Laporan Penelitian
BANDA ACEH
June 2006
[
UCAPAN TERIMAKASIH
Laporan penelitian ini adalah produk kegiatan yang dilaksanakan oleh International
Development Law Organization (IDLO) melalui program ‘Post-Tsunami Legal
Assistance Initiative in Indonesia’ di Aceh. Laporan ini disusun berdasarkan penelitian
lapangan di 12 gampong di Banda Aceh dan Aceh Besar yang dilakukan oleh tim
peneliti IDLO yang terdiri dari Dr. Arskal Salim, Muzakkir Abubakar SH.,SU., dan
Ernita Dewi S.Ag., M.Hum. Untuk itu, tim peneliti ingin mengucapkan terimakasih
kepada segenap informan yang berprofesi sebagai geuchik, imam meunasah, sekretaris
gampong, kepala dusun dan warga gampong. Selain itu, tim peneliti juga ingin
menghaturkan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada sejumlah narasumber yang
terdiri dari pakar hukum dan dosen perguruan tinggi (UNSYIAH dan IAIN Ar-Raniry),
Ketua Mahkamah Syar’iyah Nanggroe Aceh Darussalam, segenap jajaran hakim
Mahkamah Syar’iyah di Banda Aceh dan Jantho, dan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA)
yang telah meluangkan waktu mereka untuk kepentingan penelitian ini dan
keikutsertaan mereka dalam kegiatan workshop hasil penelitian yang diadakan pada
tanggal 30 Mei 2006 di Auditorium Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Penulisan laporan ini dikerjakan oleh Dr. Arskal Salim. Penulis ingin menyampaikan
terimakasih kepada Erica Harper, Chief of Party IDLO Banda Aceh yang telah memberi
masukan yang berharga dalam proses penulisan draft awal naskah ini. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Rusydi Ali Muhammad SH., guru besar
Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, yang telah sudi membaca draft awal naskah ini dan
memberikan beberapa catatan yang perlu.
i
RINGKASAN EKSEKUTIF
Gempa dan Tsunami tanggal 26 Desember 2004 telah menimbulkan dampak yang
sangat dahsyat. Bukan saja ratusan ribu jiwa yang melayang dan kerugian materiel yang
tak pernah terbayangkan, tetapi juga menimbulkan puluhan ribu anak yatim piatu.
Dampak utama dari peristiwa ini yang bertalian langsung dengan hukum dan keluarga
adalah munculnya bermacam-macam persoalan di bidang tanah, kewarisan dan
perwalian.
Penelitian ini menemukan bahwa kasus persengketaan hak atas tanah yang terkait erat
dengan situasi pasca Tsunami tampaknya lebih sering diselesaikan pada tingkat
gampong oleh pemuka adat. Hal ini terbukti dengan hampir tidak adanya perkara
tersebut yang masuk ke Pengadilan Negeri (PN) dan Mahkamah Syar’iyah (MS) di
Banda Aceh dan Aceh Besar hingga akhir tahun 2005. Masalah tanah yang diselesaikan
oleh aparat gampong pada umumnya melalui musyawarah antar warga di gampong.
Sayangnya, penyelesaian kasus-kasus tanah dengan cara-cara tersebut masih jarang
sekali didokumentasikan dalam bentuk berita acara yang dapat disimpan sebagai arsip
di kantor gampong.
Dalam bidang kewarisan pasca-Tsunami ini, penelitian ini melakukan analisis lewat tiga
aspek: (1) ahli waris, (2) harta warisan, dan (3) implementasi pembagian warisan oleh
aparat gampong. Posisi dan kedudukan perempuan menjadi fokus sentral dalam
pembahasan dan analisis kasus kewarisan yang menjadi obyek penelitian ini. Salah satu
hal yang penting dikemukakan di sini adalah bahwa penyelesaian perkara kewarisan di
gampong tak jarang hasilnya kurang menguntungkan bagi perempuan, khususnya bila
dibandingkan dengan penyelesaian masalah harta warisan yang ditangani oleh
Mahkamah Syar’iyah. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa baitul mal
gampong belum berfungsi sepenuhnya, khususnya dalam menangani harta warisan yang
tak ada lagi pemiliknya atau ahli warisnya.
Tentang masalah perwalian pasca Tsunami, penelitian ini menemukan bahwa dalam
praktek di gampong kedudukan dan kekuasaan wali seringkali lebih dikonotasikan
dengan jenis kelamin laki-laki. Dengan demikian, perwalian terhadap anak-anak yatim
lebih diprioritaskan kepada laki-laki dari pihak keluarga ayah. Meski begitu, sering
terdapat bahwa pengasuhan anak-anak yatim tersebut berada di tangan perempuan dari
sanak keluarga pihak ibu, sementara pengelolaan harta kekayaan anak yatim dan
pembiayaan sehari-hari anak yatim itu berasal dari wali laki-laki dari sanak keluarga
ayah. Penting dicatat bahwa Mahkamah Syar’iyah berusaha memberi arah baru bagi
ii
praktek yang berlangsung ini dengan menunjuk sebagian besar wali perempuan, apakah
itu ibu kandung, kakak perempuan kandung, tante atau nenek dari yatim itu.
Guna mengatasi berbagai celah kekurangan dalam penyelesaian formal dan informal
masalah tanah, kewarisan dan perwalian pasca-tsunami, seperti yang teridentifikasi
dalam uraian temuan penelitian ini, sejumlah kegiatan sebagai tindak lanjut penelitian
perlu disampaikan di sini. Sebagian kegiatan tindak lanjut itu akan dilaksanakan sendiri
oleh IDLO selama misinya di Aceh, seperti:
• Peningkatan pengetahuan hukum dan kemampuan teknik mediasi aparat
gampong.
• Diseminasi informasi hukum yang berwawasan gender untuk warga masyarakat
• Penyediaan pusat informasi hukum dan paralegal yang dapat memfasilitasi
penyaluran kebutuhan hukum masyarakat.
Beberapa agenda lain yang masih perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan
hasil temuan penelitian ini antara lain adalah:
• Membantu kelengkapan administratif dan peralatan yang dibutuhkan untuk
memaksimalkan peran rapat adat gampong sebagai media alternatif penyelesaian
hukum.
• Membentuk secara resmi lembaga baitul mal gampong yang antara lain dapat
difungsikan sebagai pengawas harta peninggalan yang tidak diketahui lagi ahli
warisnya dan sebagai lembaga pengawas terhadap pelaksanaan kewajiban dan
tanggung jawab wali.
• Mengupayakan secara intensif pendekatan hukum yang bersifat afirmatif untuk
menjamin lebih lanjut penguatan posisi ahli waris perempuan yang
sebatangkara, apakah melalui fatwa MPU ataupun lewat surat keputusan
bersama yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga tingkat propinsi yang terkait.
• Di luar program RALAS, dibutuhkan pula dukungan bagi Mahkamah Syar’iyah
untuk melakukan penunjukan secara formal wali-wali bagi anak-anak yatim
piatu, (jumlahnya kurang lebih 20.000 orang) yang hingga kini belum berada di
bawah suatu perwalian resmi. Atau dapat juga, setelah baitul mal di setiap
gampong terbentuk secara resmi, Mahkamah Syar’iyah menetapkan baitul mal
gampong tersebut untuk menjadi wali bagi anak-anak yatim piatu yang berada di
wilayahnya.
iii
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
V. TEMUAN PENELITIAN............................................................................ 4
A. Pertanahan ............................................................................................. 4
1. Mahkamah Syar’iyah dan Penyelesaian Masalah Tanah .................. 4
a. Lewat Waktu ................................................................................ 5
2. Penyelesaian Masalah Tanah di Gampong ........................................ 6
a. Hukum yang digunakan dalam Penyelesaian Masalah Tanah .... 7
b. Musyawarah Gampong tentang Masalah Tanah .......................... 8
c. Program RALAS .......................................................................... 9
d. Cara Penyelesaian Masalah Tanah .............................................. 12
3. Hak Perempuan atas Tanah ............................................................... 14
a. Perempuan dan Penyelesaian Masalah Tanah di Gampong ......... 15
4. Tanah-tanah yang Pemiliknya Meninggal Sementara Ahli
Warisnya Masih di Bawah Umur ...................................................... 17
5. Tanah-tanah yang Tidak Ada Pemilik atau Ahli Warisnya ............... 18
6. Tanah-tanah Pesisir yang Hilang Akibat Bencana Tsunami ............. 19
7. Tanah-tanah Pinggir Pantai yang Berubah Wujud Permukaannya .... 20
B. Kewarisan ............................................................................................... 22
1. Ahli Waris ......................................................................................... 22
a. Kewajiban Ahli Waris ................................................................. 22
2. Harta Peninggalan ............................................................................. 23
a. Harta Bawaan .............................................................................. 24
b. Harta Bersama ............................................................................. 26
c. Uang Pensiun dan Tabungan Hari Tua ........................................ 29
1) Pegawai Negeri Sipil ............................................................. 29
2) Karyawan Swasta .................................................................. 30
d. Jaminan Kematian ....................................................................... 31
e. Uang Asuransi: Harta Bersama atau Harta Peninggalan? ........... 31
3. Hak Waris Perempuan ....................................................................... 32
iv
a. Anak Perempuan ......................................................................... 32
b. Janda ............................................................................................ 34
c. Cucu Perempuan (patah titi) ....................................................... 36
d. Ibu ................................................................................................ 38
4. Implementasi Pembagian Warisan .................................................... 39
a. Pembagian Harta Warisan dalam Keluarga ................................. 39
b. Penyelesaian Masalah Warisan oleh Aparat Gampong ............... 41
c. Penyelesaian Perkara Waris oleh Mahkamah Syar’iyah ............. 42
C. Perwalian ................................................................................................ 44
1. Cakupan Perwalian ............................................................................ 44
2. Usia Anak di Bawah Perwalian ......................................................... 45
3. Persyaratan Wali ................................................................................ 45
4. Wali Perempuan untuk Pengasuhan dan Harta .................................. 46
5. Penunjukkan dan Penetapan Wali ..................................................... 48
a. Penunjukkan/Penetapan Wali dalam Program RALAS ............... 49
6. Kewajiban dan Tanggungjawab Wali ................................................ 50
a. Pengasuhan Diri Anak Jasmani dan Rohani ................................ 50
b. Pengurusan Harta Benda Milik Anak Yatim ............................... 51
c. Penyerahan Seluruh Harta kepada Anak Yatim di Bawah
Perwaliannya................................................................................. 52
7. Pengawasan Wali ............................................................................... 52
8. Pencabutan Kekuasaan dan Penggantian Wali .................................. 53
VIII. LAMPIRAN
1. Jumlah penduduk sebelum dan sesudah bencana tsunami dalam
enam kecamatan di Banda Aceh dan Aceh Besar
a. Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh ....................................... 59
b. Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh ................................... 60
c. Kecamatan Kutaraja Kota Banda Aceh ....................................... 61
d. Kecamatan Peukan Bada Aceh Besar .......................................... 62
e. Kecamatan Baitussalam Aceh Besar ........................................... 63
f. Kecamatan Lhoknga Aceh Besar ................................................ 64
2. Formulir Bukti Kesepakatan Pewarisan ........................................... 65
3. Matriks Hukum Formal dan Hukum Adat Aceh tentang
Pertanahan ......................................................................................... 66
4. Matriks Hukum Formal dan Hukum Adat Aceh tentang
Kewarisan .......................................................................................... 79
5. Matriks Hukum Formal dan Hukum Adat Aceh tentang
Perwalian ........................................................................................... 95
v
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK
Tabel. 1 ........................................................................................................ 3
Tabel. 2 ........................................................................................................ 5
Tabel. 3 ........................................................................................................ 6
Tabel. 4 ........................................................................................................ 15
Tabel. 5 ........................................................................................................ 16
Tabel. 6 ........................................................................................................ 23
Tabel. 7 ........................................................................................................ 25
Tabel. 8 ........................................................................................................ 25
Tabel. 9 ........................................................................................................ 26
Tabel. 10 ........................................................................................................ 27
Tabel. 11 ........................................................................................................ 28
Tabel. 12 ........................................................................................................ 29
Tabel. 13 ........................................................................................................ 32
Tabel. 14 ........................................................................................................ 43
Tabel. 15 ........................................................................................................ 43
Tabel. 16 ........................................................................................................ 47
Tabel. 17 ........................................................................................................ 50
Grafik. 1 ........................................................................................................ 47
vi
DAFTAR DIAGRAM
Diagram. 1 ...................................................................................................... 12
Diagram. 2 ...................................................................................................... 33
Diagram. 3 ...................................................................................................... 34
Diagram. 4 ...................................................................................................... 35
Diagram. 5 ...................................................................................................... 35
Diagram. 6 ...................................................................................................... 36
Diagram. 7 ...................................................................................................... 38
Diagram. 8 ...................................................................................................... 39
Diagram. 9 ...................................................................................................... 40
Diagram. 10 ...................................................................................................... 42
Diagram. 11 ...................................................................................................... 49
vii
KETERANGAN DIAGRAM KEWARISAN
= Laki-laki pewaris
= Perempuan pewaris
= Hubungan Perkawinan
= Hubungan Persaudaraan
= Hubungan keturunan
viii
I. PENDAHULUAN
Bencana alam Tsunami tanggal 26 Desember 2004 yang menimpa propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam telah menewaskan dan menghilangkan sedikitnya 150
ribu hingga 200 ribu jiwa, menimbulkan kurang lebih 30 ribu anak yatim, dan
mengakibatkan kerugian materil lainnya dalam jumlah yang sangat besar. Sebagai
dampak dari bencana ini, berbagai persoalan dan sengketa hukum di bidang
pertanahan, kewarisan dan perwalian tak pelak bermunculan ke permukaan.
Dalam waktu hampir satu setengah tahun pasca Tsunami, Mahkamah Syar’iyah di
kota dan kabupaten di seluruh Aceh yang dilanda Tsunami telah menyelesaikan
belasan ribu kasus yang meliputi penetapan ahli waris dan penunjukan perwalian.
Jumlah ini tentu saja masih di bawah angka korban yang meninggal akibat Tsunami
yang mencapai ratusan ribu jiwa. Lebih dari itu, perkara-perkara waris dan
perwalian yang diajukan ke depan Mahkamah pada umumnya bersifat volunteer
(permohonan) dan bukannya berbentuk contentious (persengketaan). Mahkamah
Syar’iyah memperkirakan bahwa ke depan angka kasus sengketa akan meningkat,
lebih-lebih jika kasus-kasus tersebut tak dapat diselesaikan melalui musyawarah
keluarga ataupun oleh pemuka adat di gampong.
1
Persoalan tanah, sepanjang tersangkut di dalamnya masalah kewarisan, menjadi kewenangan hukum
Mahkamah Syar’iyah untuk memeriksanya. Lihat Fatwa MPU no. 3/2005 dan Soufyan M. Saleh,
“Pembagian Hak Warisan: Praktek Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam”, makalah
disampaikan dalam Lokakarya Orientasi Pemahaman Harta Bersama, Penentuan Ahli Waris dan
Perwalian dalam Masyarakat Aceh, Banda Aceh, Mei 2005, p. 8.
1
2
2
Lihat misalnya Daniel Fitzpatrick, “Restoring and Confirming Rights to Land in Tsunami-Affected
Aceh,” UNDP/OXFAM Report, 14 July 2005; Daniel Fitzpatrick and Myrna A. Safitri, “Bagaimana
Melindungi dan Memenuhi Hak-Hak atas Tanah Korban Tsunami di Aceh?”, Oktober 2005; “Laporan
Lokakarya Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak Yatim Korban Tsunami sebagai
Prasyarat Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD”, Yayasan Putroe Kandee, Mei 2005; “Lokakarya
Perwalian Perempuan terhadap Harta Anak Yatim Korban Tsunami menurut Syariat Islam dan Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia”, Banda Aceh, September 2005.
3
empat orang narasumber ahli hukum dan sejarah adat Aceh.3 Selain itu, wawancara
mendalam dengan sejumlah hakim Mahkamah Syar’iyah di Banda Aceh dan Jantho
juga ikut melengkapi matriks tersebut.4
Penelitian ini dibatasi hanya untuk dua wilayah, yaitu kota Banda Aceh dan
kabupaten Aceh Besar. Selengkapnya, gampong atau kelurahan yang menjadi target
penelitian ini berjumlah dua belas buah sebagai berikut:
Tabel 1.
3
Wawancara dengan T.I. El Hakimy (26 April 2006), T. Djuned (27 April 2006), Rusdi Sufi (27 April
2006) dan Badruzzaman Ismail (8 Mei 2006).
4
Wawancara dengan hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh (26 April 2006) dan Jantho (27 April
2006).
4
V. TEMUAN PENELITIAN
A. Pertanahan
5
Soufyan M. Saleh, “Pembagian Hak Warisan: Praktek Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh
Darussalam”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Orientasi Pemahaman Harta Bersama, Penentuan
Ahli Waris dan Perwalian dalam Masyarakat Aceh, Banda Aceh, Mei 2005.
5
Tabel 2.
Gugatan Hak Milik dan Kewarisan atas tanah (korban gempa dan gelombang Tsunami)
dapat diajukan ke Mahkamah Syar’iyah dengan penyertaan alat bukti yang sah.
Kewenangan menyelesaikan sengketa hak milik dan kewarisan atas tanah, sengketa nasab
dan mafqud adalah kewenangan Mahkamah Syar’iyah.
a. Lewat Waktu
Pembahasan tentang lewat waktu atau kadaluarsa dalam kaitannya dengan
pemeriksaan yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah cukup relevan pula
untuk dibahas di sini. Menurut Fatwa MPU nomor 2 tahun 2005 yang
dikeluarkan tidak lama sesudah terjadinya bencana Tsunami (7 Februari
2005), “Gugatan hak milik dan gugatan kewarisan atas tanah korban
Tsunami hanya diterima dalam waktu 5 tahun sejak musibah Tsunami terjadi
dan setelah itu dinyatakan lewat waktu (kadaluarsa); sedang bagi anak yang
belum dewasa ketika musibah Tsunami terjadi hak mengajukan gugatan ini
diperpanjang sampai dia berumur 19 tahun.” Substansi butir fatwa MPU
yang menyangkut lewat waktu ini tampaknya tidak seirama dengan
ketentuan formal yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Buku Keempat tentang Pembuktian dan Lewat Waktu. Pasal 1967
dari KUHPer itu berbunyi:
6
Tabel 3.
Semua tuntuan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan,
hapus karena lewat waktu dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan orang yang
menunjuk adanya lewat waktu itu, tidak usah menunjukkan suatu alas hak, dan
terhadapnya tak dapat diajukan suatu tangkisan yang didasarkan pada itikad buruk.
Berkaitan dengan batas lewat waktu ini, tampaknya Mahkamah Syar’iyah akan
lebih mendasarkan diri pada ketentuan formal sebagaimana yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan banding Mahkamah Syar’iyah
Provinsi ketimbang pada fatwa yang dikeluarkan oleh MPU di atas.6 Selain itu,
fatwa merupakan suatu produk hukum yang tidak mempunyai implikasi hukum
yang mengikat, apatah lagi memaksa para hakim untuk mengikutinya.
Tapi fatwa MPU tersebut sesungguhnya bukan faktor yang amat menentukan.
Hal lain yang dapat mempengaruhi masyarakat untuk menyelesaikan persoalan
tanah mereka di gampong adalah fakta bahwa mereka tidak memahami dan
mengetahui secara persis mekanisme pengajuan perkara ke pengadilan.8 Lebih-
lebih, pada umumnya yang menjadi korban Tsunami adalah orang-orang tua,
dan yang selamat hanyalah tinggal anak-anak yang hidup bersama wali dari
keluarga orang tuanya. Anak-anak yang masih di bawah perwalian ini tentu saja
tidak bisa segera menangani persoalan kepemilikan tanah yang merupakan harta
warisan dari orang tua mereka yang meninggal dalam Tsunami. Adapun wali-
6
Diskusi dengan sejumlah Hakim Tinggi Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD (2 Juni 2006).
7
Wawancara dengan panitera PN Jantho (27 April 2006); Wakil Ketua PN Banda Aceh (26 April 2006);
Ketua MS dan panitera MS Banda Aceh (26 April 2006); Ketua MS Jantho (27 April 2006).
8
Lihat draft laporan penelitian yang disiapkan oleh UNDP, Access to Justice in Aceh (Mei 2006).
7
Faktor lain yang tidak kalah penting tentang mengapa penyelesaian masalah
tanah lebih sering dilakukan di gampong adalah sikap dan pemahaman warga
masyarakat bahwa berurusan dengan pengadilan hanya menimbulkan ongkos
yang mahal. Sungguhpun biaya perkara tidak dipungut atas mereka yang
tertimpa bencana Tsunami, ongkos transportasi menuju lokasi pengadilan
(misalnya di Jantho bagi penduduk Aceh Besar yang berdomisili di kecamatan
Lhoknga, Lepung atau Lhoong) bukanlah sesuatu yang murah dan terjangkau
bagi masyarakat kecil yang sudah menderita dan kehilangan harta benda akibat
Tsunami. Hal lain yang juga disebut sebagai alasan warga masyarakat tidak
membawa perkaranya ke pengadilan adalah persepsi mereka bahwa perdamaian
hanya dapat diperoleh lewat penyelesaian hukum di gampong, sementara jika
perkara sudah dimasukkan ke pengadilan maka persoalan benar-salah suatu
kasus yang lebih diutamakan. Selain itu, masyarakat juga menganggap bahwa
hanya orang-orang yang kuat atau pintar dan kaya yang mampu menyewa
pengacara yang akan memenangkan perkara itu.10
Bila diamati secara seksama, proses penyelesaian masalah tanah menurut adat
seperti yang terjadi di beberapa gampong sesungguhnya bersesuaian dengan
ketentuan hukum formal pertanahan. Pasal 18 ayat (1) Peraturan Pemerintah
nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan: “Penetapan batas
bidang tanah yang sudah dipunyai dengan suatu hak yang belum terdaftar atau
yang sudah terdaftar tetapi belum ada surat ukur/gambar situasi atau surat
ukur/gambar situasi yang ada tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sebenarnya,
dilakukan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau
oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik,
berdasarkan penunjukan batas oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan
dan sedapat mungkin disetujui oleh para pemegang hak atas tanah yang
berbatasan.” Selanjutnya, pasal 19 ayat (1) PP 24/1997 menyebutkan: “Jika
dalam penetapan batas bidang tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(1) tidak diperoleh kesepakatan antara pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan dengan pemegang hak atas tanah yang berbatasan, pengukuran
bidang tanahnya diupayakan untuk sementara dilakukan berdasarkan batas-batas
yang menurut kenyataannya merupakan batas-batas bidang-bidang tanah yang
bersangkutan.”
Satu hal yang penting dicatat di sini adalah bahwa amat disayangkan sekali
penyelesaian masalah-masalah tanah lewat musyawarah gampong yang
menghasilkan beberapa keputusan bersama, seperti relokasi tanah, pengurangan
luas tanah dan hibah sebagian tanah, tidak mendapat perhatian administratif
yang sewajarnya. Padahal berbagai keputusan tersebut penting untuk
didokumentasikan dalam bentuk berita acara yang dapat disimpan sebagai arsip
di kantor gampong, karena suatu saat kelak dapat dipergunakan sebagai alat
bukti tertulis jika ada keturunan dari pemilik tanah, atau ahli warisnya, yang
berkeberatan dan mengajukan gugatan ke pengadilan. Sebagai suatu hasil
musyawarah gampong yang telah disetujui bersama oleh seluruh pemilik tanah,
atau ahli warisnya, keputusan itu semestinya mengikat seluruh pihak-pihak
peserta, termasuk anak keturunannya, dalam musyawarah tersebut. Penelitian ini
menemukan bahwa hampir semua gampong yang menjadi obyek penelitian ini
tidak memiliki suatu perangkat dasar administrasi penyelesaian hukum di
gampong. Dengan tidak adanya catatan atas keputusan-keputusan yang sudah
diambil dalam setiap upaya penyelesaian hukum melalui musyawarah gampong,
dikhawatirkan akan membuka celah hukum di kemudian hari yang dapat
mengundang pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk mengambil
keuntungan akibat kelemahan administratif tersebut. Pihak-pihak tersebut
mungkin saja adalah mereka yang tidak menghadiri musyawarah gampong atau
pihak yang merasa dirugikan, baik langsung maupun tidak langsung, oleh
keputusan-keputusan yang dihasilkan dalam musyawarah itu.
(meunasah, rumah warga atau kantor gampong), tetapi lebih sering terjadi di
lapangan khususnya di tempat di mana tanah-tanah yang batas-batasnya akan
ditentukan. Musyawarah ini biasanya dilaksanakan berkali-kali dan memakan
waktu hingga beberapa bulan untuk suatu gampong. Hal ini disebabkan oleh
faktor bahwa penyelesaian masalah tanah tidak dapat hanya diselesaikan satu-
persatu, melainkan juga melibatkan segenap pemilik tanah, atau ahli warisnya,
yang berlokasi bersebelahan batas tanah. Sementara itu, keberadaan para pemilik
tanah, atau ahli warisnya, tidak dapat diketahui dengan pasti. Di antara mereka
ada yang bertempat tinggal di barak-barak di lokasi gampong bersangkutan. Ada
juga sebagian yang menetap di tempat-tempat pengungsian di rumah kerabat
mereka di luar gampong tersebut. Tapi ada pula yang tidak ada lagi kabar
beritanya. Karena itulah, masalah koordinasi dan mobilisasi warga pemilik
tanah, atau ahli warisnya, yang dilakukan oleh aparat gampong sangat
menentukan kelancaran dan keberhasilan musyawarah gampong tersebut.12
Dalam pengukuran batas bidang tanah di lapangan, pemilik tanah, atau ahli
warisnya, hadir bersama-sama dengan pemilik bidang tanah yang bersebelahan,
kepala dusun setempat, tuha peut dan geuchik untuk memastikan patok tanda
batas tanah. Apabila tidak diperoleh kesepakatan antara pemilik bidang tanah
yang bersangkutan mengenai patok tanda batas tanah, maka batas bidang tanah
diukur dan dinyatakan sebagai batas sementara. Dalam hal seorang pemilik
bidang tanah, atau ahli warisnya, berhalangan hadir atau tidak diketahui lagi
keberadaannya, maka patok tanda batas tanah ditentukan berdasarkan
pengetahuan para perangkat gampong yang hadir pada saat itu, dan batas bidang
tanah tersebut dinyatakan sebagai batas sementara.13
Satu hal yang penting dijelaskan juga di sini berkaitan dengan musyawarah
gampong untuk penyelesaian masalah tanah adalah rendahnya ongkos yang
harus dikeluarkan bila dibandingkan dengan penyelesaian masalah tanah ini di
pengadilan. Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan musyawarah gampong
itu lebih banyak berupa ongkos pemanggilan/undangan, konsumsi makanan dan
minuman bagi peserta dan hadirin yang mengikuti musyawarah gampong. Tidak
ada keterangan pasti dari informan mengenai berapa besar rupiah yang
dibelanjakan dalam setiap pelaksanaan musyawarah gampong tersebut. Namun,
yang seringkali terjadi adalah bahwa pembiayaan tersebut ditanggulangi secara
bersama ataupun mendapat dukungan dana dari pihak luar (BPN atau NGO)
yang kebetulan sedang menjadikan gampong tersebut sebagai lokasi garapan
kegiatan mereka.
c. Program RALAS
Penyelesaian soal tanah di gampong dilakukan sebagian besar dengan bantuan
pendanaan World Bank yang diberikan melalui program RALAS
(Reconstruction of Aceh Land and Administration System). Program yang
diselenggarakan bersama oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Badan
Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dan Nias (BRR) ini bertujuan untuk
12
Cukup banyak kasus tanah yang pemiliknya bukanlah warga setempat, melainkan orang-orang yang
bertempat tinggal di luar lokasi tanah itu, seperti. Medan, Jakarta dan sebagainya.
13
Manual Pendaftaran Tanah, h. 24.
10
Dengan berdasarkan kesepakatan itulah, suatu peta dasar gampong yang terdiri
dari bidang-bidang tanah dapat disusun untuk selanjutnya diikuti oleh sistem dan
prosedur pendaftaran tanah oleh BPN. Hasil pendaftaran tanah dan sertifikasi
oleh BPN ini nantinya berguna untuk keperluan pembangunan bantuan rumah
tinggal bagi warga yang terkena bencana Tsunami. Hal ini karena persyaratan
14
Wawancara dengan Saiful Bahri, Geuchik Lamteh, 6 Mei 2006.
11
memperoleh bantuan rumah dari BRR atau NGO lainnya mengharuskan bahwa
tanah yang akan dibangun tersebut tidak memiliki masalah dan sudah memiliki
kelengkapan surat/sertifkat tanah yang dibutuhkan.
Kegiatan pendaftaran tanah yang dilaksanakan oleh BPN di wilayah NAD yang
tertimpa bencana Tsunami memiliki perbedaan dengan aktivitas pendaftaran
tanah sistematik sebagaimana yang biasa dilakukan oleh BPN. Kegiatan
pendaftaran tanah ini mengalami penyesuaian teknis tertentu terutama
menyangkut keterlibatan anggota masyarakat dalam proses penciptaan
kesepakatan atas bidang-bidang tanah dan kepemilikannya. BPN dalam hal ini
lebih banyak berperan sebagai fasilitator dengan memberikan pengakuan hak
atau persetujuan legalitas.15 Penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana proses
penciptaan kesepakatan warga masyarakat atas persoalan tanah dan bentuk
penyelesaiannya akan dibahas dalam bagian berikut.
15
“Manual Pendaftaran Tanah di Lokasi Bencana Tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera
Utara”, h. 7, 17.
12
Diagram 1
1. Relokasi tanah
Gampong Lambung, kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, yang menjadi salah
satu lokasi penelitian ini, adalah contoh yang tepat untuk menggambarkan
bagaimana relokasi tanah terjadi pasca Tsunami. Jumlah penduduk gampong
Lambung sebelum tsunami mencapai 1600 orang dan setelah tsunami jumlah
tersebut berkurang dan tersisa hanya 276 jiwa. Semua penduduk Lambung
yang tersisa itu masih menempati barak-barak hunian sementara dan ada
juga yang tinggal bersama keluarga mereka di luar wilayah gampong
Lambung. Sampai penelitian ini dilakukan, belum ada satupun rumah yang
dibangun kembali. Hal ini terkait erat dengan rencana penataan ulang
gampong Lambung dari keadaan semula gampong tersebut sebelum
Tsunami. Dari peta dasar yang disusun berdasarkan kesepakatan warga dan
sempat diperlihatkan kepada peneliti, tampak bahwa cukup banyak
perubahan peruntukan tanah dan perpindahan lokasi dari tempat asal yang
akan dilakukan di gampong Lambung sesudah Tsunami. Menurut geuchik
Lambung, Zaidi Adan, tipe rumah yang akan dibangun kembali dibuat dalam
bentuk blok-blok dengan tiga tipe antara lain tipe 300 meter, 200 meter dan
150 meter. Setiap blok akan dibatasi dengan jalan seluas yang dapat dilalui
oleh dua kendaraan beroda empat yang berpapasan. Jadi, rumah-rumah di
gampong Lambung yang sebelumnya tidak ada akses jalan akan berubah
menjadi perumahan yang mudah terjangkau oleh kendaraan beroda empat.
Demikian juga, terdapat sejumlah fasilitas umum seperti tempat pendidikan
yang dipindahkan dari posisinya semula yang terletak di tengah pemukiman
penduduk ke pinggir jalan besar yang menghubungkan antara satu gampong
dengan gampong lain di kecamatan Meuraxa.16
bahwa bagi pemilik tanah, atau ahli warisnya, yang memiliki luas tanah
kurang dari 100 atau 150 meter terkadang memperoleh hibah sebagian tanah
dari tetangganya atau dari gampong. Tujuan hibah sebagian tanah ini adalah
agar yang bersangkutan dapat memenuhi kualifikasi sebagai penerima rumah
bantuan, apakah dari BRR ataupun NGO internasional lainnya, yang secara
umum mempersyaratkan suatu jumlah luas tanah tertentu. Dalam hal ini,
lazimnya warga masyarakat tidak menunjukkan keberatan yang berarti untuk
merelakan sebagian kecil tanahnya untuk saudara atau tetangganya.18 Sebab,
suatu kesepakatan akhir mengenai penggunaan dan peruntukkan lahan oleh
pemilik tanah, atau ahli warisnya yang sah, menjadi prasyarat mutlak untuk
penataan ulang dan pembangunan kembali suatu gampong pasca Tsunami.
Untuk menjamin lebih lanjut hak perempuan atas tanah, Keputusan Kepala BPN
nomor 114-II.2005 tentang Manual Pendaftaran Tanah di Lokasi Bencana Tsunami
mengatur beberapa hal sebagai berikut: 20
• Perempuan dapat mendaftarkan tanah dan memperoleh sertifikat hak atas
tanah atas namanya dirinya.
• Untuk tanah yang merupakan harta bersama suami istri maka sertifikat akan
diatasnamakan dua orang tersebut. Tidak hanya atas nama suami saja.
• Janda dan anak perempuan yang memperoleh hak waris atas tanah harus
mendaftarkan hak atas tanah tersebut atas nama dirinya.
• Perempuan pemilik tanah diharapkan dapat hadir dalam muswayarah
gampong untuk membahas rencana pendaftaran tanah.
• Perempuan pemilik tanah harus berada di lokasi di mana tanah miliknya
berada ketika tim ajudikasi akan melakukan pengukuran dan pemetaan.
18
Wawancara Muhammad Yatim, kepala dusun gampong Lambung, 2 Mei 2006
19
Wawancara T. Djuned, 27 April 2006.
20
Manual Pendaftaran Tanah, h. 13-14, 26, 32.
15
Tabel 4.
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. (KHI, 97)
Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang
hidup lebih lama (KHI, 96:1)
Janda mendapat ¼ bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak (KHI, 180)
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat ½ bagian (KHI, 176)
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu
saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat ½ bagian (KHI, 182)
Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia [ibu kandung] mendapat
1/3 bagian (KHI, 178:1)
Tabel 5.
Seorang perempuan (F) adalah korban yang selamat dari bencana Tsunami. Ibu kandungnya
dan seluruh saudara-saudarinya meninggal dunia dalam bencana tersebut, sementara
ayahnya telah meninggal dunia sebelum Tsunami terjadi. Harta berupa tanah yang dimiliki
oleh kedua orang tua F sesungguhnya sudah dibagi-bagikan kepada seluruh anak-anaknya
untuk dibuatkan rumah ketika kedua orang tua F masih hidup. Selain F yang selamat dari
Tsunami, terdapat juga dua orang keponakannya, satu laki-laki dan satu perempuan, yang
masih hidup. Kedua keponakan ini adalah anak-anak kandung dari salah satu adik perempuan
F yang menjadi korban Tsunami. F berkeyakinan bahwa dirinya merupakan ahli waris satu-
satunya yang menerima seluruh harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya dan
saudara-saudarinya yang meninggal dalam bencana Tsunami. Oleh karena itu, pada saat
BPN melalukan proses sertifikasi tanah di gampong, F mengajukan permohonan surat
keterangan kepemilikan tanah kepada geuchik yang isinya menerangkan bahwa semua tanah
warisan yang ada jatuh ke tangan F sebagai satu-satunya ahli waris. Pihak gampong
menolak memenuhi permintaan F dan tidak mau menandatangani Formulir Bukti Kesepakatan
Pewarisan (lihat contoh form dalam lampiran 2). Alasan yang diajukan oleh Geuchik, dan juga
didukung oleh Imam Meunasah, adalah bahwa F hanyalah seorang perempuan dan tidak
dapat bertindak sebagai ahli waris asabah yang menerima atau menghabiskan seluruh harta
peninggalan. Geuchik dan Imam berpendapat bahwa F hanya dapat menerima ½ dari seluruh
luas tanah warisan dan sisanya sebanyak ½ lagi harus diserahkan kepada Baitul Mal
gampong. Sedianya F menyerahkan dua petak tanah yang merupakan harta warisan yang
diterimanya kepada kedua orang keponakan yang masih hidup untuk dibangunkan rumah
buat mereka. Akan tetapi, tindakan F ini pun tidak disetujui oleh aparat gampong. Akibatnya,
hingga penelitian ini dilaksanakan, sertifikasi tanah belum dapat dilakukan atas tanah warisan
yang diterima oleh F. Begitu juga, rumah bantuan yang diperuntukkan bagi kedua keponakan
F belum dapat direalisasikan karena belum ada tindak lanjut atau keputusan yang pasti dan
memuaskan bagi semua pihak.21
Masih ada kasus lain yang cukup relevan dikemukakan di sini yang terjadi antara
sepasang suami istri yang sudah bercerai di gampong Kajhu. Mereka memiliki
sebuah tanah dan rumah yang merupakan harta bersama. Ketika bercerai, istri dan
seorang anaknya tetap menetap di rumah tersebut, sementara mantan suami pergi
tinggal di gampong lain. Akibat Tsunami, rumah itu hancur dan yang tinggal
hanyalah sepetak tanah. Janda dan seorang anak itu selamat dari bencana Tsunami
dan kini menjadi pengungsi di sebuah barak. Mantan suami berkehendak untuk
menjual tanah tersebut dan meminta anaknya untuk menandatangani surat
persetujuan tanpa berkonsultasi atau minta izin mantan istrinya. Janda itu tidak
terima dan pergi menghadap Geuchik dan memohon agar aparat gampong tidak
membantu mantan suaminya melakukan transaksi jual beli tanahnya, karena di
dalam kepemilikan tanah tersebut terdapat haknya separuh bagian. Mantan
suaminya rupanya tidak tinggal diam dan bersikeras meminta aparat gampong
mempermudah urusannya dalam menjual tanah tersebut.22 Sampai penelitian ini
21
Wawancara dengan Geuchik X (1 Mei 2006) dan perempuan F (1 Mei 2006).
22
Wawancara Nazaruddin (7 Mei 2006).
17
selesai, belum diperoleh keterangan lebih lanjut apakah tanah milik sepasang
mantan suami istri di gampong itu berhasil dijual.
Dalam kaitan uraian di atas, perlu kiranya disampaikan di sini bahwa tanah-tanah
yang tidak ada pemilik atau ahli warisnya itu tidak dapat dianggap sebagai ‘Tanah
Terlantar’. Hal ini karena yang dapat dianggap sebagai ‘Tanah Terlantar’, menurut
pasal 3 Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 1998 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar, adalah sebidang “tanah yang dengan sengaja tidak
dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan
tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.” Adapun terhadap tanah yang
sudah dinyatakan sebagai ‘Tanah Terlantar’, maka pasal 15 ayat (1), PP 36/1998, di
atas mengkategorikannya sebagai tanah yang dikuasai oleh Negara.
Hukum Adat Aceh tentang nasib tanah yang tidak ada pemiliknya atau ahli warisnya
tidak banyak berbeda dengan keterangan yang sudah diuraikan di atas. Hukum Adat
Aceh menentukan bahwa terhadap tanah yang dimiliki oleh orang-orang yang tidak
diketahui lagi keberadaannya, termasuk ahli warisnya, pengurusan tanah tersebut
dilakukan oleh geuchik dan perangkat gampong lain, sementara hasil yang diperoleh
dari tanah tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan meunasah dan warga gampong
yang bersangkutan. Tanah-tanah semacam itu dikategorikan sebagai harta baitul
mal. Di sejumlah gampong, di kabupaten Aceh Besar khususnya, pengelolaan tanah-
tanah tersebut diserahkan oleh Baitul Mal kepada seseorang miskin yang tinggal
dalam gampong tersebut. Hasil yang diperoleh seseorang dari pengelolaan tanah
tersebut biasanya dibagi-bagikan juga kepada masyarakat setempat tiap-tiap tahun
dalam bentuk santapan bubur kanji (sajian buka puasa di bulan ramadhan) yang
dberikan kepada orang-orang yang berbuka puasa di meunasah di bulan Ramadhan.
Masyarakat Aceh Besar memberi nama tanah yang tidak diketahui lagi ahli
warisnya itu dengan nama tanoh ie-bu (tanah bubur kanji).24
Dari pengamatan di lapangan terhadap topik yang sedang didiskusikan ini, peneliti
menemukan bahwa pada umumnya Geuchik sudah memahami dengan baik bahwa
23
“Manual Pendaftaran Tanah”, p. 31.
24
Wawancara T.I. El-Hakimy (26 April 2006); Pola Penguasaan, p. 66.
19
tanah yang tidak ada lagi pemiliknya dan ahli warisnya tidak diketahui lagi
keberadaannya, maka tanah tersebut akan dikelola oleh Baitul Mal gampong. Camat
Peukan Bada, Drs. Busra, menyatakan kepada peneliti bahwa “tanah yang belum
ada [diketahui] ahli warisnya, jangan diambil oleh siapapun, tetapi untuk sementara
waktu tanah itu dikelola oleh aparat gampong. Apabila suatu hari ada pihak ahli
waris yang datang dan memiliki bukti-bukti yang otentik, maka tanah tersebut akan
diberikan kepada ahli waris itu”.25
Dalam kaitannya dengan tanah-tanah yang tidak ada lagi pemilik atau ahli warisnya
itu, ada pandangan yang melihat tanah-tanah yang dikuasai oleh Baitul Mal
gampong tersebut merupakan hak/tanah ulayat gampong. Namun, terdapat juga
pendapat lain yang tidak menerima pandangan sedemikian itu, karena bila tanah-
tanah tersebut dianggap sebagai hak ulayat gampong, maka anggota masyarakat
dalam gampong itu bebas meletakkan hak-hak perseorangan atas tanah tersebut,
misalnya: hak garap/pakai (hak useuha), atau hak milik (hak milek). Dengan
demikian, suatu saat tanah-tanah itu dapat dibagi-bagikan atau diperjualbelikan baik
kepada warga gampong itu sendiri maupun kepada orang yang berasal dari luar
gampong itu. Idealnya, tanah-tanah yang tak meninggalkan ahli waris tersebut
merupakan harta agama dan menjadi kekayaan suatu gampong yang diperuntukkan
bagi kesejahteraan warga masyarakat gampong tersebut seperti yang sudah
dipraktekkan selama ini di Aceh.
Terhapusnya kepemilikan hak tanah juga diakui oleh hukum Adat Aceh. Menurut
hukum adat, hak milik atas tanah dapat terhapus karena:
1. Tidak dikerjakan lagi sehingga menjadi terlantar;27
2. Bekas-bekas pembukaan tanah sudah hilang (tanah kebun atau ladang yang
sudah menjadi hutan belukar atau tanah sawah/tambak sudah tidak ada
pematangnya lagi);28
3. Dikikis sungai atau tergenang oleh air laut.29
Sekalipun hak kepemilikan tanah bisa terhapus menurut hukum Adat Aceh, tetapi
hak kepemilikan seseorang atas tanah tersebut bisa timbul kembali di kemudian hari.
Berbeda dari bunyi ketentuan pasal 12, PP 16/2004, di atas yang menafikan
kemungkinan kembalinya hak kepemilikan tanah atas sebidang tanah yang
tenggelam bila timbul kembali, prinsip adat yang pernah berlaku di Aceh Besar
adalah bahwa “tanah yang timbul kembali di bekas tenggelamnya tanah milik
seseorang menjadi hak terdahulu dari orang yang tanahnya tenggelam tersebut.”
Dengan kata lain, terhadap sebidang tanah yang sudah tenggelam dan suatu saat bila
tanah yang tadi hilang tersebut muncul ke permukaan lagi, pemiliknya tetap berhak
memperolehnya kembali.30 Berpatokan pada prinsip adat ini, maka apabila sebidang
tanah yang berada dipinggir pantai dan terendam oleh air laut akibat Tsunami, tetapi
kemudian suatu saat air laut itu kering dan tanah yang tadi tertelan muncul kembali
ke permukaan dan menjadi daratan, maka pemiliknya atau ahli warisnya tetap dapat
memperoleh hak kepemilikan atas tanah tersebut. Penelitian ini tidak menemukan
apakah prinsip adat semacam ini telah diberlakukan terhadap tanah-tanah yang
hilang akibat bencana Tsunami. Tampaknya, perlu dilihat terlebih dahulu apakah
tanah-tanah yang terendam oleh air laut di sejumlah wilayah pesisir Kecamatan
Lepung dan Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, itu telah berubah
keadaannya menjadi daratan kembali atau tidak.
27
Pola Penguasaan, h. 56.
28
Ibid. h. 75.
29
Wawancara T.I. El-Hakimy (26 April 2006).
30
Pola Penguasaan, 53.
21
sampah dan permukaan daratannya telah berubah bentuk menjadi pasir dan lumpur.
Oleh karena itu, menghadapi situasi ini, pemerintah provinsi NAD berinisiatif untuk
melakukan ‘tukar guling’ atau ruislag kepemilikan tanah dengan sejumlah pemilik
tanah, atau ahli warisnya, di lokasi tersebut. Dengan kata lain, pemerintah akan
mengambil alih kepemilikan seluruh tanah-tanah yang terdapat di lokasi bibir pantai
itu dan menggantikannya dengan tanah-tanah di tempat lain milik Negara.
Tawaran pertukaran kepemilikan tanah dari pemerintah itu direspon secara positif
oleh sebagian penduduk gampong Kajhu. Beberapa orang dari mereka kini
dipindahkan kepemilikan tanahnya ke suatu daerah aliran sungai yang sudah
mengering (sekarang menjadi tanah milik Negara), yang terletak di gampong
Panteriek, Kecamatan Lueng Bata, Banda Aceh. Salah seorang korban Tsunami
bernama RK yang bersedia ditukar tanahnya menuturkan kepada peneliti bahwa
tanahnya di gampong Kajhu seluas 350 meter persegi, sementara luas tanah di
gampong Panteriek yang menjadi gantinya hanya terdiri dari 120 meter persegi.
Menurut RK, sisa kekurangan tanah yang luasnya sebanyak 230 meter itu nantinya
akan dibayar oleh pemerintah sebagai kompensasi ganti rugi.31
31
Wawancara dengan informan RK (19 Mei 2006).
22
B. Kewarisan
Kewarisan merupakan salah satu mekanisme peralihan hak kepemilikan atas suatu harta
benda. Di Aceh pasca Tsunami, persoalan kewarisan adalah salah satu masalah hukum
yang membutuhkan penanganan sebaik dan seakurat mungkin. Apalagi dengan jumlah
korban Tsunami yang mencapai lebih dari dua ratus ribu jiwa (meninggal dan hilang),
status seseorang sebagai ahli waris dan hak kepemilikan atas suatu harta warisan
menjadi amat krusial untuk kebutuhan pembangunan kembali Aceh.
Dalam menyajikan hasil penelitian dalam bidang kewarisan pasca-Tsunami ini, fokus
uraian di bawah akan lebih diarahkan kepada empat hal: (1) ahli waris, (2) harta
warisan, (3) hak waris perempuan, dan (4) implementasi pembagian warisan.
1. Ahli Waris
Dalam masyarakat Islam, termasuk pula komunitas suku-suku Aceh, hubungan darah
dan perkawinan dengan pewaris yang meninggal dunia merupakan faktor utama dalam
hal kewarisan. Pada dasarnya hukum formal dan norma adat Aceh tidak banyak berbeda
dalam menentukan siapa-siapa saja yang berhak berkedudukan sebagai ahli waris. Ada
tiga macam ahli waris utama yang diakui oleh hukum formal (KHI pasal 174:1) dan
norma adat Aceh sebagai berikut:
• Jalur laki-laki: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
• Jalur perempuan: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
• Jalur pasangan nikah: duda atau janda
Apabila semua ahli waris primer di atas masih hidup, yang berhak mewarisi hanya anak,
ayah, ibu dan janda/duda.
Kepenganutan agama Islam merupakan syarat penting lainnya bagi seseorang untuk
menerima harta warisan dari seorang pewaris Muslim. Hal ini karena menurut syariat
Islam, perbedaan agama antara satu orang dan orang lainnya, yang walaupun
mempunyai hubungan darah atau tali perkawinan, menjadi halangan untuk saling
mewarisi. Keislaman seseorang diketahui berdasarkan apa yang tertera dalam kartu
identitasnya (KTP) atau melalui pengakuan dan pengamalan ibadahnya sehari-hari.
Hukum adat Aceh juga menyatakan hal yang sama tentang masalah ini. Karena itu, jika
terdapat seorang anak yang terlahir dalam agama Islam kemudian menjadi murtad di
usia dewasa, maka ia tidak dapat menerima harta warisan dari orang tuanya apabila
meninggal dunia. Bahkan, menurut adat, hilangnya hak seseorang untuk mewarisi juga
berimplikasi pada putusnya hubungan silaturrahmi keluarga.
Selain hal di atas, seseorang juga tidak dapat menjadi ahli waris apabila ia dipersalahkan
telah mencoba untuk membunuh atau menganiaya pewaris. Seseorang menjadi
terhalang haknya untuk menerima warisan jika ia dipersalahkan secara memfitnah telah
mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam
dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat (KHI, 173).
Dengan demikian, harta yang ditinggalkan pewaris terlebih dahulu dikurangi dengan
hutang pewaris serta biaya-biaya lain yang perlu dikeluarkan seperti diatur di atas.
Dalam hal ini, mungkin saja terjadi tidak ada lagi harta warisan yang tinggal. Bahkan
bisa jadi hanya hutang-hutang pewaris yang ditinggalkan kepada ahli warisnya tersebut.
Meski begitu, pasal 175:2 KHI dengan tegas telah menerangkan bahwa “tanggung
jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah
atau nilai harta peninggalannya”.
Masalah hutang yang ditinggalkan pewaris, bagi masyarakat Aceh, adalah persoalan
yang serius. Oleh karena itu, pembayaran hutang pewaris biasanya selalu diutamakan
karena dapat membuat malu para ahli waris bila tidak dibayarkan. Di sebuah lokasi
penelitian ini dilakukan, terdapat sebuah kasus kewarisan yang di dalamnya tersangkut
persoalan utang-piutang. Kasus di boks di bawah diajukan untuk menunjukkan betapa
pembayaran utang dalam masyarakat Aceh merupakan masalah yang cukup serius
dalam kaitannya dengan kewarisan.
Tabel 6.
Sepasang suami istri mempunyai dua anak perempuan. Mereka memiliki harta bersama
berupa rumah, tanah dan toko untuk usaha dagang mereka. Istri (E) meninggal dunia
dalam Tsunami. Selain suami (H) dan dua orang anak perempuan yang masih hidup,
terdapat pula 4 orang saudara kandung laki-laki dari E sebagai ahli waris. Semasa
hidupnya, E adalah seorang pedagang yang memiliki satu toko pakaian perempuan yang
terpisah dari suaminya. Bahkan menurut tetangganya, etos kerja E jauh lebih tinggi
dibandingkan suaminya. Walaupun pasangan suami istri tersebut memiliki banyak harta
berupa toko, rumah, dan tanah, hampir semua harta tersebut sudah menjadi agunan
pinjaman di bank. Selain itu, E pun banyak memiliki hutang pada orang lain. Masalah
timbul ketika 4 orang saudara laki-laki dari E menuntut agar H bertanggung jawab atas
semua hutang-hutang E, karena selama ini ada beberapa orang yang datang untuk
menagih hutang E kepada mereka. Keempat orang saudara laki-laki dari E tersebut
meminta agar H menjelaskan semua harta peninggalan dan berapa jumlah hutang-
hutang yang harus dibayar oleh E. H menyanggupi akan membayar seluruh hutang-
hutang tersebut, tetapi tidak bisa dilunasi secara kontan karena modal usahanya akan
habis sehingga membuat H tak dapat meneruskan usaha dagangnya. Persoalan ini sudah
diketahui oleh aparat gampong yang mencoba menyelesaikan masalah ini. Hingga
penelitian ini selesai dilakukan, sudah terbentuk sebuah tim yang ditugaskan oleh
musyawarah gampong untuk mengidentifikasi harta-harta E yang ditinggalkan dan
keseluruhan jumlah hutangnya.
2. Harta Peninggalan
Kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 171d mendefinisikan ‘harta peninggalan’ sebagai
berikut: “harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang
miliknya maupun hak-haknya.” Tidak diperoleh suatu keterangan lebih lanjut dalam
Penjelasan KHI tentang apa yang dimaksud ‘hak-hak’ dalam pasal tersebut, apakah
terbatas pada hak-hak kebendaan atau malah mencakup juga hak-hak non kebendaan
seperti gelar kebangsawanan.
24
‘Harta warisan’ dibedakan dari ‘harta peninggalan’. KHI pasal 171e menerangkan
makna ‘harta warisan’ sebagai “harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.” Di sini terlihat
bahwa pengertian ‘harta warisan’ lebih sempit cakupannya dari konsep ‘harta
peninggalan’ yang mencakup seluruh harta kekayaan milik si pewaris. Harta warisan,
sebagaimana definisi di atas, terdiri dari dua jenis harta yaitu (1) harta bawaan dan (2)
harta bersama. Uraian di bawah akan mencoba menjelaskan masing-masing pengertian
kedua konsep harta tersebut.
a. Harta Bawaan
Harta bawaan adalah semua harta yang dimiliki masing-masing suami dan isteri
sebelum perkawinan dan harta-harta yang didapatkan selama perkawinan dalam bentuk
hadiah, hibah dan warisan dari pihak ketiga sepanjang para pihak tidak menentukan lain
dalam perjanjian perkawinan (UU 1/1974, 35:2). Lebih lanjut, KHI pasal 86 mengatur
bahwa “pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena
perkawinan”. “Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya,
demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya”.
Di Aceh, harta bawaan seperti di atas disebut sebagai hareuta tuha yang dikuasai oleh
masing-masing suami dan isteri.32 Menurut adat Aceh, harta bawaan adalah harta yang
diperoleh suami atau isteri sebelum atau pada saat perkawinan. Harta bawaan dapat
berasal dari pencariannya sendiri, warisan dari orang tua atau kerabatnya, atau dapat
pula berasal dari hibah.33 Dalam masyarakat Aceh Besar, terdapat suatu konsep yang
bertalian dengan harta bawaan milik isteri yaitu areuta peunulang. Areuta peunulang
adalah sebentuk pemberian harta (hibah) oleh orang tua kepada anak perempuan yang
umumnya berupa harta tak bergerak (tanah dan rumah) yang dilakukan di hadapan
geuchik pada waktu peumekleh atau pemisahan anak perempuan karena hendak
membangun rumah tangga yang baru bersama dengan suaminya. Pada saat penyerahan
harta peunulang ini, geuchik biasanya menanyakan berapa banyak harta seorang ayah
yang akan diserahkan kepada anak perempuannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari
kerugian pihak ahli waris anak laki-laki di masa akan datang. Oleh sebab itu, seorang
ayah biasaya bersikap bijaksana mempertimbangkan seluruh kekayaan dan jumlah
anaknya sehingga tidak akan menimbulkan ketidakadilan dalam pembagian harta
kepada ahli waris kelak.34
Seirama dengan bunyi KHI pasal 211 (‘hibah dari orang tua kepada anaknya dapat
diperhitungkan sebagai warisan’), menurut adat Aceh, harta peunulang adalah hibah
yang diberikan oleh pewaris pada masa hidupnya kepada anak perempuan dan dapat
diperhitungkan sebagai bagian dari harta warisan. Pengertian ‘dapat diperhitungkan
sebagai harta warisan’ disini tidak berarti bahwa rumah atau tanah yang sudah diberikan
kepada anak perempuan itu dibagi-bagi kepada ahli waris yang lain, melainkan tanah
atau rumah itu dianggap sepenuhnya sebagai harta warisan untuk anak perempuan itu.35
Bagi masyarakat Aceh Besar, tindakan untuk memperkarakan harta penulang ke
pengadilan merupakan suatu aib yang memalukan karena dianggap mencongkel
32
Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia: Refleksi terhadap Beberapa Bentuk Integrasi
Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh, h. 267.
33
Ibid. h. 217.
34
Ibid. h. 219.
35
Ibid. h. 218-219.
25
kuburan orang tua. Walaupun mungkin ada ahli waris anak laki-laki yang berkeberatan
dengan jumlah harta peunulang yang begitu besar diberikan kepada anak perempuan,
masyarakat Aceh pada umumnya memandang bahwa peunulang yang telah diberikan
sebagai hibah orang tua kepada anak perempuannya tidak dapat dibatalkan. Hal ini
didasarkan pada hadis Nabi saw. yang artinya “Menarik kembali hibah seumpama
anjing yang muntah kemudian memakan kembali muntahannya”.36
Konsep harta bawaan dan peunulang pada umumnya dipraktekkan dengan baik oleh
masyarakat Aceh Besar. Akan tetapi, sebagian di antara mereka memahami bahwa
suami yang masih hidup tidak memiliki hak waris terhadap harta bawaan atau
peunulang milik isteri yang meninggal dalam Tsunami. Dua buah kasus di bawah
merupakan contoh yang dapat mewakili fenomena ini.37
Tabel. 7
Kasus 1
Di gampong Meunasah Balee, seorang suami yang isterinya meninggal dunia dalam
Tsunami tidak diberikan sedikitpun harta bawaan milik isterinya itu oleh ahli waris dari
pihak keluarga isteri. Alasannya, harta bawaan isteri tersebut berasal dari orang tuanya
dan sebagiannya lagi dari perkawinan isteri dengan suami pertamanya yang meninggal
dunia lebih dulu. Apalagi suami kedua ini miskin dan tidak memiliki harta apapun pada
saat menikah dengan istrinya. Suami kedua ini akhirnya melapor kepada Geuchik untuk
meminta bantuannya mendapatkan hak warisnya dari istrinya yang sudah meninggal.
Tabel 8.
Kasus 2
Seorang suami di gampong Meunasah Balee, setelah isterinya meninggal dalam
Tsunami, diusir oleh adik laki-laki isteri dari rumah tempat tinggal mereka dan tidak
mendapatkan hak apapun. Rumah tempat tinggal itu memang merupakan harta
peunulang yang diberikan oleh orang tua isteri kepada anak perempuannya. Akhirnya
suami pulang kembali ke rumah orang tuanya di gampong lain yang juga tertimpa
Tsunami dan di sana ia mendapatkan sebidang tanah milik orang tuanya yang
meninggal dalam Tsunami. Pihak suami mengadukan hal ini kepada Geuchik sekedar
menyampaikan keadaannya dan tidak bermaksud memperpanjang masalah ini, apalagi
dia kini memperoleh tanah warisan dari orang tuanya sendiri untuk dibuatkan rumah
bantuan.
36
Ibid. h. 219-220.
37
Wawancara dengan aparat gampong Meunasah Balee (10 Mei 2006).
26
b. Harta Bersama
Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan merumuskan harta bersama sebagai
“harta benda yang diperoleh selama perkawinan”. Harta bersama ini dapat berupa benda
berwujud atau tidak berwujud. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak
bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga. Adapun harta bersama yang tidak
berwujud dapat berupa hak dan kewajiban. Tanpa persetujuan kedua belah pihak suami
dan istri, harta bersama tidak dibolehkan untuk dijadikan barang jaminan, dijual atau
dipindahkan (UU 1/1974, 36; KHI, 91-92).
Dalam adat Aceh, harta bersama dikenal dengan istilah hareuta sihareukat, yang
pengertiannya tidak jauh berbeda dengan konsep harta bersama menurut hukum positif.
Harta semacam ini dipahami sebagai harta yang dihasilkan bersama suami dan isteri
selama dalam perkawinan dan dikuasai bersama oleh suami isteri. Dalam praktek di
Aceh, pengalihan hak atas harta bersama kepada pihak ketiga cukup ditandangani oleh
suami, sedangkan isteri cukup memberi persetujuan lisan saja. Persetujuan ini biasanya
dinyatakan kepada Geuchik yang menandatangani surat pengalihan hak atas barang
yang tak bergerak di suatu gampong. Seharusnya isteri juga ikut serta menandatangani
surat pengalihan hak atas harta bersama, tetapi dalam praktek, camat selaku Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) percaya kepada Geuchik yang sudah mengetahui adanya
persetujuan isteri.38
Menurut ketentuan hukum formal, harta bersama dibagi-bagi untuk suami dan isteri
apabila terjadi perceraian atau kematian salah seorang pasangan suami isteri. KHI pasal
97 mengatur bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari
harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Apabila
terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih
lama (KHI, 96:1), dan separoh sisanya lagi menjadi harta warisan bagi para ahli waris
termasuk pasangan yang hidup lebih lama itu. Pembagian harta bersama bagi seorang
suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya
kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan
Pengadilan Agama (KHI, 96:2).
Tabel 9.
38
Syahrizal, h. 272-273.
27
Akan tetapi, putusan untuk perkara mafqud seperti dalam tabel di atas kebanyakannya tidak
bertalian langsung dengan masalah pembagian harta bersama. Biasanya penetapan perkara
mafqud yang independen diajukan oleh pihak isteri yang masih hidup untuk keperluan
menikah lagi. Adapun perkara mafqud yang dirangkaikan dengan pengesahan ahli waris
bisa diajukan oleh pihak mana pun, termasuk keluarga jauh dari pihak suami atau isteri.
Menurut ketentuan hukum adat Aceh, harta bersama tidak dibagi selama suami isteri masih
terikat dalam perkawinan. Harta bersama baru dibagi antara suami dan isteri apabila mereka
bercerai, baik cerai hidup maupun cerai mati. Apabila salah satu pihak meninggal dunia
(cerai mati), terlebih dahulu harta bersama dan harta milik pribadi pasangan yang
meninggal dipisahkan. Setelah itu, barulah harta pasangan yang meninggal itu, yang terdiri
dari harta bawaannya dan sebagian dari harta bersama miliknya, difaraidhkan kepada
semua ahli waris yang berhak, termasuk untuk pasangan yang masih hidup.39 Sampai pada
tahap ini, ketentuan adat tidak banyak berbeda dengan peraturan formal. Akan tetapi, cara
pembagian harta bersama dalam adat Aceh agak berbeda dari hukum positif karena terdapat
bermacam-macam model pembagian harta bersama. Syahrizal mengemukakan sedikitnya 6
model pembagian harta bersama di Aceh, yang itu amat ditentukan oleh keadaan saat
berakhirnya perkawinan seperti terdapat dalam kotak di bawah:40
Tabel 10.
Seperti diakui oleh Syahrizal sendiri, cara pembagian harta bersama di atas
memperlihatkan ketidakseragaman di seluruh Aceh, dan hal itu tergantung dari
39
Ibid. h. 274-275.
40
Ibid. h. 275.
28
Pemahaman terhadap konsep harta bersama di kalangan sebagian besar informan yang
ditemui di beberapa gampong dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa mereka
kurang mengerti dengan baik apa yang dimaksudkan dengan harta bersama dalam
perkawinan sepasang suami isteri. Akibatnya, dalam pembagian harta warisan pasca
Tsunami seringkali diketemukan bahwa nama yang tertera di atas kepemilikan suatu
harta benda, baik berupa rekening bank atau sertifikat tanah, yang diperoleh selama
perkawinan, dianggap menjadi patokan untuk menentukan siapa pemilik harta benda
tersebut. Dengan demikian, harta benda dengan kondisi semacam itu, walaupun
diperoleh selama perkawinan, dipandang sebagai milik pribadi dan bukan sebagai harta
bersama.
Dalam banyak kasus yang seluruh anggota keluarga inti (suami, isteri dan anak-anak)
meninggal dunia akibat Tsunami, keluarga pihak isteri pada umumnya dirugikan dengan
berkembangnya pemahaman harta bersama seperti itu. Hal ini karena harta bersama
yang ditinggalkan, seperti tabungan, deposito dan sertifikat tanah, pada umumnya
adalah atas nama suami. Dengan demikian, biasanya pihak keluarga suami lah yang
lebih sering menguasai semua dana-dana tersebut dan mengabaikan hak pihak keluarga
isteri atas harta bersama tersebut. Dalam hal ini, posisi keluarga pihak istri berhadapan
dengan posisi keluarga pihak suami seringkali terlihat tak berdaya. Padahal seluruh
harta peninggalan yang diperoleh setelah berumah tangga itu dikategorikan sebagai
harta bersama, di mana masing-masing pihak keluarga suami dan pihak keluarga istri
berhak untuk bersama-sama memperoleh setengah bagian. Dua kasus yang ditemukan
di Banda Aceh di bawah memperjelas uraian ini.
Tabel 11.
Kasus 1: Harta Bersama di Lambaro Skep
41
Ibid. h. 275-276.
29
Tabel 12.
Kasus 2: Harta Bersama di Lampaseh Kota
F E A C D
B
berasal dari penyisihan delapan persen dari upah bulanan (PP 25/1981, 6). Dari
penjelasan ini, uang pensiun tentunya dapat dikategorikan sebagai harta bersama karena
diperoleh selama perkawinan. Akan tetapi berbeda dari pembagian harta bersama pada
umumnya, uang pensiun akan dibayarkan tunai setiap bulan kepada salah satu dari 3
pihak ahli waris yang ada, yaitu (1) janda/duda dari pegawai yang meninggal dunia
hingga janda/duda itu meninggal dunia atau menikah lagi; (2) anak yatim piatu dari
pegawai yang meninggal sampai anak yatim piatu itu mencapai usia 23 tahun, bekerja
tetap atau menikah; dan (3) ayah atau ibu dari pegawai yang tewas dalam keadaan
masih lajang sampai batas waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan
(UU 40/2004, 41:1, 41:6 dan PP 25/1981, 10:2). Dalam hal ketiga pihak ahli waris
tersebut ikut pula meninggal atau hilang dalam bencana Tsunami, maka uang pensiun
bulanan itu tidak akan dibayarkan kepada kepada ahli waris lainnya (misalnya: saudara
kandung atau paman) di luar tiga pihak ahli waris yang disebutkan di atas. Salah
seorang hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh menuturkan kepada peneliti bahwa
jika masalah semacam ini diperiksa oleh Mahkamah, hakim akan memutuskan sama
seperti ketentuan yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan itu.42
Selain uang pensiun yang diterima setiap bulan oleh ahli waris dari PNS yang
meninggal, ahli waris juga berhak menerima tabungan hari tua yang dibayar satu kali
secara tunai sekaligus pada saat PNS yang bersangkutan meninggal dunia (Penjelasan
PP 25/1981, 9:2; UU 40/2004, 37:1). Akan tetapi, berbeda dengan uang pensiun yang
dibatasi penerimanya hanya pada salah satu dari tiga pihak ahli waris di atas, tabungan
hari tua bagi PNS atau yang kerap dikenal oleh masyarakat sebagai Taspen ini dapat
dibayarkan kepada ahli waris lain di luar tiga pihak ahli waris tersebut (UU 40/2004,
37:4).
Akan tetapi, sebuah peraturan yang baru dikeluarkan (UU 40/2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional) telah mengintroduksi suatu ketentuan yang lebih umum dalam
pasal 37 (4) sebagai berikut: “Apabila peserta meninggal dunia, ahli warisnya yang sah
berhak menerima manfaat jaminan hari tua.” Pengertian ‘ahli waris yang sah’ dalam
pasal tersebut tidak menunjuk langsung siapa-siapa pihak tertentu yang berhak
menerima dana Jaminan Hari Tua atau Taspen. Dengan demikian, dalam hal seluruh
keluarga inti meninggal dunia, seperti yang cukup sering didapati dalam bencana
Tsunami, pihak keluarga suami dan pihak keluarga istri apakah ayah ibu, saudara
kandung, maupun keponakan, dapat juga menjadi ahli waris yang menerima manfaat
42
Wawancara Salahuddin Mahmud, Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, (16 Mei 2006).
43
Keterangan lebih lanjut mengenai Dana Pensiun silakan lihat Undang-Undang nomor 11 tahun 1992
tentang Dana Pensiun; Peraturan Pemerintahan nomor 76 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi
Kerja, dan Peraturan Pemerintah nomor 77 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
31
Jaminan Hari Tua dari karyawan swasta atau Taspen milik seorang PNS yang meninggal
dalam Tsunami itu. Mungkin karena ketentuan ini masih baru (dikeluarkan 2 bulan sebelum
Tsunami terjadi), belum banyak pihak yang mengetahuinya, termasuk aparat gampong.
Karena itu tidak heran bila terdapat Geuchik yang belum dapat menyelesaikan pembagian
dana Taspen antara seorang janda (yang sudah menikah kembali dengan pria lain) dengan
seorang saudara laki-laki suami yang meninggal dalam Tsunami.44
d. Jaminan Kematian
Selain gaji pensiun dan tabungan hari tua, terdapat pula uang santunan kematian yang
diberikan kepada ahli waris dari korban Tsunami yang bekerja di kantor pemerintahan
atau perusahaan swasta. Iuran jaminan kematian ditanggung oleh kantor pemberi kerja.
Adapun besarnya manfaat Jaminan Kematian ditetapkan berdasarkan suatu jumlah
nominal tertentu (UU 40/2004, 45-46). Jaminan Kematian meliputi biaya pemakaman
dan santunan berupa uang tunai. Jaminan Kematian dibayarkan kepada ahli waris
pekerja yang meninggal dunia (UU 3/1992, 13), dengan urutan penerima yang
diutamakan sebagai berikut:
1. janda atau duda;
2. anak;
3. orang tua;
4. cucu;
5. kakek atau nenek;
6. saudara kandung;
7. mertua.45
e. Uang Asuransi: Harta Bersama atau Harta Peninggalan?
Dalam beberapa kasus korban yang meninggal dalam Tsunami, terdapat di antara
mereka yang memiliki polis asuransi jiwa dari berbagai perusahaan asuransi yang
terdaftar. Pembayaran dari perusahaan asuransi jiwa tersebut kepada keluarga korban
Tsunami masih sering menjadi pembicaraan apakah menjadi harta bersama korban
dengan isteri/suaminya ataukah merupakan harta peninggalan dari korban yang
meninggal itu.46 Soufyan Saleh, Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD,
berpendapat bahwa dengan mengacu kepada putusan kasasi yang dikeluarkan
Mahkamah Agung (no. 97/AG/1994) uang asuransi tidak dapat digolongkan sebagai
harta bersama dan tidak pula dapat disebut sebagai harta peninggalan. Dengan
demikian, pembayaran uang pertanggungan asuransi harus mengacu kepada ketentuan
khusus yang mengatur hal tersebut dalam klausula perjanjian Asuransi itu sendiri.47
Putusan kasasi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung di atas sesungguhnya sudah
didahului dua tahun sebelumnya oleh sebuah putusan kasasi yang amar putusannya
sebetulnya tidak banyak berbeda. Kasus di bawah ini dengan jelas menunjukkan bahwa
uang pertanggungan asuransi bukanlah harta bersama dan bukan pula harta peninggalan.
Adapun ringkasan kasusnya sebagai berikut:48
44
Wawancara dengan M. Amin, gampong Meunasah Balee, 10 Mei 2006.
45
Pasca Tsunami, Jamsostek NAD mengeluarkan Edaran yang menambah satu ahli waris penerima selain
tujuh orang di atas, yaitu saudara kandung orang tua. Lihat Rusydi Ali Muhammad, “Permasalahan Tanah
di Aceh Pasca Tsunami”, Makalah Diskusi Bulanan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Banda
Aceh, 17 Juli 2006, h. 9.
46
Saleh, “Pembagian Hak Warisan”, h. 7.
47
Ibid.
48
Kasus ini dikutip secara ringkas dari rubrik Analisis Yurisprudensi, Mimbar Hukum no.18, vol. VI
(1995).
32
Tabel 13.
Tingkat Para penggugat (1 saudara perempuan dan dua saudara laki-laki seibu)
Pertama menggugat janda dan mengklaim bahwa dana dari asuransi jiwa dan
tunjangan kematian yang berasal dari Menteri Agama dan Pemerintah Saudi
Pengadilan Arabia kepada saudara laki-laki mereka (suami dari tergugat) yang
Agama Tapak meninggal akibat musibah terowongan Mina pada saat beribadah haji
Tuan (Aceh merupakan harta warisan. Penggugat meminta Pengadilan Agama
Selatan) memfaraidhkan uang tersebut. Pengadilan Agama menerima gugatan para
Putusan No: penggugat dan membagi harta tersebut: janda mendapat ¼, saudara
29/G/1991/PA- perempuan memperoleh ½, dan dua saudara laki-laki seibu menerima sisanya
TTN (¼).
Tingkat Pengadilan Tinggi Agama menemukan bahwa putusan Pengadilan Agama
Banding Tapak Tuan telah keliru menerapkan hukum; uang dari Menteri Agama dan
pemerintah Saudi bukanlah tirkah (harta peninggalan) dari pewaris, tetapi
Pengadilan donasi untuk seluruh ahli waris yang harus dibagikan sama rata antara
Tinggi Agama penggugat dan tergugat. Adapun uang asuransi dipandang sebagai harta
Banda Aceh bersama dari pernikahan janda dan almarhum suaminya yang harus
Putusan No: difaraidkan untuk seluruh ahli waris menurut ketentuan hukum.
49/1991
Tingkat Mahkamah Agung memutuskan bahwa Pengadilan Tinggi Agama telah
Kasasi keliru menerapkan hukum karena yang dipandang sebagai harta warisan itu
seluruhnya berada dalam kepemilikan janda pada saat pewaris hidup. Karena
Mahkamah itu, uang asuransi dan dana yang diberikan oleh Menteri Agama dan
Agung Pemerintah Saudi tidak dapat dibagi-bagikan di antara ahli waris. Mahkamah
Putusan No: Agung akhirnya memutuskan semua dana itu diserahkan kepada janda.
198K/AG/1992
Mempertimbangkan fokus utama dan tujuan penelitian ini, bagian ini tidak akan
menguraikan semua pihak-pihak ahli waris, tetapi akan membatasi pada ahli waris
berkelamin perempuan saja.
a. Anak Perempuan
Menurut pasal 176 KHI, anak perempuan mendapatkan seperdua bila seorang diri,
dan duapertiga bila mereka jumlahnya berdua atau lebih. Apabila anak perempuan
tersebut bersama anak laki-laki sebagai pewaris, maka bagian anak perempuan
adalah setengah dari bagian anak laki-laki. Norma adat Aceh mengenai hak waris
anak perempuan ini tidak banyak berbeda. Dengan demikian, jika terdapat hanya
seorang anak perempuan ia akan mendapatkan ½ bagian, dan jika 2 orang atau lebih
33
mereka akan mendapatkan 2/3 bagian dari seluruh harta warisan yang ditinggalkan
pewaris. Begitupun, bila anak perempuan itu bersama-sama dengan anak laki-laki,
maka anak perempuan akan menerima ½ bagian dari jumlah yang diterima oleh
anak laki-laki. Tapi pada dasarnya pembagian harta warisan di gampong amat
bergantung pada pertimbangan orang-orang tua adat dan atau persetujuan sesama
anak-anak (laki-laki dan perempuan). Malah dalam adat Aceh, terdapat konsep harta
peunulang, yaitu rumah dan tanah pekarangannya diberikan kepada anak perempuan
pada saat ia menikah, yang salah satu tujuannya adalah untuk perimbangan dari
kekurangan bagian yang diterima oleh anak perempuan dibandingkan dengan anak
laki-laki pada saat pembagian harta warisan sepeninggal pewaris. Melalui konsep
harta peunulang inilah, boleh jadi bagian harta yang diterima oleh anak perempuan
akan lebih banyak dibandingkan dengan harta bagian anak laki-laki.
D A B
merupakan ahli waris yang sah dari harta milik ayahnya yang diterimanya dari
AB.49
Diagram 3.
AB
C D
Situasi yang agak menguntungkan bagi anak perempuan di bawah umur adalah jika
di gampong di mana anak perempuan itu menetap terdapat proses sertifikasi tanah
yang dilakukan oleh program RALAS yang berada di bawah kendali BPN dan
mengikutsertakan Mahkamah Syar’iyah dalam program tersebut. Dalam keadaan
ini, kemungkinan besar anak perempuan tersebut mendapatkan hak penuh atas tanah
yang ditinggalkan oleh orang tuanya, termasuk sertifikat tanah akan diterbitkan atas
nama anak perempuan tersebut. Hal ini karena Mahkamah Syar’iyah dalam
menetapkan perwalian bagi seorang anak di bawah umur di suatu gampong
seringkali juga menginformasikan kepada warga masyarakat dan aparat gampong
bahwa anak perempuan dapat mewarisi seluruh harta peninggalan milik pewaris.
Penting kiranya dicatat di sini bahwa terdapat yurisprudensi di Pengadilan Agama
(Mahkamah Syar’iyah) yang memutuskan untuk menyerahkan seluruh sisa dari
harta warisan yang tidak habis itu (½) kepada seorang anak perempuan, dan tidak
lagi diberikan, misalnya, kepada paman (wali) yang masih hidup.50 Dengan kata
lain, seorang anak perempuan yang sebatangkara dapat menghabiskan seluruh harta
peninggalan pewaris. Yurisprudensi ini jelas bertentangan secara diametral dengan
bunyi pasal 176 KHI yang sudah disebutkan di atas. Tampaknya suatu terobosan
hukum baru (ijtihad) sudah dilakukan dalam praktek khususnya untuk mengatasi
persoalan yang dipandang kurang menguntungkan bagi posisi anak perempuan.
Oleh sebab itu, sebagaimana disampaikan oleh Hasyim Mannan, Ketua Mahkamah
Syar’iyah Banda Aceh, anak perempuan di bawah umur yang ditetapkan
perwaliannya oleh Mahkamah Syar’iyah melalui program RALAS dapat
dicantumkan namanya dalam sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh BPN, sementara
pengelolaan tanah tersebut tetap akan di bawah kontrol wali yang sudah ditunjuk
oleh Mahkamah hingga anak yatim itu dewasa. Hasyim juga menambahkan bahwa
dalam hal terdapat dua orang anak di bawah umur yang berbeda jenis kelamin, laki-
laki dan perempuan, maka bagian tanah untuk anak perempuan adalah setengah dari
bagian anak laki-laki. Perbedaan ukuran luas tanah bagi anak laki-laki dan
perempuan tersebut terlihat dalam sertifikat yang diterbitkan oleh BPN atas nama
mereka masing-masing.51
b. Janda
49
Wawancara dengan Geuchik Meunasah Balee (10 Mei 2006).
50
Wawancara Rafiuddin, Ketua Mahkamah Syar’iyah Jantho (27 April 2006).
51
Wawancara Hasyim Mannan, Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh (26 April 2006).
35
Posisi janda merupakan contoh lain yang tidak jauh berbeda dengan kasus anak
perempuan di atas. Menurut KHI, seorang janda mendapat ¼ bila pewaris tidak
meninggalkan anak, dan mendapat 1/8 bila pewaris meninggalkan anak (KHI, 180).
Selain itu, janda akibat cerai mati juga berhak atas harta bersama sebesar separoh
bagian (KHI, 96:1). Hak janda atas harta peninggalan pewaris menurut adat Aceh
tidak berbeda dengan ketentuan formal dalam KHI itu. Akan tetapi, hak seorang
janda atas harta bersama, menurut adat, besarnya boleh seperdua bagian atau
sepertiga bagian seperti sudah diterangkan di atas dalam pembahasan Harta
Bersama.
C
Pembagian warisan:
Dalam hal janda tersebut tidak mempunyai anak sama sekali, kedudukannya betul-
betul menjadi lemah sekali berhadapan dengan satu-satunya ipar laki-lakinya yang
masih hidup. Di gampong Meunasah Balee, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh
Besar, ditemukan kasus seorang janda dan seorang ipar laki-laki sebagai ahli waris.
Masalah kewarisan ini sudah diajukan kepada Geuchik untuk diselesaikan. Geuchik
kemudian memberikan ¼ bagian dari harta warisan kepada janda karena tidak ada
anak, sedang sisanya yaitu ¾ bagian menjadi milik saudara laki-laki dari almarhum
suami janda tersebut.52 Ilustrasi kasus ini dapat dilihat pada diagram di bawah.
Diagram 5.
A
C B
52
Wawancara dengan Geuchik Meunasah Balee (10 Mei 2006).
36
Sesungguhnya janda tersebut tidak hanya memperoleh ¼ bagian, karena harta warisan
yang ditinggalkan pewaris merupakan harta bersama. Seharusnya janda itu memperoleh
½ dari harta bersama dan ¼ dari harta warisan suaminya yang meninggal (karena mereka
tidak punya anak). Dengan demikian, sebetulnya janda memperoleh total ¾ bagian dari
keseluruhan harta peninggalan, sementara iparnya hanya memperoleh ¼ bagian.
Masih di gampong Meunasah Balee, terdapat kasus janda lain yang berhadapan
dengan ipar laki-lakinya. Dalam kasus ini, pembagian harta warisan sebetulnya
sudah dapat dilakukan secara musyawarah keluarga. Akan tetapi, muncul persoalan
pada harta warisan berupa barang bergerak yaitu kendaraan mobil. Mobil itu ditaksir
harganya sebesar 35 juta rupiah. Janda itu diminta untuk membayar sebesar sepuluh
juta rupiah kepada saudara laki-laki suaminya kalau ia ingin memiliki sepenuhnya
kendaraan tersebut. Tapi janda tersebut tidak mau melakukannya. Setelah mendapat
laporan kasus ini, oleh pihak gampong, janda tersebut akhirnya ditetapkan berhutang
kepada iparnya sebesar 10 juta rupiah dan wajib melunasinya. Janda tersebut tidak
punya pilihan lain dan terpaksa mengusahakan agar mobil itu lekas terjual untuk
dapat melunasi hutangnya.53
Diagram 6.
Keterangan gambar: A B
53
Wawancara Geuchik Meunasah Balee (10 Mei 2006).
37
Melalui putusan kasasi, Mahkamah Agung telah memperlebar ketentuan pasal 185
KHI di atas sehingga mencakup juga kondisi patah titi ke samping (anak dari
saudara).54 Maksudnya, seseorang keponakan, baik perempuan atau laki-laki, yang
orang tuanya meninggal lebih dulu daripada pewaris, dapat menempati posisi orang
tuanya sebagai ahli waris ‘saudara kandung’ dari pewaris. Meskipun sudah terdapat
putusan Mahkamah Agung seperti ini, Mahkamah Syar’iyah NAD tidak berencana
untuk mempraktekkan hal ini di wilayah hukumnya.55
Adapun menurut hukum Adat Aceh, seseorang yang lebih dahulu meninggal dunia
daripada pewaris (ayahnya) tidak dapat digantikan oleh anak perempuan dari orang
yang meninggal tersebut sebagai ahli waris untuk menerima harta warisan dari
pewaris. Hal ini dikenal di Aceh dengan istilah Patah Titi, yang maksudnya adalah
titian yang menyambungkan pewaris dengan cucu perempuannya telah hilang
karena orang tua dari cucu itu meninggal dunia lebih dulu dari pewaris. Oleh sebab
itu, penggantian kedudukan ahli waris, dalam hal ini cucu perempuan menggantikan
ayahnya, tidak dianggap berlaku menurut Adat Aceh. Namun, menurut Teuku
Djuned, guru besar hukum Adat dari Fakultas Hukum Unsyiah, patah titi bukanlah
suatu konsep yang murni berasal dari adat Aceh.56 Sesungguhnya konsep patah titi
berasal dari pengaruh mazhab fikih Syafi’iyah terhadap praktek hukum kewarisan
Islam di Aceh,57 yang lama kelamaan kemudian menjadi norma dan dipraktekkan
dalam adat Aceh dalam kurun waktu yang cukup panjang. Akan tetapi, dalam
praktek adat dewasa ini, biasanya cucu perempuan dari seseorang yang telah
meninggal lebih dahulu dari kakek (pewaris) akan memperoleh bagian bukan
sebagai ahli waris tetapi karena diberikan secara sukarela oleh ahli waris yang lain.
Berkat sosialisasi informasi yang dilakukan oleh para hakim Mahkamah melalui
berbagai kesempatan di tengah masyarakat di Banda Aceh,58 konsep patah titi mulai
ditinggalkan. Akan tetapi, aparat gampong di beberapa tempat di Aceh Besar yang
belum pernah mendapatkan pelatihan dan peningkatan pengetahuan masalah waris
oleh hakim Mahkamah, masih mengamalkan patah titi ketika memecahkan masalah
waris yang diajukan oleh anggota masyarakatnya.
54
Lihat Armia Ibrahim, “Ahli Waris Pengganti Ditinjau dari Aspek Hukum dan Penerapannya dalam
Praktek Peradilan”, Makalah disampaikan dalam Workshop Masalah Faraidh yang dilaksanakan oleh
Yayasan Lamjabat, Banda Aceh, 18-20 Oktober 2005, h. 8.
55
Diskusi dengan Soufyan Saleh, Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, 2 Juni 2006. Lihat juga
Ibrahim, “Ahli Waris Pengganti”, h. 15-16.
56
Tanggapan T. Djuned dalam Workshop Hasil Penelitian IDLO (30 Mei 2006).
57
Ibrahim, “Ahli Waris Pengganti”, h. 7.
58
Misalnya, hakim diundang sebagai narasumber dalam pelatihan peningkatan pengetahuan aparat
gampong tentang masalah waris yang dilaksanakan oleh Yayasan Lamjabat, Oktober 2005.
38
Diagram 7.
B A C
D E F G H I J
K L M N
O P
Dalam diagram di atas, seorang pewaris (A) memiliki 2 orang istri (B dan C) dengan
7 orang anak (D, E, F, G, H, I dan J). Pewaris, kedua orang istrinya dan tiga orang
anaknya (F, G dah H) semuanya meninggal dalam Tsunami, sementara salah
seorang anaknya (D) sudah meninggal dunia sebelum Tsunami terjadi. Yang
menjadi ahli waris atas semua peninggalan milik pewaris adalah E, I dan J,
sementara O dan P terhalang (mahjub) oleh orang tua mereka yang telah menjadi
ahli waris. D tidak dapat menerima warisan dari A karena meninggal dunia lebih
dulu. Berhubung patah titi dianggap telah terjadi dalam kasus ini, Geuchik Lambada
Lhok masih bingung untuk memutuskan apakah akan memberi bagian harta warisan
kepada dua orang cucu (K dan L) dari pewaris atau tidak sama sekali.59
d. Ibu
Pasal 178 (1) KHI menentukan bahwa seorang ibu memperoleh 1/3 dari harta
warisan bila pewaris tidak meninggalkan anak atau dua orang saudara atau lebih,
dan menerima 1/6 dari harta warisan bila pewaris memiliki anak atau dua saudara
atau lebih (KHI, 178:1). Selain itu, pasal 178 (2) KHI juga mengatur bahwa Ibu
mendapat 1/3 dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama
dengan ayah. Dengan demikian, maksimal perolehan harta warisan untuk seorang
ibu hanyalah sepertiga. Yang menjadi masalah adalah jika ibu merupakan satu-
satunya ahli waris yang masih hidup, dan telah mendapatkan bagian maksimalnya
sebanyak 1/3, kepada siapa sisa harta warisan sebesar 2/3 itu akan diberikan?
Sayang sekali, peneliti tidak menemukan adanya kasus semacam ini di lapangan.
Namun, besar dugaan bahwa sisa harta tersebut tidak akan diserahkan kepada ibu
melainkan dikuasai oleh Baitul Mal gampong. Hal ini karena ibu tidak dapat
berfungsi sebagai `asabah yang dapat menerima atau menghabiskan seluruh harta
warisan.
Sebagai ahli waris atas harta peninggalan anak-anaknya, seorang ibu tak jarang
menghadapi masalah khususnya jika anak perempuannya yang sudah menikah
meninggal dunia bersama suaminya dan mempunyai harta bersama dari
pernikahannya sementara anak-anak pun meninggal dalam Tsunami. Masalah yang
dihadapi ibu tersebut adalah pengabaian hak-hak kewarisannya oleh ahli waris yang
lain, khususnya dari pihak keluarga menantu laki-lakinya. Padahal sebagai ahli
waris yang sah, ibu tersebut berhak mendapatkan 1/3, atau 1/6 bila pewaris
mempunyai dua orang saudara atau lebih, dari harta peninggalan (harta bersama dan
59
Wawancara Geuchik Lambada Lhok (9 Mei 2006).
39
harta bawaan) milik anak perempuannya itu. Namun, yang terjadi adalah saudara
laki-laki dari suami anak perempuannya mengambil alih seluruh harta dan tidak
memberikan sedikitpun hak kepada ibu itu. Di gampong Meunasah Balee,
Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, peneliti menemukan kasus seperti
terlihat dalam diagram di bawah:
Diagram 8.
K C B D E F G H
K adalah abang kandung dari C yang menikah dengan B yang merupakan anak
perempuan dari A. K mengambil semua harta peninggalan pasangan suami istri A dan B
dan tidak memberikan bagian apapun kepada A selaku ibu kandung B dan merupakan
salah satu ahli waris yang sah. Saudara-saudari B yang lain (D, E, F, G dan H) yang
selamat dari Tsunami dan berhak juga menerima warisan, sama sekali diabaikan juga
hak-hak kewarisannya.60
60
Wawancara dengan ibu A (10 Mei 2006).
40
pembagian harta warisan secara kekeluargaan itu.61 Pembagian itu biasanya dilakukan
dalam suatu acara kenduri sekaligus doa untuk memperoleh keselamatan, sehingga para
ahli waris yang memperoleh harta warisan akan hidup tenteram dan damai.
Sebagaimana dinyatakan oleh pasal 183 KHI, para ahli waris dapat bersepakat
melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing
menyadari bagiannya. Dalam adat Aceh pun, para ahli waris dapat melakukan
persetujuan tentang besarnya bagian yang diterima masing-masing. Pada umumnya
pembagian warisan antara ahli waris dilakukan secara musyawarah antara para ahli
waris. Antara anak laki-laki dan anak perempuan membagi secara sama dan tidak
diperhitungkan jumlah nilainya (harga), melainkan secara innatura. Rumah dan
pekarangan untuk anak perempuan, sedangkan anak laki-laki diberikan sawah dan
ladang, ternak, toko di pasar atau sumber penghasilan lainnya. Apabila ditaksir
harganya, kemungkinan harta rumah yang diperoleh anak perempuan lebih besar karena
mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi. Akan tetapi, anak laki-laki umumnya
tidak membantah hal ini, karena adalah suatu keaiban bagi mereka apabila saudara-
saudara perempuan mereka tidak mempunyai tempat tinggal atau menumpang di rumah
orang lain.62
Penyelesaian masalah kewarisan secara damai di atas lebih dikehendaki oleh semua
pihak karena tidak menimbulkan pembiayaan yang tinggi dan membawa kemudahan
dalam implementasi pembagian harta untuk para ahli waris. Sebuah kasus dari gampong
Lamteh (lihat diagram) kiranya relevan untuk diketengahkan di sini untuk menunjukkan
bagaimana pembagian harta waris yang berlangsung secara damai.
Diagram 9.
C D A B
E F
A dan B adalah sepasang suami istri yang meninggal dunia dalam Tsunami. A
meninggalkan seorang anak perempuan (F) dan saudara laki-laki (C) sebagai ahli waris.
Sementara itu, D seorang saudara laki-laki dari A juga meninggal dalam Tsunami dan
meninggalkan seorang anak laki-laki (E). Menurut ketentuan hukum Islam dan juga adat
Aceh, C berhak untuk menerima harta warisan yang ditinggalkan oleh A (saudara laki-
lakinya) apalagi cuma terdapat seorang anak perempuan sebagai ahli waris. Akan tetapi,
C tidak mengambil sedikitpun dari harta peninggalan A dan menyerahkan semuanya
kepada F. Dalam pandangan adat, E dapat bertindak sebagai wali bagi F jika kelak akan
melangsungkan pernikahan. Oleh karena itu, kepada E ditawarkan juga bagian dari
harta peninggalan A, tetapi E menolak dan memilih untuk menyerahkan semua harta
warisan kepada sepupunya (F).63
61
Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, Depdikbud Atjeh, 1970, h. 100.
62
Ibid. h. 102.
63
Wawancara Geuchik Lamteh (6 Mei 2006).
41
Akan tetapi, patut dicatat di sini bahwa terdapat inisiatif penting yang dilakukan oleh
Geuchik gampong Kajhu mengenai hak anak perempuan terhadap harta peninggalan
orang tuanya. Berbeda dari kebanyakan gampong yang mempraktekkan hukum waris
yang berlaku umum, di mana seorang anak perempuan hanya mendapatkan ½ harta
warisan, Geuchik Kajhu membuat keputusan luar biasa bersama aparat gampong
lainnya dan tokoh masyarakat dalam sebuah musyawarah yang memutuskan bahwa
anak perempuan tunggal itu berhak memperoleh semua harta peninggalan orang tuanya.
Dalam kasus itu, anak perempuan yang dimaksud masih berusia 17 tahun dan berada di
bawah perwalian. Pihak wali pun tidak berkeberatan dengan keputusan musyawarah
gampong itu dan membiarkan anak perempuan tersebut untuk mengurus sendiri harta
warisan miliknya.66
Seperti sudah pernah diuraikan di muka bahwa karakteristik hukum adat adalah
penyelesaian perselisihan dengan cara damai melalui kesepakatan kedua belah pihak.
Prinsip ini amat dihormati dan lebih sering diimplementasikan oleh aparat gampong
dalam pembagian harta warisan, walaupun penentuan hak bagian untuk masing-masing
64
Wawancara Geuchik Kajhu (7 Mei 2006); Imam Meunasah Lampaseh Kota (3 Mei 2006); Geuchik
Lambung (2 Mei 2006); Geuchik Cut Lamkuweuh (1 Mei 2006).
65
Wawancara Geuchik Cut Lamkuweuh (1 Mei 2006); Geuchik Lamteh (6 Mei 2006); Geuchik Mon
Ikeun (7 Mei 2006);
66
Wawancara Geuchik Kajhu (7 Mei 2006).
42
ahli waris akan berbeda dari apa yang sudah ditentukan oleh hukum formal maupun
syariat Islam. Di gampong Lamteh, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar,
ada sebidang tanah yang dibeli oleh sepasang suami isteri. Suami isteri ini beserta
anaknya meninggal dunia dalam bencana Tsunami. Ahli waris yang masih hidup adalah
seorang saudara laki-laki dari isteri dan ibu kandung dari suami, seperti terlihat dalam
diagram di bawah.
Diagram 10.
E B A
C D
Seharusnya, ibu kandung suami (F) menerima 1/3 dari harta warisan dan saudara laki-
laki (E) menerima seluruh sisanya (2/3). Akan tetapi, Geuchik Lamteh mengambil
inisiatif untuk membagi dua harta peninggalan para pewaris untuk masing-masing ahli
waris. Dengan demikian, baik E dan F masing-masing akan menerima ½ dari
keseluruhan luas tanah. Kedua pihak (E dan F) menyetujui petunjuk Geuchik dan
akhirnya mengakhiri persoalan itu secara damai.67
Hal terakhir yang penting dicatat di sini adalah tentang kemampuan Geuchik dalam
menyelesaikan masalah-masalah hukum pasca Tsunami. Agaknya Geuchik yang baru
diangkat setelah bencana Tsunami atau masih berusia muda kurang memiliki
pengetahuan yang dibutuhkan untuk menangani masalah-masalah hukum pasca
Tsunami. Minimnya pengalaman yang dimiliki Geuchik baru itu turut mempengaruhi
kemampuan mereka dalam menerapkan hukum secara tepat. Sedangkan Geuchik yang
sudah terangkat sejak sebelum Tsunami, apalagi mereka yang telah puluhan tahun
menjabat sebagai Geuchik, mempunyai wawasan dan pengetahuan yang cukup baik
untuk menyelesaikan masalah-masalah yang muncul di gampong.
67
Wawancara Geuchik Lamteh (6 Mei 2006).
43
Sampai penelitian ini selesai dilakukan di Banda Aceh dan Aceh Besar, sengketa
kewarisan yang diperiksa oleh Mahkamah Syar’iyah di dua lokasi tersebut boleh
dibilang dapat dihitung dengan jari. Perkara kewarisan yang terlihat dalam kolom
sebelah kanan di atas sebagian besarnya tidak berkait dengan perkara waris pasca
Tsunami. Pada umumnya, perkara waris tersebut melibatkan orang-orang yang berada
di luar bencana Tsunami dan diajukan sebelum Tsunami terjadi. Sengketa kewarisan
yang berkaitan dengan bencana Tsunami baru mulai muncul satu-satu di awal tahun
2006. Pada saat penelitian ini dilaksanakan, perkara sengketa kewarisan tersebut masih
dalam tahap awal proses pemeriksaan dan belum ada yang mencapai tahap akhir, yaitu
pembacaan hasil keputusan oleh majelis hakim.68 Sebuah perkara sengketa kewarisan
68
Wawancara Ketua MS Banda Aceh (26 April 2006); Ketua MS Jantho (27 April 2006).
44
antara ahli waris (anak perempuan vs. paman) di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh
malah berakhir dengan perdamaian, setelah majelis hakim berhasil membujuk pihak-
pihak yang bertikai itu untuk berdamai.69
Minimnya sengketa kewarisan yang diperiksa oleh Mahkamah Syar’iyah adalah akibat
hampir seluruh masalah waris dicoba diselesaikan terlebih dahulu oleh aparat gampong.
Sesungguhnya masih cukup banyak masalah waris yang tak dapat ditangani dengan baik
oleh gampong, dan oleh karena itu, pihak-pihak yang terkait, khususnya perempuan,
tidak puas dengan penyelesaian yang dilakukan oleh Geuchik atau Imam Meunasah.
Akan tetapi, walaupun tidak puas dengan keputusan yang dibuat oleh aparat gampong,
pihak-pihak yang dirugikan itu pada umumnya tidak mengerti jalur dan mekanisme
untuk mencari keadilan di lembaga-lembaga formal,70 sehingga akhirnya mereka
cenderung apatis seolah-olah menerima nasib.
C. Perwalian
Perwalian bagi anak-anak yatim piatu di Aceh pasca Tsunami adalah suatu persoalan
yang cukup pelik. Hal ini bukan saja terkait dengan pemeliharaan dan pengasuhan anak-
anak yatim tersebut, tetapi juga menyangkut status harta benda yang ditinggalkan oleh
orang tua mereka. Selain itu, masih terdapat berbagai persoalan lainnya yang bertalian
dengan perwalian, antara lain pemahaman terhadap konsep perwalian dalam masyarakat
Aceh, masih minimnya jumlah wali yang ditunjuk atau ditetapkan lewat mekanisme
hukum formal, dan realitas pelaksanaan perwalian di lapangan yang belum sesuai
sepenuhnya dengan peraturan perundang-undangan.
Uraian di bawah mencoba menjelaskan ketentuan formal dan prinsip adat Aceh tentang
perwalian, dan melihat bagaimana berbagai ketentuan dan prinsip tersebut berlangsung
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh pasca Tsunami.
1. Cakupan Perwalian
Beberapa ketentuan formal, seperti pasal 50 (2) Undang-Undang Perkawinan dan pasal
107 (2) KHI, menyatakan bahwa perwalian itu mencakup pribadi anak yang
bersangkutan dan harta bendanya. Adat Aceh tidak berbeda mengenai cakupan
perwalian ini. Akan tetapi, perwalian resmi yang mencakup kedua hal tersebut (diri dan
harta) tidak banyak terjadi di Aceh pasca Tsunami, khususnya karena terdapat
kecenderungan bahwa perwalian formal pada umumnya dilakukan hanya untuk anak
yatim yang memiliki harta warisan. Sementara itu, anak-anak yatim yang miskin dan
tidak mempunyai harta warisan dari orang tuanya, penunjukkan atau penetapan wali
bagi mereka secara resmi oleh pengadilan seringkali kurang mendapat perhatian dari
sanak kerabat terdekat dari anak yatim tersebut. Minimnya perhatian terhadap proses
administrasi perwalian bagi anak yatim yang miskin tampaknya berhubungan erat
dengan keberadaan harta warisan yang dimiliki oleh anak yatim. Agaknya, harta
warisan yang dimiliki oleh anak yatim tak jarang menjadi motivasi bagi seseorang untuk
mencalonkan diri sebagai wali.
Patut diungkap di sini adalah fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) nomor 2
tahun 2005 (1) yang substansinya secara hukum tidak mempunyai dampak apa-apa. Tak
lama sesudah Tsunami melanda Aceh, pada bulan Februari 2005, MPU mengeluarkan
69
Wawancara Hafidah Ibrahim, Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh (16 Mei 2006).
70
Lihat draft laporan UNDP Access to Justice (Mei 2006).
45
fatwa yang mendorong agar anak-anak yatim piatu mendapat perhatian umat Islam.
Fatwa itu berbunyi, “Hukum memelihara anak yatim adalah fardhu kifayah atas umat
Islam.” Fatwa ini sesungguhnya menginginkan agar perwalian atas anak yatim tidak
dilakukan pandang bulu karena lebih mempertimbangkan harta warisan anak yatim
tersebut. Sayangnya, fatwa tersebut tidak secara jelas menyebutkan agar pemeliharaan
anak yatim tersebut harus melalui penetapan perwalian resmi oleh pengadilan. Fatwa
MPU nomor 3 tahun 2005 yang dikeluarkan pada bulan April 2005 tampaknya
bermaksud merevisi fatwa sebelumnya. Fatwa ini menyatakan “Anak yatim yang tidak
ada lagi wali nasab, atau washi dapat ditetapkan pengasuhannya oleh Mahkamah
Syar’iyah dengan biaya dari Baitul Mal kalau anak tersebut tidak memiliki biaya hidup
dan Mahkamah Syar’iyah berkewajiban mengawasi pelaksanaannya.” Melalui fatwa
yang terakhir ini, MPU menekankan perlunya perwalian dilakukan secara formal.
Hukum adat Aceh tidak menggunakan batas umur untuk menentukan kapan perwalian
bagi seorang anak akan berakhir. Usia anak yatim di bawah perwalian, menurut adat
Aceh, lebih berpatokan pada saat anak tersebut telah menikah. Hal ini mungkin terkait
dengan bunyi Qur’an (An-Nisa: 6), “Ujilah (peliharalah) anak yatim itu sampai mereka
cukup umur untuk kawin.” Selain itu, adat juga menggunakan tanda-tanda fisik
(kematangan fisik), biologis, mental dan mampu mandiri dalam masyarakat sebagai cara
untuk menentukan kapan seorang anak tidak membutuhkan perwalian lagi.
3. Persyaratan Wali
Seorang wali sedapat-dapatnya berasal dari keluarga anak yatim itu sendiri. Jika tidak
ada dari sanak keluarga terdekat, orang lain di luar keluarga anak yatim itu dapat pula
bertindak sebagai wali. Persyaratan penting bagi seseorang untuk menjadi wali adalah
sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik (UU 1/1974, 51:2).
Wali tidak selalu merupakan individual perorangan, tetapi boleh juga merupakan suatu
badan hukum (KHI, 107:4; UU 23/2002, 31:3, 33:1). Badan hukum ini dapat berupa
yayasan, lembaga pemerintah, atau organisasi masyarakat. Ketentuan lebih lanjut
46
mengenai badan hukum yang dapat berfungsi sebagai wali ini tidak diatur lebih rinci
persyaratannya dalam peraturan perundang-undangan terkait. Namun, untuk konteks
Aceh pasca Tsunami, Baitul Mal yang terdapat di gampong dapat menjadi badan hukum
yang ditunjuk sebagai wali.71
Persyaratan lain yang perlu disebutkan disini adalah keharusan seorang wali seagama
dengan agama yang dipeluk oleh anak yatim. Hal ini berdasarkan pasal 31 (4) UU
nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa “perseorangan
yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus
seagama dengan agama yang dianut anak yang akan diasuhnya”, dan pasal 33 (3) UU
Perlindungan Anak yang berbunyi, “wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) agamanya harus sama dengan agama yang dianut anak.” Dengan demikian,
dalam konteks Aceh pasca Tsunami, anak-anak yatim piatu korban Tsunami yang
beragama Islam tidak dapat diasuh oleh seorang wali yang beragama selain Islam.
Dalam adat Aceh, seorang wali sedapat mungkin diambil dari pihak keluarga ayah
(wali), sementara pemeliharaannya biasanya diserahkan kepada pihak karoeng
(keluarga ibu) karena secara emosional mempunyai hubungan yang dekat dengan anak.
Jika wali dari pihak ayah tidak ada maka barulah diambil dari karoeng (keluarga ibu),
walaupun sebutan wali tidak dikenakan kepadanya. Hal ini terkait dengan pemahaman
wali dalam masyarakat Aceh yang memandang bahwa wali pada umumnya berjenis
kelamin laki-laki. Adapun mengenai perempuan apakah dapat menjadi wali menurut
aturan formal dan praktek dalam masyarakat Aceh akan dibahas pada bagian di bawah
ini.
Dalam praktek di tengah masyarakat Aceh, seorang wali mesti berjenis kelamin laki-
laki. Hal ini terkait dengan konsepsi wali dalam hukum adat Aceh yang seringkali
dipahami sebagai wali nikah dan harta sekaligus, dan tidak dipisah-pisahkan. Oleh
karena itu, berhubung wali nikah selalu berjenis kelamin laki-laki, maka demikian pula
laki-laki harus bertindak sebagai wali harta. Praktek perwalian yang ditemukan oleh
peneliti di gampong pada umumnya mempercayakan kepada pihak laki-laki untuk
bertindak sebagai wali atas anak-anak yatim. Meskipun demikian, dalam keadaan
tertentu dimungkinkan juga perempuan, misalnya ibu kandung, berfungsi sebagai wali
harta untuk anak-anaknya yang telah yatim. Bahkan, menurut Ketua Majelis Adat Aceh,
71
Armia Ibrahim, “Perwalian Anak menurut Hukum Islam dan Hukum Positif”, makalah disampaikan
dalam Workshop Faraidh III yang diselenggarakan oleh Yayasan Lamjabat, Banda Aceh 8-10 April 2006.
47
Badruzzaman Ismail, perempuan (ibu) dianggap cakap hukum dan berwenang untuk
bertindak sebagai wali bagi anak-anak yang masih kecil, untuk mengawasi, mengurus
dan memanfaatkan harta yang ditinggalkan suaminya untuk kepentingan anak-
anaknya.72
Berbeda dengan yang lazim terjadi di gampong, dalam praktek pengadilan (Mahkamah
Syar’iyah), perempuan telah ditetapkan sebagai wali bagi anak yang masih di bawah
umur. Dalam beberapa kasus penunjukkan/penetapan wali di Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh dan Mahkamah Jantho, terdapat jumlah wali perempuan yang cukup
signifikan yang telah ditetapkan oleh kedua pengadilan itu. Wali perempuan ini
sebagian besar adalah kerabat dekat dari anak yatim, misalnya kakak sulung perempuan,
bibi atau nenek dari pihak ibu. Tabel di bawah menginformasikan jumlah kasus
penunjukan/penetapan wali dan jumlah wali perempuan yang ditetapkan oleh
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh pada kurun waktu Januari 2005-Maret 2006 dan
Mahkamah Syar’iyah Jantho dalam periode Januari 2005-Desember 2005.73
Tabel. 16.
PENUNJUKAN WALI
PENGADILAN
WALI PEREMPUAN
MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH 192 67
MAHKAMAH SYAR’IYAH JANTHO 51 33
TOTAL 243 100
Grafik 1.
Mahkamah Syar'iyah Banda Aceh Mahkamah Syar'iyah Jantho
Januari 2005-Maret 2006 Januari 2005-Desember 2005
Wali
Perempuan
35% Wali
Wali
Perempuan
Laki-laki
52%
Wali 48%
Laki-laki
65%
Penetapan atau penunjukan perempuan untuk bertindak sebagai wali oleh pengadilan
lambat laun akan membentuk persepsi di tengah masyarakat Aceh yang pada akhirnya
akan menerima kehadiran perempuan sebagai wali untuk pengasuhan anak yatim dan
hartanya sekaligus.
72
Badruzzaman Ismail, “Wali Perempuan dari Aspek Hukum Adat di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Perwalian Anak yang diselenggarakan secara
bekerjasama antara Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, Yayasan Putroe Kande dan Unifem, Banda
Aceh, 9-11 September 2005.
73
Data yang diperoleh dari Mahkamah Syar’iyah Jantho untuk periode tahun 2006 belum dapat diolah
dengan baik karena kasus penetapan ahli waris ada yang digabung dengan penunjukkan wali.
48
Dalam hal tidak adanya wasiat penunjukan oleh orangtua yang sudah wafat tentang
siapa yang akan menjadi wali bagi anaknya, pengadilan dapat menunjuk atau
menetapkan seseorang untuk menjadi wali berdasarkan permohonan yang diajukan oleh
calon wali itu sendiri (Penjelasan UU 7/1989, 49:2). Begitupun, pengadilan dapat
menunjuk atau menetapkan seseorang atau badan hukum sebagai wali bagi anak apabila
orang tua anak tersebut tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui
tempat tinggal atau keberadaannya (UU 23/2002, 33:1). Dalam hal anak belum
mendapat penetapan pengadilan mengenai wali, maka harta kekayaan anak tersebut
dapat diurus oleh Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain yang mempunyai
kewenangan untuk itu. Pengurusan harta ini pun memerlukan penetapan pengadilan
(UU 23/2002, 35:1-3).
Menurut adat Aceh, penetapan dan penunjukan wali dapat dilakukan berdasarkan
kesepakatan keluarga dengan sepengetahuan orang-orang tua atau tuha peut gampong.
Proses penetapan wali di gampong ini berlangsung secara informal dan tanpa ada
catatan yang memadai. Dalam pelaksanaan perwalian itu, seorang wali selalu diawasi
oleh anggota masyarakat yang tinggal di lingkungan sekitarnya apakah ia telah
memelihara anak dan mengurus harta yang berada dalam perwaliannya dengan baik.
Apabila wali tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik, maka anggota masyarakat
atau Geuchik akan menegur, dan bahkan dapat mengantikannya dengan orang lain
untuk menjadi wali. Tentang penggantian wali ini akan dibahas lebih lanjut nanti pada
bagian berikut.
Kendati terdapat suatu proses penetapan dan penunjukan wali di gampong, bukan
berarti semua proses perwalian di tengah masyarakat dilakukan secara terbuka. Tak
jarang ditemui ada perwalian yang dilaksanakan tanpa didahului oleh sebuah pertemuan
keluarga ataupun konsultasi dengan pihak aparat gampong. Orang yang bersangkutan
berinisiatif sendiri untuk menjadi wali dan memelihara anak yatim piatu yang masih
tergolong kerabatnya dan menguasai seluruh harta warisan milik anak itu. Bagi
sebagian, perwalian agaknya dipandang sebagai urusan pribadi keluarga tanpa perlu
diketahui oleh aparat gampong. Kasus di gampong Ajun, Kecamatan Peukan Bada,
Kabupaten Aceh Besar, seperti terlihat dalam diagram di bawah, merupakan ilustrasi
yang pas tentang fenomena ini.
49
Diagram 11.
H G F E D A B
A dan B adalah sepasang suami istri yang meninggal dunia dalam Tsunami. C adalah
anak laki-laki dari AB yang masih berusia 5 tahun. C kini tinggal dipelihara oleh D,
salah seorang pamannya yang paling tua. D juga menguasai seluruh harta warisan milik
C. Menurut Geuchik, D tidak pernah meminta untuk dibuatkan surat penetapan
perwalian dari gampong atau surat pengantar ke Mahkamah Syar’iyah untuk memohon
penetapan pengadilan sebagai wali terhadap diri dan harta milik C. Saudara-saudara D
yang lain, yaitu E, F, G dan H, menuntut harta anak yatim, yang juga adalah keponakan
mereka, agar dikelola secara transparan sehingga mereka pun mengetahuinya. Geuchik
sudah berupaya memanggil semua kakak beradik ini untuk duduk bersama dan
bermusyawarah mengambil kata sepakat tentang perwalian keponakan mereka.
Sayangnya, upaya Geuchik ini gagal karena mereka tidak mau memenuhi undangan
itu.74
Kasus perwalian di atas cenderung beresiko merugikan kepentingan anak yatim kelak,
apalagi bila anak yatim itu mempunyai harta warisan yang cukup banyak dari almarhum
orang tuanya. Tanpa adanya penetapan pengadilan yang resmi dan mengikat ataupun
penunjukan wali yang diketahui dan diawasi oleh aparat gampong, dikhawatirkan harta
kekayaan si anak yatim suatu hari akan habis dibelanjakan atau diselewengkan oleh wali
yang tak bertanggung jawab.
Penetapan wali yang dilakukan Mahkamah Syar’iyah dalam program RALAS ini
berlangsung di luar gedung pengadilan. Biasanya persidangan itu dilangsungkan di
kantor gampong/kelurahan atau meunasah yang terdapat di suatu gampong. Untuk
penetapan wali ini, masyarakat dibebaskan dari pembayaran biaya perkara. Pada
umumnya perkara ini berlangsung singkat dengan menghadirkan calon wali dari anak
74
Wawancara Geuchik Ajun (10 Mei 2006).
50
Sampai bulan Maret 2006, atau hingga penelitian ini selesai dilakukan, Mahkamah
Syar’iyah Banda Aceh dan Jantho sudah menyelesaikan perkara penetapan perwalian di
bawah program RALAS sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah.
Tabel. 17
Menurut Fakri Karim, salah seorang program officer UNDP yang terlibat langsung
dalam program RALAS ini, sedikitnya terdapat 14 orang perempuan yang ditunjuk
sebagai wali dari 66 kasus perwalian anak yatim yang sudah diselesaikan oleh
Mahkamah Syar’iyah di bawah program RALAS hingga bulan Mei 2006.76
Lazimnya anak yatim dipelihara dan bertempat tinggal di rumah milik wali. Akan tetapi,
hal ini bukanlah suatu ketentuan yang berlaku secara umum, terutama di Aceh. Dalam
75
Wawancara Rafiuddin (27 April 2006).
76
Lihat catatan Fakri Karim, “The Existence of ‘Peureumoh’ in Housing Rehabilitation and
Reconstruction Through Community Base After Tsunami Disaster in Aceh’. h. 5.
51
beberapa kasus perwalian yang ditemui oleh peneliti di lapangan, tampak bahwa
pengasuhan diri anak tidak selamanya langsung ditangani sendiri oleh wali, melainkan
dilakukan oleh anggota keluarga lain yang juga masih merupakan kerabat anak yatim di
bawah perwalian itu. Bagi masyarakat Aceh, dalam konsep perwalian terdapat dua
aspek yang mungkin dapat dipisahkan, yaitu pemeliharaan anak yatim dan pengelolaan
harta anak yatim. Walaupun seorang wali diharapkan untuk melaksanakan dua aspek
tersebut sekaligus, tidak berarti bahwa wali itu sendiri yang langsung melakukan kedua-
duanya. Malah tak jarang ditemukan bahwa wali hanya mengelola harta anak yatim,
sementara pemeliharaan anak tersebut secara fisik dilakukan oleh kerabat lain yang
biasanya berasal dari pihak keluarga ibu (karoeng) anak tersebut. Di gampong Mon
Ikeun, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, peneliti bertemu seorang wali yang
menuturkan bahwa anak yang berada di bawah perwaliannya, yang tak lain adalah anak
keponakannya sendiri dari adik laki-lakinya, lebih suka tinggal bersama seorang kerabat
sepupu perempuan dari keluarga ibu anak itu. Anak yatim itu pernah tinggal bersama
dengan wali, tetapi tidak bertahan lama. Kini wali hanya mengelola harta anak yatim itu
(gaji pensiun dan taspen ayahnya) dan menyerahkan setiap bulan kepada sepupu
perempuan dari almarhum ibu anak yatim itu biaya-biaya yang diperlukan sehari-hari
dan menabung sisanya di bank.77
Tidak semua pengasuhan anak yatim korban Tsunami diselenggarakan dengan baik.
Memang ada sejumlah anak yatim yang ditampung di panti-panti asuhan atau pesantren,
tetapi terdapat cukup banyak anak-anak yatim yang masih tinggal di barak-barak
dengan wali yang ditunjuk atau ditetapkan secara informal.78 Wali tidak resmi yang
hidup bersama anak yatim di barak-barak itu pada umumnya tidak memiliki hubungan
keluarga dekat dengan anak yatim. Mereka menjadi wali atas anak yatim itu relatif tidak
terseleksi dengan ketat melalui pertimbangan apakah sudah memenuhi syarat-syarat
sebagai wali atau tidak. Mereka dengan sukarela bersedia ditunjuk oleh gampong untuk
menjadi wali informal guna mengurus kepentingan sehari-hari anak-anak yatim yang
umumnya berasal dari keluarga miskin.79
77
Wawancara Yusran (10 Mei 2006)
78
Seorang hakim memprediksikan bahwa terdapat kurang lebih 20.000 anak yatim piatu korban Tsunami
yang hingga sekarang belum mendapatkan wali melalui penetapan pengadilan secara resmi. Komunikasi
personal dengan Rosmawardani, Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, 30 Mei 2006.
79
Wawancara Geuchik Lampulo (4 Mei 2006).
52
Untuk pengurusan harta benda milik anak yatim, seorang wali yang ditunjuk
berdasarkan penetapan pengadilan dapat pula mewakili anak untuk melakukan
perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak (UU 23/2002, 34). Akan tetapi, seorang wali tidak diperbolehkan
memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak di bawah
perwaliannya, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya” (UU 1/1974, 52).
Lebih lanjut, KHI juga menegaskan larangan bagi seorang wali untuk mengikatkan,
membebani dan mengasingkan harta anak yang berada di bawah perwaliannya, kecuali
menguntungkan atau tidak dapat dihindarkan (KHI, 110:2).
Adapun jika terdapat perselisihan mengenai harta yang diserahterimakan antara wali
dan anak yang berada di bawah perwaliannya, maka masalah ini dapat diajukan kepada
pengadilan (KHI, 111:2). Dalam kaitannya dengan isu ini, daftar harta benda anak yang
berada dibawah perwalian dan catatan mengenai semua perubahan-perubahan harta
benda anak itu menjadi penting. Berdasarkan dokumen ini, perselisihan antara wali dan
anak mengenai jumlah harta benda milik anak dapat dielakkan di kemudian hari.
Sayangnya, baik dalam penetapan perwalian oleh Mahkamah maupun oleh aparat
gampong, daftar harta benda milik anak yatim piatu tidak pernah tersedia.
Relevan untuk dibahas pula di sini adalah masalah penggunaan harta oleh seorang wali
yang miskin untuk keperluan pribadinya. Menurut pasal 112 KHI, seorang wali yang
miskin dapat mempergunakan harta anak yang berada dibawah perwaliannya untuk
keperluannya dan kepentingannya menurut kepatutan (ma’ruf). Tidak ada ketentuan
spesifik dalam hukum formal yang mengatur berapa banyak seorang wali miskin dapat
menggunakan harta anak di bawah perwaliannya. Begitupun, tidak ada penjelasan lebih
lanjut mengenai ukuran yang akurat seberapa banyak harta milik anak yatim yang dapat
dimanfaatkan ‘menurut kepatutan’ itu. Namun, jika kita merujuk kepada Qur’an (An-
Nisa:6), seorang wali miskin hanya diperbolehkan memanfaatkan harta anak yatim
untuk sebatas kebutuhan pangan (falya’kul) yang sewajarnya. Adapun wali yang kaya
tidak diperkenankan sama sekali untuk mengambil manfaat dari harta anak yatim di
bawah perwaliannya.
7. Pengawasan wali
Hukum formal yang mengatur bagaimana pengawasan terhadap seorang wali dalam
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya tidak cukup banyak tersedia. Bahkan,
hampir tidak ditemukan suatu ketentuan yang menunjuk langsung pihak-pihak yang
bertanggung jawab dalam mengawasi seorang wali. Di tengah kevakuman ini, MPU
mengeluarkan fatwa nomor 3 tahun 2005 yang isinya antara lain menunjuk Mahkamah
Syar’iyah sebagai institusi yang berkewajiban mengawasi jalannya perwalian bagi anak-
anak yatim piatu korban Tsunami di Aceh. Tampaknya fatwa MPU ini tidak pernah
53
Hukum formal sendiri ada mengatur bahwa Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain
dapat bertindak sebagai wali pengawas untuk mewakili kepentingan anak dalam hal anak
belum mendapatkan penetapan pengadilan mengenai wali (UU 23/2002, 35:1-2).
Peraturan ini tidak membahas secara spesifik suatu lembaga resmi yang mengawasi wali
yang telah ditunjuk atau ditetapkan oleh pengadilan. Akan tetapi, menurut Dinas Syariat
Islam, dalam konteks Aceh, Balai Harta Peninggalan yang dimaksud dalam UU
Perlindungan Anak di atas tiada lain adalah Baitul Mal. Karena itulah, di tengah
masyarakat Aceh, seorang wali dalam mengelola harta anak yatim biasanya akan diawasi
oleh geuchik, imeum meunasah dan tuha peut gampong selaku pengurus baitul mal di
gampong tersebut. Sejauh mana efektivitas pengawasan ini dilakukan sudah barang tentu
belum dapat diketahui hasilnya untuk sekarang ini. Barangkali diperlukan beberapa tahun
ke depan untuk melakukan penilaian yang lebih seksama apakah pengawasan itu berjalan
dengan baik atau tidak. Namun, ada hal yang patut dibenahi berkaitan dengan mekanisme
pengawasan perwalian di gampong itu, yaitu (1) perlu dilakukan pengangkatan wali
secara resmi melalui sebuah upacara di meunasah, dan (2) perlu disiapkan data-data yang
lengkap mengenai daftar harta kekayaan yang dimiliki anak yatim.82
Ada beberapa alasan seorang wali dapat dicabut kekuasaannya dan digantikan oleh
orang lain:83
1. sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak;
2. berkelakuan buruk sekali;
3. pemabuk;
4. penjudi;
5. pemboros;
6. gila;
7. menyalahgunakan hak dan wewenangnya;
8. meninggal dunia
80
Diskusi dengan Soufyan Saleh (2 Juni 2006).
81
Diskusi dengan hakim tinggi Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD (2 Juni 2006).
82
Lihat Al-Indzar, Penerbitan Khusus Dinas Syariat Islam, edisi keempat, (September 2005), h. 6-7.
83
Lihat ketentuan dalam UU 1/1974, 53; KHI, 109; UU 23/2002, 36:2.
54
Pencabutan kekuasaan dan penggantian wali dengan alasan-alasan di atas tidak otomatis
berlangsung, melainkan mesti melalui prosedur hukum di pengadilan. Dalam hal ini,
salah seorang kerabat dari anak yatim itu, atau dimungkinkan juga baitul mal gampong,
diharuskan mengajukan permohonan pencabutan kekuasaan dan penggantian wali
kepada Mahkamah Syar’iyah. Setelah Mahkamah Syar’iyah memeriksa dan
menemukan kebenaran dalam permohonan tersebut, Mahkamah Syar’iyah melalui suatu
penetapannya dapat mencabut kekuasaan wali yang sudah ditunjuk sebelumnya itu dan
menggantinya dengan anggota keluarga yang lain, atau dimungkinkan juga penunjukkan
wali yang baru dari pihak luar keluarga seperti aparat gampong atau baitul mal. Dalam
kehidupan adat Aceh sehari-hari, kasus pencabutan atau penggantian wali yang
dilakukan oleh pemangku adat jarang sekali terdengar. Hal ini mungkin karena seorang
wali diawasi oleh banyak orang di gampong. Akan tetapi, apabila terjadi kelalaian wali,
maka perwalian akan diambilalih oleh Geuchik atau oleh tuha adat lainnya (tuha peut
atau imam meunasah).
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan seluruh temuan penelitian yang telah diuraikan di atas, apa yang dapat
disimpulkan tentang persamaan dan perbedaan antara hukum formal (pengadilan) dan
hukum adat berkenaan dengan tanah, kewarisan dan perwalian, ditinjau dari segi
substansi, prosedur (pemeriksaan pengadilan dan musyawarah adat gampong) dan
pelaksanaan di lapangan (implementasi putusan pengadilan dan praktek masyarakat
gampong)? Secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat cukup banyak persamaan
antara hukum formal dan hukum adat Aceh berkenaan dengan tiga aspek hukum yang
menjadi fokus penelitian ini. Adapun beberapa perbedaan penting yang ditemukan akan
dijelaskan satu persatu di bawah ini.
Terdapat beberapa hal yang berbeda dari prinsip dan praktek antara hukum formal dan
Adat Aceh yang kiranya perlu ditegaskan ulang seperti di bawah ini:
i. Hak kepemilikan tanah yang tenggelam atau tergenang oleh air, lalu beberapa
saat kemudian tanah tersebut timbul kembali ke permukaan. Menurut hukum
formal, hak kepemilikan tanah semacam itu menjadi milik tanah Negara (PP
16/2004, 12). Akan tetapi, menurut adat Aceh, tanah yang timbul kembali di bekas
tenggelamnya tanah milik seseorang menjadi hak terdahulu dari orang yang
tanahnya tenggelam tersebut.
ii. Pembagian harta bersama. Menurut hukum formal, hanya ada satu model
pembagian harta bersama, yaitu dibagi dua samarata untuk suami dan isteri.
Sedangkan adat Aceh Besar mengakui adanya dua model pembagian harta
bersama, yaitu (1) suami dan isteri masing-masing mendapat seperdua; dan (2)
suami memperoleh duapertiga sementara isteri hanya menerima sepertiga.
iii. Wali perempuan untuk penjagaan harta. Dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia, perempuan tidak dihalangi untuk ditunjuk oleh
pengadilan sebagai wali harta anak yatim. Namun, dalam adat Aceh, penunjukkan
dan penetapan wali perempuan untuk penjagaan harta masih merupakan hal yang
belum dapat diterima sepenuhnya.
Masih ada beberapa hal lain yang bisa ditunjuk untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan
di antara keduanya. Namun, cukup kiranya dikatakan di sini bahwa masyarakat adat
yang memiliki karakter sederhana cenderung memahami dan melaksanakan sesuatu
55
melalui suatu prosedur yang mudah dan tidak berbelit. Ketimbang menggunakan suatu
pedoman hukum tertulis yang mengikat secara paksa, warga masyarakat adat lebih
tertarik untuk menggunakan prinsip dan norma hukum yang secara longgar dapat
dinegosiasikan melalui kesepakatan bersama pihak-pihak yang terkait. Tak ayal,
pluralisme hukum adalah suatu realitas yang tak terbantahkan dalam kehidupan hukum
sehari-hari masyarakat. Selain itu, adalah tidak mengherankan jika pencatatan atas
perkara yang sudah diselesaikan hampir-hampir tidak pernah ditemukan. Sementara itu,
penyelesaian perkara di pengadilan mempunyai karakter yang sebaliknya, yaitu penuh
dengan kompleksitas prosedur dan hanya merujuk kepada peraturan-peraturan formal
demi untuk menjamin kepastian hukum.
Sebuah poin penting terakhir yang perlu disampaikan di sini, di bandingkan dengan
ketentuan adat Aceh dan penyelesaian hukum di gampong, hukum formal dan
penyelesaian melalui pengadilan lebih memberi keuntungan bagi posisi perempuan.
Poin ini sesungguhnya sudah pernah dikemukakan oleh John Bowen.84 Penelitian ini
memverifikasi lebih jauh temuan Bowen tersebut dengan menghadirkan beberapa
contoh-contoh kasus tentang tanah, kewarisan dan perwalian sebagaimana sudah
dipaparkan di atas.
84
John Bowen, Islam, Law and Equality in Indonesia, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003).
56
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri
Sipil
Peraturan Pemerintahan nomor 76 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja,
Peraturan Pemerintah nomor 77 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 2 tahun 1994 tentang Penjelasan Pasal
177 Kompilasi Hukum Islam.
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 114 tahun 2005 tentang Manual
Pendaftaran Tanah di Lokasi Bencana Tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam
dan Sumatera Utara
Fitzpatrick, Daniel and Myrna A. Safitri, “Bagaimana Melindungi dan Memenuhi Hak-
Hak atas Tanah Korban Tsunami di Aceh?”, Oktober 2005.
Hoesin, Moehammad, Adat Aceh, (Banda Aceh: P&K Daerah Istimewa Aceh, 1970)
Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama nomor 3 tahun 2005 tentang Perlindungan Hak
Atas Tanah, Hak Nasab bagi Anak Yatim, Hak Isteri dan Ahli Waris Mafqud
Akibat Gempa dan Gelombang Tsunami
Armia Ibrahim, “Ahli Waris Pengganti Ditinjau dari Aspek Hukum dan Penerapannya
dalam Praktek Peradilan”, Makalah disampaikan dalam Workshop Masalah
Faraidh yang dilaksanakan oleh Yayasan Lamjabat, Banda Aceh, 18-20 Oktober
2005.
Armia Ibrahim, “Perwalian Anak menurut Hukum Islam dan Hukum Positif”, makalah
disampaikan dalam Workshop Faraidh III yang diselenggarakan oleh Yayasan
Lamjabat, Banda Aceh 8-10 April 2006.
Badruzzaman Ismail, “Wali Perempuan dari Aspek Hukum Adat di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Perwalian Anak
yang diselenggarakan secara bekerjasama antara Mahkamah Syar’iyah Provinsi
NAD, Yayasan Putroe Kande dan Unifem, Banda Aceh, 9-11 September 2005.
58
Munir, Lukman (ed.), Bunga Rampai Menuju Revitalisasi Hukum dan Adat Aceh,
(Banda Aceh: Yayasan Rumpun Bambu, 2003)
“Perwalian”, Brosur diproduksi bersama oleh BPN, Mahkamah Syar’iyah dan Dinas
Syariat Islam.
Syah, Ismail Muhammad, “Plaatsvervulling Menurut B.W., Hukum Adat dan Hukum
Islam”, Skripsi Sarjana (Banda Aceh: Fakultas Hukum UNSYIAH, 1977)
Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia: Refleksi terhadap Beberapa
Bentuk Integrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh, (Banda Aceh:
Nadiya Foundation, 2004)
Al-Indzar, Penerbitan Khusus Dinas Syariat Islam, edisi keempat, (September 2005).
Wawancara
Badruzzaman Ismail, Ketua Majlis Adat Aceh, (8 Mei 2006);
T. Djuned, Pakar Hukum Adat, UNSYIAH, (27 April 2006);
T.I. El Hakimy, Pakar Hukum Adat, UNSYIAH, (26 April 2006);
Abd Mannan Hasyim, Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, (26 April 2006);
Rusdi Sufi, Ahli Sejarah Aceh, (27 April 2006);
Rafiuddin, Ketua Mahkamah Syar’iyah Jantho, (27 April 2006).
59
Jumlah Penduduk
Pasca Tsunami
No. Gampong / Kelurahan Sebelum Tsunami Keterangan
Hilang Meninggal Selamat
KK Lk Pr Jmlh Lk Pr Jmlh Lk Pr Jmlh KK Lk Pr Jmlh
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
1 Ulee Lheue 839 1776 2378 4993 30 271 301 1146 1773 2919 570 700 429 1129 Februari
2 Deah Glu mpang 294 642 530 1466 23 76 99 397 342 739 176 226 156 382 Februari
3 Deah Baro 258 584 426 1268 21 180 201 335 186 521 172 266 135 401 Maret
4 Alue Deah Teungoh 349 785 707 1841 25 77 102 542 533 1075 182 239 143 382 Maret
5 Lampaseh Aceh 438 1142 1258 2838 40 144 184 596 841 1437 249 806 394 1200 Februari
6 Lambung 268 683 558 1509 18 55 73 462 396 858 149 210 110 320 Februari
7 Blang Oi 753 1630 1770 4153 36 199 235 1021 1201 2222 692 723 458 1181 Februari
8 Punge Jurong 1122 2999 2950 7071 38 215 253 1691 2070 3761 778 1874 1302 3176 Maret
9 Punge Ujong 368 1062 951 2381 26 231 257 540 367 907 228 399 285 684 Februari
10 Gampong Baro 280 815 570 1665 23 128 151 481 274 755 183 341 196 537 Februari
11 Surien 282 721 547 1550 14 78 92 306 380 686 192 451 120 571 Februari
12 Lamjabat 300 666 456 1422 25 74 99 496 305 801 98 214 87 301 Februari
13 CotLamkuweuh 374 796 1209 2379 84 476 560 594 670 1264 183 223 117 340 Februari
14 Gampong Blang 152 365 218 735 26 73 99 295 119 414 49 134 100 234 Maret
15 Aso Nanggroe 235 711 503 1449 20 114 134 540 324 864 134 163 95 258 Maret
16 Gampong Pie 184 481 329 994 9 170 179 368 111 479 124 131 70 201 Maret
JUMLAH 6496 15858 15360 37714 458 2561 3019 9810 9892 19702 4159 7100 4197 11297
60
Jumlah Penduduk
Sebelum Tsunami Pasca Tsunami
No Desa/ Kelurahan Ket
Hilang Meninggal Dunia Selamat/Hidup
KK LK PR JML LK PR JML LK PR JML KK LK PR JML
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
1 Keudah 546 1982 756 2738 639 144 783 795 210 1005 314 549 412 961 11 ORG PNDDK BARU
2 Lampaseh Kota 757 2800 2217 5017 560 143 703 1218 1466 2684 716 1128 761 1889 259 ORG PNDDK BARU
3 Merduati 1064 2998 2367 5365 871 - 871 1002 1642 2644 1218 1141 828 1969 119 ORG PNDDK BARU
4 Peulanggahan 683 1800 1536 3336 239 - 239 822 1086 1908 633 740 477 1217 28 ORG PNDDK BARU
5 Gampong Jawa 690 2050 1330 3380 382 - 382 775 836 1611 601 893 515 1408 21 ORG PNDDK BARU
6 Gampong Pande 262 689 510 1199 220 - 220 238 377 615 209 283 203 486 122 ORG PNDDK BARU
JML PNDDK BARU 4002 12319 8716 21035 2911 287 3198 4850 5617 10467 3691 4734 3196 7930 560 ORG PNDDK BARU
62
DATA : INVENTERISASI KADES DAN PENDUDUK SEBELUM DAN SESUDAH BENCANA GEMPA BUMI
DAN GELOMBANG TSUNAMI DI KECAMATAN PEUKAN BADA KABUPATEN ACEH BESAR.
Drs. B u s r a
PEMBINA NIP. 010181845
63
DATA PENDUDUK KECAMATAN BAITUSSALAM KABUPATEN ACEH BESAR SEBELUM DAN SESUDAH TSUNAMI TANGGAL 26 DESEMBER 2004
JUMLAH PENDUDUK AWAL JLH. PENDK YANG MENINGGAL JUMLAH PENDUDUK SEKARANG
No NAMA DESA LUAS
LK PR JUMLAH KK LK PR JUMLAH KK LK PR JUMLAH KK
1 BAET 2.34 973 1,053 2,026 457 262 534 796 - 870 456 1,326 457
2 CADEK 1.00 445 572 1,017 379 227 342 569 79 343 125 468 300
3 KAJHU 6.00 3,115 3,499 6,614 1,921 1,358 2,037 3,395 406 2,008 1,303 3,311 1,515
4 BLANG KRUENG 1.80 813 866 1,679 338 67 185 254 21 720 705 1,425 333
5 COT PAYA 1.90 448 539 987 200 248 372 620 - 278 96 374 200
6 LAMBADA ILHOK 2.12 1,154 1,055 2,209 380 638 958 1,596 35 493 152 645 345
7 KLIENG COT ARON 1.80 490 631 1,121 350 210 317 527 37 423 230 653 387
8 KLIENG MEURA 1.50 221 347 568 187 76 114 190 4 378 184 562 183
9 MIRUK LAM REUDEUP 3.34 312 303 615 132 111 168 279 16 520 515 1,035 116
10 LAMPINEUNG 1.56 307 508 815 235 97 380 477 46 229 180 409 189
11 LAM ASAN 1.76 724 595 1,319 264 249 62 326 35 175 170 345 229
12 LABUY 5.00 289 361 650 176 89 165 254 11 317 184 501 165
13 LAM UJONG 6.40 240 265 505 176 49 163 121 31 242 169 411 145
JUMLAH 36.52 9,531 10,594 20,125 5,195 3,681 5,797 9,404 721 6,996 4,469 11,465 4,564
KEMUKIMAN LHOKNGA
1 Kel. Mon Ikeun 463 2,700 1,575 55 1,085 -
2 VVeuraya 700 1,700 - 1,200 734 -
3 Lamkruet 600 2,150 - 1,543 876 -
4 Lampaya 356 1,485 - 152 1,245 -
KEMUKIMAN KUEH
5 Lamgaboh 162 618 17 1 592 -
6 Aneuk Paya 147 625 10 - 612 -
7 Lambaro Kueh 135 485 8 9 477 -
8 Naga Umbanq 78 320 24 9 318 -
9 Lam Ateuk 105 412 9- 386 -
10 Kueh 116 481 24 2 477 -
11 Tanaong 254 1,082 10 30 1,063 -
12 ltJusa 212 986 5 13 975 -
13 Seubun Keutapang 108 420 16 3 399 -
14 Seubun Ayon 99 379 10 1 376 -
15 Lambaro Seubun 103 368 8 3 350 -
KEMUKIMAN LAMLHOM
16 Mns. Beuteng 116 505 - 9 502 -
17 Mns. Mesjid _ 117 430 1 2 414 -
18 Mns. Karieng 157 683 5 9 676 -
19 Mns. Baro _amihom 81 320 - 8 313 -
20 Mns. Manyang 92 358 - 2 355 -
21 Mon Cut 64 265 5 1 247 -
22 Lamgirek 44 172 - 7 130 -
KEMUKIMAN LAMPUUK
23 Mns. Meslid 454 1500 - 945 473 -
24 Mns. Bafee 276 1036 758 240 -
25 Mns. Lambaro 237 964 719 262 -
JUMLAH 5,276 20,444 1,727 5,481 13,577 -
R A S I D I, S.Sos
Penata Tk.I/ NIP. 010200760
65
66
PERTANAHAN
NO TOPIK HUKUM FORMAL CATATAN PRINSIP DAN CATATAN PENDAPAT/PRINSIP
NORMA ADAT HUKUM ISLAM
1 HAK KEPEMILIKAN Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki- Hukum adat Aceh mengakui bahwa
ATAS TANAH laki maupun wanita mempunyai kesempatan laki-laki dan wanita memiliki hak yang
yang sama untuk memperoleh sesuatu hak sama atas tanah/rumah dan manfaat
atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari dari tanah/rumah tersebut untuk
hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun kepentingan diri dan keluarganya.1
keluarganya. (UU 5/1960, 9:2)
1T. Djuned (Wawancara, 27 April 2006); T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).
2Pola Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan Tanah secara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh, dalam Syamsidah dan Sugiarto Dakung (editor), (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional,
1984/1985), h. 55, 63.
67
pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai yang berada dipinggir sungai dan
dikuasai langsung oleh Negara. (PP 16/2004, tergerus sehingga mengalami abrasi.4
12) Namun, jika suatu saat sungai atau
tambak itu kering dan tanah yang tadi
hilang tersebut muncul ke permukaan,
Tanah yang sudah dinyatakan sebagai tanah
pemiliknya dapat memperolehnya
terlantar menjadi tanah yang dikuasai oleh
kembali, sekalipun mungkin bergeser
Negara (PP 36/1998, 15:1).
letaknya.5
5 HAK TANAH YANG “Terjadinya hak milik menurut hukum adat Ada empat cara tanah berstatus hak
BERASAL DARI diatur dengan Peraturan Pemerintah”. (UU milik diperoleh menurut Adat Aceh: (1)
TANAH ADAT 5/1960, 22:1) dengan membuka tanah baru, (2) dari
peunulang (pemberian), (3) dari harta
Selama Undang-undang mengenai hak milik warisan/pusaka, dan (4) dengan cara
sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat jual beli.7
(1) belum terbentuk, maka yang berlaku
adalah ketentuan-ketentuan hukum adat
setempat dan peraturan-peraturan lainnya
mengenai hak-hak atas tanah yang
memberi wewenang sebagaimana atau mirip
dengan yang dimaksud dalam pasal 20,
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa
dan ketentuan-ketentuan Undang-undang
ini. (UU 5/1960, 56)6
6 HAK TANAH YANG Sebagai misal dari cara terjadinya hak milik Hak milik menurut adat Aceh diberikan Menurut Adat Aceh,
BERASAL DARI menurut hukum adat ialah pembukaan tanah. kepada seseorang yang (i) telah pembukaan tanah dimulai
PRAKTEK Cara-cara itu akan diatur supaya tidak terjadi menanam tanaman keras, (ii) memiliki dengan membubuhi tanda
PEMBUKAAN hal-hal yang merugikan kepentingan umum batas-batas yang jelas, dan (iii) berupa pagar yang terdiri
TANAH ADAT dan Negara. (Penjelasan UU 5/1960, 22) dikuasai secara turun temurun dari tiga buah tiang yang
beberapa generasi sehingga diakui ditanam secara tegak lurus
oleh masyarakat sekitarnya.8 (jeuneurob), berjarak sedepa
7 BAGI HASIL Besarnya bagian hasil-tanah yang menjadi Hak mawaih (bagi hasil) dalam hukum
PENGUSAHAAN hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap adat bervariasi, artinya pembagian
TANAH Daerah Swatantara tingkat II ditetapkan oleh dilakukan menurut keadaan tanah
Bupati/Kepala Daerah Swatantra tingkat II (subur atau tidak) dengan bagian 2:1
yang bersangkutan, dengan memperhatikan atau 3:1; artinya 2 atau 3 bagian untuk
jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan penggarap dan 1 bagian untuk pemilik
penduduk, zakat yang disisihkan sebelum tanah.10
dibagi dan faktor-faktor ekonomis serta
ketentuan-ketentuan adat setempat. (UU
2/1960, 7:1)
8 TANAH ADAT/ Tanah ulayat adalah bidang tanah yang Tanah Ulayat di Aceh lebih dikenal Berdasarkan wujudnya,
ULAYAT diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu sebagai Tanoh Hak Kullah. Batas- tanah ulayat menurut Adat
masyarakat hukum adat tertentu. batasnya ditentukan sejauh dapat Aceh dapat berupa:12
(Permenagra 5/1999, 1:2) terjangkau perjalanan ke arah hulu 1. Tanoh rimba, tanah
dalam sehari pulang pergi, dan ke hilir hutan belantara yang
atau ke laut sejauh dapat terjangkau berada di pedalaman
oleh pukat pantai. Dapat juga ditandai dan belum dikerjakan
oleh batas-batas alam seperti puncak orang;
gunung, jurang, sungai dan perjanjian 2. Tanoh uteuen, tanah
perbatasan dengan mukim tetangga.11 hutan-hutan tertentu
dan kebanyakan diberi
nama menurut jenis-
jenis tumbuhan di
atasnya;
3. Tanoh tamah, tanah
hutan yang sudah
pernah dikerjakan untuk
ladang dan di atasnya
tumbuh tarok (tunas-
tunas kayu) yang
kadang-kadang
dijadikan kayu api, di
samping ia dibedakan
juga dengan bluka atau
beuluka, yaitu kayu-
kayu belukar yang
rendah tumbuhnya;
4. Tanoh padang, tanah
tempat ditumbuhi kayu-
kayuan, tetapi
kebanyakan ditumbuhi
alang-alang atau jenis
rumput-rumput lain di
dataran rendah yang
belum seluruhnya
digarap dan biasanya
berada di sekeliling
sawah-sawah gampong
dan dijadikan tempat
untuk hewan memakan
rumput;
5. Tanoh paya atau tanoh
bueng, tanah rendah
yang digenangi air
secara tetap, serta
ditumbuhi semak
belukar. Bila letaknya di
daerah dekat pantai
disebut tanoh suwak
(hutan rawa);
6. Sarah, tanah yang
terdapat pada aliran
sungai yang dangkal di
bagian hulu dengan
dataran rendah yang
subur;
7. Sawang, tanah
dangkalan sungai yang
menjorok ke dalam
71
daratan;
8. Tanoh jeued, tanah
yang terbentuk karena
bawaan lumpur oleh
arus sungai, baik di
tengah sungai (berupa
pulau) ataupun di tepi
sungai berupa ujung
yang menjorok ke
tengah sungai.
9 HAK ATAS TANAH Dengan mengingat ketentuan-ketentuan Hak atas tanah ulayat, atau lazim juga Dalam prakteknya, hak
ADAT (HAK dalam pasal 1 dan 2 [UU 5/1960], disebut tanah milik umum, ini individual atas tanah ulayat
ULAYAT) pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang merupakan milik suatu gampong atau di Aceh yang dimiliki oleh
serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum mukim, yang dikuasakan kepada persekutuan gampong atau
adat, sepanjang menurut kenyataannya masih geuchik atau mukim. Geuchik atau mukim dapat diperoleh
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai Mukim mempunyai wewenang untuk anggota masyarakat dalam
dengan kepentingan nasional dan Negara, memberikan suatu hak kepada gampong atau mukim
yang berdasarkan atas persatuan bangsa seseorang atas tanah milik umum ini tersebut dengan berbagai
serta tidak boleh bertentangan dengan untuk dimanfaatkan, baik kepada cara, termasuk penggunaan
Undang-undang dan peraturan-peraturan lain orang dalam maupun dari luar tanah secara terus menerus
yang lebih tinggi. (UU 5/1960, 3) wilayahnya. Sejumlah hak atas tanah dalam waktu yang lama.
ulayat ini dapat diberikan kepada
Hak ulayat dan yang serupa itu dari orang luar dengan membayar
masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya sejumlah uang atau barang.13
disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang
menurut hukum adat dipunyai oleh
masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah
tertentu yang merupakan lingkungan hidup
para warganya untuk mengambil manfaat dari
sumber daya alam, termasuk tanah, dalam
wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup
dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan
secara lahiriah dan batiniah turun menurun
dan tidak terputus antara masyarakat hukum
adat tersebut dengan wilayah yang
bersangkutan. (Permenagra 5/1999, 1:1)
10 TANAH WAKAF Wakaf adalah Perbuatan hukum wakif untuk Tanah wakaf atau tanoh wakeueh Di Aceh Besar, terdapat
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian menurut adat Aceh diartikan sebagai praktek wakaf yang
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan lembaga keagamaan, di mana dilakukan tidak hanya oleh
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu seseorang yang memiliki tanah individual, tetapi juga oleh
sesuai dengan kepentingannya guna menyerahkan sebagian dari padanya masyarakat suatu gampong.
keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan untuk keperluan seseorang tertentu Mereka secara bersama-
umum menurut syariah. (UU 41/2004, 1:1) atau sesuatu keperluan bersama, sama membeli sebidang
sesuai dengan hukum Islam.14 tanah di dekat komplek
Wakaf adalah Perbuatan hukum seseorang Biasanya penyerahan wakaf ini meunasah dan
atau badan hukum yang memisahkan dilakukan kepada geuchik dan imam mewakafkannya untuk
sebagian dari harta kekayaannya yang berupa meunasah, dan pengurusan tanah ini tempat mendirikan langgar
tanah milik dan melembagakannya untuk selanjutnya dilakukan oleh kedua kaluet atau balai tempat
selama-lamanya untuk kepentingan aparat gampong tersebut.15 anak-anak mengaji.16
11 PERUBAHAN Pada dasarnya terhadap benda yang telah Harta wakaf yang tidak dapat
STATUS TANAH diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan dimanfaatkan/digunakan oleh
WAKAF atau penggunaan lain daripada yang (mauquf) akibat bencana alam
dimaksud dalam Ikrar Wakaf.17 (KHI, 225:1) dan sebagainya dapat dijual
untuk dibeli gantinya berdasarkan
Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam kaidah dharurat syar’iyah18 dan
[KHI, 225] ayat 1 hanya dapat dilakukan kemaslahatan ummat (Fatwa
terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih MPU 7/2005).
dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
berdasarkan saran dari Majelis Ulama
Kecamatan dan Camat setempat dengan
alasan:
1. karena tidak sesuai lagi dengan
tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh
Wakif.
2. karena kepentingan umum. (KHI,
225:2)
16 T.I. El-Hakimy, “Tentang Penguasaan Tanah pada Masyarakat Pedesaan di Aceh”, dalam Herman Slaats dan A.A. Trouwborst (eds.), Tiga Model Pendekatan Studi Hukum Adat: Suatu Laporan Penatara,
21
Peraturan Kepala BRR no. 21/PER/BP-BRR/VI/2006 (3:5).
78
22
Peraturan Kepala BRR no. 21/PER/BP-BRR/VI/2006 (3:6).
79
KEWARISAN
NO TOPIK HUKUM FORMAL CATATAN PRINSIP/NORMA ADAT CATATAN PENDAPAT/
PRINSIP HUKUM
ISLAM
1 AHLI WARIS Ahli waris adalah orang yang mempunyai Ahli waris adalah keturunan sedarah atau Berdasarkan publikasi Dinas
hubungan darah atau perkawinan karena perkawinan dengan pewaris dan Syariat Islam, ahli waris
dengan pewaris pada saat meninggal masih hidup pada saat pewaris meninggal dipersyaratkan harus masih
dunia (KHI, 171c) dunia. hidup pada saat pewaris
a. ayah, anak laki-laki, saudara laki- a. Ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, meninggal dunia. Oleh sebab
laki, paman dan kakek (KHI, 174:1a) paman dan kakek. itu, orang-orang yang
b. ibu, anak perempuan, saudara b. Ibu, anak perempuan, saudara mempunyai hubungan waris
perempuan dan nenek (KHI, 174:1b) perempuan dan nenek; dan meninggal dalam waktu
c. duda atau janda (KHI, 174:1c) c. Duda atau janda bersamaan, rantai kewarisan di
Apabila semua ahli waris tersebut masih antara mereka akan putus
Apabila semua ahli waris di atas masih hidup, maka yang berhak mewarisi adalah yang dapat mempengaruhi
hidup, yang berhak mewarisi hanya anak, ayah, ibu dan janda atau duda. posisi sejumlah ahli waris
anak, ayah, ibu dan janda atau duda. sehingga mereka mungkin saja
(KHI, 174:2) Akan tetapi apabila hanya terdapat anak menjadi terhalangi untuk
perempuan sebagai ahli waris, maka mewarisi.3
paman dari keluarga ayah ikut menjadi ahli
waris.1 Sekiranya anak perempuan tersebut
merupakan ahli waris satu-satunya, maka
sisa harta warisan, setelah dipotong
sebesar hak anak perempuan itu, akan
diserahkan kepada Baitul Mal.2
2 SYARAT- Beragama Islam (KHI, 171c) diketahui Ahli waris menurut adat Aceh harus
SYARAT dari Kartu Identitas atau pengakuan atau beragama Islam. Apabila seseorang keluar
SEBAGAI amalan atau kesaksian (KHI, 172) dari agama Islam (murtad), hilanglah
AHLI WARIS haknya untuk mewarisi harta dari pewaris.4
1
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006); Syahrizal, Hukum Adat, h. 275.
2
Syahrizal, Hukum Adat, h. 229.
3
Lihat Al-Indzar, Penerbitan Khusus Dinas Syariat Islam, no. 1 (1 Agustus 2005), h. 3-4.
4
Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006).
80
3 ALASAN Dipersalahkan telah [mencoba] Seorang terhalang menerima warisan jika ia Menurut syariat Islam,
YANG membunuh atau menganiaya pewaris murtad, membunuh, menganiaya atau perbedaan agama menjadi
MENGHALA- (KHI, 173a) melakukan suatu kejahatan lainnya halangan saling mewarisi.6
NGI terhadap pewaris.5
SEORANG Dipersalahkan secara memfitnah telah
MENJADI mengajukan pengaduan bahwa pewaris
AHLI WARIS telah melakukan kejahatan yang diancam
hukuman 5 tahun penjara atau lebih
berat. (KHI, 173b)
4 KEWAJIBAN Kewajiban ahli waris terhadap pewaris
AHLI WARIS adalah:
a. mengurus dan menyelesaikan
sampai pemakaman jenazah
selesai. (KHI, 175:1a)
b. menyelesaikan baik [membayar]
hutang-hutang berupa pengobatan,
perawatan termasuk kewajiban
pewaris maupun menagih piutang.
(KHI, 175:1b)
c. Menyelesaikan wasiat pewaris (KHI,
175:1c)
d. Membagi harta warisan di antara
ahli waris yang berhak. (KHI,
175:1d)
5
Hoesin, Adat Atjeh, h. 103, 164; Syahrizal, Hukum Adat, h. 212.
6
Hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menyatakan bahwa “Seorang non-Muslim tidak mewarisi dari orang Islam, dan orang Islam tidak mewarisi dari
non-Muslim.” Hadits ini dikutip di dalam Syahrizal, Hukum Adat, h. 211.
81
Harta warisan adalah harta bawaan (penghasilan lainnya yang mempunyai nilai ahli waris bila tidak
ditambah [½] bagian dari harta bersama ekonomis).7 dibayarkan.
setelah digunakan untuk keperluan
pewaris selama sakit sampai Harta yang ditinggalkan pewaris terlebih
meninggalnya, biaya pengurusan dahulu dikurangi dengan hutang pewaris
jenasah, pembayaran hutang dan serta biaya-biaya lain yang perlu
pemberian untuk kerabat. (KHI, 171e) dikeluarkan dan biaya itu dipotong dari
harta warisan yang ditinggalkan pewaris.
6 HARTA Harta benda yang diperoleh selama Dalam praktek pengadilan Harta bersama (harta seuhareukat) antara Menurut Badruzzaman
BERSAMA perkawinan menjadi harta bersama. (UU dewasa ini, terutama suami dan istri, dibagi secara seimbang, di Ismail, Ketua Majelis Adat
1/1974, 35:1) pasca bencana alam mana setiap pihak mendapat separohnya, Aceh, apabila suami atau
tsunami, pasangan yang baik karena cerai mati atau cerai hidup. isteri meninggal dan suami
Harta bersama dari perkawinan seorang hilang dimintakan Dengan meninggalnya suami atau istri, atau istri itu tidak kawin lagi,
suami yang mempunyai isteri lebih dari penetapan dari pengadilan separoh bagian harta bersama diserahkan maka ia akan tetap
seorang, masing-masing terpisah dan tentang kepastian kepada pasangan yang masih hidup, menguasai semua harta
berdiri sendiri. (KHI, 94:1) kematian/ hilangnya sedangkan separoh bagian yang lain yang ditinggalkan pewaris
(perkara mafqud), menjadi harta warisan yang akan dibagikan sampai anak-anaknya
Pemilikan harta bersama dari perkawinan sebelum harta warisan kepada semua ahli waris yang masih mampu secara mandiri.
seorang suami yang mempunyai istri dibagikan kepada ahli hidup.8 Pada saat itulah barulah
lebih dari seorang sebagaimana tersebut waris yang berhak. dilakukan pembagian
[dalam KHI, 94) ayat (1), dihitung pada Apabila seorang pewaris mempunyai isteri warisan.10
saat berlangsungnya akad perkawinan Menarik dicatat bahwa lebih dari seorang, perlu dipisahkan lebih
yang kedua, ketiga atau yang keempat. keputusan pengadilan dulu antara harta bawaan tiap-tiap isteri dan Patut dicatat di sini bahwa di
(KHI, 94:2) mengenai perkara mafqud harta bersama dengan para isteri tersebut. daerah pesisir Aceh Besar,
itu berguna bagi seorang Harta bersama harus diperhitungkan secara harta bersama dibagi
Pembagian harta bersama bagi seorang janda untuk membolehkan terpisah untuk setiap perkawinan dan menjadi 3 bagian: 2 bagian
suami atau istri yang istri atau suaminya dirinya menikah lagi dibagikan berdasarkan jumlah dan waktu untuk suami dan 1 bagian
hilang harus ditangguhkan sampai dengan pria lain. Adapun diperolehnya harta bersama tersebut.9 untuk isteri.11
adanya kepastian matinya yang hakiki bagi duda, persyaratan
atau matinya secara hukum atas dasar semacam ini tidak
putusan Pengadilan Agama. (KHI, 96:2) diperlukan.
7
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006)
8
Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006); T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006)
9
Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006).
10
Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006).
11
Syahrizal, Hukum Adat, h. 276.
82
7 HARTA Adanya harta bersama dalam Tiap-tiap suami dan isteri tetap memiliki hak Di beberapa kabupaten di
BAWAAN perkawinan itu tidak menutup atas harta bendanya masing-masing dan Aceh, khususnya Aceh
MASING- kemungkinan adanya harta milik masing- menguasainya sepenuhnya.12 Besar dan Pidie, dikenal
MASING ISTRI masing suami atau isteri. (KHI, 85) konsep harta peunulang.
DAN SUAMI Harta peunulang adalah
Harta bawaan dari masing-masing suami sebuah pemberian/hibah
dan isteri dan harta benda yang dari orang tua kepada anak
diperoleh masing-masing sebagai hadiah perempuannya yang telah
atau warisan, adalah dibawah menikah, dalam bentuk
penguasaan masing-masing sepanjang rumah dan
para pihak tidak menentukan lain. (UU pekarangannya.13 Walaupun
1/1974, 35:2) rumah itu sering dijadikan
tempat tinggal suami isteri,
Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan rumah tersebut merupakan
dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta bawaan isteri.
harta suami tetap menjadi hak suami dan
dikuasai penuh olehnya. (KHI, 86:2)
12
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006); T. Djuned (Wawancara, 27 April 2006).
13
Harta peunulang yang diberikan kepada seorang anak perempuan mungkin saja melebihi 1/3 dari total asset kekayaan pewaris. Alasan dibalik pemberian peunulang ini adalah
hubungan orang tua dengan anak perempuannya yang amat kuat dan mendalam. Hal ini karena anak perempuan sungguh-sungguh membantu kedua orang tuanya pada saat
tinggal dan hidup bersama mereka.
14 Jaminan kematian secara teknis dipahami sebagai ‘uang duka’. Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, keluarganya berhak atas Jaminan Kematian yang
meliputi (1) biaya pemakaman (satu juta rupiah); dan (2) santunan uang (lima juta rupiah).
83
15
Putusan Kasasi Mahkamah Agung no. 198K/AG/1992.
84
16
Di Indonesia, terdapat perbedaan antara gaji pensiun dan Tabungan Hari Tua.Gaji pensiun diterima oleh pensiunan PNS setiap bulannya, sedangkan Tabungan Hari Tua
diterima baik oleh pensiunan PNS ataupun pensiunan pegawai swasta secara sekaligus pada saat mereka memasuki masa pensiun.
17
Pembayaran ini berlangsung terus hingga janda/duda itu menikah lagi atau meninggal.
18
Uang pensiun ini akan diterima oleh anak hingga berusia 23 tahun, memiliki pekerjaan tetap atau sudah menikah.
19
Hingga saat ini, peraturan yang dimaksudkan tersebut belum tersedia.
85
11 HARTA Bila harta warisan yang akan dibagi Hukum adat Aceh tidak berbeda jauh
WARISAN berupa lahan pertanian yang luasnya dengan ketentuan dalam KHI dan malah
YANG kurang dari 2 hektar, supaya memperluas pengertiannya mencakup
TERDIRI DARI dipertahankan kesatuannya rumah. Jika terdapat beberapa anak
LAHAN sebagaimana semula, dan dimanfaatkan perempuan sementara orang tuanya tidak
PERTANIAN untuk kepentingan bersama para ahli mampu menyediakan peunulang bagi
YANG waris. (KHI 189:1) masing-masing anak perempuan itu,
LUASNYA sebuah rumah akan dibagi-bagi dan setiap
KURANG Bila hal di atas tidak memungkinkan, anak perempuan menerima satu kamar
DARI 2 (e.g. ada ahli waris yang membutuhkan masing-masing. Apabila ada anak
HEKTAR uang), lahan tersebut dapat dimiliki oleh perempuan yang tidak bersedia tinggal atau
seseorang atau lebih ahli waris dengan telah mempunyai rumahnya sendiri, maka
cara membayar harganya kepada ahli bagian yang menjadi haknya akan dialihkan
waris yang berhak sesuai dengan kepada anak perempuan yang lain melalui
bagiannya masing-masing. (KHI, 189:2) mekanisme pembayaran ganti rugi.20
12 HARTA HIBAH Hibah dari orang tua kepada anaknya Hibah atau peunulang yang telah diberikan
20
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006); Rusydi Sufi (Wawancara, 27 April 2006).
86
SEBAGAI dapat diperhitungkan sebagai warisan pewaris pada masa hidupnya untuk anak
HARTA (KHI, 211) perempuannya dapat diperhitungkan
WARISAN sebagai bagian dari warisan.21
Hibah yang diberikan pada saat pemberi
hibah dalam keadaan sakit yang dekat
dengan kematian, maka harus mendapat
persetujuan dari ahli warisnya. (KHI, 213)
13 HAK WARIS [Dalam hal hanya anak perempuan yang Dalam praktek, bila ahli Hukum adat pada kebanyakannya Menurut Badruzzaman
ANAK menjadi ahli waris dan tidak ada anak waris terdiri dari anak mengikuti ketentuan hukum Islam.23 Jika Ismail, Ketua Majelis Adat
PEREMPUAN laki-laki, ketentuan berikut yang akan perempuan saja dan tidak anak perempuan bersama-sama dengan Aceh, apabila suami atau
berlaku:] seorang anak perempuan ada anak laki-laki, anak laki-laki, maka anak perempuan akan isteri meninggal dan suami
mendapat ½, dan bila berdua atau lebih Mahkamah Syar’iyah menerima ½ bagian dari jumlah yang atau istri itu tidak kawin lagi,
mendapat 2/3 bagian. (KHI, 176) cenderung memutuskan diterima oleh anak laki-laki. Jika hanya maka ia akan tetap
untuk menyerahkan seorang anak perempuan akan menguasai semua harta
Jika anak perempuan bersama anak laki- seluruh sisa dari harta mendapatkan ½ bagian, dan jika 2 orang yang ditinggalkan pewaris
laki sebagai ahli waris, maka bagian warisan yang tidak habis atau lebih akan mendapatkan 2/3 bagian sampai anak-anaknya
anak perempuan adalah setengah dari itu (½ atau 1/3) kepada dari seluruh harta warisan yang mampu secara mandiri.
bagian anak laki-laki (KHI, 176) anak perempuan, baik ditinggalkan pewaris. Adapun sisanya Pada saat itulah barulah
sendirian ataupun lebih, dibagikan untuk ahli waris yang berhak dilakukan pembagian
dan tidak lagi diberikan lainnya.24 warisan.27
kepada ahli waris lain
yang masih hidup Untuk perimbangan dari kekurangan bagian
(misalnya paman).22 yang diterima oleh anak perempuan
dibandingkan dengan anak laki-laki, hukum
adat Aceh memperkenalkan konsep
peunulang. Melalui konsep peunulang
inilah, boleh jadi bagian harta yang diterima
oleh anak perempuan akan lebih banyak
dibandingkan dengan harta bagian anak
laki-laki.25
21
Syahrizal, Hukum Adat, h. 219-220; Syahrizal (Diskusi, 6 Juni 2006).
22
Rafiuddin (Wawancara, 26 April 2006).
23
Hoesin, Adat Atjeh, h. 165.
24
Hoesin, Adat Atjeh, h. 102-103.
25
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).
87
26
Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006); Syahrizal, Hukum Adat, h. 227.
27
Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006).
28
Dalam hal ini, ayah menerima sepertiga bukan karena berdasarkan besaran hak bagiannya, tetapi karena ‘sepertiga’ adalah sisa harta warisan yang diterima oleh ayah setelah
suami dan ibu mengambil hak bagiannya masing-masing.
29
Ayah menjadi ahli waris ashabah dalam kasus ini.
88
30
Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006).
31
Syahrizal, Hukum Adat, h. 275.
32
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).
33
Syahrizal, Hukum Adat, h. 276.
89
SAUDARA
PEREMPUAN Bila jumlah saudara perempuan kandung
SEAYAH atau seayah dua orang atau lebih, maka
mereka bersama-sama mendapat 2/3.
(KHI, 182)
34
Armia Ibrahim, “Ahli Waris Pengganti Ditinjau dari Aspek Hukum dan Penerapannya dalam Praktek Peradilan”, makalah disajikan dalam Lokakarya Hukum Kewarisan
Islam yang diselenggarakan oleh Yayasan Lamjabat, Banda Aceh, 18-20 Oktober 2005. h. 7.
35
Ibid.; T. Djuned (Workshop IDLO, 30 May 2006).
90
warisan orang tua angkatnya. (KHI, angkat, para ahli waris tua angkatnya.39
209:2)36 Ia mendapatkan bagian hanya bila para ahli biasanya memberi bagian
waris lainnya berbaik hati untuk untuk anak angkat, karena
memberikan bagian. anak angkat tidak jasa-jasa anak angkat
dianggap sebagai ahli waris, sehingga ahli tersebut kepada pewaris.38
waris tidak dapat dipaksa untuk
memberikan bagian kepadanya.
22 HAK WARIS Anak yang lahir di luar perkawinan hanya Apabila terdapat anak yang lahir di luar Dalam masyarakat Aceh, jika
BAGI ANAK mempunyai hubungan saling mewaris perkawinan, maka ia hanya mempunyai seorang perempuan hamil
YANG LAHIR dengan ibunya dan keluarga dari pihak hubungan kewarisan dengan ibunya.40 sebelum menikah, semua
DI LUAR ibunya (KHI, 186) usaha akan dilakukan agar
PERKAWINAN anak yang dikandungnya itu
memiliki ayah pada saat
kelahirannya.41
23 PROSEDUR Para ahli waris baik kolektif ataupun Ahli waris yang telah mandiri atau telah Praktik pembagian harta
MELAKUKAN individual dapat mengajukan permintaan menikah dapat meminta untuk melakukan warisan dalam masyarakat
PEMBAGIAN kepada ahli waris yang lain untuk pembagian warisan. Apabila belum ada Aceh umumnya dilakukan
HARTA melakukan pembagian harta warisan. anak yang telah mandiri, maka pihak setelah hari ke-44 atau 100
WARISAN (KHI, 188) keluarga, terutama keluarga pihak ayah sejak meninggalnya si
(wali) akan segera meminta pembagian pewaris. Pembagian itu
Bila ada di antara ahli waris yang tidak warisan dan wali itu akan menjadi biasanya dilakukan oleh
menyetujui permintaan itu, maka yang pengawas atau pengelola terhadap bagian Imuem Meunasah Gampong
bersangkutan dapat mengajukan warisan yang menjadi hak anak yang belum dengan disaksikan oleh
gugatan melalui Pengadilan Agama dewasa atau belum mampu tersebut.42 Geuchik dan pemuka adat
36
Wasiat wajibah diperkenalkan dalam Kompilasi Hukum Islam untuk merefleksikan nilai-nilai asli Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, yang memperkenankan anak angkat
untuk mewarisi dari orang tua angkat mereka. Konsep wasiat wajibah ini berasal dari hukum Mesir dan menjadi suatu mekanisme untuk memberikan hak waris bagi anak
angkat yang tidak memiliki hubungan nasab ataupun pernikahan dengan pewaris. Perumus KHI memandang wasiat dalam kasus ini bersifat wajib karena orang tua angkat tidak
mewasiatkan harta kepada anak angkatnya. Lihat Syahrizal, Hukum Adat, h. 282-283; Roihan Rasyid, “Pengganti Ahli Waris dan Wasiat Wajibah, Mimbar Hukum, no. 23
(1995), h. 54-67.
37
Syahrizal, Hukum Adat, h. 287-288.
38
Syahrizal, Hukum Adat, h. 287.
39
ASaf A.A. Fyzee, Outlines of Muhammadan Law, (Delhi: Oxford University Press, 1974), h. 189.
40
Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006).
41
Hoesin, Adat Atjeh, h. 184-186.
42
Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006).
91
25 PEWARIS Bila pewaris tidak meninggalkan ahli Jika pewaris tidak meninggalkan ahli waris, Berdasarkan fatwa MPU
YANG TAK waris sama sekali, atau ahli warisnya maka harta warisannya diberikan kepada 3/2005, tanah dan harta benda
MEMILIKI tidak diketahui ada atau tidaknya, maka Baitul Mal Gampong. Apabila harta warisan yang ditinggalkan korban
AHLI WARIS harta tersebut atas putusan Pengadilan itu berbentuk tanah (disebut juga tanoh gempa dan gelombang
SAMA SEKALI Agama diserahkan penguasaan kepada meusara), Baitul Mal akan menyerahkan Tsunami yang tidak
Baitul Mal46 untuk kepentingan agama pengelolaannya kepada seseorang yang meninggalkan ahli waris adalah
43
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).
44
Hoesin, Adat Atjeh, h. 99, 163.
45
Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006); Syahrizal, Hukum Adat, h. 227-228.
46
Dengan memperhatikan ketentuan di dalam KHI ini, Baitul Mal yang dimaksudkan itu adalah Baitul Mal gampong.
92
Islam dan kesejahteraan umum. (KHI, tinggal dalam gampong tersebut.47 menjadi milik umat Islam
191) melalui Baitul Mal (Lihat juga
Hasil yang diperoleh seseorang dari Masyarakat Aceh Besar Fatwa MPU 2/2005 butir
pengelolaan tanoh meusara itu biasanya memberi nama tanah ini keenam). Dalam hal ini, Baitul
dibagi-bagikan juga kepada masyarakat dengan nama tanoh ie-bu Mal yang bersangkutan mesti
setempat tiap-tiap tahun dalam bentuk (tanah bubur kanji). mengajukan permohonan
santapan bubur kanji (sajian buka puasa di kepada Mahkamah Syar’iyah
bulan ramadhan) yang dberikan kepada . untuk penetapan penyerahan
orang-orang yang berbuka puasa di tanah dan harta benda yang
meunasah di bulan Ramadhan.48 tidak ada lagi ahli warisnya itu
kepada Baitul Mal. 49
26 PEWARIS Harta bersama dari perkawinan seorang Hukum adat Aceh mengenal adanya
YANG suami yang mempunyai isteri lebih dari poligami. Apabila seorang pewaris
POLIGAMI seorang, masing-masing terpisah dan mempunyai isteri lebih dari seorang, perlu
berdiri sendiri. (KHI, 94:1) dipisahkan lebih dulu antara harta bawaan
tiap-tiap isteri dan harta bersama dengan
Pemilikan harta bersama dari perkawinan para isteri tersebut. Harta bersama harus
seorang suami yang mempunyai istri diperhitungkan secara terpisah untuk setiap
lebih dari seorang sebagaimana tersebut perkawinan dan dibagikan berdasarkan
[dalam KHI, 94) ayat (1), dihitung pada jumlah dan waktu diperolehnya harta
saat berlangsungnya akad perkawinan bersama tersebut.
yang kedua, ketiga atau yang keempat.
(KHI, 94:2)
47
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006); Lihat juga Pola Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan Tanah secara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh, dalam
Syamsidah dan Sugiarto Dakung (editor), (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1984/1985), h. 66; Cf. Hoesin, Adat Atjeh, h. 104.
48
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006); Lihat Pola Penguasaan, h. 66.
49
Menurut Keputusan Gubernur 18/2003 pasal 10, Teungku Imam atau Imam Meunasah adalah kepala Baitul Mal Gampong. Dalam praktek belum semua gampong memiliki lembaga baitul mal,
sehingga seringkali tanah-tanah yang belum diidentifikasi ahli warisnya dipelihara oleh perangkat gampong yang berfungsi sebagai Baitul Mal.
93
27 WASIAT ATAS Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak- Pewaris dapat mewasiatkan hingga Dalam praktek, apabila
HARTA banyaknya 1/3 dari harta warisan kecuali sepertiga dari harta peninggalannya seorang pewaris telah
WARISAN apabila semua ahli waris menyetujui sepanjang seluruh ahli waris mewasiatkan untuk
(KHI, 195:2) menyetujuinya.50 memberikan sejumlah harta
kepada seseorang (baik
Apabila wasiat melebihi 1/3 dari harta terhadap ahli waris sendiri
warisan sedangkan ahli waris ada yang ataupun untuk kepentingan
tidak menyetujuinya, maka wasiat hanya umum lainnya), berapapun
dilaksanakan sampai batas 1/3 harta nilai dan besarnya, maka
warisan (KHI, 201). para ahli waris patuh untuk
mengikutinya dan merasa
Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku takut melakukan
bila disetujui oleh semua ahli waris (KHI, penyimpangan.51 Dalam
195:3) masyarakat Aceh,
mengindahkan wasiat
Pernyataan persetujuan ahli waris dibuat pewaris merupakan sebuah
secara lisan atau tertulis di hadapan dua keharusan secara budaya.52
orang saksi, atau dihadapan notaris (KHI,
195:4)
50
Hoesin, Adat Atjeh, h. 162; Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).
51
Hoesin, Adat Atjeh, h. 162; Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).
52
Hoesin, Adat Atjeh, h. 162-163.
94
53
Putusan Banding Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD (37/Pdt.G/2004/MS Prov.) menolak gugatan perkara kewarisan karena sudah lewat waktu dari 33 tahun. Putusan ini berdasarkan kitab Al-
Nasyiah, Juz 7:485.
95
PERWALIAN
NO TOPIK HUKUM FORMAL CATATAN PRINSIP DAN NORMA ADAT CATATAN PRINSIP/PENDAPAT
HUKUM ISLAM
1 USIA ANAK DI Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan Dengan mempertimbangkan Hukum adat tidak menggunakan batas
BAWAH belas) tahun atau belum pernah inkonsistensi aturan antara umur anak untuk perwalian, melainkan
PERWALIAN melangsungkan perkawinan, yang tidak UU 1/1974 dan KHI, penting ditentukan oleh kenyataan bahwa
berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dicatat bahwa kedudukan anak yatim itu sudah menikah atau
dibawah kekuasaan wali. (UU 1/1974, 50:1) UU lebih tinggi daripada KHI, memperlihatkan kematangan fisik dan
yang hanya merupakan biologis, kedewasaan mental dan
Wali hanya bagi anak di bawah usia 21 tahun Instruksi Presiden, dan mampu mandiri dalam masyarakat.1
dan atau belum menikah (KHI, 107:1) karenanya UU dianggap
sebagai peraturan yang lebih
otoritatif.
2 CAKUPAN Perwalian itu mengenai pribadi anak yang Dalam adat, perwalian juga meliputi
PERWALIAN bersangkutan maupun harta bendanya. (UU perlindungan diri anak dan hartanya.2
1/1974, 50:2)
3 PENUNJUKKAN Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang Dinas Syariat Islam Menurut adat, penetapan/penunjukan Dinas Syariat Islam Anak yatim yang tidak ada
/PENETAPAN menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum merekomendasikan bahwa wali dapat dilakukan berdasarkan merekomendasikan bahwa lagi wali nasab, atau washi
WALI ia meninggal, dengan surat wasiat atau pengajuan aplikasi perwalian kesepakatan keluarga dengan pengajuan aplikasi perwalian dapat ditetapkan
dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi. kepada Mahkamah Syar’iyah sepengetahuan orang-orang tua atau kepada Mahkamah Syar’iyah pengasuhannya oleh
(UU 1/1974, 51:1) mesti melampirkan daftar tuha peut gampong.5 mesti melampirkan daftar Mahkamah Syar’iyah
inventarisasi harta warisan inventarisasi harta warisan dengan biaya dari Baitul Mal
Penunjukan orang lain sebagai wali oleh milik anak yatim.4 Pasal 51 milik anak yatim.6 kalau anak tersebut tidak
Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali (4) UU 1/1974 mengatur hal memiliki biaya hidup dan
dicabut. (Penjelasan UU 7/1989, 49:2). yang sama mengenai hal ini. Mahkamah Syar’iyah
1
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).
2
Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).
3
Balai Harta Peninggalan adalah lembaga resmi yang ditunjuk oleh pengadilan untuk memelihara harta, jika penerima yang berhak atas harta tersebut tidak diketahui kemana
rimbanya atau masih di bawah umur.
4
Lihat Al-Indzar, publikasi khusus diterbitkan oleh Dinas Syariat Islam, no. 4 (15 September 2005), h. 7.
5
Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).
6
Lihat Al-Indzar, publikasi khusus diterbitkan oleh Dinas Syariat Islam, no. 4 (15 September 2005), h. 7.
96
berkewajiban mengawasi
[Atas permohonan yang berkepentingan, pelaksanaannya.7
Pengadilan Agama dapat] menunjuk seorang
wali dalam hal seorang anak yang belum
cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang
ditinggal kedua orang tuanya pada hal tidak
ada penunjukan wali oleh orang tuanya.
(Penjelasan UU 7/1989, 49:2).
7
Fatwa MPU 3/2005, 2:3.
97
UU 7/1989).
4 PERSYARATAN Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga Wali yang ditunjuk sedapat mungkin Perlu di catat bahwa
WALI anak tersebut atau orang lain yang sudah adalah laki-laki dari pihak keluarga pemeliharaan anak yatim
dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan ayah. Jika wali dari pihak keluarga sehari-hari biasanya
berkelakuan baik. (UU 1/1974, 51:2) ayah tidak ada, maka barulah ditunjuk diserahkan kepada
laki-laki dari karoeng (keluarga ibu) perempuan dari pihak
Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga sebagai wali. Jika ini pun tidak ada, karoeng (keluarga ibu).9
anak tersebut, dewasa, berpikiran sehat, adil, maka perempuan baik dari pihak
jujur dan berkelakuan baik atau badan hukum keluarga ayah atau ibu yang akan
(KHI, 107:4) ditunjuk, walaupun sebutan wali tidak
dikenakan kepadanya.8
Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud
dalam [UU 23/2002, 33] ayat (2) agamanya
harus sama dengan agama yang dianut
anak. (UU 23/2002, 33:3)
5 WALI Dalam Kompilasi Hukum Islam tidak ada Ahli hukum Subekti Hukum adat menekankan sedapat Majelis Permusyawaratan
PEREMPUAN ketentuan yang melarang perempuan untuk berpendapat bahwa bila mungkin wali yang ditunjuk adalah Ulama (MPU) mendukung
ditunjuk menjadi wali. salah seorang dari sepasang laki-laki. Meski begitu, dalam keadaan wali perempuan, khususnya
orang tua meninggal dunia, tertentu (misalnya dalam keadaan seorang ibu sebagai wali
maka pasangan yang hidup tidak ada laki-laki yang layak ditunjuk bagi anak-anaknya yang
otomatis bertindak sebagai sebagai wali), seorang perempuan telah menjadi yatim. Akan
wali bagi anak-anak yang dimungkinkan juga berfungsi sebagai tetapi, berkaitan dengan
masih di bawah umur 18.10 wali yang menangani pemeliharaan harta warisan anak-anak
sehari-hari anak yatim beserta harta yatim itu, tanggungjawab
Dalam praktek pengadilan warisannya. Akan tetapi, perempuan pengelolaannya berada di
(Mahkamah Syar’iyah), tersebut tidak akan dipanggil atau pihak ayah, kakek, atau bila
perempuan telah ditetapkan disebut sebagai ‘wali’.11 tidak ada, seorang wali atau
sebagai wali terhadap anak Mahkamah Syar’iyah.12
8
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006); Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).
9
Lihat Badruzzaman Ismail, “Wali Perempuan dari Aspek Hukum Adat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, makalah disajikan dalam Lokakarya Perwalian Anak yang diselenggarakan
bersama oleh Mahkamah Syar’iyah Provinsi, Yayasan Putroe Kande dan UNIFEM, Banda Aceh, 9-11 September 2005, h. 4.
10
Lihat “Inheritance, Guardianship and Women’s Legal Rights in Post-Tsunami Aceh: The Interaction of Syariah, Adat and Secular Laws”, IDLO Research Paper prepared by Tim Lindsey with
Robyn Philips, Cate Sumner and Cathy McWilliam, (forthcoming 2006), h. 59.
11
T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).
12
Lihat “Inheritance, Guardianship”, h. 60; Tgk. H.M. Daud Zamzamy, “Kedudukan Wali Perempuan: Kajian Fiqh Klasik”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Perwalian Anak yang
diselenggarakan bersama oleh Mahkamah Syar’iyah Provinsi, Yayasan Putroe Kande dan UNIFEM, Banda Aceh, 9-11 September 2005, h. 5.
98
6 WASIAT Orang tua dapat mewasiatkan seorang atau Mahkamah Syar’iyah Orang tua dapat mewasiatkan kepada
UNTUK badan hukum untuk melakukan perwalian atas menyatakan bahwa dalam seseorang atau badan hukum sebagai
PERWALIAN diri dan kekayaan anaknya (KHI, 108) hal tidak ada wasiat wali untuk anak-anak yang
perwalian, seseorang dapat ditinggalkannya.14
Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjadi wali yang sah
menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum setelah mendapatkan
ia meninggal, dengan surat wasiat atau penetapan/pengukuhan dari
dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi Mahkamah Syar’iyah.13
(UU 1/1974, 51:1).
7 KEWAJIBAN Wali wajib mengurus anak yang dibawah Mahkamah Syar’iyah Menurut adat, seorang wali Dalam masyarakat Aceh, Fatwa MPU 2/2005 (1)
DAN penguasaannya dan harta bendanya sebaik- menyatakan bahwa bila berkewajiban untuk mengurus anak wali tidak hanya menyatakan bahwa hukum
TANGGUNG baiknya, dengan menghormati agama dan seorang wali terpaksa dan hartanya, termasuk pendidikan, bertanggung jawab terhadap memelihara anak yatim
JAWAB WALI kepercayaan anak itu. (UU 1/1974, 51:3) menjual tanah milik anak di kesehatan, tempat tinggal dan anak yang berada di bawah adalah fardhu kifayah atas
bawah perwaliannya, wali kemaslahatan lainnya serta perwaliannya, tetapi juga umat Islam.
Wali bertanggung-jawab tentang harta benda terlebih dahulu harus mengantarnya ke jenjang terhadap masyarakat dalam
anak yang berada dibawah perwaliannya memperoleh izin dari perkawinan.16 gampong yang
serta kerugian yang ditimbulkan karena Mahkamah Syar’iyah.15 bersangkutan untuk
kesalahan atau kelalaiannya. (UU 1/1974, melaksanakan kewajibannya
51:5) dengan baik.17
13
Lihat Armia Ibrahim, “Perwalian Anak menurut Hukum Islam dan Hukum Positif”, makalah disampaikan dalam Workshop Faraidh III yang diselenggarakan oleh Yayasan Lamjabat, Banda Aceh, 8-10 April 2006.
14
Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).
15
Armia Ibrahim (Diskusi, 2 Juni 2006).
16
Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).
17
Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).
99
18
Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006); T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).
19
Bunyi ayat Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut: “Barang siapa [wali] mampu, maka hendaklah ia menahan diri [untuk memakan harta anak yatim itu] dan barang siapa
[wali] miskin maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.”
20
Lihat Al-Indzar, publikasi khusus diterbitkan oleh Dinas Syariat Islam, no. 4 (15 September 2005), h. 7.
21
Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, (Ttp. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Istimewa Atjeh, 1970), h. 103-104.
22
Ibid. h. 103.
101
23
Ibid., h. 103.
24
Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006); T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).
102
KEPADA ANAK mencapai usia 21 tahun atau telah menikah. mengurus dirinya sendiri, mempunyai
DI BAWAH (KHI, 111:1) penghasilan sendiri atau telah
PERWALIAN menikah.25
12 PERSELISIHAN Pengadilan Agama berwenang mengadili Berdasarkan pasal 49 UU Perselisihan mengenai harta waris
ANTARA WALI perselisihan antara wali dan anak yang no. 7/1989 tentang Peradilan yang diserahterimakan dari wali
DAN ANAK berada di wilayahnya tentang harta yang Agama dan Qanun no. kepada anak yang berada dalam
diserahkan. (KHI, 111:2) 10/2002 tentang Peradilan perwaliannya biasanya diselesaikan
Syariat Islam, penyelesaian melalui rapat adat gampong yang
sengketa perwalian dan dihadiri oleh geuchik dan pemuka
kewarisan berada dalam gampong setempat.26
kewenangan Mahkamah
Syar’iyah.
13 GUGATAN Wali yang telah menyebabkan kerugian
GANTI RUGI kepada harta benda anak yang dibawah
TERHADAP kekuasaannya, atas tuntutan anak atau
WALI keluarga anak tersebut dengan Keputusan
Pengadilan, yang bersangkutan dapat
diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.
(UU 1/1974, 54)
25
Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).
26
Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).