Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari
banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa,
perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya,
merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung
menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi
dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya,
membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak,
dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur
sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

Keberadaan orang Baduy tidak lepas dari tradisi sebagai pikukuhnya. Untuk
menjaga pikukuh tersebut dan pengendalian agar tetap terpelihara, maka dilaksanakan
aturan untuk mempertahankannya yang disebut Buyut (dalam Bahasa Indonesia disebut
Tabu, dalam Bahasa Sunda disebut Pamali ). Buyut adalah larangan bagi warga Baduy.
Inti dari pikukuh Baduy itu adalah Lojor teu menang dipotong, pondok teu meunang
disambung, artinya segala sesuatu yang ada dalam kehidupan, tidak boleh dikurangi
maupun ditambah, harus tetap utuh.

1.2    Suku Baduy
 Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh
adat tradisi yaitu suku baduy yang tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar
Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat baduy pada umumnya terletak pada
daerah

1
Baduy atau biasa disebut juga dengan masyarakat kanekes adalah nama sebuah
kelompok masyarakat adat Sunda di Banten. Suku Baduy tinggal di pedalaman Jawa
Barat, desa terakhir yang bisa di jangkau oleh kendaraan adalah DESA Ciboleger (jawa
barat). Dari desa ini kita baru bisa memasuki wilayah suku baduy luar. Tetapi sebelum
kita masuk kewilayah suku baduy kita harus melapor dulu dengan pimpinan adatnya
yang di sebut Jaro.

1.3  Pembagian Kelompok


Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu,
panamping, dan dangka.
1.3.1 Kelompok tangtu (baduy dalam).
Suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum
masuk kebudayaan luar.selain itu orang baduy dalam merupakan yang paling patuh
kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un
(Kepala Adat). Orang Baduy dalam tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana, dan
Cikeusik. Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan
biru tua serta memakai ikat kepala putih dan golok. Pakaian mereka tidak berkerah dan
berkancing, mereka juga tidak beralas kaki. Meraka pergi kemana-mana hanya berjalan
kaki tanpa alas dan tidak pernah membawa uang. mereka tidak mengenal sekolah, huruf
yang mereka kenal adalah Aksara Hanacara dan bahasanya Sunda. Mereka tidak boleh
mempergunakan peralatan atau sarana dari luar. Jadi bisa di bayangkan mereka hidup
tanpa menggunakan listrik, uang, dan mereka tidak mengenal sekolahan. Salah satu
contoh sarana yang mereka buat tanpa bantuan dari peralatan luar adalah Jembatan
Bambu. Mereka membuat sebuah Jembatan tanpa menggunakan paku, untuk mengikat
batang bambu mereka menggunakan ijuk, dan untuk menopang pondasi jembatan
digunakan pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi sungai.
1.3.2  Kelompok masyarakat panamping (baduy Luar)
Mereka tinggal di desa Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang
mengelilingi wilayah baduy dalam. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan

2
pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. suku Baduy Luar biasanya sudah banyak
berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya. selain itu mereka juga sudah mengenal
kebudayaan luar, seperti bersekolah.
1.3.3 Kelompok Baduy Dangka,
Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung
yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung
Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Lokasi dan Tempat Demografi

Baduy yang berlokasi di desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten


Rangkasbitung Banten terdiri dari kampung Gajebo, Cikeusik, Cibeo,dan
Cikertawana.dan terbagi atas abaduy luar dan baduy dalam.Daerah yang berluas 138 ha,
terdiri atas 117 kk yang menempati 99 rumah yang dinamakan Culah Nyanda atau
rumah panggung, sedangkan rumah kokolot atau duku dinamakan Dangka, yang
menghadap keselatan.Masyarakat suku baduy yang berpenduduk kurang lebih 10 ribu
jiwa ini tinggal di wilayah yang berbukit-bukit, dan berhutan-hutan, dengan memilki
lembah yang curam sedang, sampai curam sekali. Berdasarkan hasil pengukuran
langsung di lapangan wilayah-wilayah pemukiman baduy rata-rata terletak pada
ketinggian 250 m diatas permukaan laut, dengan wilayah pemukiman di daerah yang
cukup rendah 150 m diatas permukaan air laut dan pemukiman yang cukuop tinggi pada
ketinggian 400 m diatas permukaaan laut.

Wilayah Baduy itu berdasarkan lokasi geografinya terletak pada 60 27’ 27” – 60
30’ LU dan 1080 3’ 9” – 1060 4’ 55” BT. wilayahnya berbukit – bukit dengan rata –rata
terlelak pada ketinggian 250m diatas permukaan laut.

2.2 Asal Muasal Sejarah Tempat 

Mengenai asal usul orang Baduy, jawaban yang akan diperoleh adalah mereka
keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi.
Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang
pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga
Baduy mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Mereka juga beranggapan bahwa suku Baduy merupakan peradaban masyarakat yang
pertama kali ada di dunia.

4
Pendapat lainnya yang membuktikan orang Baduy manusia tertua setidaknya di
Pulau Jawa , berdasarkan bukti-bukti prasejarah dan sejarah, punden berundak Lebak
Sibedug di Gunung Halimun 3 km lebih dari Cibeo berusia 2500 SM masa neolitik,
memiliki kesamaan simetris dengan peninggalan yang sama dengan piramida di Mesir
dan Kuil Mancu Pichu di Peru ribuan tahun silam. 

Sedangkan Arca Domas hingga kini masih misterius, terletak disebelah selatan
Cikeusik dihulu sungai Ciujung, pegunungan Kendeng. bagian selatan dan
dipublikasikan pertamakali oleh Koorders yang datang pada tanggal 5 Juli 1864
(Djoewisno, 1987). Arca domas adalah menhir berukuran besar diatas punden berundak
paling atas. Bangunan punden berundak ini juga dilengkapi menhir lainnya. Mereka
percaya arca domas adalah lambang Batara Tunggal tempat dimana roh diciptakan dan
berkumpul. Selain itu arca domas merupakan pusat bumi dan asal muasal manusia
diturunkan ke bumi dan menjadi nenek moyang orang Baduy. Karena itu arca domas
merupakan daerah larangan yang tidak boleh dimasuki orang luar (purwitasari, 2000).

Asal-usul orang Baduy tersebut berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang
mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa
prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Cina, dan ceritera rakyat mengenai Tatar
Sunda yang cukup minimal keberadaannya. Masyarakat Baduy dikaitkan dengan
Kerajaan Sunda atau yang lazim disebut sebagai Kerajaan Pajajaran pada abad 15 dan
16, atau kurang lebih enam ratus tahun yang lalu. Wilayah Banten pada waktu itu
merupakan bagian penting dari Kerajaan Pajajaran, yang berpusat di Pakuan (wilayah
Bogor sekarang). Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai
Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan
hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang
disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu
dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat
terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah
Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut

5
tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih
mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja,
2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang
lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk
melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.

2.3 Sosial dan Budaya di Masyarakat Baduy

2.3.1 Unsur-unsur Budaya

Ada beberapa unsur kebudayaan yang universal berikut ini :

a. Peralatan dan perlengkapan hidup. Peralatan pertanian yang digunakan orang


baduy mendapat tambahan yaitu alat penyemprot yang digunakan untuk
memberantas rumput atau tumbuhan liar (herbisida), serta hama tanaman
(pestisida), penggunaan alat dan obat pertanian ini dilakukan secara sembunyi. Alat-
alat pertukangan untuk kayu sebagai pendukung membuat rumah di kampung
panamping telah menggunakan gergaji pembelah, gergaji pemotong, paku, pahat,
bor kayu, serutan atau ketam ( Bah. Sunda=sugu) dan alat ukur(meteran). Alat-
alattersebut sebelumnya tidak dikenal dalam kehidupan orang baduy. Alat
pertukangan yang dikenal dalam kehidupan mereka yaitu baliung, golok dan kapak.
Peralatan hidup yang digunakan sehari-hari untuk minum yang terbuat dari pecah
belah telah diadopsi. Selain pecah belah, diadopsi pula penggunaan lampu senter,
Thermos, sendok-garpu, rantang, kastrol nasi,Pakaian, dan lain-lain.

b. Mata pencaharian orang baduy adalah bertani dengan padi sebagai tanaman


utamanya, tetapi mereka telah menambah jenis tanaman lain yaitu cengkeh dan kop.
Mata pencaharian tambahan ialah adalah berdagang atau menjadi buruh di luar Desa
Kanekes.

c. Pemuka adat dalam organisasi sosial masyarakat baduy yang dipegang jaro dangka,
Jaro Pamarentah, Tanggungan Jaro duabelas dan jaro tangtu, sebagai pemegang dan

6
pemelihara pikukuh baduy, senantiasa berusaha untuk mempertahankan pikukuh
dari perubahan yang terjadi dalam kehidupan warga masyarakatnya. d.
Bahasa yang digunakan orang baduy adalah bahasa sunda dialek Kanekes, tetapi
sekarang ini orang baduy sudah banyak yang dapat berbicara bahasa Indonesia,
karena seringnya berinteraksi dengan masyarakat luar. Diantara mereka banyak
yang sudah dapat membaca dan menulis.

e. Kesenian yang terdapat di desa Kanekes terbatas pada angklung dan pantun( dongeng
dengan diiringi oleh kecapi) sedangkan di beberapa kampung panamping dikenal
adanya Gamelan (Kliningan tanpa menggunakan gendang). Kesenian tersebut
mendapat pengaruh, karena adanya tontonan Wayang Golek dan Dongeng di Sekitar
desa Kanekes.

f. Pengetahuan yang dimiliki mereka tidak hanya warisan Karuhun (Leluhur) saja,


mereka juga memperoleh informasi dari bacaaan, televisi, maupun dari orang lain
yang sengaja berkunjungke desa Knekes. Pengetahuan mengenai pengobatan juga
tidak terbatas pada pengobatan tradisional yang biasa dilakuakn dukun.

g. Kepercayaan yang diyakini orang baduy adalah Sunda Wiwiwtan tidak mengalami


perubahan, tetapi orang baduy yang meninggalkan pikukuhnya, menjadi migran di
tempat lain, mereka ini beralih memeluk Agama Islam.

Kepatuhan terhadap lembaga sosial.

Kehidupan warga masyarakat baduy tidak terlepas dari pikukuh yang mengatur
perilaku mereka, tetapi pikukuh ini oleh beberapa orang Baduy panamping tidak
sepenuhnya dilakukan, akibat kurangnya pengawasan pemuka adat.

Jaro dangka yang bertanggung jawab memegang dan memelihara pikukuh, sudah
mulai kurang menegakkan pikukuh. Sekalipun demikian harus menjalankanfungsinya,
karena Jaro Dangka diangkat berdasarkan hasil nujum dari tangkesan yang menjadi
wakil puun di panamping, sehingga jabatan jaro Dangka berlaku seumur hidup.

7
Sedangkan penganakatan dan penggantian Jaro Pamarentah selain berdasarkan hasil
nujum, juga persetujuan pimpinan Jaro Tujuh (Jaro warega), jabatan tersebut dapat
berhenti jika mengundurkan diri atau diberhentikan karena tidak dapat melaksanakan
tugas.

Jaro pamarentah, jaro Damgka, Tanggungan Jaro Duabelas Dan Jaro Tangtu
setiap tahun mengadakan operasi pembersihan terhadap perlengkapan hidup yang
dilarang pikukuh. Tetapi operasi ini sudah dua tahun terakhir tidak dilakuakan, karena
dua hal, Pertama, tahun 1991 Asrap diangkat menjadi jaro Pamarentah adalah awal
melaksanakan tugas di desa Kanekes. Di tahu 1992 saat akan melaksanakan operasi
pembersihan, jaro pamarentah pada rapat dihadapan pemuka adat di kampung tangtu
cikeusik menyatakan bertanggung jawab terhadap pelangggaran pikukuh yang dilakukan
masyarakatnya, sehingga operasi pembersihan tahun 1992 tidak dilaksanakan. Kedua,
pada tahun 1993 setelah pemuka adat mengadakan rapat di cikeusik untuk melaksanakan
operasi, kampung cikeusik mengalami kebakaran, sehingga operasi pembersihan tidak
sempat dilaksanakan.

2.3.2 Mata Penceharian


Mata pencarian masyarakat Baduy yang paling utama adalah bercocok tanam
padi huma dan berkebun serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu,
mengolah gula aren, tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang.
Kepercayaan yang dianut masyarakat Kanekes adalah Sunda Wiwitan.didalam
baduy dalam, Ada semacam ketentuan tidak tertulis bahwa ras keturunan Mongoloid,
Negroid dan Kaukasoid tidak boleh masuk ke wilayah Baduy Dalam. Jika semua
ketentuan adat ini di langgar maka akan kena getahnya yang disebut kuwalat atau pamali
adalah suku Baduy sendiri.
Inti dari kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau
ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes. Isi
terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan
apapun”, atau perubahan sesedikit mungkin:

8
“Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung”
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
suku Baduy memiliki tata pemerintahan sendiri dengan kepala suku sebagai
pemimpinnya yang disebut Puun berjumlah tiga orang. Pelaksanaan pemerintahan adat
kepuunan dilaksanakan oleh jaro yang dibagi kedalam 4 jabatan yang setiap jaro
memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing. Yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro
tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan
hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka
bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam
dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3
orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut
sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai
penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam
tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampong

2.3.3 Hukum di didalam Masyarakat Baduy


Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas
pelanggaran berat dan pelanggaran ringan. Hukuman ringan biasanya dalam bentuk
pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk
ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau
lebih warga Baduy.
Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat.
Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan
diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke
dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu,
jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy
Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro.
Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan
Baduy.

9
Menariknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang
warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan
berpakaian ala orang kota.
Banyak larangan yang diatur dalam hukum adat Baduy, di antaranya tidak boleh
bersekolah, dilarang memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian dengan
naik kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga mewah dan
beristri lebih dari satu.

2.3.4 Segi Berpakaian


Dari segi berpakain, didalam suku baduy terdapat berbedaan dalam berbusana
yang didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy
Dalam dan Baduy Luar.Untuk Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang
yang disebut jamang sangsang, Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing
dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih.
Untuk bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman,
yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Serta pada bagian kepala suku baduy
menggunakan ikat kepala berwarna putih. bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka
pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua
dengan corak batik. Terlihat dari warna, model ataupun corak busana Baduy Luar,
menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar. Sedangkan,
untuk busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam maupun Baduy Luar tidak
terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Mereka mengenakan busana semacam
sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Bagi wanita yang sudah
menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para
gadis buah dadanya harus tertutup.

10
2.3.5 Proses Pernikahan

Di dalam proses pernikahan pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan
tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang
tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.

Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali


pelamaran. Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala
Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. Tahap
kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan
cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan
alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak
perempuan. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan
perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari
mereka telah meninggal

2.4 Sistem Kepercayaan dan Religi

Suku Baduy yang merupakan suku tradisional di Provinsi Banten hampir mayoritasnya
mengakui kepercayaan sunda wiwitan.

Yang mana kepercayaan ini meyakini akan danya Allah sebagai “Guriang
Mangtua” atau disebut pencipta alam semesta dan melaksanakan kehidupan sesuai
ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini. Kepercayaan
sunda wiwitan berorientasi pada bagaimana menjalani kehidupan yang mengandung
ibadah dalam berperilaku, pola kehidupan sehari-hari,langkah dan ucapan, dengan
melalui hidup yang mengagungkan kesederhanaan (tidak bermewah-mewah) seperti
tidak mengunakan listrik,tembok, mobil dll.

Ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy menurut kepercayaan
sunda wiwitan:

11
1. Upacara Kawalu yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan
kawalu yang dianggap suci dimana pada bulan kawalu masyarakat baduy melaksanakan
ibadah puasa selama 3 bulan yaitu bulan Kasa,Karo, dan Katiga.
2. Upacara ngalaksa yaitu upacara besar yang dilakukan sebagain uacapan syukur atas
terlewatinya bulan-bulan kawalu, setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan. Ngalaksa
atau yang bsering disebut lebaran.
3. Seba yaitu berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan
tali silaturahmi antara masyarakat baduy dengan pemerintah, dan merupakan bentuk
penghargaan dari masyarakat baduy.
4. Upacara menanam padi dilakukan dengan diiringi angklung buhun sebagai
penghormatan kepada dewi sri lambing kemakmuran.
5. Kelahiran yang dilakukan melalui urutan kegiatan yaitu:
1. Kendit yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil.
2. Saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untiuk dijampi-jampi.
3. Setelah 7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan atau
selametan.
4. Upacara Angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran.
5. Akikah yaiotu dilakukannya cukuran, khitanan dan pemberian nama oleh dukun 
(kokolot) yuang didapat dari bermimpi dengan mengorbankan ayam.

Perkawinan, dilakukan berdasarkan perjodohan dan dilakukan oleh dukun atau kokolot
menurut lembaga adat (Tangkesan) sedangkan Naib sebagai penghulunya. Adapun
mengenai mahar atau seserahan yakni sirih, uang semampunya, dan kain poleng.

Dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari tentunya masyarakat baduy disesuaikan


dengan penanggalan:

1. Bulan Kasa
2. Bulan Karo
3. Bulan Katilu

12
4. Bulan Sapar
5. Bulan Kalima
6. Bulan Kaanem
7. Bulan Kapitu
8. Bulan Kadalapan
9. Bulan Kasalapan
10. bulan Kasapuluh
11. Bulan Hapid Lemah
12. Bulan Hapid Kayu
Seperti yang telah diuraikan diatas, apabila ada masyarakat baduy yang melanggar
asalah satu pantangan maka akan dikenai hukuman berupa diasingkan ke hulu atau
dipenjara oleh pihak polisi byang berwajib.

2.4.1 Bahasa

Mayoritas masyarakat Baduy Sunda namun mereka tak menutup diri untuk terus
mempelajari Bahasa nasional yakni bahasa Indonesia. Terbukti, tidak sedikit masyarakat
Baduy yang dapat berbahasa Inbdonesia.

2.4.2 Sistem Pemerintahan 

Orang Baduy mengnggap dirinya sebagai keturunan jauh dari 7 Batara atau
Dewa, yang dikierim ke dunia di Sasaka Pusaka Buana oleh Batara Batara tunggal.
Mereka membagikan diri kedalam beberapa kelompok berdasarkan keturunan mereka.
Karena itu mereka hidup dalam pemukiman yang berbeda. Ada 3 pemukiman di Tangtu
( daerah bagian dalam ), yaitu Cibeo,Cikeusek, dan Cikartawana.Setiap daerah
pemuk,iman memiliki puun sendiri yang secara adapt memiliki tugas khusus dan
mengadakan hubungan dengan sejumlah pemukiman di Dangka (daerah bagian luar
Baduy).Setiap pemukiman luar memiliki pemimpin sendiri yang disebut Jaro. Seluruh
organisasi ini disebut “Masyarakat tiga Tangtu dan tujuh Jaro”. Dengan semakin banyak

13
penduduk ada juga orang Baduy yang kini tinggal diluar tata susun resmi, yaitu di
pemukiman tambahan yang disebut penamping atau pajaroan. 

Masyarakat Baduy mengenal dua sistem pemerintahan yaitu sistem nasional dan
sistem adat. dalam sistem nasional, masyarakat baduy termasuk ke dalam wilayah Desa
Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Provinsi Banten. di daerah baduy
terdapat sejumlah kampung yang terbagi menjadi kampung tangtu, kampung panamping
dan kampung dangka. selain kampung tangtu juga terdapat rukun kampung yang disebut
kokolotan lembur.

Desa Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut jaro pamarentah yang
berada di bawah camat, kecuali untuk urusan adat yang tunduk kepada kepala
pemerintahan tradisional (adat) yang disebut puun. yang membedakan dengan kepala
desa lainnya adalah kepala desa Kanekes tidak dipilih oleh warga, tetapi ditunjuk oleh
puun, baru kemudian diajukan kepada bupati (melalui camat) untuk dikukuhkan sebagai
kepala desa. untuk saat ini yang menjabat sebagai jaro pamarentah adalah Jaro Dainah.

Secara tradisional pemerintahan pada masyarakat baduy bersorak kesukuan dan


disebut kapuunan, karena puun menjadi pimpinan tertinggi. Ada tiga orang puun di
wilayah baduy yaitu puun Cikeusik, puun Cibeo dan puun Cikertawana. puun-puun
tersebut merupakan “tri tunggal”. selain berkuasa di wilayah masing-masing, mereka
secara bersama-sama juga memegang kekuasaan pemerintahan tradisional masyarakat
baduy. walaupun merupakan satu kesatuan, ketiga puun tersebut mempunyai wewenang
tugas yang berlainan. wewenang puun Cikeusik adalah menyangkut urusan keagamaan
dan ketua pengadilan adat yang menentukan pelaksanaan upacara-upacara adat (seren
taun, kawalu dan seba). dan memutuskan hukuman bagi pelanggar adat.

Wewenang kapuunan Cibeo menyangkut pelayanan kepada warga dan tamu di


kawasan baduy, termasuk pada urusan administrator tertib wilayah, pelintas batas dan
berhubungan dengan daerah luar. sedangkan wewenang kapuunan Cikertawana
menyangkut urusan pembinaan warga, kesejahteraan, keamanan atau sebagai badan

14
pelaksana langsung di lapangan yang memonitor permasalahan yang berhubungan
dengan kawasan baduy.Dalam lembaga kapuunan terdapat beberapa jabatan yang
masing-masing jabatan memegang dan bertanggung jawab pada urusan khas. berikut ini
akan diuraikan masing-masing jabatan dalam lembaga kapuunan tersebut :

Puun
Puun merupakan jabatan tertinggi dalam wilayah tangtu. menurut pikukuh “peraturan
adat” jabatan puun berlangsung turun temurun, kecuali bila ada hal yang tidak
memungkinkan. sehubungan dengan hal tersebut jabatan puun bisa diwariskan kepada
keturunannya atau kerabat dekatnya. lama jabatan puun tidak ditentukan. jangka waktu
jabatan pada dasarnya ditentukan oleh kemampuan seseorang memegang jabatan puun.
ada yang menjabat sampai tutup usia, namun kebanyakan akan mengundurkan diri
karena usia tua.

Girang Seurat

Girang seurat atau kadang disebut seurat merupakan jabatan tertinggi kedua setelah puun
yang melaksanakan tugas sebagai “sekertaris” puun atau pemangku adat, juga bertugas
mengurus huma serang “ladang bersama” dan menjadi penghubung dan pembantu utama
puun. setiap orang yang ingin menghadap atau bertemu puun harus melalui girang
seurat. tamu dari luar lebih dihadapi oleh girang seurat yang mewakili puun. sebagai
pembantu puun, girang seurat hanya ada di tangtu Cikeusik dan Cibeo, sedangkan di
Cikertawana tugas yang sama dipegang oleh kokolot “tetua kampung”.

Baresan
Baresan adalah semacam petugas keamanan kampung yang bertugas dan
bertanggungjawab dalam bidang keamanan dan ketertiban. mereka termasuk dalam
anggota sidang kapuunan atau semacam majelis yang beranggotakan sebelas orang di
Cikeusik, sembilan orang di Cibeo dan lima orang di Cikertawana. mereka juga dapat
menggantikan puun menerima tamu yang akan menginap dan dalam berbagai upacara
adat.

15
Jaro
Jaro merupakan pelaksana harian urusan pemerintahan kapuunan. tugas jaro sangat berat
karena meliputi segala macam urusan. di baduy dikenal empat jabatan jaro yaitu jaro
tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertugas sebagai
pengawas dalam pelaksanaa hukum adat warga tangtu. Ia bekerja sama dengan girang
seurat mendampingi puun dalam pelaksanaan upacara adat atau menjadi utusan kepala
desa ke luar desa Kanekes. Jaro Dangka bertugas menjaga, mengurus dan memelihara
tanah titipan leluhur yang berada di dalam dan di luar Desa Kanekes. Ia juga bertugas
menyadarkan kembali warga tangtu yang dibuang karena melanggar adat. jaro dangka
berjumlah sembilan orang, tujuh orang berada di luar desa Kanekes dan dua lainnya
berada di dalam desa. Kesembilan jaro ditambah dengan tiga orang jaro tangtu disebut
dengan jaro duabelas yang dikepalai oleh salah seorang diantara mereka. pemimpin jaro
duabelas ini disebut jaro tanggungan duabelas.

Jaro pamarentah bertugas sebagai penghubung pemerintahan adat dan masyarakat baduy
dengan pemerintah dan bertindak sebagai kepala desa Kanekes yang berkedudukan di
Kaduketug. Dalam tugas jaro pamarentah dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot
lembur.

Palawari
Palawari merupakan kelompok khusus - semacam panitia tetap - yang bertugas sebagai
pembantu, pesuruh dan perantara dalam berbagai kegiatan upacara adat. mereka
mendapat tugas dari tangkesan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan persiapan dan
pelaksanaan suatu upacara adat, yakni menyediakan makanan untuk semua petugas dan
warga yang terlibat dalam upacara tersebut.

Tangkesan
Tangkesan merupakan ”menteri kesehatan” atau dukun kepala dan sebagai atasan dari
semua dukun yang ada di baduy. Ia juga merupakan juru ramal bagi segala aspek

16
kehidupan orang baduy. Ia terlibat dalam penentuan orang yang pantas menjadi puun. ia
juga orang yang memberi restu pada orang yang ingin menjadi dukun. oleh karena itu,
orang yang menjabat sebagai tangkesan harus cendikia dan menguasai ilmu obat-obatan
dan mantera-mantera. sekalipun tangkesan dapat memberikan nasihat dan menjadi
tempat bertanya bagi puun, jabatan ini dapat dipegang oleh orang baduy luar. dalam hal
ini, biasanya ia merupakan keturunan dari tangkesan sebelumnya.

Ada beberapa sebutan dukun pada masyarakat baduy, yakni paraji (dukun beranak),
panghulu (dukun khusus mengurus orang yang meninggal), bengkong julu (dukun sunat
untuk pria) dan bengkong bikang (dukun sunat untuk wanita).

2.4.3 Kesenian 

Dalam melaksanakan upacara tertentu, masyarakat Baduy menggunakan


kesenian untuk memeriahkannya. Adapun keseniannya yaitu:

1. Seni Musi (Lagu daerah yaitu Cikarileu dan Kidung ( pantun) yang digunakan dalam
acara pernikahan).
2. Alat musik (Angklung Buhun dalam acara menanan padi dan alat musik kecapi)
3. Seni Ukir Batik.

2.4.4 Peralatan dan Teknologi 

Kehidupan orang Baduy berpusat pada daur pertanian yang diolah dengan
menggunakan peralatan yang masih sangat sederhana. Dalam adapt Baduy terutama
Baduy Dalam, masyarakat tidak boleh menggunakan peralatan yang sudah modern.
Mereka mengandalkan peralatan yang masih sangat primitive seperti bedog, kampak,
cangkul, dll.

17
2.4.5 Sistem Pengetahuan 

Sistem pengetahuan orang Baduy adalah Pikukuh yaitu memegang teguh segala
perangkat peraturan yang diturunkan oleh leluhurnya. Dalam hal pengetahuan ini, orang
Baduy memiliki tingkat toleransi, tata krama, jiwa social, dan teknik bertani yang
diwariskan oleh leluhurnya. Dalam pendidikan modern orang Baduy masih tertinggal
jauh namun mereka belajar secara otodidak. Jadi sebetulnya orang Baduy sangat
informasional sekali sebetulnya, tahu banyak informasi. Hal ini ditunjang karena
kegemaran sebagai orang rawayan (pengembara).

Sebagai penutup dan catatan penulis, kemungkinan bahwa budaya lama telah
banyak digantikan dengan budaya baru menandakan sebetulnya budaya sangat relatif
dan adaptif di lingkungan Suku Baduy, terutama Baduy luar. Namun, sebagai pelengkap
yang lebih akurat dibandingkan foklore (cerita rakyat) dan narasumber lainnya, adalah
peninggalan sejarah dan prasejarah yang tertinggal sebagai bukti terkuat, bahwa mereka
termasuk komunitas masyarakat yang tertua di Banten.

2.5 Pola Pertanian Tradisional Masyarakat Baduy

Sistem perladangan berpindah atau perladangan daur ulang telah dipraktekkan


selama berabad-abad dan merupakan bentuk pertanian yang paling awal di wilayah
tropika dan subtropika. Sistem pertanian dilakukan adalah tanaman pangan dalam waktu
dekat (pada umumnya 2 – 3 tahun), dan kemudian diikuti dengan fase regenerasi atau
masa bera yang lebih lama (pada umumnya 10 – 20 tahun). Pembukaan hutan biasanya
menggunakan alat sederhana, dilakukan secara tradisional, dan menggunakan cara
tebang bakar (Nair, 1993).

Pada waktu hutan dibuka maka tumbuhan alam yang berguna biasanya dibiarkan
atau sedikit disiangi dan dimanfaatkan hasilnya. Lama waktu perladangan dan masa bera
atau masa lahan diistirahatkan adalah sangat bervariasi, dan lama masa bera merupakan
faktor kritis bagi regenerasi kesuburan tanah, keberlanjutan, dan hasil pertanian yang

18
didapatkan. Regenerasi kesuburan tersebut melibatkan tumbuh kembalinya tanaman
tahunan atau tumbuhan asli (Nair, 1993).

Masyarakat Baduy yang masih mengikuti pola pertanian tradisional zaman


Kerajaan Sunda (Pajajaran), telah mempraktekkan sistem perladangan berpindah
tersebut sejak kurang lebih 600 tahun yang lampau. Mereka membuka huma untuk
ditanami padi selama 1 sampai 2 tahun, dan kemudian ketika hasil panen telah menurun
akan meninggalkan huma tersebut dan membuka kembali huma baru dari bagian hutan
alam yang mereka peruntukkan bagi kepentingan tersebut. Huma yang ditinggalkan pada
suatu saat akan diolah kembali dan periode masa bera tersebut pada awalnya 7 sampai
10 tahun.

Namun demikian, karena wilayah Baduy yang semakin sempit ditambah dengan
pertambahan penduduk, maka lahan huma yang tersedia juga semakin sempit sehingga
dari tahun ke tahun masa bera ladang menjadi semakin pendek, yaitu 3 sampai 5 tahun.
Hal tersebut merupakan indikator terjadinya penurunan kualitas lingkungan dan daya
dukung secara ekologis. Pada saat penelitian dilakukan, wilayah Baduy yang tersisa
adalah 5.101 hektar, dengan pembagian peruntukan tanah pertanian 2.585 ha atau 51%
(709 ha atau 14% ditanami dan sisanya bera yaitu 1.876,25 ha atau 37%); lahan
pemukiman 24,5 ha atau 0,48%; hutan tetap atau hutan lindung yang tak boleh digarap
2.492 ha atau 49% (Purnomohadi, dalam Permana, 2001). Luas tanah yang digunakan
untuk bertani dan luas tanah bera bervariasi dari tahun ke tahun.

Secara tradisional masyarakat Baduy membedakan enam jenis perladangan atau huma
berdasarkan fungsi, pemilikan, dan proses mengerjakannya (Garna, 1993). Keenam
huma tersebut adalah:

1) Huma serang, yaitu ladang yang dianggap suci yang ada di wilayah Baduy dalam,
yang hasilnya digunakan untuk kepentingan upacara adat.
2) Huma puun, yaitu ladang khusus milik puun di Baduy dalam.
3) Huma tangtu, ladang yang digarap warga Baduy dalam.

19
4) Huma tuladan, ladang komunal di Baduy luar yang hasilnya untuk keperluan desa.
5) Huma panamping, ladang warga masyarakat Baduy luar.
6) Huma urang baduy, yaitu ladang di luar wilayah baduy yang dikerjakan orang Baduy
luar dan hasilnya diambil untuk kepentingan keluarga masing-masing.
Kepemilikan lahan pertanian adalah komunal, terutama untuk wilayah Baduy
Dalam, artinya setiap warga dapat menggarap tanah di wilayah ladang yang manapun
dalam luasan yang tak dibatasi, namun hanya sesuai kekuatan tenaga yang
mengerjakannya. Sedangkan bagi warga Baduy Luar, selain mengerjakan huma
panamping, mereka juga dapat menyewa lahan pertanian milik penduduk non Baduy
untuk digarap sesuai adat Baduy. Apabila lahan garapan tersebut kemudian dibeli, maka
akan menjadi Huma urang Baduy, yang sepenuhnya menjadi hak milik orang tersebut.

Pekerjaan di huma serang yang hanya terdapat di wilayah Baduy Dalam, yang
merupakan huma adat milik bersama dikerjakan secara bersama-sama pula, baik oleh
masyarakat Baduy Dalam maupun Baduy Luar. Pekerjaan di huma serang dilakukan
dalam satu hari karena dikerjakan oleh banyak orang dan sarat dengan berbagai upacara
adat. Menurut Anas, salah seorang penduduk Cibeo, pekerjaan di huma serang tersebut
mengawali pekerjaan di huma lainnya.

2.5.1 Kalender Pertanian

Sebagaimana masyarakat agraris lainnya di Indonesia, masyarakat Baduy


mempunyai jadwal pertanian yang tertentu setiap tahunnya dan didasarkan kepada letak
benda astronomi tertentu, seperti kemunculan bintang tertentu dan letak matahari.
Adapun patokan bintang yang digunakan adalah bintang kidang (Waluku atau rasi
Orion) dan bintang Kartika atau bintang Gumarang. Dalam prakteknya bintang kidang
lebih banyak dipakai karena lebih jelas terlihat (Permana, 2001). Kemunculan bintang
kidang tersebut menandai dimulainya proses berladang karena masyarakat mulai
bersiap-siap turun ke ladang dan mulai mengolah lahan pertanian. Dalam ungkapan
mereka disebutkan: “Mun matapoe geus dengek ngaler, lantaran jagad urang geus
mimiti tiis, tah dimimitian ti wayah eta kakara urang nanggalkeun kidang, tanggal

20
kidang mah laju turun kujang”. (Terjemahan: “Jika matahari telah condong ke utara,
ketika bumi kita telah mulai dingin, mulai saat itu baru kita mengamati penanggalan
dengan munculnya bintang kidang, waktu muncul bintang kidang kita mulai
menggunakan alat pertanian (kujang)” (Permana, 2001)

Adapun alat pertanian yang mereka gunakan adalah terbatas sekali, dan prinsip
pengolahan lahan mereka adalah sesedikit mungkin mengganggu tanah. Mereka
membuka huma dengan bedog atau parang panjang dan kujang (parang pendek atau
pisau), dan menanam benih padi dengan cara menugal atau melubangi tanah dengan
sepotong kayu. Pengolahan lahan dengan cara mencangkul atau membajak adalah
terlarang.

Kalender sebagai penanda waktu pada masyarakat Baduy adalah kalender yang
berpatokan pada perputaran bulan (komariah). Satu tahun dibagi menjadi 12 bulan.
Menurut Narja, seorang penduduk kampung Cibeo, urutan bulan-bulan tersebut adalah
sebagai berikut: Kapat, Kalima, Kanem, Katujuh, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh,
Hapit Lemah, Hapit Kayu, Kasa, Karo, Katiga. Urutan bulan tersebut juga mengikuti
tahapan dalam proses perladangan. Bulan Kasa, Karo, dan Katiga, yang merupakan
bulan-bulan akhir masa berladang dan masa panen disebut pula masa Kawalu yang
dipenuhi dengan berbagai upacara adat dan berbagai bentuk larangan. Pada masa
tersebut tamu atau pengunjung dari luar biasanya tidak diterima.

2.5.2 Tahap Pengolahan Ladang

Pengolahan ladang di Baduy dapat dibagi menjadi beberapa tahap. Kegiatan pertanian
padi tersebut merupakan bagian sakral dari kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy,
sehingga setiap kegiatan pada masing-masing tahapan dilakukan dengan upacara adat
(Permana, 2001). Tahapan pengolahan ladang tersebut adalah sebagai berikut.

21
1) Narawas

Narawas adalah merintis, memilih lahan untuk dikerjakan menjadi huma pada
tahun tersebut, oleh setiap kepala keluarga. Lahan yang dipilih untuk dijadikan huma
biasanya berupa reuma (bekas huma yang diberakan cukup lama) ataupun hutan
sekunder. Lahan yang dipilih oleh sebuah keluarga biasanya ditandai dengan cara
meletakkan batu, batu asahan, ataupun menanam koneng (kunyit). Selama proses
memilih lahan maka mereka mengikuti pantangan untuk tidak berbicara kasar, kentut,
memakai baju yang bersih dan memakai ikat kepala.

2) Nyacar

Nyacar berarti menebas rumput, semak belukar, dan pepohonan kecil yang
tumbuh tanpa ditanam, serta memotong beberapa dahan pohon besar agar lahan
mendapatkan sinar matahari yang cukup. Kegiatan ini dilakukan oleh seluruh anggota
keluarga dan biasanya dilakukan pada bulan Kalima (bulan urutan kedua pada kalender
Baduy).

3) Nukuh

Nukuh berarti mengeringkan rerumputan atau dedaunan hasil tebangan pada


proses sebelumnya (nyacar). Pada proses ini hasil tebangan dikeringkan secara alami
dengan sinar matahari, dan setelah kering kemudian dikumpulkan menjadi onggokan
untuk kemudian dibakar pada proses berikutnya Apabila pada lahan yang dijadikan
huma terdapat pohon yang besar (tua usianya), maka penebangan tidak boleh dilakukan
sembarangan, dan biasanya tidak dilakukan pada saat nyacar, melainkan menunggu
sampai proses nukuh. Penebangan diawali dengan upacara adat (pembacaan mantera dan
pemberian sesaji) yang dilakukan oleh puun dengan maksud agar makhluk halus
penghuni pohon tersebut tidak marah karena tempatnya diganggu manusia.

22
4) Ngaduruk

Ngaduruk atau ngahuru adalah proses membakar sisa daun dan ranting
pepohonan yang dibersihkan pada saat nyacar dan dikumpulkan pada saat nukuh. Saat
ngaduruk juga berpatokan dengan kehadiran bintang kidang. Dalam istilah mereka :
“kidang ngarangsang kudu ngahuru”, yaitu pada saat bintang kidang bercahaya terang
waktu subuh, yang umumnya terjadi pada tanggal ke 18 bulan katujuh, adalah waktu
yang tepat untuk membakar. Selama pembakaran yang dilakukan untuk setiap
onggokan, api selalu dijaga agar tak merambat dan menimbulkan kebakaran hutan.
Setelah selesai membakar, maka mereka akan selalu memastikan bahwa api telah benar-
benar mati sebelum meninggalkan huma. Abu bekas pembakaran dibiarkan di ladang
sebagai pupuk sambil menunggu hujan tiba.

5) Nyoo Binih

Tahap penanaman dan pemeliharaan huma diawali dengan kegiatan nyoo binih,
ngaseuk, ngirab sawan, dan ngored. Awal penanaman sesuai dengan datangnya musim
hujan dan berpatokan pada posisi bintang kidang. Pertanda awal mulai penanaman
adalah apabila bintang kidang mencapai titik zenith atau titik puncak pada waktu subuh,
yang diistilahkan sebagai kidang muhunan.

Nyoo binih adalah kegiatan mempersiapkan benih yang dilakukan 1 hari sebelum
penanaman atau ngaseuk. Kegiatan tersebut dimulai dengan menurunkan benih padi dari
lumbung, yang dilakukan oleh para wanita. Pelaku harus mengenakan selendang putih,
sabuk putih, dan rambutnya disanggul, dan melakukan kegiatan tersebut dengan suasana
hening dan khidmad, tanpa bercakap-cakap, dan dengan mengucapkan mantra tertentu.
Kegiatan menurunkan benih dari lumbung, yang dipimpin oleh istri girang seurat,
dimaknai sebagai membangunkan Nyi Pohaci, yaitu dewi pelindung pertanian dari
tidurnya.

23
Setelah menurunkan padi maka padi tersebut diletakkan di tempat yang lapang untuk
diinjak-injak dengan telapak kaki di atas tampah agar butir-butirnya terlepas dari tangkai
padi, kemudian benih tersebut disimpan di dalam bakul. Pada malam hari salah satu dari
bakul tersebut, yang secara simbolis mewakili bakul-bakul lainnya dibawa ke tengah
lapangan untuk diberi mantra oleh para tetua kampung (baris kolot) diiringi
serombongan pemain angklung yang semuanya pria dan disaksikan oleh seluruh warga.
Benih pada bakul tersebut biasanya kemudian ditaman di huma serang yang merupakan
huma komunal masyarakat Baduy.

6) Ngaseuk

Kata ngaseuk berarti menugal atau menanam dengan tugal, yaitu dengan cara
membuat lubang kecil dengan sepotong kayu atau bambu yang diruncingkan ujungnya,
dan menanam benih padi ke dalamnya. Kegiatan penugalan tersebut dilakukan para pria
dewasa, dan penanamannya dibantu oleh anggota keluarga lainnya.

7) Ngirab Sawan

Arti ngirab sawan secara harafiah adalah membuang sampah atau penyakit.
Dalam kegiatan tersebut dilakukan pembersihan ranting dan daun atau tanaman lain
(gulma) yang mengganggu pertumbuhan padi. Kegiatan lain yang berhubungan dengan
ngirab sawan adalah ‘pengobatan’ padi, yang dilakukan dengan cara berpantun atau
membacakan pantun, dan menebarkan ramuan ‘obat padi’. Ramuan tersebut terdiri dari
campuran daun mengkudu (Morinda citrifolia), jeruk nipis, beuti lajo, karuhang, gembol,
areuy beureum, hanjuang, dan kelapa muda. Semua bahan tersebut ditumbuk halus,
dicampurkan dengan abu dapur, dan disebarkan ke seluruh lahan. Pengobatan tersebut
adalah tindakan pemupukan tanaman, dan dilakukan sebanyak 10 kali selama
pertumbuhan padi.

24
8) Ngored dan Meuting

Ngored adalah membersihkan atau menyiangi rumput dan gulma lain yang
timbuh di antara tanaman padi, 2 sampai 4 kali setiap bulan selama pertumbuhan padi.
Adapun meuting adalah kegiatan menginap di saung huma atau gubug yang dibangun di
huma dengan jangka waktu tertentu dalam rangka mengurus dan memelihara tanaman.

9) Mipit

Mipit adalah kegiatan panen padi yang pertama kali dalam suatu musim, dan
dilakukan di huma serang. Pemetikan padi secara simbolis yang pertama tersebut
dilakukan oleh istri dari girang seurat. Padi kemudian diikat dengan tali kulit pohon
teureup pada bagian tangkainya menjadi satu ikatan. Ikatan padi kemudian dikumpulkan
di saung huma serang, dan setelah kering kemudian dibawa ke kampung untuk disimpan
di leuit atau lumbung padi huma serang. Setelah panen di huma serang selesai, kemudian
dilanjutkan dengan panen di huma puun, kemudian dilanjutkan dengan panen di huma
tangtu, dan akhirnya di huma tuladan dan huma panamping.

10) Dibuat

Istilah dibuat dalam pertanian Baduy adalah memotong atau memanen padi
dengan mempergunakan etem atau ani-ani, yang biasanya dilakukan oleh kaum wanita.
Pelaksanaannya adalah setelah upacara mipit dan harus dilakukan segera. Apabila
terlambat maka hama walang sangit (kungkang) akan muncul. Kegiatan tersebut
dilakukan oleh seluruh keluarga, dan selama kegiatan tersebut sampai dengan padi
menjadi kering dijemur, seluruh anggota keluarga menginap di huma.

25
11) Ngunjal

Ngunjal adalah mengangkut hasil panen padi dari huma ke kampung untuk
kemudian disimpan dalam leuit atau lumbung. Padi yang telah beberapa hari
dikeringkan atau dilantay, disimpan dengan cara menumpuk secara teratur (dielep).
Sebelum diangkut ke kampung, tali pengikat padi diganti dengan tali baru.
Pengangkutan hasil padi dilakukan secara bertahap oleh seluruh keluarga. Para pria
mengangkutnya dengan cara mengikat padi menjadi dua ikatan besar dan kemudian
dipikul dengan menggunakan bambu, sedangkan para wanita membawa padi dengan
cara menggendong dengan menggunakan kain.

12) Nganyaran

Nganyaran adalah kegiatan upacara memakan atau mencicipi nasi baru, atau nasi
pertama kali hasil dibuat di huma serang. Upacara nganyaran dimulai dengan
mengambil 5 ikat padi dari leuit huma serang. Padi tersebut kemudian dibawa ke saung
lisung, yaitu tempat menumbuk padi yang digunakan secara komunal, untuk ditumbuk
oleh 5 orang wanita, yaitu para istri dari puun, girang seurat, jaro tangtu, baresan, dan
bekas puun. Alu penumbuk padi sebelumnya diusap dengan ludah masing-masing
penumbuknya. Beras hasil tumbukan disimpan dalam bakul tempat nasi dan ditutup
dengan kain putih yang diberi wewangian, dibawa ke rumah girang seurat untuk dibuat
nasi tumpeng. Keesokan harinya, nasi tumpeng yang telah siap dibawa ke rumah puun
untuk diberi mantra dan doa, kemudian di alun-alun nasi tumpeng tersebut dibagi-
bagikan kepada seluruh warga yang hadir. Sebelum pulang ke rumah masing-masing,
warga mengambil beberapa bulir padi hasil panen dari huma serang yang disediakan di
depan golodog bale. Jika padi masih banyak tersisa setelah diambil para warga, maka hal
tersebut merupakan suatu pertanda bahwa hasil panen di seluruh wilayah Baduy akan
berlimpah. Selanjutnya padi hasil pertanian mereka adalah terlarang untuk dijual atau
diperdagangkan. 

26
2.6 Pola Konservasi Hutan Tradisional Masyarakat Baduy

Masyarakat Baduy menerapkan cara pertanian ladang berpindah yang merupakan


cara bercocok tanam tahap awal evolusi cara bertani. Sistem perladangan berpindah
tersebut sangat tergantung pada keberadaan dan kelestarian hutan di wilayah tersebut.
Dengan demikian hutan memegang peran penting dalam hubungan antara masyarakat
Baduy dengan lingkungan alamnya. Keberadaan mereka menurut sejarah dan
kepercayaan adalah dalam rangka menjaga hutan dan mata air Sungai Ciujung yang
menjadi sungai utama pada jaman Kerajaan Sunda/Pajajaran. Masyarakat Baduy
diperintahkan untuk mengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung yang berperan
sangat penting dalam bidang transportasi dan pertanian, beserta hutan yang melindungi
mata airnya, yang mereka sebut sebagai Sirah Cai atau kepala air (Adimihardja, 2000).

Untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan dan DAS tersebut, maka


masyarakat Baduy yang bermukim di wilayah tersebut ditabukan untuk bercocok tanam
dengan cara mengolah lahan seperti membuat petak sawah, mencangkul, atau menanami
dengan tanaman untuk perdagangan. Cara pengolahan lahan yang berlebihan dan
pengusahaan lahan pertanian untuk diperdagangkan diyakini akan menimbulkan
kerusakan ekosistem. Dengan demikian pertanian yang mereka praktekkan adalah
pertanian sederhana, sesedikit mungkin mengolah tanah dan hanya untuk kebutuhan
bertahan hidup secara subsisten saja. Bekas ladang akan diliarkan kembali dan menjadi
hutan belukar, dan seterusnya menjadi hutan sekunder. Selain itu hewan ternak yang
berkaki empat juga ditabukan mengingat injakan kaki serta kebutuhan makanan ternak
akan daun-daunan dalam jumlah banyak diyakini pula dapat mengganggu kelestarian
hutan.

Secara adat istiadat Baduy, hutan dibeda-bedakan berdasarkan peran dan


fungsinya sebagai: hutan tua (leuweung kolot ); hutan muda ( leuweung ngora ); semak
belukar lebat bekas huma (leuweung reuma ), dan semak belukar ( jami ). Hutan tua ada
di wilayah Baduy Dalam dan jauh dari permukiman, sedangkan ketiga jenis hutan
lainnya ada di sekitar perkampungan (Garna, 1993). Hutan tua di wilayah Baduy, secara

27
adat dianggap suci dan tabu untuk dieksploitasi oleh manusia, sehingga pengawasannya
ditangani oleh puun sebagai ketua adat.

Strategi konservasi hutan secara tradisional pada masyarakat Baduy tersebut juga
tercermin dalam penyusunan tata ruang, dalam hal ini susunan perkampungan
penduduknya. Perkampungan Baduy dibedakan menjadi kampung Tangtu (Baduy
Dalam), Panamping (Baduy Luar), dan Dangka yang terletak diluar wilayah Kanekes.
Kampung dangka adalah kampung kecil yang merupakan kantong-kantong penyangga,
atau semacam buffer zone pada lapisan terluar, berfungsi sebagai kampung penangkal
bagi masuknya pengaruh luar ke wilayah Baduy. Selain itu penduduk kampung dangka
juga bertugas menjaga dan memelihara hutan larangan yang terletak di luar wilayah
Baduy, sebagai hutan cadangan untuk kepentingan perluasan perladangan orang Baduy
(Adimihardja, 2000).

Namun demikian, keberadaan hutan larangan di wilayah dangka tersebut


semakin lama semakin sempit, karena berbagai penyerobotan, penjarahan, dan
penggundulan yang dilakukan secara terus menerus oleh masyarakat di sekitar. Bahkan
sejak jaman Belanda, banyak bagian dari hutan larangan di wilayah dangka tersebut
yang diubah menjadi perkebunan karet. Dengan demikian fungsi kampung dangka
sebagai buffer zone tersebut semakin lama semakin tidak berarti.

Menurunnya fungsi dan peranan kampung dangka tersebut tercermin pula dari
penurunan jumlah kampung yang ada. Pada awalnya terdapat 9 kampung dangka
(Adimihardja, 2000). Pada 1929 jumlah kampung dangka telah menyusut menjadi 7
kampung, dan selanjutnya pada 1975 sampai dengan tahun 2000 hanya tinggal 3
kampung dangka lagi (Makmur, 2001). Sedangkan pada saat penelitian ini dilakukan
pada tahun 2003, hanya tersisa 2 kampung dangka saja. Dengan menyusutnya jumlah
kampung dangka maka warga Baduy yang tinggal di kampung dangka kemudian ditarik
ke wilayah Kanekes.

28
2.7 Keberlanjutan Ekosistem Baduy

Keberlanjutan ekosistem Baduy yang terdiri dari ekosistem alam dan sistem
sosial budaya tergantung dari beberapa faktor. Faktor tersebut bersifat eksternal, apabila
datang dari luar komunitas, dan internal apabila berasal dari dalam komunitas. Pada
kasus Baduy, gangguan yang merupakan faktor eksternal antara lain adalah ancaman
terhadap kelestarian hutan. Luas hutan alam yang merupakan leuweng kolot terus
berkurang. Ancaman tersebut dilakukan oleh penduduk luar Baduy. Menurut Jaro
Dainah, seorang jaro pamarentah yang tinggal di Kampung Kadu Ketuk, gangguan dari
penduduk luar berupa penebangan hutan, penyerobotan tanah, dan pengambilan ikan di
sungai dengan mempergunakan racun.

Dengan pola yang ada maka ekosistem Baduy tidak bersifat berkelanjutan
kecuali terjadi perubahan dan adaptasi dari sistem sosial mereka. Mengingat adat istiadat
yang bersifat ‘bertahan dari segala perubahan’ atau sedapat mungkin menolak perubahan
maka keadaan tersebut menjadi kritis bagi eksistensi Baduy.

Namun demikian secara alami segala sesuatu, termasuk kebudayaan masyarakat


Baduy tentu akan mengalami perubahan. Terdapat pula berbagai bukti mengenai
terjadinya perubahan tersebut. Menurut penuturan Jasrip, yang adalah adik kandung dari
jaro maka pada jaman dahulu orang luar dilarang masuk ke wilayah Baduy Dalam,
namun pada saat sekarang ini Kampung Cibeo yang berada di wilayah Baduy Dalam
telah terbiasa menerima kunjungan tamu dari luar Baduy dalam jumlah ratusan orang.
Contoh lain adalah penggunaan barang plastik yang dahulunya terlarang sama sekali
bagi orang Baduy Dalam, pada saat ini ditolerir penggunaannya bagi orang Baduy
Dalam apabila sedang bepergian ke luar wilayah Baduy. Dalam perjalanan mereka ke
kota maka sangat umum bagi warga Cibeo untuk menggunakan botol plastik bekas air
minum kemasan untuk botol air minum mereka, dan lembaran plastik lebar juga mereka
gunakan sebagai ‘jas hujan’ apabila hari hujan.

29
Terjadinya perubahan secara alami terhadap adat tersebut memberi harapan
positif atas bertahannya kebudayaan Baduy. Perubahan dalam adat dan tabu tersebut
yang adalah melalui musyawarah para pimpinan adat Baduy dilaksanakan dengan sangat
selektif. Kemungkinan tersebut membawa kepada harapan bahwa cara pertanianpun
dapat mengalami perubahan. Perubahan praktek pertanian yang sebaiknya ‘ramah
lingkungan’ antara lain dapat berupa pemberian pupuk organik atau pupuk alami pada
lahan pertanian, dan penerapan sistem agroforestry atau pertanian campuran antara
tanaman pangan dan tanaman tahunan secara sinergis, yang bersifat mengkonservasi
lahan.

2.8 Kearifan Arsitektur Rumah Baduy Dalam

Sekelompok orang berpakaian putih kusam tampak berjaga-jaga di gerbang


masuk kampung. Semuanya lelaki. Mereka mengenakan semacam sarung pendek selutut
warna hitam kusam bermotif garis abu-abu tua. Tak ketinggalan ikat kepala putih
membelit kepala dan sebilah golok terselip di pinggang.

Semua orang yang ingin masuk kampung harus seizin mereka. Maklum, mereka
yang bertanggung jawab menjaga keamanan kampung, petugas ronda. Itulah gambaran
suasana kampung Baduy Dalam, Cibeo, yang terletak di Desa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.

Semua tamu--pendatang--yang ingin melihat kampung Baduy Dalam itu tidak


serta-merta diizinkan. Biasanya, para peronda menahan pendatang sebelum para
penghuni kampung kembali ke rumah masing-masing. Ini salah satu aturan main adat
Baduy Dalam. Sehari-hari, semua penghuni kecuali peronda bekerja di huma.

Memasuki kawasan perkampungan Baduy Dalam di Cibeo ini, pertama yang


terlihat adalah rumah-rumah panggung dari bambu dan beratapkan daun rumbia atau
kirai. Semua bahan bangunan diambil dari alam. Jangan harap Anda menemukan paku,
semen, atau bata. Soalnya, ini terkait kepercayaan masyarakat Baduy, Sunda Wiwitan.

30
Sunda Wiwitan atau agama Sunda Wiwitan didasari penghormatan pada roh
nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa yang dinamakan Nu Kawasa atau Nu
Ngersakeun atau Batara Tunggal. Orientasi, konsep, dan kegiatan keagamaan ditujukan
kepada pikukuh--aturan adat mutlak--agar teratur dan sejahtera.

Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy adalah
"tanpa perubahan apa pun", seperti tertuang dalam buyut-larangan--dari nenek moyang.
Seperti: gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak, larangan teu meunang
dirempak, lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung.

Artinya: gunung tak boleh dihancurkan, lembah tak boleh dirusak, larangan tak boleh
dilanggar, panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung.

Aturan adat ini terus dipegang dan dijaga turun-temurun. Jadi melihat seluruh napas
kegiatan di perkampungan Baduy adalah gambaran ketaatan pada adat.

Seluruh pembangunan rumah dikerjakan gotong-royong. Kerangkanya menggunakan


kayu terep--kayu jenis albasia--sedangkan dinding dan lantai rumah terbuat dari bahan
bambu berjenis apus yang tahan rayap.

Untuk menyambung satu kayu dengan lainnya digunakan teknik ikatan kayu yang
diperkuat balutan tali dari kulit kayu. Tidak ada gergaji, semua pengerjaan pemotongan
kayu menggunakan golok.

Dari luar, bentuk rumah-rumah relatif sama, dari model hingga ukuran. Seluruh rumah
berbentuk rumah panggung tinggi satu meteran, tidak berpagar, dan luasnya sekitar 10 x
15 meter. Pembagian ruang dalam rumah hanya dipisah menjadi dua. Ruang utama dan
dapur.

Ruang utama ini biasanya digunakan untuk berbagai aktivitas, misalnya untuk
menenun--sebagian besar para wanita Baduy pandai membuat kain. Sedangkan seluruh

31
aktivitas masak-memasak dilakukan di dapur yang ditandai dengan semacam tungku
besar di tengah ruang.

Di dapur pulalah kita menemukan perlengkapan makan yang sebagian besar terbuat dari
bambu dan kayu. Yang membedakan rumah satu dengan lainnya adalah jumlah tungku.
Hal ini berhubungan dengan jumlah keluarga penghuni. Di beberapa rumah Baduy
Dalam masih ditemukan rumah dengan dua tungku karena dihuni dua keluarga.

Arsitektur tradisional Indonesia, khususnya arsitektur Baduy, menurut Ir Eko Budihardjo


dalam bukunya Arsitektur Sebagai Warisan Budaya memiliki keunikan. Ruang dalam
dan luar bangunan saling mengimbas, tanpa ada batas yang kaku atau tegar.

Kondisi ini cocok dengan iklim Indonesia yang tropis dan lembap. "Sekaligus pas untuk
mewadahi perilaku masyarakatnya yang senang bercengkerama dengan alam dan
tetangga sekitar secara akrab," kata Budihardjo dalam bukunya itu.

Hampir setiap perkampungan di Baduy Dalam dihuni sekitar 50 rumah. Jarak di antara
rumah-rumah itu tidak berjauhan, tapi juga tidak berimpit-impitan. Antara rumah yang
satu dan lainnya kira-kira berjarak tiga hingga lima meter.

Penghitungan jarak antarrumah ini biasanya menggunakan batas jatuh bayangan rumah
pada pagi hari. "Hal ini yang membuat sirkulasi udara di perkampungan Baduy tetap
segar," kata Sarpin, salah satu penduduk Baduy.

Selain rumah, setiap keluarga Baduy juga memiliki leuit (lumbung padi) yang terletak di
utara kampung. Leuit merupakan simbol ketahanan pangan bagi orang Baduy.
Ketahanan pangan sangat penting mengingat hubungan dengan dunia luar sangat
dibatasi.

Lumbung padi berbentuk panggung yang ditopang oleh empat kayu penyangga atau
tiang. Tingginya sekitar satu meter dari atas tanah. Pintu lumbung ada di atas bilik dekat
dengan atap. Pintu berukuran kecil sekitar 40 x 50 cm. Atap lumbung terbuat dari daun

32
sago kirai (sejenis palem) yang dianyam. Supaya kuat, atap ditahan dengan gapit yang
terbuat dari belahan bambu.

Ukuran leuit bervariasi tergantung pada luas huma yang dikelola. Masyarakat Baduy
biasanya membangun leuit dengan kapasitas 500-1.000 ikat padi. Umumnya bilik
lumbung berukuran panjang 1,5 meter, lebar 1,5 meter, dan tinggi empat meter. Leuit
dengan ukuran seperti itu bisa menampung padi sekitar 500-600 ikat. Seikat padi setara
tiga kilogram beras.

Lumbung didesain khusus supaya mampu menyimpan padi dalam jangka waktu lama
serta bebas gangguan tikus. Supaya padi bisa bertahan, lumbung selalu dirawat secara
rutin. Atap merupakan bagian lumbung yang paling sering diganti supaya tidak bocor.

Sebagai penangkal, digunakan gelebek--papan kayu berbentuk bundar dengan diameter


sekitar 50 cm--dipasang di keempat tiang penyangga tepat di bawah lantai lumbung.
Bentuk gelebek yang bulat dengan diameter yang cukup besar menyebabkan tikus tidak
bisa naik ke lumbung padi.

Tata ruang kampung Baduy Dalam selalu memiliki orientasi selatan-utara. Arah selatan
menjadi semacam "kiblat" buat masyarakat Baduy. Sebab, di selatanlah terdapat obyek
utama pemujaan masyarakat Baduy, yaitu Arca Domas yang terletak di Gunung
Pauntuan di lereng Gunung Kendeng.

Keberadaan Arca Domas yang paling sakral di sebelah selatan itu menyebabkan arah
tempat terdapatnya arca dianggap orientasi paling baik atau paling suci dibanding arah-
arah lain. Karena dasar ini pula, semua rumah di perkampungan Baduy Dalam
berorientasi selatan-utara. Kecuali bangunan bale atau balai kampung--tempat
musyawarah warga desa--dan saung lisung (bangunan tempat menumbuk padi) yang
berorientasi timur-barat.

Secara kontur tanah, daerah yang paling tinggi berada di sebelah selatan kampung, dan
di sinilah dibangun rumah puun (ketua adat) kampung. Di sebelah utara rumah puun

33
terdapat rumah penduduk kampung, sebuah alun-alun desa, bale, dan saung lisung. Pola
ini dijumpai di seluruh perkampungan Baduy Dalam. Pintu masuk kampung berada di
sisi utara sehingga secara adat para tamu yang berkunjung harus masuk dari utara.

Untuk membuka sebuah perkampungan, itu biasanya hasil musyawarah para tetua adat,
puun. Salah satu kriteria kawasan yang dapat dibangun menjadi kampung adalah
kawasan itu relatif rata dan dekat aliran Sungai Ciujung, satu-satunya sungai yang
melewati kawasan Baduy. Memang tidak semua bangunan rumah berada di atas kontur
tanah yang rata.

Untuk menyiasati perbedaan kontur tanah, mereka membangun rumah panggung. Tidak
ada satu alasan pun bagi masyarakat Baduy meratakan tanah yang bergelombang baik
untuk membangun rumah atau membuka ladang. Hal ini dipegang teguh karena dilarang
adat.

Orang Baduy memang hidup menyatu dengan alam tanpa banyak mengusiknya. Mereka
sadar bahwa hidup mereka bergantung pada alam. "Gunung tak boleh dihancurkan,
lembah tak boleh dirusak, larangan tak boleh dilanggar, panjang tak boleh dipotong,
pendek tak boleh disambung...." cahyo junaedy

34
PENUTUP

Baduy sebagai masyarakat yang bersahaja dan masih teguh mempertahankan


adatnya, merupakan gambaran masyarakat yang menjalankan tradisi asli mereka dan
nenek moyang nya. Dalam kegiatan Survey in diharapkan kita sebagai pengunjung dapat
memehami dan mengetahui seperti apa kebudayaan mereka.

Dan selayaknya apa yang telah menjadi kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat baduy, kita sebagai mahasiswa dan masyarakat lain harus tetap menjaga
keberadaan masyarakat baduy beserta kebudayaan-kebudayaan yang terdapat
didalamnya.

35

Anda mungkin juga menyukai