Chapter II
Chapter II
BAB II
LANDASAN TEORI
A. STRES
1. Definisi Stres
Menurut Lazarus dan Folkman (1984), stres adalah keadaan internal yang
dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh (kondisi penyakit, latihan dll) atau
oleh kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak
Menurut Selye (dalam Santrock, 2003), stres adalah respons umum terhadap
dengan reaksi waspada (alarm reaction) terhadap adanya ancaman yang ditandai
oleh proses tubuh secara otomatis, seperti meningkatnya denyut jantung yang
kemudian diikuti dengan reaksi penolakan terhadap stressor dan akan mencapai
tahap kehabisan tenaga (exhaution) jika individu tidak mampu untuk terus
bertahan.
tidak menyenangkan seperti yang dikatakan oleh Davis & Newstrom (1989), stres
merupakan kondisi ketegangan yang terjadi pada emosi, fisik dan psikologis
psikologis seseorang.
Stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh
tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi
merusak dan tidak terkontrol (Morgan & King, dalam Rice, 1992). Stres juga
didefinisikan sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai
tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas
Menurut Hager (dalam Santrock 2003), stres sangat bersifat individual dan
pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan
persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci dari stres adalah
menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Lazarus, 1984).
Dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran
stres muncul akibat terjadinya kesenjangan antara tuntutan yang dihasilkan oleh
transaksi antara individu dan lingkungan dengan sumber daya biologis, psikologis
atau sistem sosial yang dimiliki individu tersebut yang akan mempengaruhi
Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai
peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya
dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat
menentukan apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian
kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu
kondisi internal yang dapat merusak dan membahayakan fisik maupun psikologis
2. Penggolongan Stres
dialaminya yaitu:
Selye menyebutkan distress merupakan stres yang merusak atau bersifat yang
untuk menghindarinya. Pada tingkat stres yang berat, orang bisa menjadi depresi,
kehilangan rasa percaya diri dan harga diri. Akibatnya, ia lebih banyak menarik
diri dari lingkungan, tidak lagi mengikuti kegiatan yang biasa dilakukan, jarang
marah, mudah emosi. Tidak heran kalau akibat dari sikapnya ini mereka dijauhkan
menambah stres yang diderita karena persepsi yang selama ini ia bayangkan
ternyata benar, yaitu bahwa ia kurang berharga di mata orang lain, kurang
joy of stress untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat positif yang timbul dari
3. Sumber-sumber Stres
Ada dua stres yang berasal dari individu. Pertama adalah melalui adanya
penyakitAda dua stres yang berasal dari individu. Pertama adalah melalui adanya
psikososial sehingga dapat menimbulkan stres. Sejauh mana tingkat stres yaang
keparahan penyakit yang dialaminya. Cara yang kedua adalah melalui terjadinya
konflik. Konflik merupaka sumber stres yang paling utama. Di dalam konflik
mendekat.
anggota keluarga lainnya. Konflik interpersonal ini dapat timbul dari adanya
masalah finansial, perilaku yang tidak sesuai, melalui adanya tujuan yang
umum pada tubuh ketika ada tuntutan yang ditempatkan pada tubuh tersebut.
Respon Tubuh terhadap stres (General Adaption Syndrome /GAS) yang terdiri
yang bersifat sementara, suatu masa dimana pertahanan terhadap stres ada
semakin intensif, dan semua upaya dilakukan untuk melawan stres. Pada
darah, detak jantung, suhu tubuh, dan pernafasan semua meningkat. Bila
semua upaya yang dilakukan untuk melawan stres ternyata gagal dan stres
Menurut Selye tidak semua stres itu buruk, yang kemudian dia sebut dengan
Eustress yaitu konsep Selye yang menggambarkan sisi positif dari stres.
Salah satu kritik utama terhadap pandangan Selye adalah manusia tidak selalu
bereaksi terhadap stres dengan cara yang sama seperti yang ia kemukakan. Masih
banyak lagi yang harus dipahami mengenai stres pada manusia daripada sekedar
kepribadian mereka, susunan fisik, persepsi, dan konteks dimana stresor atau
1. Kognisi
Stres dapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktivitas kognitif (Cohen
deficit kognitif. Baum (dalam Sarafino, 2006) mengatakan bahwa individu yang
terus menerus memiliki stressor dapat menimbulkan stres yang lebih parah
terhadap stressor.
2. Emosi
Scherer dalam Sarafino, 2006) reaksi emosional terhadap stres yaitu rasa takut,
phobia, kecemasan, depresi, perasaan sedih, dan rasa marah (Sarafino, 2006).
3. Perilaku Sosial
2006). Individu dapat berperilaku menjadi positif maupun negatif. Bencana alam
dapat membuat individu berperilaku lebih kooperatif, dalam situasi lain, individu
dapat mengembangkan sikap bermusuhan (Sherif & Sherif dalam Sarafino, 2006).
Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku sosial negatif
& Wilson dalam Sarafino, 1994). Stres juga dapat mempengaruhi perilaku
berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat
stres yang dialami individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek,
yaitu:
3. Aspek emosi; dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin
4. Aspek tingkah laku; dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi
a. Faktor Lingkungan
Menurut Lazarus & Folkman (1984) kondisi fisik lingkungan dan sosial yang
merupakan pennyebab dari kondisi stres disebut dengan stressor. Istilah stressor
diperkenalkan pertama kali oleh Selye (dalam Rice, 1992). Situasi, kejadian atau
objek apapun yang menimbulkan tuntutan dalam tubuh dan penyebab reaksi
psikologis ini disebut stressor (Beryy, 1998) stressor dapat berwujud atau
berbentuk fisik, seperti polusi udara dan dapat juga berkaitan dengan lingkungan
sosial, seperti interaksi sosial. Pikiran ataupun perasaan inddividu sendiri yang
dianggap sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga
menjadi stressor.
1. Cataclysmic events
2. Personal stressors
3. Background stressors
Pertikaian atau permasalahn yang biasa terjadi setiap hari, seperti masalah
b. Faktor-Faktor Psikologis
1. Tekanan (pressure)
Tekanan terjadi karena adanya suatu tuntutan untuk mencapai sasaran atau
tujuan tertentu maupun tuntutan tingkah laku tertentu. Secara umum tekanan
yang dimiliki dalam proses pencapaian sasarannya, bahkan bila berlebihan dapat
2. Frustasi
Frustasi dapat terjadi apabila usaha individu untuk mencapai sasaran tertentu
didinginkan. Frustasi juga dapat diartikan sebagai efek psikologis terhadap situasi
depresi.
3. Konflik
Konflik terjadi ketika seseorang harus mengambil keputusan dari dua atau
lebih stimulus yang tidak cocok. Tiga tipe konflik utama adalah :
harus memilih antara dua stimulus atau keadaan yang sama menarik.
ada satu stimulus atau keadaan namun memiliki karakteristik yang positif
dan juga negatif. Bila dihadapkan dalam konflik seperti ini (timbul
c. Faktor-Faktor Kepribadian
tidak sabar, mudah marah , dan sikap bermusuhan yang dianggap berhubungan
dengan masalah jantung. Penelitian mengenai pola tingkah laku tipe A pada anak-
anak dan remaja menemukan bahwa anak-anak dan remaja dengan pola tingkah
laku tipe A cenderung menderita lebih banyak penyakit, gejala gangguan jantung,
ketegangan otot, dan gangguan tidur, dan bahwa anak-anak dan remaj dengan tipe
A biasanya memiliki orang tua yang juga memiliki pola tingkah laku A (Santrock,
2003).
d. Faktor-Faktor Kognitif
kognitif.
hidup mereka sebagai sesuatu yang berbahaya, mengancam, atau menantang dan
akan bahaya di masa yang akan datang atau tantangan yang harus dihadapi.
e. Faktor Usia
Hurlock (1995) menyatakan bahwa individu yang semakin tua akan memiliki
emosi yang cenderung akan semakin stabil dan kestabilan emosi ini berpengaruh
terhadap daya tahan terhadap stres. Usia yang semakin bertambah mengakibatkan
seseorang akan semakin mudah mengalami stres. Hal ini berkaiatan dengan
Dapat terjadi penyakit terkait stres, sebagai contoh penyakit jantung dan
merusakkan jantung dan pembuluh darah (arteri) serta meningkatnya kadar gula
darah. Di paru dapat terjadi asma dan bronkhitis (radang saluran napas). Jika
kolitis (radang usus besar) dan diare kronik (menahun). Stres juga berperan dalam
kekebalan tergangggu melalui berkurangnya kerja sel darah putih, sehingga badan
b. Dampak Emosional
dapat terjadi depresi. Yang juga berperan adalah pikiran bahwa hidup ini buruk
dan tidak akan menjadi lebih baik. Akibatnya timbul perasaan tak berdaya dan
ketakmampuan, merasa gagal dan kepercayaan diri jatuh. Orang yang terkena
depresi cenderung menarik diri dari pergaulan dan menyendiri yang pada
melarikan diri dari stres yang menyakitkan. Alkohol, obat-obatan, merokok, dan
panjang akan merusak badan dan pikiran atau jiwa. Sayangnya, pikiran dapat
Taktik ini malah merugikan karena menimbulkan masalah baru bagi individu
tersebut.
B. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING
istilah PWB sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan
suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa
adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang
lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus
bertumbuh secara personal. Konsep Ryff berawal dari adanya keyakinan bahwa
kesehatan yang positif tidak sekedar tidak adanya penyakit fisik saja.
Kesejahteraan psikologis terdiri dari adanya kebutuhan untuk merasa baik secara
konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas
perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari
pengalaman hidupnya.
individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa. PWB dapat ditandai
depresi (Ryff, 1995). Menurut Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) kebahagian
Ryff menyebutkan bahwa PWB terdiri dari enam dimensi, yaitu penerimaan
terhadap diri sendiri, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain,
serta pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan (Ryff & Keyes, 1995).
Selain itu, setiap dimensi dari PWB menjelaskan tantangan yang berbeda yang
harus dihadapi individu untuk berusaha berfungsi positif (Ryff & Keyes, 1995).
mempunyai kepuasan hidup dan tidak ada gejala-gejala depresi. Kondisi tersebut
dipengaruhi adanya fungsi psikologis yang positif seperti penerimaan diri, relasi
psikologis adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi secara positif
Dimensi ini merupakan ciri utama kesehatan mental dan juga sebagai
Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri apa
terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalani. Hal tersebut menurut Ryff
(1989) menandakan PWB yang tinggi. Individu yang mimiliki tingkat penerimaan
diri yang baik ditandai dengan bersikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan
menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik positif maupun negatif,
dan memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Demikian pula sebaliknya,
seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik yang
memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan
pengalaman masa lalu, dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi dirinya
saat ini.
dan hangat dengan orang lain. Dimensi ini juga menekankan adanya kemampuan
yang merupakan salah satu komponen kesehatan mental yaitu kemampuan untuk
mencintai orang lain. Individu yang tinggi atau baik dalam dimensi ini ditandai
dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan
orang lain. Ia juga mempunyai rasa afeksi dan empati yang kuat. Sebaliknya,
individu yang hanya mempunyai sedikit hubungan dengan orang lain, sulit untuk
bersikap hangat dan enggan untuk mempunyai ikatan dengan orang lain,
c. Otonomi (autonomy)
menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku. Seseorang
yang mampu untuk menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku
dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar
personal, hal ini menandakan bahwa ia baik dalam dimensi ini. Sebaliknya,
individu yang kurang baik dalam dimensi otonomi akan memperhatikan harapan
dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang
tujuan dalam hidup. Seseorang yang mempunyai rasa keterarahan dalam hidup,
mempunyai perasaan bahwa kehidupan saat ini dan masa lalu mempunyai
mempunyai target yang ingin dicapai dalam hidup, maka ia dapat dikatakan
mempunyai dimensi tujuan hidup yang baik. Sebaliknya, seseorang yang kurang
baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada tujuan yang ingin
dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam masa lalu
lebih berarti. Dimensi ini dapat menggambarkan kesehatan mental karena kita
tidak dapat melepaskan diri dari keyakinan yang dimiliki oleh seorang individu
manusia. Dimensi ini dibutuhkan oleh individu agar dapat optimal dalam
berfungsi secara psikologis. Salah satu hal penting dalam dimensi ini adalah
perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang
melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu. Sebaliknya,
perasaan bahwa ia adalah seorang pribadi yang stagnan, dan tidak tertarik dengan
Individu dengan PWB yang baik memiliki kemampuan untuk memilih dan
menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik dirinya. Dengan kata
dirinya. Hal inilah yang dimaksud dalam dimensi ini mampu untuk memanipulasi
keadaan sehingga sesuai denga kebutuhan dan nilai-nilai pribadi yang dianutnya
dan mampu untuk mengembangkan diri secara kreatif melalui aktivitas fisik
maupun mental. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan
Ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap PWB seseorang, sehingga tidak
semua orang memiliki tingkat PWB yang sama. Berikut ini akan dijelaskan
a. Dukungan sosial
kepada seorang individu yang diterima oleh individu yang bersangkutan dari
Sejumlah penelitian menyatakan adanya kaitan yang erat antara peran yang
peran yang berlebih dan depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita
yang lebih modern dan wanita dengan peran tradisional ini mengalami gejala-
gejala distress dan menunjukkan ketidakpuasan hidup (Sollie & Leslie, Spence
kepemilikan materi dan status sosial di masyarakat. (Pinquart & Sorenson, 2000).
d. Jaringan sosial
Berkaitan dengan aktivitas sosial yang diikuti oleh individu seperti aktif dalam
dilakukan, dan dengan siapa kontak sosial dilakukan (Pinquart & Sorenson,
2000).
e. Religiusitas
Hal ini berkaitan dengan transendensi segala persoalan hidup kepada Tuhan.
(Bastaman, 2000).
f. Kepribadian
coping skill yang efektif cenderung terhindar dari konflik dan stres (Santrock,
Peran isteri sebagai tenaga kerja di sektor pertanian dalam arti luas
2001), peran wanita di bidang pertanian dimulai semenjak orang mengenal alam
dan bercocok tanam. Semenjak itu pula mulai berkembang pembagian kerja yang
nyata antara laki-laki dan wanita pada beragam pekerjaan baik di dalam rumah
Dijelaskan juga oleh Hastuti (2005) bahwa banyak wanita yang bekerja pada
perlindungan hukum dan kesejahteraan. Hal ini karena pengakuan kontribusi kerja
konkret mereka tidak pernah ada, kerja mereka dipandang sekedar sampingan atau
merupakan bagian dari tenaga kerja keluarga yang tidak pernah diupah, alias
buruh tanpa upah. Pada umumnya misi/harapan yang ingin dicapai oleh rata-rata
yang bekerja tentu bukan semata-mata karena alasan faktor ekonomi keluarga
yang sedemikian sulit, tetapi juga beberapa motivasi lain, seperti suami tidak
bekerja atau pendapatan kurang, ingin mencari uang sendiri, mengisi waktu luang,
mencari pengalaman, ingin berperan serta dalam ekonomi keluarga, dan adanya
yang sangat berat. Setiap hari mereka harus membantu suaminya mengangkat
Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang beratnya bisa mencapai 30Kg
bahkan lebih. Satu pohon kelapa sawit bisa menghasilkan 3 sampai dengan 4 buah
sawit yang berhasil di panen dan kemudian harus di pindahkan ke pinggir jalan
dengan menggunakan alat pendorong yang beratnya mencapai 120Kg atau lebih.
Beban kerja yang terlalu berat dapat menjadi penyebab munculnya stres
tidak menggunakan saraung tangan pada saat bekerja atau bahkan tidak
menggunakan sepatu kerja yang layak, jika para pekerja tidak hati-hati maka hal
ini dapat mencelakakan dirinya di lingkungan kerja. Belum lagi tuntutan dari
perusahaan yang menekan pekerja agar mampu memenuhi target harian panen
kelapa sawit. Hal ini dapat memicu timbulnya stres, tidak hanya stres fisik tapi
Bagi wanita yang bekerja di perkebunan kelapa sawit dapat mengalami stres
secara fisiologis. Beban kerja yang terlalu berat menjadi stressor yang akan
tergangggu sehingga badan menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Akibat lain
adalah meningkatnya ketegangan otot, kelelahan dan sakit kepala. Dapat terjadi
penyakit terkait stres, sebagai contoh penyakit jantung dan pembuluh darah
(kardiovaskuler), asma dan bronkhitis (radang saluran napas). Stres juga berperan
lingkungan kerja yang kurang mendukung seperti banyak nyamuk, ulat, ular atau
binatang lainnya, begitu juga jarak yang jauh dari rumah terkadang ditempuh
hanya dengan berjalan kaki dari pagi hari hingga siang saat pulang kerja. Belum
lagi peran isteri yang harus disibukkan dengan kegiatan megurus rumah tangga
dan anak-anaknya. Tentu saja hal ini juga dapat memicu timbulnya stres, tidak
hanya stres fisik tapi juga berlanjut dengan stres emosional yang ditandai dengan
perasaan takut, cemas, marah bahkan depresi yang akhirnya mengarah pada
dampak stres terhadap perilaku yang muncul seperti tidak sanggup lagi melakukan
Jadi dapat disimpulkan bahwa isteri karyawan perkebunan kelapa sawit adalah
isteri yang suaminya bekerja sebagai karyawan di perkebunan kelapa sawit yang
Isteri yang bekerja memegang banyak peran dan berbagai tuntutan yang
dihadapi dapat menambah kegembiraan dan minat pada kehidupan, tetapi sering
juga merupakan masalah. isteri selain bekerja juga memiliki peran sebagai ibu
rumah tangga yang harus mengurus suami dan anak-anaknya. Stres yang dialami
oleh wanita yang bekerja lebih besar dari pada yang dialami wanita yang tidak
bekerja, sebab wanita yang bekerja memiliki stress yang khas seperti hal-hal yang
yang sangat berat. Beban kerja yang terlalu berat dapat menjadi penyebab
Bagi wanita yang bekerja di perkebunan kelapa sawit dapat mengalami stress
secara fisiologis. Beban kerja yang terlalu berat menjadi stressor yang akan
lingkungan kerja yang kurang mendukung seperti banyak nyamuk, ulat, ular atau
binatang lainnya, begitu juga jarak yang jauh dari rumah terkadang ditempuh
hanya dengan berjalan kaki dari pagi hari hingga siang saat pulang kerja. Belum
lagi peran isteri yang harus disibukkan dengan kegiatan megurus rumah tangga
dan anak-anaknya. Tentu saja hal ini juga dapat memicu timbulnya stres, tidak
hanya stres fisik tapi juga berlanjut dengan stres emosional yang ditandai dengan
perasaan takut, cemas, marah bahkan depresi yang akhirnya mengarah pada
dampak stres terhadap perilaku yang muncul seperti tidak sanggup lagi melakukan
Witkil & Lanoil (1986), menyatakan bahwa wanita pekerja menderita stres
yang lebih besar dibanding dengan pria pekerja atau pria dan wanita yang tidak
bekerja. Hal ini disebabkan karena kondisi fisiologis wanita itu sendiri serta
adanya konflik peran, yakni sebagai wanita yang bekerja, sebagai isteri, sebagai
ibu dan sebagai anggota suatu perkumpulan tertentu. Wanita pekerja mengalami
stres yang lebih besar karena harus menjalankan tugas ditempat kerja dan
punggung, radang usus besar dan ketegangan pada masa pra menstruasi.
kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi. (Ryff, 1989)
psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia.
Isteri yang rela membantu suaminya berarti ia bisa menerima dirinya dan
dengan beban pekerjaan yang berat. Tidak hanya itu, jika isteri mampu menguasai
tambahan penghasilan seperti memelihara ternak ayam, kambing atau sapi dan
namun disisi lain peran yang besar dapat menimbulkan efek-efek negatif yang
F. HIPOTESIS PENELITIAN
Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara stres