Transmigrasi merupakan program yang unik dan sangat khas Indonesia. Dalam
program ini, pemerintah secara aktif terlibat langsung dalam memindahkan penduduk
dalam jumlah besar, menyeberangi lautan, dan berlangsung terus-menerus dalam
waktu yang cukup lama. Program seperti ini tidak ada duanya di dunia. Memang ada
beberapa negara yang mempunyai program serupa, tetapi jumlah penduduk yang
dipindahkan relatif sangat kecil, waktu penyelenggaraannya tidak terus-menerus
dalam waktu yang lama, dan umumnya dalam bentuk program resettlement, tidak
menyeberangi lautan.
Transmigrasi di Indonesia diilhami dari sebuah tulisan C. Th. Van Deventer, anggota
Raad van Indie, berjudul “Een Eereschuld” (Hutang Budi) yang dimuat dalam
majalah De Gids yang terbit pada tahun 1899. Tulisan tersebut membeberkan tentang
kemiskinan di Pulau Jawa serta kaitannya dengan cultuur stelsel dan pelaksanaan
kerja paksa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Van Deventer menghimbau
agar Pemerintah Belanda melakukan upaya-upaya yang dapat memperbaiki
kehidupan rakyat di Pulau Jawa.
Pelaksanaan program migrasi yang waktu itu disebut “kolonisasi” tersebut dimulai
pertama kali pada bulan November 1905, sejumlah 155 KK (815 jiwa) yang berasal
dari Kabupaten Karanganyar, Kebumen, dan Purworejo (waktu itu Keresidenan Kedu
Jawa Tengah). Para transmigran tersebut diberangkatkan menuju Gedong Tataan,
sekitar 25 Km sebelah barat Tanjungkarang (waktu itu Keresidenan Lampung). Desa
baru tempat para transmigran tersebut diberi nama Bagelen, nama salah satu desa di
Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, desa asal dari sebagian transmigran tersebut..
Pemilihan nama tersebut dimaksudkan agar mereka betah di tempat baru, dan merasa
seperti di desa asalnya. Pada tahun-tahun berikutnya program kolonisasi juga
dilaksanakan ke daerah Bengkulu dan Sulawesi Tengah..
Dalam periode 1905-1942, penduduk yang berhasil dipindahkan sebanyak 235.802
orang penduduk. (Lampiran I). Daerah asal terbanyak ialah Jawa Timur 27.044 KK
(90.086 jiwa) dan yang terkecil D.I. Yogyakarta 188 KK (750 jiwa). Daerah tujuan
terbanyak ialah Lampung 44.687 KK (175.867 jiwa) dan yang terkecil Sulawesi
Selatan 137 KK (457 jiwa).
Pengiriman keluarga transmigran dari Pulau Jawa, Bali, dan Lombok selama Pelita I,
II, III, dan IV berturut-turut adalah 46.268, 82959, 535.474, dan 402.756 (Ida Bagus
Mantra, 1987: 7). Hal ini tidak jauh berbeda dengan target yang dicanangkan
pemerintah (Lampiran II).
Perubahan yang cukup mendasar dalam kebijakan kependudukan terjadi pada Peliata
I. Pemahaman bahwa satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah kependudukan
di Indonesia hanya dengan transmigrasi mulai berubah. Pemerintah mulai
mengadopsi program Keluarga Berencana untuk mengurangi laju pertumbuhan
penduduk yang cepat, terutama di Jawa.
Dalam pelaksanaan Pola Sitiung, transmigran tidak perlu membangun rumah dulu,
karena rumah sudah disipkan oleh Depnakertranskop. Begitu berhasilnya pola ini,
Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi, Prof. Soebroto bermaksud
memperluas pola ini ke-14 provinsi lainnya di Indonesia. Akan tetapi, ternyata untuk
menerapkan pola ini ke propvinsi lain kendalanya cukup banyak, antara lain kesiapan
lokasi transmigrasi, dan koordinasi yang kurang berjalan dengan baik.
Pola Inti Rakyat Perkebunan (PIR Bun) mulai diperkenalkan pada Pelita III di lokasi-
lokasi transmigrasi. Pola ini cukup berhasil menarik minat penduduk pedesaan di
Pulau Jawa untuk ikut serta dalam program tarnasmigrasi ini. Melihat minat
masyarakat yang cukup tinggi ini, pada Pelita IV Departemen Transmigrasi kemudian
lebih banyak mendorong pelaksanaan transmigrasi spontan yang dibiayai sendiri oleh
penduduk.