Sumber :
V
cc
Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama
Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau Batara Guru
menghadiahinya harta benda dan seorang istri yang cantik. Sesudah bertahun-tahun
kawin, mereka mendapat seorang anak yang mereka namai Manik Angkeran.
Meskipun Manik Angkeran seorang pemuda yang gagah dan pandai namun
dia mempunyai sifat yang kurang baik, yaitu suka berjudi. Dia sering kalah sehingga
dia terpaksa mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya, malahan berhutang pada
orang lain. Karena tidak dapat membayar hutang, Manik Angkeran meminta bantuan
ayahnya untuk berbuat sesuatu. Sidi Mantra berpuasa dan berdoa untuk memohon
pertolongan dewa-dewa. Tiba-tiba dia mendengar suara, ³Hai, Sidi Mantra, di kawah
Gunung Agung ada harta karun yang dijaga seekor naga yang bernarna Naga
Besukih. Pergilah ke sana dan mintalah supaya dia mau memberi sedikit hartanya.´
Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dengan mengatasi segala rintangan.
Sesampainya di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila. Sambil membunyikan
genta dia membaca mantra dan memanggil nama Naga Besukih. Tidak lama
kernudian sang Naga keluar. Setelah mendengar maksud kedatangan Sidi Mantra,
Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar emas dan intan. Setelah
mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri. Semua harta benda yang
didapatnya diberikan kepada Manik Angkeran dengan harapan dia tidak akan berjudi
lagi. Tentu saja tidak lama kemudian, harta itu habis untuk taruhan. Manik Angkeran
sekali lagi minta bantuan ayahnya. Tentu saja Sidi Mantra menolak untuk membantu
anakya.
Manik Angkeran mendengar dari temannya bahwa harta itu didapat dari
Gunung Agung. Manik Angkeran tahu untuk sampai ke sana dia harus membaca
mantra tetapi dia tidak pernah belajar mengenai doa dan mantra. Jadi, dia hanya
membawa genta yang dicuri dari ayahnya waktu ayahnya tidur.
Setelah sampai di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan
gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga
mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, ³Akan kuberikan harta
yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan
berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma.´
Manik Angkeran terpesona melihat emas, intan, dan permata di hadapannya.
Tiba-tiba ada niat jahat yang timbul dalam hatinya. Karena ingin mendapat harta
lebih banyak, dengan secepat kilat dipotongnya ekor Naga Besukih ketika Naga
beputar kembali ke sarangnya. Manik Angkeran segera melarikan diri dan tidak
terkejar oleh Naga. Tetapi karena kesaktian Naga itu, Manik Angkeran terbakar
menjadi abu sewaktu jejaknya dijilat sang Naga.
Mendengar kematian anaknya, kesedihan hati Sidi Mantra tidak terkatakan.
Segera dia mengunjungi Naga Besukih dan memohon supaya anaknya dihidupkan
kembali. Naga menyanggupinya asal ekornya dapat kembali seperti sediakala.
Dengan kesaktiannya, Sidi Mantra dapat memulihkan ekor Naga. Setelah Manik
Angkeran dihidupkan, dia minta maaf dan berjanji akan menjadi orang baik. Sidi
Mantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat tetapi dia juga mengerti bahwa mereka
tidak lagi dapat hidup bersama.
³Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini,´ katanya. Dalam sekejap
mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama
makin besar sehingga menjadi laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis
yang mernisahkan dia dengan anaknya. Sekarang tempat itu menjadi selat Bali yang
memisahkan pulau Jawa dengan pulau Bali.
Sumber :
V
Pada jaman dahulu di daerah Padamara dekat Sungai Sawing di Nusa
Tenggara Barat hiduplah sebuah keluarga miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain
dan sang suami bernama Amaq Lembain
Mata pencaharian mereka adalah buruh tani. Setiap hari mereka berjalan
kedesa desa menawarkan tenaganya untuk menumbuk padi.
Kalau Inaq Lembain menumbuk padi maka kedua anaknya menyertai pula.
Pada suatu hari, ia sedang asyik menumbuk padi. Kedua anaknya ditaruhnya diatas
sebuah batu ceper didekat tempat ia bekerja.
Anehnya, ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka duduk makin
lama makin menaik. Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang sulung mulai
memanggil ibunya: ³Ibu batu ini makin tinggi.´ Namun sayangnya Inaq Lembain
sedang sibuk bekerja. Dijawabnya, ³Anakku tunggulah sebentar, Ibu baru saja
menumbuk.´
Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper itu makin lama
makin meninggi hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu kemudian berteriak
sejadi-jadinya. Namun, Inaq Lembain tetap sibuk menumbuk dan menampi beras.
Suara anak-anak itu makin lama makin sayup. Akhirnya suara itu sudah tidak
terdengar lagi.
Batu Goloq itu makin lama makin tinggi. Hingga membawa kedua anak itu
mencapai awan. Mereka menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu Inaq Lembain
tersadar, bahwa kedua anaknya sudah tidak ada. Mereka dibawa naik oleh Batu
Goloq.
Inaq Lembain menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berdoa agar dapat
mengambil anaknya. Syahdan doa itu terjawab. Ia diberi kekuatan gaib. dengan
sabuknya ia akan dapat memenggal Batu Goloq itu. Ajaib, dengan menebaskan
sabuknya batu itu terpenggal menjadi tiga bagian. Bagian pertama jatuh di suatu
tempat yang kemudian diberi nama Desa Gembong olrh karena menyebabkan tanah
di sana bergetar. Bagian ke dua jatuh di tempat yang diberi nama Dasan Batu oleh
karena ada orang yang menyaksikan jatuhnya penggalan batu ini. Dan potongan
terakhir jatuh di suatu tempat yang menimbulkan suara gemuruh. Sehingga tempat itu
diberi nama Montong Teker.
Sedangkan kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka telah berubah menjadi
dua ekor burung. Anak sulung berubah menjadi burung Kekuwo dan adiknya berubah
menjadi burung Kelik. Oleh karena keduanya berasal dari manusia maka kedua
burung itu tidak mampu mengerami telurnya.
Sumber :
V
Dahulu kala, di kaki sebuah gunung di daerah Bengkulu hiduplah seorang
wanita tua dengan tiga orang anaknya. Mereka sangat miskin dan hidup hanya dari
penjualan hasil kebunnya yang sangat sempit. Pada suatu hari perempuan tua itu sakit
keras. Orang pintar di desanya itu meramalkan bahwa wanita itu akan tetap sakit
apabila tidak diberikan obat khusus. Obatnya adalah daun-daunan hutan yang
dimasak dengan bara gaib dari puncak gunung.
Alangkah sedihnya keluarga tersebut demi mengetahui kenyataan itu.
Persoalannya adalah bara dari puncak gunung itu konon dijaga oleh seekor ular gaib.
Menurut cerita penduduk desa itu, ular tersebut akan memangsa siapa saja yang
mencoba mendekati puncak gunung itu. Diantara ketiga anak perempuan ibu tua itu,
hanya si bungsu yang menyanggupi persyaratan tersebut. Dengan perasaan takut ia
mendaki gunung kediaman si Ular n¶Daung. Benar seperti cerita orang, tempat
kediaman ular ini sangatlah menyeramkan. Pohon-pohon sekitar gua itu besar dan
berlumut. Daun-daunnya menutupi sinar matahari sehingga tempat tersebut menjadi
temaram.
Belum habis rasa khawatir si Bungsu, tiba-tiba ia mendengar suara gemuruh
dan raungan yang keras. Tanah bergetar. Inilah pertanda si Ular n¶Daung mendekati
gua kediamannya. Mata ular tersebut menyorot tajam dan lidahnya menjulur-julur.
Dengan sangat ketakutan si Bungsu mendekatinya dan berkata, ³Ular yang keramat,
berilah saya sebutir bara gaib guna memasak obat untuk ibuku yang sakit. Tanpa
diduga, ular itu menjawab dengan ramahnya, ³bara itu akan kuberikan kalau engkau
bersedia menjadi isteriku!´
Si Bungsu menduga bahwa perkataan ular ini hanyalah untuk mengujinya.
Maka iapun menyanggupinya. Keesokan harinya setelah ia membawa bara api
pulang, ia pun menepati janjinya pada Ular n¶Daung. Ia kembali ke gua puncak
gunung untuk diperisteri si ular.
Alangkah terkejutnya si bungsu menyaksikan kejadian ajaib. Yaitu, pada
malam harinya, ternyata ular itu berubah menjadi seorang ksatria tampan bernama
Pangeran Abdul Rahman Alamsjah. Pada pagi harinya ia akan kembali menjadi ular.
Hal itu disebabkan oleh karena ia disihir oleh pamannya menjadi ular. Pamannya
tersebut menghendaki kedudukannya sebagai calon raja. Setelah kepergian si bungsu,
ibunya menjadi sehat dan hidup dengan kedua kakaknya yang sirik. Mereka ingin
mengetahui apa yang terjadi dengan si Bungsu. Maka merekapun berangkat ke
puncak gunung. Mereka tiba di sana diwaktu malam hari.
Alangkah kagetnya mereka ketika mereka mengintip bukan ular yang
dilihatnya tetapi lelaki tampan. Timbul perasaan iri dalam diri mereka. Mereka ingin
memfitnah adiknya. Mereka mengendap ke dalam gua dan mencuri kulit ular itu.
Mereka membakar kulit ular tersebut. Mereka mengira dengan demikian ksatria itu
akan marah dan mengusir adiknya itu. Tetapi yang terjadi justru kebalikannya.
Dengan dibakarnya kulit ular tersebut, secara tidak sengaja mereka membebaskan
pangeran itu dari kutukan.
Ketika menemukan kulit ular itu terbakar, pangeran menjadi sangat gembira.
Ia berlari dan memeluk si Bungsu. Di ceritakannya bahwa sihir pamannya itu akan
sirna kalau ada orang yang secara suka rela membakar kulit ular itu.
Kemudian, si Ular n¶Daung yang sudah selamanya menjadi Pangeran
Alamsjah memboyong si Bungsu ke istananya. Pamannya yang jahat diusir dari
istana. Si Bungsu pun kemudian mengajak keluarganya tinggal di istana. Tetapi dua
kakaknya yang sirik menolak karena merasa malu akan perbuatannya.
Sumber : ÷
c
Pada jaman dahulu, di pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, hiduplah seorang
petani dengan isteri dan empat belas anaknya. Tujuh orang anaknya laki-laki dan
tujuh orang perempuan.Walaupun mereka memiliki kebun yang besar, hasil kebun
tersebut tidak mencukupi kebutuhan keluarga tersebut. Sebabnya adalah tanaman
yang ada sering dirusak oleh seekor babi hutan.Petani tersebut menugaskan pada anak
laki-lakinya untuk bergiliran menjaga kebun mereka dari babi hutan. Kecuali Suri
Ikun, keenam saudara laki-lakinya adalah penakut dan dengki. Begita mendengar
dengusan babi hutan, maka mereka akan lari meninggalkan kebunnya.Lain halnya
dengan Suri Ikun, begitu mendengar babi itu datang, ia lalu mengambil busur dan
memanahnya. Setelah hewan itu mati, ia membawanya kerumah. Disana sudah
menunggu saudara-saudaranya. Saudaranya yang tertua bertugas membagi- bagikan
daging babi hutan tersebut. Karena dengkinya, ia hanya memberi Suri Ikun kepala
dari hewan itu. Sudah tentu tidak banyak daging yang bisa diperoleh dari bagian
kepala. Selanjutnya, ia meminta Suri Ikun bersamannya mencari gerinda milik
ayahnya yang tertinggal di tengah hutan. Waktu itu hari sudah mulai malam. Hutan
tersebut menurut cerita di malam hari dihuni oleh para hantu jahat. Dengan perasaan
takut iapun berjalan mengikuti kakaknya. Ia tidak tahu bahwa kakaknya mengambil
jalan lain yang menuju kerumah. Tinggallah Suri Ikun yang makin lama makin masuk
ke tengah hutan. Berulang kali ia memanggil nama kakaknya. Panggilan itu dijawab
oleh hantu-hantu hutan. Mereka sengaja menyesatkan Suri Ikun. Setelah berada
ditengah- tengah hutan lalu, hantu-hantu tersebut menangkapnya. Ia tidak langsung
dimakan, karena menurut hantu-hantu itu ia masih terlalu kurus. Ia kemudian
dikurung ditengah gua. Ia diberi makan dengan teratur. Gua itu gelap sekali. Namun
untunglah ada celah disampingnya, sehingga Suri Ikun masih ada sinar yang masuk
ke dalam gua. Dari celah tersebut Suri Ikun melihat ada dua ekor anak burung yang
kelaparan. Iapun membagi makanannya dengan mereka. Setelah sekian tahun,
burung- burung itupun tumbuh menjadi burung yang sangat besar dan kuat. Mereka
ingin mem- bebaskan Suri Ikun. Pada suatu ketika, hantu-hantu itu membuka pintu
gua, dua burung tersebut menyerang dan mencederai hantu hantu tersebut. Lalu
mereka menerbangkan Suri Ikun ke daerah yang berbukit-bukit tinggi.
Dengan kekuatan gaibnya, Burung-burung tersebut menciptakan istana
lengkap dengan pengawal dan pelayan istana. Disanalah untuk selanjutnya Suri Ikun
berbahagia.
Sumber : ÷
cc c
Di Bali, hidup seorang raja yang bergelar Sri Bagening. Sang Raja memiliki
banyak istri, dan istri terakhirnya bernama Ni Luh Pasek. Ni Luh Pasek berasal dari
Desa Panji, dan masih keturunan Kyai Pasek Gobleng. Suatu waktu, Ni Luh Pasek
mengandung. Oleh suaminya, ia dititipkan kepada Kyai Jelantik Bogol. Tak berapa
lama, anaknya pun lahir. Anak itu diberi nama I Gede Pasekan. I Gede Pasekan
mempunyai wibawa besar sehingga sangat dicintai dan dihormati oleh pemuka
masyarakat maupun masyarakat biasa.
Suatu hari, ketika usianya menginjak dua puluh tahun, ayahnya berkata pada-
nya, ³Anakku, sekarang pergilah engkau ke Den Bukit di daerah Panji.´
³Mengapa ayah?´
³Karena di sanalah tempat kelahiran ibumu.´
Sebelum berangkat, ayah angkatnya memberikan dua buah senjata bertuah,
yaitu sebilah keris bernama Ki Baru Semang dan sebatang tombak bernama Ki
Tunjung Tutur. Dalam perjalanannya, I Gede Pasekan diiringi oleh empat puluh
pengawal yang dipimpin Ki Dumpiung dan Ki Dosot. Ketika sampai di daerah yang
disebut Batu Menyan, mereka bermalam dengan dijaga ketat oleh para pengawal
secara bergantian.
Saat tengah malam, tiba-tiba datang makhluk ajaib penghuni hutan. Dia
mengangkat I Gede Pasekan ke atas pundaknya sehingga I Gede Pasekan dapat me-
lihat pemandangan lepas ke lautan dan daratan yang terbentang di hadapannya. Ke-
tika dia memandang ke arah timur dan barat laut, ia melihat pulau yang amat jauh.
Ketika melihat ke arah selatan pemandangannya dihalangi oleh gunung. Setelah
makhluk itu pergi kemudian terdengar bisikan.
³I Gusti, sesungguhnya apa yang telah engkau lihat akan menjadi daerah ke-
kuasaanmu.´
Keesokan harinya rombongan itu melanjutkan perjalanan. Meski sulit dan pe-
nuh rintangan akhirnya rombongan I Gede Pasekan berhasil mencapai tujuan, yaitu
Desa Panji, tempat kelahiran ibunya.
Suatu hari, ada sebuah perahu Bugis yang terdampar di pantai
Panimbangan.Warga setempat yang dimintai tolong tak mampu mengangkatnya.
Keesokan harinya orang Bugis pemilik perahu itu meminta tolong pada I
Gede Pasekan.
³Tolonglah kami, Tuan. Jika Tuan berhasil mengangkat perahu kami, se-
bagian muatan itu akan kami serahkan kepada Tuan sebagai upahnya.´
³Kalau itu keinginan kalian, saya akan berusaha mengangkat perahu itu,´
jawab I Gede Pasekan.
I Gede Pasekan segera memusatkan pikiran. Dengan kekuatan gaibnya,
perahu yang kandas itu berhasil diangkatnya. Sebagai ungkapan rasa terima kasih,
orang Bugis itu memberikan hadiah berupa setengah dari isi perahu itu kepada I Gede
Pasekan. Di antara hadiah itu terdapat dua buah gong besar. Sejak saat itu I Gede
Pasekan menjadi orang kaya dan bergelar I Gusti Panji Sakti.
Kekuasaan I Gede Pasekan mulai meluas dan menyebar sampai ke mana-
mana. Dia pun mendirikan kerajan baru di Den Bukit. Kira-kira abad ke-17, ibukota
kerajaan itu disebut orang dengan nama Sukasada. Kerajaaan I Gede Pasekan itu ber-
kembang hingga ke utara. Daerah itu banyak ditumbuhi pohon buleleng. Oleh karena
itu, pusat kerajaan beralih ke wilayah itu. Wilayah itu pun diberi nama Buleleng.
Di Buleleng dibangun sebuah istana megah yang diberi nama Singaraja. Nama
ini menunjukkan bahwa penghuninya adalah seorang raja yang gagah perkasa laksana
singa. Namun, ada pendapat yang mengatakan bahwa nama Singaraja artinya tempat
persinggahan raja. Barangkali ketika sang Raja masih di Sukasada, sering singgah di
sana. Jadi, kata Singaraja berasal dari kata .
!"#!