang tak terbantahkan dalam kehidupan hukum
sehari-hari masyarakat. Selain itu, adalah tidak mengherankan jika pencatatan atas
perkara yang sudah diselesaikan hampir-hampir tidak pernah ditemukan. Sementara itu,
penyelesaian perkara di pengadilan mempunyai karakter yang sebaliknya, yaitu penuh
dengan kompleksitas prosedur dan hanya merujuk kepada peraturan-peraturan formal
demi untuk menjamin kepastian hukum.

Sebuah poin penting terakhir yang perlu disampaikan di sini, di bandingkan dengan
ketentuan adat Aceh dan penyelesaian hukum di gampong, hukum formal dan
penyelesaian melalui pengadilan lebih memberi keuntungan bagi posisi perempuan.
Poin ini sesungguhnya sudah pernah dikemukakan oleh John Bowen.84 Penelitian ini
memverifikasi lebih jauh temuan Bowen tersebut dengan menghadirkan beberapa
contoh-contoh kasus tentang tanah, kewarisan dan perwalian sebagaimana sudah
dipaparkan di atas.

84
John Bowen, Islam, Law and Equality in Indonesia, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003).
56

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Undang-Undang nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil

Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Undang-Undang nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun

Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

Undang-Undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf

Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan UU nomor 7 tahun 1989


tentang Peradilan Agama

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan


Tanah Milik

Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri
Sipil

Peraturan Pemerintahan nomor 76 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja,

Peraturan Pemerintah nomor 77 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang


PendaftaranTanah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban


dan Pendayagunaan Tanah Terlantar

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang


Penatagunaan Tanah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan


Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan


Nasional di Bidang Pertanahan
57

Instruksi Presiden no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 2 tahun 1994 tentang Penjelasan Pasal
177 Kompilasi Hukum Islam.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun


1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat

Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 114 tahun 2005 tentang Manual
Pendaftaran Tanah di Lokasi Bencana Tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam
dan Sumatera Utara

Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam,


(Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2004)

Buku, Laporan, Karya Ilmiah dan lain-lain

El-Hakimy, T. I., “Tentang Penguasaan Tanah pada Masyarakat Pedesaan di Aceh”,


dalam Herman Slaats dan A.A. Trouwborst (eds.), Tiga Model Pendekatan Studi
Hukum Adat: Suatu Laporan Penataran, (Banda Aceh: Syiah Kuala University
Press, 1993)

Fitzpatrick, Daniel, “Restoring and Confirming Rights to Land in Tsunami-Affected


Aceh,” UNDP/OXFAM Report, 14 July 2005

Fitzpatrick, Daniel and Myrna A. Safitri, “Bagaimana Melindungi dan Memenuhi Hak-
Hak atas Tanah Korban Tsunami di Aceh?”, Oktober 2005.

Hoesin, Moehammad, Adat Aceh, (Banda Aceh: P&K Daerah Istimewa Aceh, 1970)

Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama nomor 3 tahun 2005 tentang Perlindungan Hak
Atas Tanah, Hak Nasab bagi Anak Yatim, Hak Isteri dan Ahli Waris Mafqud
Akibat Gempa dan Gelombang Tsunami

Armia Ibrahim, “Ahli Waris Pengganti Ditinjau dari Aspek Hukum dan Penerapannya
dalam Praktek Peradilan”, Makalah disampaikan dalam Workshop Masalah
Faraidh yang dilaksanakan oleh Yayasan Lamjabat, Banda Aceh, 18-20 Oktober
2005.

Armia Ibrahim, “Perwalian Anak menurut Hukum Islam dan Hukum Positif”, makalah
disampaikan dalam Workshop Faraidh III yang diselenggarakan oleh Yayasan
Lamjabat, Banda Aceh 8-10 April 2006.

Badruzzaman Ismail, “Wali Perempuan dari Aspek Hukum Adat di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Perwalian Anak
yang diselenggarakan secara bekerjasama antara Mahkamah Syar’iyah Provinsi
NAD, Yayasan Putroe Kande dan Unifem, Banda Aceh, 9-11 September 2005.
58

Fakri Karim, “The Existence of ‘Peureumoh’ in Housing Rehabilitation and


Reconstruction Through Community Base After Tsunami Disaster in Aceh’.
Catatan Pribadi.

“Laporan Lokakarya Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak Yatim


Korban Tsunami sebagai Prasyarat Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD”,
Yayasan Putroe Kandee, Mei 2005;

“Lokakarya Perwalian Perempuan terhadap Harta Anak Yatim Korban Tsunami


menurut Syariat Islam dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”, Banda
Aceh, September 2005.

Munir, Lukman (ed.), Bunga Rampai Menuju Revitalisasi Hukum dan Adat Aceh,
(Banda Aceh: Yayasan Rumpun Bambu, 2003)

“Perwalian”, Brosur diproduksi bersama oleh BPN, Mahkamah Syar’iyah dan Dinas
Syariat Islam.

Saleh, Soufyan M. “Pembagian Hak Warisan: Praktek Mahkamah Syar’iyah di


Nanggroe Aceh Darussalam”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Orientasi
Pemahaman Harta Bersama, Penentuan Ahli Waris dan Perwalian dalam
Masyarakat Aceh, Banda Aceh, Mei 2005,

Syah, Ismail Muhammad, “Plaatsvervulling Menurut B.W., Hukum Adat dan Hukum
Islam”, Skripsi Sarjana (Banda Aceh: Fakultas Hukum UNSYIAH, 1977)

Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia: Refleksi terhadap Beberapa
Bentuk Integrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh, (Banda Aceh:
Nadiya Foundation, 2004)

Syamsidah dan Sugiarto Dakung (editors), Pola Penguasaan Pemilikan dan


Penggunaan Tanah secara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh,
(Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1984/1985).

Al-Indzar, Penerbitan Khusus Dinas Syariat Islam, edisi keempat, (September 2005).

Mimbar Hukum no.18, vol. VI (1995).

Wawancara
Badruzzaman Ismail, Ketua Majlis Adat Aceh, (8 Mei 2006);
T. Djuned, Pakar Hukum Adat, UNSYIAH, (27 April 2006);
T.I. El Hakimy, Pakar Hukum Adat, UNSYIAH, (26 April 2006);
Abd Mannan Hasyim, Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, (26 April 2006);
Rusdi Sufi, Ahli Sejarah Aceh, (27 April 2006);
Rafiuddin, Ketua Mahkamah Syar’iyah Jantho, (27 April 2006).
59

DATA JUMLAH PENDUDUK KECAMATAN MEURAXA

Jumlah Penduduk
Pasca Tsunami
No. Gampong / Kelurahan Sebelum Tsunami Keterangan
Hilang Meninggal Selamat
KK Lk Pr Jmlh Lk Pr Jmlh Lk Pr Jmlh KK Lk Pr Jmlh
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

1 Ulee Lheue 839 1776 2378 4993 30 271 301 1146 1773 2919 570 700 429 1129 Februari
2 Deah Glu mpang 294 642 530 1466 23 76 99 397 342 739 176 226 156 382 Februari
3 Deah Baro 258 584 426 1268 21 180 201 335 186 521 172 266 135 401 Maret
4 Alue Deah Teungoh 349 785 707 1841 25 77 102 542 533 1075 182 239 143 382 Maret
5 Lampaseh Aceh 438 1142 1258 2838 40 144 184 596 841 1437 249 806 394 1200 Februari
6 Lambung 268 683 558 1509 18 55 73 462 396 858 149 210 110 320 Februari
7 Blang Oi 753 1630 1770 4153 36 199 235 1021 1201 2222 692 723 458 1181 Februari
8 Punge Jurong 1122 2999 2950 7071 38 215 253 1691 2070 3761 778 1874 1302 3176 Maret
9 Punge Ujong 368 1062 951 2381 26 231 257 540 367 907 228 399 285 684 Februari
10 Gampong Baro 280 815 570 1665 23 128 151 481 274 755 183 341 196 537 Februari
11 Surien 282 721 547 1550 14 78 92 306 380 686 192 451 120 571 Februari
12 Lamjabat 300 666 456 1422 25 74 99 496 305 801 98 214 87 301 Februari
13 CotLamkuweuh 374 796 1209 2379 84 476 560 594 670 1264 183 223 117 340 Februari
14 Gampong Blang 152 365 218 735 26 73 99 295 119 414 49 134 100 234 Maret
15 Aso Nanggroe 235 711 503 1449 20 114 134 540 324 864 134 163 95 258 Maret
16 Gampong Pie 184 481 329 994 9 170 179 368 111 479 124 131 70 201 Maret

JUMLAH 6496 15858 15360 37714 458 2561 3019 9810 9892 19702 4159 7100 4197 11297
60

DATA PENDUDUK SEBELUM DAN SETELAH GEMPA DAN GELOMBANG TSUNAMI


KECAMATAN : KUTA ALAM BULAN
BULAN : DESEMBER 2005
JUMLAH PENDUDUK SEBELUM PASCA TSUNAMI
KELURAHAN/
NO TSUNAMI HILANG MENINGAL SELAMAT
GAMPONG
KK LK PR JUMLAH LK PR JUMLAH LK PR JUMLAH KK LK PR JUMLAH
1 2 3 4 5 6 7 9 10 11 12 13 14 15
1 KOTA BARU 408 1,043 987 2,030 4 1 5 5 5 10 408 1,081 973 2,054
2 BANDAR BARU 1,297 3,811 3,821 7,632 48 31 79 33 23 56 1,273 3,675 3,709 7,384
3 KUTA ALAM 1,366 2,130 2,000 4,130 24 15 39 0 1 1 1,175 2,623 2,219 4,842
4 PEUNAYONG 797 2,468 1,894 4,362 298 404 702 350 393 743 813 1,965 1,376 3,341
5 MULIA 998 2,253 2,440 4,693 190 608 798 235 342 577 805 1,839 1,320 3,159
6 KEURAMAT 880 3,176 3,081 6,257 37 59 96 15 13 28 934 2,494 2,536 5,030
7 LAKSANA 1,182 2,576 2,792 5,368 38 55 93 35 47 82 664 3,177 2,492 5,669
8 BEURAWE 1,741 3,197 2,903 6,100 3 4 7 16 14 30 1,766 3,359 3,037 6,396
9 LAMPULO 1,602 3,251 3,071 6,322 551 898 1,449 0 0 0 1,640 1,977 1,446 3,423
10 LAMDINGIN 668 2,338 1,628 3,966 251 359 610 356 493 849 580 1,270 991 2,261
11 LAMBARO SKEP 792 2,104 2,056 4,160 179 250 429 133 213 346 742 1,918 1,809 3,727
JUMLAH 11,731 28,347 26,673 55,020 1,623 2,684 4,316 1,178 1,544 2,722 10,800 25,378 21,908 47,286
61

Kecamatan Kutaraja 2006

Jumlah Penduduk
Sebelum Tsunami Pasca Tsunami
No Desa/ Kelurahan Ket
Hilang Meninggal Dunia Selamat/Hidup
KK LK PR JML LK PR JML LK PR JML KK LK PR JML
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
1 Keudah 546 1982 756 2738 639 144 783 795 210 1005 314 549 412 961 11 ORG PNDDK BARU
2 Lampaseh Kota 757 2800 2217 5017 560 143 703 1218 1466 2684 716 1128 761 1889 259 ORG PNDDK BARU
3 Merduati 1064 2998 2367 5365 871 - 871 1002 1642 2644 1218 1141 828 1969 119 ORG PNDDK BARU
4 Peulanggahan 683 1800 1536 3336 239 - 239 822 1086 1908 633 740 477 1217 28 ORG PNDDK BARU
5 Gampong Jawa 690 2050 1330 3380 382 - 382 775 836 1611 601 893 515 1408 21 ORG PNDDK BARU
6 Gampong Pande 262 689 510 1199 220 - 220 238 377 615 209 283 203 486 122 ORG PNDDK BARU
JML PNDDK BARU 4002 12319 8716 21035 2911 287 3198 4850 5617 10467 3691 4734 3196 7930 560 ORG PNDDK BARU
62

DATA : INVENTERISASI KADES DAN PENDUDUK SEBELUM DAN SESUDAH BENCANA GEMPA BUMI
DAN GELOMBANG TSUNAMI DI KECAMATAN PEUKAN BADA KABUPATEN ACEH BESAR.

Jumlah Penduduk Awal Akibat Bencana Jumlah Penduduk Sekarang


No Desa/Mukim Nama Pejabat
L P Jumlah K K Meningga Hilang Jumlah L P Jumlah KK
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
1 Desa Lam Pageu M. Jamal 125 164 289 69 7 6 13 126 153 279 69
2 Desa Lam Baro Drs. Muhammad 246 275 521 126 5 5 10 252 254 506 125
3 Desa Lam Badeuk Junaidi 188 176 364 93 117 55 172 106 86 192 70
4 Desa Lam Guron Pidwan Junet 187 211 398 99 52 248 300 63 35 98 51
5 Desa Lam Tengoh Sanusi Yahya 380 421 801 161 311 303 614 117 51 168 109
6 Desa Lam Tutui Baharuddin 264 285 549 122 281 178 459 69 24 93 71
7 Desa Menasah Tuha Subki Basyah 698 730 1,428 318 431 766 1,197 160 71 221 119
8 Desa Pulo Bunta Abdullah 137 154 291 62 116 130 246 25 20 45 22
9 Desa Lam Awe Nasruddin Juned 229 262 491 107 217 176 393 95 35 130 64
10 Desa Lam Manyang Mulia Budi (Ayah) 409 422 831 156 391 292 683 107 41 148 91
11 Desa Kampong Baro Ibrahim Ahmad 435 559 994 220 441 368 809 141 44 185 131
12 Desa Lam Teh Saiful Bahri 950 1,150 2,100 520 794 1,073 1,867 171 72 243 156
13 Desa Lam Lumpu M. Thahir Muad 829 958 1,787 325 523 925 1,448 292 123 415 127
14 Desa Lam Isek Mahmud Abdullah 446 539 985 184 184 655 839 116 30 146 84
15 Desa Gurah M. Yusuf Harun 277 296 573 121 196 242 438 95 60 155 71
16 Desa Lam Rukam Ismail Ibrahim 151 167 318 64 111 127 238 61 19 80 47
17 Desa Keneu eu Mukhsin M 234 241 475 106 10 5 15 237 223 460 103
18 Desa Lam Pisang Abdullah Yusuf 363 400 763 166 7 16 23 383 480 863 163
19 Desa Bradeun M. Yahya 179 208 387 81 2 2 4 209 172 381 81
20 Desa Lam Keumok Mukhsin 299 330 629 108 201 181 382 154 93 247 97
21 Desa Rima Jeneu Abdul Salam 412 433 845 199 32 34 66 363 331 694 193
22 Desa Lam Geu eu H. M. Daud Ibrahim 1,333 1,351 2,684 480 529 1,225 1,754 470 209 679 245
23 Desa Rima Keneurom Maimun Basri 306 335 641 133 8 11 19 336 286 622 131
24 Desa Lam Hasan Sulaiman Hasan 1,176 1,208 2,384 491 433 927 1,360 670 585 1,255 72
25 Desa Paya Tieng Zainal Abidin 441 477 918 193 214 380 594 148 87 235 134
26 Desa Ajuen Drs. Zainal Ahmad 1,491 1,536 3,027 731 321 579 900 1,135 1,048 2,183 511
Komplek Ajuen Lam Hasan Kasmani 393 417 810
Jumlah Akhir 12,185 13,288 25,473 5,435 5,934 8,909 14,843 6,494 5,049 11,533 3,137

Peukan Bada, 6 Maret 2006


Camat Peukan Bada

Drs. B u s r a
PEMBINA NIP. 010181845
63

DATA PENDUDUK KECAMATAN BAITUSSALAM KABUPATEN ACEH BESAR SEBELUM DAN SESUDAH TSUNAMI TANGGAL 26 DESEMBER 2004

JUMLAH PENDUDUK AWAL JLH. PENDK YANG MENINGGAL JUMLAH PENDUDUK SEKARANG
No NAMA DESA LUAS
LK PR JUMLAH KK LK PR JUMLAH KK LK PR JUMLAH KK

1 BAET 2.34 973 1,053 2,026 457 262 534 796 - 870 456 1,326 457
2 CADEK 1.00 445 572 1,017 379 227 342 569 79 343 125 468 300
3 KAJHU 6.00 3,115 3,499 6,614 1,921 1,358 2,037 3,395 406 2,008 1,303 3,311 1,515
4 BLANG KRUENG 1.80 813 866 1,679 338 67 185 254 21 720 705 1,425 333
5 COT PAYA 1.90 448 539 987 200 248 372 620 - 278 96 374 200
6 LAMBADA ILHOK 2.12 1,154 1,055 2,209 380 638 958 1,596 35 493 152 645 345
7 KLIENG COT ARON 1.80 490 631 1,121 350 210 317 527 37 423 230 653 387
8 KLIENG MEURA 1.50 221 347 568 187 76 114 190 4 378 184 562 183
9 MIRUK LAM REUDEUP 3.34 312 303 615 132 111 168 279 16 520 515 1,035 116
10 LAMPINEUNG 1.56 307 508 815 235 97 380 477 46 229 180 409 189
11 LAM ASAN 1.76 724 595 1,319 264 249 62 326 35 175 170 345 229
12 LABUY 5.00 289 361 650 176 89 165 254 11 317 184 501 165
13 LAM UJONG 6.40 240 265 505 176 49 163 121 31 242 169 411 145
JUMLAH 36.52 9,531 10,594 20,125 5,195 3,681 5,797 9,404 721 6,996 4,469 11,465 4,564

Lambada Lhok, 15 Nopember 2006


CAMAT BAITUSSALAM

MUKHTAR JAKUB, S.Sos


PENATA, NIP. 010223327
64

DATA JUMLAH PENDUDUK


KECAMATAN LHOKNGA KABUPATFN ACEH BESAR

JUMLAH KEPALA JUMLAH NO. LURAH


NO NAMA DESA/ KELURAHAN HILANG MENINGGAL SELAMAT KET.
KELUARGA PENDUDUK YANG BISA

KEMUKIMAN LHOKNGA
1 Kel. Mon Ikeun 463 2,700 1,575 55 1,085 -
2 VVeuraya 700 1,700 - 1,200 734 -
3 Lamkruet 600 2,150 - 1,543 876 -
4 Lampaya 356 1,485 - 152 1,245 -
KEMUKIMAN KUEH
5 Lamgaboh 162 618 17 1 592 -
6 Aneuk Paya 147 625 10 - 612 -
7 Lambaro Kueh 135 485 8 9 477 -
8 Naga Umbanq 78 320 24 9 318 -
9 Lam Ateuk 105 412 9- 386 -
10 Kueh 116 481 24 2 477 -
11 Tanaong 254 1,082 10 30 1,063 -
12 ltJusa 212 986 5 13 975 -
13 Seubun Keutapang 108 420 16 3 399 -
14 Seubun Ayon 99 379 10 1 376 -
15 Lambaro Seubun 103 368 8 3 350 -
KEMUKIMAN LAMLHOM
16 Mns. Beuteng 116 505 - 9 502 -
17 Mns. Mesjid _ 117 430 1 2 414 -
18 Mns. Karieng 157 683 5 9 676 -
19 Mns. Baro _amihom 81 320 - 8 313 -
20 Mns. Manyang 92 358 - 2 355 -
21 Mon Cut 64 265 5 1 247 -
22 Lamgirek 44 172 - 7 130 -
KEMUKIMAN LAMPUUK
23 Mns. Meslid 454 1500 - 945 473 -
24 Mns. Bafee 276 1036 758 240 -
25 Mns. Lambaro 237 964 719 262 -
JUMLAH 5,276 20,444 1,727 5,481 13,577 -

Lhoknga, 27 Maret 2006


CAMAT LHOKNGA

R A S I D I, S.Sos
Penata Tk.I/ NIP. 010200760
65
66

PERTANAHAN
NO TOPIK HUKUM FORMAL CATATAN PRINSIP DAN CATATAN PENDAPAT/PRINSIP
NORMA ADAT HUKUM ISLAM
1 HAK KEPEMILIKAN Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki- Hukum adat Aceh mengakui bahwa
ATAS TANAH laki maupun wanita mempunyai kesempatan laki-laki dan wanita memiliki hak yang
yang sama untuk memperoleh sesuatu hak sama atas tanah/rumah dan manfaat
atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari dari tanah/rumah tersebut untuk
hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun kepentingan diri dan keluarganya.1
keluarganya. (UU 5/1960, 9:2)

“Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat


dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas
tanah” (UU 5/1960, 20:1)

Setiap warga negara Indonesia yang berada


di Aceh memiliki hak atas tanah sesuai
peraturan perundang-undangan (UU 11/2006,
213:1)
2 BERALIHNYA HAK Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada Menurut hukum adat, hak milik atas
KEPEMILIKAN pihak lain (UU 5/1960, 20:2). tanah dapat berpindah karena :
TANAH 1. Pusaka (warisan);
Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian 2. Penjualan;
dengan wasiat, pemberian menurut adat dan 3. Hibah.2
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan
untuk memindahkan hak milik serta
pengawasannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah. (UU 5/1960, 26:1)
3 PERALIHAN HAK Jika penerima warisan lebih dari satu orang
TANAH KARENA dan waktu peralihan hak tersebut didaftarkan
PEWARISAN disertai dengan akta pembagian waris yang
memuat keterangan bahwa hak atas tanah
atau hak milik atas satuan rumah susun

1T. Djuned (Wawancara, 27 April 2006); T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).
2Pola Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan Tanah secara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh, dalam Syamsidah dan Sugiarto Dakung (editor), (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional,
1984/1985), h. 55, 63.
67

tertentu jatuh kepada seorang penerima


warisan tertentu, pendaftaran peralihan hak
atas tanah atau hak milik atas satuan rumah
susun itu dilakukan kepada penerima warisan
yang bersangkutan berdasarkan surat tanda
bukti sebagai ahli waris dan akta pembagian
waris tersebut. (PP 24/1997, 42:4)

Warisan berupa hak atas tanah atau hak milik


atas satuan rumah susun yang menurut akta
pembagian waris harus dibagi bersama antara
beberapa penerima warisan atau waktu
didaftarkan belum ada akta pembagian
warisnya, didaftar peralihan haknya kepada
para penerima waris yang berhak sebagai hak
bersama mereka berdasarkan surat tanda
bukti sebagai ahli waris dan/atau akta
pembagian waris tersebut. (PP 24/1997, 42:5)
4 HILANG/TERHAPUS Hak milik hapus bila : Menurut hukum adat, hak milik atas
NYA HAK a. tanahnya jatuh kepada Negara : tanah dapat terhapus karena :
KEPEMILIKAN 1. karena pencabutan hak berdasarkan 1. Tidak dikerjakan lagi sehingga
TANAH DAN pasal 18 (digunakan utk kepentingan menjadi terlantar;
STATUS TANAH umum dengan pembayaran ganti rugi); 2. Dikikis laut atau sungai;
TERSEBUT JIKA 2. karena penyerahan dengan sukarela 3. Bekas-bekas pembukaan tanah
TIMBUL KEMBALI oleh pemiliknya; sudah hilang (tanah kebun atau
3. karena ditelantarkan; ladang yang sudah menjadi hutan
4. karena ketentuan pasal 21 ayat 3 belukar atau tanah sawah/tambak
[milik orang asing setelah tahun 1960] sudah tidak ada pematangnya
dan pasal 26 ayat 2 [jual-beli, lagi).3
penukaran, penghibahan, pemberian
dengan wasiat kepada orang asing] Hilangnya kepemilikan tanah
b. tanahnya musnah adakalanya disebabkan oleh
(UU 5/1960, 27) berubahnya status dan keadaan
tanah, misalnya dari pemukiman
Tanah yang berasal dari tanah timbul atau kemudian dikikis laut sehingga
hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, menjadi tambak, atau sebidang tanah

3 Ibid., h. 56, 75; T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).


68

pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai yang berada dipinggir sungai dan
dikuasai langsung oleh Negara. (PP 16/2004, tergerus sehingga mengalami abrasi.4
12) Namun, jika suatu saat sungai atau
tambak itu kering dan tanah yang tadi
hilang tersebut muncul ke permukaan,
Tanah yang sudah dinyatakan sebagai tanah
pemiliknya dapat memperolehnya
terlantar menjadi tanah yang dikuasai oleh
kembali, sekalipun mungkin bergeser
Negara (PP 36/1998, 15:1).
letaknya.5

5 HAK TANAH YANG “Terjadinya hak milik menurut hukum adat Ada empat cara tanah berstatus hak
BERASAL DARI diatur dengan Peraturan Pemerintah”. (UU milik diperoleh menurut Adat Aceh: (1)
TANAH ADAT 5/1960, 22:1) dengan membuka tanah baru, (2) dari
peunulang (pemberian), (3) dari harta
Selama Undang-undang mengenai hak milik warisan/pusaka, dan (4) dengan cara
sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat jual beli.7
(1) belum terbentuk, maka yang berlaku
adalah ketentuan-ketentuan hukum adat
setempat dan peraturan-peraturan lainnya
mengenai hak-hak atas tanah yang
memberi wewenang sebagaimana atau mirip
dengan yang dimaksud dalam pasal 20,
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa
dan ketentuan-ketentuan Undang-undang
ini. (UU 5/1960, 56)6

6 HAK TANAH YANG Sebagai misal dari cara terjadinya hak milik Hak milik menurut adat Aceh diberikan Menurut Adat Aceh,
BERASAL DARI menurut hukum adat ialah pembukaan tanah. kepada seseorang yang (i) telah pembukaan tanah dimulai
PRAKTEK Cara-cara itu akan diatur supaya tidak terjadi menanam tanaman keras, (ii) memiliki dengan membubuhi tanda
PEMBUKAAN hal-hal yang merugikan kepentingan umum batas-batas yang jelas, dan (iii) berupa pagar yang terdiri
TANAH ADAT dan Negara. (Penjelasan UU 5/1960, 22) dikuasai secara turun temurun dari tiga buah tiang yang
beberapa generasi sehingga diakui ditanam secara tegak lurus
oleh masyarakat sekitarnya.8 (jeuneurob), berjarak sedepa

4 T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).


5 Pola Penguasaan, h. 53; T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).
6 Setelah 46 tahun berlalu, Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan oleh UU no. 5/1960 itu hingga saat ini belum pernah dikeluarkan.
7 Pola Penguasaan, h. 34.
8 Rusdi Sufi (Wawancara, 27 April 2006); Cf. Pola Penguasaan, h. 30-32, 34-35.
69

dengan lima buah kisi-kisi


melintang (beunteueng).9

7 BAGI HASIL Besarnya bagian hasil-tanah yang menjadi Hak mawaih (bagi hasil) dalam hukum
PENGUSAHAAN hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap adat bervariasi, artinya pembagian
TANAH Daerah Swatantara tingkat II ditetapkan oleh dilakukan menurut keadaan tanah
Bupati/Kepala Daerah Swatantra tingkat II (subur atau tidak) dengan bagian 2:1
yang bersangkutan, dengan memperhatikan atau 3:1; artinya 2 atau 3 bagian untuk
jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan penggarap dan 1 bagian untuk pemilik
penduduk, zakat yang disisihkan sebelum tanah.10
dibagi dan faktor-faktor ekonomis serta
ketentuan-ketentuan adat setempat. (UU
2/1960, 7:1)
8 TANAH ADAT/ Tanah ulayat adalah bidang tanah yang Tanah Ulayat di Aceh lebih dikenal Berdasarkan wujudnya,
ULAYAT diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu sebagai Tanoh Hak Kullah. Batas- tanah ulayat menurut Adat
masyarakat hukum adat tertentu. batasnya ditentukan sejauh dapat Aceh dapat berupa:12
(Permenagra 5/1999, 1:2) terjangkau perjalanan ke arah hulu 1. Tanoh rimba, tanah
dalam sehari pulang pergi, dan ke hilir hutan belantara yang
atau ke laut sejauh dapat terjangkau berada di pedalaman
oleh pukat pantai. Dapat juga ditandai dan belum dikerjakan
oleh batas-batas alam seperti puncak orang;
gunung, jurang, sungai dan perjanjian 2. Tanoh uteuen, tanah
perbatasan dengan mukim tetangga.11 hutan-hutan tertentu
dan kebanyakan diberi
nama menurut jenis-
jenis tumbuhan di
atasnya;
3. Tanoh tamah, tanah
hutan yang sudah
pernah dikerjakan untuk
ladang dan di atasnya
tumbuh tarok (tunas-
tunas kayu) yang

9 Pola Penguasaan, h. 30.


10 Ibid., h. 67-71, 76; Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, (Banda Aceh: P&K Daerah Istimewa Aceh, 1970), h. 176.
11 T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).
12 Pola Penguasaan, h. 25-26.
70

kadang-kadang
dijadikan kayu api, di
samping ia dibedakan
juga dengan bluka atau
beuluka, yaitu kayu-
kayu belukar yang
rendah tumbuhnya;
4. Tanoh padang, tanah
tempat ditumbuhi kayu-
kayuan, tetapi
kebanyakan ditumbuhi
alang-alang atau jenis
rumput-rumput lain di
dataran rendah yang
belum seluruhnya
digarap dan biasanya
berada di sekeliling
sawah-sawah gampong
dan dijadikan tempat
untuk hewan memakan
rumput;
5. Tanoh paya atau tanoh
bueng, tanah rendah
yang digenangi air
secara tetap, serta
ditumbuhi semak
belukar. Bila letaknya di
daerah dekat pantai
disebut tanoh suwak
(hutan rawa);
6. Sarah, tanah yang
terdapat pada aliran
sungai yang dangkal di
bagian hulu dengan
dataran rendah yang
subur;
7. Sawang, tanah
dangkalan sungai yang
menjorok ke dalam
71

daratan;
8. Tanoh jeued, tanah
yang terbentuk karena
bawaan lumpur oleh
arus sungai, baik di
tengah sungai (berupa
pulau) ataupun di tepi
sungai berupa ujung
yang menjorok ke
tengah sungai.

9 HAK ATAS TANAH Dengan mengingat ketentuan-ketentuan Hak atas tanah ulayat, atau lazim juga Dalam prakteknya, hak
ADAT (HAK dalam pasal 1 dan 2 [UU 5/1960], disebut tanah milik umum, ini individual atas tanah ulayat
ULAYAT) pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang merupakan milik suatu gampong atau di Aceh yang dimiliki oleh
serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum mukim, yang dikuasakan kepada persekutuan gampong atau
adat, sepanjang menurut kenyataannya masih geuchik atau mukim. Geuchik atau mukim dapat diperoleh
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai Mukim mempunyai wewenang untuk anggota masyarakat dalam
dengan kepentingan nasional dan Negara, memberikan suatu hak kepada gampong atau mukim
yang berdasarkan atas persatuan bangsa seseorang atas tanah milik umum ini tersebut dengan berbagai
serta tidak boleh bertentangan dengan untuk dimanfaatkan, baik kepada cara, termasuk penggunaan
Undang-undang dan peraturan-peraturan lain orang dalam maupun dari luar tanah secara terus menerus
yang lebih tinggi. (UU 5/1960, 3) wilayahnya. Sejumlah hak atas tanah dalam waktu yang lama.
ulayat ini dapat diberikan kepada
Hak ulayat dan yang serupa itu dari orang luar dengan membayar
masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya sejumlah uang atau barang.13
disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang
menurut hukum adat dipunyai oleh
masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah
tertentu yang merupakan lingkungan hidup
para warganya untuk mengambil manfaat dari
sumber daya alam, termasuk tanah, dalam
wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup
dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan
secara lahiriah dan batiniah turun menurun
dan tidak terputus antara masyarakat hukum
adat tersebut dengan wilayah yang
bersangkutan. (Permenagra 5/1999, 1:1)

13 Ibid., h. 53-54; T. Djuned (Wawancara, 27 April 2006).


72

Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap


masih ada apabila :
a. terdapat sekelompok orang yang masih
merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebgai warga bersama suatu persekutuan
hukum tertentu, yang mengakui dan
menerapkan ketentuan-ketentuan
persekutuan tersebut dalam kehidupannya
sehari-hari,
b. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi
lingkungan hidup para warga persekutuan
hukum tersebut dan tempatnya mengambil
keperluan hidupnya sehari-hari, dan
c. terdapat tatanan hukum adat mengenai
pengurusan, penguasaan dan penggunaan
tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh
para warga persekutuan hukum tersebut.
(Permenagra 5/1999, 2:2)

Pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum


adat sebagaimana dimaksud pada pasal 2
tidak dapat lagi dilakukan terhadap bidang-
bidang tanah yang pada saat ditetapkannya
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
Pasal 6:
a. sudah dipunyai oleh perseorangan atau
badan hukum dengan sesuatu hak atas
tanah menurut Undang-Undang Pokok
Agraria;
b. merupakan bidang-bidang tanah yang
sudah diperoleh atau dibebaskan oleh
instansi pemerintah, badan hukum atau
perseorangan sesuai ketentuan dan tata
cara yang berlaku. (Permenagra 5/1999, 3)

Penguasaan bidang-bidang tanah yang


termasuk tanah ulayat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 [Permenagra 5/1999]
73

oleh perseorangan dan badan hukum dapat


dilakukan :
a. oleh warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan dengan hak penguasaan
menurut ketentuan hukum adatnya yang
berlaku, yang apabila dikehendaki oleh
pemegang haknya dapat didaftar sebagai
hak atas tanah yang sesuai menurut
ketentuan Undang-Undang Pokok
Agraria [UU 5/1960].
b. Oleh instansi pemerintah, badan hukum
atau perseorangan bukan warga
masyarakat hukum adat yang
bersangkutan dengan hak atas tanah
menurut ketentuan Undang-Undang
Pokok Agraria berdasarkan pemberian
hak dari Negara setelah tanah tersebut
dilepaskan oleh masyarakat hukum adat
itu atau oleh warganya sesuai dengan
ketentuan dan tata cara hukum adat
yang berlaku. (Permenagra 5/1999, 4:1)

10 TANAH WAKAF Wakaf adalah Perbuatan hukum wakif untuk Tanah wakaf atau tanoh wakeueh Di Aceh Besar, terdapat
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian menurut adat Aceh diartikan sebagai praktek wakaf yang
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan lembaga keagamaan, di mana dilakukan tidak hanya oleh
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu seseorang yang memiliki tanah individual, tetapi juga oleh
sesuai dengan kepentingannya guna menyerahkan sebagian dari padanya masyarakat suatu gampong.
keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan untuk keperluan seseorang tertentu Mereka secara bersama-
umum menurut syariah. (UU 41/2004, 1:1) atau sesuatu keperluan bersama, sama membeli sebidang
sesuai dengan hukum Islam.14 tanah di dekat komplek
Wakaf adalah Perbuatan hukum seseorang Biasanya penyerahan wakaf ini meunasah dan
atau badan hukum yang memisahkan dilakukan kepada geuchik dan imam mewakafkannya untuk
sebagian dari harta kekayaannya yang berupa meunasah, dan pengurusan tanah ini tempat mendirikan langgar
tanah milik dan melembagakannya untuk selanjutnya dilakukan oleh kedua kaluet atau balai tempat
selama-lamanya untuk kepentingan aparat gampong tersebut.15 anak-anak mengaji.16

14 Pola Penguasaan, h. 46; T.I.El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006)


15 Pola Penguasaan, h. 66; Hoesin, Adat Atjeh, h. 144.
74

peribadatan atau keperluan umum lainnya


sesuai dengan ajaran agama islam. (PP
28/1977, 1; KHI, 215)

11 PERUBAHAN Pada dasarnya terhadap benda yang telah Harta wakaf yang tidak dapat
STATUS TANAH diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan dimanfaatkan/digunakan oleh
WAKAF atau penggunaan lain daripada yang (mauquf) akibat bencana alam
dimaksud dalam Ikrar Wakaf.17 (KHI, 225:1) dan sebagainya dapat dijual
untuk dibeli gantinya berdasarkan
Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam kaidah dharurat syar’iyah18 dan
[KHI, 225] ayat 1 hanya dapat dilakukan kemaslahatan ummat (Fatwa
terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih MPU 7/2005).
dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
berdasarkan saran dari Majelis Ulama
Kecamatan dan Camat setempat dengan
alasan:
1. karena tidak sesuai lagi dengan
tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh
Wakif.
2. karena kepentingan umum. (KHI,
225:2)

Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan


dilarang:
a. dijadikan jaminan;
b. disita;
c. dihibahkan;
d. dijual;
e. diwariskan;
f. ditukar; atau
g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak
lainnya.

16 T.I. El-Hakimy, “Tentang Penguasaan Tanah pada Masyarakat Pedesaan di Aceh”, dalam Herman Slaats dan A.A. Trouwborst (eds.), Tiga Model Pendekatan Studi Hukum Adat: Suatu Laporan Penatara,

(Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 1993), h. 84-85.


17 Ikrar wakaf adalah suatu pernyataan yang di ucapkan oleh pemberi wakaf tentang maksud dan tujuannya mewakafkan tanah.
18 Berdasarkan kaidah ‘darurat’ ini suatu perbuatan yang dilarang oleh ajaran Islam dibolehkan untuk dilakukan.
75

(UU 41/2004, 40)

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 40 huruf f dikecualikan apabila harta
benda wakaf yang telah diwakafkan
digunakan untuk kepentingan umum sesuai
dengan rencana umum tata ruang (RUTR)
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan syariah. (UU 41/2004,
41:1)

Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah


kabupaten/kota wajib melakukan perlindungan
hukum terhadap tanah-tanah wakaf, harta
agama, dan keperluan suci lainnya. (UU
11/2006, 213:4).
12 PEMILIK TANAH Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris Pengurusan atas tanah yang dimiliki Tanah dan harta benda yang
DAN AHLI sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui oleh orang-orang yang tidak diketahui ditinggalkan korban gempa dan
WARISNYA SUDAH ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas lagi keberadaannya, termasuk ahli gelombang Tsunami yang tidak
TIDAK DIKETAHUI putusan Pengadilan Agama diserahkan warisnya, dilakukan oleh geuchik. meninggalkan ahli waris adalah
LAGI penguasaan kepada Baitul Mal untuk Hasil yang diperoleh dari tanah menjadi milik umat Islam melalui
kepentingan agama Islam dan kesejahteraan tersebut dimanfaatkan untuk Baitul Mal (Fatwa MPU nomor
umum. (KHI, 191) kepentingan meunasah dan warga 2/2005 butir keenam dan Fatwa
gampong yang bersangkutan. Tanah- MPU nomor 3/2005), setelah
tanah seperti ini sering juga disebut mendapatkan penetapan dari
harta baital mal (harta baitul mal).19 Mahkamah Syar’iyah atas dasar
permohonan yang diajukan oleh
baitul mal gampong setempat.20

13 PENENTUAN Penetapan batas bidang tanah yang sudah


BATAS-BATAS dipunyai dengan suatu hak yang belum
TANAH (SETELAH terdaftar atau yang sudah terdaftar tetapi
BENCANA ALAM) belum ada surat ukur/gambar situasi atau
surat ukur/gambar situasi yang ada tidak
sesuai lagi dengan keadaan yang

19 Pola Penguasaan, h. 66; Cf. Hoesin, Adat Atjeh, h. 104.


20 Fatwa MPU 2/2005, 6; Fatwa MPU 3/2005, 1:2.
76

sebenarnya, dilakukan oleh Panitia Ajudikasi


dalam pendaftaran tanah secara sistematik
atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam
pendaftaran tanah secara sporadik,
berdasarkan penunjukan batas oleh
pemegang hak atas tanah yang bersangkutan
dan sedapat mungkin disetujui oleh para
pemegang hak atas tanah yang berbatasan.
(PP 24/1997, 18:1)

Jika dalam penetapan batas bidang tanah


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(1) tidak diperoleh kesepakatan antara
pemegang hak atas tanah yang bersangkutan
dengan pemegang hak atas tanah yang
berbatasan, pengukuran bidang tanahnya
diupayakan untuk sementara dilakukan
berdasarkan batas-batas yang menurut
kenyataannya merupakan batas-batas bidang-
bidang tanah yang bersangkutan. (PP
24/1997, 19:1)
14 KEWENANGAN Apabila terjadi sengketa hak milik Gugatan Hak Milik dan Kewarisan
MAHKAMAH sebagaimana dimaksud pada [UU 3/2006, 50] atas tanah (korban gempa dan
SYAR’IYAH ATAS ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang- gelombang Tsunami) dapat
MASALAH orang yang beragama Islam, obyek sengketa diajukan ke Mahkamah Syar’iyah
PERTANAHAN tersebut diputus oleh Pengadilan Agama dengan penyertaan alat bukti
PASCA TSUNAMI bersama-sama sebagaimana dimaksud dalam yang sah (Fatwa MPU 3/2005,
[UU 3/2006] pasal 49. (UU 3/2006, 50:2) 1:3, 5).

Menetapkan (memilih dan


mengukuhkan pendapat) bahwa
gugatan hak milik dan gugatan
kewarisan atas tanah korban
tsunami hanya diterima dalam
waktu 5 tahun sejak musibah
tsunami terjadi dan setelah itu
dinyatakan lewat waktu (taqadum,
kadaluarsa); sedang bagi anak
yang belum dewsasa ketika
77

musibah tsunami terjadi hak


mengajukan gugatan ini
diperpanjang sampai dia
berumum 19 tahun (Fatwa MPU
2/2005, 8).

Mengusulkan kepada Pemerintah


atau Mahkamah Agung utnuk (a)
memerintahkan pejabat pembuat
akta tanah untuk tidak menerima
(melayani) permintaan transaksi
pengalihan hak milik atas tanah
korban Tsunami apablia
keberadaan dan batas-batas
tanah tersebut belum jelas, serta
alat bukti yang diajukan tidak sah
atau belum memadai (Fatwa
MPU no. 2/2005, 7).

Mengingatkan kembali bahwa


Mahkamah Syar’iyah perlu
memberi kesempatan kepada
Geuchik dan Mukim (beserta tuha
peutnya masing-masing) untuk
menyelesaikan sengketa melalui
perdamaian sebelum diperiksa
oleh Mahkamah Syar’iyah (Fatwa
MPU 2/2005, 9).

15 HAK PENYEWA Besar nilai Bantuan Sosial Bertempat Tinggal


RUMAH SEBELUM (BSBT) untuk 1 (satu) keluarga korban yang
TSUNAMI menyewa atau menumpang di rumah orang
lain adalah sebesar 40% (empat puluh
persen) dari harga rata-rata 1 unit rumah inti
tipe 36 di kota Banda Aceh tanpa pajak.21
16 HAK PEMUKIM Besar nilai Bantuan Sosial Bertempat Tinggal
ILLEGAL RUMAH (BSBT) untuk 1 (satu) keluarga korban yang

21
Peraturan Kepala BRR no. 21/PER/BP-BRR/VI/2006 (3:5).
78

SEBELUM TSUNAMI bertempat tinggal di atas tanah yang bukan


haknya serta tidak bisa digunakan untuk
keperluan bertempat tinggal adalah sebesar
25% (dua puluh lima persen) dari harga rata-
rata 1 unit rumah inti tipe 36 di kota Banda
Aceh tanpa pajak.22

22
Peraturan Kepala BRR no. 21/PER/BP-BRR/VI/2006 (3:6).
79

KEWARISAN
NO TOPIK HUKUM FORMAL CATATAN PRINSIP/NORMA ADAT CATATAN PENDAPAT/
PRINSIP HUKUM
ISLAM
1 AHLI WARIS Ahli waris adalah orang yang mempunyai Ahli waris adalah keturunan sedarah atau Berdasarkan publikasi Dinas
hubungan darah atau perkawinan karena perkawinan dengan pewaris dan Syariat Islam, ahli waris
dengan pewaris pada saat meninggal masih hidup pada saat pewaris meninggal dipersyaratkan harus masih
dunia (KHI, 171c) dunia. hidup pada saat pewaris
a. ayah, anak laki-laki, saudara laki- a. Ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, meninggal dunia. Oleh sebab
laki, paman dan kakek (KHI, 174:1a) paman dan kakek. itu, orang-orang yang
b. ibu, anak perempuan, saudara b. Ibu, anak perempuan, saudara mempunyai hubungan waris
perempuan dan nenek (KHI, 174:1b) perempuan dan nenek; dan meninggal dalam waktu
c. duda atau janda (KHI, 174:1c) c. Duda atau janda bersamaan, rantai kewarisan di
Apabila semua ahli waris tersebut masih antara mereka akan putus
Apabila semua ahli waris di atas masih hidup, maka yang berhak mewarisi adalah yang dapat mempengaruhi
hidup, yang berhak mewarisi hanya anak, ayah, ibu dan janda atau duda. posisi sejumlah ahli waris
anak, ayah, ibu dan janda atau duda. sehingga mereka mungkin saja
(KHI, 174:2) Akan tetapi apabila hanya terdapat anak menjadi terhalangi untuk
perempuan sebagai ahli waris, maka mewarisi.3
paman dari keluarga ayah ikut menjadi ahli
waris.1 Sekiranya anak perempuan tersebut
merupakan ahli waris satu-satunya, maka
sisa harta warisan, setelah dipotong
sebesar hak anak perempuan itu, akan
diserahkan kepada Baitul Mal.2

2 SYARAT- Beragama Islam (KHI, 171c) diketahui Ahli waris menurut adat Aceh harus
SYARAT dari Kartu Identitas atau pengakuan atau beragama Islam. Apabila seseorang keluar
SEBAGAI amalan atau kesaksian (KHI, 172) dari agama Islam (murtad), hilanglah
AHLI WARIS haknya untuk mewarisi harta dari pewaris.4

1
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006); Syahrizal, Hukum Adat, h. 275.
2
Syahrizal, Hukum Adat, h. 229.
3
Lihat Al-Indzar, Penerbitan Khusus Dinas Syariat Islam, no. 1 (1 Agustus 2005), h. 3-4.
4
Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006).
80

3 ALASAN Dipersalahkan telah [mencoba] Seorang terhalang menerima warisan jika ia Menurut syariat Islam,
YANG membunuh atau menganiaya pewaris murtad, membunuh, menganiaya atau perbedaan agama menjadi
MENGHALA- (KHI, 173a) melakukan suatu kejahatan lainnya halangan saling mewarisi.6
NGI terhadap pewaris.5
SEORANG Dipersalahkan secara memfitnah telah
MENJADI mengajukan pengaduan bahwa pewaris
AHLI WARIS telah melakukan kejahatan yang diancam
hukuman 5 tahun penjara atau lebih
berat. (KHI, 173b)
4 KEWAJIBAN Kewajiban ahli waris terhadap pewaris
AHLI WARIS adalah:
a. mengurus dan menyelesaikan
sampai pemakaman jenazah
selesai. (KHI, 175:1a)
b. menyelesaikan baik [membayar]
hutang-hutang berupa pengobatan,
perawatan termasuk kewajiban
pewaris maupun menagih piutang.
(KHI, 175:1b)
c. Menyelesaikan wasiat pewaris (KHI,
175:1c)
d. Membagi harta warisan di antara
ahli waris yang berhak. (KHI,
175:1d)

Tanggung jawab ahli waris terhadap


hutang atau kewajiban pewaris hanya
terbatas pada jumlah atau nilai harta
peninggalannya. (KHI, 175:2)
5 HARTA Harta peninggalan adalah harta yang Harta peninggalan pewaris adalah harta Dalam masyarakat Aceh,
WARISAN ditinggalkan pewaris baik berupa harta yang ditinggalkan pewaris, baik berupa membayar hutang pewaris
maupun hak-haknya (KHI, 171d) natura (sawah, ladang, rumah dan merupakan perbuatan utama
pekarangan, ternak atau berupa innatura dan dapat membuat malu

5
Hoesin, Adat Atjeh, h. 103, 164; Syahrizal, Hukum Adat, h. 212.
6
Hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menyatakan bahwa “Seorang non-Muslim tidak mewarisi dari orang Islam, dan orang Islam tidak mewarisi dari
non-Muslim.” Hadits ini dikutip di dalam Syahrizal, Hukum Adat, h. 211.
81

Harta warisan adalah harta bawaan (penghasilan lainnya yang mempunyai nilai ahli waris bila tidak
ditambah [½] bagian dari harta bersama ekonomis).7 dibayarkan.
setelah digunakan untuk keperluan
pewaris selama sakit sampai Harta yang ditinggalkan pewaris terlebih
meninggalnya, biaya pengurusan dahulu dikurangi dengan hutang pewaris
jenasah, pembayaran hutang dan serta biaya-biaya lain yang perlu
pemberian untuk kerabat. (KHI, 171e) dikeluarkan dan biaya itu dipotong dari
harta warisan yang ditinggalkan pewaris.

6 HARTA Harta benda yang diperoleh selama Dalam praktek pengadilan Harta bersama (harta seuhareukat) antara Menurut Badruzzaman
BERSAMA perkawinan menjadi harta bersama. (UU dewasa ini, terutama suami dan istri, dibagi secara seimbang, di Ismail, Ketua Majelis Adat
1/1974, 35:1) pasca bencana alam mana setiap pihak mendapat separohnya, Aceh, apabila suami atau
tsunami, pasangan yang baik karena cerai mati atau cerai hidup. isteri meninggal dan suami
Harta bersama dari perkawinan seorang hilang dimintakan Dengan meninggalnya suami atau istri, atau istri itu tidak kawin lagi,
suami yang mempunyai isteri lebih dari penetapan dari pengadilan separoh bagian harta bersama diserahkan maka ia akan tetap
seorang, masing-masing terpisah dan tentang kepastian kepada pasangan yang masih hidup, menguasai semua harta
berdiri sendiri. (KHI, 94:1) kematian/ hilangnya sedangkan separoh bagian yang lain yang ditinggalkan pewaris
(perkara mafqud), menjadi harta warisan yang akan dibagikan sampai anak-anaknya
Pemilikan harta bersama dari perkawinan sebelum harta warisan kepada semua ahli waris yang masih mampu secara mandiri.
seorang suami yang mempunyai istri dibagikan kepada ahli hidup.8 Pada saat itulah barulah
lebih dari seorang sebagaimana tersebut waris yang berhak. dilakukan pembagian
[dalam KHI, 94) ayat (1), dihitung pada Apabila seorang pewaris mempunyai isteri warisan.10
saat berlangsungnya akad perkawinan Menarik dicatat bahwa lebih dari seorang, perlu dipisahkan lebih
yang kedua, ketiga atau yang keempat. keputusan pengadilan dulu antara harta bawaan tiap-tiap isteri dan Patut dicatat di sini bahwa di
(KHI, 94:2) mengenai perkara mafqud harta bersama dengan para isteri tersebut. daerah pesisir Aceh Besar,
itu berguna bagi seorang Harta bersama harus diperhitungkan secara harta bersama dibagi
Pembagian harta bersama bagi seorang janda untuk membolehkan terpisah untuk setiap perkawinan dan menjadi 3 bagian: 2 bagian
suami atau istri yang istri atau suaminya dirinya menikah lagi dibagikan berdasarkan jumlah dan waktu untuk suami dan 1 bagian
hilang harus ditangguhkan sampai dengan pria lain. Adapun diperolehnya harta bersama tersebut.9 untuk isteri.11
adanya kepastian matinya yang hakiki bagi duda, persyaratan
atau matinya secara hukum atas dasar semacam ini tidak
putusan Pengadilan Agama. (KHI, 96:2) diperlukan.

7
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006)
8
Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006); T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006)
9
Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006).
10
Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006).
11
Syahrizal, Hukum Adat, h. 276.
82

7 HARTA Adanya harta bersama dalam Tiap-tiap suami dan isteri tetap memiliki hak Di beberapa kabupaten di
BAWAAN perkawinan itu tidak menutup atas harta bendanya masing-masing dan Aceh, khususnya Aceh
MASING- kemungkinan adanya harta milik masing- menguasainya sepenuhnya.12 Besar dan Pidie, dikenal
MASING ISTRI masing suami atau isteri. (KHI, 85) konsep harta peunulang.
DAN SUAMI Harta peunulang adalah
Harta bawaan dari masing-masing suami sebuah pemberian/hibah
dan isteri dan harta benda yang dari orang tua kepada anak
diperoleh masing-masing sebagai hadiah perempuannya yang telah
atau warisan, adalah dibawah menikah, dalam bentuk
penguasaan masing-masing sepanjang rumah dan
para pihak tidak menentukan lain. (UU pekarangannya.13 Walaupun
1/1974, 35:2) rumah itu sering dijadikan
tempat tinggal suami isteri,
Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan rumah tersebut merupakan
dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta bawaan isteri.
harta suami tetap menjadi hak suami dan
dikuasai penuh olehnya. (KHI, 86:2)

Harta bawaan dari masing-masing suami


dan istri dan harta yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau
warisan adalah di bawah penguasaan
masing-masing. (KHI, 87)

8 HARTA Hak atas asuransi kematian [Taspen] Lewat putusan kasasi,


BERUPA dibayarkan dalam hal Mahkamah Agung telah
ASURANSI peserta/keluarganya meninggal dunia menetapkan bahwa uang
JIWA DAN baik pada masa masih bekerja aktif santunan kematian dan
JAMINAN maupun setelah pensiun. Pengertian dana asuransi jiwa adalah
KEMATIAN14 keluarga ialah isteri/suami dan anak milik janda yang ditinggal

12
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006); T. Djuned (Wawancara, 27 April 2006).
13
Harta peunulang yang diberikan kepada seorang anak perempuan mungkin saja melebihi 1/3 dari total asset kekayaan pewaris. Alasan dibalik pemberian peunulang ini adalah
hubungan orang tua dengan anak perempuannya yang amat kuat dan mendalam. Hal ini karena anak perempuan sungguh-sungguh membantu kedua orang tuanya pada saat
tinggal dan hidup bersama mereka.
14 Jaminan kematian secara teknis dipahami sebagai ‘uang duka’. Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, keluarganya berhak atas Jaminan Kematian yang

meliputi (1) biaya pemakaman (satu juta rupiah); dan (2) santunan uang (lima juta rupiah).
83

peserta. (Penjelasan PP 25/1981, 9:2) mati oleh pewaris, dan


bukan sebagai harta
warisan.15
Jaminan kematian diselenggarakan
dengan tujuan untuk memberikan
santunan kematian yang dibayarkan
kepada ahli waris peserta yang
meninggal dunia. (UU 40/2004, 43:2)
Urutan penerima yang diutamakan dalam
pembayaran santunan kematian dan
Jaminan Kematian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 huruf d butir 4
dan Pasal 12 ialah: (UU 3/1992, 13)
a. janda atau duda;
b. anak;
c. orang tua;
d. cucu;
e. kakek atau nenek;
f. saudara kandung;
g. mertua.

9 HARTA Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia,


BERUPA Jaminan Hari Tua dibayarkan kepada
TABUNGAN janda atau duda atau anak yatim piatu.
HARI TUA (UU 3/1992, 14:2)

Yang berhak mendapat tabungan hari


tua adalah:
a. peserta dalam hal yang bersangkutan
berhenti dengan hak pensiun atau
berhenti sebelum saat pensiun;
b. isteri/suami, anak atau ahli waris
peserta yang sah dalam hal peserta
meninggal dunia. (PP 25/1981,10:2)

15
Putusan Kasasi Mahkamah Agung no. 198K/AG/1992.
84

Manfaat jaminan hari tua berupa uang


tunai dibayarkan sekaligus pada saat
peserta memasuki usia pensiun,
meninggal dunia, atau mengalami cacat
total tetap (UU 40/2004, 37:1)

Apabila peserta meninggal dunia, ahli


warisnya yang sah berhak menerima
manfaat jaminan hari tua (UU 40/2004,
37:4)

10 HARTA Yang berhak mendapat pensiun16


BERUPA GAJI adalah:
PENSIUN b. janda/duda dari peserta, dan
janda/duda dari penerima pensiun17;
atau
c. yatim piatu dari peserta, dan yatim
piatu dari penerima pensiun18; atau
d. orang tua dari peserta yang tewas
yang tidak meninggalkan
janda/duda/anak yatim piatu yang
berhak menerima pensiun.
(PP 25/1981, 10:1)

Manfaat jaminan pensiun berwujud uang


tunai yang diterima setiap bulan sebagai:
c. Pensiun janda/duda, diterima
janda/duda ahli waris peserta
sampai meninggal dunia atau
menikah lagi;

16
Di Indonesia, terdapat perbedaan antara gaji pensiun dan Tabungan Hari Tua.Gaji pensiun diterima oleh pensiunan PNS setiap bulannya, sedangkan Tabungan Hari Tua
diterima baik oleh pensiunan PNS ataupun pensiunan pegawai swasta secara sekaligus pada saat mereka memasuki masa pensiun.
17
Pembayaran ini berlangsung terus hingga janda/duda itu menikah lagi atau meninggal.
18
Uang pensiun ini akan diterima oleh anak hingga berusia 23 tahun, memiliki pekerjaan tetap atau sudah menikah.
19
Hingga saat ini, peraturan yang dimaksudkan tersebut belum tersedia.
85

d. Pensiun anak, diterima anak


ahli waris peserta sampai
mencapai usia 23 (dua puluh
tiga) tahun, bekerja, atau
menikah; atau
e. Pensiun orang tua, diterima
orang tua ahli waris peserta
lajang sampai batas waktu
tertentu sesuai dengan
peraturan perundang-
undangan.19
(UU 40/2004, 41:1)

Hak ahli waris atas manfaat pensiun


anak berakhir apabila anak tersebut
menikah, bekerja tetap, atau mencapai
usia 23 (dua puluh tiga) tahun. (UU
40/2004, 41:6)

11 HARTA Bila harta warisan yang akan dibagi Hukum adat Aceh tidak berbeda jauh
WARISAN berupa lahan pertanian yang luasnya dengan ketentuan dalam KHI dan malah
YANG kurang dari 2 hektar, supaya memperluas pengertiannya mencakup
TERDIRI DARI dipertahankan kesatuannya rumah. Jika terdapat beberapa anak
LAHAN sebagaimana semula, dan dimanfaatkan perempuan sementara orang tuanya tidak
PERTANIAN untuk kepentingan bersama para ahli mampu menyediakan peunulang bagi
YANG waris. (KHI 189:1) masing-masing anak perempuan itu,
LUASNYA sebuah rumah akan dibagi-bagi dan setiap
KURANG Bila hal di atas tidak memungkinkan, anak perempuan menerima satu kamar
DARI 2 (e.g. ada ahli waris yang membutuhkan masing-masing. Apabila ada anak
HEKTAR uang), lahan tersebut dapat dimiliki oleh perempuan yang tidak bersedia tinggal atau
seseorang atau lebih ahli waris dengan telah mempunyai rumahnya sendiri, maka
cara membayar harganya kepada ahli bagian yang menjadi haknya akan dialihkan
waris yang berhak sesuai dengan kepada anak perempuan yang lain melalui
bagiannya masing-masing. (KHI, 189:2) mekanisme pembayaran ganti rugi.20
12 HARTA HIBAH Hibah dari orang tua kepada anaknya Hibah atau peunulang yang telah diberikan

20
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006); Rusydi Sufi (Wawancara, 27 April 2006).
86

SEBAGAI dapat diperhitungkan sebagai warisan pewaris pada masa hidupnya untuk anak
HARTA (KHI, 211) perempuannya dapat diperhitungkan
WARISAN sebagai bagian dari warisan.21
Hibah yang diberikan pada saat pemberi
hibah dalam keadaan sakit yang dekat
dengan kematian, maka harus mendapat
persetujuan dari ahli warisnya. (KHI, 213)
13 HAK WARIS [Dalam hal hanya anak perempuan yang Dalam praktek, bila ahli Hukum adat pada kebanyakannya Menurut Badruzzaman
ANAK menjadi ahli waris dan tidak ada anak waris terdiri dari anak mengikuti ketentuan hukum Islam.23 Jika Ismail, Ketua Majelis Adat
PEREMPUAN laki-laki, ketentuan berikut yang akan perempuan saja dan tidak anak perempuan bersama-sama dengan Aceh, apabila suami atau
berlaku:] seorang anak perempuan ada anak laki-laki, anak laki-laki, maka anak perempuan akan isteri meninggal dan suami
mendapat ½, dan bila berdua atau lebih Mahkamah Syar’iyah menerima ½ bagian dari jumlah yang atau istri itu tidak kawin lagi,
mendapat 2/3 bagian. (KHI, 176) cenderung memutuskan diterima oleh anak laki-laki. Jika hanya maka ia akan tetap
untuk menyerahkan seorang anak perempuan akan menguasai semua harta
Jika anak perempuan bersama anak laki- seluruh sisa dari harta mendapatkan ½ bagian, dan jika 2 orang yang ditinggalkan pewaris
laki sebagai ahli waris, maka bagian warisan yang tidak habis atau lebih akan mendapatkan 2/3 bagian sampai anak-anaknya
anak perempuan adalah setengah dari itu (½ atau 1/3) kepada dari seluruh harta warisan yang mampu secara mandiri.
bagian anak laki-laki (KHI, 176) anak perempuan, baik ditinggalkan pewaris. Adapun sisanya Pada saat itulah barulah
sendirian ataupun lebih, dibagikan untuk ahli waris yang berhak dilakukan pembagian
dan tidak lagi diberikan lainnya.24 warisan.27
kepada ahli waris lain
yang masih hidup Untuk perimbangan dari kekurangan bagian
(misalnya paman).22 yang diterima oleh anak perempuan
dibandingkan dengan anak laki-laki, hukum
adat Aceh memperkenalkan konsep
peunulang. Melalui konsep peunulang
inilah, boleh jadi bagian harta yang diterima
oleh anak perempuan akan lebih banyak
dibandingkan dengan harta bagian anak
laki-laki.25

Patut dicatat pula bahwa ahli waris boleh

21
Syahrizal, Hukum Adat, h. 219-220; Syahrizal (Diskusi, 6 Juni 2006).
22
Rafiuddin (Wawancara, 26 April 2006).
23
Hoesin, Adat Atjeh, h. 165.
24
Hoesin, Adat Atjeh, h. 102-103.
25
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).
87

saja bersepakat untuk membagi-bagikan


harta warisan dengan tidak mengikuti
ketentuan di atas.26
14 HAK WARIS Ayah mendapat 1/3 bila pewaris tidak
AYAH meninggalkan anak, tetapi ada suami
dan ibu. (KHI, 177 dan SEMA 2/1994).28

Ayah mendapat 1/6 bila pewaris memiliki


anak. (KHI, 177)
15 HAK WARIS Ibu mendapat 1/6 bila pewaris memiliki
IBU anak atau dua saudara atau lebih (KHI,
178:1)

Ibu mendapat 1/3 bila pewaris tidak


meninggalkan anak atau dua saudara
atau lebih (KHI, 178:1)

[Apabila pewaris tidak mempunyai anak,]


Ibu mendapat 1/3 dari sisa sesudah
diambil oleh janda atau duda bila
bersama-sama dengan ayah.29 (KHI,
178:2)
16 HAK WARIS Duda mendapat ½ bila pewaris tidak Menurut Badruzzaman
DUDA/JANDA meninggalkan anak (KHI, 179) Ismail, Ketua Majelis Adat
Aceh, apabila suami atau
Duda mendapat ¼ bila pewaris isteri meninggal dan suami
meninggalkan anak (KHI, 179) atau istri itu tidak kawin lagi,
maka ia akan tetap
Janda mendapat ¼ bila pewaris tidak menguasai semua harta
meninggalkan anak (KHI, 180) yang ditinggalkan pewaris
sampai anak-anaknya
Janda mendapat 1/8 bila pewaris mampu secara mandiri.

26
Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006); Syahrizal, Hukum Adat, h. 227.
27
Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006).
28
Dalam hal ini, ayah menerima sepertiga bukan karena berdasarkan besaran hak bagiannya, tetapi karena ‘sepertiga’ adalah sisa harta warisan yang diterima oleh ayah setelah
suami dan ibu mengambil hak bagiannya masing-masing.
29
Ayah menjadi ahli waris ashabah dalam kasus ini.
88

meninggalkan anak (KHI, 180) Pada saat itulah barulah


dilakukan pembagian
warisan.30
17 HAK WARIS Apabila terjadi cerai mati, maka separoh Masing-masing suami dan istri mendapat Patut dicatat di sini bahwa di
JANDA/DUDA harta bersama menjadi hak pasangan separoh dari harta bersama (harta daerah pesisir Aceh Besar,
ATAS HARTA yang hidup lebih lama (KHI, 96:1) seuhareukat), baik karena cerai hidup atau harta bersama dibagi
BERSAMA cerai mati. Dalam hal cerai mati, separoh menjadi 3 bagian: 1 bagian
bagian harta bersama menjadi milik untuk isteri dan 2 bagian
pasangan yang masih hidup dan separoh untuk suami.33
bagian sisanya dibagi-bagikan kepada ahli
waris yang berhak.31

Apabila seorang pewaris mempunyai isteri


lebih dari seorang, perlu dipisahkan lebih
dulu antara harta bawaan tiap-tiap isteri dan
harta bersama dengan para isteri tersebut.
Harta bersama harus diperhitungkan secara
terpisah untuk setiap perkawinan dan
dibagikan berdasarkan jumlah dan waktu
diperolehnya harta bersama tersebut.32

18 HAK WARIS Bila pewaris tidak meninggalkan anak


SAUDARA dan ayah, saudara laki-laki dan saudara
LAKI-LAKI perempuan seibu mendapat 1/6 bagian
DAN (KHI, 181)
SAUDARA
PEREMPUAN Bila mereka itu dua orang atau lebih
SEIBU maka mereka bersama-sama mendapat
1/3 bagian. (KHI, 181)
19 HAK WARIS Bila pewaris tidak meninggalkan anak
SAUDARA dan ayah, seorang saudara perempuan
PEREMPUAN kandung atau seayah mendapat ½. (KHI,
DAN 182)

30
Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006).
31
Syahrizal, Hukum Adat, h. 275.
32
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).
33
Syahrizal, Hukum Adat, h. 276.
89

SAUDARA
PEREMPUAN Bila jumlah saudara perempuan kandung
SEAYAH atau seayah dua orang atau lebih, maka
mereka bersama-sama mendapat 2/3.
(KHI, 182)

Bila saudara perempuan tersebut


bersama-sama dengan saudara laki-laki
kandung atau seayah, maka bagian
saudara laki-laki adalah dua berbanding
satu dengan saudara perempuan. (KHI,
182)
20 HAK WARIS Ahli waris yang meninggal lebih dahulu Melalui putusan kasasi, Ahli waris yang lebih dahulu meninggal Patah titi sesungguhnya
BAGI CUCU daripada pewaris, kedudukannya dapat Mahkamah Agung telah dunia daripada pewaris tidak dapat bukanlah berasal dari adat
YANG ORANG digantikan oleh anaknya. (KHI, 185:1) memperlebar ketentuan ini digantikan oleh anaknya. Dalam hukum Aceh, tetapi dari pengaruh
TUANYA sehingga juga adat Aceh, hal ini dikenal sebagai Patah mazhab Syafi’i yang dianut
MENINGGAL Bagian ahli waris pengganti tidak boleh memperkenankan anak- Titi.34 luas oleh masyarakat Aceh.
LEBIH DULU melebihi bagian ahli waris yang sederajat anak mengganti Setelah beberapa lama,
DARIPADA dengan yang diganti. (KHI, 185:2) kedudukan orang tuanya pengaruh ini kemudian
PEWARIS yang meninggal dunia menjelma menjadi norma
untuk mewarisi harta local yang diakui oleh hukum
paman atau bibi (saudara adat.35
orang tua mereka).

Meski begitu, menurut


Ketua Mahkamah
Syar’iyah NAD, ketentuan
semacam itu tidak akan
dipraktekkan di Aceh.
21 HAK WARIS Terhadap anak angkat yang tidak Seorang anak angkat tidak mendapatkan Dalam masyarakat Aceh, jika Menurut ketentuan hukum
ANAK menerima wasiat diberi wasiat wajibah bagian dari harta warisan jika tidak ada pewaris tidak membuat Islam, anak angkat tidak
ANGKAT sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat yang menentukan bagiannya.37 wasiat kewarisan untuk anak menerima warisan dari orang

34
Armia Ibrahim, “Ahli Waris Pengganti Ditinjau dari Aspek Hukum dan Penerapannya dalam Praktek Peradilan”, makalah disajikan dalam Lokakarya Hukum Kewarisan
Islam yang diselenggarakan oleh Yayasan Lamjabat, Banda Aceh, 18-20 Oktober 2005. h. 7.
35
Ibid.; T. Djuned (Workshop IDLO, 30 May 2006).
90

warisan orang tua angkatnya. (KHI, angkat, para ahli waris tua angkatnya.39
209:2)36 Ia mendapatkan bagian hanya bila para ahli biasanya memberi bagian
waris lainnya berbaik hati untuk untuk anak angkat, karena
memberikan bagian. anak angkat tidak jasa-jasa anak angkat
dianggap sebagai ahli waris, sehingga ahli tersebut kepada pewaris.38
waris tidak dapat dipaksa untuk
memberikan bagian kepadanya.
22 HAK WARIS Anak yang lahir di luar perkawinan hanya Apabila terdapat anak yang lahir di luar Dalam masyarakat Aceh, jika
BAGI ANAK mempunyai hubungan saling mewaris perkawinan, maka ia hanya mempunyai seorang perempuan hamil
YANG LAHIR dengan ibunya dan keluarga dari pihak hubungan kewarisan dengan ibunya.40 sebelum menikah, semua
DI LUAR ibunya (KHI, 186) usaha akan dilakukan agar
PERKAWINAN anak yang dikandungnya itu
memiliki ayah pada saat
kelahirannya.41
23 PROSEDUR Para ahli waris baik kolektif ataupun Ahli waris yang telah mandiri atau telah Praktik pembagian harta
MELAKUKAN individual dapat mengajukan permintaan menikah dapat meminta untuk melakukan warisan dalam masyarakat
PEMBAGIAN kepada ahli waris yang lain untuk pembagian warisan. Apabila belum ada Aceh umumnya dilakukan
HARTA melakukan pembagian harta warisan. anak yang telah mandiri, maka pihak setelah hari ke-44 atau 100
WARISAN (KHI, 188) keluarga, terutama keluarga pihak ayah sejak meninggalnya si
(wali) akan segera meminta pembagian pewaris. Pembagian itu
Bila ada di antara ahli waris yang tidak warisan dan wali itu akan menjadi biasanya dilakukan oleh
menyetujui permintaan itu, maka yang pengawas atau pengelola terhadap bagian Imuem Meunasah Gampong
bersangkutan dapat mengajukan warisan yang menjadi hak anak yang belum dengan disaksikan oleh
gugatan melalui Pengadilan Agama dewasa atau belum mampu tersebut.42 Geuchik dan pemuka adat

36
Wasiat wajibah diperkenalkan dalam Kompilasi Hukum Islam untuk merefleksikan nilai-nilai asli Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, yang memperkenankan anak angkat
untuk mewarisi dari orang tua angkat mereka. Konsep wasiat wajibah ini berasal dari hukum Mesir dan menjadi suatu mekanisme untuk memberikan hak waris bagi anak
angkat yang tidak memiliki hubungan nasab ataupun pernikahan dengan pewaris. Perumus KHI memandang wasiat dalam kasus ini bersifat wajib karena orang tua angkat tidak
mewasiatkan harta kepada anak angkatnya. Lihat Syahrizal, Hukum Adat, h. 282-283; Roihan Rasyid, “Pengganti Ahli Waris dan Wasiat Wajibah, Mimbar Hukum, no. 23
(1995), h. 54-67.
37
Syahrizal, Hukum Adat, h. 287-288.
38
Syahrizal, Hukum Adat, h. 287.
39
ASaf A.A. Fyzee, Outlines of Muhammadan Law, (Delhi: Oxford University Press, 1974), h. 189.
40
Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006).
41
Hoesin, Adat Atjeh, h. 184-186.
42
Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006).
91

untuk dilakukan pembagian harta dalam suatu acara kenduri


warisan. (KHI, 188) Harta warisan yang diterima oleh anak laki- sekaligus doa untuk
laki dan anak perempuan tidak memperoleh keselamatan,
diperhitungkan jumlah nilainya (harga), sehingga para ahli waris
melainkan secara innatura. Rumah dan yang memperoleh harta
pekarangan untuk anak perempuan, warisan akan hidup tenteram
sedangkan anak laki-laki diberikan sawah dan damai.44
dan ladang, ternak, toko di pasar atau
sumber penghasilan lainnya. Apabila hal ini
ditaksir dengan nilai rupiah, maka
kemungkinan akan lebih menguntungkan
anak perempuan karena mempunyai nilai
ekonomis yang lebih tinggi.43
24 MENGUBAH Para ahli waris dapat bersepakat Dalam praktek, para ahli waris dapat
HAK BAGIAN melakukan perdamaian dalam membuat kesepakatan sendiri di antara
ATAS HARTA pembagian harta warisan, setelah mereka tentang besarnya hak bagian yang
WARISAN masing-masing menyadari bagiannya. diterima masing-masing. Pada umumnya
(KHI, 183) pembagian warisan antara ahli waris
dilakukan secara musyawarah antara para
ahli waris yang disaksikan oleh geuchik,
imum meunasah, tuha peut serta pemuka
masyarakat setempat lainnya. Melalui
musyawarah ini, segenap ahli waris dapat
menyetujui perubahan hak bagian mereka
masing-masing atas harta warisan.45

25 PEWARIS Bila pewaris tidak meninggalkan ahli Jika pewaris tidak meninggalkan ahli waris, Berdasarkan fatwa MPU
YANG TAK waris sama sekali, atau ahli warisnya maka harta warisannya diberikan kepada 3/2005, tanah dan harta benda
MEMILIKI tidak diketahui ada atau tidaknya, maka Baitul Mal Gampong. Apabila harta warisan yang ditinggalkan korban
AHLI WARIS harta tersebut atas putusan Pengadilan itu berbentuk tanah (disebut juga tanoh gempa dan gelombang
SAMA SEKALI Agama diserahkan penguasaan kepada meusara), Baitul Mal akan menyerahkan Tsunami yang tidak
Baitul Mal46 untuk kepentingan agama pengelolaannya kepada seseorang yang meninggalkan ahli waris adalah

43
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).
44
Hoesin, Adat Atjeh, h. 99, 163.
45
Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006); Syahrizal, Hukum Adat, h. 227-228.
46
Dengan memperhatikan ketentuan di dalam KHI ini, Baitul Mal yang dimaksudkan itu adalah Baitul Mal gampong.
92

Islam dan kesejahteraan umum. (KHI, tinggal dalam gampong tersebut.47 menjadi milik umat Islam
191) melalui Baitul Mal (Lihat juga
Hasil yang diperoleh seseorang dari Masyarakat Aceh Besar Fatwa MPU 2/2005 butir
pengelolaan tanoh meusara itu biasanya memberi nama tanah ini keenam). Dalam hal ini, Baitul
dibagi-bagikan juga kepada masyarakat dengan nama tanoh ie-bu Mal yang bersangkutan mesti
setempat tiap-tiap tahun dalam bentuk (tanah bubur kanji). mengajukan permohonan
santapan bubur kanji (sajian buka puasa di kepada Mahkamah Syar’iyah
bulan ramadhan) yang dberikan kepada . untuk penetapan penyerahan
orang-orang yang berbuka puasa di tanah dan harta benda yang
meunasah di bulan Ramadhan.48 tidak ada lagi ahli warisnya itu
kepada Baitul Mal. 49

26 PEWARIS Harta bersama dari perkawinan seorang Hukum adat Aceh mengenal adanya
YANG suami yang mempunyai isteri lebih dari poligami. Apabila seorang pewaris
POLIGAMI seorang, masing-masing terpisah dan mempunyai isteri lebih dari seorang, perlu
berdiri sendiri. (KHI, 94:1) dipisahkan lebih dulu antara harta bawaan
tiap-tiap isteri dan harta bersama dengan
Pemilikan harta bersama dari perkawinan para isteri tersebut. Harta bersama harus
seorang suami yang mempunyai istri diperhitungkan secara terpisah untuk setiap
lebih dari seorang sebagaimana tersebut perkawinan dan dibagikan berdasarkan
[dalam KHI, 94) ayat (1), dihitung pada jumlah dan waktu diperolehnya harta
saat berlangsungnya akad perkawinan bersama tersebut.
yang kedua, ketiga atau yang keempat.
(KHI, 94:2)

Pewaris yang beristri lebih dari seorang,


maka setiap istri berhak mendapat
bagian atas gono-gini dari rumah tangga
dengan pewaris. Adapun keseluruhan
bagian pewaris (dari harta bersama)
adalah menjadi hak para ahli waris. (KHI,
190)

47
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006); Lihat juga Pola Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan Tanah secara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh, dalam
Syamsidah dan Sugiarto Dakung (editor), (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1984/1985), h. 66; Cf. Hoesin, Adat Atjeh, h. 104.
48
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006); Lihat Pola Penguasaan, h. 66.
49
Menurut Keputusan Gubernur 18/2003 pasal 10, Teungku Imam atau Imam Meunasah adalah kepala Baitul Mal Gampong. Dalam praktek belum semua gampong memiliki lembaga baitul mal,
sehingga seringkali tanah-tanah yang belum diidentifikasi ahli warisnya dipelihara oleh perangkat gampong yang berfungsi sebagai Baitul Mal.
93

27 WASIAT ATAS Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak- Pewaris dapat mewasiatkan hingga Dalam praktek, apabila
HARTA banyaknya 1/3 dari harta warisan kecuali sepertiga dari harta peninggalannya seorang pewaris telah
WARISAN apabila semua ahli waris menyetujui sepanjang seluruh ahli waris mewasiatkan untuk
(KHI, 195:2) menyetujuinya.50 memberikan sejumlah harta
kepada seseorang (baik
Apabila wasiat melebihi 1/3 dari harta terhadap ahli waris sendiri
warisan sedangkan ahli waris ada yang ataupun untuk kepentingan
tidak menyetujuinya, maka wasiat hanya umum lainnya), berapapun
dilaksanakan sampai batas 1/3 harta nilai dan besarnya, maka
warisan (KHI, 201). para ahli waris patuh untuk
mengikutinya dan merasa
Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku takut melakukan
bila disetujui oleh semua ahli waris (KHI, penyimpangan.51 Dalam
195:3) masyarakat Aceh,
mengindahkan wasiat
Pernyataan persetujuan ahli waris dibuat pewaris merupakan sebuah
secara lisan atau tertulis di hadapan dua keharusan secara budaya.52
orang saksi, atau dihadapan notaris (KHI,
195:4)

28 KRITERIA Orang yang telah berumur sekurang2nya


PEMBERI 21 tahun, berakal sehat dan tanpa
HIBAH DAN adanya paksaan dapat menghibahkan
MAKSIMUM sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya
JUMLAH kepada orang lain atau lembaga di
HIBAH hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
(KHI, 210:1)
29 GUGATAN Berdasarkan pasal 49 UU no. 7/1989 Gugatan hak milik dan
PERKARA tentang Peradilan Agama dan Qanun no. kewarisan atas tanah
KEWARISAN 10/2002, penyelesaian masalah (korban gempa dan
TANAH kewarisan merupakan kewenangan gelombang Tsunami)
PASCA Mahkamah Syar’iyah. dapat diajukan ke
TSUNAMI Mahkamah Syar’iyah
Semua tuntuan hukum, baik yang dengan penyertaan alat

50
Hoesin, Adat Atjeh, h. 162; Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).
51
Hoesin, Adat Atjeh, h. 162; Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).
52
Hoesin, Adat Atjeh, h. 162-163.
94

bersifat kebendaan maupun yang bersifat bukti yang sah. (Fatwa


perorangan, hapus karena lewat waktu MPU 3/2005, 1:3)
dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun,
sedangkan orang yang menunjuk adanya Mahkamah Syar’iyah perlu
lewat waktu itu, tidak usah menunjukkan memberi kesempatan
suatu alas hak, dan terhadapnya tak kepada geuchik dan
dapat diajukan suatu tangkisan yang mukim (beserta tuha
didasarkan pada itikad buruk. peutnya masing-masing)
(KUHPerdata, Buku Keempat, 1967)53 untuk menyelesaikan
sengketa melalui
Lewat waktu tidak dapat mulai berlaku perdamaian sebelum
atau berlangsung terhadap anak-anak diperiksa oleh Mahkamah
yang belum dewasa dan orang-orang Syar’iyah (Fatwa MPU
yang ada di bawah pengampuan, kecuali 2/2005, 9)
dalam hal-hal yang ditentukan undang-
undang. (KUHPerdata, Buku Keempat, Gugatan hak milik dan
1987) gugatan kewarisan atas
tanah korban Tsunami
Lewat waktu berlaku terhadap suatu hanya diterima dalam
warisan yang tak terurus, meskipun tidak waktu 5 tahun sejak
ada pengampu warisan itu. musibah Tsunami terjadi
(KUHPerdata, Buku Keempat, 1991) dan setelah itu dinyatakan
lewat waktu (kadaluarsa);
Lewat waktu itu berlaku selama ahli waris sedang bagi anak yang
masih mengadakan perundingan belum dewasa ketika
mengenai warisannya. (KUHPerdata, musibah Tsunami terjadi
Buku Keempat, 1992) hak mengajukan gugatan
ini diperpanjang sampai
dia berumur 19 tahun
(Fatwa MPU 2/2005,8)

53
Putusan Banding Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD (37/Pdt.G/2004/MS Prov.) menolak gugatan perkara kewarisan karena sudah lewat waktu dari 33 tahun. Putusan ini berdasarkan kitab Al-
Nasyiah, Juz 7:485.
95

PERWALIAN
NO TOPIK HUKUM FORMAL CATATAN PRINSIP DAN NORMA ADAT CATATAN PRINSIP/PENDAPAT
HUKUM ISLAM
1 USIA ANAK DI Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan Dengan mempertimbangkan Hukum adat tidak menggunakan batas
BAWAH belas) tahun atau belum pernah inkonsistensi aturan antara umur anak untuk perwalian, melainkan
PERWALIAN melangsungkan perkawinan, yang tidak UU 1/1974 dan KHI, penting ditentukan oleh kenyataan bahwa
berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dicatat bahwa kedudukan anak yatim itu sudah menikah atau
dibawah kekuasaan wali. (UU 1/1974, 50:1) UU lebih tinggi daripada KHI, memperlihatkan kematangan fisik dan
yang hanya merupakan biologis, kedewasaan mental dan
Wali hanya bagi anak di bawah usia 21 tahun Instruksi Presiden, dan mampu mandiri dalam masyarakat.1
dan atau belum menikah (KHI, 107:1) karenanya UU dianggap
sebagai peraturan yang lebih
otoritatif.
2 CAKUPAN Perwalian itu mengenai pribadi anak yang Dalam adat, perwalian juga meliputi
PERWALIAN bersangkutan maupun harta bendanya. (UU perlindungan diri anak dan hartanya.2
1/1974, 50:2)

Perwalian meliputi diri dan harta (KHI, 107:2)

3 PENUNJUKKAN Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang Dinas Syariat Islam Menurut adat, penetapan/penunjukan Dinas Syariat Islam Anak yatim yang tidak ada
/PENETAPAN menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum merekomendasikan bahwa wali dapat dilakukan berdasarkan merekomendasikan bahwa lagi wali nasab, atau washi
WALI ia meninggal, dengan surat wasiat atau pengajuan aplikasi perwalian kesepakatan keluarga dengan pengajuan aplikasi perwalian dapat ditetapkan
dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi. kepada Mahkamah Syar’iyah sepengetahuan orang-orang tua atau kepada Mahkamah Syar’iyah pengasuhannya oleh
(UU 1/1974, 51:1) mesti melampirkan daftar tuha peut gampong.5 mesti melampirkan daftar Mahkamah Syar’iyah
inventarisasi harta warisan inventarisasi harta warisan dengan biaya dari Baitul Mal
Penunjukan orang lain sebagai wali oleh milik anak yatim.4 Pasal 51 milik anak yatim.6 kalau anak tersebut tidak
Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali (4) UU 1/1974 mengatur hal memiliki biaya hidup dan
dicabut. (Penjelasan UU 7/1989, 49:2). yang sama mengenai hal ini. Mahkamah Syar’iyah

1
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).
2
Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).
3
Balai Harta Peninggalan adalah lembaga resmi yang ditunjuk oleh pengadilan untuk memelihara harta, jika penerima yang berhak atas harta tersebut tidak diketahui kemana
rimbanya atau masih di bawah umur.
4
Lihat Al-Indzar, publikasi khusus diterbitkan oleh Dinas Syariat Islam, no. 4 (15 September 2005), h. 7.
5
Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).
6
Lihat Al-Indzar, publikasi khusus diterbitkan oleh Dinas Syariat Islam, no. 4 (15 September 2005), h. 7.
96

berkewajiban mengawasi
[Atas permohonan yang berkepentingan, pelaksanaannya.7
Pengadilan Agama dapat] menunjuk seorang
wali dalam hal seorang anak yang belum
cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang
ditinggal kedua orang tuanya pada hal tidak
ada penunjukan wali oleh orang tuanya.
(Penjelasan UU 7/1989, 49:2).

Dalam hal orang tua anak tidak cakap


melakukan perbuatan hukum, atau tidak
diketahui tempat tinggal atau keberadaannya,
maka seseorang atau badan hukum yang
memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai
wali dari anak yang bersangkutan. (UU
23/2002, 33:1)

Untuk menjadi wali anak sebagaimana


dimaksud dalam [UU 23/2002, 33] ayat (1)
dilakukan melalui penetapan pengadilan. (UU
23/2002, 33:2)
Dalam hal anak belum mendapat penetapan
pengadilan mengenai wali, maka harta
kekayaan anak tersebut dapat diurus oleh
Balai Harta Peninggalan3 atau lembaga lain
yang mempunyai kewenangan untuk itu. (UU
23/2002, 35:1)
Pengurusan harta sebagaimana dimaksud
dalam [UU 23/2002, 35] ayat (1) dan ayat (2)
harus mendapat penetapan. (UU 23/2002,
35:3)
Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut,
Pengadilan berhak melakukan penunjukan
orang lain sebagai wali (Penjelasan pasal 49:2

7
Fatwa MPU 3/2005, 2:3.
97

UU 7/1989).
4 PERSYARATAN Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga Wali yang ditunjuk sedapat mungkin Perlu di catat bahwa
WALI anak tersebut atau orang lain yang sudah adalah laki-laki dari pihak keluarga pemeliharaan anak yatim
dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan ayah. Jika wali dari pihak keluarga sehari-hari biasanya
berkelakuan baik. (UU 1/1974, 51:2) ayah tidak ada, maka barulah ditunjuk diserahkan kepada
laki-laki dari karoeng (keluarga ibu) perempuan dari pihak
Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga sebagai wali. Jika ini pun tidak ada, karoeng (keluarga ibu).9
anak tersebut, dewasa, berpikiran sehat, adil, maka perempuan baik dari pihak
jujur dan berkelakuan baik atau badan hukum keluarga ayah atau ibu yang akan
(KHI, 107:4) ditunjuk, walaupun sebutan wali tidak
dikenakan kepadanya.8
Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud
dalam [UU 23/2002, 33] ayat (2) agamanya
harus sama dengan agama yang dianut
anak. (UU 23/2002, 33:3)

5 WALI Dalam Kompilasi Hukum Islam tidak ada Ahli hukum Subekti Hukum adat menekankan sedapat Majelis Permusyawaratan
PEREMPUAN ketentuan yang melarang perempuan untuk berpendapat bahwa bila mungkin wali yang ditunjuk adalah Ulama (MPU) mendukung
ditunjuk menjadi wali. salah seorang dari sepasang laki-laki. Meski begitu, dalam keadaan wali perempuan, khususnya
orang tua meninggal dunia, tertentu (misalnya dalam keadaan seorang ibu sebagai wali
maka pasangan yang hidup tidak ada laki-laki yang layak ditunjuk bagi anak-anaknya yang
otomatis bertindak sebagai sebagai wali), seorang perempuan telah menjadi yatim. Akan
wali bagi anak-anak yang dimungkinkan juga berfungsi sebagai tetapi, berkaitan dengan
masih di bawah umur 18.10 wali yang menangani pemeliharaan harta warisan anak-anak
sehari-hari anak yatim beserta harta yatim itu, tanggungjawab
Dalam praktek pengadilan warisannya. Akan tetapi, perempuan pengelolaannya berada di
(Mahkamah Syar’iyah), tersebut tidak akan dipanggil atau pihak ayah, kakek, atau bila
perempuan telah ditetapkan disebut sebagai ‘wali’.11 tidak ada, seorang wali atau
sebagai wali terhadap anak Mahkamah Syar’iyah.12

8
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006); Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).
9
Lihat Badruzzaman Ismail, “Wali Perempuan dari Aspek Hukum Adat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, makalah disajikan dalam Lokakarya Perwalian Anak yang diselenggarakan
bersama oleh Mahkamah Syar’iyah Provinsi, Yayasan Putroe Kande dan UNIFEM, Banda Aceh, 9-11 September 2005, h. 4.
10
Lihat “Inheritance, Guardianship and Women’s Legal Rights in Post-Tsunami Aceh: The Interaction of Syariah, Adat and Secular Laws”, IDLO Research Paper prepared by Tim Lindsey with
Robyn Philips, Cate Sumner and Cathy McWilliam, (forthcoming 2006), h. 59.
11
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).
12
Lihat “Inheritance, Guardianship”, h. 60; Tgk. H.M. Daud Zamzamy, “Kedudukan Wali Perempuan: Kajian Fiqh Klasik”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Perwalian Anak yang
diselenggarakan bersama oleh Mahkamah Syar’iyah Provinsi, Yayasan Putroe Kande dan UNIFEM, Banda Aceh, 9-11 September 2005, h. 5.
98

yang masih di bawah umur.


Dalam beberapa kasus di
Mahkamah Syar’iyah Banda
Aceh dan Mahkamah
Syar’iyah Jantho, ada
ditetapkan bahwa nenek dari
pihak ibu bertindak sebagai
wali.

6 WASIAT Orang tua dapat mewasiatkan seorang atau Mahkamah Syar’iyah Orang tua dapat mewasiatkan kepada
UNTUK badan hukum untuk melakukan perwalian atas menyatakan bahwa dalam seseorang atau badan hukum sebagai
PERWALIAN diri dan kekayaan anaknya (KHI, 108) hal tidak ada wasiat wali untuk anak-anak yang
perwalian, seseorang dapat ditinggalkannya.14
Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjadi wali yang sah
menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum setelah mendapatkan
ia meninggal, dengan surat wasiat atau penetapan/pengukuhan dari
dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi Mahkamah Syar’iyah.13
(UU 1/1974, 51:1).

7 KEWAJIBAN Wali wajib mengurus anak yang dibawah Mahkamah Syar’iyah Menurut adat, seorang wali Dalam masyarakat Aceh, Fatwa MPU 2/2005 (1)
DAN penguasaannya dan harta bendanya sebaik- menyatakan bahwa bila berkewajiban untuk mengurus anak wali tidak hanya menyatakan bahwa hukum
TANGGUNG baiknya, dengan menghormati agama dan seorang wali terpaksa dan hartanya, termasuk pendidikan, bertanggung jawab terhadap memelihara anak yatim
JAWAB WALI kepercayaan anak itu. (UU 1/1974, 51:3) menjual tanah milik anak di kesehatan, tempat tinggal dan anak yang berada di bawah adalah fardhu kifayah atas
bawah perwaliannya, wali kemaslahatan lainnya serta perwaliannya, tetapi juga umat Islam.
Wali bertanggung-jawab tentang harta benda terlebih dahulu harus mengantarnya ke jenjang terhadap masyarakat dalam
anak yang berada dibawah perwaliannya memperoleh izin dari perkawinan.16 gampong yang
serta kerugian yang ditimbulkan karena Mahkamah Syar’iyah.15 bersangkutan untuk
kesalahan atau kelalaiannya. (UU 1/1974, melaksanakan kewajibannya
51:5) dengan baik.17

Berkewajiban mengurus diri dan harta anak


yang di bawah perwaliannya dan

13
Lihat Armia Ibrahim, “Perwalian Anak menurut Hukum Islam dan Hukum Positif”, makalah disampaikan dalam Workshop Faraidh III yang diselenggarakan oleh Yayasan Lamjabat, Banda Aceh, 8-10 April 2006.
14
Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).
15
Armia Ibrahim (Diskusi, 2 Juni 2006).
16
Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).
17
Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).
99

berkewajiban memberikan bimbingan agama,


pendidikan dan keterampilan lainnya. (KHI,
110:1)

Untuk kepentingan anak, wali sebagaimana


dimaksud dalam [UU 23/2002, 33] ayat (2)
wajib mengelola harta milik anak yang
bersangkutan. (UU 23/2002, 33:4)

Wali wajib membuat daftar harta benda anak


yang berada dibawah kekuasaannya pada
waktu memulai jabatannya dan mencatat
semua perubahan-perubahan harta benda
anak atau anak-anak itu (UU 1/1974, 51:4).

Pertanggungjawaban wali harus dibuktikan


dengan pembukuan setiap tahun sekali. (KHI,
110:4)

Wali yang ditunjuk berdasarkan penetapan


pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
[UU 23/2002] Pasal 33, dapat mewakili anak
untuk melakukan perbuatan hukum, baik di
dalam maupun di luar pengadilan untuk
kepentingan yang terbaik bagi anak. (UU
23/2002, 34)

Dilarang mengikatkan, membebani dan


mengasingkan harta anak yang berada di
bawah perwaliannya, kecuali menguntungkan
atau tidak dapat dihindarkan. (KHI, 110:2)

bertanggung jawab terhadap harta anak dan


mengganti kerugian yang timbul sebagai
akibat kesalahan atau kelalaiannya. (KHI,
110:3)

Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-


100

undang [Perkawinan] ini, [yaitu “orang tua


tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang tetap yang
dimiliki anaknya yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, kecuali apabila
kepentingan anak itu menghendakinya”]. (UU
1/1974, 52)
8 PENGGUNAAN Wali dapat mempergunakan harta anak yang Hukum adat membolehkan wali yang Menurut Q.S. An-Nisa: 6,19
HARTA OLEH berada dibawah perwaliannya untuk miskin untuk menggunakan harta seorang wali miskin hanya
WALI MISKIN keperluannya dan kepentingannya menurut warisan milik anak di bawah diperbolehkan
UNTUK kepatutan (ma’ruf), jika wali itu fakir. (KHI, perwaliannya untuk keperluan dirinya memanfaatkan harta anak
KEPERLUAN 112) secukupnya. Apabila wali telah yatim untuk sebatas
PRIBADINYA menggunakan harta melebihi dari kebutuhan pangan yang
jumlah yang diperlukan, maka pihak sewajarnya. Adapun wali
keluarga lain akan menegur dan yang kaya tidak
bahkan dapat memohon agar diperkenankan mengambil
kekuasaan perwaliannya dialihkan manfaat dari harta anak
kepada orang lain.18 yatim tersebut.
9 PENGAWASAN Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain Dinas Syariat Islam Menurut hukum adat, seorang wali Dalam praktek, kerabat
WALI sebagaimana dimaksud dalam [UU 23/2002, menafsirkan kata ‘wali biasanya diawasi oleh geuchik, imeum dekat anak yatim, tetangga
35] ayat (1) bertindak sebagai wali pengawas pengawas’ sebagai meunasah dan tuha peut gampong dan masyarakat yang
untuk mewakili kepentingan anak. (UU pengawas para wali.20 selaku pengurus baitul mal di berdiam di sekitar gampong
23/2002, 35:2) gampong tersebut.21 itu ikut serta mengawasi wali
dalam menjalankan
kewajibannya.22
10 PENCABUTAN Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam Wali yang lalai atau tidak Dalam praktek, jika seorang
KEKUASAAN hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang- melaksanakan kewajibannya dapat wali tidak dapat mengelola
DAN undang ini, [yaitu (a) sangat melalaikan dicabut kekuasaannya oleh Geuchik, atau menyalahgunakan
PENGGANTIAN kewajibannya terhadap anak; dan (b) dan seorang yang berasal dari harta warisan milik anak
WALI berkelakuan buruk sekali]. (UU 1/1974, 53:1) pemuka gampong (seperti tuha peut yatim, imam meunasah atau

18
Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006); T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).
19
Bunyi ayat Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut: “Barang siapa [wali] mampu, maka hendaklah ia menahan diri [untuk memakan harta anak yatim itu] dan barang siapa
[wali] miskin maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.”
20
Lihat Al-Indzar, publikasi khusus diterbitkan oleh Dinas Syariat Islam, no. 4 (15 September 2005), h. 7.
21
Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, (Ttp. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Istimewa Atjeh, 1970), h. 103-104.
22
Ibid. h. 103.
101

atau teungku meunasah) dapat kerabat dekat dari anak


Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, ditunjuk sebagai wali pengganti. Atau, yatim itu dapat mengajukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal mungkin saja geuchik itu sendiri yang permohonan penggantian
53, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain bertindak sebagai wali pengganti.23 wali kepada Mahkamah
sebagai wali. (UU 1/1974, 53:2) Syar’iyah. Namun penting
dicatat bahwa pencabutan
Atas permohonan kerabat, hak perwalian kekuasaan dan penggantian
dapat dicabut bila wali adalah pemabuk, wali jarang terjadi.24
penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan
atau menyalahgunakan hak dan
wewenangnya (KHI, 109)

Dalam hal wali yang ditunjuk ternyata di


kemudian hari tidak cakap melakukan
perbuatan hukum atau menyalahgunakan
kekuasaannya sebagai wali, maka status
perwaliannya dicabut dan ditunjuk orang lain
sebagai wali melalui penetapan pengadilan.
(UU 23/2002, 36:1)

Wali yang lalai dapat diganti oleh Pengadilan


Agama dengan salah seorang kerabat atas
permohonan kerabat tersebut (KHI, 107:3)

Dalam hal wali meninggal dunia, ditunjuk


orang lain sebagai wali melalui penetapan
pengadilan. (UU 23/2002, 36:2)
Penunjukan orang lain sebagai wali
[dilakukan] oleh Pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut. (Penjelasan
UU 7/1989, 49:2).

11 PENYERAHAN Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta Wali berkewajiban menyerahkan


HARTA anak yang dibawah perwaliannya bila telah seluruh harta bila anak telah mampu

23
Ibid., h. 103.
24
Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006); T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).
102

KEPADA ANAK mencapai usia 21 tahun atau telah menikah. mengurus dirinya sendiri, mempunyai
DI BAWAH (KHI, 111:1) penghasilan sendiri atau telah
PERWALIAN menikah.25
12 PERSELISIHAN Pengadilan Agama berwenang mengadili Berdasarkan pasal 49 UU Perselisihan mengenai harta waris
ANTARA WALI perselisihan antara wali dan anak yang no. 7/1989 tentang Peradilan yang diserahterimakan dari wali
DAN ANAK berada di wilayahnya tentang harta yang Agama dan Qanun no. kepada anak yang berada dalam
diserahkan. (KHI, 111:2) 10/2002 tentang Peradilan perwaliannya biasanya diselesaikan
Syariat Islam, penyelesaian melalui rapat adat gampong yang
sengketa perwalian dan dihadiri oleh geuchik dan pemuka
kewarisan berada dalam gampong setempat.26
kewenangan Mahkamah
Syar’iyah.
13 GUGATAN Wali yang telah menyebabkan kerugian
GANTI RUGI kepada harta benda anak yang dibawah
TERHADAP kekuasaannya, atas tuntutan anak atau
WALI keluarga anak tersebut dengan Keputusan
Pengadilan, yang bersangkutan dapat
diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.
(UU 1/1974, 54)

[Wali] bertanggung jawab terhadap harta anak


dan mengganti kerugian yang timbul sebagai
akibat kesalahan atau kelalaiannya (KHI,
110:3)

25
Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).
26
Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).

Anda mungkin juga menyukai