Anda di halaman 1dari 51

Diskusi tentang Foto Cerita

di majalah National Geographic,


panduan untuk mengikuti FK Award 2011 kategori Photo Story

Disampaikan oleh Reynold Sumayku, photo editor majalah National Geographic Indonesia
dan National Geographic Traveler Indonesia

April 2011 ~ For Educational and Promotional Purposes Only


Amy Toensing. Kekeringan di Cekungan Murray. National Geographic, April 2009
Amy Toensing. Kekeringan di Cekungan Murray. National Geographic, April 2009
Amy Toensing. Kekeringan di Cekungan Murray. National Geographic, April 2009
Amy Toensing. Kekeringan di Cekungan Murray. National Geographic, April 2009
Amy Toensing. Kekeringan di Cekungan Murray. National Geographic, April 2009
Amy Toensing. Kekeringan di Cekungan Murray. National Geographic, April 2009
Amy Toensing. Kekeringan di Cekungan Murray. National Geographic, April 2009
Amy Toensing. Kekeringan di Cekungan Murray. National Geographic, April 2009
Amy Toensing. Kekeringan di Cekungan Murray. National Geographic, April 2009
Amy Toensing. Kekeringan di Cekungan Murray. National Geographic, April 2009
Amy Toensing. Kekeringan di Cekungan Murray. National Geographic, April 2009
Setelah melihat deretan foto-foto di atas,
saya menduga kita segera dapat menangkap suatu benang merah. Ada kisah
yang terkandung di dalam rangkaian foto tersebut. Suatu kisah yang hendak
disampaikan oleh fotografer Amy Toensing, mengenai kekeringan yang mulai
melanda Basin (Cekungan) Murray, Australia.

Saya berulangkali menggunakan foto-foto yang diambil dari National


Geographic edisi April 2009 ini untuk menyampaikan presentasi karena foto-
fotonya sederhana tetapi langsung mengena. Ceritanya cukup kuat dan
barangkali tanpa melihat keterangan fotonya pun kita dapat langsung
mengerti. Di sana ada foto lanskap yang berdebu, tanah retak, sungai yang
mulai kering, orang-orang yang mandi dan menampung kembali airnya—untuk
digunakan sebagai penyiram tanaman (hemat air). Ada profil sebuah keluarga,
ada pula foto sekumpulan orang yang sepertinya tengah berada dalam suatu
rapat desa, mungkin membicarakan masalah air dan membahas kemungkinan
solusinya demi kepentingan bersama.

Untuk rangkaian foto seperti itu, istilah apa yang kita gunakan? Apakah itu
sebuah Photo Story? Photo Essay? Photo Series?

atau…

Picture Stories?
New York Institute of Photography, sekolah foto yang usianya telah dihitung
sejak 1910, dalam suatu pengantarnya tentang fotojurnalistik menulis kalimat-
kalimat yang saya kutip di sini:

“Photojournalism is the photograph you see on page one of your daily newspaper
illustrating the traffic accident at Fourth and Main. It’s the photograph on the sports
page from yesterday’s football game. It’s the ‘photo stories’ in the Sunday supplement
on “A Day in the Emergency Room” and “Life in the Retirement Home.””

Mereka menggunakan istilah “photo stories”. Kutipan di atas sengaja tidak saya
terjemahkan.
Kemudian, di bagian lain, mereka menulis definisi tentang Picture Stories.
Saya kutip di bawah ini, dan sebagian tidak saya terjemahkan:

“Picture Stories. Sebuah picture story adalah seri foto yang menceritakan kisah.
Misalnya tentang program penyuluhan mengenai bahaya obat bius di sekolah, atau
suasana dan aktivitas malam di sebuah kantor pemadam kebakaran.
Sebuah picture story mungkin dicetak sebagai bagian dari sebuah feature panjang. Atau
dicetak hanya disertai caption singkat. Bahkan mungkin juga disajikan tanpa tambahan
teks apapun. Regardless, the picture story, sometimes also called a photo essay, has
become important element in modern photojournalism.”

Perhatikan bagian dari kalimat terakhir di atas: “Picture Story kadang disebut
Photo Essay”.
Pada bagian lain (saya terjemahkan):

“Pada suatu masa, picture story menjadi domain dari majalah-majalah fotografi berita
seperti LIFE dan Look. Suatu picture story bisa dicetak berhalaman-halaman. Sebelum
era booming televisi, melalui photo essay semacam itulah masyarakat mendapat
suguhan mengenai banyak realita di seluruh dunia.

Dewasa ini, kita mungkin menemukan picture story di beberapa surat kabar, terutama
pada edisi akhir pekan. Atau dalam majalah feature seperti National Geographic, Sports
Illustrated, atau bahkan People.”

Sekadar informasi, bacaan yang saya kutip ini dibuat pada 1993. Saya tidak
tahu apakah saat ini Sports Illustrated dan People masih ada, tetapi pada
tahun 1990-an saya beberapa kali melihat kedua majalah tersebut dan
fotografinya memang kuat.
Menurut New York Institute of Photography (sebagian saya terjemahkan):

“Photo Essay. Terkadang, picture stories juga disebut photo essays. Namun,
sebagian jurnalis foto berargumen bahwa keduanya berbeda. Sebabnya? Sebuah
photo story menampilkan beberapa aspek dari sebuah peristiwa, sedangkan photo
essay tidak hanya menampilkan informasi, tetapi juga sekaligus melakukan persuasi
kepada pembaca. Kami menggunakan kedua istilah tersebut bergantian, artinya
dapat dipertukarkan, seperti halnya dilakukan oleh banyak fotografer profesional.
Definisi umum mengenai sebuah esai sendiri adalah “suatu komposisi tulisan tentang
subyek tertentu.” Umumnya, sebuah picture story disertai oleh teks secukupnya, dan
apabila persuasion dimaksudkan di dalam rangkaian informasi yang disampaikan,
orang akan mampu mengenalinya dengan mudah.”

Dalam bacaan di atas, istilah photo story (ies) digunakan bergantian dengan picture
story (ies). Kemudian, picture/photo story itu juga dapat digunakan bergantian dengan
photo essay. Di halaman berikut, kita akan melihat apa yang dikatakan oleh Michael
Davis, mantan picture editor di National Geographic.
“Saya akan mengatakan bahwa sebuah picture story cenderung mengenai suatu
tempat atau orang atau situasi. Sedangkan essay cenderung mengenai suatu tipe
atau aspek dari banyak tempat, banyak hal, atau orang. Kedua istilah tersebut
membutuhkan hal yang sama: alur yang menyatukan. Anda dapat mengikuti
kehidupan seseorang selama bertahun-tahun dan tetap tidak mampu
mendapatkan serangkaian foto yang menceritakan kisah, apabila Anda tidak
memiliki cerita di dalam benak Anda. Pada akhirnya, baik picture story atau
essay sama-sama menceritakan sebuah kisah.”
~~Michael Davis

Menurut Michael Davis, bekerja membuat picture stories cenderung


membutuhkan keterampilan diri yang luas. Ia menyebutkan bahwa
berdiam di suatu tempat dalam jangka waktu lama tidaklah mudah.
Subyek cerita kita harus dalam kondisi bisa menerima kita dengan
tangan terbuka, artinya kita membutuhkan teknik pendekatan dan
pembawaan diri yang baik. Padahal, tidak ada resep khusus tentang
bagaimana melakukannya. Terkadang, di tengah jalan, arah cerita yang
terjadi berubah. Pekerjaan kita menjadi lebih rumit. Kita harus
menyesuaikan diri dan membuat penafsiran ulang terhadap apa yang
terjadi, dan terhadap arah cerita kita.
Sedangkan dalam membuat essay, menurut Davis, kita membutuhkan
“kejernihan melihat”. Kita menentukan sudut pandang secara keseluruhan,
melihat duduk perkara, terkadang dengan mengaitkan hal-hal yang
seringkali tidak tampak terlalu jelas kaitannya. Kalau bukan tentang kaitan
antara satu hal dengan hal-hal lainnya, itu pastilah tentang kaitan waktu,
atau kaitan kejadian. Essay membutuhkan kerajinan dan ketekunan yang
berbeda dengan pengerjaan story. “Kemudian, ada topik-topik yang
membutuhkan pendekatan story maupun essay sekaligus,” tulis Davis.
“Anda dapat membuat individual picture stories yang dikombinasikan
seperti sebuah essay, untuk membahas sebuah topik yang lebih luas.”
Kenapa saya merasa perlu untuk mengutip bacaan-bacaan di atas? Tidak
lain tidak bukan, adalah untuk memberi sedikit gambaran mengenai
ragam penyebutan istilah terkait komposisi foto yang berkisah ini.
Selebihnya terserah kepada Anda. Bagaimanapun, ketika saya
konfirmasikan beberapa waktu lalu kepada salah satu dewan juri
Foto Kita Award 2011 yang sekaligus merupakan kurator Galeri Foto
Antara yang pertama, Yudhi Soerjoatmojo, jawabannya adalah,
“Sama saja. Cuma, sepertinya istilah photo essay lebih sering
dipergunakan.”

Satu hal lagi yang menurut saya kaitannya cukup erat dengan sebuah
photo story atau photo essay adalah layout. Desain. Mari kita lihat
kalau foto-foto kekeringan di Cekungan Murray, Australia, karya
Amy Toensing kita dekatkan satu sama lain dan ditampilkan dalam
satu halaman—kalau perlu dengan penempatan yang
memperhitungkan urutan foto atau besar-kecilnya. Berikut ini
bukanlah desain yang baik, namun dengan menampilkan foto-
fotonya dalam satu halaman, barangkali akan memberikan impresi
berbeda dibanding kita melihat fotonya satu per satu seperti di awal
tadi. Seharusnya ada teks pengantar atau mungkin bisa juga
ditambah caption di bawah tiap-tiap foto.
Kekeringan di Australia
~Amy Toensing
Contoh lain:

Krimea, Permata di Dua Mahkota. Foto oleh Gerd Ludwig. Dimuat di


National Geographic edisi April 2011. Mengisahkan tentang suatu
wilayah dengan lanskap yang cantik di Ukraina. Walaupun menjadi
bagian dari Ukraina, masyarakat di sana lebh fanatik kepada Rusia
yang dianggp sebagai representasi dari Uni Soviet.
Crimea: Permata
di Dua Mahkota
~Gerd Ludwig
Kesatria
Penantang Api
~Reynold Sumayku
Bekantan Sei Hitam
~Reynold Sumayku
FotoKita Award 2011

Kategori Photo Story


Panduan Dasar Membuat Komposisi Foto Cerita

1. Pembuka
2. Potret
3. Interaksi
4. Penanda Utama
5. Detil
6. Penutup

atau…

1. Hook
2. Establishing
3. Medium/Environment portrait
4. Detail/Close up
5. Portrait
6. Gesture/Exchange
7. Closing
Hook/Opener/Teaser
Penarik perhatian. Menimbulkan penasaran. Terkadang foto pembuka.

Reynold Sumayku
Establishing Photo
Konteks. Set. Biasanya wide angle. Biasanya agak di awal.

Reynold Sumayku
Portrait
Subyek cerita

Reynold Sumayku
Medium/Environment Portrait
Subyek cerita di tengah lingkungannya. Pembentuk karakter.

Reynold Sumayku
Detail/Close-Up
Bumbu. Penguat. Pemberi nuansa khas.

Reynold Sumayku
Gesture/Exchange
Gestur. Interaksi. Pergerakan.

Reynold Sumayku
Closing

Reynold Sumayku
Reynold Sumayku

Tengkawang
Sungulo Palin
Contoh 2
Tanpa Terlalu Terpaku pada Aturan
Reynold Sumayku
Reynold Sumayku
Reynold Sumayku
Reynold Sumayku
Reynold Sumayku
Reynold Sumayku
Reynold Sumayku
Reynold Sumayku

Antara Tradisi
dan Iman
Idealnya, esai membutuhkan plot lengkung layaknya sebuah buku bagus. Ada
awal, pertengahan, klimaks, penutup. Mungkin juga termasuk di dalamnya:
detail, tensi, paradoks, atau kesimpulan. Untuk membuat foto cerita
sederhana, terkadang saya sering membayangkan komik singkat yang
dimuat di halaman-halaman surat kabar atau majalah.

Nah, setelah melihat panduan dasar membuat sebuah foto cerita, kita akan
sedikit membahas tentang FotoKita Award 2011 untuk kategori photo story.
Dalam beberapa kesempatan saya pernah ditanya teman-teman calon
peserta tentang hal-hal ini: seperti apa foto cerita yang sesuai dan cocok
dengan ruh National Geographic?
Saya akan menjawab, cara pertama yang paling mudah adalah dengan melihat
dan mempelajari foto-foto dalam feature di majalahnya. Apakah National
Geographic semata berisi cerita tentang kehidupan satwa dan tanaman (fauna-
flora)? Seberapa sering National Geographic menampilkan foto satwa dengan
lensa makro? Seberapa sering kita melihat foto manusia di majalah tersebut
yang diambil dengan lensa tele?

Mempelajari isi suatu majalah, menurut saya, adalah salah satu cara terbaik
untuk membuat foto-foto serupa yang mungkin cocok dengan majalah
tersebut. FotoKita Award 2011 mengambil tema Populasi 7 Miliar , sesuai tema
besar laporan majalah National Geographic sepanjang 2011. Foto-foto yang
diharapkan, tentu saja, adalah foto-foto yang sesuai dengan semangat National
Geographic.

Majalah National Geographic memberikan ruang yang luas kepada foto. Foto
detail penting. Tetapi foto yang memberikan nuansa ruang sering lebih penting
bagi National Geographic.
National Geographic Magazine
bukan majalah fotografi, melainkan sebuah jurnal resmi yang diterbitkan oleh
National Geographic Society (berdiri pada 1888). Ketika didirikan, National
Geographic mengusung misi “Meningkatkan dan Menyebarkan
Pengetahuan Geografis”. Belakangan, misi tersebut dipertegas ke arah
“Menginspirasi Kita agar Peduli terhadap Planet Bumi”.

Fotografi adalah medium bagi majalah National Geographic untuk


menjalankan misinya tersebut. Medium tersebut telah memiliki sejarah dan
standar yang tinggi, menjadi tradisi. Foto-foto di majalah NG semuanya
dibuat dengan alasan dan tujuan untuk menginspirasi kepedulian terhadap
kelangsungan planet kita bersama, baik dalam skala kecil maupun besar.
Sudut pandang mungkin saja personal (namun harus dilandasi oleh ilmu
pengetahuan pula), sedangkan topiknya bukanlah topik personal. NG
menceritakan tentang tempat, manusia atau satwa yang hidup di atasnya,
bagaimana mereka hidup, bagaimana problematikanya, dan apa harapan
akan kemungkinan solusinya.

Teknis fotografi adalah pertimbangan, namun bukan tujuan utama. Membuat


foto yang indah secara fotografis tidaklah berarti dalam konteks ini jikalau
kita tidak memiliki alasan yang terkait dengan misi NG: kenapa kita
membuat foto tersebut? Apa alasannya? Apa yang hendak kita kemukakan?
Itulah mengapa situs FotoKita.Net mengusung moto “Indah Bermakna.”

Panduan mengenai komponen-komponen dasar sebuah photo essay di atas


(atau apapun sebutan yang digunakan untuk menamainya) pada akhirnya
hanyalah sebuaah alat, bukan tujuan utama. Foto-foto cerita yang
digunakan dalam majalah National Geographic pada dasarnya adalah
pengembangan dari komponen-komponen dasar tersebut. Suatu cerita di
NG bisa disampaikan sampai 30 halaman, sehingga memberi ruang lebih
luas dibanding sekadar 6-7 foto. Akan tetapi, ada pula cerita-cerita tertentu
di majalah itu yang tidak merupakan sebuah photo story. Ada yang lebih
merupakan ilustrasi-ilustrasi mengenai suatu hal atau fenomena yang
terjadi di berbagai tempat atau negara. Apabila satu, dua, atau beberapa
foto dalam rangkaian tersebut dihilangkan, sebenarnya tidak akan
mengubah alur atau kohesivitas cerita. Kita hanya akan kehilangan ilustrasi
mengenai kejadian atau fenomena serupa yang terjadi di tempat lain.
Bagaimanapun, informasi dari berbagai tempat untuk sebuah cerita
bertema global di NG tentulah penting. Kalau fotonya bagus dan
informasinya kuat, tidak ada yang dibuang.
Sedikit banyak, mungkin ada benarnya dugaan bahwa umumnya pehobi
fotografi di Indonesia belum terlalu banyak yang berminat ke arah foto
cerita. Namun, dalam kontes FK Award 2011, tantangan dibuka lebar.
Sebenarnya membuat foto-foto yang mengugah kepedulian orang terhadap
dunia di mana kita hidup tidaklah sulit—sejauh kita berniat. Bahkan topik-
topiknya pun bisa saja ditemukan di sekitar kita. Yang dibutuhkan adalah
kepekaan dan story board yang disusun dalam kepala.

Salah seorang fotografer kontributor NG, Ed Kashi, mengatakan bahwa dewasa


ini tidaklah cukup lagi pergi ke tempat-tempat terpencil untuk membuat
foto-fotonya. Yang akan menjadi pembeda adalah kemampuan seorang
fotografer dalam menyusun cerita. Dalam FK Award 2011 yang bertema
populasi, tema yang dapat digali sangatlah luas. Kita bicara mengenai
populasi sekaligus dampak-dampaknya terhadap dunia di mana kita hidup.
Bagaimana soal daya dukung lingkungan? Bagaimana soal ketersediaan dan
keberlanjutan pangan? Bagaimana soal kebutuhan energi? Banyak lagi
tema-tema besar lainnya yang terkait populasi. Belum lagi kalau tema-tema
besar tersebut dibuat turunannya. Apa yang kita lihat di Indonesia? Di
sekitar kita?
Tema-tema terkait populasi dimuat di majalah NG sepanjang tahun 2011 dan
dapat menjadi panduan mengikuti FK Award 2011 tema Photo Story,
sepanjang kita berusaha menggalinya dalam konteks lokal. Pedoman dasar
mengenai komponen-komponen yang membentuk photo essay di atas
dapatlah gunakan dalam ajang ini. Namun yang lebih penting adalah, kita
mau menyampaikan apa dengan photo story tersebut?

Kurator Galeri Fotografi Jurnalistik Antara yang pertama, sekaligus salah satu
juri FK Award 2011, Yudhi Soerjoatmojo, pada diskusi sebelum dimulainya
kontes foto ini mengatakan, “Sebaiknya calon peserta jangan diberi terlalu
banyak contoh foto, karena kemungkinan besar foto-foto seperti itulah yang
akan dibuat.”

Pada lomba periode pertama, foto-foto yang diunggah oleh peserta banyak
sekali yang menggambarkan kerumunan manusia. Pada periode kedua dan
selanjutnya sampai akhir tahun nanti, semoga kita akan melihat foto-foto
cerita yang lebih bervariasi.
Barangkali perlu juga disampaikan bahwa saat kita membuat foto tentang
manusia, hendaknya kita dapat menghormati dan menjaga perasaan subyek
foto kita tersebut. Mereka bukanlah obyek, sehingga barangkali kita dapat
menghindari sikap atau tindakan eksploitatif secara berlebihan.

Sekian dan Terima Kasih


Mohon Maaf Atas Kekurangannya
dan Selamat mengikuti FK Award 2011 kategori Photo Story

Informasi Kegiatan:
National Geographic Indonesia
http://fotokita.net/event/fk-award
Email : event@nationalgeographic.co.id
FB: http://nationalgeographic.co.id/facebook
Twitter: @fotokitanet & @NGIndonesia #frameFK

Anda mungkin juga menyukai