1
Yosep Adi Prasetyo, “HAM Dalam Konteks dan Kepentingan Sosiologis Ke-Indonesiaan” dalam Fajar Riza Ul
Haq (ed.) Islam, HAM, dan Ke-Indonesiaan, NZAID dan MAARIF Institute, Jakarta, 2007, hal. 51
2
Ibid
3
Ibid, hal. 52
4
Instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia dalam sumber rujukan pelatihan Hak Asasi Manusia tahunan 2010,
ELSAM dan Equitas, Jakarta, 2010. hal. 50-51 dan hal. 83-93
pada kelompok agama minoritas di suatu tempat masih terus berlangsung, baik lewat
pengekangan legal formal, maupun lewat praktek-praktek kekerasan yang dilakukan oleh aparat
Negara maupun masyarakat umum. Pelanggaran kebebasan beragama juga dilakukan baik
berdimensi antar/ inter-agama/ kepercayaan/ keyakinan maupun intra-agama/ kepercayaan. Pada
masa perang Dunia II praktek pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan berujung
pada parktek genosida.
Dalam paper sederhana ini akan meninjau lebih jauh relasi kebebasan beragama dan hak asasi
manusia yang terdeklarasi dalam DUHAM (1948) kemudian diratifikasi oleh Indonesia dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dan apa peran pemerintah
sebagai pemangku kebijakan, serta upaya untuk memberikan perlindungan terhadap warga
Negara sebagaimana di amanatkan dalam undang-undang.
5
Deni JA, Survey LSI: Toleransi Keberagaman menurun, pubdate: 12/10/10/ 18:27
6
ibid
8%
Sumber: Survei Nasional Lingkaran survei Indonesia (oktober 2010). Q: secara umum bagaimana ibu/ bapak menilai ajaran
ahmadiyah? Saya akan bacakan dua pilihan, mana dari dua pilihan berikut yang sesuai dengan pendapat ibu/ bapak?
Ajaran Ahmadiyah adalah Ajaran
sesat
34% Tidak tahu/ tidak jawab
58% Ajaran Ahmadiyah bukan ajaran
sesat
dari survey diatas dapat menjelaskan kepada kita semua 57,8% masyarakat menilai ajaran
ahmadiyah adalah ajaran sesat, dan 34,0% masyarakat tidak memberikan penilaian sedangkan
hanya 8.2% masyarakat umum menilai ajaran Ahmadiyah bukan ajaran sesat. Dari analisis data
diatas mampu memberikan gambaran pemahaman keber-agamaan dan keberagaman masyarakat
kita dalam konteks hari ini. Konflik-konflik kekerasan yang mulai mengancam kerukunan dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak hanya dilatarbelakangi, baik oleh perbedaan
kepercayaan maupun etnis. Lebih dari itu, ada kecenderungan masyarakat sudah menganggap
konflik dengan tindak kekerasan sebagai hal yang wajar.7
Latar belakang pelanggaran HAM sangat kompleks. Sebagian pelanggaran HAM terjadi karena
rendahnya pemahaman dan kesadaran HAM, lemahnya supremasi hukum, budaya atau tradisi
masyarakat, politik, agama dan ekonomi. Tindak kekerasan terhadap sarana keagamaan dan
jemaat Ahmadiyah dilakukan karena motivasi relijius. Kekerasaan terhadap jemaat Ahmadiyah
adalah bentuk amar ma’ruf nahi munkar yang harus dilaksanakan karena Ahmadiyah menurut
fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat merupakan aliran sesat. Karena pemahaman doktrin
agama yang dangkal dan tidak kontekstual, amar ma’ruf nahi munkar mendorong mereka
bertindak brutal, main hakim sendiri. Fatwa yang menyatakan Ahmadiyah adalah sesat
merupakan salah satu penyebab mengapa hingga kini persoalan kebebasan beribadah di negeri
ini tidak juga usai. Kemudian hal serupa diungkapkan Dawam Raharjo “Persoalan kebebasan
beribadah masyarakat itu, karena ada fatwa MUI yang provokatif yang bilang Ahmadiyah sesat.
Ini yang memprovokasi warga sehingga ada tindakan penyerangan pada warga Ahmadiyah," 8
maka ketika mengeluarkan fatwa juga harus hati-hati, bagaimana fatwa ini, apa fatwa ini, siapa
7
Mudjib Khudori, Masyarakat Indonesia Suka Kekerasan, pubdate: 05/10/10 16:45
8
Dawam Raharjo, Dawam: ini karena Fatwa yang Provokatif, pubdate ; 05/10/10/ 21:52
yang mendengar dan konsumennya harus diatur dengan sebaik mungkin.9 Dalam konteks
Indonesia sebagai Negara Hukum, main hakim sendiri baik atas nama agama maupun hukum itu
sendiri merupakan perbuatan kriminal yang melanggar hukum.10
9
Amin Abdullah, Sebuah Dokumen Sejarah yang Luar Biasa, dalam Jurnal MAARIF Vol. 4, No 1-Juli 2009. Hal.
29.
10
Abdul Mu’ti, Pendidikan Agama Berbasis HAM, dalam dalam Fajar Riza Ul Haq (ed.) Islam, HAM, dan Ke-
Indonesiaan, NZAID dan MAARIF Institute, Jakarta, 2007, hal. 139-140
11
Komarudin Hidayat, Kejernihan Di Tengah Pertikaian, dalam Nurcholis Madjid, et, al. Kehampaan spiritual
Masyarakat Modern. Hal. 15-16
ialah atmosfer kecurigaan dan suasana saling memata-matai menjadi kian mewabah di tengah
masyarakat.
Dalam diskursus keagamaan kontemporer, dijelaskan bahwa “agama” ternyata banyak wajah
(multiface) bukan lagi single face.12 Maka dengan itu pentinglah kiranya menumbuhkan
kesadaran kritis dalam beragama sehingga agama dapat dilihat dalam wajah yang banyak dan
berbeda namun mampu memberikan wajah agama yang menyejukkan, agama yang
menentramkan umat, bukan menanamkan doktrin-doktrin api kemarahan yang bisa membuat
kesalahan dalam pemahaman kehidupan bernegara yang plural.
12
Amin Abdullah, Relevansi Studi Agama-Agama dalam Milennium ketiga, dalam ulumul Qur’an No. 5 VII/1997.
Hal. 57
13
Abdullahi an-Naim, “Human Rights and Scholarship for Social Change in Islamic Communities” dalam Islam and
Human Rights: Advocacy for Social Change in Local Context, New Delhi: Global Media Publication, 2006. Hal. 2-
3.
asasi manusia. Jika membuang duri di jalan saja diyakini sebagai ibadah, maka penegakan hak
asasi manusia dengan segala rangkaiannya bisa pula dikatakan sebagai praktik kesalehan.14
2. Pemerintah kemana?
Peran pemerintah merespon persoalaan kebangsaan dalam kurun waktu belakangan ini,
khususnya kebebasan beragama bagi penduduk minoritas baik secara kualitas maupun kuantitas
kecenderungan pemerintah melakukan pembiaran dan menarik ulur permasalahan laksana
seorang anak memainkan layangannya, sehingga tidak ada penyelsaian serius dan konkret yang
di lakukan pemeritah sebagai pemangku kebijakan. Kemudian pemerintah diamanatkan oleh
undang – undang sebagai pelindung dan memberikan kenyamaan dan keamaan terhadap
warganya. tapi kenyataan hari ini, jauh panggang dari apinya. Hal senada di ungkapkan oleh
Ardian Sopa peneliti dari LSI; “pemerintah terikat oleh konstitusi Undang-undang Dasar 1945
untuk melindungi keberagaman dan kepercayaan warga Negara”.15
Sebagai Negara yang telah berkomitmen terhadap International Covenant on Civil and Political
Rights kemudian diratifikasi dengan Undang – Undang No. 12 tahun 2005, maka tidak ada
alasan apapun pemerintah untuk tidak melindungi warga negaranya dalam rangka kebebasan
beragama dan berkeyakinan sebagaimana kita ketahui bersama dalam Kovenan Internasional
Hak-Hak Sipil dan Politik pada Pasal 18 ayat 1 – 3 dan Pasal 20 ayat 2.16
D. Penutup
Di Indonesia peradaban HAM sulit tumbuh karena kurangnya dukungan dari agama-agama
untuk isu-isu HAM. Agama-agama di Indonesia kerap sibuk dengan ritualisme dan narsisisme
atas kelompoknya. Mereka sangat sensitif dan artikulatif terhadap masalah kesusilaan, tapi
anehnya menjadi bisu dan kelu terhadap isu-isu korupsi dan pelanggaran HAM. Tentu ada
aktivis dari kelompok agama, tetapi itu hanya sebatas identitas personal. Dalam agama itu sendiri
tidak terjadi hermeneutik transformasional yang pro-HAM sehingga seorang Muslim yang pro-
HAM, misalnya, dianggap ”sekularis” atau ”anti-Islam” oleh komunitasnya. Keadaan makin
14
Abdul Munir Mulkhan, Bunga Rampai: Ide Sosio-Ritual Kiai Ahmad Dahlan dalam Perspektif HAM, dalam Fajar
Riza Ulhaq, ed. Islam, HAM, dan Ke-Indonesiaan, NZAID dan MAARIF Institute, Jakarta, 2007, hal. 88
15
Ardian Sopa, LSI: Presiden perlu pidato masalah keberagaman agama, pubdate: 12/10/10 19:01
16
Instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia dalam sumber rujukan pelatihan Hak Asasi Manusia tahunan 2010,
ELSAM dan Equitas, Jakarta, 2010. hal. 87
parah apabila semua ini disertai provokasi vulgar dari kelompok-kelompok ekstremis agama
yang dibayar untuk mengacau republik ini. Kerangka pikir seperti ini sangat menghambat
sosialisasi HAM. Jadi, selama agama-agama—khususnya para pemimpin mereka—tidak
memasukkan penegakan HAM sebagai bagian kewajiban religius mereka, selama itu pula
pertumbuhan peradaban HAM akan tetap terhambat seperti yang kita alami sampai sekarang. 17
Paper sederhana ini mengajak kita bersama untuk merefleksi keber-agamaan dalam bingkai
keindonesiaan dan kemanusiaan, untuk menumbuhkan kesadaran kritis terhadap ummat yang
tengah mengalami kegalauan dan terombang-ambing di tengah lautan, tentunya dibutuhkan kerja
keras kita bersama. Membangun sinergisitas mencerahkan ummat melalui pendidikan kritis
dalam memaknai agama, sehingga agama tidak hadir dalam single face. Tapi agama mampu
hadir dalam Multiface menjadi jembatan sosial untuk seluruh Ummat.
Daftar Pustaka
I. Buku
Riza Fajar, ed. Islam, HAM, dan Keindonesiaan: Refleksi dan Agenda Aksi untuk
Pendidikan Agama, Maarif Institute dan NZAID, Jakarta: 2007
Purna Ibnu, ed. Landasan Hukum dan Rencana Aksi Nasional HAM di Indonesia
2004 – 2009, Sekneg RI Dep. Hukum dan HAM, Jakarta: 2008
Tim KontraS, Panduan untuk Pekerja HAM: Pemantauan dan Investigasi Hak Asasi
Manusia, KontraS dan Indonesia Australia Legal Development Facility, Jakarta: 2009
Tim Core, Direktori Penelitian Agama, Konflik dan Perdamaian, Komnas HAM dan
Insititute Pluralisme Indonesia, Jakarta: 2005
Tim Penyusun, Buku Panduan Peserta Pelatihan Hak Asasi Manusia Tahunan,
ELSAM dan equitas, Jakarta: 2010
III. Website
http://www.antaranews.com/berita/1286884917/lsi-presiden-perlu-pidato-masalah-
keberagaman-agama
http://www.antaranews.com/berita/1286882876/survei-lsi-toleransi-keberagaman-
menurun
http://www.kompas.com/read/xml/2010/10/05/2152056/Dawam.Ini.Karena.Fatwa.Pr
ovokatif
http://www.kompas.com/read/xml/2010/10/05/16450551/Masyakat.Indonesia.Suka.
Kekerasan.
http://www.kompas.com/read/xml/2010/12/09/05334748/..ham.kita