Di Indonesia, yang paling memerlukan pendidikan adalah mereka yang berada di daerah miskin dan terpencil. Untuk
mengatasi kebutuhan pendidikan bagi mereka adalah upaya penerapan cara non konvensional. Cara lain itu adalah
memanfaatkan potensi, kemajuan serta keluwesan teknologi.baru.
Telah banyak dibicarakan orang tentang pergeseran paradigma dalam pendidikan. Ungkapan observasi seperti: 1. masa
depan pendidikan akan berupa jaringan bukan bangunan (Mason 1994, h.12); 2. pergeseran dari pendidikan
tradisional kearah pendidikan yang lebih terbuka melalui cara pembelajaran jarak jauh (Mukhopadhyay,1995); dan 3.
pendidikan akan bersifat pluraristik, multidisipilin dan beragam (Alisyahbana, 1996). merupakan pendukung terhadap
adanya pergeseran paradigma ini.
Sekalipun teknologi baru seperti teknologi komunikasi, informasi dan adi-marga menawarkan pemerataan pendidikan
dengan biaya yang relatif rendah (Ono Purbo, 1996), penggunaannya masih merupakan jurang pemisah antara 'yang
kaya' dan 'yang miskin'.
Di samping itu, sekalipun teknologi dapat menjangkau yang tak terjangkau serta dapat menghadirkan pendidikan
kepada warga belajar, mereka yang terlupakan tetap dirugikan karena bukan hanya tetap buta teknologi tetapi
tertinggal dalam hal ilmu pengetahuan.
Masalah bagaimana meratakan kesempatan pendidikan kepada mereka yang kurang beruntung akan tetap ada selama
keikut-sertaan secara tulus antara orang tua, masayarakat, pemerintah serta dunia yang peduli belum terwujud.
Memang, pendidikan bagi kaum miskin yang terlupakan itu memakan biaya dan memerlukan kepedulian kita semua.
Pada Pertemuan Reviu para Menteri dari Sembilan negara yang padat penduduknya,
Presiden Indonesia saat itu menyatakan keinginannya untuk menuntaskan penghapusan
buta huruf pada tahun 1998. Tingkat buta huruf kala itu dilaporkan sebesar 87 persen. Bila
keseluruhan populasi penduduk di Indonesia 196 juta, untuk mengentaskan buta huruf
bukanlah tugas mudah untuk dikerjakan. Angka ini akan bertambah besar manakala
mereka yang berada di daerah terpencil dan yang kurang beruntung pendidikannya harus
diperhitungkan akan ikut berperan dalam kompetisi global.
Dikemukakan dalam pertemuan DE-9 (sembilan negara yang padat penduduknya) bahwa
peran pemerintah untuk berhasilnya pendidikan adalah sangat penting. Namun,
bagaimana melaksanakan hal tersebut di lapangan sangat ditentukan oleh kesadaran
setiap anggota masyarakat. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, kala itu, Prof. Ing
Wardiman Djojonegoro, menegaskan bahwa di Indonesia, pendidikan bukan hanya
tanggungjawab dari pemerintah, melainkan secara undang undang juga merupakan
tanggungjswab orangtua dan masyarakat". Tentu, dengan kata 'masyarakat' diartikan
sebagai kalangan pengusaha.
Tantangan Globalisasi
Era global ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan industri, kompetisi yang
ofensif dalam semua aspek kehidupan ekonomi, serta perubahan kebutuhan yang cepat
didorong oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Timbulnya era globalisasi juga ditandai
dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Dalam sektor pendidikan, kewajiban belajar tingkat dasar perlu diperluas dari 6 ke 9
tahun, yaitu dengan tambahan 3 tahun pendidikan setingkat SLTP seperti dimandatkan
oleh Peraturan Pemerintah 2 Mei 1994. Hal ini segaris dengan semangat "Pendidikan
untuk Semua" yang dideklarasikan di konferensi Jomtien di Muangthai tahun 1990 dan
Deklarasi Hak-Hak Azasi Manusia Sedunia Artikel 29 yang berbunyi :
Setiap orang memiliki hak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus bebas, setidaknya
pada tingkat dasar.
Pendidikan dasar harus bersifat wajib. Pendidikan teknis dan professional secara umum
harus terbuka bagi siapa saja dan siapapun yang memiliki kemampuan harus dapat
memasuki pendidikan tinggi.
G. Bishop (1989) meramalkan bahwa pendidikan masa datang cenderung lebih fleksibel,
terbuka, beragam, dan dapat diikuti oleh siapa saja yang membutuhkan tanpa
memperhitungkan usia, jenis kelamin, pengalaman pendidikan sebelumnya dsb.
Sebagaimana diamati oleh para pakar, pergeseran paradigma pendidikan saat ini sedang
berlangsung. Mason R (1994) menyatakan bahwa sedikitnya ada lima alasan mengapa
pendidikan mendayagunakan teknologi komunikasi dan informasi yaitu:
Pertama, karena potensinya yang dapat meningkatkan akses pendidikan dan pelatihan
bagi siswa yang tinggal di daerah terpencil dan terisolasi, tidak mempunyai waktu untuk
mengikuti pendidikan yang reguler.
Kelima, memperluas kesempatan belajar interaktif dan kolaboratif bagi siswa jarak jauh
(interaktivitas). Karena belajar seumur hidup akan merupakan ciri kebutuhan dalam
kompetisi global, Mason melihat bahwa jaringan kerjalah (bukan bangunan) yang
merupakan pendidikan masa depan.
M. Mukhopaddhyay (1995), Wakil Presiden ICDE untuk Wilayah Asia pada symposium
Internasional Pertama IDLN 1995 di Yogyakarta, mengemukakan adanya pergeseran
paradigma pendidikan dari tradisional mengarah ke terbuka melalui pembelajaran jarak
jauh seperti diilustrasikan pada gambar di bawah ini.
Dia percaya bahwa skenario pendidikan jarak jauh masa depan akan didominasi oleh
teknologi interaktif dan cara pembelajaran dalam keseluruhan kerangka pembelajaran
multi saluran. Siswa tidak harus hanya dapat memiliki kebebasan memilih mata pelajaran
tetapi juga memilih cara dan saluran belajar, atau dengan kata lain belajar secara luwes
(fleksibel).
CMC memiliki potensi untuk menunjang baik paradigma instruksional (asynchronous) atau
konversasional (synchronous), seperti laiknya model koresponden dan telekonferensi.
Mereka menyatakan lebih lanjut bahwa meskipun CMC tak akan otomatis dapat merubah
prilaku pembelajaran, "pertumbuhan yang lahir karena teknologi ini ahirnya akan
menemukan generasi baru yang dididik di alam komputer dan sekolah komunikasi
internasional, dan cepat atau lambat akan menjadi norma bukannya lagi pengecualian".
Alisjahbana (1996), dari segi pandang yang agak berbeda, berpandangan bahwa
pendekatan baru dalam pendidikan dan pekerjaan akan datang "serentak" pada saat itu
juga. Menurutnya dengan penciutan dan pergeseran berskala besar ke arah ekonomi
informasi, pekerja dituntut dapat lebih luwes dan terlatih, terutama dalam penggunaan
teknologi. Belajar akan merupakan produktivitas saat itu juga, bukannya pasca latihan.
Teknik pengajaran baru menurutnya bersifat dua-arah: kolaboratif dan antar disiplin ilmu.
Makalah ini tidak berupaya menjawab mana yang lebih dahulu: pendidikan atau
teknologi? Sebab hal ini hanya akan menyerupai ayam atau telur. Suka atau tidak suka
kita berada dalam alam globalisasi yang cepat berubah dengan kemajuan teknologinya.
Dinamika perubahan yang sangat pesat ini menghendaki akses yang cepat dan, seperti
yang dikemukakan Alisjahbana "akses informasi saat itu juga". Ini memang benar bila kita
mengacu pada peserta didik orang dewasa. Kita, sebagai manusia dewasa, adalah orang-
orang arogan. Kita perlu privasi. Kita tidak suka didikte oleh orang lain, setidaknya pura-
pura tidak suka. Kita benci orang lain tahu atau menunjukkan kekurangan kita. Itulah
mungkin mengapa, simulasi interaktif yang maya lebih disukai oleh peserta didik dewasa
yang melek teknologi. Kemudian karena peserta didik sendirilah yang akhirnya menjadi
ukuran berhasilnya suatu upaya belajar, sukar kiranya dapat diterima bahwa pengajaran
tatap-muka yang tergantung pada hadirnya seorang guru atau instruktur akan menjadi
keharusan dalam belajar.
Tony Bates (1995) melihat bahwa di samping dapat meningkatkan kualitas teknologi juga
dapat menjangkau kelompok sasaran yang jauh dengan biaya yang relatif lebih rendah
daripada cara yang konvensional. Dia juga mempunyai keyakinan bahwa aplikasi
teknologi yang bijak untuk pendidikan dan pelatihan sangat kritis untuk perbaikan
ekonomi. Nilainya akan lebih besar bila diterapkan untuk membentuk tenaga kerja
ketimbang masa pendidikan yang memakan waktu.
Perhitungan biaya Ono Purbo et al (1996) yang jatuh pada kisaran Rp. 500 sampai
Rp.1000 setiap siswa per bulan memperkuat pendapat Bates bahwa pengunaan teknologi
relatif lebih murah.
Walaupun skala ekonomi tampak membenarkan apa yang Bates dan Purbo ramalkan, apa
yang dikemukakan Mason tetap harus dicermati, yaitu: meskipun teknologi komunikasi
meningkatkan akses dan pemerataan, penggunaan teknologi masih memperlebar jurang
pemisah antara yang kaya dengan yang miskin. Pengamatan tak resmi di warung internet
menunjukkan bahwa orang rata-rata mengggunakan internet antara 30 menit.
Kecuali bila segala sesuatunya sama, paradoks ekonomi yang mengatakan si miskin akan
membayar lebih dari pada yang kaya tetap berlaku. Mereka harus membayar pajak tak
langsung karena mereka tak dapat membayar harga yang diberi potongan (Beli dalam
jumlah yang besar dapat potongan)
Pantas direnungkan adalah apa yang dikemukakan Romiszwoski dan Robin Mason (1996)
tentang pendidikan masa depan, yakni: meskipun CMC tak akan otomatis dapat merubah
perilaku pembelajaran, system konferensi dengan komputer akan merupakan teknologi
yang murah yang akan terus tumbuh saampai ke lapisan yang paling bahwah. Sistem
konferensi dengan interface-nya yang semakin sempurna akan mendapat pasar yang
semakin luas dan warga belajar lambat laun akan dapat menyesuaikan dengan paradigma
interaktif dan kolaboratif yang dibawakannya. Namun pertumbuhan yang lahir dari
teknologi ini ahirnya akan menemukan generasi baru yang dididik di alam komputer dan
sekolah komunikasi internasional, dan cepat atau lambat akan menjadi norma bukannya
lagi pengecualian".
Yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah bagaimana, di mana dan kapan warga
belajar yang buta teknologi dan kurang beruntung ini dapat berinteraksi aktif dalam
simulasi maya dengan sesama rekan belajar melalui penciptaan kondisi belajar yang
memudahkan.
*) Raphael Raharjo adalah pakar teknologi pendidikan. Makalah ini dipresentasikan pada Symposium III di Bali 1996,
diterjemahkan oleh Karnadi.