Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tuhan menciptakan manusia dengan segala kelebihannya, kelebihan yang
dimiliki manusia adalah akal pikiran atau nalar. Dengan nalar diharapkan manusia mampu
manjadi kholifah dibumi, dalam artian manusia biasa memelihara dan memanfaatkan segala
apa yang tuhan ciptakan untuknya. Pendidikan pada Pondok Pesantren Salafiyah merupakan
lembaga sosial kemasyarakatan yang menjadi ciri khas lembaga pendidikan Islam tradisional
terbesar di pelosok-pelosok baik di desa maupun di perkotaan.
Pendidikan pada Pondok pesantren juga merupakan pendidikan tertua di
Indonesia yang telah melahirkan tokoh-tokoh pergerakan nasional serta tokoh-tokoh
masyarakat yang memiliki andil besar tehadap bangsa Indoneseia khususnya dalam upaya
pencerdasan dan pembentukan jiwa yang sempurna.
Pondok pesantren merupakan salah satu cikal bakal dan pilar pendidikan di
Indonesia. Pesantren sendiri terbagi menjadi beberapa jenis dilihat dari bentuk metode
pengajaran yang digunakan yakni pesantren salafiyah yaitu bentuk pesantren yang hanya
memfokuskan pada bentuk pengkajian kitab dengan metode tradisional. Kemudian pesantren
ashriyah-khalafiyah yang menggunakan jalur sekolah dan menggunakan kurikulum dan
pesantren kombinasi yakni pesantren yang memadukan pesantren salafiyah dan ashriyah-
khlafiyah.
Menurut Azyumardi Azra menyebutkan empat bentuk respon pesantren terhada
modernisasi pendidikan Islam yakni pertama, pembaruan subtansi atau isi pendidikan
pesantrean dengan memasukkan subjek-subjek umum dan vocational. Kedua, pembaruan
metodologi, seperti system klasikal dan penjenjangan. Ketiga, pembaruan kelembagaan. Dan
keempat, pembaruan fungsi sosial ekonominya.1
Menurut sejarah perkembangan Pondok pesantren menunjukkan bahwa, lembaga
ini tetap eksis dan konsisten melaksanakan fungsinya sebagai pusat pengajaran ilmu-ilmu
agama, sehingga dari pesantren lahir para kader ulama, guru agama, mubaligh, tokoh politik,
dan lain-lain, yang sangat dibutuhkan masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman dan

1
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: PT Logos
Wacana Ilmu, 2000), hlm. 105

1
cepatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta arus informasi global, pendidikan
pada pondok pesantren salafiyah, juga mengalami perubahan dalam rangka penyesuaian,
khususnya menyangkut kurikulum, tujuan, kegunaaan, pemahaman, serta metode
pembelajarannya dalam pesantren.
Melihat pada latar belakang tersebut maka pelaksanaan supervise pendidikan
yang selama ini hanya dilakukan dilingkungan sekolah umum dan Madrasah nampaknya
perlu pula dilakukan di madrasah Salafiyah, walaupun prinsip-prinsip dasarnya sama. Oleh
karena itu pemakalah akan membahas tentang sejarah pesantren, unsur-unsur pesantren, pola
pendidikan pesantren, serta sistem pendidikan pesantren.2

2
Muhammad Kofifih.ttp://khofif. Wordpress.com/2009/01/17/pola-pendidikan-satri-pada-pondok-
pesantren(selasa,17/05/2011, 20.28)

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Pesantren
Istilah pesantren dalam sehari-hari biasa disebut pondok saja atau kedua kata ini
digabung menjadi pondok pesantren. Secara esensial, semua istilah ini mengandung makna
yang sama, kecuali sedikit perbedaan. Asrama yang menjadi penginapan santri sehari-hari
dapat dipandang sebagai pembeda antara pondok dan pesantren.
Pada pesantren santrinya tidak disediakan asrama (pemondokan) dikomplek
pesantren tersebut. mereka tinggal diseluruh penjuru desa sekeliling pesantren (santri
kalong) dimana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama islam diberikan dengan
sistem wetonan yaitu para santri datang berduyun-duyun pada waktu tertentu.
Sedangkan menurut M. Arifin pondok pesantren adalah suatu lembaga
pendidikan Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar dengan sistem asrama
(komplek) dimana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau
madrasah yang sepenuhnya berada dibawah kedaulatan dari leader ship seorang atau
beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independen dalam
segala hal. Lembaga Research Islam (Pesantren Luhur) mendefinisikan pesantren sebagai
“suatu tempat yang tersedia untuk para santri dalam menerima pelajaran-pelajaran agama
Islam sekaligus tempat berkumpul dan tempat tinggalnya.
Dalam penelitian ini pesantren dapat didefinisikan sebagai suatu tempat
pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama
sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen. Maka pesantren kilat atau pesantren
Ramadhan yang diadakan disekolah-sekolah umum misalnya, tidak termasuk dalam
pengertian ini.
Di samping pesantren, lembaga pendidikan Islam yang menyerupainya masih ada
lagi. Di Aceh disebut rangkang dan dayah, sedangkan di Sumatra Barat disebut dengan
surau. Meskipun dengan demikian jika ditelusuri secara mendalam tentu masih didapatkan
perbedaan-perbedaan diantara ketiga lembaga tersebut.3
Sejauh ini tidak ada catatan yang jelas kapan pesantren yang pertama kali berdiri.
Mastuhu memperkirakan pesantren telah ada sejak 300-400 tahun yang lalu. Sementara itu,

3
Qomar mujamil, pesantren, (Jakarta, Erlangga, 2002) hlm. 1-3.

3
Departemen Agama memberikan keterangan bahwa pesantren pertama didirikan pada tahun
1062 dengan nama pesantren Jan Tampes 2 di Pamekasan Madura. Dan ada yang
menyebutkan pesantren pertama didirikan oleh Raden Rahmat pada Abad 15 M.
Dengan melihat terminologinya kita bisa mengatakan bahwa pendidikan
pesantren berasal dari India. Secara historis pun bisa dilacak bahwa sistem pendidikan yang
mirip dengan pesantren telah ada sebelum Islam masuk ke nusantara ini. Sistem pendidikan
tersebut dipergunakan untuk mendidik dan mengajarkan agama Hindu di Jawa. Kemudian
setelah Islam masuk dan tersebar di Indonesia sistem pendidikan tersebut digunakan pula
untuk membina kader-kader Islam. Dari sana bisa diduga bahwa secara kurikulum,
pesantren awal hanya merupakan bentuk penyesuaian orientasi keagamaan dari Hindu
menjadi Islam saja. Maka setelah masuknya Islam pesantren bertujuan untuk mengajarkan
pengetahuan keislaman, sehingga lahirlah wali-wali yang berjasa besar dalam menyebarkan
Islam di Nusantara. Apabila dilihat dari corak keislaman, pesantren awal cenderung kepada
pengajaran Islam dengan corak fiqih-tasawuf. Realitas ini cukup bisa dilihat dengan
fenomena thariqah yang pada umumnya berbasis di pesantren tradisional hingga saat ini.
Keunggulan corak ini pesantren di masa awal tidak mengalami persinggungan dengan
kekuasaan. Akibat yang langsung bisa dilihat, agama Islam berkembang pesat tanpa ada
halangan yang berarti dari penguasa.
Pada abad ke-19 Masehi, muncul pengaruh Salafiyah di Indonesia. Sebagai akibat
dari pengaruh ini, di Minangkabau terjadi peperangan antara kaum paderi dengan kaum adat.
Belanda mengambil kesempatan dengan adanya peperangan ini dan berpihak kepada kaum
adat. Sementara itu di Jawa berdiri beberapa organisasi seperti Muhammadiyah dan Persis.
Seiring dengan perkembangan Islam di Nusantara corak tersebut secara pelan
mengalami pergeseran. Di awal abad ke-20 misalnya Gontor mempelopori berdirinya
pesantren yang menekankan aspek kaderisasi pendidikan Islam. Di pesantren ini santri
dibekali dengan dasar-dasar ilmu agama dan berbagai ketrampilan hidup sehingga kelak ia
bisa membina masyarakat. Metode pengajaran pun dimodernisasi sedemikian rupa. Sampai
akhir abad ke-20 sistem pendidikan pesantren terus mengalami perkembangan.

4
Pesantren tidak lagi hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga mengajarkan
ilmu-ilmu umum. Selain itu juga muncul pesantren-pesantren yang mengkhususkan ilmu-
ilmu tertentu, seperti khusus untuk tahfidz al-Qur'an, iptek, keterampilan atau kaderisasi
gerakan.
Perkembangan model pendidikan di pesantren ini juga didukung dengan
perkembangan elemen-elemennya. Jika pesantren awal cukup dengan masjid dan asrama,
pesantren modern memiliki kelas-kelas, dan bahkan sarana dan prasarana yang cukup
canggih dan memadai. Perbaikan-perbaikan yang secara terus menerus dilakukan terhadap
pesantren, baik dari segi manajemen, akademik (kurikulum) maupun fasilitas, menjadikan
pesantren keluar dari kesan tradisional dan kolot yang selama ini disandangnya. Beberapa
pesantren bahkan telah menjadi model dari lembaga pendidikan yang leading.
Untuk melakukan transformasi pendidikan pesantren, akar tradisi itu hendaknya
terus dikelola sedemikian rupa sembari pada saat yang sama dibenahi secara bertahap.
Sebagaimana diketahui desakan akan transformasi keilmuan pesantren tidak melulu atas
desakan internalnya, tetapi juga banyak faktor penyebab dari luar pesantren. Namun perlu
diingat bahwa perubahan yang dilakukan hendaknya dengan bertahap dan merawat cara
lama yang masih relevan.
Perubahan dan dinamika yang terjadi dalam pesantren sampai saat ini
menunjukkan hasil yang menggembirakan. Sebagian pesantren mampu bersaing dengan
sekolah negeri baik di bawah Diknas maupun Depag. Sebagian para santri menguasai dan
punya prestasi yang lebih unggul dari siswa-siswi di sekolah yang bukan pesantren. Mereka
mampu bersaing dalam mata pelajaran umum dan agama. Di samping itu mereka punya
nilai plus menguasai ilmu-ilmu agama yang lebih dari siswa lainnya.4

B. Unsur-unsur Pesantren
Pesantren memiliki unsur-unsur minimal:
 Kiai yang mendidik dan mengajar,
 Santri yang belajar,
 Masjid.
Tiga unsur ini mewarnai pesantren pada awal berdirinya atau bagi pesantren-
pesatren kecil yang belum mampu mengembangkan fasilitasnya. Unsur pesantren dalam
bentuk segitiga tersebut mendeskripsikan kegiatan belajar mengajar keislaman yang
4
Nurhasanah,Bakhtiar.http://uin-suska.ac.id/tarbiyah/images/jurnal/2009/nurhasanah_pola.pdf(selasa,
17/05/2011, 16.56)

5
sederhana. Kemudian pesantren mengembangkan fasilitas-fasilitas belajarnya sebab tuntutan
perubahan sistem pendidikan sangat mendesak serta bertambahnya santri yang belajar dari
kabupaten atau propinsi lain yang membutuhkan tempat tinggal. Maka unsur-unsur pesantren
bertambah banyak. Para pengamat mencatat ada lima unsur yaitu:
1. Kiai,
2. Santri,
3. Masjid,
4. Pondok (asrama),
5. Pengajian.5

C.Pola Pendidikan Pesantren


Sistem pendidikan sekolah, disebut pesantren modern. Ketiga, pesantren yang
sebenarnya hanya sekolah biasa tetapi siswanya diasramakan dua puluh empat jam. Keempat,
pesantren yang tidak mengajarkan ilmu agama, karena semangat keagaman sudah
dimasukkan dalam kehidupan sehari-hari di asrama.
Sejalan dengan tipologi di atas seiring dengan perkembangan zaman, pesantren-
pesantren ada yang berusaha mengembangkan diri sesuai dengan tuntutan zaman. Oleh
karena itulah maka unsur pesantren itu kini bisa berkembang menjadi bermacam-macam.
Sekarang tipologi pesantren dapat dibagi menjadi empat kelompok. Pertama, pesantren yang
tetap konsisten seperti pesantren zaman dulu, disebut salafy. Kedua, pesantren yang
memadukan sistem lama dengan Departemen Agama RI mengelompokkan pesantren menjadi
empat pola/tipe, yaitu:
(1) Pesantren tipe A, yaitu pesantren yang sangat tradisional. Para santri pada umumnya
tinggal di asrama yang terletak di sekitar rumah kyai. Mereka di pesantren hanya belajar
kitab kuning. Cara pengajarannya pun berjalan di antara sistem sorogan dan bandogan.
(2) Pesantren tipe B, yaitu pesantren yang memadukan antara mengaji secara individual
(sorogan) tetapi juga menyelenggarakan pendidikan formal yang ada di bawah
Departemen Pendidikan Nasional atau Departemen Agama. Hanya saja lembaga
pendidikan formal itu khusus untuk santri pesantren tersebut.
(3) Pesantren tipe C, hampir sama dengan tipe B tetapi lembaga pendidikannya terbuka
untuk umum.

5
Qomar mijamil, Pesantren,(Jakarta, Erlangga, 2022) h,16-22

6
(4) Pesantren tipe D, yaitu pesantren yang tidak memiliki lembaga pendidikan formal, tetapi
memberikan kesempatan kepada santri untuk belajar pada jenjang pendidikan formal di
luar pesantren.
Menurut Nurcholis Madjid, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
tradisional yang bertahan dengan konsentrasi keilmuan tradisional, saat sekarang sedang
menghadapi dua pilihan dilematis. Menurut Nurcholis Madjid sebagaimana yang dikutip oleh
Yasmadi, pesantren harus mengambil sikap apakah akan tetap mempertahankan tradisinya,
yang mungkin dapat menjaga nilai-nilai agama ataukah mengikuti perkembangan dengan
resiko kehilangan asetnya. Tetapi sebenarnya ada jalan ketiga, hanya saja menuntut
kreativitas dan kemampuan rekayasa pendidikan yang tinggi melalui pengenalan aset-asetnya
atau identitasnya terlebih dahulu, kemudian melakukan pengembangan secara modern.
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, pesantren menurut Mukti Ali
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. adanya hubungan yang akrab antara kyai dan santri,
2. tradisi ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap kyai,
3. pola hidup sederhana,
4. kemandirian atau independensi,
5. berkembangnya iklim dan tradisi tolong menolong serta suasana persaudaraan,
6. disiplin ketat,
7. berani menderita untuk mencapai tujuan,
8. kehidupan dengan tingkat relegius tinggi.
Senada dengan Mukti Ali, Alamsyah Ratu Perwiranegara juga mengemukakan
beberapa pola umum yang khas yang terdapat dalam pendidikan pesantren tradisional yaitu:
(1) independen, (2) kepemimpinan tunggal, (3) kebersamaan dalam hidup yang merefleksikan
kerukunan, (4) kegotong-royongan, dan (5) motivasi yang terarah dan pada umumnya
mengarah pada peningkatan kehidupan beragama.
Demikian juga Mastuhu, dalam disertasinya yang berjudul Dinamika Sistem
Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren,
yang menyatakan bahwa sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional, pesantren
mempunyai empat ciri khusus yang menonjol, yaitu mulai dari hanya memberikan pelajaran
agama versi kitab-kitab Islam klasik berbahasa Arab, mempunyai teknik pengajaran yang
unik dengan metode sorogan dan bondongan atau wetonan.
Pola berikutnya, adanya upaya mengembangkan tradisi keilmuan di pesantren.
Sejumlah upaya semisal perubahan dan penyesuaian kurikulum pesantren mulai dilakukan.
7
Pembenahan internal pesantren dengan melakukan segala perbaikan infrastruktur dan
program-program pengembangan intelekltual pun mulai dilakukan. Citra pesantren sebagai
lembaga pendidikan yang kumuh lambat laun bisa ditepis. Namun bukan itu saja yang
penting dilakukan pesantren, lebih dari itu adalah perbaikan kualitas akademik pesantren
yang seharusnya menjadi prioritas utama.
Tradisi keilmuan pesantren yang berpijak kepada kitab kuning merupakan
keunikan sekaligus keistimewaan pesantren. Cibiran terhadap kitab kuning yang konon
menjadi penyebab kebekuan umat hendaknya tidak mengerdilkan nyali putra pesantren untuk
terus berperan dalam transformasi keilmuannya. Seharusnya, dalam tradisi keilmuan yang
berbasis kitab kuning yang cukup melimpah itulah kualitas akademik pesantren dapat terus
dikembangkan.
Upaya semisal kontekstual (tasyqîq) kitab kuning dengan membenturkannya
dengan realitas kekinian sebagaimana dilakukan sejumlah kalangan alumni pesantren telah
berhasil menyemarakkan gelombang intelektual yang relatif pasif. Hanya dengan cara
demikian, kekayaan tradisi pesantren terus digelorakan dan dibunyikan dalam lingkungan
budaya yang jauh berbeda dengan masa lalunya. Di sinilah sesungguhnya pesantren untuk
merawat akar tradisinya sekaligus pada saat yang sama mengontekstualisasikannya dalam
situasi kekinian.6

D. Sistem Pendidikan Pesantren


Pesantren atau pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam
tradisional tertua di Indonesia. Pesantren adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan
wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Karena, sebelum datangnya
Islam ke Indonesia pun lembaga serupa pesantren ini sudah ada di Indonesia dan Islam
tinggal meneruskan, melestarikan dan mengislamkannya. Jadi pesantren merupakan hasil
penyerapan akulturasi kebudayaan Hindu-Budha dan kebudayaan Islam kemudian menjelma
menjadi suatu lembaga yang kita kenal sebagai pesantren sekarang ini.
Akar-akar historis keberadaan pesantren di Indonesia dapat di lacak jauh ke
belakang, yaitu pada masa-masa awal datangnya Islam di bumi Nusantara ini dan tidak
diragukan lagi pesantren intens terlibat dalam proses islamisasi tersebut. Sementara proses
islamisasi itu, pesantren dengan canggihnya telah melakukan akomodasi dan transformasi
sosio-kultural terhadap pola kehidupan masyarakat setempat. Oleh karena itu, dalam
6
Nurhasanah,Bakhtiar.http://uin-suska.ac.id/tarbiyah/images/jurnal/2009/nurhasanah_pola.pdf(selasa,
17/05/2011, 16.56)

8
prespektif historis, lahirnya pesantren bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan akan
pentingnya pendidikan, tetapi juga untuk penyiaran agama Islam. Menurut M. Dawam
Raharjo, hal itu menjadi identitas pesantren pada awal pertumbuhannya, yaitu sebagai pusat
penyebaran agama Islam, disamping sebagai sebuah lembaga pendidikan.
Pesantren merupakan sistem pendidikan tertua khas Indonesia. Ia merupakan
sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi para pencita ilmu dan peneliti yang berupaya
mengurai anatominya dari berbagai demensi. Dari kawahnya, sebagai obyek studi telah lahir
doktor-doktor dari berbagai disiplin ilmu mulai dari antropologi, sosiologi, pendidikan,
politik, agama dan lain sebagainya. Sehingga kita melihat pesantren sebagai sistem
pendidikan Islam di negeri ini yang kontribusinya tidak kecil bagi pembangunan manusia
seutuhnya.
Sistem pendidikan di pesantren mengadopsi nilai-nilai yang berkembang di
masyarakat. Keadaan ini menurut Abdurrahman Wahid disebut dengan istilah subkultur. Ada
tiga elemen yang mampu membentuk pesantren sebagai subkultur : 1) pola kepemimpinan
pesantern yang mandiri, tidak terkooptasi oleh negara. 2) kitab-kitab rujukan umum yang
selalu digunakan dari berbagai abad. 3) sistem nilai yang digunakan adalah bagian dari
masyarakat luas. Tiga elemen ini menjadi ciri yang menonjol dalam perkembangan
pendidikan di pesantren. Pesantren baru mengkin bermunculan dengan tidak menghilangkan
tiga elemen itu, kendati juga membawa elemen-elemen lainnya yang merupakan satu
kesatuan dalam sistem pendidikannya.
Secara esensial sistem pendidikan pesantern yang dianggap khas ternyata  bukan
sesuatu yang baru jika dibandingkan sistem pendidikan sebelumnya. I.P. Simanjutak  
menegaskan bahwa masuknya Islam tidak mengubah hakikat pengajaran agama yang formil.
Perubahan yang terjadi sejak pengembangan Islam hanyalah menyangkut isi agama yang
dipelajari bahasa yang menjadi wahana bagi pelajaran agama itu, dan latar belakang para
santri. Dengan demikian, sistem pendidikan yang dikembangkan pesantren dalam banyak hal
merupakan hasil adaptasi dari poal-pola pendidikan yang telah ada dikalangan masyarakat
Hindu-Budha sebelumnya. Jika ini benar, ada relevansinya dengan statement bahwa
pesantren mendapat pengaruh dari tradisi lokal.
Model pendidikan agama jawa yang diadaptasi itu disebut pariwayatan, berbentuk
asrama dengan rumah guru yang disebut Kiajar ditengah-tengahnya. Sistem pendidikan ini
diambil dengan mengganti nilai ajarannya menjadi nilai ajaran Islam. Pengambilan model
meniru dan mengganti ini juga terjadi dalam sistem pewayangan.

9
Proses adaptasi sistem pendidikan itulah yang menguatkan penilaian selama ini
bahwa pendidikan pesantren  disebut sisten pendidikan produk Indonesia. Nurcholish Madjid
menyebut dengan istilah indegenous (pendidikan asli Indonesia). Sistem pendidikan asli
Indonesia ini pernah menganut dan memiliki daya tawar yang tinggi sebagai antitesis
terhadap sistem pendidikan Belanda. Karel A. Streenbrink mengungkapkan bahwa pada
1930-an, sistem pesantren yang sering disebut sistem pendidikan asli indonesia dapat
menyaingi pendidikan Barat yang materialis dan bertujuan mempersiapkan tenaga untuk
fungsi-fungsi tertentu dalam masyarakat dan untuk mencari uang.
Selanjutnya pesantern adalah sistem pendidikan yang melakukan kegiatan
sepanjang hari. Santri tinggal di asrama dalam satu kawasan bersama guru, kiai dan senior
mereka. Oleh karena itu hubungan yang terjalin antara santri-guru-kiai dalam proses
pendidikan berjalan intensif tidak sekedar hubungan formal ustadz-santri di dalam kelas.
Dengan demikian kegiatan pendidikan berlangsung sepanjang hari dari pagi hingga malam
hari.
Sistem pendidikan ini membawa keuntungan antara lain : pengasuh mampu
melakukan pemantauan secara leluasa hampir setiap saat terdapat perilaku santri baik yang
terkait dengan upaya pengembangan intelektualnya maupun kepribadiannya. Keuntungan
kedua adalah adanya proses pembelajaran dengan frekuensi yang tinggi dapat memperkokoh
pengetahuan yang diterimanya. Dalam teori pendidikan diakui bahwa belajar satu jam yang
dilakukan lima kali lebih baik daripada belajar selama lima jam yang dilakukan sekali
padahal rentangan waktunya sama. Keuntungan ketiga adalah adanya proses pembiasaan
akibat interaksinya setiap saat baik sesama santri, santri denga ustadz maupun santri dengan
kiai. Keuntungan lainnya adalah adanya integrasi antara proses pembelajaran dengan
kehidupan keseharian. Mastuhu menilai bahwa sistem pendidikan pesantren menggunakan
pendekatan holistik. Para pengasuh memandang kegiatan belajar mengajar merupakan
kesatupaduan atau lebur dalam totalitas kegiatan kehidupan sehari-hari. Akibatnya muncul
sikap saling menjaga komitmen dan konsistensi terutama dari pihak pengasuh baik kiai
maupun ustadz.  Apa yang dianjurkan oleh kiai maupun ustadz harus terlebih dahulu
terefleksi dalam kehidupan keseharian mereka.
Dalam sistem pendidikan ini fungsi keteladanan menjadi sangat dominan.
Apalagi ketika dikaitkan dengan doktrin agama. Nabi Muhammad saw menjadi teladan bagi
umat manusia, sementara itu para kiai adalah pewaris para Nabi (al-ulama warasat al-anbiya).
Maka kronologinya adalah para kiai menjadi teladan bagi umat islam, terlabih lagi di
pesantren kiai menjadi teladan bagi santri-santrinya.
10
Sistem pendidikan pesantren memang menunjukkan sifat dan bentuk yang lain
dari pola pendidikan nasional. Maka pesantren menghadapi dilema unuk mengintregasikan
sistem pendidikan yang dimiliki dengan sistem pendidikan nasional. Ditinjau dari awal mula
sejarah berdirinya pesantren memang tidak dimaksudkan untuk meleburkan dalam sistem
pendidikan nasional. Bahkan ketika menghadapi penjajah Belanda, pesantren memiliki
strategi isolasi dan konservasi. Akibatnya seperti dituturkan Muhammad Nuh Sholeh,
berbagai citra negatif diarahkan pada pesantren. Pesantren seringkali dinilai sebagai sistem
pendidikan yang isolasionis terpisah dari aliran utama pendidikan nasional, dan
konservatif yakni kurang peka terhadap tuntutan perubahan zaman dan masyarakat. Fungsi
yang kedua ini (konservatif) terlihat pada upayanya menjaga ajaran Islam.
Sistem pendidikan pesantren juga sangat bergantung pada selera kiainya.
Keahlian dan pengalaman kiai tentu saja turut mewarnai sistem pendidikan pesantren yang
diasuhnya. Tidak sedikit spesialisasi pengkajian di pesantren disesuaikan dengan spesialisasi
keilmuan yang dimiliki kiainya. Pilihan ini masih dalam batas kewajaran atau keniscayaan,
yang menarik justru sikap independen kiai dalam menetukan corak sistem pendidikan
pesantrennya.
Oleh karena itu sistem pendidikan pesantren masih belum memiliki kesamaan
dasar di luar penggunaan buku-buku wajib (kutub al-muqarrarah). Keragaman ini timbul
karena ketidaksamaan dalam sistem pendidikannya. Ada pesantren yang menyelenggarakan
pengajian tanpa madrasah/sekolah, ada pesantren yang hanya menggunakan sisitem
pendidikan madrasah secara klasikal dan ada pula pesantren yang menggabungkan sistem
pengajian dan sistem madrasah secara non klasikal. Pada sistem madrasah non klasikal ini
materi pelajaran diberikan secara berurutan dari kitab-kitab lama yang sudah umum dipakai
dalam pengajian. Maka tidak mungkin ada penyatuan kurikulum pesantren selama masih ada
perbedaan - perbedaaan cukup besar dalam sistem pendidikan yang dianut.
Kuatnya independensi tersebut menyebabkan pesantren memiliki kebebasan
relative yang tidak harus mengikuti model baku yang ditetapkan pemerintah dalam bidang
pendidikan. Pesantren bebas mengembangkan model pendidikannya tanpa harus mengikuti
standarisasi dan kurikulum yang ketat. Pesantren selalu memberikan kebebasan dalam
menentukan pola kebijakan pendidikannya. Maka pesantren menggunakan prinsip kebebasan
terpimpin dalam menjalakan kebijaksanaan pendidikannya.
Kebebasan terpimpin di sini adalah kebebasan dalam memilih, memutuskan dan
menjalankan kebijakan pendidikan sesuai dengan kehendak kiainya. Terhadap kebijakan
pemerintah sistem pendidikan pesantren menempuh sikap sebebas-bebasnya, namun
11
dikalangan intern pesantren sendiri yang memiliki kebebasan adalah kiainya. Para ustadz
tidak berkenan menetukan kebijakan pendidikan pesantren terlebih para santri.
Lantaran tingkat pluralitas yang tinggi independensi yang kuat kondisi-kondisi
yang berjalan alamiah menyebabkan adanya kesulitan memberikan rumusan, definisi, dan
konseptualisasi secara pasti tentang pesantren. Memang ada pengamatan hasil penelitian dan
analisis tetapi tetap saja tidak bisa mewakili pluralitas dan otonomi intelektual masing -
masing pesantren. Rata-rata kesulitan yang dihadapi peneliti ketika mengadakan penelitian
tentang pesantren adalah menyangkut keragaman atau variasi pesantren tersebut karena tidak
bisa digeneralisasi sehingga penjelasan yang bisa diberikan lebih mencerminkan kasusu per
kasus.
Sisi negatif lain yang terdapat pada sistem pendidikan pesantren adalah
kesemrawutan organisasi. M.M. Billah melaporkan bahwa hubungan antar pesantren secara
menyeluruh hampir tidak ada standarisasi, baik tentang silabus, kurikulum dan bahkan
literaturnya maupun sistem penerimaan, promosi, gradasi santri, dan tartan ilmu yang
diterima oleh santri. Hampir semua proses pembelajarannya tidak melalui perencanaan yang
matang dan standar- standar yang ketat.
Sehingga di dalam pesantren tradisional tidak dikenal sistem kelas. Kemampuan
siswa tidak dilihat kelas berapanya tetapi dilihat dari kitab apa yang dibacanya. Orang-orang
pesantren telah dapat mendudukan derajat ilmu seorang santri atas dasar kitab yang
dibacanya. Misalnya seorang santri telah ikut mengkaji kitab Ihya’ Ulum al-Din maka ia
dianggap memilki kemampuan yang cukup tinggi karena peserta pengkajian kitab tersebut
dari kalangan santri senior yang tentu terbatas sekali.
Perbedaan lainnya anatara pesantren dengan pendidikan formal adalah
kesuksesan belajar santri. Jika ada santri yang belajar di pesantren hingga 27 tahun maka
penilaian orang berarti dia memilki kemampuan yang tinggi. Sebaliknya di perguruan tinggi
kalau ada seorang mahasiswa yang menyelesaikan program S-1 dalam waktu 3 tahun berarti
hebat. Jika sampai membutuhkan waktu 10 tahun untuk S-1 berarti mengalami kelambanan
serius.
Pada bagian lain “secara tradisional sistem pendidikan yang diterapkan di
pesantren memilahkan secara tegas aspek pengembangan intelektual dan aspek
kepribadian”. Sistem pendidikan pesantren lebih mengutamakan pembinaan kepribadian
daripada pengembangan intelektual, sehingga daya kritis, tradisi kritik, semangat meneliti,
dam kepedulian menawarkan sebuah konsep keilmuan tidak muncul di pesantren.

12
Eksistensi Pesantren ternyata sampai hari ini ditengah-tengah deru modernisasi,
pesantren tetap bisa bertahan  (survive) dengan identitasnya sendiri. Bahkan akhir-akhir ini
para pengamat dan praktisi pendidikan dikejutkan dengan tumbuh dan berkembangnya
lembaga-lembaga pedidikan pondok pesantren di tanah air ini. Pertumbuhan pesantren yang
semula rural based institution menjadi juga lembaga pendidikan urban, bermunculan juga di
kota-kota besar. Di samping banyak juga pendidikan umum yang mengadopsi aspek-aspek
tertentu dari sistem pendidikan pesantren. Mengadopsi sistem asrama dengan menyebutnya
“boarding school”. Sistem “boarding” tentu saja merupakan salah satu karakteristik dasar
sistem pendidikan pesantren. Satu hal lagi yang perlu kita catat bahwa tidak sedikit
pemimpin-pemimpin bangsa ini baik pemimpin yang duduk dalam pemerintahan maupun
yang bukan formal atau informal besar maupun kecil dilahirkan oleh pondok pesantren.

13
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
 Mastuhu memperkirakan pesantren telah ada sejak 300-400 tahun yang lalu.
Departemen Agama memberikan keterangan bahwa pesantren pertama didirikan pada
tahun 1062 dengan nama pesantren Jan Tampes 2 di Pamekasan Madura. Dan ada
yang menyebutkan pesantren pertama didirikan oleh Raden Rahmat pada Abad 15 M.
 Dengan melihat terminologinya, kita bisa mengatakan bahwa pendidikan pesantren
berasal dari India. Secara historis pun bisa dilacak bahwa sistem pendidikan yang
mirip dengan pesantren telah ada sebelum Islam masuk ke nusantara ini. Sistem
pendidikan tersebut dipergunakan untuk mendidik dan mengajarkan agama Hindu di
Jawa. Kemudian setelah Islam masuk dan tersebar di Indonesia, sistem pendidikan
tersebut digunakan pula untuk membina kader-kader Islam.

 Pendidikan pesantren terus mengalami perkembangan pada abad ke-20.

14

Anda mungkin juga menyukai