Anda di halaman 1dari 3

3.1.

Transmigrasi dari Waktu ke Waktu

Transmigrasi merupakan program yang unik dan sangat khas Indonesia. Dalam
program ini, pemerintah secara aktif terlibat langsung dalam memindahkan penduduk
dalam jumlah besar, menyeberangi lautan, dan berlangsung terus-menerus dalam
waktu yang cukup lama. Program seperti ini tidak ada duanya di dunia. Memang ada
beberapa negara yang mempunyai program serupa, tetapi jumlah penduduk yang
dipindahkan relatif sangat kecil, waktu penyelenggaraannya tidak terus-menerus
dalam waktu yang lama, dan umumnya dalam bentuk program resettlement, tidak
menyeberangi lautan.

Transmigrasi di Indonesia diilhami dari sebuah tulisan C. Th. Van Deventer, anggota
Raad van Indie, berjudul “Een Eereschuld” (Hutang Budi) yang dimuat dalam
majalah De Gids yang terbit pada tahun 1899. Tulisan tersebut membeberkan tentang
kemiskinan di Pulau Jawa serta kaitannya dengan cultuur stelsel dan pelaksanaan
kerja paksa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Van Deventer menghimbau
agar Pemerintah Belanda melakukan upaya-upaya yang dapat memperbaiki
kehidupan rakyat di Pulau Jawa.

Mengacu pada pokok-pokok pikiran Van Deventer tersebut, Pemerintah Hindia


Belanda kemudian menyiapkan program pembangunan yang meliputi bidang
pendidikan, perbaikan di bidang produksi pertanian, serta pemindahan penduduk dari
Pulau Jawa ke luar Jawa. Untuk rencana pemindahan penduduk tersebut, ditunjuklah
H.G. Heyting, seorang asisten residen, untuk mempelajari kemungkinan pemindahan
penduduk Pulau Jawa ke daerah-daerah lain yang jarang penduduknya dan yang
dianggap potensial bagi pengembangan usaha pertanian. Laporan Heyting tahun
1903, antara lain menyarankan agar Pemerintah Belanda membangun desa-desa baru
di luar Jawa dengan jumlah penduduk rata-rta sekitar 500 KK setiap desa, disertai
bantuan ekonomi secukupnya agar desa-desa baru tersebut dapat berkembang serta
memiliki daya tarik bagi pendatang-pendatang baru.

Pelaksanaan program migrasi yang waktu itu disebut “kolonisasi” tersebut dimulai
pertama kali pada bulan November 1905, sejumlah 155 KK (815 jiwa) yang berasal
dari Kabupaten Karanganyar, Kebumen, dan Purworejo (waktu itu Keresidenan Kedu
Jawa Tengah). Para transmigran tersebut diberangkatkan menuju Gedong Tataan,
sekitar 25 Km sebelah barat Tanjungkarang (waktu itu Keresidenan Lampung). Desa
baru tempat para transmigran tersebut diberi nama Bagelen, nama salah satu desa di
Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, desa asal dari sebagian transmigran tersebut..
Pemilihan nama tersebut dimaksudkan agar mereka betah di tempat baru, dan merasa
seperti di desa asalnya. Pada tahun-tahun berikutnya program kolonisasi juga
dilaksanakan ke daerah Bengkulu dan Sulawesi Tengah..
Dalam periode 1905-1942, penduduk yang berhasil dipindahkan sebanyak 235.802
orang penduduk. (Lampiran I). Daerah asal terbanyak ialah Jawa Timur 27.044 KK
(90.086 jiwa) dan yang terkecil D.I. Yogyakarta 188 KK (750 jiwa). Daerah tujuan
terbanyak ialah Lampung 44.687 KK (175.867 jiwa) dan yang terkecil Sulawesi
Selatan 137 KK (457 jiwa).

Setelah Indonesia merdeka, program pemindahan penduduk yang kemudian disebut


“transmigrasi”, dimulai kembali. Pada tanggal 12 Desember 1950, diberangkatkan 23
KK (77 jiwa) dari Provinsi Jawa Tengah menuju Lampung. Program ini terus
dikembangkan hingga sekarang dalam berbagai macam pola dan cara.

Pengiriman keluarga transmigran dari Pulau Jawa, Bali, dan Lombok selama Pelita I,
II, III, dan IV berturut-turut adalah 46.268, 82959, 535.474, dan 402.756 (Ida Bagus
Mantra, 1987: 7). Hal ini tidak jauh berbeda dengan target yang dicanangkan
pemerintah (Lampiran II).

Perubahan yang cukup mendasar dalam kebijakan kependudukan terjadi pada Peliata
I. Pemahaman bahwa satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah kependudukan
di Indonesia hanya dengan transmigrasi mulai berubah. Pemerintah mulai
mengadopsi program Keluarga Berencana untuk mengurangi laju pertumbuhan
penduduk yang cepat, terutama di Jawa.

Perkembangan selanjutnya dari program taransmigrasi adalah ketika


diperkenalkannya program transmigrasi “Pola Sitiung” oleh Departemen Tenaga
Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi (Depnakertranskop) pada Pelita II. Pola ini
berawal dari adanya transmigrasi “besol desa” dari daerah Wonogiri Jawa Tengah
(meliputi 41 desa) ke empat desa baru di Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung Sumatera
Barat, yaitu Sitiung, Tiumang, Sialanggaung, dan Kotosalak. Penduduk dari 41 desa
di Wonogiri tersebut dipindahkan karena desa tempat tinggal mereka terkena proyek
bendungan Gajah Mungkur. Jumlah transmigran tersebut adalah 65.517 jiwa atau
lebih kurang 2.000 KK. Hal yang dinilai lebih dalam pola ini adalah adanya
koordinasi yang lebih baik antar instansi terkait dalam pelaksanaannya. Misalnya
pembabatan hutan, membangun prasarana jalan, jembatan, dan irigasi dilaksanakan
oleh Departemen Pekerjaan Umum, urusan pemerintahan desa oleh Departemen
Dalam Negeri, pengkaplingan tanah hingga pembuatan sertifikat dilakukan oleh
Jawatan Agraria, pendirian Puskesmas dan tenaganya oleh Departemen Kesehatan,
sekolah dan gurunya oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dalam pelaksanaan Pola Sitiung, transmigran tidak perlu membangun rumah dulu,
karena rumah sudah disipkan oleh Depnakertranskop. Begitu berhasilnya pola ini,
Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi, Prof. Soebroto bermaksud
memperluas pola ini ke-14 provinsi lainnya di Indonesia. Akan tetapi, ternyata untuk
menerapkan pola ini ke propvinsi lain kendalanya cukup banyak, antara lain kesiapan
lokasi transmigrasi, dan koordinasi yang kurang berjalan dengan baik.

Pola Inti Rakyat Perkebunan (PIR Bun) mulai diperkenalkan pada Pelita III di lokasi-
lokasi transmigrasi. Pola ini cukup berhasil menarik minat penduduk pedesaan di
Pulau Jawa untuk ikut serta dalam program tarnasmigrasi ini. Melihat minat
masyarakat yang cukup tinggi ini, pada Pelita IV Departemen Transmigrasi kemudian
lebih banyak mendorong pelaksanaan transmigrasi spontan yang dibiayai sendiri oleh
penduduk.

Orientasi program transmigrasi kemudian mengalami perubahan dari orientasi


kuantitas ke orientasi kualitas pada Pelita V. Pemerintah juga mendorong agar
masyarakat tergerak untuk melakukan transmigrasi swakarsa. Pada masa ini perhatian
untuk mengembangkan daerah tujuan transmigrasi agar dapat menarik transmigran
dari Jawa mulai dibangun. Hutan Tanaman Industri-Transmigrasi (HTI-Trans) mulai
diperkenalkan yang merupakan kerjasama antra swasta pemegang Hak Penguasahan
Hutan (HPH) dengan transmigran sebagai pemasok tenaga kerja. Selain
memperkenalkan HTI-Trans, Departemen Transmigrasi juga mendorong
terbentuknya pusat-pusat industrialisasi di luar Jawa, seperti agribisnis kelapa sawit
atau tambak udang inti rakyat transmigrasi.

Provinsi-provinsi yang dijadikan daerah pemukiman transmigrasi dewasa ini adalah


Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi,
Bengkulu, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimanatan
Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua. Di daerah-daerah tersebut, pengaruh
demografi cukup terasa oleh karena di masa lampau jumlah penduduk setempat relatif
masih sedikit. Di samping itu perekonomian daerah tujuan kemungkinan juga
terpengaruh dengan adanya pertambahan tenaga kerja dan pembukaan tanah-tanah
pertanian baru.

Dalam kurun waktu 60 tahun (1930-1990), distribusi penduduk di Indonesia sedikit


banyaknya juga dipengaruhi oleh pelaksanaan transmigrasi, walaupun tidak begitu
besar. Pulau Jawa dan Madura yang pada tahun 1930 dihuni oleh 68,9% penduduk
Indonesia, pada tahun 1990 “hanya” 59,9% dari keseluruhan penduduk. Meskipun
demikian, karena angka pertumbuhan penduduk yang tinggi, kenaikan jumlah
penduduk di Pulau Jawa jauh lebih besar dibandingkan yang bermigrasi kederah lain.

Anda mungkin juga menyukai