Anda di halaman 1dari 4

c 


      
   
 
Tinjauan Historis Terminologi dan Esensi ³Indonesia´ : Dari Etnografis dan
Geografis Menuju Politis Hingga Konteks Kekinian

Indonesia, negara yang berbendera merah putih atau bangsa yang benar-benar pemberani
dan memiliki kepribadian yang suci? Indonesia, negara dengan jumlah penduduk mencapai 235
juta jiwa menurut BPS per bulan Mei 2010 ditambah dengan sumber daya alam yang kaya dan
melimpah atau negara dengan jumlah penduduk miskin sekitar 31 juta jiwa dan sumber daya
alam yang semakin habis karena keberadaan MNC dari negara luar yang menancapkan akar
hisapnya untuk menyedot kekayaan bumi Indonesia? Indonesia, negara dan bangsa yang selalu
dan ³tetap dipuja-puja bangsa´ sesuai dengan salah satu lirik lagu wajib atau justru negara dan
bangsa yang sedang mengalami krisis moral dahsyat sehingga menjadi perhatian dunia
internasional yang salah satunya adalah FIFA? Pertanyaan di atas setidaknya mewakili
pertanyaan mengenai apa itu Indonesia yang tentu disesuaikan relevansinya dengan konteks
kekinian. Miris dan ironis, ketika harus mendapat cecaran pertanyaan seperti itu, bahkan untuk
menjawab salah satu diantaranya saja tak mampu karena malu kepada para pendahulu yang
menggagas, membangun, memperjuangkan, dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dan
negara Indonesia. Untuk mendefinisikan dan menilai Indonesia kontemporer, perlu dilakukan
upaya penjejakan kembali dengan melihat narasi historis perjalanan terbentuknya negara dan
bangsa Indonesia ini sehingga dapat menjadi cerminan dan aspek penilaian diri bagi Indonesia
kontemporer. Siapa saja yang berperan dalam penggagasan Indonesia dan apa gagasan mereka
yang kemudian menjadi cita-cita Indonesia juga akan dibahas dalam tulisan ini.
Ada beberapa perkembangan penggunaan terminologi ³Indonesia´ dari awal
ditemukannya hingga terminologi itu benar-benar dipakai untuk menanamai sebuah bangsa yang
tinggal di suatu teritori tertentu yang bertransformasi menjadi negara. Penggagas kata
³Indonesia´ untuk pertama kali adalah seorang pelancong dan pengamat sosial dari Inggris
adalah George Samuel Windsor Earl pada tahun 1850. Dia menggunakan terminologi ³Indu-
nesians´ untuk menjabarkan ras Polinesia yang berkulit coklat dan menghuni kepulauan Hindia
(Elson, 2008). Penyebutan ³Indu-nesians´ ini didasarkan pada pemahaman etnologis atas
kemiripan budaya secara luas di kepulauan Indonesia dan tempat lain pada saat itu. Earl menulis
sebuha artikel yang berjudul ‰    
        
  

 dimana dalam artikel ini ditegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan
c  
      
   
 
Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas, karena nama Hindia tidak tepat dan
menimbulkan kerancuan dengan penyebutan India yang lain. Namun terminologi ini kemudian
dibuang olehnya karena dianggap terlalu umum dan menggantinya dengan ³Malayunesians´.
Terminologi yang dibuang oleh Earl ini kemudian dipakai oleh James Logan di tahun
yang sama, 1850, yang memutuskan bahwa ³Indonesia´ adalah kata yang tepat untuk digunakan
sebagai istilah geografis, bukan etnografis. Logan lebih menyukai istilah geografis ³Indonesia´
yang merupakan kependekan dari istilah ³Indian Islands´ atau ³Indian Archipelago,
³Indonesian´ dari ³Indian Archipelagian´ atau ³Archipelagic´, dan ³Indonesians´ untuk ³Indian
Archiplegians´ atau ³Indian Islanders´ (Logan, 1850 dalam Elson, 2008). Logan adalah orang
pertama yang menggunakan istilah ³Indonesia´ untuk menjelaskan kawasan geografis yang
terbentang dari Sumatra sampai Formosa, Taiwan walaupun secara longgar dan tidak eksklusif.
Terminologi yang dimunculkan oleh Logan ini kemudia banyak diikuti oleh akademisi lain
seperti E.T. Hamy. Tahun 1877 ahli antropologi asal Perancis tersebut menggunakan istilah
³Indonesia´ untuk menjabarkan kelompok-kelompok ras prasejarah dan pra-Melayu tertentu di
kepulauan Indonesia (Elson, 2008). A. H. Keane melakukan hal yang sama dengan Hamy pada
tahun 1880, namun dia menggunakan istilah ³Indonesia´ untuk menjelaskan kodisi geografis
yang lepih tepat. Hal ini kemudian diikuti oleh N. B. Dennys dan Sir William Edward Maxwell.
Adolf Bastian, ahli etnografi, melanjutkan penggunaan istilah ³Indonesia´ secara lebih resmi
dengan mencantumkannya dalam 5 jilid karyanya, @ 
 
@   
 , pada tahun 1884 hingga 1894 yang kemudian juga diikuti oleh G. A. Wilken yang
menggunakan istilah ³Indonesia´ dalam pengertian geografis dan budaya yang lebih luas pada
tahun 1885. Sejak saat itulah istilah ³Indonesia´ menjadi populer dan mengemuka di kalangan
akademisi.
Tinjauan historis terhadap gagasan Indonesia selain dari segi geografis dan etnografis
dapat juga ditinjau dari aspek politis dengan melihat penciptaan Hindia Timur Belanda yang
dapat dianggap bersatu dan relatif terpadu dalam segi ekonomi oleh kekuasaan kolonial Belanda
(Elson, 2008). Walaupun sedikit tidak mengenakkan, tidak bisa dipungkiri bahwa Belandalah
yang menciptakan keteraturan perdamaian, dan kemakmuran serta menyatukan segenap
penduduk Hindia Belanda pada masa itu. Aspek kedua proses kemunculan gagasan Indonesia
sebagai kesatuan politik adalah integrasi vertikal seluruh wilayah Indonesia sebagai akibat
perkembangan sarana angkutan, terutama rel kereta dan jalan serta jalur pelayaran yang dijalin
c  
      
   
 
oleh perusahaan perkapalan Belanda (Elson, 2008). Menjelang dasawarsa pertama abad 20,
Hindia sudah lebih dari sekedar koloni dan dapat dikenali sebagai entitas politik karena memiliki
kemerdekaan dalam keuangan dan memiliki kedudukan legal di Jeddah dengan adanya konsulat
Hindia Belanda. Namun, Belanda sejatinya hanya menginginkan adanya imperium raya Belanda
dengan menolak segala bentuk gagasan politik yang mengarah pada kesatuan politis Hindia atau
kesatuan penduduk pribumi.
Istilah ³Indonesia´ sebagai sebuah nama bagi entitas politik mulai diperjuangkan oleh
pada mahasiswa Hindia yang ada di Belanda yang tergabung dalam @     (IV)
atau Hindia Poetra. Hindia Poetra berhasil membuat istilah ³Indonesia´ diterima secara luas baik
oleh mahasiswa Indonesia maupun sebagian kecil Belanda sebagai nama entitas geografis dan
politis seperti yang disampaikan oleh Noto Soeroto, 1918, ³Mari kita kelak mengatakan
µIndonesia¶ dan µBangsa Indonesia¶. Hal ini juga didukung oleh beberapa senior Belanda dan
menghilangkan keraguan dan kecanggungan untuk menggunakan istilah ³Indonesia´(Elson,
2008). Penamaan entitas politik di Indonesia sendiri mengalami pertumbuhan. Dari yang dahulu
disebut sebagai ³Hindia Timur´ yang kemudian memudar lalu diusulkan ³Inlander´ yang artinya
pribumi, namun usul ini juga ditolak. Douwess Dekker mengusulkan sebuah istilah yang disebut
dengan ³Insulinde´ namun juga akhirnya tidak dipakai karena bahasa yang dipakai adalah bahasa
Jerman. Nama lain yang juga mengemuka adalah ³Nusantara´ yang ternyata lebih disukai oleh
Soewardi dan Soekarno pernah menggunakannya dalam pidato pertamanya di depan umum
tahun 1917 (Elson, 2008). Istilah ³Nusantara´ tidak bisa diterima menjadi wacana indologi
karena mengandung konotasi Jawa-sentris. Momentum penggunaan istilah ³Indonesia´ terwujud
ketika pada tahun 1921 ada 3 orang Belandi dipimpin oleh van Hinloopen Labberton
mengajukan amandemen Volksraad atas revisi Konstitusi Hindia Belanda untuk mengganti kata
³Hindia Belanda´ dengan ³Indonesia´ (Elson, 2008). Mereka memiliki pandangan bahwa orang-
orang yang hidup di Indonesia akan mengembangkan diri menjadi bangsa Indonesia tanpa
memandang ras dan warna kulit.
Entitas politik yang namanya baru resmi secara konstitusi Belanda pada tahun 1921 ini
memiliki tipologi masyarakat yang unik, terdiri dari beragam etnis dan ras. Ketegangan dan
konflik memang rawan terjadi, namun masyarakat Indonesia telah sepakat, ³Orang Jawa tetaplah
orang Jawa, orang Sumatra tetaplah Sumatra -orang bukan bunglon!- tapi semuanya bergabung
menjadi satu BANGSA dan NEGARA (Elson, 2008). Selama di bawah pemerintahan Belanda,
c  
      
   
 
Hindia telah menjadi satu, tidak lagi terkotak-kotak seiring adanya kesatuan yang membuat
gerakan pribumi menjadi semakin kuat sehingga kesatuan tersebut tidak memicu ketegangan.
Pengakuan-pengakuan atas rasa kesatuan seperti ditunjukkan oleh Putra Mahkota Yogyakarta
yang menyebut dirinya sebagai seorang Indonesia semakin memperkokoh kesatuan karena
adanya itikad baik datang dari dalam masyarakat Indonesia pada saat itu.
Sejarah panjang bagaimana terminologi ³Indonesia´ muncul mengandung esensi-esensi
tersendiri yang tidak bisa dilupakan. Gagasan mengenai konsep kebangsaan juga diperhatikan
secara detail dalam setiap penyampaian usulan terminologi. Yang tidak kalah menarik adalah
bagaimana banyak tokoh yang begitu menaruh perhatian bagi Indonesia kala itu, tidak hanya
datang dari kaum pribumi, namun juga datang dari pihak asing. Semua tokoh yang berperan
memiliki satu tujuan, bagaimana mewujudkan kemerdekaan Indonesia dengan bangsa yang kuat
dengan menaruh semua kepentingan pribadi dan segala bentuk perselisihan dan ketegangan yang
menghambat. Pada akhirnya cita-cita untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang memiliki rasa
persatuan diatas perbedaan sudah dicanangkan sejak awal berdirinya, untuk menjadi sebuah
pribadi yang Indonesia. Pertanyaannya adalah apakah semangat kesatuan dengan meletakkan
semua kepentingan pribadi demi tercapainya tujuan bangsa dalam konteks kekinian masih sama
dengan dahulu? Apakah cita-cita yang dulu digagas sudah bisa tercapai jika melihat keadaan
sekarang? Apakah di setiap hati dan kepala individu Indonesia masih menjunjung tinggi
kepentingan negara dan rakyatnya? Nampaknya ini akan tetap menjadi sebuah retorika yang
hanya perlu dijawab dengan tindakan konkrit. Pertanyaan retorika terakhir yang tidak kalah
penting sekaligus menjadi penutup dan renungan dari tulisan ini adalah ³sudahkah (atau
masihkah) kita Indonesia?´

Xeferensi :

Elson, R. E. 2008.     @ 


, dalam  @
 @ 
  
 !    . Jakarta : Serambi

Anda mungkin juga menyukai